• Tidak ada hasil yang ditemukan

LAPORAN TAHUNAN TAHUN PERTAMA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "LAPORAN TAHUNAN TAHUN PERTAMA"

Copied!
37
0
0

Teks penuh

(1)

Koridor : Bali-Nusa Tenggara Fokus Kegiatan : Peternakan

LAPORAN TAHUNAN

TAHUN PERTAMA

PENELITIAN PRIORITAS NASIONAL

MASTERPLAN PERCEPATAN DAN PERLUASAN

PEMBANGUNAN EKONOMI INDONESIA 2011-2025

(PENPRINAS MP3EI 2011-2015)

FOKUS/KORIDOR

PETERNAKAN/BALI-NUSA TENGGARA TOPIK KEGIATAN

PENGENDALIAN PENYAKIT PARASITER PADA SAPI

MELALUI POLA PEMBINAAN KELOMPOK TERNAK (BINAPOKTAN) Prof. Dr. drh. I Made Damriyasa MS (NIDN 0031126263)

Prof. Dr. Drh. Nyoman Sadra Dharmawan MS (NIDN 0005105812) Drh. Anak Agung Gde Arjana Mkes (NIDN 0026125608)

(2)
(3)

RINGKASAN

Penyakit parasiter adalah salah satu penyakit pada sapi yang kebanyakan bersifat sub klinis serta menimbulkan kerugian ekonomi sangat tinggi. Penelitian ini bertujuan untuk menemukan model pengendalian penyakit parasiter yang efektif, murah dan ramah lingkungan berbasis partisipasi masyarakat melalui pembinaan kelompok ternak sapi. Sehingga penelitian ini berdampak langsung pada peningkatan produktivitas ternak yang dapat meningkatkan pendapatan peternak. Penelitian ini diawali dengan penentuan kelompok ternak binaan serta identifikasi parasit melalui pemeriksaan koproskopis dan serologis. Selanjutnya dilakukan penentuan faktor-faktor risikonya. Dengan diketahui peta dan data epidemiologi penyakit parasit pada sapi, dapat dipakai dasar dalam penentuan model strategi pengendaliannya. Data sosiodemografis anggota kelompok ternak binaan, sistem dan manajemen peternakan serta karakteristi peternakan diperoleh melalui kuisioner.

Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh dari pengambilan data melalui kuisioner dan pemeriksaan laboratorium diketahui bahwa status sosial ekonomi anggota kelompok tani binaan masih rendah sehingga tingkat kesejahteraannya juga rendah. Peternakan sapi merupakan satu satunya penunjang perekonomian kelompok ternak binaan dan sangat potensial untuk dikembangkan karena didukung oleh ketersediaan pakan ternak. Terkait dengan program pemberantasan penyakit parasiter, kelompok ternak binaan tidak memiliki pemahaman dan pengetahuan tentang penyakit parasiter serta dampaknya terhadap ternak. Dari hasil pemeriksaan laboratorium ditemukan prevalensi penyakit parasit saluran pencernaan pada kelompok ternak binaan cukup tinggi. Juga ditemukan antibodi terhadap Neospora caninum pada sapi yang dipelihara oleh kelompok ternak binaan.

Dari data dan informasi yang diperoleh tersebut dapat dirumuskan program program pemberantasan penyakit parasiter berbasis partsisipasi peternak melalui pembinaan kelompok tani (BINAPOKTAN). Program tersebut akan dilaksanakan pada tahun 2016.

(4)

PRAKATA

Puji syukur kami panjatkan kehadapan Tuhan Yang Maha Esa atas terlaksananya penelitian ini, sehingga terwujud dalam laporan tahunan yang dapat kami sajikan berikut ini. Pada kesempatan ini kami menyampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah mendukung terlaksananya penelitian ini. Utamanya kepada Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi yang sebelumnya melalui P2M Dikti yang telah mendanai penelitian ini. Penelitian ini tidak akan terlaksana dengan baik tanpa dukungan mitra Dinas Peternakan Kelautan dan Perikanan Kabupaten Karangasem serta Kelompok ternak Sapi Dukuh Sari, Wana Merta, Arta Wiguna dan Margi Lestari.

Penelitaian ini direncanakan selama dua tahun, oleh karena itu untuk tercapainay tujuan penelitian ini sangat diharapkan kritik, saran serta masukan sehingga hasil penelitian ini dapat bermanfaat terutama dalam meningkatkan produktivitas ternak sapi.

Jimbaran, 10 Nopember 2015

(5)

DAFTAR ISI Halaman Halaman Judul 1 Halaman Pengesahan 2 Ringkasan 3 Daftar isi 4 Daftar Tabel 5 Daftar Gambar 6 Daftar Lampiran 7 Bab 1 Pendahuluan 8

Bab 2 Studi Pustaka 9

Bab 3 Tujuan dan Manfaat Penelitian 12

Bab 4 Metoda Penelitian 13

Bab 5 Hasil dan Pembahasan 14

Bab 6 Rencana Tahap Berikutnya 28

Bab 7 Kesimpulan dan Saran 30

(6)

DAFTAR TABEL

(7)

DAFTAR GAMBAR

Halaman Gambar 1. Sebaran Kelompok Ternak Sapi di 7 Kecamatan di Kabupaten

Karangasem

14 Gambar 2. Sebaran jumlah anggota kelompok ternak binaan 16 Gambar 3. Rata-rata kepemilikan ternak pada masing-masing kelompok

ternak binaan

16 Gambar 4. Rata-rata penghasilan perbulan pada kelompok tani ternak 17 Gambar 5. Tingkat pendidikan anggota kelompok tani ternak 18 Gambar 6. Perbedaan tingkat pendidikan anggota masing masing

kelompok ternak.

18 Gambar 7. Perbedaan tingkat pendidikan anak masing masing kelompok

ternak.

19 Gambar 7. Perbedaan lantai rumah pada masing masing kelompok ternak. 20 Gambar 8. Ketersediaan pakan pada kelompok ternak binaan 21 Gambar 9. Keragaman penggunaan pakan tambahan pada kelompok

ternak binaan

22 Gambar 10 Prevalensi parasit gastrointestinal pada sapi di masing-masing

kelompok ternak binaan

23

(8)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

Lampiran 1. Kuisioner Peternak 33

Lampiran 2. Kuisioner individu sapi 35

(9)

BAB 1. PENDAHULUAN

Sapi Bali (Bibos banteng) merupakan salah satu jenis ternak potong asli Indonesia yang sudah beradaptasi dengan lingkungan di daerah tropis. Populasi sapi bali di Indonesia saat ini sekitar 4 juta ekor dan hanya sekitar 600 – 700 ribu ekor ada di Bali dengan peningkatan populasi yang sangat rendah. Salah satu faktor yang menghambat pertumbuhan populasi adalah rendahnya produktivitas akibat infeksi penyakit yang berdampak pada pertumbuhan dan reproduksi. Diantara penyakit yang berbahaya dan bersifat subklinis adalah infeksi parasit. Pada sapi terdapat 40 spesies Trematoda, 9 spesies Cestoda, 63 spesies Nematoda, 2 spesies Acanthocephala, 2 spesies Hirudinida, 78 spesies Arthropoda dan 50 spesies Protozoa.

Misalnya infeksi cacing pada saluran pencernaan sapi merupakan salah satu penyakit infeksius yang bersifat subklinis (tanpa menunjukkan gejala klinis yang menciri) dan menyebabkan kerugian ekonomi yang cukup tinggi, misalnya di Belanda secara ekonomi pernah dianalisis oleh Gross et al., (1999) bahwa kerugian ekonomi yang hanya disebabkan oleh infeksi cacing nematoda mencapai 90 juta Euro per tahun. Kerugian ini akibat penurunan berat badan atau terhambatnya pertumbuhan serta faktor pencetus terjangkitnya penyakit infeksius lainnya yang disebabkan oleh virus maupun bakteri.

Kebutuhan daging di Indonesia terus meningkat sejalan dengan meningkatnya jumlah penduduk dan kesadaran masyarakat akan pentingnya peran protein hewani. Pada tahun 2012 kebutuhan daging diperkirakan mencapai 490.000 ton, dan yang bisa dipenuhi oleh produksi ternak di dalam negeri hanya berkisar 82%, sedangkan sisanya dari import. Pada tahun 2014 diharapkan import daging tidak lebih dari 10% dari kebutuhan daging nasional. Ini artinya 90% produksi daging harus dapat dipenuhi dari produksi ternak di dalam negeri. Untuk mencapai ini diperlukan peningkatan produktivitas ternak yang salah satunya adalah dengan melakukan pembinaan pada kelompok kelompok ternak.

Seperti diketahui bahwa penggunaan obat antiparasit kimiawi yang tidak tepat dapat berdampak munculnya resistensi parasit-parasit tertentu, serta rusaknya keseimbangan ekosistem mikroorganisme non target. Hal ini akan berdampak pada keruskan lingkungan. Umumnya penggunaan obat-obatan tersebut kurang mendapat pengawasan dari dokter hewan. Sehingga urgensi dari penelitian ini selain untuk meningkatkan produktivitas ternak juga untuk mencegah terjadinya resistensi parasit terhadap obat serta mengurangi dampak kerusakan lingkungan yang ditimbulkannya.

(10)

Di Indonesia, terutama peternakan sapi rakyat belum melakukan program pengendalian penyakit parasit sehingga dapat diyakini bahwa penyakit ini merupakan penyebab rendahnya produktivitas ternak sehingga berdampak pada rendahnya pendapatan peternak dari usaha ternak yang dilakukan. Oleh karena itu diperlukan suatu program pengendalian parasit pada sapi yang selektif dan efisien dengan melibatkan peternak melalui pembinaan kelompok tani ternak (BINAPOKTAN).

BAB 2. STUDI PUSTAKA

Sapi Bali (Bibos banteng) merupakan salah satu jenis ternak potong asli Indonesia yang sudah beradaptasi dengan lingkungan di daerah tropis. Hal ini tercermin dari tingginya tingkat reproduksi dan sifat yang tidak terlalu selektif terhadap pakan yang tersedia, sehingga sapi Bali sangat berpotensi untuk ditingkatkan produktifitasnya. Populasi sapi bali di Bali selama lima tahun terakhir sekitar 600 – 700 ribu ekor. Salah satu faktor yang menghambat pertumbuhan populasi adalah ketersediaan bibit sapi bali yang berkualitas masih kurang. Kondisi ini sangat menghambat peningkatan produksi ternak dalam upaya memenuhi swasembada daging tahun 2014. Oleh karena itu perlu upaya-upaya yang lebih riil dalam meningkatkan populasi ternak yang salah satunya adalah menyediakan bibit ternak dengan kualitas yang baik.

Badan Pusat Satatistik tahun 2010 menyatakan bahwa 99,81 % sapi dipelihara secara tradisional oleh peternak kecil dengan skala 2 – 3 ekor. Dengan kondisi seperti ini penanggulangan penyakit parasit tidak menjadi perhatian peternak. Salah satu yang menghambat produktivitas ternak sapi adalah adanya penyakit parasit seperti cacingan atau infeksi protozoa (Neospora caninum) yang menyebabkan gangguan reproduksi seperti keguguran atau gangguan reproduksi lainnya.

Salah satu contoh penyakit cacingan pada sapi adalah Penyakit cacing hati (fascioliasis/distomatosis) yang merupakan penyakit yang berlangsung akut, subakut, atau kronik, disebabkan oleh trematoda genus Fasciola, Fascioloides, dan Dicrocoelium (Kaufmann,1997). Pada tahun 1991 pernah dilaporkan bahwa kerugian ekonomi akibat penyakit ini diperkirakan sekitar 500 milyar setiap tahun (Anonymous, 1990). Kerugian tersebut akibat kerusakan hati yang harus diafkir, pertumbuhan terhambat serta kerugian lainnya. Prevalensi fasciolosis pada sapi pernah dilaporkan mencapai 90% ( Suhardono et al., 1991)

(11)

Contoh lain dari infeksi parasit (protozoa) pada sapi yang belakangan ini menjadi pusat perhatian para pakar parasitologi dunia adalah neosporosis. Penyakit ini disebabkan oleh protozoa Neospora caninum yang menyebabkan keguguran serta gangguan reproduksi lainnya (Dubey et al., 2007 ). Di beberapa negara dilaporkan bahwa kerugian ekonomi akibat penyakit ini pada sapi sangat tinggi, misalnya di California parasit ini menyebabkan 40.000 kassus keguguran pada sapi dengan kerugian diperkirakan $ 35 juta dolar per tahun (Barr et al., 1998), di Australia dan New Zealand diperkirakan menyebabkan kerugian 100 juta dolar per tahun (Richel, 2000). Secara serologis penyakit ini juga ditemukan pada sapi bali (Damriyasa et al., 2010). Hal ini mengindikasikan bahwa penyakit ini merupakan ancaman terhadap populasi sapi bali.

Dwinata et al., (2009) melaporkan hasil pemeriksaan koproskopis pada sapi di Kelompok ternak Kerta Nandini Kabupaten Badung ditemukan 87% sapi yang dipelihara terinfeksi oleh cacing. Kondisi yang sama dapat diasumsikan terjadi juga pada kelompok ternak lainnya di Bali. Dari uraian diatas maka untuk mengurangi dampak yang ditimbulkan oleh penyakit parasit pada sapi, maka strategis yang tepat dan efisien serta ramah lingkungan sangat mendesak perlu dilakukan.

Strategi dengan obat cacing (deworming) telah banyak dilakukan dan hasilnya cukup memuaskan terutama pada ternak yang digembalakan (Williams et al, 1986). Misalnya dengan pemberian salah satu obat cacing seperti Moxidectin yang merupakan generasi kedua dari komponen endectocide yang sangat potensial membunuh endo dan ektoparasit pada sapi (Hubert et al., 1995; Morin et al., 1996; Chick et al., 1993). Pengendalian dengan obat-obatan kimiawi telah berhasil dilakukan dalam beberapa dekade, namun belakangan ini diketahui dapat menyebabkan evolusi parasit tertentu. Situasi ini menyebabkan fokus perhatian pengendalian tidak terlalu optimistis dengan penggunaan obat-obatan kimia. Banyak dilaporkan adanya resistensi parasit tertentu (Nematoda and Arthropoda) terhadap obat obatan kimia akibat penggunaan yang kurang tepat. Penggunaan obat-obatan kimia secara masif dan kurang tepat juga dapat menyebabkan kerusakan lingkungan karena membunuh ornasime yang bukan menjadi target (non-target organisms). Penggunaan obat antiparasit kimiawi yang kurang tepat juga dapat menyebabkan penurunan kualitas pupuk kandang serta mempengaruhi ekosistem mikroorganisme pada kotoran sapi. Hal ini juga mempengaruhi ekosistem serangga yang siklus hidupnya memerlukan kotoran sapi (Barth, 1993; Halley et al., 1989; Herd, 1995;

(12)

Lumaret et al., 1993; McKellar 1992; Wall and Strong 1987; Wrdhaugh et al., 1998; Wardhaugh et al., 2001).

Mengatasi masalah tersebut dapat dilakukan beberapa langkah antara lain; pengobatan yang selektif, pengembangan organic breeding dengan membatasi penggunaan obat-obatan kimia serta penggunaan obat-obatan herbal yang telah terbukti secara ilmiah terbuksi sebagai antiparasit. Penggunaan obat-obatan kimia sebagai antiparasit yang kurang efetif dan tidak selektif dapat menyebabkan hal-hal sebagai berikut ; (i) dampak negatif terhadap perkembangan kekebalan alami (natural immunity), (ii) adanya residu kimia pada daging atau produknya, (iii) dampak lingkungan, (iv) munculnya resistensi parasit terhadap obat antiparasit tertentu (Ketzis et al., 2006; Stear et al., 2007; Bisset et al., 2001). Obat anti parasit tertentu yang telah terbukti menimbulkan resistensi terutama pada cacing nematoda adalah benzimidazole (Le Jambre et 1979), levamizole (Sangster et al., 1998).

Dari kajian pustaka diatas dapat disimpulkan bahwa untuk mengurangi dampak ekonomi akibat penyakit parasit pada sapi terutama pada peternakan tradisional sangat mendesak dilakukan program pengendalian penyakit tersebut. Dalam program pengendalian penyakit tersebut juga harus menjadi perhatian dampak negatif seperti resistensi dan kerusakan ekosistem mikroorganisme yang ditimbulkan akibat penggunaan obat obatan kimia yang kurang tepat. Oleh karena strategi pengendalian yang tepat untuk wilayah Indonesia adalah pengendalian yang selektif, aman dan efisien berbasis pemeriksaan laboratorium melalui pembinaan kelompok ternak (BINAPOKTAN).

(13)

BAB 3. TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN 3.1. Tujuan Penelitian

Penelitian yang dilakukan tahun pertama bertujuan untuk:

a. Menentukan jenis dan prevalensi infeksi parasit pada sapi kelompok ternak binaan serta faktor risiko penyakit tersebut

b. Menentukan strategi pengendalian parasit yang selektif dan efektif berbasis data epidemiologi dan hasil pemeriksaan laboratorium, serta lebih mengutamakan obat herbal yang tersedia

c. Meningkatkan pemahaman peternak tentang dampak infeksi parasit pada sapi, serta pentingnya pengendalian penyakit tersebut pada sapi.

3.2. Manfaat Penelitian

Maanfaat yang diperoleh dari hasil penelitian tahun pertama dapat digunakan untuk menentukan strategi pengendalian penyakit parasit pada sapi terhadap kelompok ternak sapi binaan adalah peningkatan produksi, kualitas pedet yang dihasilkan lebih baik sehingga harga jual ternak lebih tinggi. Hal ini akan meningkatkan kesejahteraan peternak sehingga akan merangsang masyarakat sekitar kelompok ternak binaan menjadi anggota kelompok. Dengan demikian kegiatan ini akan meningkatkan perluasan tenaga kerja.

(14)

BAB 4. METODE PENELITIAN

4.1. Penentuan Kelompok Ternak Binaan

Sasaran adalah kelompok ternak sapi di beberapa kecamatan di kabupaten Karangasem Bali. Sebelum dilakukan penentuan kelompok ternak binaan dilakukan penentuan lokasi. Kelompok ternak sapi binaan akan dipilih 4 kelompok ternak dengan persyaratan kelompok sebagai berikut: a). kelompok peternak aktif yang terdaftar di Dinas Peternakan Kabupaten/Kota , b). jumlah anggota minimum 40 orang, c) tidak bermasalah baik dengan perbankan maupun sumber permodalan lainnya, dan d) bersedia menjadi kelompok ternak binaan.

4.2 Survey Penyakit Parasit dan Analisis Situasi

Kegiatan ini diawali dengan pertemuan di masing masing kelompok ternak sapi untuk mendapatkan data karakteristi manajemen peternakan pada kelompok ternak dan anggota kelompok. Selanjutnya dilakukan kunjungan ke masing masing anggota untuk pengambilan sampel darah dan tinja. Sampel darah dan tinja kemudian dilakukan pemeriksaan laboratorium di Laboratorium Center for Studies on Animal Diseases (CSAD) FKH Unud. Pemeriksaan laboratorium yang dilakukan seperti tabel berikut:

Tabel 1. Pemeriksaan Laboratorium pada Kelompok Ternak Binaan

No Sampel Metoda Tujuan

1. Darah Ulas darah Mengetahui parasit darah pada sapi misalnya Babesia

bovis, Tripanosoma spp.Theileria spp, Eperythrozoon spp, Ehrlichia bovis dll

2. Tinja SAF (Sodium

Acetic Formal-dehyde)

Untuk mengetahui adanya infeksi cacing maupun protozoa yang berada atau stadiumnya ada pada saluran pencernaan seperti Toxocara vitulorum, Eimeria bovis,

Fasciola spp dll

3. Serum ELISA (Enzyme

Linked Immuno-sorbent Assay)

Untuk mendeteksi adanya infeksi Nesopora caninum (protozoa penyebab keguguran) dan Sisteserkus bovis (stadium kista cacing pita pada manusia)

(15)

BAB 5.

HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Penentuan Kelompok Ternak Binaan

Sebagai mitra dalam penelitian ini adalah Dinas Peternakan, Kelautan dan Perikanan Kabupaten Karangasem, sehingga kelompok ternak binaan ditentukan di Kabupaten Karangasem. Di wilayah Kabupaten karangasem terdapat 592 kelompok ternak yang terdiri dari Kelompok ternak sapi, Kelompok ternak babi, Kelompok ternak itik dan kelompok ternak ayam. Dari 592 kelompok ternak tersebut 524 (88,51%) merupakan kelompok ternak sapi yang tersebar di 7 Kecamatan (Gambar1). Dengan demikian di wilayah kabupaten Karangasem merupakan daerah yang sangat potensial dikembangkan ternak sapi.

Gambar 1. Sebaran Kelompok Ternak Sapi di 7 Kecamatan di Kabupaten Karangasem

Dari 542 kelompok ternak sapi yang tersebar di 7 Kecamatan di Kabupaten Karangasem, dilakukan kunjungan secara acak ke masing-masing kecamatan dengan jumlah kelompok ternak sapi di masing masing kecamatan sebanyak 2 sampai 3 kelompok ternak. Kunjungan ke masing masing kelompok ternak bersama dengan petugas Bidang

18 92 108 64 98 103 41

(16)

Produksi Ternak dari Dinas Peternakan, Kelaluatan dan Perikanan Kabupaten Karangasem. Dalam kunjungan tersebut dilakukan wawancara dengan ketua kelompok ternak untuk mengetahui profil kelompok ternak serta potensi untuk dilakukan program pembinaan dalam meningkatkan produktivitas yang didukung oleh potensi pakan ternak yang bisa menunjang kelangsungan kelompok ternak tersebut.

Secara acak dikunjungi 18 kelompok ternak yang tersebar di 7 kecamatan di Kabupaten Karangasem. Kunjungan ke masing masing kelompok ternak diawali pada bulan April 2015. Berdasarkan hasil kunjungan dan dilakukan diskusi dengan bidang produksi Dinas Peternakan, Kelautan dan Perikanan Kabupaten Karangasem, maka diputuskan program pembinaan kelompok ternak (BINAPOKTAN) dilakukan di dua kelompok ternak sapi yaitu;

1. Kelompok Ternak Sapi Wana Merta 2. Kelompok Ternak Sapi Dukuh Sari 3. Kelompok Ternak Sapi Arta Wiguna 4. Kelompok Ternak Sapi Margi Lestari

Keempat kelompok ternak sapi tersebut berada di Banjar Keladian, Desa Pempatan, Kecamatan Rendang. Kelompok ternak tersebut berlokasi di lereng selatan Gunung Agung yang didukung oleh ketersedian pakan (rumput gajah) yang sangan memedai.

Kelompok ternak sapi Wana Merta terdiri dari 20 anggota dengan populasi sapi 183 ekor, kelompok ternak sapi Dukuh Sari terdiri dari 20 anggota dengan populasi sapi sebanyak 167 ekor, Kelompok ternak Arta Wiguna terdiri dari 20 anggota dengan populasi sapi sebesar 166 ekor, dan Kelompok ternak Margi Lestari terdiri dari 17 anggota dengan populasi sebesar 128 ekor yang terdiri dari sapi induk, penggemukan dan pedet. Sapi di keempat kelompok ternak sapi tersebut dilakukan pemeriksaan kondisi tubuh masing masing sapi serta pendataan data sapi dan data peternak yang merupakan faktor risiko penyakit parasiter. Data kondisi ternak dan faktor risiko diperoleh dengan menggunakan kuisioner.

Empat Kelompok Tani Ternak (KTT) yang digunakan sebagai pilot projek dalam penelitian ini meliputi KTT Arta Wiguna, KTT Margi Lestari, KTT Wana Merta dan KTT Dukuh Sari. Keempat KTT tersebut berlokasi di Kecamatan Rendang Kabupaten Karangasem Bali. Selanjutnya kelompok tani ternak tersebut kita gunakan sebagai

(17)

Kelompok Ternak Binaan (KTB). Sebanyak 77 anggota KTB digunakan sebagai peternak sapi binaan dalam program ini dengan sebaran anggota kelompok ternak tersaji pada gambar 2 berikut.

Gambar 2. Sebaran jumlah anggota kelompok ternak binaan

Rata-rata kepemilikan ternak pada masing masing anggota kelompok ternak adalah sebanyak 8 ekor per anggota, yang secara rinci rata rata kepemilikan sapi disajikan pada gambar 3 berikut: KTT Arta Wiguna, 20 KTT Margi Lestari, 17 KTT Wana Merta, 20 KTT Dukuh Sari, 20 10.75 5.76 6.35 6.5

(18)

Dari data yang diperoleh menunjukkan bahwa keempat kelompok ternak binaan ini mempunyai potensi pengembangan karena didukung oleh keberadaan pakan yang memadai. Disamping itu kelompok ternak binaan memenfaatkan lereng gunung sebagai lahan rumput gajah. Pemamfaatan ini selain untuk peternakan juga bermanfaat dalam mencegah terjadinya erosi.

5.2. Sosiodemografi Kelompok Ternak Binaan

Indikator sosisodemografis kelompok ternak binaan pada program ini berdasarkan penghasilan per bulan, kondisi rumah, kepemilikan barang seperti alat transportasi, tingkat pendidikan kapala rumah tangga maupun anak.

Dari data rata rata penghasilan perbulan yang diperoleh menunjukkan bahwa rata rata penghasilan perbulan dari anggota kelompok tani ternak adalahRp. 1.032.467. Rata-rata penghasilan masing kelompok tani ternak disajikan pada gambar 4.

Gambar 4. Rata-rata penghasilan perbulan pada kelompok tani ternak

Dari data penghasilan perbulan menunjukkan bahwa kondisi ekonomi peternak masih relative rendah, oleh karena itu perlu dilakukan pembinaan agar terjadi peningkatan pendapatan peternak melalui peningkatan produktivitas ternak sapi yang dipelihara. Rendahnya pendapatan peternak sangat terkait dengan tingkat pendidikan dari peternak tersebut. Tingkat pendidikan peternak sebagian besar masih rendah yaitu Sekolah Dasar dan Sekolah Menengah Pertama, seperti tersaji pada gambar 5.

845000

582352.94

1185000

1450000

(19)

Gambar 5. Tingkat pendidikan anggota kelompok tani ternak

Dari data tersebut menunjukkan bahwa hanya 6,5% anggota kelompok tani ternak memiliki tingkat pendidikan Sekolah Menengah Atas (SMA). Bahkan tidak ada anggota kelompok tani ternak yang memiliki tingkat pendidikan perguruan tinggi. Perbedaan tingkat pendidikan untuk masing masing kelompok tani ternak secara statistik berbeda signifikan, seperti tersaji pada gambar 6.

Gambar 6. Perbedaan tingkat pendidikan anggota masing masing kelompok ternak. 0 70 30 0 Tidak Sekolah SD SMP SMA 0 10 20 30 40 50 60 70 80

ARTA WIGUNA MARGI LESTARI WANA MERTA DUKUH SARI

(20)

Tingkat pendidikan anak dari anggota kelompok ternak binaan 50,6% Dekolah Dasar, 24,7% Sekolah Menengah Pertama, 22,1% Sekolah Menengah Atas dan masih ada 2,6% tidak sekolah. Perbedaan tingkat pendidikan anak pada masing-masing kelompok ternak binaan tersaji pada gambar 7.

Gambar 7. Perbedaan tingkat pendidikan anak masing masing kelompok ternak.

Hampir seluruh (98,7%) anggota kelompok ternak merupakan petani, dan hanya satu anggota kelompok ternak memiliki kerja sampingan sebagai wiraswasta. Hal ini menunjukkan bahwa kehidupan para anggota kelompok ternak di wilayah ini tergantung pada sector pertanian yaitu sector peternakan. Ternak sapi merupakan satu satunya peopang perekonomian di wilayah ini. Hal ini ditunjukkan dari 77 anggota kelompok ternak, 75 (97,4%) menyatakan bahwa ternak sapi yang dipelihara sanat mendukung kebutuhan keluarga seperti biaya sekolah anak, upacara adat serta kepentingan lainnya.

Kondisi rumah kelompok ternak binaan diukur berdasarkan lantai rumah. Lantai rumah diklasifikasikan menjadi tiga yaitu lantai tanah, lantai semen dan lantai keramik. Derajat kualitas lantai tersebut dapat dipakai indikator derajat ekonomi anggota kelompok ternak. Sebaian besar (70,1%) anggota kelompok ternak binaan memiliki rumah dengan lantai semen, sedangkan yang memiliki lantai keramik sebanyak 20,8%, dan masih ada sebanyak 9,1% anggota kelompok ternak binaan tinggal di rumah dengan lantai tanah. Perbedaan jenis lantai rumah pada masing masing kelompok ternak binaan disajikan pada gambar 8. 0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100 Tidak Sekolah SD SMP SMA

(21)

Gambar 7. Perbedaan lantai rumah pada masing masing kelompok ternak.

Kepemilikan alat transportasi dapat juga digunakan sebagai salah satu indikator status ekonomi masyarakat. Alat transportasi yang dimiliki oleh kelompok ternak binaan sebagian besar (84,4%) adalah sepeda motor, 2,6% anggota kelompok ternak memiliki sarana transportasi mobil, dan 13% anggota kelompok ternak binaan memiliki sepeda motor dan mobil.

Dari data sosiodemografis anggota kelompok ternak binaan pada program ini menunjukkan bahwa kondisi sosial ekonomi yang masih rendah. Hal ini ditunjukkan oleh tingkat pendidikan yang sebagian besar sekolah dasar dengan penghasilan yang rendah. Ditinjau dari potensi pengembangan peternakan sapi bali di wilayah kelompok ternak binaan maka peternakan sapi akan mampu meningkatkan kondisi sosial ekonomi masyarakat di wilayah tersebut.

Terkait dengan pengembangan ternak sapi pada kelompok ternak binaan tersebut telah mendapat perhatian dari berbagai instansi baik pemerintah maupun suasta. Dari empat kelompok ternak binaan tersebut dua kelompok ternak sudah pernah mendapat bantuan. Bantuan tersebut diberikan dalam bentuk bibit ternak maupun bantuan lainnya. Pada program ini akan dilakukan program pembinaan dan pendampingan dalam meningkatkan produktivitas melalui pemberantasan penyakit parasit.

5.3 Karakteristik Peternakan Sapi Kelompok Ternak Binaan

Berdasarkan data yang diperoleh dari karakteristi peternakan sapi kelompok ternak binaan menunjukkan bahwa sistem pemeliharaan tradisional. Selain memelihara sapi juga

0 20 40 60 80 100 120 ARTA WIGUNA MARGI LESTARI WANA MERTA DUKUH SARI KERAMIK SEMEN TANAH

(22)

memelihara aneka ternak lainnya. Lebih dari setelah (59,7%) anggota kelompok ternak binaan selain memelihara sapi juga memelihara ternak lainnya.

Peternakan sapi di kelompok ternak binaan ini sangat didukung oleh ketersediaan pakan berupa rumput gajah yang ditanam dan tumbuh subur di lereng gunung agung. Sebaian besar (76%) anggota kelompok ternak binaan menyatakan bahwa ketersediaan pakan di wilayahnya sangat mencukupi (Gambar 8).

Gambar 8. Ketersediaan pakan pada kelompok ternak binaan

Selain rumput gajah sebagai pakan utama, peternak juga menggunakan pakan tambahan berupa konsentrat maupun pakan tambahan lainnya. Namun tidak semua anggota kelompok ternak menyatakan bahwa mereka menggunakan pakan tambahan. Sebaian (50,6%) menyatakan menggunakan pakan tambahan dan sisanya 49,4% menyatakan bahwa mereka tidak menggunakan pakan tambahan. Keragaman penggunaan pakan tambahan tersaji pada gambar 9.

Gambar 9. Keragaman penggunaan pakan tambahan pada kelompok ternak binaan YA 0 20 40 60 80 100 YA TIDAK

(23)

Sapi yang dipelihara oleh kelompok ternak binaan 36,4% dieroleh di pasar hewan, 39% menyatakan bahwa dari ternak sendir dan 24,7% menyatakan bahwa sapi yang dipelihara dari peternakan sendiri dan pasar.

5.4. Survey Penyakit Parasiter

Dalam penelitian tahun pertama dilakukan survey penyakit parasiter pada sapi yang ada pada kelompok ternak binaan. Survey penyakit parasiter dilakukan secara langsung dengan pemeriksaan koproskopis terhadap parasit yang menginfeksi saluran pencernaan, serta pemeriksaan secara tidak langsung dengan mendeteksi keberadaan antibodi terhadap Nesopora caninum dengan metoda ELISA.

Data yang terkait dengan penyakit parasiter pada sapi juga diperoleh melalui kuisioner, terutama pengetahuan dan pemahaman tentang penyakit parasiter. Penyakit parasiter yang umum diketahui masyarakat adalah kecacingan. Hanya 27,3% anggota kelompok ternak binaan mengetahui bahwa kecacingan juga terjadi pada ternak. Tetapi apakah ternak sapi juga terinfeksi oelh cacing, 100% menyatakan tidak tahu tentang kecacingan dan dampaknya pada sapi. Dari pemahaman dan pengetahuan tersebut maka sangat perlu diberikan pemahaman terutama bahaya penyakit parasiter pada sapi. Selain masalah penyakit parasiter, penyakit lainnya juga merupakan maslah pada ternak di kelompok ternak binaan tersebut. Hampir semua (98,7%) anggota kelompok ternak binaan yang mengalami masalah kesehatan ternaknya melapor pada petugas peternakan.

Penyakit pada ternak tidak hanya berdampak pada kesehatan ternak, juga beberapa penyakit pada ternak dapat menular ke manusia yaitu bersifat zoonosis. Salah satu penyakit zoonosis yang dapat ditularkan melalui daging sapi adalah penyakit cacing pita pada manusia. Dalam siklus hidup dan penularan ke manusia sangat didukung oleh faktor sanitasi. Data yang dieproleh pada penelitian ini 98,7% anggota kelompok ternak binaan tidak memiliki jamban. Kondisi seperti ini sangat potensial terjadinya penyebaran penyakit zoonosis tersebut.

5.4.1. Infeksi Parasit Gastrointestinal

Pemeriksaan koproskopis dilakukan dengan pemeriksaan keberadaan stadium tertentu dari parasit yang berada dalam saluran pencernaan melalui pemeriksaan feses. Feses sapi diambil secara langsung pada rektum kemudian ditampung dalam kontainer

(24)

feses yang tanpa pengawet dan dengan pengawet Sodium Acid Formaldehyde (SAF). Sampel feses tanpa pengawet disimpat di lemari es sebelum dilakukan pemeriksaan laboratorium.

Dari hasil pemeriksaan mikroskopis ditemuakan adanya telos cacing Fasciola spp, Paramphistomum spp, Trichuris spp dan Toxocara vitulorum. Disamping itu ditemukan juga ookista Eimeria spp., dengan prevalensi berturut turut 42%, 36%, 24%, 40% dan 77%. Keragaman prevalensi pada masing-masing kelompok ternak binaan tersaji pada gambar 10.

Gambar 10. Prevalensi parasit gastrointestinal pada sapi di masing-masing kelompok ternak binaan

Dari data diatas menunjukan bahwa prevalensi parasit saluran pencernaan pada sapi di masing masing kelompok ternak binaan cukup tinggi. Parasit tersebut sangat mempengaruhi pertumbuhan dan produktivitas ternak.

0 20 40 60 80 100 FASCIOLA PARAMPHISTOMUM TRICHURIS TOXOCARA EIMERIA DUKUH SARI WANA MERTA MARGI LESTARI ARTA WIGUNA

(25)

5.4.2 Seroprevalensi Neospora caninum

Neosporosis adalah penyakit parasiter yang disebabkan oleh parasit Neospora caninum, penyakit ini merupakan salah satu penyebab keguguran endemik maupun sporadik pada sapi yang dapat meyerang sapi perah maupun sapi potong. Dampak lainnya selain keguguran, neosporosis dapat menyebabkan lahir lemah pada pedet. Pada anjing infeksi parasit ini menyebabkan kerusakan neuromuscular. Sapi yang pernah mengalami keguguran akibat neosporosis dapat mengalami keguguran lagi, atau melahirkan anak sapi yang secara klinis sakit, lemah atau bersifat subklinis.

Infeksi Neospora pada sapi menyebabkan kerugian ekonomi, karena mengalami keguguran. Sapi yang terinfeksi neospora mengalami penurunan efisiensi reproduksi, produksi susu berkurang, berat badan menurun, (Baszler, 2003 ). Hewan yang lahir dengan neosporosis secara klinis tampak lemah, kurus dan tidak bisa berkembang. Hal ini akan menimbulkan penyakit penting pada sapi yang menyebabkan perekonomian benar - benar goyah, (Moore dan Dragi, 2003; Moore, 2005). Sebagai contoli di California biaya yang dikeluarkan untuk penanganan terhadap Neospora

caninum, sekitar US$ 35 Million per tahun, (Cheah, et at., 2004). Dampak ekonomi dari keguguran

yang disebabkan Neospora caninum tergantung pada biaya pemeliharaan, fetus yang mati dan secara tidak langsung dihubungkan dengan penetapan diagnosis. Keturunannya akan mengalami keguguran dan tidak menghasilkan susu, (Murat dan Mehtap, 2005). Pada sapi perah , sapi yang seropositif Neospora caninum, produksi susunya menurun dibanding dengan sapi yang tidak terinfeksi,tetapi dibanding dengan yang seronegatif produksi susunya lebih tinggi , (Moore, 2005).

Anjing merupakan hospes definitif Neospora caninum, oleh karena itu peran anjing sangat penting dalam penyebaran neosporosis pada ternak lainnya terutama sapi. Pada penelitian ini 98,7% anggota kelompok ternak binaan menyatakan bahwa disekitar kandang sapi terdapat anjing yang dipelihara sendiri atau yang dipelihara tetangga. Dengan kondisi seperti ini sangat potensial sapi yang dipelihara terinfeksi oleh Neospora caninum.

Dari 644 ekor yang diperiksa secara serologis dengan menggunakan metoda ELISA, 52 ekor sapi terdeteksi adanya antibodi (IgG) terhadap Neospora caninum, atau seroprevalensi Nesospora caninum pada sapi sebesar 8%. Antibodi terhadap Neospora caninum ditemukan pada 18 peternak yang tersebar di semua kelompok ternak binaan(Gambar 11).

(26)

Gambar 11. Seroprevalensi Neospora caninum

Parameter lainnya yang diketahui mempunyai hubungan yang signifikan dengan seropositif antibodi Neospora caninum pada sapi adalah gangguan reproduksi. Sapi yang dinyatakan pernah mengalami gangguan reproduksi lebih banyak ditemukan seropositif terhadap Neospora caninum dibandingkan dengan sapi yang dinyatakan tidak pernah mengalami gangguan reproduksi.

Dari beberapa parameter tersebut diketahui bahwa kepemilikan anjing mempunyai hubungan dengan seropositif pada sapi. Kemudian hubungan signifikan juga terjadi antara seropositif pada sapi dengan anjing yang positif baik dalam pemeriksaan serologis maupun koproskopis terhadap antibodi maupun oosit Neospora caninum. Hal ini mengindikasikan bahwa sumber penularan pada sapi terjadi melalui kontaminasi air atau pakan oleh oosit Neospora caninum pada tinja anjing. Seperti diuraikan dalam beberapa laporan penelitian bahwa di dalam intestinum anjing berkembang ookista Neospora caninum dan mengeluarkan ookista tersebut lewat feses, (Baszler , 2003). Ookista tersebut akan sangat resisten untuk bertahan hidup sampai beberapa minggu atau beberapa bulan pada lingkungan yang cocok, ( Schares , 2003). Ookista yang mencemari makanan apabila termakan hospes intermediet (sapi), akan berkembang menjadi sporozoit , kemudian akan menginfeksi serta menyebar ke usus halus. Sporozoit menyebar dengan cepat, dan berubah menjadi takhizoit, (Sanchez. et al., 2003). Takhizoit berkembang pada bermacam jaringan

8

23

Sapi Peternak

(27)

terutama pada otot, hati, jantung , otak, dan plasenta, (Baszler, 2003 ). Takhizoit yang menginfeksi otot skeletal dan otot jantung, serta yang melalui jaringan menyebar ke hati, akan menjadi berlipat ganda, berkembang , dan membentuk kista yang berisi bradizoit. Apabila proses infeksi terjadi pada janin dan plasenta , akan menyebabkan keguguran, melahirkan anak sapi yang lemah, mati waktu lahir dan juga turunnya produksi susu, (Schares, 2003). Hospes intermediet dapat juga mengalami infeksi tanpa mencernakan ookista, tetapi dengan Cara transplasental, induk ke fetus lewat aliran darah, (Baszler , 2003).

Hasil penelitian ini juga menunjukkan adanya hubungan yang signifikan antara sapi yang pernah mengalami gangguan reproduksi dengan seropositif antibodi terhadap Neospora caninum. Namun secara signifikan tidak ditemukan adanya hubungan sapi seropositif dengan riwayat pernah mengalami keguguran. Selama dilakukan monitoring sapi sapi seropositif, satupun sampai saat ini tidak tejadi keguguran sehingga tidak dilakukan isolasi Neospora caninum pada janin yang mengalami keguguran. Untuk tujuan tersebut direncanakan pada penelitian berikutnya dilakukan isolasi parasit baik pada janin yang mengalami keguguran maupun pada tinja anjing. Terkait hubungan antara gangguan reproduksi dengan infeksi Neospora caninum pada sapi Sawada et al., (2000) melaporkan bahwa sapi yang mengandung antibodi Neospora caninum atau seropositif cenderung mengalami abortus dibandingkan dengan sapi yang seronegatif. Titer antibodi meningkat pada 4 sampai 5 bulan sebelum kelahiran dan akan menurun sejak 2 bulan setelah kelahiran. Dalam suatu penelitian menunjukkan adanya reaktivasi infeksi laten; tetapi masih sedikit yang mengetahui mekanisme reaktivasinya. Hal ini diyakini mirip pada mekanisme parasitemia pada saat kebuntingan yang menginduksi terjadinya infeksi pada fetus.

Selain itu jika ditinjau dari keberadaan antibodi pada sapi yang tidak menunjukkan gejala klinis, titer antibodi akan mengalami peningkatan pada sapi yang mengalami abortus daripada yang tidak mengalami abortus. Titer antibodi mengalami puncaknya pada 4-5 bulan sebelum kelahiran hal ini menunjukkan adanya reaktivasi infeksi laten pada pertengahan kebuntingan, (Stenlund et al., 1999). Pada penelitian tidak menunjukkan perubahan antibodi pada berbagai umur kebuntingan. Hal ini disebabkan masing-masing sapi yang diteliti belum dilakukan dalam satu siklus penuh, namun penelitian ini akan terus dilakukan sehingga masing-masing sapi dimonitor dalam satu siklus reproduksi.

(28)

Hasil penelitian ini mengindikasikan bahwa anjing merupakan sumber penularan Neospora caninum terhadap sapi yang secara serologis positif mengandung antibodi. Dan secara koproskopis diketahui bahwa anjing mengeluarkan ookista Neospora caninum bersama tinja.

(29)

BAB 6.

RENCANA TAHUN BERIKUTNYA

Tahun berikutnya yaitu tahun 2016 direncanakan program pembinaan kelompok ternak. Strategi pembinaan disusun berdasarkan data dan informasi yang telah diperoleh pada tahun pertama meliputi data sosiodemografis, danta infeksi penyakit parasiter serta data lainnya. Secara ringkar kegiatan, luaran dan indikator capaian pada pelaksanaan tahun kedua sebagai berikut.

Kegiatan Luaran Indikator capaian

TA H U N K E - 2 Pembinaan kelompok ternak • Kelompok ternak andal dan mandiri • Program pelayanan kesehatan • Data efektifitas program • Data analisis ekonomi • Prevalensi penyakit parasit menurun • Produktivitas ternak meningkat

• Jumlah pedet grade I lebih banyak

• Pendapatan peternak meningkat

6.1 Pembinaan Kelompok Ternak

Pembinaan kelompok ternak dilakukan secara periodik dan terjadual, kegiatan yang dilakukan secara bekelompok melalui penyuluhan tentang manajemen pencegahan dan penanggulangan penyakit pada sapi secara umum. Selanjutnya dilakukan pendampingan teknis ke masing-masing peternak dengan melibatkan mahasiswa PPDH FKH Unud. Pendampingan teknis meliputi cara penggunaan obat-obatan yang selektif, aman dan efektif dalam pengendalian penyakit parasit.

6.2 Pelayanan kesehatan ternak

Pemeriksaan kesehatan ternak sapi pada seluruh anggota kelompok ternak akan dilakukan dilanjutkan dengan pengobatan apabila ternak tersebut terbukti secara laboratoris terinfeksi oleh parasit.

6.3 Monitoring dan evaluasi

Monitoring dilakukan satu bulan setelah pengobatan dengan melakukan uji laboratorium seperti pada tabel 1. Kegiatan ini dilakukan untuk mengetahui efikasi atau

(30)

kemampuan strategi pengendalian yang dilakukan menurunkan atau meniadakan penyakit tersebut. Evaluasi juga akan dilakukan untuk mengetahui dampak positif program ini yang meliputi: a) jumlah peternak yang hadir dari jumlah yang diundang, b) jumlah peternak yang mengikuti sampai akhir program ini dari jumlah yang hadir c) respon peternak selama kegiatan yang meliputi jumlah peserta yang aktif dari jumlah yang hadir. Di akhir program ini akan dilakukan analisi ekonomi akibat dari penerapak program ini.

Enam bulan setelah kegiatan ini berakhir akan dilakukan evaluasi setelah kegiatan meliputi: a) peternak yang menerapkan program ini pada beberapa kelompok ternak di Bali dan b) peternak yang menerapkan program ini yang berasal dari luar kelompok peternak atau dari kabupaten lain.

(31)

BAB 7. KESIMPULAN DAN SARAN

Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh dari pengambilan data melalui kuisioner dan pemeriksaan laboratorium dapat disimpulkan sebagai berikut:

1. Status sosial ekonomi anggota kelompok tani binaan masih rendah sehingga tingkat kesejahteraannya juga rendah.

2. Peternakan sapi merupakan satu satunya penunjang perekonomian kelompok ternak binaan.

3. Peternakan sapi di wilayah kelompok ternak binaan sangat potensial untuk dikembangkan karena didukung oleh ketersediaan pakan ternak.

4. Kelompok ternak binaan tidak memiliki pemahaman dan pengetahuan tentang penyakit parasiter serta dampaknya terhadap ternak

5. Prevalensi penyakit parasit saluran pencernaan pada kelompok ternak binaan cukup tinggi.

6. Antibodi terhadap Neospora caninum ditemukan pada sapi yang dipelihara oleh kelompok ternak binaan.

Dari hasil penelitian yang diperoleh berupa data sosiodemografis peternak, jenis penyakit parasiter yang ditemukan dapat digunakan sebagai dasar dalam penyusunan program pemberantasan penyakit parasiter berbasis partisipasi peternak. Pada program yang akan dilaksankana pada tahun kedua akan diawali dengan program pembinaan dan pendampingan kelompok ternak, dan selanjutnya akan dilakukan program pengobatan dengan melibatkan peternak. Di akhir program perlu dilakukan evaluasi tentang dampak program tersebut dari aspek ekonomi, produktivitas ternak dan kesehatan ternak.

(32)

DAFTAR PUSTAKA

Anonymous, 1990. Data ekonomi akibat penyakit. Direktorat jenderal Peternakan, Jakarta. Barr, B. C., J. P. Dubey, D. S. Lindsay, J. P. Reynolds, and S. J. Wells. 1998.Neosporosis:

its prevalence and economic impact. Comp. Cont. Edu. Pract.Vet. 20:1–16. Barth D., 1993: Importance of the methodology in the interpretation of factors affecting

degradation of dung, Vet. Parasitol. 48. 99-108.

Bisset SA, Morris CA, McEwan JC, Vlassoff A: 2001. Breeding sheep in New Zealand that are less reliant on anthelmintics to maintain health and productivity. N Z Vet J, 49:236-246.

Chick B, McDonald D, Cobb R, Kieran PJ, Wood I. 1993. The efficacy of injectable and pour-on formulations of moxidectin against lice on cattle. Aust Vet J. Jun;70(6):212–213.

Damriyasa IM., N.S. Dharmawan, Ibk Ardana, A.A.S Kenderan, 2004. Pemberantasan Ekto Dan Endoparasit Pada Babi Untuk Meningkatkan Produktivitas Ternak Rakyat Di Desa Bebandem Karangasem. Udayana Mengabdi 3 (1) P. 7-8

Damriyasa, IM., Schares G. And C. Bauer (2010) Seroprevalence of Antibodies to Neospora Caninum In Bos Javanicus (Bali Cattle) From Indonesia. Trop. Anim. Health Prod. 42: 95-98

Dharmawan, N.S., A.A.S. Kenderan, I.B.K. Ardana, I G. Mahardika, N. Sulabda And I M. Damriyasa. (2009). Studies On The Hematology Status Of Bali Cattle In Bali. Proc. International Conference On Biotechnology, Bali, September, 15-16, 2009. Dharmawan, N.S., I M. Damriyasa, I N. Kapti, P. Sutisna, M. Okamoto And A. Ito.

(2009). Experimental Infection Of Taenia Saginata Eggs In Bali Cattle: Distribution And Density Of Cysticercus Bovis. Jurnal Veteriner 10 No. 4;178-183

Dwinata I M, I B M Oka dan I M. Damriyasa. 2009; Pemberantasan Penyakit Parasiter Berbasis Pemeriksaan Koproskopis Pada Kelompok Ternak Sapi Kerta Nandini Desa Petang. Laporan Pengabdian Penerapan Iptek

Gross SJ, Ryan WG, Ploeger HW (1999): Anthelmintic treatment of dairy cows and its effect on milk production. Vet Rec, 144:581-587.

Halley B.A., Nessel R.J., Lu A.Y.H., 1989: Environmental aspects of ivermectin usage in livestock: general considerations, in: CampbellW.C. (Ed.), Ivermectin and Abamectin, Springer Verlag, New York, , pp. 162-172

Herd R. 1995: Endectocidal drugs: ecological risks and counter-measures, Int. J. Parasitol. 25 875-885.

Hubert J, Kerboeuf D, Cardinaud B, Blond F. 1995. Persistent efficacy of moxidectin against Dictyocaulus viviparus and Ostertagia ostertagi in cattle. Vet Rec. Mar 4;136(9):223–224.

(33)

Kendran A. A. S., I M Damriyasa, N S Dharmawan, I B K Ardana, L D Anggreni (2012). Profil Kimia Klinik Darah Sapi Bali. Veteriner Vol. 13 No. 4; 410-415

Ketzis JK, Vercruysse J, Stromberg BE, Larsen M, Athanasiadou S, Houdijk JG: 2006. Evaluation of efficacy expectations for novel and non-chemical helminth control strategies in ruminants. Vet Parasitol, 139:321-35.

Le Jambre L.F., RoyalW.M.,MartinP.J.: 1979. The inheritance of thiabendazole resistance in Haemonchus contortus, Parasitology 78. 107-119.

Lumaret J.-P., Galante E., Lumbreras C., Mena C.,BertrandM., Bernal J.L.,Cooper J.-F., Kadiri N., Crowe D., 1993: Field effects of antiparasitic drug ivermectin residues on dung beetles, J. Appl. Ecol. 30 428-436.

McCracken D.I., 1993: The potential for avermectins to affect wildlife, Vet. Parasitol. 48 273-280.

Morin D, Valdez R, Lichtensteiger C, Paul A, DiPietro J, Guerino F. 1996. Efficacy of moxidectin 0.5% pour-on against naturally acquired nematode infections in cattle. Vet Parasitol. Oct 15;65(1-2):75–81.

Reichel, M. P. 2000. Neospora caninum infections in Australia and New Zealand. Aust. Vet. J. 78:258–261.

Sangster N.C., Redwin J.M., Bjørn H.: 1998. Inheritance of levamisole and benzimidazole resistance in an isolate of Haemonchus contortus, Int.J. Parasitol. 28 503-510. Stear MJ, Doligalska M, Donskow-Schmelter K: 2007. Alternatives to anthelmintics for

the control of nematodes in livestock. Parasitology, 134:139-151.

Suhardono, S. Widjajanti, P. Stevenson and I.H. Carmichael. 1991. Control of Fasciola gigantica with triclabendazole in Indonesia cattle. Trop. Anim. Health and Production, 23: 217 – 220.

Wall R., Strong L., 1987: Environmental consequences of treating cattle with antiparasitic drug ivermectin, Nature 327. 418-421.

Wardhaugh K.G., Longstaff B.C., Lacey M.J., 1998: Effects of residues of deltamethrin in cattle faeces on the development and survival of three species of dung-breeding insects, Aust. Vet. J. 76. 273-280.

Wardhaugh K.G., Longstaff B.C.,MortonR., 2001: A comparison of the evelopment and survival of the dung beetle, Onthophagus taurus (Schreb.) when fed on the faeces of cattle treated with pour-on formulations of prinomectin or moxidectin,Vet. Parasitol. 99. 155-168.

Williams JC, Corwin RM, Craig TM, Wescott RB. 1986.Control strategies for nematodiasis in cattle. Vet Clin North Am Food Anim Pract. Jul;2(2):247–260.

(34)

Lampiran 1. Kuisionere Peternak

TIM PENELITIAN MP3EI SAPI BALI FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN

UNIVERSITAS UDAYANA

Nomor Kwisioner: Nama Pemilik:...

Alamat :………... Telp/Hp:………

Nama Kelompok ... Jumlah Sapi ... Tanggal kunjungan: ………..…………...

A. Data Peternakan:

1. Pendidikan Pemilik 12. Apakah tahu sapi terinfeksi kecacingan q 1 SD q 4 Perg. tinggi q 1 Ya

q 2 SMP q 5 Tidak sekolah q 2 Tidak q 3 SMA

2. Pekerjaan Pemilik 13. Kalau Ya, apa langkah selanjutnya? q 1 Petani q Swasta/Wiraswasta q 1 Dibiarkan q 3 Obati Sendiri q 2 PNS/ABRI q 2 Lapor petugas keswan/dokter hewan 3. Rata2 penghasilan/bl: Rp. ... 14. Pemasaran sapi, dijual ke:... 4. Kondisi rumah 15. Apakah tahu dampak infeksi kecacaingan q 1 Lantai tanah q 3 lantai keramik q 1 Ya

q 2 Lantai semen q 2 Tidak

5.Sarana transportasi yang dimiliki 16. Ketersediaan pakan

q 1 Sepeda motor, jumlah:... q 1 Tidak ada q 3 Cukup q 2 Mobil, jumlah:... q 2 Kurang

6. Jamban 17. Asal sapi (bibit) yang dipelihara sekarang q 1 Ya q 1 Sendiri q 3 Lainnya:...

(35)

q 2 Tidak (dimana:...) q 2 Pasar:... 7. Pendidikan Anak 18. Peran sapi utk kesejahteraan peternak q 1 SD q 4 Perg. tinggi q 1 Tidak q 4 Cukup

q 2 SMP q 5 Tidak sekolah q 2 Kurang q 5 Sangat mendukung

q 3 SMA q 3 Mendukung

8. Pernah menerima bantuan terkait peternakan 19. Pakan tambahan

q 1 Ya q 1 Ya:...

q 2 Tidak q 2 Tidak

9. Kalau Ya 20. Permasalahan yang dihadapi (sebutkan): q 1 Bentuk:... ... q 2 Asal:... ... 10. Memelihara ternak lain selain sapi ... q 1 Ya: ... ... q 2 Tidak ... 11. Di sekitar kandang terdapat anjing ... q 1 Ya ... q 2 Tidak ...

(36)

Lampiran 2. Kuisioner individu ternak

TIM PENELITIAN MP3EI SAPI BALI FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN

UNIVERSITAS UDAYANA

Nomor Kwisioner: Nama Pemilik:...

Alamat :………... Telp/Hp:………

Nama Kelompok ... Jumlah Sapi ... Tanggal kunjungan: ………..…………...

B. Data individu ternak:

1. Jenis kelamin 7. Pernah divaksinasi

q 1 Jantan q 1 Ya (apa dan kapan………..)

q 2 Betina q 2 Tidak

2. Jenis sapi 8. Status reproduksi (sapi betina)

q 1 Induk q 1 Masa kering

q 2 Penggemukan q 2 Bunting (... bl)

q 3 Pedet q 3 Menyusui

3. Status umur 9. Pernah keguguran (sapi betina)

q 1 Muda q 1 Ya (kapan……….)

q 2 Dewasa q 2 Tidak

4. Kondisi fisik: 10. Sumber air minum

q 1 Gemuk q 1 PAM

q 2 Sedang q 2 Sungai

q 3 Kurus q 3 Air hujan

5. Pernah mencret 11. Sistem perkandangan q 1 Ya (Kapan:……….) q 1 Lantai tanah

(37)

q 2 Tidak q 2 Lantai semen

6. Pernah diobati 12. Pakan

q 1 Ya (apa dan kapan………..) q 1 Rumput q 4 Lainnya...

q 2 Tidak q 2 Rumput dan hijauan

Gambar

Gambar 1. Sebaran Kelompok Ternak Sapi di 7 Kecamatan   di Kabupaten Karangasem
Gambar 2. Sebaran jumlah anggota kelompok ternak binaan
Gambar 5. Tingkat pendidikan anggota kelompok tani ternak
Gambar 7. Perbedaan tingkat pendidikan anak masing masing kelompok ternak.
+5

Referensi

Dokumen terkait

54 b. Kegiatan TE periode bulan Januari-Desember 2016 telah dilakukan baik terhadap sapi-sapi yang ada BET Cipelang maupun di luar BET Cipelang. Hasil dari

Dengan mengintroduksikan teknologi inovasi spesifik lokasi yang di dalamnya sudah mencakup teknik pengendalian parasit dan penyakit ternak, maka kawasan tipologi lahan

Penelitian ini bertujuan mengidentifikasi jenis penyakit parasit cacing yang ada pada ternak sapi Peranakan Ongole (PO) di Distrik Semanga Kabupaten Merauke dengan waktu

Laporan Tahunan Tahun Anggaran 2017 mencakup pelaksanaan program Pemenuhan Pangan Asal Ternak dan Agribisnis Peternakan Rakyat, dengan kegiatan berupa Pengendalian

Pelayanan informasi publik di PPID Pelaksana Unit Pelaksana Teknis Balai Pembibitan Ternak Unggul Sapi Bali masih belum dilakukan secara terstrukturI. Hal ini

pengaruhnya terhadap Strategi Pengembangan Usaha ternak sapi potong pada Kelompok tani. ternak penerima program Bantuan Langsung

Laporan Tahunan Tahun Anggaran 2015 mencakup pelaksanaan program Pemenuhan Pangan Asal Ternak dan Agribisnis Peternakan Rakyat, dengan kegiatan berupa Pengendalian

Laporan Tahunan Tahun Anggaran 2016 mencakup pelaksanaan program Pemenuhan Pangan Asal Ternak dan Agribisnis Peternakan Rakyat, dengan kegiatan berupa Pengendalian