• Tidak ada hasil yang ditemukan

Karakteristik dan Sebaran Lahan Sawah Terdegradasi di 8 Provinsi Sentra Produksi Padi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Karakteristik dan Sebaran Lahan Sawah Terdegradasi di 8 Provinsi Sentra Produksi Padi"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

Karakteristik dan Sebaran Lahan Sawah

Terdegradasi di 8 Provinsi Sentra Produksi Padi

1

Anny Mulyani,

2

Diah Setyorini,

2

Sri Rochayati, dan

1

Irsal Las

1Peneliti Badan Litbang Pertanian di Balai Besar Litbang Sumberdaya Lahan Pertanian, Jl. Tentara

Pelajar No. 12 Bogor 16114

2 Peneliti Badan Litbang Pertanian di Balai Penelitian Tanah, Jl. Tentara Pelajar No. 12 Bogor

16114

Abstrak.Lahan sawah merupakan penghasil pangan utama di Indonesia terutama

komoditas strategis seperti padi, jagung dan kedelai. Lahan sawah umumnya telah digunakan secara intensif dan turun temurun, sebagian telah terdegradasi yang dicirikan oleh penurunan produktivitas tanah, kandungan C-organik dan unsur-unsur hara tanah makro, seperti P dan K, serta berubahnya lapisan bidang olah menjadi lebih dangkal. Untuk mengetahui luasan lahan sawah yang terdegradasi di 8 provinsi sentra produksi padi (Banten, Jabar, Jateng, DI Yogyakarta, Jatim, Sulsel, Sumsel dan Sumbar), telah dilakukan penilaian menggunakan parameter kandungan hara P, K serta C-organik tanah. Status hara P dan K diperoleh dari Peta Status P dan K, sedangkan kandungan C-organik melalui data sekunder analisis contoh tanah dari beberapa lokasi. Penyebaran secara spasial lahan sawah terdegradasi menggunakan teknik GIS yaitu dengan menumpangtindihkan peta lahan sawah, peta status hara P dan K, dan data kandungan C-organik. Hasil analisis menunjukkan bahwa lahan sawah dapat dikelompokkan atas 4 kelas, yaitu lahan sawah terdegradasi berat (TB), terdegradasi sedang (TS), terdegradasi ringan (TR), dan tidak terdegradasi (TT). Dari total luas lahan sawah di 8 provinsi (4,7 juta ha), sekitar 2,3 juta ha (50%) termasuk kelas terdegradasi sedang penyebaran terluas terdapat di Jatim, Jateng dan Sulsel. Sedangkan lahan sawah terdegradasi berat sekitar 1,8 juta ha (38%), terluas di Jatim, Jateng dan Jabar. Lahan sawah terdegradasi ringan dan tidak terdegradasi mencakup luasan kecil, masing-masing 8% dan 4%.

Kata kunci: sawah, degradasi lahan, sentra produksi

Abstract. Lowland rice fields are the main food production areas of Indonesia, especially

for the strategic commodities such as rice, maize and soybean. Lowland rice field have been used intensively by generations and some of the areas have been degraded as indicated by decreases of yield, soil organic carbon content, macro nutrient content including P and K and the reduction of plow layer thickness. We evaluated the distribution of degraded paddy areas in eight provinces of main rice production centre (Banten, West Java, Central Java, Yogyakarta, East Java, South Sulawesi, South Sumatra and West Sumatra). The soil P and K status were obtained from P and K Status Map, while soil organic C content was based on secondary soil C data. The spatial distribution was delineated using the GIS technique by over-laying paddy field map, soil P and K status and soil C content data. We categorized paddy fields into four classes, including highly degraded (TB), moderately degraded (TS), slightly degraded (TS) and not degraded (TT). From the total of 4.7 million ha (Mha) paddy field in the eight provinces, about 2.3 Mha (50%) was classified as TS which are distributed in East Java, Central

(2)

Java and South Sulawesi. The TB class covers around 1.8 Mha (38%) and distributed mainly in East Java, Central Java and West Java. The TR and TT cover 8% and 4% of the total area, respectively. Several techniques are required to overcome the degradation and to maintain the rice field fertility, including improvement of fertilizer application to meet the balanced fertilization principle, organic matter and organic fertilizer management, and improved soil physical and biological management. The map of degraded paddy field distribution can be used as a basis for prioritizing the soil quality recovery based on the degradation severity to improve land productivity and fertilizer use efficiency.

Keyword: lowland rice, land degradation, production centre

PENDAHULUAN

Lahan sawah merupakan salah satu andalan untuk memenuhi kebutuhan pangan nasional terutama komoditas strategis seperti beras, jagung dan kedelai. Berdasarkan hasil audit lahan sawah (BPN dan Kementan, 2011), total lahan sawah di Indonesia sekitar 8,1 juta ha. Namun dengan semakin pesatnya laju pertumbuhan penduduk yang tidak seimbang dengan laju penambahan luas baku lahan sawah, serta terus meningkatnya konversi lahan sawah produktif di jalur pantura dan kota-kota besar lainnya, semakin mengancam posisi ketahanan pangan nasional di masa yang akan datang. Perubahan iklim global yang mengakibatkan makin intensifnya kekeringan dan banjir serta meningkatnya gangguan OPT, menambah ancaman bagi pemenuhan kebutuhan pangan nasional (Las dan Mulyani, 2009).

Lahan sawah di Indonesia umumnya sudah diusahakan sangat lama sejak puluhan bahkan ratusan tahun lalu yang sesungguhnya merupakan suatu sistem lahan berkelanjutan karena penyediaan dan peredaran hara yang lebih efisien, rendahnya perkolasi dan pencucian hara karena adanya tapak bajak, terjadinya penambahan hara secara alami dari air irigasi. Namun karena pengelolaan yang kurang tepat, lahan sawah mengalami degradasi yang sering disebut tanah sakit (soil fatique). Degradasi lahan sawah dapat disebabkan oleh: (1) pengurasan dan defisit hara karena terbawa panen lebih banyak dari hara yang diberikan; (2) kelebihan pemberian hara tertentu dan kekurangan hara lainnya karena pemupukan yang tidak berimbang, dan (3) penurunan kadar bahan organik tanah. Menurunnya kadar bahan organik tanah sawah banyak dipicu oleh peningkatan penggunaan pupuk kimia tanpa diikuti penggunaan pupuk organik (pupuk kandang, pupuk hijau dan kompos) yang memadai. Ini berakibat hilangnya berbagai fungsi penting bahan organik dalam memelihara produktivitas tanah yang berujung pada kerusakan fisik, kimia dan biologi tanah. Hasil penelitian Badan Litbang Pertanian (Anonim, 2006) menunjukkan bahwa sekitar 65% dari 7,9 juta ha lahan sawah di Indonesia memiliki kandungan bahan organik rendah sampai sangat rendah (C-organik <2%).

(3)

Lahan sawah sehat adalah lahan sawah yang mempunyai sifat fisik, kimia, dan biologi dalam kondisi optimum sehingga mampu memenuhi kebutuhan hara tanah secara seimbang, juga tidak mengandung bahan beracun berbahaya (B3). Secara fisik lahan sawah harus mempunyai bidang olah >25 cm yang dapat dengan mudah untuk dilumpurkan dan terbentuknya lapisan kedap air atau lapisan tapak bajak. Selain itu lahan sawah mengandung mikroba yang bermanfaat bagi tanaman. Lahan sawah yang sehat mempunyai tingkat produktivitas optimum (Anonim, 2011b).

Makalah ini menyajikan informasi karakteristik dan sebaran lahan sawah terdegradasi di 8 provinsi sentra produksi padi yaitu Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, DI Yogyakarta, Sumatera Barat, Sumatera Selatan dan Sulawesi Selatan.

BAHAN DAN METODE

Kajian untuk mengetahui karakteristik dan sebaran lahan sawah terdegradasi di 8 provinsi sentra produksi padi telah dilakukan di Provinsi Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, DI Yogyakarta, Sumatera Barat, Sumatera Selatan dan Sulawesi Selatan. Bahan yang digunakan adalah: 1) Peta status hara P skala 1:250.000 Provinsi Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, DI Yogyakarta, Sumatera Barat, Sumatera Selatan dan Sulawesi Selatan Sumbar (Sofyan et al, 2000); 2) Peta status hara K skala 1:250.000 Provinsi Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, DI Yogyakarta, Sumatera Barat, Sumatera Selatan, dan Sulawesi Selatan Sumbar (Sofyan et al, 2000); 3) Sebaran C-organik di Provinsi Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, DI Yogyakarta, Sumatera Barat, Sumatera Selatan dan Sulawesi Selatan Sumbar (Kasno et al, 2000; Anonim, 2006); dan 4) Peta sebaran lahan sawah (BPN dan Kementan, 2011).

Berdasarkan status hara P, K dan kandungan C organik, lahan sawah dapat dikelompokkan atas kelas terdegradasi berat (TB), sedang (TS), rendah (TR) dan lahan sawah yang tidak terdegradasi (TT) seperti disajikan pada Tabel 1. Sedangkan untuk mengetahui sebaran lahan terdegradasi telah dilakukan tumpang tepat antara empat jenis peta/data di atas dengan menggunakan perangkat GIS di masing-masing provinsi.

(4)

Tabel 1. Kriteria pengelompokan lahan sawah terdegradasi

HASIL DAN PEMBAHASAN

Status hara P dan K

Salah satu cara mengetahui penurunan atau degradasi tanah sawah digunakan parameter kandungan hara P, K. Balai Penelitian Tanah telah melakukan pemetaan status hara P dan K baik pada skala 1:250.000 (17 provinsi) maupun pada skala 1:50.000 (beberapa kabupaten). Peta status hara P dan K tersebut menyajikan penyebaran dan luas lahan sawah secara spasial dan menginformasikan wilayah yang mempunyai kandungan hara P dan K rendah, sedang dan tinggi. Hasil identifikasi status hara P dan K di 8 provinsi sentra produksi padi disajikan pada Tabel 2 dan 3. Dari tabel tersebut terlihat bahwa sebagian besar wilayah lahan sawah mempunyai kandungan P dan K sedang dan tinggi.

Status hara Kandungan C Kelas degradasi

P K

Rendah Rendah Rendah Terdegradasi berat Rendah Rendah Sedang Terdegradasi berat Rendah Rendah Tinggi Terdegradasi berat Rendah Sedang Rendah Terdegradasi berat Rendah Sedang Sedang Terdegradasi sedang Rendah Sedang Tinggi Terdegradasi sedang Rendah Tinggi Rendah Terdegradasi berat Rendah Tinggi Sedang Terdegradasi sedang Rendah Tinggi Tinggi Terdegradasi rendah Sedang Rendah Rendah Terdegradasi berat Sedang Rendah Sedang Terdegradasi sedang Sedang Rendah Tinggi Terdegradasi rendah Sedang Sedang Rendah Terdegradasi berat Sedang Sedang Sedang Terdegradasi rendah Sedang Sedang Tinggi Tidak terdegradasi Sedang Tinggi Rendah Terdegradasi sedang Sedang Tinggi Sedang Terdegradasi rendah Sedang Tinggi Tinggi Tidak terdegradasi

Tinggi Rendah Rendah Terdegradasi berat Tinggi Rendah Sedang Terdegradasi sedang Tinggi Rendah Tinggi Terdegradasi rendah Tinggi Sedang Rendah Terdegradasi sedang Tinggi Sedang Sedang Terdegradasi rendah Tinggi Sedang Tinggi Tidak terdegradasi Tinggi Tinggi Rendah Terdegradasi sedang Tinggi Tinggi Sedang Tidak terdegradasi Tinggi Tinggi Tinggi Tidak terdegradasi

(5)

Tabel 2. Sebaran status hara P di 8 provinsi sentra produksi padi

Provinsi Status hara P (P2O5 terekstrak HCl 25%) (ha) Jumlah

(ha) Rendah (<20 mg/100 g) Sedang (20-40 mg/100g) Tinggi (<20 mg/100g) Banten 70.853 108.351 59.300 238.504 Jawa Barat 156.238 355.015 427.975 939.228 Jawa Tengah 90.064 275.553 686.306 1.051.922 Jawa Timur 65.228 313.659 764.507 1.143.394 D.I. Yogyakarta 455 5.531 63.078 69.064 Sulawesi Selatan 26.691 89.142 465.657 581.490 Sumatera Barat 96.347 211.649 122.458 430.454 Sumatera Selatan 7.079 143.269 85.354 235.701 Jumlah 512.954 1.502.168 2.674.635 4.689.757 Sumber: Sofyan et al. (2000)

Tabel 3. Sebaran status hara K di 8 provinsi sentra produksi padi

Provinsi Status hara K (K2O terekstrak KCl 25%) (ha) Jumlah

Rendah (<10 mg/100g) (10-20 mg/100g) Sedang (>20 mg/100g) Tinggi Banten 49.524 35.956 153.024 238.504 Jawa Barat 105.465 396.160 437.603 939.228 Jawa Tengah 101.456 576.349 374.117 1.051.922 Jawa Timur 166.529 494.545 482.321 1.143.394 D.I. Yogyakarta 17.478 51.586 0 69.064 Sulawesi Selatan 115.541 175.598 290.351 581.490 Sumatera Barat 71.478 183.493 175.483 430.454 Sumatera Selatan 79.818 138.164 17.719 235.701 Jumlah 707.288 2.051.852 1.930.617 4.689.757 Sumber: Sofyan et al. (2000)

Kandungan bahan organik

Untuk penyusunan lahan sawah terdegradasi telah digunakan data hasil analisis Balai Penelitian Tanah, yang menghimpun 1.577 contoh tanah sawah yang menyebar di seluruh Indonesia. Hasil analisis menunjukkan bahwa dari 8,1 juta ha lahan sawah di Indonesia, sekitar 65% tanah sawah mempunyai kandungan C-organik rendah sampai sangat rendah (C-organik < 2%), dan hanya 35% yang mempunyai kandungan C-organik > 2 %, inipun terjadi pada lahan sawah yang bergambut (Kasno et al, 2000). Rendahnya kandungan bahan organik tanah kemungkinan disebabkan pengelolaan hara yang kurang bijak serta pengangkutan jerami sisa panen keluar lahan, sehingga sebagian besar lahan sawah berkadar bahan organik rendah sampai sangat rendah (C-organik <2%). Hal ini terutama pada wilayah yang memanfaatkan limbah jerami untuk kegiatan lain seperti untuk pengembangan jamur merang dan pakan ternak sapi.

(6)

Untuk mengelompokkan lahan sawah terdegrdasi, diperlukan data kandungan bahan organik yang lebih banyak, namun belum semua lokasi mempunyai data sebaran kandungan bahan organik. Oleh karena itu, dalam pengelompokan lahan sawah terdegradasi ini digunakan beberapa asumsi. Misalnya, rata-rata kandungan C-organik tanah sawah di Jawa Barat termasuk kelas sedang, sehingga untuk wilayah lainnya di Jawa Barat yang tidak mempunyai data C-organik akan diasumsikan termasuk kelas sedang (2-3%) dan atau mempertimbangkan rata-rata tingkat produktivitas padi pada tingkat kabupaten.

Seiring dengan meningkatnya intensitas tanam di lahan sawah intensifikasi, waktu yang tersedia untuk pengolahan tanah juga semakin sempit sehingga praktek petani dalam mengolah tanahnya juga ikut berubah. Di lahan sawah intensifikasi di jalur Pantura ditengarai telah terjadi pendangkalan atau lapisan olah tanah dangkal, sehingga produktivitas tanaman menurun. Tanah yang mempunyai lapisan olah dalam (>20 cm) berpeluang memberikan produktivitas tanaman yang tinggi karena perakaran tanaman dapat berkembang lebih sempurna.

Sebaran lahan sawah terdegradasi

Berdasarkan peta status hara P dan K, serta kandungan bahan organik tanah, lahan sawah dapat dikelompokkan menjadi 4 kelas yaitu lahan terdegradasi berat (TB), terdegradasi sedang (TS), terdegradasi ringan (TR) dan lahan tidak terdegradasi (TT). Pada wilayah yang mempunyai status P, K, dan C-organik termasuk tinggi dan atau sedang dikelompokkan sebagai lahan tidak terdegradasi, sehingga tidak diprioritaskan untuk dilakukan pemulihan kesuburan tanahnya. Lahan yang termasuk prioritas pertama untuk dilakukan pemulihan kesuburannya adalah lahan sawah yang mempunyai kandungan P dan K rendah sampai sedang, dengan kandungan C-organik rendah (tanah yang terdegradasi berat).

Berdasarkan kriteria pada Tabel 1, telah disusun penyebaran lahan sawah terdegrasi secara spasial. Contoh peta indikatif sebaran lahan sawah terdegradasi dapat dilihat pada Gambar 1. Berdasarkan peta tersebut, sebaran lahan sawah yang mengalami degradasi dapat dirinci menurut kabupaten pada masing-masing provinsi. Bahkan melalui kajian yang lebih rinci, peta tersebut dapat menyajikan lahan sawah terdegradasi pada tingkat kecamatan.

(7)

Gambar 1. Peta sebaran lahan sawah terdegradasi di Provinsi Banten

Tabel 4. Penyebaran lahan sawah terdegradasi di 8 provinsi

Provinsi TB TS TR TT Jumlah Banten 184.741 42.402 7.828 3.534 238.504 Jabar 289.834 283.995 251.280 114.119 939.228 Jateng 472.815 504.216 40.852 34.038 1.051.922 Jatim 472.743 655.458 8.084 7.110 1.143.394 DI. Yogyakarta 8.998 23.313 36.753 - 69.064 Sulsel 117.184 433.922 9.350 21.034 581.490 Sumsel 117.807 310.927 1.720 - 430.454 Sumbar 114.562 78.192 12.731 30.216 235.701 Jumlah 1.778.683 2.332.425 368.598 210.051 4.689.757 Persentase (%) 38 50 8 4 100

Keterangan: TB= terdegradasi berat, TS= terdegradasi sedang, TR= terdegradasi rendah, dan TT= tidak terdegradasi.

Pada Tabel 4 terlihat bahwa dari luas total lahan sawah di 8 provinsi (4,7 juta ha), sebagian besar lahan sawah tersebut termasuk pada kelas terdegradasi sedang (TS) seluas 2,3 juta ha (50%), penyebaran terluas terdapat di Jatim, Jateng dan Sulsel. Sedangkan yang termasuk lahan terdegradasi berat (TB) sekitar 1,8 juta ha (38%), terluas di Provinsi Jatim, Jateng dan Jabar. Untuk lahan yang terdegradasi rendah (TR) dan tidak terdegradasi (TT) mencakup luasan kecil, masing-masing 8% dan 4%, terluas di Jawa Barat.

(8)

Teknologi Pemulihan Kesuburan Tanah Sawah

Untuk mengatasi degradasi dan menjaga kesuburan tanah sawah diperlukan teknologi antara lain perbaikan dosis pupuk sesuai konsep pemupukan berimbang, pengelolaan bahan organik, penggunaan pupuk organik dan hayati, pengelolaan tanah (Anonim 2010).

Pemupukan berimbang

Pemupukan berimbang adalah pemberian pupuk ke dalam tanah untuk mencapai status semua hara esensial seimbang dan optimum dalam tanah untuk meningkatkan produksi dan mutu hasil pertanian, efisiensi pemupukan, kesuburan tanah serta menghindari pencemaran lingkungan. Pemupukan berimbang tidak harus merupakan pemupukan dengan menggunakan semua jenis pupuk. Sebagai contoh, untuk mencapai hasil gabah padi sebanyak 4 ton ha-1, maka diperlukan N sebanyak 90 kg, P 13 kg, K 108 kg, Ca 11 kg, Mg 10 kg dan S 4 kg. Hara dengan jumlah tersebut tersimpan di dalam batang, daun dan gabah padi. Ketika gabah padi yang berjumlah 4 ton tersebut diangkut ke luar ladang, maka akan terangkut pula hara tersebut. Dengan demikian, apabila jerami padi dikembalikan sebagai pupuk organik maka sebagian besar hara yang terkandung di dalam jerami (sekitar 30 kg N, 2 kg P, 93 kg K, 10 kg Ca, 6 kg Mg dan 1 kg S) akan dapat dimanfaatkan kembali oleh tanaman yang berikutnya. Hara mikro diperlukan tanaman dalam jumlah yang sangat sedikit namun sangat berpengaruh terhadap produksi dan kualitas hasil. Penggenangan terus menerus dan pemupukan N dan P dosis tinggi dapat menurunkan ketersediaan hara mikro, terutama hara Zn dan Cu serta unsur hara makro lainnya seperti S, Ca dan Mg (Setyorini dan Abdurachman, 2009).

Pupuk organik

Pupuk organik didefinisikan sebagai pupuk yang berasal dari tumbuhan dan atau kotoranhewandan/atau bagian hewan dan/atau limbah organik lainnya yang telah melalui proses rekayasa, berbentuk padat atau cair dan dapat diperkaya dengan bahan mineral alami dan/atau mikroba yang bermanfaat memperkaya hara, bahan organik tanah, dan memperbaiki sifat fisik, kimia dan biologi tanah. Pupuk organik dapat berasal dari limbah/hasil pertanian, sisa tanaman, sisa hasil pertanian, pupuk kandang dan pupuk hijau, limbah pasar dan perkotaan. Saat ini pupuk organik juga dibuat dari limbah industri pertanian, industri minuman dan makanan, serta industri kimia (Anonim, 2010).

Peranan bahan organik terhadap kesuburan fisik, kimia dan biologi tanah sangat besar, tetapi karena kandungan haranya rendah, maka harus dipadukan dengan pupuk an-organik. Penggunaan pupuk N, P dan K ditambah dengan jerami padi dapat meningkatkan produktivitas padi sawah 10-15% dan mempertahankan kadar bahan organik tanah,

(9)

mengurangi penciutan kadar K, Mg dan Si tanah, serta dapat mempertahankan KTK tanah sawah (Adiningsih, 1988).

Pemulihan kesuburan tanah sawah melalui penggunaan pupuk organik diharapkan dapat berperan memperbaiki sifat fisik, kimia dan biologi tanah. Perbaikan sifat fisika tanah yang dapat terjadi adalah: (a) mengurangi laju perkolasi, dan (b) meringankan pengolahan tanah. Sedangkan secara kimia pupuk organik dapat menyediakan sejumlah kecil hara makro (N, P, K, Ca, Mg dan S) dan mikro seperti Zn, Cu, Mo, Co, B, Mn dan Fe, (b) mencegah kahat unsur mikro pada tanah sawah yang diusahakan secara intensif dengan pemupukan yang kurang seimbang; (c) meningkatkan Kapasitas Tukar Kation (KTK) tanah, (d) membentuk senyawa kompleks dengan ion logam seperti Al, Fe dan Mn sehingga logam-logam ini tidak meracuni (Anonim, 2010). Perbaikan sifat biologi tanah adalah sebagai sumber energi dan makanan bagi mikro dan meso fauna tanah sehingga aktivitas organisme tanah meningkat dalam membantu ketersediaan hara, siklus hara, dan pembentukan pori mikro dan makro tanah, menjadi lebih baik.

Pupuk hayati

Mikroba tanah bersama bahan organik tanah merupakan komponen penting dalam tanah dan berperan sebagai penyangga biologi tanah yang menjaga penyediaan hara dalam jumlah berimbang bagi tanaman. Mikroba penting di lahan sawah antara lain adalah mikroba penambat N dari udara, mikroba pelarut P dan mikroba yang dapat mengubah elemen S menjadi sulfat sehingga tersedia bagi tanaman. Mikroba perombak (decomposer) perlu ditambahkan untuk mempercepat waktu dekomposisi jerami sehingga dapat dikembalikan ke lahan dengan segera (Saraswati et al, 2004).

Penelitian di bidang mikrobiologi tanah telah menghasilkan inokulan-inokulan unggulan dari mikroba-mikroba tersebut dan telah dikemas sebagai pupuk hayati. Inokulan mikroba pelarut P telah dihasilkan, terdiri dari Psedomonas spp, dapat meningkatkan ketersediaan/kelarutan P pada tanah sawah sehingga berpotensi untuk meningkatkan hasil gabah, demikian pula mikroba pemacu tumbuh, penambat N hidup bebas pada tanaman padi (Saraswati et al, 2004).

Rekomendasi pemulihan kesuburan tanah sawah

Sesuai dengan intensitas degradasi lahan sawah yang terjadi di lahan sawah, maka dibuat 4 kelompok rekomendasi sesuai dengan kriteria lahan terdegradasi yang ada (Tabel 5). Perbedaan tingkat rekomendasi terutama untuk pemberian pupuk SP-36, pupuk KCl, pupuk organik dan jenis pengolahan tanah. Pupuk organik disini maksudnya adalah pemberian jerami yang sudah dikomposkan. Sedangkan untuk pemberian pupuk hayati dan dekomposer dosisnya sama untuk setiap jenis sawah yaitu 2 liter ha-1 untuk pupuk

(10)

hayati dan 5-6 kg ha-1 untuk dekomposer. Dekomposer ini digunakan untuk mempercepat dekomposisi bahan organik dimana jerami merupakan sumber utama bahan organik di lahan sawah.

Tabel 5. Rekomendasi pemupukan berdasarkan tingkat degradasi kesuburan tanah

Anjuran* Ringan Tingkat degradasi Sedang Berat 1. Pupuk SP-36 2. Pupuk KCl 3. Pupuk organik** 4. Pupuk hayati 5. Dekomposer*** 50-75 kg SP-36 ha-1 0-50 kg KCl ha-1 2 t ha-1 musim-1 200g ha-1 (2 liter ha-1) 5-6 kg ha 1 75-100kg SP-36 ha-1 50-100 kg KCl ha-1 2 t ha-1musim-1 (terus menerus) 200g ha-1 (2 liter ha-1) 5-6 kg/ha 75-100kg SP-36 ha-1 50-100 kg KCl ha-1 3 t ha-1musim_1 (terus menerus) 200g ha-1 (2liter ha-1) 5-6 kg ha-1

Pengolahan tanah Rotary Bajak sampai 20cm+Rotary

Bajak sampai 20cm+Rotary Catatan:

* sesuai dengan kriteria di atas

** sebagai pupuk organik adalah jerami yang dikomposkan

*** dekomposer digunakan untuk mempercepat dekomposisi bahan organik (jerami sebagai sumber utama bahan organik di lahan sawah)

Perkiraan efisiensi penggunaan pupuk anorganik

Respon peningkatan produktivitas padi akibat pemberian pupuk organik yang dikombinasikan dengan pupuk anorganik terlihat secara perlahan dan bertahap. Diperkirakan produktivitas meningkat 10-25% selama 10 tahun, tergantung pada dosis pemberian, varietas, jenis dan tingkat pengelolaan tanah.

Pemberian pupuk organik terus menerus setiap musim dapat mengefisienkan pupuk an-organik sehingga dosisnya semakin rendah. Selain itu, dosis pupuk organik juga semakin menurun karena kesuburan tanah sudah semakin meningkat dicirikan dengan meningkatnya populasi, aktivitas dan keragaman mikroba dalam tanah (Anonim, 2011a).

Penggunaan pupuk organik dapat mengefisienkan pupuk an-organik seperti SP-36 dan KCl. Pemberian kompos jerami dapat mengefisienkan pupuk SP-36 sekitar 30% dan pupuk KCl 40%. Perkiraan efisiensi penggunaan pupuk anorganik disajikan pada Tabel 6.

(11)

Tabel 6. Penghematan pupuk anorganik yang diperoleh akibat penerapan teknologi pemulihan lahan

Provinsi

Kebutuhan pupuk

(Konvensional) Kebutuhan pupuk (Teknologi) Penghematan pupuk (ribu ton) SP-36 KCl SP-36 KCl SP-36 KCl Jawa Timur 68.375 23.611 39.990 14.167 28.385 9.444 Jawa Tengah 61.693 23.641 36.246 14.184 25.447 9.456 DIY 2.754 450 1.030 270 1.724 180 Jawa Barat 42.219 14.492 21.592 8.695 20.628 5.797 Banten 16.171 9.237 10.297 5.542 5.874 3.695 Sulawesi Selatan 30.719 5.859 16.707 3.516 14.011 2.344 Sumatera Barat 12.820 5.728 7.683 3.437 5.137 2.291 Sumatera Selatan 24.425 5.890 13.664 3.534 10.761 2.356

KESIMPULAN DAN SARAN

1. Lahan sawah intensif di 8 sentra produksi padi mencapai 4,7 juta ha dan sekitar 1,8 juta ha atau 38% termasuk lahan sawah terdegradasi berat (TB) karena kandungan P dan bahan organik rendah. Oleh karena itu, pemupukan berimbang, penggunaan pupuk hayati (mikroba pelarut P) dan pemberian pupuk organik sangat dianjurkan pada daerah seperti ini untuk meningkatkan produktivitas.

2. Lahan sawah yang terdegradasi berat karena bahan organik dan kalium rendah dapat terjadi pada daerah yang jeraminya diangkut ke luar lahan sawah untuk keperluan lain seperti pakan ternak dan usaha jamur merang. Oleh sebab itu, proporsi pengangkutan jerami keluar lahan harus ikut dipertimbangkan agar tanah sawah tersebut tidak semakin miskin unsur hara K dan bahan organik.

DAFTAR PUSTAKA

Adiningsih, J.S. 1988. Peranan limbah pertanian khususnya jerami dalam penerapan pemupukan berimbang. Pros. Pertemuan Teknis Penelitian Tanah. Cipayung, 18-20 Maret 1986. hal. 203-215. Pusat Penelitian Tanah, Bogor

Anonim. 2006. Keputusan Menteri Pertanian Nomor 01/SR.130/01/ 2006 tentang Rekomendasi Pemupukan N, P, dan K Pada Padi Sawah Spesifik Lokasi. Departemen Pertanian.

Anonim. 2010. Policy Brief: Pemulihan Kesuburan Tanah pada Lahan Sawah Berkelanjutan. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Kementerian Pertanian. Jakarta.

(12)

Anonim. 2011a. Peta Potensi Penghematan Pupuk Anorganik dan Pengembangan Pupuk Organik pada Lahan Sawah. Program 100 hari Kabinet Indonesia Bersatu Jilid II, Kementerian Pertanian, Jakarta.

Anonim. 2011b. Peta Indikatif Sebaran Lahan Sawah Terdegradasi Kesuburan. Program 100 hari Kabinet Indonesia Bersatu Jilid II, Kementerian Pertanian, Jakarta. BPN dan Kementan. 2011. Sinkronisasi Luas Baku Lahan Sawah untuk Mendukung

Surplus Beras 10 juta ton pada tahun 2014. Badan Pertanahan Nasional dan Kementerian Pertanian, Jakarta.

Kasno, A., D. Setyorini, dan Nurjaya. 2000. Status C-organik lahan sawah di Indonesia. Konggres Himpunan Ilmu Tanah Indonesia (HITI) di Universitas Andalas, Padang. Las, I. dan A.Mulyani. 2009. Sumberdaya Lahan Potensial Tersedia Untuk Mendukung Ketahanan Pangan Dan Energi. Proseding Semi Loka Ketersediaan Lahan untuk Ketahanan Pangan dan BIoenergi Mendatang. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Saraswati, R., T. Prihatini, dan R.D. Hastuti. 2004. Teknologi pupuk mikroba untuk

meningkatkan efisiensi pemupukan dan keberlanjutan sistem produksi padi sawah. Hal 169-189 Dalam Agus, F., A. Abdurachman, S. Hardjowigeno, A.M. Fagi, dan W. Hartatik (eds.). Tanah Sawah dan Pengelolaannya. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat, Bogor.

Setyorini, D. dan S. Abdulrachman. 2009. Hara Mineral Tanaman Padi. Balai Besar Padi. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. IPB Press. Bogor.

Sofyan, A., M. Sediyarso, Nurjaya, dan J. Suryono. 2000. Laporan akhir Penelitian Status P dan K Tanah Sawah sebagai Dasar Penggunaan Pupuk yang Efisien pada Tanaman Pangan. Bagian Proyek Sumberdaya Lahan dan Agroklimat. Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat. Bogor.

Gambar

Tabel 1. Kriteria pengelompokan lahan sawah terdegradasi
Tabel 2. Sebaran status hara P di 8 provinsi sentra produksi padi
Gambar 1. Peta sebaran lahan sawah terdegradasi di Provinsi Banten
Tabel 5.   Rekomendasi pemupukan berdasarkan tingkat degradasi kesuburan tanah
+2

Referensi

Dokumen terkait

Pada aplikasi pengaliran CPO di dalam pipa dengan jarak tempuh yang jauh dan mengalami penurunan suhu sepanjang pengaliran, data sifat reologi CPO yang lebih

Aplikasi ini diharapkan juga dapat mengenalkan tentang pemanfaatan game engine pada Arsitektur,selain itu hasil yang didapati bisa menjadi media pembelajaran atau

Tekhnologi dalam pembelajaran PAI dapat diartikan sebagai alat, metode atau tatacara yang dipergunakan dalam proses pembelajaran PAI yang secara sistematis oleh guru

Lokasi penanaman rumput laut paling sesuai adalah pada jarak tanam 500m dari muara sungai dengan nilai produksi rata-rata tertinggi sebesar 88500g (88,5kg)

Merancang buku infografis yang berguna untuk menyajikan informasi dan data edukatif tentang perencanaan tempat tinggal kecil yang efisien dan ideal bagi Generasi Y.

Hasil penelitian ini diketahui secara simultan bahwa variabel persentase dewan komisaris independen, komite audit perusahaan dan kualitas auditor eksternal berpengaruh

Penelitian ini mengambil starting point dari penelitian yang telah dilakukan oleh Dewa Made Agung Putra Wiguna (2016) yang menganalisis pengaruh penerapan sistem

Dari hasil survei awal yang dilakukan kepada 30 responden yang menyatakan dari mana masyarakat di Kota Bandung mengetahui Buldalk Bokkeummyeon, didapat hasil