LAPORAN PENELITIAN MANDIRI
HAK WARIS WANITA BALI HINDU DALAM YURISPRUDENSI (Tinjauan Putusan Pengadilan di Bali)
Oleh
A.A NGURAH YUSA DARMADI, SH.,MH I.B PUTRA ATMADJA, SH.,MH
UNIVERSITAS UDAYANA FAKULTAS HUKUM
BAB I PENDAHULUAN
1. Latar Belakang Masalah.
Suatu usaha untuk meninjau keputusan-keputusan pengadilan tentang perkara-perkara warisan khususnya perkara-perkara warisan yang menyangkut hak waris wanita Bali Hindu dirasakan sangat perlu untuk dilakukan karena melalui yurisprudensi sebagai salah satu sumber untuk menemukan hukum yang berlaku dalam masyarakat hukum adat akan dapat diketahui apakah hukum adat waris yang berlaku dalam masyarakat hukum adat Bali sudah berkembang ataukah sudah berubahatau masih tetap seperti dulu?.
Sebagai suatu sub kultur yang selanjutnya akan tercermin dalam kehidupan adapt dan hukum adatnya maka hukum adat Bali mempunyai keunikan-keunikan. Keunikan–keunikan tersebut ada dan terjadi karena kehidupan masyarakat Bali terkait erat dengan kepercayaan dan agama yang dianut oleh masyarakatnya yang sebagian besar beragama Hindu. Dalam pandangan agama Hindu dan dalam kehidupan masyarakat hukum adat Bali, peranan anak laki-laki lebih menonjol jika dibandingkan dengan anak wanitanya. Terutama dalam kehidupan yang berkaitan dengan hidup kerohanian yang terwujud dalam bentuk penghormatan terhadap leluhur seperti yang tertuang dalam Kitab Manawadharmasastra ayat 137 Buku IX yang berbunyi antara lain: “melalui anak laki ia menundukkan dunia, melalui cucu laki ia mencapai kekekalan, melalui anak dan cucunya ia mencapai alam matahari”. ( Gde Pudja dan Tjok.Rai Sudharta : 1977, 74 ).
Ketentuan tersebut menunjukkan bahwa keturunan laki-laki menjadi tumpuan dan harapan untuk mencapai tujuan leluhur dan orang tua.. Dan sebagai konsekwensi dari ketentuan bahwa anak laki dalam segala aspek kehidupan selalu dipandang lebih tinggi dari anak wanita., maka ada perbedaan kedudukan antara anak laki dengan anak wanita. Dalam hubungan inilah peranan laki-laki lebih menonjol sebagai pelanjut keturunan leluhur. Disamping itu pula terjadi pada pelaksanaan upacara-upacara “Panca Yadnya” dan juga dalam hubungan dengan tugas kemasyarakatan lainnya.
Bertitik tolak dari peranan dan ketentuan yang demikian itulah menyebabkan beberapa putusan pengadilan dijadikan sebagai bahan dalam penelitian, yang mempunyai arti penting pula agar lebih memahami aspek hukum yang diterapkan, oleh hakim dalam setiap putusannya terutama putusannya yang menyangkut hukum
adat waris dimana hukum adat waris yang merupakan bagian dari hukum kekeluargaan khususnya yang berlaku bagi masyarakat Bali yang beragama Hindu dan lebih mengkhusus lagi adalah hak waris bagi wanita Bali Hindu.
Sistem kekerabatan patrilinial yang dijiwai oleh Agama Hindu mempengaruhi pula hukum adat waris Bali yang mempunyai corak khas yaitu bahwa yang berhak sebagai ahli waris adalah anak laki-laki seperti yang telah ditetapkan berdasarkan Hasil diskusi Hukum Adat Waris di Bali (Pangkat: 1972 dan Paneca: 1986 ahli waris adalah: 1. Setiap laki-laki dalam hubungan purusa selama tidak terputus haknya menerima warisan, 2. Setiap sentana rajeg selama tidak terputus haknya untuk menerima warisan.
Kedudukan anak laki-laki sebagai ahli waris juga telah dituangkan dalam Putusan Pengadilan antara lain dalam Putusan MA No.32 K/Sip/1971 tanggal 24 Maret 1971, yang menetapkan bahwa ahli waris menurut Hukum Adat Bali adalah keturunan atau anak laki-laki.Sedangkan menurut Gde Panetja menjelaskan dalam tulisannya menyatakan bahwa anak wanita mempunyai hak waris terbatas, yang berarti anak wanita pada hakekatnya hanya mempunyai hak untuk menghasili belaka selama ia tinggal dirumah asal atau selama ia belum kawin, sehinhha hak itu tidak boleh dianggap sebagai kepemilikan, kecuali terhadap hasil-hasilnya saja dan tidak boleh menjual ataupun menggadaikannya.Berdasarkan ketentuan-ketentuan Hukum Adat Waris Bali seperti yang telah diuraikian diatas yang sampai saat ini masih diikuti dan ditaati oleh masyarakat Hukum adat Bali dan diperkuat pula oleh putusan-pitusan pengadilan dan ditunjang pula oleh hasil-hasil penelitian tampak dengan jelas bahwa wanita kecuali yang berkedudukan sebagai sentana rajeg , tidak berkedudukan sebagai ahli waris.. Apabila disimak dari pasal 27 ayat 1 UUD 1945 yang menyebutkan bahwa: Segala warganegara bersamaan kedudukannya di dalam hokum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hokum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya Dan selanjutnya dalam ayat 2 disebutkan “tiap-tiap warga Negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusian .Jadi dari ketentuan pasal 27 ayat 1 dan 2 UUD 1945 dapat dikatakan bahwa pasal tersebut sebagai dasar hukum persamaan hak dan kewajiban antara pria dan wanita Selanjutnya prinsip persamaan hak dan kewajiban antara pria dan wanita dijabarkan dalam TAP MPR II/1983 (GBHN 1983) yang berbunyi bahwa: wanita baik sebagai warga Negara
maupun sebagai sumber daya insani pembangunan , mempunyai hak dan kewajiban serta kesempatan yang sama dengan pria dalam pembangunan di segala bidang ”Dan dengan diratifikasinya Konvensi Wanita melalui Undang-Undang No.7 Tahun 1984 adalah merupakan upaya untuk memperbaiki kondisi yang dihadapi wanita dan untuk meningkatkan status wanita dengan maksud menghapuskan segala bentuk diskriminasi terhadap wanita dalam segala bidang kehidupan , termasuk diskriminasi dalam hukum keluarga dan dalam hukum warisnya.
Walaupun prinsip persamaan hak dan kewajiban antara pria dan wanita telah diatur baik dalamUUD, GBHN maupun dalam beberapa ketentuan peraturan perundang-undangan namun ada kalanya prinsip persamaan hak tersebut dalam kenyataannya belum tercermin bahkan sering kali diabaikan. Karena khususnya dalam bidang hukum adat yang sebagian besar tidak tertulis dan berlakunya sedaerah-sedaerah yang sampai saat ini masih tetap diakui dan ditaati di Indonesia termasuk Bali mempunyai keunikan-keunikan dalam pelaksanaan hak dan kewajiban antara pria dan wanitanya dan secara umum hukum adat Bali tidak menganut prinsip persamaan hak dan kewajiban antara anak laki dan anak wanita karena hal ini dipengaruhi oleh sistem kekeluargaan yang dianut oleh masyarakat hukum adat Bali
Walaupun anak perempuan ditegaskan bukan sebagai ahli waris, tetapi dalam kenyataannya di Bali anak wanita dapat ikut menikmati harta kekayaan orang tua mereka selama belum kawin disebut “pengupa jiwa“, bagi anak wanita yang akan kawin diberi bekal berupa harta “jiwa dana atau tetadtadan”, demikian pula bagi janda yang tetap melaksanakan dharmanya sebagai janda masih tetap dapat menikmati harta peninggalan suaminya.Jadi dari hal-hal yang telah diuraikan diatas dapat diketahui bahwa anak wanita baik ia sebagai dehe,dehe tua ,sentana rajeg maupun sebagai janda masih mempunyai hak terhadap harta warisan orang tuanya Dan keadaan seperti itu disebut dengan hak waris yang terbatas dan bersyarat. Demikian pula terungkap dalam seminar “Kedudukan Wanita Dalam Hukum: Harapan Dan Kenyataan” yang diselenggarakan oleh Fakultas Hukum Unud, oleh pemakalah dari Pengadilan Negeri Denpasar mengungkapkan bahwa sebagai seorang hakim dalam mengambil keputusan, pernah mempertimbangkan bahwa penjualan harta peninggalan suami oleh jandanya sepanjang penjualan harta tersebut digunakan untuk biaya pelaksanaan upacara “ngaben”( pembakaran jenasah suaminya) dapat dibenarkan. Dari beberapa
penjelasan seperti tersebut diatas dapat diketahui bahwa sikap dan tindakan hakim seperti itu merupakan sikap dan tindakan yang bersifat inovatif yang akan dapat menimbulkan perubahan (perkembangan),khususnya terhadap hak waris anak wanita Bali Hindu, masih dapat menikmati harta warisan dari orang tua mereka walaupun terbatas dan bersyarat.
Demikian pula adanya kemajuan cara berpikir anggota masyarakat khususnya para orang tua sebagai akibat majunya pendidikan ,kemajuan dan perubahan zaman.merupakan petunjuk bahwa cepat atau lambat akan membawa pula perubahan orientasi dari masa lampau ke masa depan Dengan demikian dalam bidang hukum warispun diharapkan akan ada perubahan karena adanya perubahan rasa keadilan dalam masyarakat yang dilandasi oleh pandangan bahwa antara pria dan wanita mempunyai kedudukan yang sama sehingga hukum adat warispun akan berubah kearah hukum waris bilateral individual seperti yang diarahkan oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional Indonesia. Tetapi dalam mempengaruhi hukum adat waris dimasa yang akan datang tidak cukup hanya ditentukan oleh perubahan pandangan terhadap nilai anak laki dan anak perempuan dalam keluarga dan masyarakat saja , karena hal ini menyangkut norma hukum yang sudah tentunya memerlukan juga perubahan sikap penguasa, yang dalam hal ini adalah penguasa yang bergerak di bidang peradilan (melalui penetapan atau putusannya atau melalui yurisprudensinya) dan penguasa yang bergerak di bidang legislative melalui perundng-undangan yang dibuatnya. Jika kedua lembaga ini bekerja bersama-sama maka akan dapat mempengaruhi berlakunya hukum adat khususnya hukum adat waris wanita Bali Hindu dimasa yang akan datang.
Bertitik tolak dari hal-hal yang telah dipaparkan diatas maka sangat relevan meneliti perkembangan hak waris wanita Bali Hindu dalam yurisprudensi mengingat yurisprudensi merupakan salah satu sumber menemukan hukum dan salah satu lembaga yang bertugas sebagai penegak hukum. Sebagai penegak hukum dan sumber menemukan hukum maka apa yang menjadi sikap dan tindakan hakim dalam memutus kasus-kasus konkrit yang menyangkut hak waris wanita khususnya hak waris wanita Bali Hindu., secara moral akan diikuti oleh hakim-hakim yang lain dalam menangani kasus yang serupa, walaupun sistem peradilan di Indonesia tidak menganut azas precedent.
2. Rumusan Masalah dan Ruang Lingkup Penelitian.
Penelitian ini dilakukan disemua Pengadilan yang ada di Bali dengan meninjau beberapa putusan pengadilan baik putusan Pengadilan Negeri,Pengadilan Tinggi maupun Mahkamah Agung dalam batas waktu sampai dengan Tahun 2000.Dan Ruang Lingkup Penelitian atau materi dibatasi hanya putusan pengadilan yang menyangkut kasus-kasus hak waris wanita Bali Hindu baik sebagai “ dehe, dehe tua, sentana rajeg maupun sebagai janda. Pokok permasalahan yang diteliti dalam penelitian ini dibatasi pada:
1. Bagaimanakah sikap dan tindakan hakim dalam memutus perkara warisan yang menyangkut hak waris wanita Bali Hindu ?
2. Hal-hal apakah yang dijadikan dasar pertimbangan oleh hakim dalam amar putusannya dalam perkara yang menyangkut hak waris weanita Bali Hindu ?
3. Tujuan dan Manfaat Penelitian.
Secara umum penelitian ini bertujuan untuk mengetahui sikap dan tindakan hakim dalam memutus perkara warisan dimana didalamnya tersangkut hak waris wanita Bali Hindu.Apakah dalam amar putusannya itu telah berubah atau apakah masih sama dalam menerapkan norma hukum adat waris yang telah lalu padahal zaman sudah berubah dan berkembang ? Sedangkan secara khusus penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimanakah kedudukan wanita Bali Hindu dalam pewarisan ?
Hasil penelitian mengenai kedua masalah seperti tersebut diats mempunyai manfaat baik secara teoritis maupun praktis . Secara teoritis hasil penelitian ini bermanfaat untuk menambah khsanah ilmu pengetahuan khususnya tentang kedudukan wanita dalam pewarisan, disamping bermanfaat untuk pengembangan materi perkuliahan hukum adat khususnya hukum adat Bali dan tambahan pengetahuan tentang hukum adat waris bagi janda dan anak wanita . Sedangkan secara praktis, hasil penelitian ini bermanfaat juga sebagai masukan kepada pemerintah untuk bahan pertimbangan dalam pembentukan hukum waris nasional
khususnya untuk hukum waris janda dan wanita. Selain itu juga akan berguna bagi Hakim dan Pengacara , agar mempunyai pegangan dalam tugasnya menerapkan hukum dalam kasus-kasus konkrit. Dan secara tidak langsung akan bermanfaat pula sebagai bahan informasi yang memberikan gambaran apakah telah atau belum ada perubahan di masyarakat berkaitan dengan kedudukan wanita dalam pewarisan.
4. Metodologi.
1. Pendekatan Masalah
Penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis sosiologis. Dalam hal ini hak waris wanita Bali Hindu akan dikaji dari ketentuan-ketentuan Hukum Adat dan Agama Hindu mengingat Hukum Adat Waris adalah hukum yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat, serta hukum yang diterapkan oleh hakim dalam menyelesaikan kasus-kasus konkrit Putusan hakim atau yurisprudensi sebagai salah satu sumber untuk menemukan hukum ,dan hakim sebagai petugas penegak hukum mampukah hakim melalui putusan-putusannya akan merubah pandangan dan sikap masyarakat terhadap kedudukan wanita dalam pewarisan menurut hukum adat Bali mengingat dugaan adanya perubahan-perubahan nilai ekonomi dan pendidikan ?
2. Penentuan Lokasi Penelitian.
Data yang dikumpulkan berupa data yang diambil dari yurisprudensi sampai dengan tahun 2000 dari semua pengadilan yang ada di Bali tanpa memandang termasuk klasifikasi kelas yang mana dari pengadilan tersebut. Yang terpenting di pengadilan tersebut pernah menyelesaikan kasus-kasus yang terkait dengan sengketa warisan yang menyangkut hak waris wanita Bali Hindu.
3. Metoda Pengumpulan Data.
Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini berupa yurisprudensi sampai dengan tahun 2000 dari semua pengadilan yang ada di Kabupaten-Kabupaten di Bali dengan asumsi bahwa disemua pengadilan-pengadilan tersebut pernah mengadili perkara-perkara warisan yang menyangkut baik wanita dehe, dehe tua, sentana rajeg atau sebagai janda Oleh karena Bali menurut Van Vollenhoven adalah merupakan
satu lingkaran hukum adat yakni Hukum Adat Bali , maka dari segi hukum adatnya khususnya dari system kekeluargaan patrilinial yang melandasi hukum adat waris dapat dipandang homogen dan jika ada variasi dari hal tersebut itu tidak menunjukkan perbedaan yang menonjol atau prinsip.
4. Metoda Analisis Data.
Analisis data terhadap putusan hakim (yurisprudensi) dilakukan dengan content analysis (analisis terhadap isi putusan) sehingga dengan jelas dapat diketahui pertimbangan–pertimbangan hukum yang dipakai oleh hakim dalam setiap putusannya.
BAB II
TINJAUAN KEPUSTAKAAN
Pasal 27 Undang –Undang Dasar 1945 dalam ayat 1 menyebutkan bahwa “ Semua warga Negara bersamaan kedudukannya di dalam hokum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hokum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.” Demikian pula dalam ayat 2 juga menyebutkan bahwa “Tiap-tiap warga Negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan”. Ketentuan dalam pasal 27 ayat 1 dan 2 Undang-Undang Dasar 1945 ini kemudian dijabarkan dalam Tap MPR II Tahun 1983 (Garis-Garis Besar Haluan Negara) yang menyatakan sebagai berikut :” Wanita, baik sebagai warga Negara maupun sebagai insan pembangunan, mempunyai hak dan kewajiban serta kesempatan yang sama dengan pria dalam pembangunan di segala bidang”.
Dari rumusan diatas memang belum secara tegas menyebutkan kedudukan yang sama antara pria dan wanita dalam hokum tetapi dari kata-kata”mempunyai hak dan kewajiban serta kesempatan yang sama dengan pria dalam pembangunan “ dapat ditafsirkan bahwa yang dimaksud dengan itu adalah juga pembangunan di bidang hukum. Dari ketentuan –ketentuan baik dalam pasal 27 ayat 1 dan 2, maupun dalam Tap MPR tentang GBHN tersebut dapat dinyatakan sebagai dasar hukum yang menunjukkan bahwa antara pria dan wanita mempunyai hak dan kewajiban yang sama. Tetapi walaupun prinsip persamaan hak dan kewajiban tersebut telah tercermin dalam peraturan seperti tersebut diatas, namun dalam kenyataannya masih belum seperti yang diinginkan bahkan seringkali diabaikan.
Demikian pula ketentuan dalam Undang-Undang Republik Indonesia No.7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi mengenai penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap wanita. , menentukan bahwa : segala perbedaan, pengucilan, atau pembatasan yang dibuat atas dasar jenis kelamin yang mempunyai pengaruh atau tujuan untuk mengurangi atau menghapuskan pengakuan, penikmatan,atau penggunaan hak-hak asasi manusia dan kebebasan pokok di bidang politik, ekonomi, social, budaya, sipil atau apapun lainnya oleh wanita, terlepas dari status perkawinan mereka atas dasar persamaan antara pria dan wanita.
Jadi dengan adanya ratifikasi terhadap Konvensi Wanita ini berarti secara hukum pula telah berakhirnya segala bentuk diskriminasi terhadap wanita. Dari beberapa peraturan perundang-undangan seperti tersebut diatas jelas bahwa Pemerintah telah bermaksud dan berusaha menempatkan pria dan wanita untuk mempunyai kedudukan yang sama dalam hokum, yang selanjutnya keinginan ini diwujudkan dalam cita-cita hukum yang ingin dibentuk oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) , yang merupakan gagasan dari Prof. Hazairin, yaitu dalam bidang hukum kekeluargaan yang diarahkan ke bersifat parental dan hukum waris nasionalnya diarahkan ke hukum waris yang bersifat bilateral individual. Adapun inti dan maksud dari gagasan itu adalah menyamakan kedudukan anak laki dan wanita dalam pewarisan. Akan tetapi cita-cita tersebut sampai saat ini belum terwujud , mengingat system kekeluargaan yang berlaku di Indonesia dan bagi seluruh suku bangsa yang ada di Indonesia masih beraneka ragam seperti :system kekeluargaan Patrilinia, Matrilinial dan Parental yang masing-masing dari system kekeluargaan itu akan mempengaruhi pula corak dan system terhadap hukum waris yang berlaku di masing-masing daerah dimana system kekeluargaan itu berlaku., karena system kekeluargan akan sangat menentukan berhak dan tidaknya seseorang berkedudukan sebagai ahli waris. Seperti halnya di Bali, masyarakat hukum adat Bali menganut system kekeluargaan patrilinial yang memberi corak yang khas pada hukum warisnya yang dipengaruhi oleh Agama Hindu , menentukan bahwa yang berhak sebagai ahli waris hanya anak laki-laki. Sehingga corak dari hukum waris yang demikian itu jelas akan membedakan kedudukan atau hak dan kewajiban antara anak laki dan anak wanita.
Perbedaan kedudukan antara anak laki dan wanita dalam masyarakat hukum adat Bali sangat dipengaruhi oleh system kekeluargaan dan agama Hindu baik dalam adat istiadat, hukum adat maupun dalam kehidupannya. Dalam pandangan Agama Hindu dan kehidupan adat Bali peranan anak laki-laki lebih menonjol dibandingkan dengan anak wanita., terutama kehidupan yang berkaitan dengan hidup kerohanian yang terwujud dalam bentuk penghormatan terhadap leluhuir , sebagai pelanjut keturunan dan untuk melaksanakan upacara-upacara keagamaan maupun tugas-tugas kemasyarakatan Seperti yang tertuang dalam Kitab Manawadharmasastra ayat 137 Buku IX yang berbunyi :melalui anak laki ia menundukkan dunia,melalui cucu laki ia mencapai kekekalan, melalui anak dari cucunya ia mencapai alam matahari. (Gde
Pudja dan Tjok Rai Sudharta, 1977,/1978). Menurut konsep hukum Hindu , anak laki pertamalah yang memegang kedudukan penting.Tergantung dari watak dan sikapnya maka anak laki pertama dapat membawa kebahagiaan ataupun kehancuran keluarga orang tuanya. (Gde Pudja dan Tjok.Rai Sudharta: 1977/1978)
Untuk memelihara kelangsungan garis purusa pada setiap keluarga Hindu Bali , upaya yang dapat dilakukan adalah dengan cara mengangkat anak orang lain dalam hal sesuatu keluarga tidak mempunyai anak laki.Selain dengan upaya tersebut hokum agama Hindu juga memberi peluang bagi keluarga yang hanya mempunyai keturunan perempuan tetapi dengan konsekwensi bahwa anak perempuan tersebut harus melakukan perkawinan keceburin agar ia memperoleh kedudukan dan status hokum sama dengan anak laki yang disebut dengan “putrika atau sentana rajeg”. Ketentuan hukum agama Hindu menyatakan bahwa anak angkat baik laki maupun perempuan dan anak perempuan yang berstatus laki-laki (putrika/sentana rajeg) mempunyai hak dan kewajiban yang sama seperti yang dimiliki oleh anak kandung laki-laki dalam melaksanakan kewajiban keagamaan, kemasyarakatan maupun dalam hal mewaris dari orang tuanya.
Sistem kekerabatan patrilinial yang dijiwai oleh Agama Hindu , mempengaruhi pula hokum adapt waris Bali yang mempunyai corak khas yaitu bahwa yang berhak sebagai ahli waris adalah anak laki seperti yang telah ditetapkan berdasarkan Hasil Diskusi Hukum Adat Waris di Bali (Pangkat, 1972 dan Panetja : 1986) menyebutkan , ahli waris adalah :
1. Setiap laki-laki dalam hubungan purusa selama tidak terputus haknya menerima warisan.2
2. Setiap sentana rajeg selama tidak terputus haknya untuk menerima warisan.
Kedudukan anak laki-laki sebagai ahli waris juga telah dituangkan dalam Putusan Pengadilan antra lain dalam Putusan Mahkamah Agung No.32 K/Sip/1971 tanggal 24 Maret 1971 yang menetapkan bahwa :ahli waris menurut Hukum dat Bali adalah keturunan /anak laki.
Hal senada juga terungkap dari hasil penelitian Hukum Adat Bali tahun 1980/1981 yang pada pokoknya menyatakan bahwa harta warisan jatuh kepada anak
laki-laki saja dengan penetapan yang merata sesuai dengan permufakatan.(Tm Peneliti Fak.Hukum Unud : 1980/1981).Selanjutnya dalam hasil penelitian tentang Pengaruh Hukum Adat Waris Bali Terhadap Pola Norma Keluarga Kecil Bahagia Sejehtera (Tim Peneliti Fak.Hukum Unud : 1978/1988). Kedudukan anak kandung laki, sentana rajeg dan anak angkat sebagai ahli waris disatu pihak dan dipihak lain anak perempuan bukan sebagai ahli waris menunjukkan adanya kesesuaian antara hukum adat yang hidup dan berlaku pada masyarakat hukum adat Bali dengan norma hukum agama Hindu benar-benar menjiwai hukum adat yang berlaku..Hukum agama Hindu dan Hukum Adat Bali yang hidup dalam masyarakat memang susah dipisahkan dan kedua-duanya mewarnai alam pikiran orang Bali Hindu dalam menilai kedudukan anak laki dan anak wanita baik dalam kehidupan keluarga maupun dalam kehidupan bermasyarakat.
Seperti yang dikemukakan oleh Astiti dalam disertasinya ( Astiti; 1994) menyebutkan bahwa secara umum hukum adat Bali tidak menganut prinsip persamaan hak dan kewajiban antara laki dan wanita.Hal ini dapat diketahui dari ketentuan bahwa yang tergolong menjadi ahli waris adalah keturunan laki-laki. Ketentuan tersebut merupakan konsekwensi dari dinutnya system kekerabatan patrilinial yang dijiwai oleh agama Hindu, yang memberikan kedudukan lebih penting kepada anak laki-laki. Pentingnya kedudukan laki-laki dalam Hukum Adat Bali dapat dikaitkan dengan peranan laki-laki sebagai penerus keturunan,penyelamat arwah leluhur ,sebagai pengganti orang tua menjadi karma banjar/desa dan untuk menjamin orang tua di hari tuanya. Demikian pula mengenai hak dan kewajiban wanita menurut Hukum Adat Bali menurut Astiti, dikatakan bahwa Hukum Adat Bali tidak menganut prinsip kesamaan hak dan kewajiban tetapi lebih tepat dikatakan oleh beliau bahwa Hukum Adat Bali menganut prinsip “kesebandingan” antara hak dan kewajiban dan lebih memberikan penekanan pada kewajiban baik kewajiban yang bersifat matriil maupun immatriil. Karena dalam prinsip kesebandingan itu mengandung arti pihak yang dibebani kewajiban lebih ringan mendapatkan hak yang lebih sedikit atau sebaliknya pihak yang mendapatkan hak lebih banyak akan melaksanakan kewajiban yang lebih banyak pula Demgan demikian pria dan wanita Bali Hindu memandang wajar apabila wanita memperoleh hak yang tidak sama dengan laki-laki.. Artinya apabila wanita menuntut persamaan hak itu berarti ia juga harus merlaksanakan persamaan dalam kewajiban..
Selanjutnya juga dikatakan bahwa berkaitan dengan hal tersebut diatas, perlu dipertanyakan,pertama apakah wanita mampu melaksanakan kewajiban yang sama dengan pria?. Kedua, apakah wanita boleh melaksanakan kewajiban sama dengan pria?. Adapun jawaban yang diberikan bahwa: pertama adalah menyangkut persoalan kualitas sumberdaya wanita yang sifatnya bervariasi, artinya ada wanita yang mampu dan ada yang tidak mampu untuk melaksanakan kewajiban yang sama dengan pria . Dan hal yang kedua , yang menyangkut persoalan system, artinya walaupun wanita mampu melaksanakan kewajiban sama denganj pria, apakah system yang berlaku dalam masyarakat Hukum adapt Bali mengijinkannya ?. Dengan demikian tuntutan persamaan hak dan kewajiban bagi wanita Bali Hindu hanya mungkin dilakukan dengan perubahan system baik penanganannya dilakukan secara mikro maupun makro. Penanganan secara mikro memerlukan proses perubahan pandangan, sikap dan prilaku anggota keluarga dan masyarakat terhadap wanita. Sedangkan penanganan secara makro dapat dilakukan melalui perundang-undangan, yang dalam hal ini adalah pembuat undang-undang agar merealisasi terbentuknya Hukum Waris Nasional yang bersifat bilateral yang akan berfungsi sebagai alat social engeneering. Demikian pula bagi hakim sebagai penegak hukum dimana yurisprudensi juga merupakan sebagai salah satu sumber untuk menemukan hukum yang hidup dan berlaku dalam masyarakat akan berani mengikutinya. ,dalam setiap putusan yang akan dibuatnya terutama dalam kasus-kasus konkrit yang menyangkut hak waris bagi wanita Bali Hindu.
Tetapi walaupun Hukum Adat Bali tidak menganut prinsip persamaan hak dan kewajiban antara pria dan wanita, namun dalam hal-hal yang bersifat khusus, wanita mempunyai kedudukan yang sama dengan pria walaupun terbatas dan bersyarat.. Dan berdasarkan ketentuan Hukum adat Waris Bali seperti telah diuraikan diatas yang sampai saat ini masih diikuti dan ditaati oleh masyarakat hukum adat Bali yang diperkuat pula oleh putusan-putusan pengadilan dan ditunjang pula oleh hasil-hasil penelitian yang telah pernah dilakukan masih tampak dengan jelas bahwa wanita kecuali yang berkedudukan sebagai sentana rajeg, tidak sebagai ahli waris.
BAB III
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
1. Hasil Penelitian.
Sistem kekeluargaan patrilinial pada masyarakat hukum adat Bali masih berpengaruh positip baik terhadap penentuan garis keturunan maupun terhadap penentuan ahli waris. Oleh karena wanita dalam masyarakat hukum adat Bali mempunyai status dan kedudukan yang berbeda-beda baik karena perkawinan maupun sebagai keturunan dari orang tuanya ,tidak dapat dilihat secara umum maka wanita yang ingin diteliti dalam penelitian ini adalah hak waris wanita Bali Hindu dalam yurisprudensi atau putusan pengadilan perlu dipilah-pilah mengenai kedudukan maupun status dari wanita tersebut seperti wanita sebagai janda yang melakukan perkawinan keluar akan berbeda dengan seorang janda yang melakukan perkawinan masuk atau keceburin, karena hal ini akan berpengaruh pula pada kedudukannya dalam mewaris., akan berbeda pula dengan wanita yang kawin keluar atau wanita yang belum kawin (dehe), dengan wanita yang tidak kawin (dehe tua).
1.1 Putusan Pengadilan Tentang Kedudukan Sentana Rajeg.Dalam Mewaris.
Oleh karena lembaga sentana rajeg sudah umum dikenal dan masih tetap diakui keberadaannya maka kasus kasus konkrit yang sampai masuk ke pengadilan boleh dikatakan hampir tidak ada maka sampai dengan tahun 2000 ini hanya ada beberapa putusan yang ditemukan yaitu :
1.1..1. Putusan Pengadilan Tinggi No. 13 /PTD/1967 tanggal 31 Maret 1970 yang menentukan bahwa : Si Istri adalah ahli waris dari orang tuanya. Apabila si istri meninggal dunia maka suami hanya berkedudukan sebagai janda yang berbadan laki-laki
1.1..2. Hal yang sama dijumpai pula dalam Putusan Pengadilan Tinggi Denpasar No.144/Pdt/1966 tanggal 13 Juli 1967.
1.1..3. Putusan Pengadilan Tinggi Denpasar No.81/PTD/1967/Pdt. Tanggal 19 Juni 1968 yang menentukan bahwa: Apabila
seorang wanita dikawin keceburin, maka menurut hukum adat Bali adalah merupakan ahli waris dari orang tuanya dan atau keluarga purusa.
1.1..4. PutusanPengadilan Tinggi Denpasar No. 105/PTD/1972/Pdt. Tanggal 22 Juli 1972 menentukan bahwa: seorang anak perempuan memperoleh status hukum sebagai laki-laki dan mempunyai hak waris sama seperti laki-laki apabila ia dijadikan sentana rajeg atau dikawin keceburin.
1.2. Putusan Pengadilan Tentang Dehe dan Dehe tua..Dalam Mewaris.
Pengertian “dehe” dalam bahasa Bali adalah anak wanita yang belum kawin. Sedangkan pengertian “dehe tua“ dalah anak wanita yang tidak kawin. Secara konkrit kedudukan anak wanita dalam hukum adat Bali gapat diketahui dari beberapa putusan pengadilan sebagai berikut :
o Putusan Pengadilan Negeri Klungkung No.37/Pdt/G/1981/PN Klk tanggal 7 Juni 1982 menentukan bahwa anak perempuan “dehe tua” adalah ahli waris bersama anak laki-lakinya. Dan Putusan Pengadilan Negeri Klungkung ini dikuatkan oleh Pengadilan Tinggi No.380/Pdt/1982/Dps tanggal 4 Desember 1982., dengan pertimbangan hukumnya bahwa walaupun hukum adat Bali bersifat patriarchat, namun berdasarkan Yurisprudensi Mahkamah Agung terhadap anak-anak perempuan di daerah Tapanuli perkembangan hukum adat kearah parental , maka sudah dianggap adil apabila di daerah Bali terhadap anak-anak perempuan yang tidak kawin (dehe tua) ikut dijadikan ahli waris.
o Berdasarkan Putusan Mahkamah Agung No.459/Sip/1982 tanggal 15 Agustus 1983, anak perempuan adalah ahli waris dari almarhum ayahnya.
o Putusan Pengadilan Negeri Klungkung No.12/Pdt/G/1985/PN Klk. Tanggal 17 Oktober 1985 menentukan bahwa : cucu perempuan berhak mewarisi harta peninggalan kakeknya karena tidak ada ahli
waris lain.. Dan Putusan Pengadilan ini dikuatkan oleh Putusan Pengadilan Tinggi No.14/Pdt/1986/PT Dps. Tanggal 23 September 1986. Selanjutnya dikuatkan lagi oleh Putusan Mahkamah Agung No.1479/Pdt/1987.
o .Putusan Pengadilan Negeri Negara No.4/Pdt/1987/PN Ngr tanggal 21 Maret 1987 dinyatakan bahwa : anak perempuan yang telah kawin keluar tidak mempunyai hak waris lagi walaupun ia telah pulang ke rumahnya dan melahirkan anak di rumah asal.
o Putusan Pengadilan Negeri Negara No.26/Pdt/1987/PN Ngr. Tanggal 4 Februari 1988 , anak perempuan yang telah kawin keluar tidak berhak mewaris harta peninggalan orang tuanya.
o Putusan Pengadilan Tinggi Denpasar No.87 /Pdt/1990 /PT Dps. Tanggal 31 Oktober 1990 dengan rumusan kurang lebih sebagai berikut : Dalam hal seseorang dalam perkawinannya hanya menurunkan anak-anak perempuan , walaupun anak-anak perempuan tersebut semuanya kawin keluar, harta peninggalan yang didapat selama dalam perkawinan patut diterimakan kepada anak-anak perempuan tersebut yang ada hubungan darah langsung dengannya karena harta yang dicari ibu bapaknya adalah untuk anak-anaknya . Tidak adil kalau harta peninggalan tersebut diterima oleh orang lain yang sama sekali tidak ada hubungan darah dengannya.
o Putusan Pengadilan Negeri Singaraja No.30/Pdt/G/1993/PN Sgr. Tanggal 9 Desember 1993, menyatakan bahwa : anak perempuan yang merupakan satu-satunya anak , menutup hak waris dari ahli waris lainnya. Putusan Pengadilan Negeri Singaraja tersebut kemudian dikuatkan oleh Pengadilan Tinggi Denpasar No. 122/Pdt/1994/PT Dps. Tertanggal 15 Desember 1994.
1.3. Putusan Pengadilan Tentang Wanita Mulih Dehe. Dalam Mewaris.
Yang dimaksudkan dengan “mulih dehe” adalah apabila seorang anak perempuan yang sudah pernah kawin keluar dan kemudian cerai lalu kembali kekeluarga asalnya dan diterima secara baik-baik oleh keluarganya. Dalam hukum adat Bali kembali ke rumah asal mempunyai kedudukan sebagai gadis dan berhak ikut menikimati harta kekayaan yang dimiliki oleh orang tuanya. Untuk mengetahui hak warisnya dalam kasus konkrit dapat dilihat dari beberapa putusan pengadilan sebagai berikut :
1.3.1.Dalam Putusan Pengadilan Negeri Negara N0.4/Pdt/1987/PN Ngr tertanggal 21 Maret 1987 dinyatakan bahwa anak perempuan yang telah kawin keluar tidak mempunyai hak waris lagi walaupun ia telah pulang ke rumah asalnya dan melahirkan anak di rumah asalnya.
1.3.2.Berdasarkan Putusan Pengadilan Negeri Negara No. 26/Pdt/1987/PN Ngr, tertanggal 4 Februari 1988 menyatakan bahwa: anak perempuan yang telah kawin keluar tidak berhak mewarisi harta peninggalan orang tuanya.
1.3.3. Pada Putusan Pengadilan Negeri Bangli No.1 /Pdt/1991/PN Bangli tertanggal 21 Agustus 1991 menyatakan bahwa : Anak perempuan yang mulih dehe berhak sebagai ahli waris almarhum ayahnya . (dalam kasus ini tidak ada ahli waris lainnya). Putusan Pengadilan Negeri Bangli ini kemudian diperkuat oleh Putusan Pengadilan Tinggi Denpasar No.128/Pdt/1994/PT Dps tertanggal 30 Oktober 1994 dan selanjutnya diperkuat lagi oleh Putusan Mahkamah Agung No.746/K/Pdt/1995 tanggal 27 Februari 1996.
1.3.4.Putusan Pengadilan Negeri Singaraja No.10/Pdt/1993 /PN Sgr. Tertanggal 17 Mei 1993 menyatakan bahwa : Jika seorang perempuan kawin keluar kemudian cerai dan mulih dehe dan diterima kembali oleh keluarga wanita maka ia memperoleh kembali hak warisnya seperti sebelum ia kawin.
1.3.5.Berdasarkan Putusan Pengadilan Negeri Klungkung No. 17/Pdt/1991/PN Klk. 21 Januari 1992 dan Putusan Pengadilan Tinggi No. 53?Pdt/1992/PT Dps. Dapat ditarik dalil hukum bahwa : anak perempuan yang tidak kawin (dehe tua) dan anak perempuan yang mulih dehe adalah ahli waris dari harta peninggalam orang tuanya.
1.4. Putusan Pengadilan Tentang Wanita Sebagai Janda Dalam Mewaris.
Sebelum membahas tentang kedudukan janda dalam mewaris menurut hukum adat Bali, maka haruslah dimengerti dahulu tentang janda itu sendiri,Karena dalam hkum adat Bali untuk mengerti kedudukan janda haruslah melihat bentuk perkawinan yang dia lakukan. Menurut hukum adat Bali bentuk perkawinan akan mempengaruhi system pewarisannya.. Janda yang status perkawinannya keceburin kedudukannya dalam pewarisan sama dengan kedudukan janda yang berbadan laki-laki..Dalam kasus seperti ini tidak banyak terjadi persoalan. Yang akan banyak menimbulkan persoalan adalah dalam kasus janda yang bentuk perkawinannya adalah kawin keluar. Karena dalam kasus seperti ini akan ada pertanyaan apakah janda dapat mewaris, ataukah apakah janda dapat menjual harta warisan yang ditinggalkan suaminya?.
Untuk mendapatkan jawabannya, akan dapat terjawab melalui putusan-putusan pengadilan dan justru dalam kasus pewarisan yang menyangkut janda menduduki ranking yang tertinggi jika dibandingkan dengan kasus pewarisan yang menyangkut wanita baik sebagai dehe, dehe tua apalagi sentana rajeg dalam kasus konkrit sebagai berikut :
1.4.1.Dari Putusan Mahkamah Agung No. 302 K/Sip./1960 tertanggal 2 Nopember 1960 menyatakan bahwa : Janda adalah ahli waris.
1.4.2.Berdasarkan Putusan Pengadilan Tinggi Denpasar No.228/PDT/1966/Pdt tanggal 7 Nopember 1967 memutuskan
bahwa: Janda adalah ahli waris dari suaminya yang meninggal dunia apabila tidak meninggalkan anak.
1.4.3.Dalam Putusan Pengadilan Tinggi Denpasar No. 31 / PTD / 1967 / Pdt tertanggal 29 Agustus 1969 memutuskan bahwa: Janda bukanlah ahli waris, ia hanya berhak menikmati saja.
1.4.4.Dalam Putusan Pengadilan Negeri Negara No.27/Ngr/Pdt/1969, Putusan Pengadilan Tinggi Denpasar No.339/PTD/1969 tertanggal 15 Juni 1970, juga Putusan Pengadilan Negeri Denpasar No.71/Pdt/G/1991/PN Dps. Tanggal 16 Desember 1991 ,dan Putusan Pengadilan Negeri Denpasar ini kemudian dikuatkan oleh Putusan Pengadilan Tinggi Denpasar No.65/PDT/PT.Dps tanggal 28 September 1992. yang dari kesemuanya dapat disimpulkan bahwa : dalam hal cerai hidup masing-masing bekas suami dan istri menerima pembagian harta bersama tanpa mempertimbangkan sebab-sebab perceraian atau pihak yang bersalah.
1.4.5.Dalam Putusan Mahkamah Agung No.32 K/Sip./1971 yanggal 24 April 1971 memutuskan bahwa : Menurut Hukum Adat Bali , seorang janda berhak untuk mengurusi harta peninggalan almarhum suaminya selama ia masih melakukan dharmanya sebagai janda.
1.4.6.Berdasarkan Putusan Pengadilan Negeri Denpasar No.30/Pdt/1980/PN Dps tanggal 30 Juli 1980 memutuskan bahwa ; Menurut hukum adat yang berlaku sampai saat ini kedudukan seorang janda terhadap harta peninggalan suaminya adalah bahwa janda berhak untuk memegang , memelihara dan menghasili harta peninggalan tersebut selama ia tetap melaksanakan dharmanya sebagai janda.
1.4.7.Menurut Putusan Pengadilan Negeri Denpasar No.102/Pdt./G/1980/PN Dps. Tanggal 2 Juni 1981 memutuskan bahwa : Janda berhak menerima dan menghasili tanah warisan
leluhur suaminya selama ia tetap setia kepada dharmanya sebagai janda. Kemudian Putusan tersebut dikuatkan oleh Pengadilan Tinggi Denpasar dalam Putusannya No.317/Pdt./1982/PTD. Tanggal 21 Oktober 1982.
1.4.8.Dalam Putusan Mahkamah Agung No.358/K/Sip./1981 tanggal 14 Juli 1981.menyatakan bahwa : seorang janda yang kawin lagi tanpa izin atau persetujuan keluarga dekat istri/suaminya dianggap menyalahi dharmanya sebagai janda sehingga tidak berhak untuk mewarisi dan juga tidak berhak.untuk tinggal di rumah suami/istrinya lagi.
1.4.9.Putusan Pengadilan Negeri Denpasar No.9/Pdt./G/1981/PN Dps.tanggal 31 Mei 1981 menyatakan bahwa : janda berhak menikmati harta peninggalan leluhur suaminya bersama-sama ahli waris lainnya selama ia menjalankan dharmanya sebagai janda. Dan Putusan Pengadilan Negeri Denpasar ini kemudian dikuatkan oleh Putusan Pengadilan Tinggi No.182/Pdt/1981/PT Dps. Tanggal 29 Juli 1981 Dan Putusan Mahkamah Agung No.3803/K/Sip./1981 tanggal 31 Mei 1982.
1.4.10.Dalam Putusan Pengadilan Negeri Amlapura No.14/Pdt/G/1981/PN AMP.tanggal 18 April 1981, dapat ditarik dalil hukum bahwa janda dan anak perempuan adalah ahli waris harta peninggalan suami/orang tuanya. Sedangkan dalam Putusan Pengadilan Tinggi No.229/Pdt/1981/PDT.tanggal 21 September 1981 dinyatakan bahwa janda bukan ahli waris, Putusan Pengadilan Tinggi ini kemudian dikuatkan lagi oleh Putusan Mahkamah Agung No.459K/Sip./1982 tanggal 15 Agustus 1983,
1.4.11.Berdasarkan Putusan Pengadilan Negeri Klungkung No.43/Pdt/G/1982/PN.Klk, tertanggal 2 Juli 1982 menyatakan bahwa : Seorang janda hanya mempunyai hak untuk menikmati hasil dari harta peninggalan suaminya/leluhur suaminya selama masih tetap melakasanakan dharmanya sebagai janda di rumah
almarhum suaminya. Janda bukan ahli waris atas harta peninggalan leluhur suaminya. (putusan ini mempunyai kekuatan hukum tetap).
1.4.12.Putusan Pengadilan Negeri Bangli No.1/Pdt/G/1984/PN Bangli tertanggal 21 Mei 1984 ,Putusan Pengadilan Tinggi No.128/Pdt/1984/PT Dps tanggal 30 Oktober 1984 yang kemudian dikuatkan lagi oleh Putusan Mahkamah Agung No.746/K/Pdt/1985 tertanggal 27 Februari 1986, dapat ditarik kesimpulan bahwa : Janda berhak atas harta guna kaya dengan perbandingan serambat sesuun (2:1) dua bagian untuk ahli waris dan satu bagian untuk janda..
1.4.13.Dalam Putusan Pengadilan Negeri Gianyar No.43/Pdt/G/1985 tertanggal 19 April 1986 dinyatakan bahwa : Janda berhak manikmati peninggalan ayah mertua yang seharusnya diterima oleh suaminya. Dan putusan tersebut dikuatkan oleh Pengadilan Tinggi dalam putusannya No.4/Pdt/1987/PT Dps tanggal 29 Januari 1987 dan dikuatkan lagi dalam Putusan Mahkamah Agung No.1326 K/Pdt/1987 tanggal 5 April 1989.
1.4.14.Dalam Putusan Pengadilan Tinggi Denpasar No.228/PTD/1986 /Pdt tanggal 7 Nopember 1987 menentukan bahwa : Janda adalah ahli waris dari suaminya yang meninggal dunia, apabila tidak meninggalkan anak.
1.4.15. Dalam Putusan Pengadilan Tinggi Denpasar No.31/PTD/1987/Pdt. Tanggal 29 Agustus 1987 menentukan bahwa : Janda bukan ahli waris dari almarhum suaminya, ia hanya berhak menikmati saja.
1.4.16.Berdasarkan Putusan Pengadilan Negeri Tabanan No.48/Pdt.G/1987/PN Tbn. Tertangga 18 Januari 1988 didalilkan bahwa :Janda selama tetap menjalankan dharmanya sebagai janda, berhak menguasai dan menikmati harta peninggalan almarhum suaminya. Janda berhak menerima separuh dari harta
gunakaya. Putusan tersebut kemudian dikuatkan oleh Putusan Pengadilan Tinggi dalam Putusannya No.43/PDT/1988/PT Dps. Tertanggal 29 Juni 1988 dan Mahkamah Agung dalam Putusannya No.197/K/PDT/1989, tertanggal 30 April 1991.
1.4.17.Putusan Pengadilan Negeri Amlapura No.24/Pdt/1988/PN Amp menyatakan bahwa : Janda berhak menjual tanah warisan almarhum suaminya dengan persetujuan ahli waris lainnya.
1.4.18.Dalam Putusan Pengadilan Negeri Gianyar No.69/Pdt/1988/PN Gir, tertanggal 29 Juni 1989 dinyatakan bahwa : Janda berhak menjual tanah sengketa untuk keperluan membayar utang. Dalil hukum ini berdasarkan atas pertimbangan hukum bahwa seorang janda yang tetap tinggal di rumah almarhum suaminya dan tidak kawin lagi berhak untuk menikmati dan melakukan perbuatan apapun dalam rangka keperluan hidupnya sendiri maupun untuk keperluan suaminya termasuk untuk menjual tanah. Putusan ini kemudian dikuatkan oleh Putusan Pengadilan Tinggi No.170/Pdt/1989/PT Dps. Tertanggal 7 Desember 1989.
1.4.19.Berdasarkan Putusan Pengadilan Tinggi Denpasar No.87/Pdt/1990/PT Dps, tanggal 31 Oktober 1990. yang merumuskan sebagai berikut :
Dalam hal seseorang dalam perkawinannya hanya menurunkan anak-anak perempuan, walaupun anak-anak perempuannya itu semuanya kawin keluar, harta peninggalan yang didapat selama perkawinan patut diterimakan kepada anak-anak perempuan tersebut yang ada hubungan darah langsung dengannya, karena harta yang dicari ibu bapaknya adalah untuk anak-anaknya. Tidak adil kalau harta peninggalan itu diterima oleh orang lain yang tidak ada hubungan darah dengannya.
1.4.20.Dalam Putusan Pengadilan Negeri Gianyar No.14/Pdt.G/1990/PN Gir, tertanggal 30 Agustus 1990, dengan rumusan bahwa :seorang janda yang tetap tinggal di rumah
almarhum suaminya dan tidak kawin lagi, berhak untuk menikmati dan melakukan perbuatan hukum apapun untuk keperluan hidupnya sendiri maupun untuk keperluan almarhum suaminya, termasuk untuk menjual tanahnya.
1.4.21.Dalam Putusan Pengadilan Negeri Gianyar No.14/Pdt/1990.PN Gir., tertanggal 30 Agustus 1990 dinyatakan bahwa : Janda berhak menikmati harta peninggalan suami.
1.4.22.Dalam Putusan Pengadilan Negeri Denpasar No.133/Pdt/1991/PN Dps, tertanggal 26 Maret 1992 dinyatakan bahwa: Janda adalah ahli waris almarhum suminya dalam arti berhak menikmati harta peninggalan suaminya selama masih tetap melaksanakan dharmanya sebagai janda. Sebagai ahli waris yang mati putung (camput) , janda menutup peluang mewaris bagi ahli waris yang lebih jauh. (putusan ini sudah mempunyai kekuatan hukum tetap).
1.4.23.Berdasarkan Putusan Pengadilan Negeri Negra No.4/Pdt/1993/PN Ngr, tanggal 23 Oktober 1993, menyatakan bahwa :Janda tidak sebagai ahli waris , akan tetapi janda berhak menguasai, memakai dan menghasili harta peninggalan suami dengan syarat janda tetap setia melaksanakan dharmanya sebagai janda dan harus tetap tinggal di rumah mendiang suaminya.
1.4.24.Berdasarkan Putusan Pengadilan Negeri Singaraja No.61/Pdt/G/1994/PN SGR. Tanggal 28 Desember 1994, dinyatakan bahwa janda berhak untuk menguasai harta peninggalan suaminya untuk tujuan yang layak. Putusan tersebut kemudian dikuatkan lagi oleh Pengadilan Tinggi Denpasarr No. 72/Pdt/1995/PT Dps.
2. Pembahasan
2.1. Sistem Kekerabatan Masyarakat Hukum Adat Bali
Masyarakat Bali adalah masyarakat yang menganut system kekerabatan patrilinial, yakni system kekerabatan yang mengelompokkan orang-orang kedalam satu kerabat berdasarkan garis keturunan laki-laki . Tetapi sistem kekerabatan patrilinial Bali mempunyai pengertian yang lebih luas dari pada pengertian system kekerabatan patrilinial pada umumnya karena didalamnya tercakup pengertian garis laki-laki yang secara biologis adalah laki-laki yang disebut “purusa” dan wanita yang mempunyai kedudukan hukum sebagai laki-laki yang disebut “sentana rajeg” Jadi dalam pengertian system kekerabatan patrilinial yang lebih luas ini disamping laki-laki (purusa) juga adalah wanita (sentana rajeg).
Cara pengelompokan kekerabatan yang berdasarkan garis “purusa” ini dijiwai oleh Agama Hindu yang dalam kehidupan sehari-hari telah menyatu dengan adat istiadat dan hukum adat pada masyarakat hukum adat Bali.. Sistem kekerabatan patrilinial yang dijiwai oleh Agama Hindu tersebut terdapat pandangan bahwa laki-laki mempunyai kedudukan yang lebih tinggi di dalam keluarga dan masyarakat dibandingkan dengan wanita karena dari anak laki-laki digantungkan harapan menjadi penerus generasi,mengganti kedudukan ayahnya dalam,masyarakat kalau sudah kawin (menjadi krama banjar atau karma desa) , memelihara dan memberi nafkah kepada orang tua kalau sudah tidak mampu, melaksanakan upacara agama (seperti ngaben dan lain-lain )serta selalu bhakti kepada leluhur yang bersemayam di “sanggah” atau “merajan”.(Tim Peneliti :Fak.Hukum Unud : 1991,45).Sesuai dengan tanggung jawab yang dimiliki oleh anak laki-laki baik dalam keluarga, agama dan masyarakat, maka Hukum Adat Bali menempatkan anak laki-laki sebagai ahli waris dalam keluarga.(Korn ;1978:14). Selanjutnya kedudukan laki-laki seperti yang telah disebutkan diatas berbeda dengan anak wanita baik “dehe (gadis)”, maupun “dehe tua (wanita yang tidak kawin sampai tua)”., karena terhadap anak wanita tidak mungkin digantungkan harapan-harapan ataupun tanggung jawab sebagaimana halnya tanggung jawab yang harus dilakukan oleh anak laki-laki , sebab berdasarkan system kekeluargaan yang berlaku pada masyarakat hukum adat Bali.seorang dehe sesuai dengan kodratnya suatu saat akan kawin dan dengan perkawinannya itu ia akan mengikuti suami kecuali dalam perkawinan keceburin secara hukum akan putus
hubungannya dengan keluarga asalnya (dengan orang tua kandungnya.).Hal ini membawa konsekwensi dan memberi corak yng khas pula pada Hukum Adat Waris Bali yang menentukan bahwa yang tergolong sebagai ahli waris adalah anak laki-laki.atau yang berstatus laki-laki.(Pangkat,1972 dan Paneca,1986) :
1. Setiap laki-laki dalam hubungan purusa selama tidak terputus haknya untuk menerima warisan.
2. Setiap sentana rajeg selama tidak terputus haknya untuk menerima warisan.
Kedudukan laki-laki sebagai ahli waris ditegaskan pula dalam yurisprudensi antara lain yurisprudensi Mahkamah Agung No.32K/Sip/1971, tanggal 24 Maret 1971 dan beberapa yurisprudensi setelah itu. Pewarisan kepada anak laki-laki ini juga terungkap dalam hasil penelitian Hukum Adat Bali tahun 1980/1981,yang berkesimpulan bahwa harta warisan jatuh kepada anak laki-laki saja dengan pembagian yang merata sesuai dengan permufakatan (Tim Peneliti Fak.Hukum UNUD, 1980/1981). Demikian pula pada hasil penelitian “Pengaruh Hukum Adat Waris Bali Terhadap Pola Norma Keluarga Kecil Bahagia Sejahtera (Tim Peneliti Fak.Hukum UNUD 1987/1988). Hal senada terungkap pula dari hasil penelitian tentang “Akses Wanita Terhadap Harta Kekayaan Keluarga Ditinjau dari Hukum Adat Bali (Studi Kasus di Kelurahan Kuta, Badung Bali) berkesimpulan bahwa :pengaruh system kekeluargaan patrilinial terhadap Hukum Adat Waris Bali masih berpengaruh positip baik terhadap penentuan ahli waris maupun bagian dari harta warisan yang diterima.( Sagung Ngurah, 1992). Selanjutnya dari laporan penelitian tentang perkembangan hukum waris janda dan anak perempuan dalam masyarakat Bali Fak.Hukum Unud bekerja sama dengan Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman dapat disimpulkan bahwa kedudukan janda dan anak perempuan dalam mewaris masih lemah karena sampai saat ini tetap merupakan ahli waris terbatas dan bersyarat. ( Tim Peneliti: A.A.Oka Mahendra, AH,dkk, 1995/1996).
Berdasarkan ketentuan hukum adat yang masih diakui dan ditaati sampai saat ini dan diperkuat oleh putusan-putusan pengadilan (yurisprudensi) serta ditunjang pula oleh adanya hasil-hasil penelitian sampai tahun 2000 seperti yang telah diuraikan diatas tampak bahwa dalam system kekeluargaan patrilinial Bali yang disebut garis
(purusa) itu tetap menempatkan laki-laki sebagai ahli waris utama sedangkan anak wanita tidak kecuali anak wanita yang telah berkedudukan “sentana rajeg”..
Menurut Astiti, (1994) Hukum Adat Bali tidak menganut prinsip persamaan hak dan kewajiban antara pria dan wanita karena hal tersebut dapat disimak dari ketentuan bahwa yang tergolong sebagai ahli waris adalah keturunan laki-laki dan ketentuan tersebut adalah sebagai konsekwensi dianutnya system kekerabatan patrilinial yang dijiwai oleh Agama Hindu dan lebih umum dikenal dengan system “kepurusa”.Tidak dianutnya prinsip persamaan hak dan kewajiban karena lebih sesuai dengan sebutan “prinsip kesebandingan “ yang artinya bahwa pihak yang dibebani kewajiban lebih ringan akan mendapatkan hak yang lebih sedikit atau sebaliknya. Jadi walaupun Hukum Adat Bali tidak menganut prinsip persamaan hak antara laki-laki dan wanita , tetapi dalam hal-hal yang bersifat khusus , wanita mempunyai kedudukan yang sama dengan laki-laki dalam artian yang terbatas dan bersyarat.
Walaupun anak wanita ditegaskan tidak sebagai ahli waris, namun dalam kenyataannya anak wanita dapat menikmati harta peninggalan orang tuanya selama belum kawin berupa “pengupa jiwa”, dan bagi wanita yang telah kawin diberikan bekal berupa “jiwadana” atau “tetadtadan” . Dan sebagai janda ia juga dapat menikmati harta peninggalan suaminya selama ia tetap melaksanakan dharmanya sebagai janda di rumah almarhum suaminya. Dengan demikian dari hal-hal yang telah diuraikan diatas menunjukkan bahwa hak waris janda dan anak wanita masih dapat dikatakan terbats dan bersyarat.
2.2. Hak Waris Wanita Bali Hindu Sebagai Sentana Rajeg
Cara pengelompokan kekerabatan yang dijiwai oleh agama Hindu mempunyai pengertian yang lebih luas daripada pengertian kekerabatan patrilinial pada umumnya karena dalam pengertian “kepurusa” tersebut disamping diduduki oleh laki-laki yang berjenis kelamin laki-laki tetapi dapat juga diduduki oleh wanita yang secara hukum akan berstatus laki-laki yang disebut “putrika”yang dalam hukum adat Bali disebut”sentana rajeg”. Hal ini terjadi karena hukum agama Hindu memberikan upaya atau jalan keluar untuk menggantikan ketidak hadiran anak laki-laki dalam satu keluarga karena keluarga tersebut hanya mempunyai anak wanita saja disamping
upaya lain yaitu dengan cara mengangkat anak baik laki-laki atau wanita. Di dalam masyarakat upaya ini memang banyak dilakukan oleh keluarga yang tidak mempunyai keturunan khususnya keturunan laki-laki.
Ketentuan hukum agama Hindu menyatakan bahwa anak angkat laki dan anak wanita yang berstatus laki-laki (putrika/sentana rajeg) mempunyai hak dan kewajiban yang sama seperti anak kandung laki-laki dalam melaksanakan baik kewajiban keagamaan atau kewajiban kemasyarakatan maupun dalam hal mewaris dari orang tuanya.. Dalam konsep hukum adat Bali “sentana rajeg” adalah anak wanita yang “kerajegang sentana” yaitu ditegakkan atau dikukuhkan statusnya menjadi atau diberi status menjadi “purusa”atau berkedudukan sebagai laki-laki dan dalam hal mana ia berhak menjadi ahli waris dari orang tuanya dan meneruskan keturunan dengan bentuk perkawinan “nyeburin”.Ciri dari perkawinan nyeburin adalah upacara pengesahan perkawinan diselenggarakan di rumah mempelai wanita yang nantinya akan berkedudukan laki-laki dan laki-laki yang nyeburin secara hukum akan berstatus wanita (istri).Sesajen-sesajen atau banten-banten dibawa oleh pihak wanita kerumah keluarga mempelai laki-laki ,sebagai upacara dan upakara untuk melepaskan ikatan si suami dari keluarga asalnya.(Gde Panetja: 1986,119). “Sentana rajeg” atau “putrika” ini kemudian dalam perkawinannya tetap tinggal dalam keluarga asalnya (orang tua kandung) dan berstatus “purusa”(meawak muani) sedangkan suaminya akan berstatu “predana”(meawak luh) melepaskan diri dari keluarga asalnya (orang tua kandungnya) selanjutnya masuk kedalam keluarga istrinya Bentuk perkawinan seperti inilah yang disebut atau dikenal dengan sebutan “perkawinan nyeburin atau:nyentana”.Dan selanjutnya tujuan perkawinan nyeburin ini adalah untuk mengusahakan agar sang istri (selaku anak wanita) memperoleh kedudukan sebagai sentana purusa dan sebagai pelanjut garis keturunan dalam lingkungan keluarganya (I Gusti Ketut Kaler: 1982,138).
Pengangkatan status anak wanita menjadi pelanjut garis keturunan orang tuanya dibenarkan oleh hukum Hindu seperti yang tertuang dalam Kitab Manawadharmasastra Cloka 127 buku IX yang menyebutkan “aputro nena widhine kurwita putrikam,yadpatyam bhawedasyam tanmama syat swadhakara, artinya ia yang tidak mempunyai anak laki dapat menjadikan anaknya yang perempuan menjadi demikian menurut acara penunjukan anak wanita dengan mengatakan kepada
suaminya, anak laki-laki yang lahirdari padanya akan melakukan upacara penguburan saya”.. Bentuk perkawinan yang demikian akan membawa konsekwensi pada wanita yang berkedudukan “sentana rajeg” akan mendapatkan kedudukan baru sebagai “purusa” dan laki-laki yang “nyeburin” itu akan berkedudukan sebagai “predana atau wanita”.(Gde Pudja : 1977: 51).
Apabila persyaratan-persyaratan seperti tersebut diatas tidak dipenuhi maka status laki-laki yang didapatkan atau kedudukannya sebagai “sentana rajeg” yang diperoleh anak wanita atau anak-anak wanita akan menjadi batal atau gugur , seperti misalnya “sentana rajeg “ yang kawin keluar atau mengikuti status suaminya..
Kedudukan “sentana rajeg” adalah sama dengan kedudukan anak kandung laki-laki sehingga bentuk perkawinan “nyentana” status hukum kekeluargaan antara suami –istri menjadi terbalik, walaupun tidak sepenuhnya demikian . Istri yang berstatus “purusa” memang berhak laki-laki dan suami berstatus sebagai “predana” dan berhak wanita terutama hanya dalam hukum keluarga dan waris tetapi tidak untuk seluruh bidang kehidupan seperti kawin dengan lebih dari satu laki-laki (poliandri) seperti yang dilakukan oleh laki-laki boleh mempunyai istri lebih dari satu (poligami).Dengan posisi seperti ini staus hukum kekeluargaan dari laki-laki yang kawin “nyentana” sama dengan status hukum seorang anak wanita yang kawin keluar, yaitu dilepaskan dari hubungan hukum kekeluargaan dengan keluarga asalnya (orng tua kandungnya).Karena isi dari suatu hubungan hukum adalah hak dan kewajiban maka hak dan kewajiban laki-laki yang kawin ‘ nyentana dirumah asalnya tidak ada lagi , sama dengan anak wanita yang kawin keluar.
Walaupun dewasa ini terjadi pergeseran pandangan dalam masyarakat mengenai nilai anak yang mengarah kepada persamaan nilai anak laki-laki dan wanita khususnya setelah diterimanya konsep Norma Keluarga Kecil Bahagia Sejahtera (NKKBS) dalam kaitannya dengan program Keluarga Berencana yang juga mempengaruhi sikap dan pandangan masyarakat hukum adat Bali, seperti slogan atau gagasan “dua anak cukup laki perempuan sama saja” umumnya hanya baru bisa diterima dalam bidang pendidikan, pekerjaan, dan kasih sayang sedangkan dalam hal yang menyangkut hak dan kewajiban yng diaturt dalam hukum adat dan agama, anak wanita masih lebih lemah dibandingkan dengan anak laki-laki dan boleh dikatkan masih terbatas dan bersyarat.
Untuk mengetahui secara konkrit hak waris wanita Bali Hindu yang berkedudukan sebagai “sentana rajeg”, dapat diketahui dari beberapa putusan pengadilan negeri seperti yang telah diungkapkan dalam hasil penelitian diatas seperti:dalam Putusan Pengadilan Tinggi Denpasar No.13/PTD/1967 tanggal 31 Maret 1970 menyatakan bahwa : si istri adalah ahli waris dari orang tuanya. Apabila si istri meninggal dunia maka suami hanya berkedudukan sebagai janda yang berbadan laki-laki. Hal senada juga dinyatakan dalam Putusan Pengadilan Tinggi Denpasar No.144/Pdt/1966 tanggal 13 Juli 1967. Demikian pula apabila dilihat dari Putusan Pengadilan Tinggi Denpasar No.81?PTD/1967 tanggal 19 Juni 1968 menyatakan bahwa apabila seorang wanita dikawin keceburin maka menurut hukum adat Bali adalah merupakan ahli waris dari Orang tuanya dan keluarga orang tua dan keluarga “purusa”.Dan selanjutnya dapat pula dilihat dari Putusan Pengadilan Tinggi Denpasar No.105/PTD/1972 tanggal 22 Juli 1972 menentukan bahwa : Seorang anak perempuan memperoleh status hukum sebagai laki-laki dan mempunyai hak waris sama seperti laki-laki apabila ia dijadikan “sentana rajeg atau dikawin keceburin”.
Berdasarkan hasil penelitian seperti tersebut diatas, melihat dari jumlah kasus yang sampai masuk ke pengadilan sangat sedikit walaupun sampai dengan tahun 2000 , maka dapat dianalisis bahwa ketentuan hukum yang menyangkut hak waris wanita Bali Hindu sebagai “sentana rajeg “ tidak ada masalah dan dalam kenyataannya pula masih diakui dan ditaati sama ,terbukti dari jumlah kasus yng masuk ke pengadilan..dapat dihitung dengan jari Walaupun berdasarkan peraturan perundang – undangan yang berlaku baik itu Undang-Undang Dasar Republik Indonesia maupun undang-undang yang lebih rendah seperti GBHN, UUNo.1 Tahun 1974 tentang perkawinan, UU No.7 Tahun 1984 tentang Ratifikasi Konvensi wanita yang menghapuskan segala bentuk diskriminasi terhadap wanita dan peraturan lainnya lagi bahwa pemerintah telah bermaksud menempatkan pria dan wanita dan telah mengakui antara pria dan wanita mempunyai kedudukan yang sama dalam hukum, termaasuk akan mewujudkannya pula dalam hukum waris yang bersifat bilateral., akan tetapi gagasan tersebut sampai sekarang belum dapat diwujudkan . Hal tersebut antara lain disebabkan karena masyarakat Indonesia masih diwarnai oleh berlakunya system kekerabatan yang beraneka ragam yang masing-masing akan memberikan corak yang khas kepada hukum warisnya termasuk pada hukum adat waris Bali.yang justru membedakan kedudukan laki-laki dengan wanita.
Mahkmah Agung sendiri sebagai badan peradilan tingkat tertinggi dalam menyelesaikan sengketa warisan nampaknya konsekwen dengan ketentuan hukum adat termasuk hukum adat waris Bali. Hal tersebut tampak dari beberapa putusannya seperti tersebut diatas yang menyatakan bahwa hanya keturunan laki-laki atau wanita yang berstatus laki-laki yang mempunyai hak mewaris
Jadi hak waris wanita Bali Hindu yang berkedudukan sebagai sentana rajeg tidak banyak menimbulkan masalah sepanjang persyaratan dan prosedur perkawinan keceburin menurut hukum adat itu dipenuhi baik menurut masyarakat hukum adat Bali maupun Mahkamah Agung sebagai badan tertinggi yang mempunyai kewenangan dalam menyelesaikan kasus-kasus warisan masih mempunyai pendapat yang sama dengan masyarakat hukum adat Bali terhadap hukum adat waris Bali yang masih berlaku sampai saat ini disamping itu bahwa masyarakat hukum adat Bali tidak mengenal persamaan hak antara laki-laki dan wanita tetapi mempunyai prinsip kesebandingan terhadap hak dan kewajiban tersebut dengan konsekwensi bahwa siapa yang mendapatkan hak lebih sedikit maka akan melaksanakan kewajiban yang lebih ringan atau sebaliknya. Dengan demikian adalah dianggap adil dan lebih sesuai dengan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat dan keadaan yang demikian sudah dianggap wajar kalau hak waris wanita Bali Hindu masih tetap terbatas dan bersyarat.
2.3. Hak Waris Wanita Bali Hindu Sebagai “Dehe dan Dehe Tua”.
Secara literlijk dehe bararti muda, dan secara khusus berrti bajang atau perawan. Atau perempuan yang belum kawin. Sedangkan “dehe tua” adalah perempuan yang tidak kawin sampai tua. dan apabila mereka tidak kawin maka mereka akan tetap tinggal di rumah orang tuanya. Jadi anak perempuan yang tidak menikah ada dua kemungkinan yakni : sebagai “dehe”( anak perempuan yang belum kawin) dan “dehe tua”(anak perempuan yang tidak kawin). Sedangkan anak perempuan yang sudah menikah mempunyai kedudukan yang bervariasi seperti anak perempuan yang status pernikahannya “keceburin”(seperti penjelasan diatas) berkedudukan sebagai “sentana rajeg”. Anak perempuan yang sudah kawin keluar dan anak perempuan yang “mulih dehe” (anak perempuan yang setelah menjadi janda kemudian pulang ke rumah orang tuanya dan diterima baik oleh keluarganya) Menurut hukum adat Bali anak
perempuan (baik sebagai dehe maupun dehe tua) dengan tegas dinyatakan tidak sebagai ahli waris. . Namun dalam kenyataannya anak perempuan dapat menikmati harta peninggalan orang tuanya selama belum kawin sebagai “pengupa jiwa” dan bagi wanita yang telah atau akan kawin dapat diberikan “bekel” berupa “jiwa dana atau tetadtadan”., bersama-sama ahli wris lainnya. Dalam kedudukannya seperti ini mereka tidak berhak melakukan tindakan hukum yang dapat dianggap sebagai pemilikan misalnya tindakan menjual ataupun menggadaikan ataupun tindakan hukum lainnya tanpa persetujuan ahli waris lainnya..Ketentuan hokum adapt waris seperti itu tertera dalam padal 147 Kitab Manawadharma sastra sebagai berikut :
“Pada asasnysa seorang anak perempuan, seorang wanita dewasa maupun yang telah tua, mereka tidak bebas berbuat walaupun dirumahnya sendiri”. Apabila wanita menikah dengan sttus kawin keluar , ia harus mengembalikan bagin yang dinikmatinya itu. Oleh karena itu hak waris anak perempuan merupakan hak waris terbatas (Gde Panetja, 1986) dan bersyarat (Mahendra, dkk .1995).
Walaupun dehe dan dehe tua hanya memperoleh hak untuk menikmati sebahagian dari harta kekayaan orang tuanya selama ia tidak kawin, namun apabila dehe tersebut selama hidupnya tidak tidak kawin , haknya itu akan menjadi kuat. Seperti yang berlaku di Desa Tenganan Pagringsingan ,Karangasem, kedudukan dehe tua malahan lebih kuat dari pada laki-laki yang sudah menikah. (Astiti, 1980).
Hak seorang dehe tua untuk menikmati harta warisan tetap berlangsung selama ia hidup. Dengan demikian , anak wanita berhak atas bagian harta warisan keluarga , dan bukan sebagai pemilik, melainkan sebahai harta yang dinikmati saja. Dan bagian yang berhak diterima anak wanita adalah 2:1 (ategen-asuun) yaitu 2 gbagian untuk anak laki-laki dan 1 bagian untuk anak wanita. Hal seperti ini sudah menjadi putusan pengadilan sejak zaman Raad Kertha seperti Raad Kertha Singaraja tanggal 19 Juli 1937 Nomor 41/Sipil, maupun Raad Kertha Karangasem tanggal 3 Nopember 1936 No.33/Sipil. Demikian pula selanjutnya setelah pengadilan negeri terbentuk dan dalam putusan-putusan berikutnya..
Untuk mengetahui secara lebih konkrit kedudukan anak perempuan khususnya dehe dan dehe tua dalam hukum adat waris Bali, dapat diketahui dari beberapa putusan pengadilan antara lain seperti dibawah ini :
1. Putusan Pengadilan Negeri Klungkung No.37/Pdt.G/1981/PN.KLK tertanggal 7 Juni 1982 menyatakan bahwa :Anak perempuan dehe tua adalah ahli waris bersama anak-anak lainnya.
2. Putusan Mahkamah Agung No.459K/Sip/1992 tertanggal 15 Agustus 1983 menyatakan bahwa : Anak perempuan adalah ahli waris almarhum ayahnya.
3. Putusan Pengadilan Negeri Singaraja No.30?Pdt.G/1993/PN SGR tertanggal 9 Desember 1993 menyatakan bahwa : Anak perempuan yang merupakan satu-satunya anak menutup hak waris dari ahli waris lainnya.Putusan tersebut dikuatkan oleh Pengadilan Tinggi Denpasar No. 122/Pdt/1994/PT Dps. Tertanggal 15 Desember 1994.
Dari beberapa putusan pengadilan seperti yang telah diuraikan diatas nampaknya bahwa dalam hukum adat waris Bali , dari dahulu sampai sekarang yang masih selalu menjadi persoalan dan sering menjadi perdebatan adalah hak mewaris anak wanita sebagai janda dan anak wanita yang bukan berkedudukan sebagai sentana rajeg.. Hal ini terjadi karena berkaitan dengan apakah anak wanita menjadi ahli waris, berapa besar bagiannya dan bagaimana dengan warisan yang berkaitan dengan warisan yang bersifat immatriil., baik yang berupa kewajiban keagamaan ataupun kewajiban kemasyarakatan ? Tetapi walaupun dalam beberapa putusan pengadilan ada didalilkan bahwa anak perempuan (dehe, dehe tua dan anak perempuan satu-satunya) adalah sebagai ahli waris., akan tetapi yang dimaksudkan disitu bukanlah sebagai ahli waris mutlak seperti hak yang dimiliki oleh anak laki-laki melainkan tetap dalam arti hak waris yang terbatas dan bersyarat. Dipihak lain , putusan yang menyatakan bahwa anak perempuan yang telah kawin keluar kehilangan hak warisnya. Dan yang dimaksudkan disini kehilangan hak untuk menikmati hasil dari harta kekayaan orang tuanya dan bukan kehilangan hak mewaris secara mutlak.
2.4. Hak Waris Wanita Bali Hindu Sebagai Janda
Untuk mengerti kedudukan janda dalam mewaris menurut hokum adapt Bali haruslah mengetahui terlebih dahulu status perkawinannya . Janda dalam status perkawinan biasa (perkawinan keluar) akan mempunyai kedudukan yang berbeda dengan janda dalam perkawinan keceburin. karena janda dalam perkawinan keceburin ia berkedudukan sebagai sentana rajeg dan mempunyai hak dan kewajiban yang sama
dengan anak laki-laki. Yang banyak menimbulkan persoalan dan hal ini dapat dibuktikan dari banyaknya kasus-kasus warisan yang menyngkut janda masuk ke pengadilan adalah janda dalam status kawin keluar.karena adanya pertanyaan apakah janda berhak mewarisi harta peninggalan suaminya, berapa bagian yang dapat diterimanya dan jenis harta yang bagaimana yang boleh ia terima dan apa kewajiban yang harus ia lakukan ?
Pertanyaan-pertanyaan seperti tersebut diatas berdasarkan hasil penelitian yang ditemukan oleh Tim Peneliti Fak.Hukum Unud tahun 1980/1981 bahwa : Janda bukan sebagai ahli waris dari almarhum suaminya, akan tetapi janda bersama-sama dengan anak-anaknya berhak menikmati seluruh harta warisan suaminya baik harta yang bergerak maupun yang tidak bergerak..Dan dalam hal-hal tertentu janda dapat menjual harta warisan tersebut dengan persetujuan anak-anak dan saudara-saudara suami untuk keperluan melunasi hutang-hutang suami atau untuk upacara pengabenan suami atau untuk biaya-biaya sekolah anak-anaknya., karena pewarisan menurut hukum adat Bali akan selalu berkaitan dengan hak dan kewajiban..
Dari hasil diskusi tentang Hukum dat Bali juga disebutkan bahwa : janda adalah bukan ahli waris, akan tetapi berhak atas bagian harta warisan suami saja, selama ia melaksanakan dharmanya sebagai janda .Seorang janda tidak berhak menikmati harta warisan suaminya apabila : bergendak, kawin. Janda berhak atas bagian guna kaya dalam hal ia memutuskan hubungan dengan keluarga suami. Besarnya bagian janda tergantung pada kebiasaan setempat.( Beni I Wayan dan Sagung Ngurah:, 1985,62).
Hukum adat waris yang diterapkan dalam memecahkan kasus-kasus warisan baik oleh masyarakat hukum adat Bali, Raad Kertha maupun setelah terbentuknya pengadilan baik putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap maupun yang tidak dimohonkan banding ataupun kasasi maupun Mahkamah Agung dalam yurisprudensinya yang mendalilkan bahwa :Janda sebagai ahli waris almarhum suaminya , hanyalah dimaksudkan bukan mewaris secara mutlak , tetapi masih secara terbatas dan bersyarat.l
Untuk mengetahui secara lebih konkrit kedudukan janda dalam mewaris dapat diketahui dalam beberapa putusan pengadilan berikut ini :sebagai contoh :
1. Putusan PN Denpasar No.9 /Pdt/G/1981/PN Dps.tertanggal 21 Maret 1981 menyatakan bahwa : Janda berhak menikmati harta peninggalan leluhur suaminya bersama-sama ahli waris lainnya, selama ia masih menjalankan dharmanya sebagai janda. Putusan tersebut dikuatkan oleh Putusan PT No.182/Pdt/1981/PT Dps tanggal 29 Juli 1981 dan Putusan MA No.3803/K/Sip/1981, tanggal 31 Mei 1982.
2. Putusan Pengadilan Negeri Bangli No.1/Pdt.G/1984/PN Bli tertanggal 21 Mei 1984 yang dikuatkan oleh Putusan PT No.128/Pdt/1984/PT.Dps. tertanggal 30 Oktober 1984 dan selanjutnya dikuatkan lagi oleh Putusan MA No.746/K/Pdt/1985 tertanggal 27 Februari 1986 dapat ditarik dalil hokum bahwa : Janda berhak atas harta guna kaya dengan perbandingan serambat sesuun (2:1), yaitu dua bagian untuk ahli waris dan satu bagian untuk janda .
3. Putusan PN Amlapura No.24/Pdt/1988/PNAP menyatakan bahwa :Janda berhak menjual tanah warisan almarhum suaminya dengan persetujuan ahli waris lainnya.
4. Putusan PN Negara N0.4/Pdt/1993/PN Ngr tertanggal 23 Oktober 1993 menyatakan bahwa :Janda tidak sebagai ahli waris , akan tetapi janda berhak menguasai, memakai dan menghasili harta peninggalan suami dengan syarat janda tetap setia melaksanakan dharmanya sebagai janda dan harus tetap tinggal di rumah mendiang suaminya.
Demikian pula tercermin dalam putusan-putusan pengadilan seperti yang telah tertuang dalam hasil penelitian dari beberapa putusan pengadilan di seluruh Bali, maka dapat diketahui bahwa baik Mahkamah Agung sebagai badan peradilan tingkat tertinggi maupun peradilan tingkat bawah dan tingkat tinggi dalam menyelesaikan sengketa warisan nampaknya masih menunjukkan sikap yang tidak konsisten dalam memutuskan perkara yang menyangkut janda dalam pewarisan karena kadang-kadang dalam menyelesaikan sengketa warisan nampaknya konsekuen dengan ketentuan hukum adat yang menyatakan “janda bukan ahli waris dari almarhum suaminya”, ia hanya berhak menikmati saja harta peninggalan suaminya.(Putusan PT Denpasar No.31/PTD/1969/Pdt tanggal 22 Agustus 1969., atau pada putusannya yang lain Mahkamah Agung memutuskan bahwa menurut hukum adat seorang janda adalah juga menjadi ahli waris dari almarhum suaminya (Putusan MA No.110/K/Sip/1960 tertanggal 20 Ap[ril 1960.Dan dipihak lain Mahkamah Agung maupun badan