• Tidak ada hasil yang ditemukan

SENGKETA KEPEMILIKAN KEPULAUAN DIAOYU ATAU SENKAKU ANTARA CHINA JEPANG

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "SENGKETA KEPEMILIKAN KEPULAUAN DIAOYU ATAU SENKAKU ANTARA CHINA JEPANG"

Copied!
26
0
0

Teks penuh

(1)

0

TUGAS MATA KULIAH HUKUM INTERNASIONAL

SENGKETA KEPEMILIKAN

KEPULAUAN DIAOYU ATAU SENKAKU

ANTARA CHINA – JEPANG

OLEH

SONIA CAROLLINE BATUBARA

D1A 014 311

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS MATARAM

(2)

1

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI ………..………... 1

BAB I : PENDAHULUAN A. Latar Belakang ………... 2

1. Klaim Historis China ...………..……….. 5

2. Klaim Historis Jepang... 7

B. Rumusan Masalah ……….……….... 8

BAB II : METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian ………... 9

B. Metode Pendekatan ………..… 9

C. Bahan Hukum ………... 9

D. Teknik dan Pengumpulan Bahan Hukum ………. 10

E. Pengolahan dan Analisa Bahan Hukum ………... 10

BAB III : PEMBAHASAN A. Posisi China dan Jepang Selama Sengketa Berlangsung ……….……… 11

B. Hubungan China dan Jepang Selama Sengketa Berlangsung ……….…….………… 13

C. Upaya Penyelesaian Sengketa yang telah Dilakukan antara China dan Jepang……... 15

D. Saran Penyelesaian Sengketa ………. 18

BAB IV: PENUTUP A. Simpulan……….. 22

B. Saran..………. 23

(3)

2

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Negara adalah organisasi politik intelektual terbesar di dunia, yang mana di dalam Negara berisikan komponen-komponen pembentuk Negara seperti: rakyat yang terorganisir, wilayah yang permanen, pemerintahan yang stabil, dan kecakapan melakukan hubungan internasional.

Definisi tentang negara yang lebih lengkap dan menyeluruh dikemukakan oleh Henry C. Black. Beliau mendefinisikan Negara sebagai sekumpulan orang yang secara permanen menempati suatu wilayah yang tetap, diikat oleh ketentuan-ketentuan hukum

(binding by laws), yang melalui pemerintahannya mampu menjalankan kedaulatannya yang merdeka dan mengawasi masyarakat dan harta bendanya dalam wilayah perbatasannya, mampu menyatakan perang dan damai, serta mampu mengadakan hubungan internasional dengan masyarakat internasional lainnya.

Dari komponen-komponen negara yang telah disebutkan di atas, wilayah suatu Negara merupakan komponen yang paling fundamental dari sisi hukum Internasional. Wilayah adalah batas kewenangan hukum (jurisdiksi) suatu negara terhadap Negara lain. Dalam hukum Internaional, wilayah suatu negara dibagi menjadi tiga kelompok besar yaitu wilayah laut, wilayah darat, dan wilayah udara. Hukum Internasional juga tidak memberi batasan tentang luas wilayah suatu negara, apakah negara tersebut memiliki luas wilayah yang sangat luas atau memiliki luas wilayah yang relatif kecil.

Bagian wilayah dari suatu negara yang paling banyak diperhatikan oleh para tokoh Hukum Internasional adalah wilayah laut. Hal ini dikarenakan laut adalah wilayah yang paling luas dan berpotensi ekonomi terbesar di seluruh dunia. Selain itu, wilayah laut merupakan wilayah negara yang paling rawan dari intervensi negara-negara lain khususnya negara-negara tetangganya. Sehingga laut sering diartikan sebagai suatu batas negara dengan negara lain dengan titik batas yag ditentukan melalui ekstradisi bilateral atau multilateral yang berarti pula merupakan batas kekuasaan dan kedaulatan suatu negara, sejauh garis terluar batas wilayahnya.

(4)

3

Dalam perkembangan hukum intenasional, kekuasaan negara-negara di seluruh dunia jadi memiliki batas yang tegas dan dengan demikian memiliki negara-negara tetangga yang jelas juga. Dari sistem kedaulatan yang seharusnya sudah jelas itu, tidak tertutup kemungkinan untuk menghasilkan suatu konflik atas nama perbatasan demi kedaulatan negara, meski hanya kurang dari puluhan kilometer persegi. Batas kekuasaan dan kedaulatan negara yang merupakan batas wilayah tersebut kemudian sangat dipegang erat, sehingga pelanggaran terhadap wilayah suatu negara dapat berakibat fatal, bahkan dapat menimbulkan kerenggangan hubungan, dan apabila berlarut-larut akan berakibat peperangan.

Sengketa regional antar negara tetangga merupakan isu yang cukup sering terdengar di hampir seluruh belahan dunia. Dimulai dari konflik yang tidak menggunakan kekerasan hingga perang atas nama kedaulatan. Negara-negara yang dapat dikatakan telah maju dan merupakan negra yang berpengaruh di kawasan Asia Timur pun tidak luput dari masalah perebutan wilayah ini.

Jepang dan China merupakan dua negara berkekuatan besar secara ekonomi maupun militer di kawasan Asia Pasifik. Namun, hubungan bilateral antara Jepang dan China dewasa ini sering mengalami ketegangan. Salah satu penyebabnya yaitu konflik teritorial di wilayah Laut China Timur yakni kepemilikan atas suatu kepulauan yang disebut Kepulauan Diaoyu dalam bahasa China (dengan nama lengkap Diaoyutai Qundao, 釣魚台群島) atau Senkaku dalam bahasa Jepang (dengan nama lengkap

Senkaku Shoto, 尖閣諸島) yang terdiri dari batu-batu karang dan pulau-pulau tak berpenghuni yang hanya seluas 7 km2.

Sebenarnya, konflik regional ini sudah berlangsung sejak lama, khususnya dimulai pada tahun 1969 setelah Economic Comission for Asia and Far East (ECAFE) melakukan survei dan menemukan potensi cadangan minyak dan gas yang cukup besar di sekitar perairan Kepulauan Diaoyu atau Senkaku. Penemuan ini membuat China dan Jepang sebagai negara yang berada sangat dekat dengan kawasan tersebut menjadi saling berebut atas kepemilikannya. Masing-masing negara terus berupaya untuk menunjukkan kedaulatannya atas wilayah tersebut dan sejak saat itu hubungan bilateral kedua negara kian lama kian menegang baik dari segi politik, ekonomi maupun militer. Meskipun sekarang konflik regional antara China dan Jepang ini memang tidak menyebabkan perang yang menggunakan kekerasan, tetapi sengketa ini dikhawatirkan akan

(5)

4

berdampak pada stabilitas ekonomi dan keamanan kawasan Asia Pasifik secara keseluruhan.

Berangkat dari latar belakang di atas, penyusun merasa perlu untuk menganalisis masalah teritorial antara Jepang dan China tersebut demi menambah pengetahuan yang lebih mengenai sengketa teritorial yang terjadi antara Jepang dan China, tentang hubungan kedua negara selama sengketa, upaya-upaya penyelesaian sengketa yang telah dilakukan maupun saran penyelesaian atas sengketa Kepulauan Diaoyu atau Senkaku tersebut.

Kepulauan Diaoyu atau Senkaku merupakan sebuah kepulauan yang terletak 170 km dari Taiwan, 330 km dari China, 170 km dari Ishigaki (Jepang) dan 410 km dari Okinawa (Jepang) di Laut China Timur, tepatnya berada pada garis koordinat 25°47′53″ Lintang Utara dan 124°03′21″ Bujur Timur, kepulauan ini hanya memiliki luas 7 km2.

Secara geografis, Kepulauan Senkaku berada di perairan Laut China Timur yang terletak sekitar 120 mil dari Taiwan, 120 mil dari dataran China dan 200 mil dari kota Naha, Okinawa Jepang Kepulauan ini terdiri dari kumpulan pulau kecil dan batu karang disekitarnya. Dengan hal tersebut menjadikan kepulauan Senkaku atau Diayou ini memiliki daya tarik berupa letaknya yang strategis karena berada di jalur pelayaran internasional yang sibuk serta memiliki populasi ikan yang besar, gas bumi dan juga diduga mengandung deposit minyak yang berlimpah.

Kepulauan Diaoyu atau Senkaku terdiri dari lima pulau besar dan tiga karang, dari lima pulau dan tiga karang yang ada di Kepulauan Diaoyu atau Senkaku tersebut, tidak satu pun dari semua itu yang berpenghuni, meski pun pada awal abad ke-20 sempat berpenghuni sekitar 200 jiwa yang merupakan pekerja untuk sebuah perusahan ikan makarel. Pulau-pulau dan karang-karang tersebut antara lain sebagai berikut:

5 pulau besar

1. Diaoyu Dao (釣魚島) atau Uotsuri Jima (釣魚島) 2. Chiwei Yu (赤尾嶼) atau Taisho Jima (大正島) 3. Huangwei Yu (黃尾嶼) atau Kuba Jima (久場島) 4. Bei Xiaodao (北小島) atau Kita Kojima (北小島) 5. Nan Xiaodao (南小島) atau Minami Kojima (南小島)

(6)

5

3 karang

1. Bei Yan (北岩) atau Kitaiwa (北岩) 2. Nan Yan (南岩) atau Minamiiwa (南岩) 3. Fei Jiao Yan (飛礁岩) atau Tobise (飛瀬)

Dalam sengketanya terhadap Kepulauan Diaoyu atau Senkaku, China dan Jepang memiliki klaim sejarah kepemilikan yang jauh berbeda. Dimana klaim-klaim tersebut memiliki pendekatan-pendekatan yang berfungsi sebagai dasar pendukung klaim keduanya.

1. Klaim Historis China

Berdasarkan klaim historisnya China menyatakan bahwa Kepulauan Diaoyu atau Senkaku telah masuk di dalam wilayah teritori China sejak dulu. Kepulauan ini ditemukan oleh China pada masa pemerintahan Dinasti Ming (1368-1644) dan sudah disebut dengan nama Diaoyu (釣魚). Jepang yang ketika itu masih berstatus sebagai negara fasal dari dinasti Ming mengakui bahwa Kepulauan Diaoyu atau Senkaku adalah wilayah kedaulatan Kekaisaran Ming. Maka dari itu, dalam bahasa Jepang, Kepulauan Diaoyu atau Senkaku disebut sebagai Uotsuri (釣魚) yang memiliki arti yang sama dengan nama dalam bahasa China, yaitu memancing ikan.

Menurut China, pengakuan Jepang terhadap kedaulatan China atas Kepulauan Diaoyu atau Senkaku tersebut dapat dilihat dari sebuah peta yang bernama Sangoku Tsuran Zusetsu, yang dibuat oleh Hayashi Shihei tahun 1785, pada masa berlangsungnya pemerintahan Tokugawa Shogunate. Dalam peta tersebut dijelaskan bahwa Kepulauan Diaoyu atau Senkaku bukan bagian dari Kerajaan Ryukyu yang telah dikuasai oleh Jepang. Selain itu di dalam peta yang diterbitkan oleh Pemerintah Jepang secara berturut-turut pada tahun 1874 dan 1877, tidak ada satu pun yang memasukkan Kepulauan Diaoyu atau Senkaku ke dalam wilayah Jepang.

China juga mengatakan bahwa Jepang mendapatkan haknya atas Kepulauan Diaoyu atau Senkaku adalah dikarenakan kemenangan Jepang atas China pada tahun 1894. Dengan kekalahan tersebut maka ditandatanganilah Perjanjian Shimonoseki yang menjadikan Taiwan dan Korea menjadi wilayah yang terbebas dari pengaruh Kekaisaran China. Sejak saat itu, Jepang mengambil-alih pemerintahan yang berlangsung di Taiwan, termasuk Kepulauan Diaoyu atau Senkaku tersebut.

(7)

6

Jepang kemudian mengklaim bahwa Kepulauan Diaoyu atau Senkaku ini merupakan teritori bebas, sehingga Jepang kemudian mengganti kekuasaan Kepulauan Diaoyu atau Senkaku dari di bawah Taiwan menjadi di bawah kekuasaan Nansei (Kepulauan Ryukyu) yang lebih dikenal dengan nama Okinawa. Sejak saat itu pula, nama Kepulauan Diaoyu mulai diganti menjadi Senkaku. Kepulauan Diaoyu atau Senkaku tetap berada dibawah kendali Jepang hingga berakhirnya Perang Dunia II.

Setelah itu terdapat perjanjian San Francisco pada tahun 1951 yang mengikat Jepang untuk mengembalikan semua wilayah jajahannya kepada pemiliknya yang sah. Dalam hal ini Taiwan merupakan salah satu wilayah yang akan dikembalikan. Namun yang terjadi adalah Taiwan memang dikembalikan kepada China tetapi kontrol atas Kepulauan Diaoyu atau Senkaku tidak dikembalikan kepada China seperti layaknya Taiwan, melainkan berada di bawah kontrol Amerika Serikat. Hal tersebut terjadi dikarenakan oleh kekuasaan atas Kepulauan Diaoyu atau Senkaku yang telah diubah, dari yang seharusnya di bawah Taiwan menjadi Okinawa. Berdasarkan perjanjian-perjanjian perdamaian tersebut China beranggapan bahwa Kepulauan Diaoyu atau Senkaku merupakan miliknya yang seharusnya dikembalikan juga oleh Jepang.

Pada akhirnya, China berpendapat bahwa didalam dokumen sejarah Jepang telah dijelaskan bahwa Kepulauan Diaoyu atau Senkaku merupakan bagian dari wilayah kedaulatan China. Dan China juga menyebutkan bahwa Kepulauan Senkaku dan Taiwan itu merupakan sebuah satu kesatuan dimana keduanya diserahkan kepada Jepang melalui sebuah aturan yang terdapat di dalam Perjanjian Shimonoseki.

Semua negara memiliki kemungkinan untuk memperoleh kekuasaan atas wilayah lainnya dikarenakan oleh perebutan dan atau penaklukan yang terjadi dalam perang, dan penaklukan ini biasanya menjadi pendudukan paling efektif terhadap sebuah wilayah. Seperti halnya yang dilakukan oleh Jepang, yang memperoleh kemenangan atas China pada perang China-Jepang tahun 1895, dan memperoleh kekuasaan atas Taiwan dan Kepulauan Diaoyu atau Senkaku. Namun, walau pun Jepang memperoleh pulau-pulau tersebut dengan cara penaklukan dan pendudukan, China menyatakan bahwa Jepang telah melepaskan kedaulatan pulau-pulau tersebut dengan Perjanjian San Francisco 1951. Dengan demikian, China menegaskan bahwa Jepang seharusnya tidak dapat lagi menggunakan teori pendudukan dan penaklukan sebagai pendukung atas klaimnya terhadap Kepulauan Diaoyu atau Senkaku saat ini.

(8)

7

2. Klaim Historis Jepang

Bertolak belakang dengan China, berdasarkan klaim historisnya Jepang dalam hal ini juga mengklaim bahwa Kepulauan Diaoyu atau Senkaku merupakan miliknya. Jepang telah menemukan kepulauan ini pada tahun 1885. Ketika itu Jepang mengadakan beberapa penelitian dan pameriksaan di Kepulauan Diaoyu atau Senkaku dan menyimpulkan bahwa tidak ada satu pun bukti maupun fakta yang menunjukkan adanya kekuasaan dan kepemilikan China terhadap kepulauan tersebut, oleh karena itu, Jepang akhirnya menyatakan bahwa kepulauan Senkaku merupakan sebuah kepulauan yang tidak bertuan.

Oleh karena itu, Jepang kemudian menduduki kepulauan tersebut dan memilikinya sesuai dengan hukum terra nullius. Hukum terra nullius ini menyatakan apabila terdapat sebuah wilayah tanpa kepemilikan maka hal ini terbuka untuk diambil. Maka dalam kasus ini negara yang terlebih dahulu menduduki wilayah tersebut dapat dikatakan menjadi pemiliknya. Lalu sepuluh tahun kemudian yaitu pada tahun 1895 Jepang memasukkan Kepulauan Diaoyu atau Senkaku ke dalam perfektur Okinawa. Berdasarkan pernyataan yang dikeluarkan oleh pemerintah Jepang saat itu, Kepulauan Diaoyu atau Senkaku resmi menjadi milik Jepang.

Selain itu, sesuai dengan perjanjian San Francisco (pasca berakhirnya Perang Dunia II), disebutkan bahwa Jepang akan mengembalikan wilayah-wilayah jajahannya. Dalam hal ini memang disebutkan bahwa Jepang akan mengembalikan wilayah Taiwan kepada China. Namun, Kepulauan Diaoyu atau Senkaku tidak tercantum di dalam perjanjiannya sehingga dalam hal ini Jepang merasa tidak harus mengembalikan kepulauan tersebut kepada China. Oleh karena itu menurutnya Kepulauan Diaoyu atau Senkaku bukanlah bagian dari Taiwan yang harus dikembalikan, melainkan kepulauan yang telah menjadi bagian dari wilayah Jepang sebelum peperangan antara China dan Jepang terjadi.

Berdasarkan pendapat dari masing-masing pihak yang berbeda tersebut dapat dilihat bahwa China dan Jepang memiliki perbedaan klaim yang cukup mendasar pada sejarah kepemilikannya. Selain perebutan sumber cadangan minyak dan gas di sekitar kepulauan tersebut serta perbedaan klaim historis di atas, faktor lain yang melatarbelakangi sengketa kepulauan Diaoyu atau Senkaku yaitu perbedaan paham garis perbatasan laut di Laut China Timur (the East China Sea) antara Jepang dan China yang hingga kini belum dicapai kesepakatan bersama. Walau keduanya sama-sama

(9)

8

meratifikasi Konvensi PBB tentang Hukum Laut (UNCLOS) 1982, tetapi mereka membangun pemahaman sendiri yang belum tuntas dibicarakan. Jepang mengusulkan pembagian wilayah berdasar garis tengah di zona ekonomi eksklusifnya (berjarak 200 mil dari garis dasar/baseline), sedangkan China mengacu pada kelanjutan alamiah dari landas kontinennya berjarak di luar 200 mil.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, maka dapat dirumuskan beberapa masalah sebagai berikut:

1. Bagaimana posisi China maupun Jepang selama sengketa berlangsung? 2. Bagaimana hubungan antara kedua pihak selama sengketa berlangsung?

3. Apa saja upaya penyelesaian sengketa yang telah dilakukan antara China dan Jepang?

(10)

9

BAB II

METODE PENELITIAN

Metode penelitian dalam sebuah penelitian mempunyai peranan yang sangat penting karena dapat dipergunakan sebagai pedoman guna mempermudah dalam mempelajari, menganalisa dan memahami permasalahan yang sedang diteliti. Sehingga akan mendapatkan suatu kesimpulan yang sesuai dengan hasil penelitian yang diharapkan.

A. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang akan digunakan pada penelitian ini adalah jenis penelitian normatif yang merupakan jenis penelitian yang menganalisa suatu permasalahan hukum atau isu hukum dengan cara meneliti bahan pustaka atau perundang-undangan, keputusan pengadilan, dan pendapat para ahli yang dapat digunakan sebagai acuan untuk memecahkan suatu permasalahan hukum atau isu hukum yang berhubungan dengan penelitian.

B. Metode Pendekatan

Pendekatan yang digunakan alam penelitian ini adalah:

1. Pendekatan konseptual (conceptual approach) yaitu pendekatan yang dilakukan dengan cara mengkaji konsep-konsep dan pandangan dari para ahli yang berhubungan dengan permasalahan yang dibahas.

2. Pendekatan Historis (historical approach) yaitu pendekatan yang dilakukan untuk memahami filosofi aturan hukum dari waktu ke waktu, serta memahami perubahan dan perkembangan filosofi yang melandasi aturan hukum tersebut. Cara pendekatan ini dilakukan dengan menelaah latar belakang dan perkembangan pengaturan mengenai isu hukum yang dihadapi.

C. Bahan Hukum

Bahan hukum yang digunakan mencakup beberapa hal:

1. Bahan hukum sekunder adalah bahan hukum yang terdiri atas buku-buku teks yang ditulis oleh para ahli hukum, jurnal hukum dan pendapat para sarjana yang berkaitan

(11)

10

dengan sengketa ini dalam hal ini termasuk juga hukum laut Internasional yakni yang terdapat dalam UNCLOS 1982.

2. Bahan hukum tersier adalah bahan hukum yang didapatkan dari kamus hukum, ensiklopedia dan lain-lain.

D. Teknik dan Alat Pengumpulan Bahan Hukum

Teknik dan alat pengumpulan bahan hukum dalam penelitian ini adalah teknik studi kepustakaan. Artinya menggunakan penelitian di kepustakaan terhadap berbagai macam literatur-literatur dan bahan-bahan hukum untuk menjawab permasalahan yang diteliti.

E. Pengolahan dan Analisis Bahan Hukum

Pengolahan dan analisis bahan hukum yang dipakai dalam penelitian adalah yuridis normatif yaitu menganalisis data yang berupa uraian dalam bentuk narasi, dokumen tertulis, cerita, atau bentuk-bentuk non angka lainnya yang diperoleh melalui studi kepustakaan. Untuk memperoleh kejelasan dalam masalah yang ditentukan digunakan metode deskriptif yaitu menyajikan dan menafsirkan fakta secara sistematis sehingga lebih mudah dipahami dan disimpulkan.

(12)

11

BAB III

PEMBAHASAN

A. Posisi China dan Jepang selama Sengketa Berlangsung

Tentu sangat tidak mudah menyelesaikan permasalahan sengketa regional apabila kedua belah pihak yang berkonflik tetap teguh pada pendirian masing-masing yang berlawanan satu dengan yang lain. China dan Jepang dalam hal ini kemudian mengambil langkah yang normatif, yaitu mempertahankan status quo, yang menjadikan posisi China dan Jepang tidak mampu mengeksplorasi kekayaan alam yang ada di wilayah Kepulauan Diaoyu atau Senkaku tanpa persetujuan dari kedua belah pihak.

Jika ditinjau dari sejarah sengketa regional, tentu Kepulauan Diaoyu atau Senkaku sudah seharusnya tidak perlu dipermasalahkan lagi kedudukannya, karena fakta sejarah cenderung menunjukan bahwa China adalah penguasa pertama di kepulauan tersebut. Nama-nama yang bahkan dipakai oleh Jepang hingga saat ini masih banyak berhubungan dengan nama-nama yang diklaim oleh China, dengan perbedaan cara penyebutan. Jepang dalam hal ini menggunakan alasan bahwa legitimasinya atas Kepulauan Diaoyu atau Senkaku berawal dari keterlantaran kepulauan tersebut, dan dalam hal ini Jepang diperkuat dengan kemenangan atas Perang China-Jepang pertama pada tahun 1894-1895 yang menjadikan Jepang memiliki kekuasaan atas Taiwan beserta wilayah-wilayah yang meliputinya, termasuk Kepulauan Diaoyu atau Senkaku.

Jika Taiwan dan wilayah-wilayah sekitar Taiwan dikembalikan kepada China pada tahun 1945, seharusnya Kepulauan Diaoyu atau Senkaku yang diganti posisi superordinasinya dari Taiwan menjadi Okinawa seharusnya dikembalikan lagi ke posisi awal sebelum Perjanjian Shimonoseki ditandatangani.

Dari kerancuan ini dapat diperkuat bahwa sebenarnya posisi Jepang dalam sengketa Kepulauan Diaoyu atau Senkaku ini didasari oleh ketidakadilan pihak Jepang maupun negara sekutu, dalam hal ini Amerika Serikat, dalam menempatkan Kepulauan Diaoyu atau Senkaku yang pernah diganti yurisdiksinya menjadi ke posisi awal. Padahal, secara geografis tampak jelas bahwa jarak antara Kepulauan Diaoyu atau Senkaku dengan Okinawa (410 kilometer) dan Taiwan (180 kilometer) tentu lebih mendukung untuk diserahkan kepada China.

(13)

12

Di balik ketidakadilan Jepang dan Amerika Serikat terhadap pemahaman historiografi yang dimiliki oleh China, perlu diperhatikan juga sikap pemerintah China hingga sebelum tahun 1971 yang cenderung menerima keadaan bahwa Kepulauan Diaoyu atau Senkaku adalah milik Jepang, yang pada saat kekalahan Jepang diduduki oleh Amerika Serikat. Sikap yang terkesan defensif ini memperlemah posisi China dalam pengambilalihan Kepulauan Diaoyu atau Senkaku di era kini, mengingat China bahkan menyatakan secara terang-terangan di media massa lokal pada tahun 1953, bahwa Kepulauan Diaoyu atau Senkaku merupakan wilayah negara lain.

Tidak heran jika kemudian Jepang menyebutkan bahwa China hanya ingin merebut kedaulatan Jepang melalui klaim sepihak atas Kepulauan Diaoyu atau Senkaku. Hal tersebut diperkuat oleh temuan fakta yang menyatakan bahwa China sebelum menemukan ladang minyak bumi di Kepulauan Diaoyu atau Senkaku yang ditemukan pada akhir tahun 1970, masih mengakui kedaulatan Jepang atas Kepulauan Senkaku, misalnya tulisan artikel koran Renmin Ribao pada tahun 1953 yang menyatakan bahwa Kepulauan Diaoyu (yang disebut dengan nama Jepang, Senkaku) merupakan wilayah yang berada di bawah kekuasaan Amerika Serikat, yaitu Okinawa.

Alasan tersebut beralasan, mengingat sewaktu Jepang menandatangani pernyataan menyerah tanpa syarat kepada negara-negara sekutu (Amerika Serikat, Inggris Raya, Perancis, Uni Soviet, dan Republik Cina), China pada saat itu tidak mempermasalahkan Kepulauan Diaoyu atau Senkaku yang masih berada di bawah kekuasaan Okinawa. Kesalahan Republik China tersebut dijadikan alasan yang sangat kuat bagi Jepang bahwa China tidak pernah berkontribusi apapun atas Kepulauan Diaoyu atau Senkaku, sehingga sudah selayaknya Jepang yang memiliki kekuasaan atas kepulauan tersebut.

Kesalahan fatal ini terkesan terlambat ketika China mulai mengambil sikap agresif terhadap keputusan Amerika Serikat yang menyatakan bahwa Kepulauan Diaoyu atau Senkaku adalah milik Jepang di bawah kekuasaan Okinawa. Pada akhirnya, kelemahan-kelemahan yang dibuat oleh pemerintah China sendirilah yang menyebabkan tidak kuatnya posisi China dalam mengambil alih Kepulauan tersebut.

Di tinjau dari segi faktor sosio-ekonomis, China dan Jepang jelas memiliki kepentingan yang sangat tinggi atas Kepulauan Diaoyu atau Senkaku, mengingat cadangan minyak bumi yang diperkirakan melimpah di daerah tersebut, di tengah dua negara yang miskin sumber daya alam dan haus akan kebutuhan energi. Dari hal

(14)

13

tersebut, tampak jelas bahwa posisi China dan Jepang tampak seperti dua negara yang sedang memperebutkan bukan hanya kedaulatan, melainkan faktor ekonomi yang membayangi dari Kepulauan Diaoyu atau Senkaku tersebut.

B. Hubungan China dan Jepang Selama Sengketa Berlangsung

Sengketa Kepulauan Diaoyu atau Senkaku antara China dan Jepang ini memiliki dampak besar bagi hubungan kedua negara yang kian lama kian menegang, baik dibidang politik, ekonomi, militer kedua negara. Hingga sekarang sudah banyak peristiwa yang menggambarkan ketegangan antara Cina dengan Jepang akibat Kepulauan Diaoyu atau Senkaku ini.

Pada tahun 1996 merupakan saat ketika ketegangan hubungan kedua negara kembali meningkat. Hal ini dimulai pada bulan Juni ketika Jepang mulai melakukan delimitasi atas Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) di sekitar Kepulauan Diaoyu atau Senkaku.

Selanjutnya pada bulan Juli, Jepang membangun sebuah mercusuar pada Pulau Uotsurijima yang merupakan salah satu pulau dari Kepulauan

Diaoyu atau

Senkaku. Hal tersebut telah memicu kemarahan besar bagi C

h

ina. Isu tentang pembangunan mercusuar tersebut membuat hubungan bilateral kedua negara memanas. Hal ini membuat para aktivis dari Taiwan dan Hongkong berlayar menuju kepulauan. Meski mendapat penjagaan ketat dari Jepang, para aktivis tetap berupaya mendekati pulau. Untuk menghindari para penjaga pantai Jepang mereka memilih mendekati pulau dengan cara berenang. Hingga satu dari para aktivis yang bernama David Chan dinyatakan tewas karena tenggelam. Peristiwa tersebut membuat hubungan China dan Jepang semakin memburuk. Namun pada peristiwa tersebut kedua negara masih berinisiatif untuk meredam ekskalasi konflik. China meredam aksi protes di tingkat domestik, dan Jepang menunda pengakuan atas mercusuar yang dibangunnya.

Pada 1997, di Laut Cina Timur terjadi baku hantam antara penjaga pantai Jepang dengan para demonstran dari Hongkong yang membawa dua puluh kapal berupaya untuk mencapai kepulauan Senkaku. Demonstrasi yang dilakukan terhadap pengklaiman Kepulauan Diaoyu atau Senkaku tidak hanya terjadi pada tahun 1997an tetapi terjadi juga pada awal 2000 sampai dengan sekarang.

Pada Maret 2004 beberapa aktivis China menancapkan bendera China di Kepulauan Diaoyu atau Senkaku, atas perbuatannya, beberapa aktivis ini ditangkap dan

(15)

14

ditahan oleh tentara Jepang. Demi menjaga hubungan bilateral diantara kedua negara tersebut, pada akhirnya Jepang membebaskan dan memulangkan aktivis-aktivis tersebut ke negara asalnya.

Selain itu, hubungan kedua negara semakin mengalami ketegangan setelah adanya respon Pemerintah Jepang pada tahun 2005 mengenai ijin eksplorasi gas alam oleh Japan Petroleum Exploration Co dan Teikoku Oil Co disekitar Laut China Timur. Hal ini mengakibatkan reaksi protes Pemerintah China dan menganggap bahwa pemerintah Jepang telah mengambil langkah provokasi dan memaksakan secara sepihak atas Kepulauan tersebut.

Ketegangan kembali terjadi ketika Japan's Maritime Safety Agency menempatkan kapal patroli dan mengawasi pulau tersebut dengan helikopter dengan tujuan untuk melindungi wilayah teritorialnya terhadap kapal-kapal patroli China yang berada disekitar Kepulauan Diaoyu atau Senkaku pada Januari 2009.

Pada September 2010 Jepang menahan 14 orang awak kapal Cina beserta kaptennya yang menabrak dua kapal penjaga pantai Jepang disekitar Kepulauan Diaoyu. Penangkapan tersebut mendapatkan reaksi dari Pemerintah China yang kembali melayangkan nota protes terhadap Pemerintah Jepang dan menuntut agar Jepang segera melepaskan kapten kapal nelayan China tanpa syarat. Insiden ini akhirnya menimbulkan masalah serius dalam hubungan diplomatik kedua negara karena Jepang menolak untuk membebaskan para kru kapal tersebut. Pemerintah Jepang menyatakan bahwa penangkapan kapal nelayan China tersebut berdasarkan hukum nasional Jepang dan secara resmi dibawah Perfektur Okinawa.

Insiden ini kemudian memicu ketegangan diplomatik yang serius. Aksi protes anti-Jepang terjadi di sejumlah kota di China. Hal ini berlanjut pada pembatalan sepihak yang diumumkan oleh Pemerintah China terkait keberangkatan 1000 pelajar Jepang yang ingin melakukan kunjungan di EXPO Shanghai, China. Akhirnya, Jepang membebaskan semua awak kapal pukat China, pertama 14 awak kapal, lalu kapten kapal beberapa hari setelahnya.

Presiden Hu Jintao juga turut menunjukkan sikap perlawanannya terhadap Jepang, yaitu dengan membatalkan semua pertemuan formal dengan Jepang pada tingkat kementerian. Bahkan, China memutuskan untuk menghentikan ekspor barang tambang rare earth mineral (REM) ke Jepang. Selanjutnya, Cina juga melarang

(16)

15

penerbangan internasional dari Jepang menuju ke wilayahnya, yang tentu saja mengganggu produktivitas para pengusaha Jepang yang memiliki kepentingan di China. Hal ini juga mengganggu ekonomi domestik Jepang yang bertumpu pada ekspor dengan China sebagai mitra dagang nomor satu.

Pada April 2012, ketegangan kembali terjadi setelah Gubernur Tokyo Shintaro Ishihara menyatakan akan menggunakan uang publik untuk membeli pulau-pulau tersebut dari pemilik swasta Jepang. Sekelompok aktivis Hongkong berlayar ke pulau-pulau itu bulan Agustus. Mereka ditahan aparat Jepang dan dikirim kembali ke Hongkong. Beberapa hari kemudian, aktivis nasionalis Jepang juga mendarat di kepulauan itu.

Pemerintah Jepang kemudian mencapai kesepakatan dengan membeli tiga pulau dari pemilik swasta Jepang yaitu Pulau Uotsurijima, Kitakojima, dan Minamikojima. Langkah ini membuat China marah. Sejumlah aksi protes digelar di beberapa kota di China, menyebabkan operasi sejumlah perusahaan Jepang di China terhenti. Sejak itu, kapal Pemerintah China berlayar masuk dan keluar dari wilayah sengketa.

Hingga akhirnya pada tanggal 26 April 2013, Juru Bicara Menteri Luar Negeri China dalam konferensi pers mengeluarkan pernyataan bahwa Kepulauan Senkaku merupakan salah satu core interest dari China. Ini berarti bahwa negosiasi yang digunakan sebagai salah satu upaya penyelesaian sengketa akan semakin sulit tercapai.

C. Upaya Penyelesaian Sengketa yang telah Dilakukan antara China dan Jepang

Upaya penyelesaian sengketa Kepulaan Diaoyu atau Senkaku yang telah dilakukan Jepang dan China sehingga dapat meminimalisir terjadinya konflik yang semakin menegang antara kedua pihak antara lain dalam bentuk negosiasi. Negosiasi merupakan cara penyelesaian sengketa yang paling mendasar (langkah awal penyelesaian sengketa) yakni melalui proses pertukaran pandangan dan usul-usul diantara kedua pihak agar dapat menyelesaikan sengketa secara damai.

Negosiasi-negosiasi yang ditempuh oleh Jepang dan China demi menyelesaikan sengketa Kepulauan Diaoyu atau Senkaku dimulai sejak tahun 1997 ketika China dan Jepang pertama kali bertemu dalam membahas membahas perjanjian perikanan antara China dan Jepang di Laut China Timur sejak hubungan kedua negara kembali memanas. Dalam pertemuan tersebut Cina, Jepang, dan Korea Selatan membicarakan terkait pembagian zona atau wilayah untuk memancing dari masing-masing negara. Saat itulah

(17)

16

Jepang mulai mengajukan untuk menyelesaikan sengketa berdasar pada garis meridian antara kedua negara. Namun penyelesaian sengketa yang diajukan oleh Jepang tidak bisa diterima oleh China. Karena dalam pertemuan tersebut yang akan dibahas adalah mengenai perjanjian perikanan tanpa memandang permasalahan hukum lainnya. Sehingga dalam hal ini upaya penyelesaian sengketa belum bisa terlaksana.

Selanjutnya Cina dan Jepang kembali bertemu untuk membahas permasalahan antara kedua negara di perbatasan dalam konsultasi atas hukum laut dan delimitasi ZEE tahun 1998. Dalam pertemuan tersebut kedua negara berupaya menyelesaikan sengketa melalui delimitasi ZEE. Akan tetapi kedua negara masih bersikeras pada posisinya masing-masing. China bersikeras bahwa ia menggunakan asas natural prolongation

dalam menentukan batas kedaulatan terluar negaranya. Namun berbeda dengan China, Jepang memilih untuk membagi wilayah tersebut menjadi dua bagian sesuai dengan garis equidistance. Karena perbedaan pendapat inilah maka upaya penyelesaian sengketa melalui delimitasi ZEE tidak bisa lagi dilanjutkan. Oleh karena itu keduanya memutuskan untuk kembali bertemu pada tahun 2004. Pertemuan yang berlangsung hingga tahun 2008 tersebut pada akhirnya disepakati oleh kedua negara dengan kesepakatan akan dilakukannya joint development di Laut Cina Timur.

Upaya negosiasi Joint Agreement Developement yang disepakati pada tahun 2008 ini dilakukan secara bertahap melalui berbagai kesepakatan diantaranya Japan – China Joint Press Statement pada bulan April 2007, kerangka dasar “Sea of Peace. Cooperation and Friendship” pada Desember 2007, yang merupakan komitmen untuk menjadikan Laut China Timur dalam kerangka damai, kerjasama dan persahabatan serta “Priciple Concensus” yang merupakan kesepakatan bahwa pelaksanaan negosiasi tersebut dilaksanakan atas dasar prinsip saling menguntungkan atau mutual benefit pada tahun 2008.

Joint Press Statement merupakan pengumuman resmi yang dibuat oleh kedua negara untuk mengurangi ketegangan yang diakibatkan oleh Kepulauan Diaoyu atau Senkaku. Selain itu kedua negara juga menenkankan adanya keinginan kedua negara untuk menyelesaikan masalah-masalah yang berhubungan dengan sejarah, seperti diketahui bahwasannya Jepang dan China memiliki sejarah yang saling berhubungan. Dalam tragedi Manchuria terdapat lebih dari 20.000 masyarakat sipil dan tahanan perang yang dieksekusi oleh Jepang. Hal tersebut merupakan salah satu faktor dalam akar konflik yang terjadi dalam sengketa kepulauan Diaoyu atau Senkaku.

(18)

17

Kedua negara juga membentuk kesepakatan bersama dalam menangani isu atau sengketa kepulauan Senkaku yang tertak di Laut China Timur dengan membentuk “Sea of Peace. Cooperation and Friendship”. Kerangka dasar tersebut menjadi dasar upaya kedua negara untuk mengadakan perjanjian pengelolaan bersama (Joint Development), sampai kedua negara dapat menetapkan kesepakatan delimitasi akhir berdasarkan pada prinsip-prinsip saling menguntungkan atau mutual benefit principles.

Proses awal negosiasi dalam Joint Development Jepang – China, ialah dengan membentuk dan mengadakan penelitian letak stategis titik-titik pengelolaan bersama yang dapat di capai oleh kedua belah pihak. Selain itu, kedua negara juga berupaya untuk mempercepat proses konsultasi dan data yang konkrit nantinya akan menjadi asas atau prinsip dalam kerjasama pengelolaan bersama Joint Development.

Upaya penyelesaian sengketa Kepulauan Diaoyu atau Senkaku antara Jepang dan China kembali dibahas dalam kunjungan Presiden China- Hu Jianto dengan Perdana Menteri Jepang Yasuo Fukuda pada tanggal 7 Mei 2008 dan disebut dengan “Priciple Concensus”, dimana kedua negara menyepakati beberapa hal.

Pertama, China dan Jepang sepakat untuk menyelesaikan perselisihan teritorial dan menyelesaikan perbedaan mengenai eksploitasi ladanag gas alam di Laut China Timur. Jepang menyatakan bahwa ladang gas tersebut seharusnya dikelola bersama tidak hanya China yang memanfaatkannya. Dalam pertemuan tersebut Jepang mengharapkan penyelesaikan konflik dapat dilakukan dengan upaya melakukan kerjasama perjanjian pengembangan bersama atau Joint Agreement.

Kedua, Jepang dan China sepakat untuk mengadakan pertemuan puncak tahunan untuk meredakan ketegangan antara China dan Jepang yang telah berlangsung lama dan sebagai akibat dari konflik Kepulauan Diaoyu atau Senkaku. Hal ini merupakan suatu bentuk upaya positif yang dilakukan kedua negara, karena dengan diadakannya pertemuan rutin kedua negara dapat memperat hubungan diplomatik dan meningkatkan rasa persahabatan tidak hanya dari segi Pemerintah tetapi juga masyarakat kedua negara.

Ketiga, China dan Jepang juga menyepakati untuk melihat hubungan kedua negara lebih positif dengan tidak melihat masing-masing pihak sebagai ancaman. Hal ini penting dilakukan oleh kedua negara karena dengan upaya tersebut kedua belah pihak dapat mengurangi tingkat permusuhan yang telah berlangsung dan dapat meletakkan dasar-dasar hubungan bilateral antara kedua negara. Selain itu, dengan mempertahankan hubungan baik antara kedua negara, tidak hanya merupakan

(19)

18

kepentingan antara Jepang dan China tetapi juga kepentingan kawasan, dimana Jepang dan China merupakan salah satu negara yang mempunyai Power baik secara ekonomi ataupun politik di kawasan Asia.

Sebagai rangkaian dari upaya untuk menyelesaikan permasalahan di Laut China Timur maka pada tanggal 18 Juni 2008 Jepang dan China mencapai suatu kesepakatan. Kesepakatan yang dicapai ialah perjanjian blok pengelolaan bersama yang akan dilakukan di atas ladang minyak dan gas Shirakaba (Chunxiao). Lapangan gas tersebut merupakan salah satu lapangan gas yang telah dikelola oleh perusahan China, dalam kesepatan tersebut Perusahaan China menyambut baik pastisipasi Badan Hukum Jepang dalam pengembangan lapangan migas tersebut. Kerjasama tersebut diwakili oleh perusahaan minyak terbesar di China yaitu Petro China dan perusahaan Jepang, Jepang National Oil Corporation (JNOC). Prosedur dan asas-asas yang berlaku dalam pengembangan pengelolaan bersama di lapangan gas Shirakaba (Chunxiao) berdasarkan pada Undang-undang China tentang kerjasama dengan perusahaan asing dalam eksploitasi dan eksplorasi sumber daya minyak bumi di lepas pantai.

Akan tetapi tidak lama setelah pernyataan masing-masing negara dengan akan dilaksanakannya joint development, dari pihak China terlihat cenderung pasif meski Jepang telah berulangkali memberikan dorongan sehingga joint development ini pada akhirnya terbengkalai hingga tahun 2010.

Selain itu, pertemuan antara China dan Jepang juga dilakukan dalam sidang umum PBB di New York, Amerika Serikat pada tanggal 25 September 2012. Dalam pertemuan tersebut, kedua Menteri Luar Negeri saling mempertahankan klaim mereka satu sama lain terhadap kepulauan yang disebut Diaoyu oleh China dan Senkaku oleh Jepang. Pertemuan tersebut tidak lah menemukan penyelesaian dalam konflik antara kedua negara tersebut.

Maka dalam perkembangannya, tidak ada kemajuan signifikan yang telah dicapai kedua negara sebagai hasil dari berbagai upaya penyelesaian sengketa tersebut di atas, sehingga mengakibatkan hubungan kedua negara menjadi semakin memburuk.

D. Saran Penyelesaian Sengketa

Melihat berbagai negosiasi yang telah diupayakan oleh kedua negara yang bersengketa ini selalu berujung pada kegagalan, maka terdapat dua kemungkinan cara China dan Jepang menyelesaikan sengketanya atas Kepulauan Diaoyu atau Senkaku,

(20)

19

yaitu melalui jalur perang ataukah melalui jasa Mahkamah Internasional. Namun penyelesaian sengketa antara China dan Jepang ini sebaiknya melalui Mahkamah Internasional, mengingat bahwa terdapat hukum Internasional yang melarang negara untuk menggunakan jalur kekerasan (perang) dalam menyelesaikan masalahnya demi menjaga kedamian dunia. Tetapi perlu diingat bahwa Mahkamah Internasional hanya bisa memproses kasus itu jika mendapatkan persetujuan dari kedua pihak yang bersengketa.

Namun, jika penyelesaian sengketa perebutan Kepulauan Diaoyu atau Senkaku antara China dan Jepang sampai dilakukan melalui Mahkamah Internasional, maka kemungkinan Jepang untuk memenangkan perkara tersebut sangat besar. Hal ini jika dianalisis berdasarkan pertimbangan efektifitas Jepang atas kepulauan tersebut lebih jelas dan dalam periode yang lama, yaitu sejak tahun 1895 hingga tahun 1940, sudah ada pabrik Katsuobushi (pengelupasan/penyerutan ikan) milik orang Jepang, dan pada tahun 1978 kelompok nasional Jepang Nihonseinensha membangun Mercusuar di pulau Uotsuri Jima. Kemudian Japan Coast Guard (Pasukan Perairan Jepang) mulai mengambil alih penjagaan atas pulau tersebut.

Selanjutnya adalah berdasarkan fakta bahwa letak Kepulauan Diaoyu atau Senkaku yang berada di ujung continental shelf Laut China Timur menjadikan kepemilikan kepulauan ini menjadi penting untuk menggambarkan perbatasan maritim antara China dan Jepang. Di samping itu juga China dan Jepang sama-sama merupakan negara yang berpartisipasi dalam the United Nations Convention on the Law of the Sea of 1982 (UNCLOS), yang menekankan bahwa kepulauan adalah faktor yang menentukan untuk pengklaiman Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) yang memberikan priviliges

pengelolaan sumber daya alam yang terdapat di wilayah tersebut.

Walau kedua negara tersebut sama-sama meratifikasi Konvensi PBB tentang Hukum Laut (UNCLOS) 1982, tetapi mereka membangun pemahaman sendiri yang belum tuntas dibicarakan. Dalam hal ini, Jepang mengusulkan pembagian wilayah berdasar garis tengah di zona ekonomi eksklusifnya (berjarak 200 mil dari garis dasar/baseline), sedangkan China mengacu pada kelanjutan alamiah dari landas kontinennya berjarak di luar 200 mil. Perbedaan paham garis perbatasan laut di Laut China Timur (the East China Sea) antara Jepang dan China tersebut hingga kini belum mencapai kesepakatan bersama.

(21)

20

Terlepas dari perbedaan paham antara Jepang dan China di atas, Hukum Laut Internasional (United Nation Convention Law of the Sea/UNCLOS) tahun 1982 memiliki pandangan yang berbeda. Berdasarkan fakta hukum yang ditemukan dalam beberapa kasus sebelumnya yang serupa dengan kasus yang tengah melibatkan Cina-Jepang, Indonesia-Malaysia bisa dijadikan contoh salah satu sengketa mengenai batas wilayah dan klaim kedaulatan yang berada dalam yurisdiksi internasional seperti Hukum Laut Internasional (United Nation Convention Law of the Sea/UNCLOS) yang terdiri dari 390 pasal dan 9 annex setelah berlaku entry into force negara ke-60 yang meratifikasi konvensi hulum laut internasional tersebut. Dalam gagasan yang disampaikan pada saat konvensi hukum laut PBB ke-3 tersebut memberikan keuntungan kepada negara-negara yang tidak memiliki kesatuan utuh wilayah kedaulatannya dapat menarik batas wilayah yang lebih jauh dari negara-negara yang memiliki satuan daratan umum yang lebih luas daripada wilayah kepulauan. Dalam gagasan tersebut memunculkan dua kesimpulan dan nomenklatur hukum yang berupa Negara kepulauan dan Negara pantai.

Negara kepulauan yang merupakan wilayahnya terdiri dari gugusan pulau-pulau yang tidak menyatu seperti Jepang berdasarkan UNCLOS berhak menarik batas wilayah lebih jauh yakni sejauh 200 Mil dari garis pantai pulau terluar yang ada diwilayah tersebut. Sedangkan, China yang bukan merupakan negara kepulauan hanya berhak mematok batas wilayah dari pulau terluar sejauh 12 Mil. Ditinjau dari hukum laut internasional yang keberlakuannya mengikat umum ini jelas Jepang secara sederhana dapat dikatakan sebagai pemilik shahih atas kedaulatan wilayah tersebut. Mengingat, jarak Kepulauan Senkaku yang diklaim Jepang adalah 200 Mil dan masih dalam batas hukum laut internasional. Sedangkan, China melalui kepulauan terluarnya hanya berjarak 12 Mil untuk dapat menarik batas wilayah kedaulatannya. Artinya, kedaulatan Kepulauan Diaoyu atau Senkaku secara yuridis normatif berdasarkan Konvensi Hukum Laut Internasional merupakan bagian dari kesatuan wilayah kedaulatan Jepang. Oleh karena itu dalam penarikan batas wilayah laut Cina dalam hal ini garis pangkal dan titik dasar dapat didasarkan pada pasal–pasal Konvensi 1982 antara lain: (a) Pasal 5 (garis pangkal biasa), (b) Pasal 6 (karang), (c) Pasal 7 (garis pangkal lurus), (d) Pasal 8 (mulut sungai), (e) Pasal 10 (teluk), (f) Pasal 11 (pelabuhan) dan Pasal 13 (elevasi surut).

Selain itu ada beberapa bukti yang menunjukkan kedaulatan Jepang atas pulau tersebut, yaitu, 1) Sebuah surat resmi tertanggal 20 Mei 1921, dikirimkan oleh Konsul Cina di Nagasaki, Feng Mien, kepada pemerintah Jepang bahwa atas nama Pemerintah China, dia mengakui kepulauan Senkaku sebagai bagian dari Jepang dengan merujuk

(22)

21

penulisan kata-kata “Senkaku Islands, Yaeyama District, Okinawa Prefecture, the Empire of Japan". Surat resmi itu bisa dilihat di Museum Yaeyama, di Okinawa, Jepang, 2) Koran harian China, The People's Daily, yang jelas merupakan organ Komite Pusat Partai Komunis China (CPC), pada tahun 1953, beberapa kali pernah menuliskan bahwa kepulauan Senkaku merupakan bagian dari kekuasaan Jepang, 3) Sebuah buku geografi yang diterbitkan pemerintah Taiwan tahun 1970 dengan sangat jelas memperlihatkan bahwa kepulauan Senkaku adalah milik kekuasaan Jepang, 4) Sidang Keamanan PBB tanggal 20 Mei 1972 memutuskan Amerika Serikat mengembalikan Okinawa termasuk pulau Senkaku (China menyebut pulau Diaoyu) kepada Jepang, 5) Mantan Presiden Republik China, Lee Teng-hui, seperti dikutip koran Taipei Times tanggal 6 September 2009, mengatakan bahwa kepulauan Senkaku dianggap sebagai bagian dari Okinawa.

(23)

22

BAB IV

PENUTUP

A. Simpulan

Jika ditinjau dari fakta dan bukti-bukti sejarah, maka dalam sengketa regional Kepulauan Diaoyu atau Senkaku ini cenderung menunjukan bahwa China adalah penguasa pertama di kepulauan tersebut. Namun, kemudian posisi Jepang diuntungkan dengan penandatangan Perjanjian Shimonoseki tahun 1894 serta Perjanjian San Frasisco tahun 1951 yang menjadikan Kepulauan Diaoyu atau Senkaku menjadi dibawah kekuasaan Jepang khususnya prefektur Okinawa. Meskipun sebenarnya posisi Jepang dalam sengketa ini didasari oleh ketidakadilan pihak Jepang maupun negara sekutu, dalam hal ini Amerika Serikat, namun perlu diperhatikan juga sikap pemerintah China hingga sebelum tahun 1971 yang cenderung menerima keadaan bahwa Kepulauan ini adalah milik Jepang. Pada akhirnya, kelemahan-kelemahan yang dibuat oleh pemerintah China sendirilah yang menyebabkan tidak kuatnya posisi China dalam mengambil alih kepulauan tersebut.

Sengketa Kepulauan Diaoyu atau Senkaku ini memiliki dampak besar bagi hubungan kedua negara yang kian lama kian menegang, baik dibidang politik, ekonomi, militer kedua negara. Hingga sekarang sudah banyak peristiwa yang menyebabkan ketegangan hubungan mereka, mulai dari delimitasi Jepang atas Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) disekitar kepulauan, pembangunan mercusuar oleh Jepang, ijin eksplorasi gas alam oleh Jepang, penahanan 14 orang awak kapal China beserta kaptennya yang menabrak dua kapal penjaga pantai Jepang, pembatalan semua pertemuan formal dengan Jepang pada tingkat kementerian dan penghentian ekspor barang tambang rare earth mineral (REM) ke Jepang. Hingga akhirnya pada tanggal 26 April 2013, Juru Bicara Menteri Luar Negeri China dalam konferensi pers mengeluarkan pernyataan bahwa Kepulauan Senkaku merupakan salah satu core interest dari China. Ini berarti bahwa negosiasi yang digunakan sebagai salah satu upaya penyelesaian sengketa akan semakin sulit tercapai.

Upaya penyelesaian sengketa Kepulaan Diaoyu atau Senkaku yang telah dilakukan Jepang dan China sehingga dapat meminimalisir terjadinya konflik yang

(24)

23

semakin menegang antara kedua pihak antara lain dalam bentuk negosiasi seperti membahas permasalahan antara kedua negara di perbatasan dalam konsultasi atas hukum laut dan delimitasi ZEE tahun 1998, negosiasi Joint Agreement Developement

tahun 2008 yang dilakukan secara bertahap mulaui dari Japan – China Joint Press Statement (April 2007), kerangka dasar “Sea of Peace. Cooperation and Friendship”

(Desember 2007), serta “Priciple Concensus” (2008), serta pertemuan antara China dan Jepang dalam sidang umum PBB di New York, Amerika Serikat pada tanggal 25 September 2012. Namun, dalam pekembangannya, negosiasi-negosiasi tersebut tidak lah menemukan penyelesaian dalam konflik antara kedua negara.

Saran penyelesaian sengketa ini yaitu melalui jalur Mahkamah Internasional, namun dalam cara ini kemungkinan Jepang untuk memenangkan perkara sangat besar. Sebab jika dianalisis berdasarkan pertimbangan efektifitas dan aktifitas atas kepulauan tersebut, Jepanglah yang lebih unggul. Disisi lain, berdasarkan UNCLOS negara kepulauan seperti Jepang berhak menarik batas wilayah lebih jauh yakni sejauh 200 mil dari garis pantai pulau terluar yang ada di wilayah tersebut. Sedangkan, China yang bukan merupakan negara kepulauan hanya berhak mematok batas wilayah dari pulau terluar sejauh 12 mil. Selain itu terdapat beberapa bukti bahwa China yang pernah mengakui kedaulatan Jepang atas pulau tersebut.

B. Saran

Sebaiknya sengketa antara Jepang dan China atas kepemilikan Kepulauan Diaoyu atau Senkaku ini harus cepat dibicarakan dan diselesaikan secara damai. Karena jika dibiarkan berlarut-larut maka akan menimbulkan konflik-konflik lain yang dikhawatirkan akan berakibat pada semakin menegangnya hubungan antara kedua negara dan bahkan menimbulkan peperangan. Perlu diingat bahwa peperangan tidak hanya akan merugikan pihak-pihak yang bersengketa saja tetapi sudah pasti juga akan berimplikasi terhadap negara-negara tetangganya di Asia Timur.

Seperti yang kita ketahui bahwa Jepang dan China mempunyai kapabilitas militer yang kuat begitu juga dengan perekonomiannya serta teknologi dan perindustriaannya. Maka bisa dipastikan, jika perang antara Jepang dan China sampai terjadi maka akan berdampak besar kepada negara-negara Asia Timur baik dalam stabilitas keamanan dan perdamaian maupun dalam bidang perekonomian.

(25)

24

Maka dari itu, jika Jepang dan China masih bersikeras dengan pandangan dan klaim mereka masing-masing, maka jalan tengah yang terbaik adalah melalui jalur Mahkamah Internasional.

(26)

25

DAFTAR PUSTAKA

BUKU

Buana Mirza Satria. Hukum Internasional: Teori dan Praktek. Banjarmasin : FH Unlam Press. 2007 INTERNET http://journal.unair.ac.id/filerPDF/jahi8bd711ae12full.pdf http://alfarabyceina.blogspot.com/2014/03/sengketa-pulau-senkaku-atau-diaoyu.html http://robertadhiksp.net/2013/10/29/ketegangan-china-jepang-dan-sengketa-kepulauan/ http://ejournal.hi.fisip-unmul.ac.id/site/wp-content/uploads/2013/08/24 https://www.academia.edu/2187422/SENGKETA_REGIONAL_TIONGKOK-JEPANG_KEPULAUAN_DIAOYU_SENKAKU https://www.academia.edu/9024276/Prediksi_Penyelesaian_Sengketa_Antara_China-Jepang_dalam_Perebutan http://etd.repository.ugm.ac.id http://thesis.umy.ac.id/datapublik/t9750.pdf

Referensi

Dokumen terkait

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh volume flow rate fluida dingin terhadap perubahan temperatur fluida dingin, perubahan laju kalor yang

Pelesapan /i/ pada kata kerja terdapat pada kata-kata berikut ini. Contoh: Kata bicara merupakan kata bahasa Melayu Ternate yang mengalami pelesapan /i/ di tengah

Bisnis adalah Kegiatan yang dilakukan oleh individu atau sekelompok individu dalam rangka Menghasilkan Sesuatu yang mempunyai nilai (Value)

Kenakalan yang dilakukan siswa SMA Negeri 7 Surakarta sebagian besar merupakan kenakalan yang bersifat pelanggaran terhadap tata tertib atau peraturan sekolah. Kenakalan yang

(1) Rencana Program Pembangunan Jangka Menengah Daerah sebagaimana dimaksud pada Pasal 3 menjadi pedoman dalam penyusunan Perubahan Rencana Strategis Satuan Kerja

Banyak faktor yang mempengaruhi perkembangan bahasa anak usia dini, di antaranya faktor internal (biologis, jenis kelamin, usia, kecerdasan) dan faktor eksternal (pola asuh,

Segala sesuatu yang berkenaan sebagai akibat dari pada pembentukan Kecamatan Kusan Tengah dan Kecamatan Kusan Raya di Kabupaten Tanah Bumbu sebagaimana dimaksud dalam Pasal

bahwa dalam rangka meningkatkan kelancaran pelaksanaan tugas pada Kantor Pengelolaan Taman Pintar Kota Yogykarta, sehingga berdaya guna dan berhasil guna serta