• Tidak ada hasil yang ditemukan

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang"

Copied!
6
0
0

Teks penuh

(1)

1

1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Agroindustri adalah aktivitas pasca panen yang meliputi transformasi, pengawetan dan penyiapan produk pertanian, perikanan dan kehutanan menjadi produk antara atau konsumsi akhir. Seluruh aktivitas agroindustri berisi tiga subsistem utama; yaitu penyediaan bahan baku, pengolahan dan pemasaran. Pengolahan dalam agroindustri merupakan merupakan langkah awal menuju industrialisasi (Wilkinson dan Rocha, 2008; Henson dan Cranfield, 2009). Berdasarkan klasifikasi International Standard Industrial Classification (ISIC), agroindustri mencakup enam kelompok produk: 1) makanan dan minuman, 2) tembakau, 3) kertas dan kayu, termasuk furnitur 4) tekstil, alas kaki dan pakaian, 5) kulit, dan 6) karet.

Berdasarkan Simposium Nasional Agroindustri I tahun 1983, agroindustri adalah kegiatan yang memanfaatkan hasil pertanian sebagai bahan baku, merancang dan menyediakan peralatan, serta jasa untuk kegiatan tersebut. Produk Agroindustri ini dapat merupakan produk akhir yang siap dikonsumsi ataupun sebagai produk bahan baku industri lainnya. Agroindustri merupakan bagian dari kompleks industri pertanian sejak produksi bahan pertanian primer, industri pengolahan atau transformasi sampai penggunaannya oleh konsumen (Mangunwidjaja dan Sailah, 2009). Agroindustri dengan demikian mencakup Industri Pengolahan Hasil Pertanian, Industri Peralatan dan Mesin Pertanian, dan Industri Jasa Sektor Pertanian.

Agroindustri menghasilkan keterkaitan kuat antara sektor hulu dan hilir, mendorong permintaan dan nilai tambah produk pertanian primer serta menciptakan lapangan kerja dan pendapatan sepanjang rantai pengolahan hingga distribusi sebagai efek ganda (Hithcock, 2008; Wilkinson dan Rocha, 2008; Henson dan Cranfield, 2009). Diversifikasi produk akan memberikan nilai tambah semakin signifikan. Kelapa sawit misalnya, produk CPO memberikan nilai tambah sekitar 30% dari nilai TBS. Pengolahan selanjutnya memberikan nilai tambah berbasis TBS masing-masing: minyak goreng (50%), asam lemak (100%), ester (150 – 200%), surfaktan atau emulsifier (300 – 400%), dan

(2)

2

kosmetik (600 – 1000%) (Didu, 2003). Produk kayu olahan menghasilkan nilai tambah minimal empat kali dibandingkan kayu log, dan 12 kali dalam bentuk furnitur (Hierold, 2010).

Pengembangan agroindustri sangat strategis jika dikelola secara terintegrasi dan berkelanjutan. Terintegrasi artinya ada kaitan usaha sektor hulu dan hilir (integrasi vertikal) secara sinergis dan produktif serta ada kaitan antar wilayah, antar sektor bahkan antar komoditas (Djamhari, 2004). Integrasi adalah “to make into a whole” baik dari sisi permintaan maupun pasokan (Frohlich dan Westbrook, 2002). Basis integrasi dicirikan oleh ko-operasi, kolaborasi, berbagi informasi, kepercayaan, kemitraan, penyebaran teknologi, pergeseran dari proses individual ke proses rantai terintegrasi (Power, 2005; Rahman et al., 2008).

Manajemen perishablility dan ketidakpastian merupakan topik yang menonjol dalam integrasi manajemen rantai pasok atau supply chain management (SCM) agroindustri karena dapat mempengaruhi produktivitas atau pelayanan konsumen pada satu proses atau lebih dalam rantai pasok, dan relatif sulit karena keterbatasan umur simpan (Chande et al., 2005; Vorst et al., 2007). Jumlah dan mutu bahan baku ini merupakan kendala utama pengembangan agroindustri (Ghandi dan Jain, 2011).

Berkelanjutan dari sisi bisnis menyangkut aspek sosial, ekonomi dan lingkungan serta konsisten dengan prinsip 3P (planet, people, profit) (Amatucci dan Grim, 2011), serta ada kolaborasi dan interaksi dengan pemangku kepentingan (Stubs dan Cocklin, 2008; D’Amato et al., 2009). Sustainability didefinisikan sebagai kepedulian terhadap lingkungan dan masyarakat yang merupakan fondasi dari suatu model proses bisnis (Timmons dan Spinelli, 2009). Dimensi keberlanjutan bersifat multidisipliner. Kajian keberlanjutan meliputi pembangunan, manusia, sosial, ekologis, dan lingkungan yang dikaitkan dengan tanggung jawab sosial perusahaan (Maloni dan Brown, 2006; Stubbs dan Cocklin, 2008).

Pengertian di atas dapat diterjemahkan secara lebih operasional bahwa keberlanjutan memiliki tiga dimensi yakni ekonomi (bisnis), sosial (kesejahteraan) dan lingkungan (produksi). Keberlanjutan akan terjadi jika bisnis dapat dikelola pada tingkat keuntungan yang memadai, menyejahterakan para pemangku

(3)

3 kepentingan dan ditopang oleh produksi berkelanjutan dan kelestarian lingkungan. Integrasi dimaksudkan untuk mengoptimalkan pertemuan tiga dimensi dalam sistem produksi, pengolahan dan pemasaran.

Dari perspektif keberlanjutan mata pencarian, menurut Viswanathan (2008), sistem usaha tani karet terintegrasi di India dan Thailand mampu meningkatkan kemampuan dan kesejahteraan para petani gurem namun harus dilakukan peningkatan skala usaha melalui aksi kolektif guna mendapatkan akses informasi dan akses modal. Model ini dapat digunakan untuk mengatasi ketidakpastian pasar dan perubahan kebijakan.

Informasi yang asimetris berdampak pada dominasi pihak-pihak tertentu dalam aliran rantai pasok komoditas seperti pengumpul dan pedagang besar (Birthal et al., 2007). Pada kasus rantai pasok karet alam di Indonesia misalnya, peran pedagang perantara sangat dominan dan cenderung memutus integrasi rantai pasok dari pihak petani ke pabrik atau eksportir. Akibatnya, para petani hanya menerima nilai 30 – 40% dari nilai FOB SIR 20. Dengan demikian keuntungan terakumulasi di pihak pedagang dan pabrik, tidak ditransmisikan kepada petani karet dan penyadap (Arifin, 2005; Peramune dan Budiman, 2007). Ketentuan Permentan No. 38/2008 tentang Pedoman Pengolahan dan Pemasaran Bahan Olah Karet menyebutkan harga bokar sekurang-kurangnya adalah 75% dari harga FOB per kilogram karet kering di tingkat unit pengolahan dan pemasaran bokar (UPPB) dan 85% di tingkat pabrik.

Meski memiliki lahan karet terluas di dunia (3,4 juta ha), produktivitas karet alam Indonesia relatif rendah, rata-rata 862 kg karet kering/ha/tahun. Lebih rendah dibandingkan produsen lain seperti Thailand (1.875 kg/ha/tahun), India (1.727 kg/ha/tahun), Vietnam (1.483 kg/ha/tahun) dan Malaysia (1.330 kg/ha/tahun) (Peramune dan Budiman, 2007). Produksi pada tahun 2008 adalah 2,9 juta ton sama dengan produksi Thailand tahun 2005 (Parhusip, 2008; Rahman and Haris, 2010). Komposisi pemilikan kebun terdiri atas 85% perkebunan rakyat, 8% perkebunan besar swasta dan 7% perkebunan negara pada tahun 2009 menyerap sedikitnya 2,3 juta tenaga kerja. Indonesia memasok 28% produksi karet alam dunia.

(4)

4

Pada tingkat petani, masalah pokok yang dihadapi adalah rendahnya produktivitas dan kualitas pasokan bokar. Hal ini terutama disebabkan oleh (Arifin, 2005; Utomo et al., 2008 dan Akiefnawati et al. (2008):

1) Rendahnya produktivitas kebun karet plasma karena kebanyakan menggunakan tanaman asalan dan banyak pohon karet yang sudah tua dan rusak. Penggunaan bibit klon unggul rata-rata baru mencapai 40%.

2) Permintaan bahan baku dari industri karet remah yang tidak mendorong perbaikan kualitas bokar.

3) Dominasi pedagang perantara yang sudah lama terbentuk.

4) Belum berjalannya pola kemitraan yang saling menguntungkan antara pabrik karet remah dengan petani.

5) Akses petani karet yang sangat terbatas terhadap teknologi anjuran. 6) Lembaga pendampingan petani yang belum memadai.

Berbagai upaya dapat dilakukan untuk meminimalkan faktor-faktor kendala tersebut. Integrasi hulu-hilir diharapkan dapat mendorong perbaikan pada setiap segmen mata rantai nilai komoditas karet. Hal ini dapat terjadi karena integrasi memastikan pasar, menghilangkan peran pedagang perantara, meningkatkan akses informasi, menumbuhkan kemitraan dan dukungan lembaga layanan. Faktor-faktor penyebab di atas harus difahami dalam perancangan sistem, model dan pemetaan nilai dalam mata rantai agroindustri karet. Harmonisasi hubungan antara pemangku kepentingan meminimumkan hambatan tersebut menjadi pertimbangan penting dalam pembentukan integrasi.

Malaysia, India dan Thailand telah lama menggunakan tanaman karet, kelapa dan kayu sawit sebagai bahan baku industri perkayuan. Sementara di Indonesia penggunaan kayu karet untuk industri pertukangan hanya mencapai 30%. Sekitar 80%-85% dari produk-produk furnitur Malaysia menggunakan kayu karet dengan nilai ekspor furnitur kayu karet tersebut sekitar USD1.1 milyar. Thailand juga menggunakan kayu karet sebagai bahan baku industri furniturnya dengan total nilai ekspor sekitar USD 300 juta setiap tahunnya (FAO, 2005; Welivita dan Amarasekara, 2008; Ratnasingam dan Wagner, 2009). Fakta ini dapat dijadikan dasar bahwa integrasi dapat dilakukan secara vertikal dalam pemanfaatan kayu karet.

(5)

5 Pada tahun 2004 ekspor kayu gergajian dari karet mencapai RM 1,2 milyar (Lokmal et al., 2008). Efisiensi teknis industri furnitur yang didominasi UKM ini rata-rata sekitar 44,53% dan masih berpeluang untuk ditingkatkan (Radam et al. 2010). Salah satu kunci sukses Malaysia dan Thailand mengembangkan industri dan ekspor berbasis kayu karet adalah kebijakan pemerintah terhadap produksi kayu karet, termasuk dukungan finansial dan bantuan teknis terhadap industri hilir pengolahan kayu karet (Shigematsu et al., 2011).

Berdasarkan kajian Bank Indonesia (2008a), karet di Kalimantan Tengah merupakan komoditas unggulan utama di sektor usaha perkebunan, bahkan menempati peringkat teratas untuk komoditas, produk dan jasa unggulan lintas sektor. Di sektor industri, urutan lima jenis usaha yang paling potensial adalah (1) Mebel kayu, (2) Batu bata, (3) Kerajinan, (4) Anyaman rotan, dan (5) Penggergajian dan pengolahan kayu. Semua keunggulan ini bisa dibangkitkan secara simultan dan sinergis melalui pengembangan agroindustri karet alam dan meremajakan kebun karet rakyat menggunakan klon-klon unggulan penghasil lateks-kayu serta memanfaatkan kayu hasil peremajaan sebagai bahan baku industri penggergajian dan furnitur secara terintegrasi.

1.2 Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah mengembangkan model agroindustri karet alam terintegrasi dan berkelanjutan berbasis lateks dan kayu karet sesuai dengan kebutuhan dan karakteristik daerah penelitian.

1.3 Manfaat Penelitian

1) Menghasilkan model pengembangan agroindustri karet alam terintegrasi baik berbasis karet dan kayu berikut strategi pengembangannya sebagai model pengembangan alternatif.

2) Memberikan kontribusi untuk model pengembangan ekonomi lokal maupun regional berbasis komoditas unggulan yang pada akhirnya memberikan kontribusi terhadap pengembangan ekonomi nasional.

3) Memberikan kontribusi pendekatan baru dalam pengembangan agroindustri karet alam.

(6)

6

1.4 Ruang Lingkup Penelitian

1) Kajian dilakukan di Kabupaten Barito Utara, Kalimantan Tengah serta beberapa kabupaten yang berdekatan di Propinsi Kalimantan Tengah dan Kalimantan Selatan.

2) Pengertian terintegrasi pada kajian ini meliputi integrasi rantai nilai (integrasi vertikal), serta mengakomodasi kepentingan seluruh pemangku kepentingan, aspek pembangunan ekonomi lokal, industri, wilayah, kebijakan pemerintah setempat serta kesesuaian dengan karakteristik dan kebutuhan daerah.

3) Para pelaku pengembangan agoindustri karet alam yang akan dilibatkan dalam kajian ini adalah pemerintah, petani karet dan para pengusaha pemilik perkebunan swasta maupun PTPN, beberapa pabrik pengolah karet serta sentra industri mebel yang lokasinya relatif berdekatan.

4) Industri karet alam berbasis lateks pada kajian ini dibatasi pada industri karet remah SIR 20 dan industri berbasis kayu karet adalah industri kayu olahan dan industri furnitur.

Referensi

Dokumen terkait

Kanigoro Rp 40,000,000.00 Belanja Hibah kepada Badan/Lembaga/Organisasi/Kelompok Masyarakat Bidang Perikanan... NO NAMA PENERIMA ALAMAT PENERIMA

Kambing Boer dapat dikenali dengan mudah dari tubuhnya yang lebar, panjang, dalam, berbulu putih, berkaki pendek, berhidung cembung, bertelinga panjang menggantung, berkepala

Berdasarkan latar belakang dan perumusan masalah di atas, maka tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh experiential marketing yang meliputi panca indra (sense),

Jika perusahaan pertama tersebut melakukan sesuatu yang mengecewakan konsumen atau jika pesaing mulai menawarkan nilai yang jauh lebih baik, risikonya adalah bahwa konsumen

Kekurangan dari Map tracker ini adalah sangat diperlukan fasilitas internet untuk Penggunaannya, apabila tidak ada fasilitas internet aplikasi ini tidak berjalan sesuai

Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk menyelesaikan tugas akhir pada Fakultas Ekonomi Manajemen, Institut Pertanian Bogor.. Banyak kendala yang penulis hadapi

Pemahaman tentang asas hukum dan norma hukum atau kaidah hukum, dapat dijelaskan bahwa asas hukum bukanlah merupakan aturan yang bersifat konkrit sebagimana

Ibid.. hak asasi setiap anak tanpa membedakan suku, agama, ras, golongan, jenis kelamin, etnik, budaya dan bahasa, status hukum anak, urutan kelahiran anak , dan kondisi