• Tidak ada hasil yang ditemukan

ANALISIS PENGARUH KEBIJAKAN UPAH MINIMUM PROPINSI (UMP) TERHADAP INVESTASI INDUSTRI TEKSTIL DAN PRODUK TEKSTIL (TPT) JAWA BARAT

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "ANALISIS PENGARUH KEBIJAKAN UPAH MINIMUM PROPINSI (UMP) TERHADAP INVESTASI INDUSTRI TEKSTIL DAN PRODUK TEKSTIL (TPT) JAWA BARAT"

Copied!
114
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS PENGARUH KEBIJAKAN UPAH MINIMUM

PROPINSI (UMP) TERHADAP INVESTASI INDUSTRI

TEKSTIL DAN PRODUK TEKSTIL (TPT) JAWA BARAT

Oleh :

ROLAS TE SILALAHI A14304008

PROGRAM STUDI EKONOMI PERTANIAN DAN SUMBERDAYA FAKULTAS PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008

(2)

RINGKASAN

ROLAS TE SILALAHI. Analisis Pengaruh Kebijakan Upah Minimum Propinsi (UMP) terhadap Investasi Industri Tekstil dan Produk Tekstil (TPT) Jawa Barat. Dibawah bimbingan DEDI BUDIMAN HAKIM.

Industri tekstil dan produk tekstil (TPT) merupakan industri andalan bagi Indonesia. Keunggulan industri TPT terlihat dari kontribusinya terhadap pembentukan PDB nasional, besarnya penyerapan tenaga kerja serta kontribusi TPT dalam surplus perdagangan Indonesia. Disamping itu, industri TPT Indonesia memiliki fundamental yang kuat karena memiliki struktur industri yang lengkap, vertikal dan terintegrasi dari hulu sampai hilir atau mulai dari sektor industri man made fiber sampai sektor industri garment. Keunggulan tersebut menjadikan industri TPT Indonesia sebagai industri yang kuat serta memiliki kemampuan daya saing global.

Menurut Asosiasi Pertekstilan Indonesia (2007), Jawa Barat merupakan sentral pabrik tekstil di Indonesia dengan distribusi perusahaan sebesar 57 persen. Pada tahun 2006, jumlah perusahaan TPT di Jawa Barat mencapai 1.384 unit sedangkan jumlah tenaga kerja yang diserap oleh sektor tersebut sekitar 419.349 orang. Selain itu, komoditi TPT merupakan salah satu komoditi ekspor terbesar Jawa Barat, selama periode 2003-2007 nilainya mencapai angka rata-rata 4,0454 milyar US Dollar. Industri TPT merupakan salah satu subsektor dari industri pengolahan nonmigas yang memiliki peranan cukup besar dalam perekonomian Jawa Barat. Hal tersebut dapat dilihat dari kontribusi industri TPT dalam pembentukan PDRB Jawa Barat.

Investasi memiliki peranan yang sangat penting bagi keberlangsungan kegiatan ekonomi. Demikian juga halnya pada industri TPT, investasi berperan untuk mendorong daya saing dan meningkatkan produktivitas (API, 2008). Potensi Jawa Barat sebagai sentral industri TPT Indonesia serta adanya ketersediaan infrastruktur yang mendukung menjadikan Jawa Barat sebagai wilayah investasi TPT yang menjanjikan. Investasi atau penanaman modal terdiri dari penanaman modal asing (PMA) dan penanaman modal dalam negeri (PMDN).

Keinginan para investor untuk menanamkan modalnya di suatu wilayah sangat dipengaruhi oleh beberapa faktor. Menurut Dinas Perindustrian (2007), iklim ketenagakerjaan termasuk faktor yang mempengaruhi investasi pada industri TPT. Hal tersebut dikarenakan industri TPT merupakan industri padat karya. Selain itu, penetapan nilai upah minimum sebagai salah satu kebijakan dibidang ketenagakerjaan juga mempengaruhi pertumbuhan investasi industri TPT.

Pada kenyataannya, nilai upah minimum yang ditetapkan diberbagai propinsi sangat bervariasi dan cenderung mengalami peningkatan. Sejak tahun 2001 hingga tahun 2006, perkembangan rata-rata tingkat UMP di Indonesia mengalami pertumbuhan yang positif dengan rata-rata 14,46 persen per tahun. Sejalan dengan peningkatan UMP setiap tahunnya, nilai investasi industri TPT Jawa Barat justru dihadapkan pada pertumbuhan yang fluktuatif. Padahal berdasarkan teori, peningkatan UMP akan menurunkan investasi.

(3)

Adapun tujuan dari penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan perkembangan kebijakan upah minimum propinsi (UMP) di Jawa Barat dan untuk menganalisis pengaruh nilai upah minimum propinsi (UMP) terhadap investasi industri TPT di Jawa Barat. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder dalam bentuk time series (deret waktu) dari tahun 1994 sampai tahun 2006. Metode yang digunakan adalah metode kualitatif dan kuantitatif. Metode kualitatif digunakan untuk mendeskripsikan perkembangan UMP Jawa Barat sedangkan metode kuantitatif melalui analisis regresi linear berganda digunakan untuk menganalisis pengaruh nilai UMP terhadap investasi industri TPT Jawa Barat. Model investasi terdiri dari model investasi dalam negeri (PMDN) dan investasi asing (PMA). Model yang digunakan adalah model dengan fungsi Double Log dan diestimasi dengan metode Ordinary Least Squares (OLS), kemudian diolah dengan menggunakan software E-views 4.1.

Sejalan dengan Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 tentang kewenangan pemerintah dan kewenangan propinsi sebagai daerah otonom, maka gubernur berwenang menetapkan upah minimum yang sebelumnya ditetapkan oleh menteri yang membidangi ketenagakerjaan. Demikian juga halnya dengan upah minimum Propinsi Jawa Barat ditetapkan oleh gubernur dan dibantu oleh Komisi Penelitian Pengupahan dan Jaminan Sosial Dewan Ketenagakerjaan Daerah.

Berdasarkan hasil estimasi diperoleh bahwa nilai UMP secara signifikan berpengaruh negatif terhadap investasi dalam negeri (PMDN) industri TPT Jawa Barat. Nilai UMP berpengaruh signifikan terhadap PMDN secara negatif dengan dugaan parameter untuk nilai UMP sebesar 10,06549, asumsi cateris paribus. Artinya bahwa apabila nilai UMP meningkat sebesar 1 persen maka akan menurunkan PMDN sebesar 10,06549 persen. Hal ini menunjukkan bahwa nilai UMP menentukan keinginan para investor dalam negeri untuk menanamkan modalnya pada industri TPT di Jawa Barat. Pada model PMDN, variabel PDRB per kapita berpengaruh nyata secara positif sedangkan suku bunga tidak berpengaruh nyata.

Pengaruh nilai UMP terhadap investasi asing (PMA) industri TPT Jawa Barat tidak signifikan. Para investor asing bersedia membayar upah di atas equilibrium karena di Indonesia, termasuk Jawa Barat memiliki turnover labour yang rendah. Artinya, para pekerja di sektor TPT cenderung tetap atau tidak sering berpindah-pindah dari satu perusahaan ke perusahaan lainnya. Hasil estimasi model PMA juga menunjukkan bahwa variabel suku bunga berpengaruh negatif secara signifikan sedangkan PDRB per kapita dan laju nilai tukar tidak berpengaruh nyata.

Berdasarkan hasil yang diperoleh maka saran yang dapat diberikan adalah pemerintah propinsi Jawa Barat sebaiknya tetap melibatkan para pengusaha dalam perundingan penetapan nilai upah minimum propinsi. Selain itu, pemerintah sebaiknya meningkatkan kerjasama dengan pihak perbankan untuk menciptakan kebijakan ekonomi dalam upaya mempertahankan keberadaan dan mengembangkan potensi industri TPT nasional. Upaya peningkatan investasi industri TPT Jawa Barat dapat dilakukan melalui perbaikan iklim usaha yang kondusif.

(4)

ANALISIS PENGARUH KEBIJAKAN UPAH MINIMUM

PROPINSI (UMP) TERHADAP INVESTASI INDUSTRI

TEKSTIL DAN PRODUK TEKSTIL (TPT) JAWA BARAT

Oleh :

ROLAS TE SILALAHI A14304008

Skripsi

Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Pertanian

Pada Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor

PROGRAM STUDI EKONOMI PERTANIAN DAN SUMBERDAYA FAKULTAS PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008

(5)

Judul Skripsi : Analisis Pengaruh Kebijakan Upah Minimum Propinsi (UMP) terhadap Investasi Industri Tekstil dan Produk Tekstil (TPT) Jawa Barat

Nama : Rolas TE Silalahi NRP : A14304008

Menyetujui,

Dosen Pembimbing

Dr. Ir. Dedi Budiman Hakim, M.Ec NIP. 131 846 871

Mengetahui,

Dekan Fakultas Pertanian

Prof. Dr. Ir. Didy Sopandie, M. Agr NIP. 131 124 019

(6)

PERNYATAAN

DENGAN INI MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI YANG BERJUDUL “ANALISIS PENGARUH KEBIJAKAN UPAH MINIMUM PROPINSI (UMP) TERHADAP INVESTASI INDUSTRI TEKSTIL DAN PRODUK TEKSTIL (TPT) JAWA BARAT” ADALAH BENAR-BENAR HASIL KARYA SAYA SENDIRI YANG BELUM PERNAH DIGUNAKAN UNTUK SKRIPSI ATAU KARYA ILMIAH PADA PERGURUAN TINGGI ATAU LEMBAGA APAPUN.

Bogor, Agustus 2008

ROLAS TE SILALAHI A14304008

(7)

RIWAYAT HIDUP

Penulis memiliki nama lengkap Rolas Theresia Elisabeth Silalahi dan lahir di Pangururan, Kabupaten Samosir, Propinsi Sumatera Utara, pada tanggal 3 Juli 1987. Penulis adalah anak pertama dari tiga bersaudara keluarga Bapak Daulat Silalahi dan Ibu Berliana Sitanggang.

Penulis mengawali pendidikan formal di SD Negeri Pardomuan I pada tahun 1992 dan diselesaikan pada tahun 1998. Kemudian jenjang pendidikan menengah pertama diselesaikan pada tahun 2001 di SLTP Budi Mulia Pangururan. Pendidikan menengah umum diselesaikan pada tahun 2004 di SMU Negeri 1 Pangururan.

Pada Juni 2004, penulis diterima di Institut Pertanian Bogor sebagai mahasiswa tingkat sarjana Jurusan Ilmu-ilmu Sosial Ekonomi Pertanian, Program Studi Ekonomi Pertanian dan Sumberdaya melalui jalur USMI. Selama kuliah penulis aktif dalam UKM KEMAKI-IPB dan kegiatan kepanitiaan. Kepanitiaan yang pernah diikuti adalah Misa Awal Tahun Ajaran IPB tahun 2007 dan perayaan Natal Civitas Akademika IPB tahun 2007. Penulis juga menjadi asisten mata kuliah Ekonomi Umum Tahun Ajaran 2007/2008.

(8)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis hanturkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala berkat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Analisis Pengaruh Kebijakan Upah Minimum Propinsi (UMP) terhadap Investasi Industri Tekstil dan Produk Tekstil (TPT) Jawa Barat”. Skripsi ini ditulis untuk memenuhi persyaratan penyelesaian Program Sarjana Pertanian, Jurusan Ilmu-ilmu Sosial Ekonomi Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui perkembangan kebijakan upah minimum propinsi (UMP) di Jawa Barat dan pengaruh nilai upah minimum propinsi (UMP) terhadap investasi industri TPT di Jawa Barat. Namun penulis menyadari masih terdapat kekurangan dalam penelitian ini. Hal tersebut dikarenakan keterbatasan yang dihadapi penulis dalam pelaksanaan penelitian ini.

Akhir kata, semoga skripsi ini berguna untuk kegiatan penelitian upah minimum propinsi dan investasi industri tekstil dan produk tekstil (TPT) selanjutnya.

(9)

UCAPAN TERIMAKASIH

1. Kepada Tuhan Yesus dan Bunda Maria yang senantiasa mencurahkan kasih dan berkat kepada penulis.

2. Kepada kedua orangtua penulis, Bapak Daulat Silalahi dan Ibu Berliana Sitanggang. Terimakasih atas kasih, doa, dukungan, bimbingan, dan motivasi yang selalu diberikan. Kepada kedua adik penulis, Adonia dan Felix. Terimakasih atas doa, kasih, dan semangat yang selalu diberikan kepada kaka. 3. Kepada Bapak Dr. Ir. Dedi Budiman Hakim, M.Ec sebagai dosen pembimbing

skripsi. Terimakasih atas bimbingan, kesabaran, pengertian, dan semangat yang telah diberikan kepada penulis.

4. Kepada Ibu Tanti Novianti, S.P, M.Si sebagai dosen penguji utama. 5. Kepada Bapak Adi Hadianto, S.P sebagai dosen penguji wakil departemen. 6. Kepada Bapak Benny Setiawan, Ibu Priyana, dan Ibu Sri dari Badan Promosi

dan Penanaman Modal Daerah Jawa Barat, pihak Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Jawa Barat, serta pihak Badan Pusat Statistik Jawa Barat. Terimakasih atas bantuan yang telah diberikan kepada penulis.

7. Kepada sahabat-sahabat penulis, Marlina, Merika, Eva, Tata, Natalia, Martyanti, Lenny, Estu, Jimmy, Rocky, Kristian, Rianti, Laura, Martha, Lena, dan Lambok. Terimakasih atas bantuan, doa, dan dukungan yang diberikan. 8. Kepada teman-teman seperjuangan penulis, Marlina, Santi, Ismail, Fitria, dan

Nisa. Terimakasih atas kerjasama, bantuan, semangat, dan doa yang diberikan. 9. Kepada Ribkha, Trista, Grista, Wida, Liana, Kak Dina, Bang Agus, EPS’41,

BIA dan Umat Ciampea, serta semua pihak yang telah membantu penulis. Terimakasih banyak atas bantuan, doa, dan dukungannya. Tuhan Memberkati.

(10)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL. ... ix

DAFTAR GAMBAR... xi

DAFTAR LAMPIRAN. ... xii

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang . ... 1

1.2 Perumusan Masalah . ... 8

1.3 Tujuan Penelitian . ... 11

1.4 Kegunaan Penelitian ... 12

1.5 Ruang Lingkup Penelitian ... 12

II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tinjauan Teori ... 13

2.1.1 Teori Upah ... 13

2.1.2 Teori Upah Minimum ... 17

2.1.3 Teori Investasi... 18

2.1.4 Suku Bunga ... 22

2.1.5 Nilai Tukar ... 22

2.1.6 Produk Domestik Bruto (PDRB) ... 23

2.1.7 OLS ... 24

2.2 Penelitian Terdahulu ... 26

2.2.1 Penelitian Terdahulu Mengenai Tekstil dan Produk Tekstil (TPT)... 26

2.2.2 Penelitian Terdahulu Mengenai Investasi ... 28

2.2.3 Penelitian Terdahulu Mengenai Upah Minimum... 29

III KERANGKA PEMIKIRAN 3.1 Kerangka Pemikiran Teoritis ... 31

3.1.1 Hubungan Upah Minimum, Suku Bunga, dan Investasi ... 31

3.1.2 Hubungan Nilai Tukar, PDRB, dan Investasi ... 33

3.2 Kerangka Pemikiran Operasional ... 36

3.3 Hipotesis Penelitian ... 39

IV METODE PENELITIAN 4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian ... 40

4.2 Jenis dan Sumber Data ... 40

4.3 Metode Analisis ... 40

4.4 Model Estimasi ... 41

4.5 Metode Estimasi ... 42

4.5.1 Uji Kriteria Statistik ... 42

4.5.2 Uji Ekonometrika ... 45

4.6 Asumsi yang Digunakan ... 47

(11)

V GAMBARAN UMUM PROPINSI JAWA BARAT

5.1 Letak Geografis ... 49

5.2 Keadaan Topografi dan Kondisi Iklim ... 50

5.3 Pendidikan dan Populasi Penduduk ... 50

5.4 Ketersediaan dan Kualitas Infrastruktur ... 52

5.5 Kondisi Perekonomian Jawa Barat ... 54

5.6 Profil Industri TPT Jawa Barat ... 57

5.6.1 Perkembangan Industri TPT Jawa Barat ... 57

5.6.2 Peranan Industri TPT terhadap Perekonomian Jawa Barat ... 58

5.6.3 Sistem Pengupahan Pada Industri TPT ... 60

VI HASIL DAN PEMBAHASAN 6.1 Perkembangan Kebijakan Upah Minimum Propinsi Jawa Barat... 63

6.1.1 Tata Cara Penetapan Upah Minimum Propinsi Jawa Barat ... 63

6.1.2 Gambaran Perkembangan Nilai Upah Minimum Propinsi Jawa Barat ... 67

6.2 Analisis Pengaruh Nilai Upah Minimum Propinsi (UMP) terhadap Investasi Industri TPT Jawa Barat ... 71

6.2.1 Uji Ekonometrika ... 71

6.2.2 Estimasi Model ... 75

6.2.2.1 PMDN Industri TPT ... 75

6.2.2.2 PMA Industri TPT ... 79

6.3 Implikasi Kebijakan ... 85

VII KESIMPULAN DAN SARAN 7.1 Kesimpulan ... 89

7.2 Saran ... 89

DAFTAR PUSTAKA ... 91

LAMPIRAN ... 94

(12)

DAFTAR TABEL

Nomor. Halaman

1 Persentase Produk Domestik Bruto Indonesia Atas Dasar Harga Konstan Tahun 2000 menurut Lapangan Usaha

Tahun 2002-2006 ... 1 2 Persentase Kontribusi Sektoral dalam Perekonomian

Jawa Barat Berdasarkan Harga Konstan 2000 ... 4 3 Upah Minimum Propinsi (UMP), Kebutuhan Hidup

Layak (KHL) Tahun 2001-2006 (Ribu Rupiah) ... 9 4 Jumlah dan Laju Pertumbuhan Penduduk Jawa Barat

Tahun 2002-2006 (Orang) . ... 51 5 Penduduk Berumur 10 Tahun Keatas yang Bekerja

Menurut Lapangan pekerjaan Utama di Jawa Barat

Tahun 2000, 2003, 2005 (Orang) ... 51 6 Panjang Jalan Menurut Kondisi Jalan di Propinsi Jawa

Barat Tahun 2002-2005 (km2) ... 53 7 Penyediaan, Penjualan, dan Susut Energi Listrik di Jawa

Barat Tahun 2004 (Ribu KWH)... 54 8 Nilai Investasi pada PMDN dan PMA di Propinsi Jawa

Barat Tahun 2003-2006 ... 56 9 Jumlah Perusahaan TPT di Jawa Barat

Tahun 1999-2006 ... 58 10 Nilai Investasi dan Jumlah Penyerapan Tenaga Kerja

Industri TPT di Jawa Barat Menurut PMDN dan PMA

Tahun 2006 ... 59 11 Ekspor Nonmigas Menurut Kelompok Barang di

Propinsi Jawa Barat, Berdasarkan Nilai (Juta US Dollar)

(13)

Nomor. Halaman

12 Hasil Estimasi Uji Autokorelasi Model PMDN... 71

13 Hasil Estimasi Uji Autokorelasi Model PMA ... 72

14 Hasil Estimasi Uji Heteroskedastisitas Model PMDN ... 72

15 Hasil Estimasi Uji Heteroskedastisitas Model PMA. ... 73

16 Uji Multikolinearitas Model PMDN ... 73

17 Uji Multikolinearitas Model PMA... 74

18 Hasil Estimasi Model PMDN ... 75

(14)

DAFTAR GAMBAR

Nomor. Halaman

1 Persentase Share (Kontribusi) Sektor dan Produksi Utama Indonesia terhadap Surplus Perdagangan Tahun

2006... 2

2 Persentase Kontribusi Subsektoral Pada sektor Industri Pengolahan Tanpa Migas Jawa Barat, Periode 2005-2006... 5

3 Nilai Investasi Industri TPT di Propinsi Jawa Barat, Tahun 1994-2006 ... 10

4 Tingkat Upah dan Tingkat Penggunaan Tenaga Kerja ... 16

5 Kurva Upah Minimum Tenaga Kerja ... 17

6 Fungsi Investasi ... 21

7 Kurva Keseimbangan Uang Riil dan Fungsi Investasi ... 32

8 Hubungan Nilai Tukar, Pendapatan, dan Investasi ... 35

9 Diagram Alur Kerangka Pemikiran Operasional ... 38

10 Laju Pertumbuhan Ekonomi Propinsi Jawa Barat, Tahun 1994-2006 ... 55

11 Kontribusi Total Nilai PMDN/PMA Berdasarkan Wilayah di Propinsi Jawa Barat, Tahun 2003-2006 ... 57

12 Perkembangan Rata-rata Upah Pekerja Indutri TPT di Jawa Barat, Tahun 1994-2006 ... 61

13 Perkembangan Nilai UMP dan KHL Propinsi Jawa Barat ... 68

14 Perkembangan PDRBRiil Propinsi Jawa Barat ... 70

15 Perkembangan Penyerapan Tenaga Kerja Pada PMA Industri TPT Jawa Barat, Tahun 2001 - 2006 ... 82

(15)

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor. Halaman

1 Data Riil yang Digunakan Pada Estimasi Model... 94

2 Uji Autokorelasi Model PMDN Industri TPT Jawa Barat... 95

3 Uji Heteroskedastisitas Model PMDN Industri TPT Jawa Barat... 95

4 Uji Autokorelasi Model PMA Industri TPT Jawa Barat... 96

5 Uji Heteroskedastisitas Model PMA Industri TPT Jawa Barat... 96

6 Uji Jarque-Bera Model PMDN Industri TPT Jawa Barat ... 97

7 Uji Jarque-Bera Model PMA Industri TPT Jawa Barat ... 97

8 Hasil Estimasi Model PMDN Indutri TPT Jawa Barat... 98

(16)

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Sektor industri diyakini sebagai sektor yang dapat memimpin sektor lain dalam meningkatkan kemajuan perekonomian suatu negara. Produk-produk industri selalu memiliki nilai tukar yang tinggi atau lebih menguntungkan serta menciptakan nilai tambah yang lebih besar dibandingkan produk-produk sektor lain. Hal ini dikarenakan industri memiliki variasi produk yang sangat beragam dan mampu memberikan manfaat marjinal yang tinggi kepada para pemakainya (Dumairy, 2000). Demikian juga dengan Indonesia, sektor industri memiliki peranan penting bagi peningkatan perekonomian negara yaitu dalam pembentukan Produk Domestik Bruto (PDB).

Tabel 1. Persentase Produk Domestik Bruto Indonesia Atas Dasar Harga Konstan Tahun 2000 menurut Lapangan Usaha Tahun 2002-2006 Lapangan Usaha 2002 2003 2004 2005 2006 Pertanian, Peternakan,

Kehutanan,

dan Perikanan 15,46 15,24 14,92 14,49 14,15 Pertambangan dan Penggalian 11,28 10,63 9,66 9,42 9,14 Industri Pengolahan 27,85 28,01 28,37 28,07 27,85 Listrik, Gas, dan Air Bersih 0,65 0,65 0,65 0,66 0,66

Bangunan 5,60 5,69 5,81 5,91 6,10

Perdagangan, Hotel, dan

Restoran 16,16 16,26 16,37 16,78 16,89

Pengangkutan dan Komunikasi 5,05 5,42 5,85 6,52 6,74 Keuangan, Real Estate, dan

Jasa Perusahaan 8,69 8,9 9,12 9,21 9,23

Jasa-jasa 9,22 9,20 9,23 9,18 9,24

Produk Domestik Bruto (PDB) 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00 Sumber: Badan Pusat Statistik, 2007 (diolah).

Pada Tabel 1 terlihat bahwa sektor industri pengolahan merupakan sektor pembentuk PDB terbesar dibandingkan sektor perekonomian lainnya. Adapun

(17)

rata-rata kontribusi sektor industri dari tahun 2002 hingga tahun 2006 adalah sebesar 28,03 persen per tahun.

Industri yang selama ini menjadi andalan bagi Indonesia adalah industri tekstil dan produk tekstil (TPT). Keunggulan industri TPT terlihat dari kontribusinya terhadap pembentukan PDB nasional, besarnya penyerapan tenaga kerja serta kontribusi TPT dalam surplus perdagangan Indonesia. Pada tahun 2006, industri TPT mampu memberikan kontribusi terhadap PDB sebesar Rp 10,68 milyar dengan jumlah penyerapan tenaga kerja sebesar 1.190.736 pekerja. Selanjutnya, berdasarkan Gambar 1 dapat dilihat bahwa diantara sektor dan komoditi utama Indonesia, industri TPT berada pada peringkat ketiga setelah sektor lainnya dan barang tambang yang memberikan share terhadap surplus perdagangan Indonesia. Adapun share yang diberikan oleh industri TPT adalah sebesar 20 persen (Departemen Perindustrian, 2007).

Share Surplus Perdagangan Indonesia Tahun 2006

Migas 5% Elektronik 12% Lainnya 28% Barang tambang 25%

Sepatu dan Produk kulit 4% Produk Karet 6% TPT 20%

Sumber : Departemen Perindustrian, 2007.

Gambar 1. Persentase Share (Kontribusi) Sektor dan Produksi Utama Indonesia terhadap Surplus Perdagangan Tahun 2006

Disamping itu, industri TPT Indonesia memiliki fundamental yang kuat karena memiliki struktur industri yang lengkap, vertikal dan terintegrasi dari hulu sampai hilir atau mulai dari sektor industri man made fiber sampai sektor industri

(18)

garment. Keunggulan tersebut menjadikan industri TPT Indonesia sebagai industri yang kuat serta memiliki kemampuan daya saing global.

Menurut Asosiasi Pertekstilan Indonesia (2007), distribusi perusahaan TPT yang ada di Indonesia sebagian besar berlokasi di Jawa Barat yaitu sebanyak 57 persen. Kemudian diikuti oleh Jakarta dan Jawa Tengah, masing-masing sebanyak 17 persen dan 14 persen. Berdasarkan distribusi tersebut, Jawa Barat dapat dikatakan sebagai sentral industri tekstil di Indonesia. Pada tahun 2006, jumlah perusahaan TPT di Jawa Barat mencapai 1.384 unit sedangkan jumlah tenaga kerja yang diserap oleh sektor tersebut sekitar 419.349 orang. Selain itu, komoditi TPT merupakan salah satu komoditi ekspor terbesar Jawa Barat, selama periode 2003-2007 nilainya mencapai angka rata-rata 4,054 milyar US Dollar (Dinas Perindustrian dan Perdagangan Jawa Barat, 2008).

Industri TPT merupakan salah satu subsektor dari industri pengolahan non migas, yang memiliki peranan cukup besar dalam perekonomian Jawa Barat. Peningkatan sektor industri TPT dapat dilihat dari semakin bertambahnya sumbangan sektor industri pengolahan terhadap Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Jawa Barat. Pada Tabel 2 terlihat bahwa sumbangan sektor industri pengolahan mengalami peningkatan dari 40,48 persen pada tahun 2000 menjadi 45,49 persen pada tahun 2006. Kemudian diikuti oleh sektor perdagangan, restoran dan hotel yang memberikan kontribusi sebesar 18,17 persen di tahun 2000 yang terus mengalami peningkatan menjadi 20,34 persen pada tahun 2006.

(19)

Tabel 2. Persentase Kontribusi Sektoral dalam Perekonomian Jawa Barat Berdasarkan Harga Konstan 2000

Tahun Lapangan Usaha 2001 2002 2003 2004 2005 2006 1. Pertanian 14,53 13,81 13,20 14,61 14,93 13,96 2. Pertambangan dan Penggalian 8,24 8,00 7,70 3,31 3,07 2,82 3. Industri Pengolahan 40,81 40,70 41,34 42,01 45,00 45,94 4. Listrik, Gas, dan Air

Bersih 2,05 2,08 2,01 2,29 2,41 2,31 5. Bangunan 2,53 2,64 2,71 2,83 3,32 3,26 6. Perdagangan, Hotel, dan Restoran 17,90 18,28 17,74 19,14 20,19 20,34 7. Pengangkutan dan Komunikasi 3,90 4,01 4,22 4,41 4,41 4,48 8. Keuangan, Persewaan,

dan Jasa Perusahaan 2,89 3,07 3,20 3,11 3,26 3,08

9. Jasa-jasa 7,15 7,41 7,89 8,30 7,19 7,31

Sumber : Badan Pusat Statistik Jawa Barat, 2007 (diolah).

Kontribusi industri TPT terhadap industri pengolahan nonmigas dapat dilihat pada Gambar 2. Berdasarkan gambar dapat dilihat bahwa diantara subsektor industri pengolahan nonmigas lainnya, industri TPT memberikan kontribusi terbesar kedua setelah industri alat angkutan, mesin dan peralatannya. Pada periode 2005-2006 kontribusi industri TPT mengalami peningkatan yaitu dari 10,68 menjadi 11,03 persen. Angka pertumbuhan tersebut menunjukkan bahwa industri TPT merupakan salah satu sektor yang memiliki pertumbuhan yang positif. Dengan demikian, meningkatnya peran industri TPT terhadap industri pengolahan nonmigas akan berdampak cukup signifikan terhadap pertumbuhan PDRB dan berbagai aspek perekonomian Jawa Barat.

(20)

Kontribusi Subsektoral Terhadap Sektor Industri Nonmigas Propinsi Jawa Barat

0

5

10

15

20

25

Tahun 2005 Tahun 2006

Sektor Industri Pengolahan Nonm igas P e rs en ta se ( % )

M akanan, M inuman dan Tembakau Tekst il

Barang Kayu dan Hasil Hut an Lainnya Kertas dan Barang Cetakan Pupuk, Kimia dan Barang dari Karet Semen dan Barang Galian Bukan Logam

Logam Dasar dan Baja Alat Angkutan, M esin dan Peralatannya

Barang Lainnya

Sumber : Badan Pusat Statistik Jawa Barat, 2007.

Gambar 2. Persentase Kontribusi Subsektoral Pada Sektor Industri Pengolahan Nonmigas Jawa Barat, Periode 2005-2006

Investasi memiliki peranan yang sangat penting bagi keberlangsungan kegiatan ekonomi. Demikian juga halnya pada industri TPT, investasi berperan untuk mendorong daya saing dan meningkatkan produktivitas.1 Potensi Jawa Barat sebagai sentral industri TPT Indonesia serta adanya ketersediaan infrastruktur yang mendukung menjadikan Jawa Barat sebagai wilayah investasi TPT yang menjanjikan (Badan Promosi dan Penanaman Modal Daerah Propinsi Jawa Barat, 2007).

Investasi atau penanaman modal terdiri dari penanaman modal asing (PMA) dan penanaman modal dalam negeri (PMDN). Rencana penanaman modal di Propinsi Jawa Barat harus mendapat persetujuan dari pemerintah daerah setempat. Pada tahun 2006, persetujuan nilai investasi PMDN industri TPT adalah sebesar Rp 198,409 milyar yang terdiri dari 9 proyek, sedangkan nilai investasi

1 Asosiasi Pertekstilan Indonesia. 2008. Investasi untuk Menciptakan Peluang yang Lebih Baik dalam Indonesian Textile Magazine No. 45, Januari 2008.

(21)

PMA mencapai Rp 988,445 milyar yang terdiri dari 64 proyek. Tingginya minat para penanam modal terhadap industri TPT terkait dengan potensi Propinsi Jawa

Barat sebagai pusat industri atau center of industry di Indonesia (Dinas Perindustrian dan Perdagangan Jawa Barat, 2007).

Keinginan para investor untuk menanamkan modalnya di suatu wilayah sangat dipengaruhi oleh beberapa faktor. Menurut Departemen Perindustrian (2007), iklim ketenagakerjaan termasuk faktor yang mempengaruhi investasi pada industri TPT. Hal tersebut dikarenakan industri TPT merupakan industri padat karya. Selain itu, penetapan nilai upah minimum sebagai salah satu kebijakan dibidang ketenagakerjaan juga menentukan pertumbuhan investasi industri TPT.2

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia tentang upah minimum dituangkan melalui Peraturan Menteri Tenaga Kerja No. 05/Men/1989 tanggal 29 Mei 1989 tentang Upah Minimum. Berdasarkan peraturan menteri tersebut, upah minimum dibagi dalam tiga kriteria yaitu upah minimum regional, upah minimum sektor regional dan upah minimum subsektor regional. Selanjutnya, pada tahun 1999 pemerintah mengeluarkan peraturan melalui Departemen Tenaga Kerja dalam Peraturan Menteri Tenaga Kerja No. PER-01/MEN/1999 tentang Pembayaran Upah Minimum.

Berdasarkan peraturan tersebut, upah minimum merupakan upah bulanan terendah yang terdiri dari upah pokok dan tunjangan tetap. Upah yang dibayarkan oleh semua perusahaan harus dapat meningkatkan kesejahteraan pekerja. Pada pasal 6 ayat (1) disebutkan bahwa penetapan upah minimum mempertimbangkan kebutuhan hidup layak (KHL); indeks harga konsumen (IHK); kemampuan,

2 http://egismy.wordpress.com/2004/12/14/hambatan-realisasi-investasi-di-sektor-tekstil-produk-tekstil-tpt-indonesia/. Anonim. 2004. Hambatan Realisasi Investasi di Sektor TPT Indonesia. Diakses : 24 April 2008.

(22)

perkembangan dan kelangsungan perusahaan; upah pada umumnya yang berlaku di daerah tertentu dan antar daerah; kondisi pasar kerja; tingkat perkembangan perekonomian baik regional maupun nasional; serta pendapatan per kapita.

Sejak tahun 2001, tingkat upah minimum regional dikenal dengan tingkat upah minimum propinsi (UMP) karena ruang lingkupnya hanya meliputi satu propinsi. Selain itu, setelah otonomi daerah dilaksanakan secara penuh di berbagai wilayah, dikenal juga istilah upah minimum kabupaten/kota (UMK).3 Di Jawa Barat, nilai upah minimum propinsi ditetapkan dengan berpedoman kepada peraturan pemerintah pusat. Adapun tujuan penetapan upah minimum Jawa Barat adalah untuk meningkatkan kesejahteraan pekerja serta menjaga dan meningkatkan prestasi kerja karyawan.

Upah mempunyai kedudukan yang berbeda baik bagi para pekerja maupun perusahaan. Pada industri TPT, peranan upah minimum dan peningkatannya dapat dilihat dari dua sudut pandang yang berbeda, baik dari sudut pekerja maupun pengusaha. Bagi pekerja, upah merupakan salah satu sarana utama untuk meningkatkan kesejahteraan diri dan keluarganya. Peningkatan upah minimum tentu saja dapat meningkatkan daya beli pekerja itu sendiri. Dilain pihak, bagi pengusaha dan para investor, upah merupakan salah satu sumber biaya yang dapat mempengaruhi biaya produksi total dan harga output, upah yang meningkat tentu saja menambah biaya produksinya.

Industri TPT merupakan industri yang memiliki ciri khas sebagai industri padat karya sehingga biaya tenaga kerja merupakan salah satu komponen utama dalam struktur biaya industri dengan upah tenaga kerja sebagai komponen

3

http://id.wikipedia.org/wiki/upah_minimum_regional. Anonim. 2007. Upah Minimum Regional. Diakses : 24 April 2007.

(23)

utamanya. Biaya tenaga kerja merupakan biaya terbesar kedua setelah biaya bahan baku sebesar 76,8 persen. Kontribusi biaya tenaga kerja untuk biaya produksi secara keseluruhan adalah 13,37 persen, diikuti oleh biaya bahan bakar, listrik, gas sebesar 6,60 persen kemudian biaya bahan baku lainnya sebesar 3,70 persen.

Terkait dengan ciri khas industri TPT sebagai industri padat karya tersebut maka pengusaha sangat berhati-hati dalam meningkatkan nilai upah. Selain itu, besarnya kontribusi upah terhadap biaya produksi akan diperhitungkan oleh para investor. Berdasarkan uraian di atas, pengaruh upah minimum propinsi terhadap investasi industri TPT di Jawa Barat sangat menarik untuk diteliti.

1.2. Perumusan Masalah

Upah minimum merupakan jaring pengaman (safety net) dalam upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat. Upaya tersebut diwujudkan oleh pemerintah melalui propinsi, dengan menetapkan upah minimum yang sesuai dengan potensi dan keadaan ketenagakerjaan di daerahnya. Upah minimum propinsi yang ditetapkan diharapkan dapat meningkatkan daya beli masyarakat dan selanjutnya dapat mendorong pertumbuhan ekonomi.

Pada kenyataannya, nilai upah minimum yang ditetapkan diberbagai propinsi sangat bervariasi dan cenderung mengalami peningkatan. Pada Tabel 3 berikut disajikan perkembangan rata-rata tingkat UMP beserta kebutuhan hidup layak (KHL) di Indonesia sejak tahun 2001 hingga tahun 2006. Berdasarkan tabel tersebut, rata-rata UMP di Indonesia mengalami pertumbuhan yang positif dengan rata-rata 14,46 persen per tahun.

(24)

Tabel 3. Upah Minimum Propinsi (UMP), Kebutuhan Hidup Layak (KHL) Tahun 2001 – 2006 (Ribu Rupiah)

Tahun Rata-Rata UMP Rata-Rata KHL Pertumbuhan UMP (persen) 2001 307,17 342,79 - 2002 362,74 416,89 18,09 2003 414,72 478,42 14,33 2004 458,50 494,94 10,56 2005 507,70 602,15 10,73 2006 602,15 719,83 18,60

Sumber: Badan Pusat Statistik, 2007.

Sejalan dengan peningkatan upah minimum yang ditetapkan, pemerintah Propinsi Jawa Barat sebagai fasilitator antara pihak pekerja dan pengusaha mengalami dilema dalam menetapkan upah minimum propinsi. Pada satu sisi dengan kenaikan upah minimum yang diminta oleh pihak pekerja akan membawa dampak positif bagi pekerja, namun di sisi lain terdapat beberapa pihak pengusaha yang tidak mampu membayar kenaikan upah minimum tersebut.

Kenaikan nilai UMP akan memiliki pengaruh secara langsung terhadap nilai investasi yang akan masuk ke suatu daerah, termasuk terhadap nilai investasi industri TPT. Hal tersebut dikarenakan dalam menanamkan modalnya baik investor asing maupun dalam negeri akan memperhatikan biaya produksi guna memperoleh keuntungan maksimal (profit oriented). Nilai UMP merupakan komponen terbesar kedua dalam perhitungan biaya industri dan dapat mempengaruhi biaya industri secara keseluruhan. Jika nilai UMP di suatu daerah tinggi maka biaya produksi akan semakin besar. Kondisi tersebut akan menurunkan nilai investasi yang akan masuk ke suatu daerah (Octivaningsih, 2006).

(25)

Investasi sektor industri TPT merupakan salah satu hal yang menarik untuk diteliti. Ketika industri TPT sedang diprioritaskan pertumbuhannya oleh pemerintah namun investasi sektor industri TPT mengalami peningkatan yang sangat kecil. Berdasarkan Gambar 3 dapat dilihat bahwa pertumbuhan nilai investasi industri TPT di wilayah Jawa Barat cenderung fluktuatif. Peningkatan investasi industri TPT terbesar terjadi pada tahun 2004-2005. Adapun penyebab berfluktuasinya nilai investasi pada industri TPT adalah terjadinya ketidakstabilan perekonomian Indonesia, gangguan keamanan, kenaikan bahan baku utama (poliester) pada tahun 2003, serta kenaikan BBM dan tarif dasar listrik (TDL). Selain itu, rancangan undang-undang penanaman modal yang belum diselesaikan juga ikut mempengaruhi nilai investasi yang ditanamkan oleh para investor.

Nilai Investasi Industri TPT Propinsi Jaw a Barat

0 500 1000 1500 2000 2500 3000 3500 4000 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 Tahun In v e s tas i ( M ily ar R u pi ah ) Investasi

Sumber : Badan Promosi dan Penanaman Modal Daerah Jawa Barat, 2007.

Gambar 3. Nilai Investasi Industri TPT di Propinsi Jawa Barat, Tahun 1994 - 2006

Pada tahun 2004, nilai investasi industri TPT di Propinsi Jawa Barat sebesar Rp 1.049,37 milyar kemudian meningkat pada tahun 2005 menjadi

(26)

sebesar Rp 3.389,78 milyar. Kondisi pada periode ini turut juga dipengaruhi oleh ketidakstabilan perekonomian menjelang pemilihan umum. Pada tahun 2006, nilai investasi ini menurun drastis menjadi sebesar Rp 1.160,93 milyar. Kondisi tersebut sejalan dengan semakin meningkatnya biaya produksi dan penggunaaan mesin-mesin yang sudah tua pada industri TPT.

Sejalan dengan adanya kebijakan peningkatan UMP setiap tahunnya, nilai investasi industri TPT Jawa Barat justru dihadapkan pada pertumbuhan yang fluktuatif. Padahal berdasarkan teori, peningkatan UMP akan menurunkan investasi. Oleh karena itu, pada penelitian ini terdapat dua permasalahan yang akan dibahas yaitu:

1. Bagaimana perkembangan kebijakan upah minimum propinsi (UMP) di Jawa Barat?

2. Bagaimana pengaruh nilai upah minimum propinsi (UMP) terhadap investasi industri TPT di Jawa Barat?

1.3. Tujuan Penelitian

Berdasarkan permasalahan di atas, tujuan penelitian ini adalah:

1. Mendeskripsikan perkembangan kebijakan upah minimum propinsi (UMP) di Jawa Barat;

2. Menganalisis pengaruh nilai upah minimum propinsi (UMP) terhadap investasi industri TPT di Jawa Barat.

(27)

1.4. Kegunaan Penelitian

Penelitian ini diharapkan memiliki tiga kegunaan:

1. Dapat menggambarkan pengaruh yang ditimbulkan dari penetapan UMP terhadap investasi industri TPT Jawa Barat bagi para stakeholders (pekerja dan pengusaha);

2. Sebagai bahan pertimbangan bagi pemerintah, khususnya pemerintah daerah Propinsi Jawa Barat dalam menetapkan tingkat upah minimum propinsi (UMP) serta meningkatkan investasi industri TPT Jawa Barat; 3. Sebagai salah satu bahan rujukan dan data dasar (benchmark data) bagi

penelitian selanjutnya yang tertarik dalam masalah yang sama.

1.5. Ruang Lingkup Penelitian

Kebijakan upah minimum yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah kebijakan upah minimum propinsi (UMP) di Propinsi Jawa Barat pada periode waktu 1994-2006. UMP di Jawa Barat merupakan upah minimum keseluruhan yang mencakup semua sektor.

Investasi yang dibahas adalah nilai investasi pada sektor industri TPT (secara keseluruhan) di Jawa Barat, yang berasal dari Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) dan Penanaman Modal Asing (PMA) dengan menggunakan data nilai realisasi (izin usaha tetap) tahun 1994-2006. Selain UMP, variabel independen lain yang digunakan pada model PMDN dan PMA adalah tingkat suku bunga, dan nilai PDRB per kapita sedangkan variabel laju nilai tukar rupiah terhadap US Dollar ditambahkan pada model PMA. Adapun pengaruh UMP terhadap investasi hanya dilihat dari segi pengusaha/investor industri TPT.

(28)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Tinjauan Teori 2.1.1. Teori Upah

Menurut Arfida (2003), pandangan orang tentang tingginya tingkat upah tidak berubah namun tergantung terhadap sudut pandang yang dipakai. Konsep upah telah dibahas mulai dari kelompok mazhab klasik dan dilanjutkan oleh kelompok neoklasik hingga pemikiran-pemikiran di zaman modern.

Para ekonom klasik meletakkan dasar penentuan kegiatan ekonomi pada mekanisme pasar bebas tanpa adanya intervensi dari pemerintah. Demikian juga halnya dalam pembahasan tingkat upah, pasar tenaga kerja diasumsikan pada kondisi pasar persaingan sempurna yang berakibat tingkat upah yang terjadi di pasar ditentukan oleh kekuatan permintaan dan penawaran atas tenaga kerja (Wirakartakusumah, 1999). Beberapa pandangan para ekonom tentang konsep upah antara lain :

(1) David Ricardo

Teori upah Ricardo terkenal dengan sebutan hukum besi tentang upah atau iron law of wage. Tingkat upah sebagai balas jasa bagi tenaga kerja merupakan harga yang diperlukan untuk mempertahankan dan melanjutkan kehidupan tenaga kerja. Ricardo juga menyatakan bahwa perbaikan upah hanya ditentukan oleh perbuatan dan perilaku tenaga kerja sendiri dan pembentukan upah sebaiknya diserahkan kepada persaingan bebas di pasar.

(29)

(2) Malthus

Malthus merupakan salah seorang tokoh klasik yang meninjau upah dalam kaitannya dengan perubahan penduduk. Menurut Malthus, jumlah penduduk merupakan faktor strategis yang dipakai untuk menjelaskan berbagai hal. Malthus menyatakan bila penduduk bertambah, penawaran tenaga kerja juga bertambah sehingga dapat menekan tingkat upah. Demikian juga sebaliknya, tingkat upah akan meningkat jika penawaran tenaga kerja berkurang akibat jumlah penduduk yang menurun.

(3) Jhon Stuart Mills

Mills menyatakan bahwa tingkat upah tidak akan berubah dari tingkatnya semula. Menurut Milis, dunia usaha menyediakan dana upah (wage funds) yang ditujukan untuk pembayaran upah. Pernyataan tersebut menjelaskan bahwa pada saat investasi dilaksanakan, jumlah dana sudah ditentukan sehingga tingkat upah tidak dapat berubah jauh dari alokasi yang telah ditetapkan.

(4) Kelompok Neoklasik

Kelompok ini masih termasuk klasik karena memiliki pandangan yang sama dengan pemikiran klasik yaitu tentang pentingnya kebebasan dalam berusaha. Teori neoklasik mengemukakan bahwa dalam rangka memaksimumkan keuntungan, tiap-tiap pengusaha menggunakan faktor-faktor produksi sedemikian rupa sehingga tiap faktor produksi yang dipergunakan menerima atau diberi imbalan sebesar nilai pertambahan hasil marjinal dari faktor produksi tersebut. Hal ini berarti bahwa pengusaha mempekerjakan sejumlah karyawan sedemikian rupa sehingga nilai pertambahan hasil marjinal seseorang sama dengan upah yang diterima orang tersebut (Simanjuntak, 2001).

(30)

Dengan kata lain tingkat upah yang dibayarkan pengusaha adalah:

W = VMPL = MPL X P (2.1)

W = tingkat upah (dalam arti labour cost) yang dibayarkan pengusaha kepada pekerja;

P = harga jual barang (hasil produksi) dalam rupiah per unit barang; MPL = marginal product of labour atau pertambahan hasil marjinal

pekerja, diukur dalam unit barang per unit waktu;

VMPL = value of marginal productof labour atau nilai pertambahan hasil marjinal pekerja atau karyawan.

Berdasarkan Persamaan (2.1), nilai pertambahan hasil pekerja atau VMPL merupakan nilai jasa yang diberikan oleh pekerja kepada pengusaha. Atau dengan pengertian lain, VMPL adalah produksi marjinal yang diperoleh sebagai akibat penambahan satu unit tenaga kerja dikalikan dengan harga barang yang dihasilkan. Sebaliknya upah (W) dibayarkan oleh pengusaha kepada karyawan sebagai imbalan terhadap jasa karyawan yang diberikan kepada pengusaha. Pengusaha dapat menambah keuntungan dengan menambah pekerja selama nilai pertambahan hasil marjinal karyawan lebih besar dari upah yang dibayarkan oleh pengusaha (VMPL > W).

Gambar 4 menunjukkan penentuan tingkat upah berdasarkan pemikiran neoklasik. Garis VMPL adalah kurva nilai produktivitas marginal labour (value of marginal productof labour) yang memiliki slope negatif. Hal ini sesuai dengan dengan hukum The Law of Diminishing Marginal Productivity of Labour yang menyatakan bahwa produktivitas tenaga kerja akan menurun jika jumlah tenaga kerja meningkat. Kurva VMPL dapat dianggap sebagai kurva permintaan tenaga

(31)

kerja sebab perusahaan yang menginginkan laba maksimum akan menggunakan tenaga kerja pada saat tingkat upah sama dengan VMPLnya. Misalnya jumlah tenaga kerja yang digunakan sebanyak ON1, maka nilai hasil kerja (VMPL) akan sama dengan tingkat upah dan lebih besar daripada tingkat upah yang berlaku (W). Pada kondisi ini keuntungan pengusaha akan meningkat dengan menambah tenaga kerja.

Pada gambar juga terlihat bahwa pengusaha hanya dapat menambah penggunaan tenaga kerja hingga titik ON dan pada titik tersebut pengusaha mencapai laba maksimum. Jika tenaga kerja ditambah dengan jumlah yang lebih besar dari ON yaitu sebesar ON2 maka keuntungan pengusaha akan berkurang. Kondisi tersebut dikarenakan pengusaha membayar upah dalam tingkat yang berlaku padahal VMPL yang diperoleh lebih kecil dari W yaitu hanya sebesar W2. Penambahan jumlah tenaga kerja dengan jumlah yang lebih besar dari ON dapat dilakukan apabila pengusaha dapat membayar upah di bawah W dan pengusaha mampu menaikkan harga jual barang.

Upah, W

Sumber : Simanjuntak, 1996

Gambar 4. Tingkat Upah dan Tingkat Penggunaan Tenaga Kerja W1

VMPL

W W2

(32)

Jadi menurut teori neoklasik, karyawan akan memperoleh upah senilai dengan pertambahan hasil marjinalnya dengan asumsi adanya mobilitas sempurna. Dengan kata lain, upah dalam hal ini berfungsi sebagai imbalan atas usaha kerja yang diberikan seorang kepada pengusahanya.

2.1.2. Teori Upah Minimum

Berdasarkan Peraturan Menteri Tenaga Kerja No. PER-01/MEN/1999, upah minimum adalah upah bulanan terendah yang terdiri dari upah pokok dan tunjangan tetap, sedangkan UMP adalah upah yang berlaku untuk seluruh kabupaten/kota di suatu propinsi. Kebijakan upah minimum merupakan salah satu income policy yang bertujuan untuk menilai kelemahan mekanisme pasar yang mengakibatkan terjadinya tingkat upah yang rendah. Selain itu, kebijakan upah minimum juga berupaya untuk mengadakan relokasi ekonomi masyarakat dan untuk meningkatkan pendapatan pekerja (Arfida, 2003).

Secara grafis, kebijakan upah minimum dan dampaknya terhadap kesempatan kerja dapat dilihat pada Gambar 5 berikut.

NE2 NE1 NE3 N (Tenaga Kerja yang diminta dan yang ditawarkan) LD Upah,W WM WE E2 E3 E1 Upah Minimum LS Sumber : Arfida, 2003

(33)

Berdasarkan Gambar 5 terlihat bahwa keseimbangan pasar tenaga kerja berada pada titik equilibrium E1 dengan tingkat upah adalah WE dan tingkat penggunaan tenaga kerja adalah NE1. Adanya penetapan nilai upah minimum akan meningkatkan tingkat upah (W) menjadi WM sehingga equilibrium akan bergeser menjadi E2 dan permintaan tenaga kerja akan menurun menjadi NE2. Penetapan nilai upah minimum mengakibatkan penawaran tenaga kerja lebih tinggi (E3) dibandingkan permintaan tenaga kerja oleh perusahaan (E2). Kondisi tersebut akan mengakibatkan terjadinya pengangguran (NE3-NE2).

Berdasarkan Gambar 5, penetapan nilai upah minimum yang berakibat upah keseimbangan (We) meningkat menjadi WM akan meningkatkan biaya produksi perusahaan yang selanjutnya akan meningkatkan harga per unit barang yang diproduksi. Biasanya para konsumen akan memberikan respon yang cepat apabila terjadi kenaikan harga barang, yaitu mengurangi permintaan atau konsumsi barang. Akibatnya banyak barang yang tidak terjual, dan produsen terpaksa menurunkan jumlah produksinya. Perubahan tingkat upah yang mengakibatkan turunnya skala produksi ini disebut efek skala produksi atau ”scale-effect”.

2.1.3. Teori Investasi

Investasi menurut para ekonom memiliki beberapa pengertian. Menurut Sukirno (1981), investasi dapat diartikan sebagai pengeluaran atau perbelanjaan yang dilakukan oleh para pengusaha untuk membeli barang-barang modal dan membina industri-industri. Sukirno juga menambahkan bahwa para pengusaha

(34)

membeli barang-barang modal dengan tujuan memperoleh sejumlah keuntungan dimasa yang akan datang.

Menurut Deliarnov (1995), investasi merupakan komponen pengeluaran agregat kedua setelah konsumsi. Investasi atau sering juga disebut penanaman modal adalah pengeluaran perusahaan secara keseluruhan untuk membeli barang-barang modal riil, baik untuk mendirikan perusahaan-perusahaan baru maupun untuk memperluas usaha yang telah ada. Investasi bersumber dari dana masyarakat yang ditabung melalui lembaga-lembaga keuangan, kemudian disalurkan kepada perusahan-perusahaan.

Menurut Mankiw (2003), investasi terdiri dari barang-barang yang dibeli untuk penggunaan masa depan. Investasi dapat dibedakan menjadi tiga subkelompok, yaitu investasi tetap bisnis (business fixed investment), investasi residensial (residential investment) dan investasi persediaan (inventory investment). Investasi tetap bisnis merupakan bagian terbesar dari pengeluaran investasi yang mencakup peralatan yang dibeli oleh perusahaan untuk proses produksi, sementara investasi residensial meliputi pembelian rumah baru, baik yang akan ditinggali oleh pemilik sendiri maupun yang akan disewakan kembali, sedangkan investasi persediaan adalah barang yang disimpan oleh perusahaan di gudang, meliputi bahan baku, persediaan, barang setengah jadi, dan barang jadi.

Selain pengertian-pengertian di atas, Badan Koordinasi Penanaman Modal mendefinisikan investasi sebagai kegiatan penanaman modal pada berbagai kegiatan ekonomi (produksi) dengan harapan untuk memperoleh keuntungan (benefit) di masa yang akan datang. Penanaman modal tersebut meliputi penanaman modal dalam negeri maupun asing.

(35)

Menurut Undang-undang No. 6 Tahun 1968 yang telah disempurnakan menjadi Undang-undang No. 12 Tahun 1970, penanaman modal dalam negeri (PMDN) adalah bagian dari kekayaan masyarakat Indonesia, termasuk hak-hak dan benda-benda baik yang dimiliki oleh negara maupun swasta nasional atau swasta asing yang berdomisili di Indonesia, yang disisihkan/disediakan guna menjalankan usaha. Penanaman Modal Asing berdasarkan Undang-undang No. 1 Tahun 1967 yang telah disempurnakan menjadi Undang-undang No.11 Tahun 1970 adalah alat pembayaran luar negeri yang tidak merupakan bagian dari kekayaan devisa Indonesia, yang dengan persetujuan pemerintah digunakan untuk membiayai perusahaan di Indonesia. Para pemilik modal asing melaksanakan investasi di Indonesia bertujuan untuk mendapatkan keuntungan dari usaha yang dilaksanakan tersebut.

Dilihat dari sudut pandang ekonomi makro, investasi (I) memiliki peranan yang cukup penting dalam menentukan pertumbuhan ekonomi di suatu negara/daerah disamping konsumsi masyarakat (C), pengeluaran pemerintah (G), dan ekspor bersih (X-M). Besar kecilnya investasi yang dilakukan dalam suatu kegiatan ekonomi/produksi ditentukan oleh beberapa faktor yaitu ramalan kondisi ekonomi ke depan, tingkat bunga, tingkat pendapatan nasional dan perubahan-perubahannya, perubahan dan perkembangan teknologi dan keuntungan yang dicapai oleh perusahaan-perusahaan (Sukirno, 1981). Selain itu, Wiranta (2004) menambahkan faktor lain yang mempengaruhi investasi adalah lingkungan usaha, perkembangan makroekonomi (mencakup stabilitas makroekonomi, stabilitas politik, penegakan hukum dan birokrasi yang efisien), peraturan/kelembagaan, dan iklim usaha yang kondusif.

(36)

Analisis makroekonomi lebih menekankan peranan tingkat bunga dalam menentukan tingkat investasi karena tingkat bunga merupakan biaya peminjaman. Agar proyek investasi menguntungkan, hasilnya (penerimaan dari kenaikan produksi barang dan jasa masa depan) harus melebihi biayanya (pembayaran untuk dana pinjaman). Jika suku bunga meningkat maka proyek investasi yang menguntungkan akan semakin lebih sedikit, dan jumlah barang-barang investasi yang diminta akan menurun.

Secara umum dapat dikatakan bahwa tingkat bunga dan investasi memiliki hubungan berbanding terbalik sehingga semakin rendah tingkat bunga, tingkat investasi yang dilaksanakan akan semakin tinggi. Tingkat bunga yang digunakan adalah tingkat bunga riil karena mengukur biaya peminjaman yang sebenarnya. Sehingga hubungan antara tingkat bunga (r) dan investasi yang direncanakan (I), dapat dirumuskan ke dalam model sebagai berikut :

I = I(r) (2.2) Secara grafis hubungan negatif antara investasi dengan suku bunga dapat dilihat

pada Gambar 6.

Sumber : Mankiw, 2003. Gambar 6. Fungsi Investasi

Tingkat bunga riil, r

Kuantitas investasi, I Fungsi investasi, I(r)

(37)

2.1.4. Suku Bunga

Menurut Lipsey (1995), suku bunga merupakan harga yang harus dibayar untuk meminjam uang selama periode waktu tertentu dan dinyatakan dalam persentase uang yang dipinjam. Para ekonom membedakan antara tingkat bunga nominal dengan tingkat bunga riil ketika mempelajari peranan tingkat suku bunga dalam perekonomian. Tingkat bunga nominal adalah tingkat bunga yang biasa dilaporkan dan merupakan tingkat bunga yang dibayar investor ketika meminjam uang. Sedangkan tingkat bunga riil mengukur biaya pinjaman yang sebenarnya dan merupakan tingkat bunga yang menentukan investasi. Investasi sangat bergantung pada tingkat bunga riil karena tingkat bunga adalah biaya pinjaman. Tingkat bunga riil juga dapat dikatakan sebagai tingkat bunga nominal yang dikoreksi karena pengaruh inflasi (Mankiw, 2003).

Hubungan antara suku bunga nominal (i), suku bunga riil (r) dan tingkat inflasi (π), dapat dirumuskan ke dalam model sebagai berikut :

r = i – π (2.3)

2.1.5. Nilai Tukar

Nilai tukar merupakan suatu nilai yang menunjukkan jumlah mata uang dalam negeri yang diperlukan untuk mendapat satu unit mata uang asing (Sukirno, 1981). Selain itu, nilai tukar merupakan suatu nilai yang menunjukkan tingkatan perdagangan antara dua mata uang yang berbeda (Lipsey, 1995). Suatu negara biasanya akan berusaha untuk mempertahankan nilai tukar yang ditetapkan dalam jangka waktu yang lama. Selama nilai tukar yang ditetapkan tersebut tidak

(38)

menimbulkan akibat yang kurang menguntungkan, maka negara tersebut tidak akan melakukan suatu perubahan terhadap nilai tukar yang telah ditetapkannya.

Secara umum nilai tukar dibedakan menjadi dua jenis yaitu nilai tukar nominal (nominal exchange rate) dan nilai tukar riil (real exchange rate). Nilai tukar nominal adalah tingkat atau tarif dimana seseorang dapat memperdagangkan mata uang dari suatu negara dengan mata uang dari negara lain. Selain itu, nilai tukar nominal merupakan harga relatif dari mata uang dua negara. Nilai tukar riil adalah tingkatan dimana seseorang dapat memperdagangkan barang dan jasa dari suatu negara dengan barang dan jasa dari negara lain atau dengan kata lain nilai tukar riil merupakan harga relatif dari barang-barang diantara dua negara (Mankiw, 2000).

Nilai tukar riil memiliki peranan yang sangat penting karena nilai tukar riil adalah penentu banyaknya jumlah ekspor dan impor suatu negara. Nilai tukar riil (∈) dihitung dari nilai tukar nominal (e) dan tingkat harga di kedua negara yang diukur berdasarkan nilai tukar lokal yaitu harga domestik (P) serta harga luar negeri (P*). Maka nilai tukar riil adalah :

∈ = e x (P/P*) (2.4)

2.1.6. Produk Domestik Regional Bruto (PDRB)

Pertumbuhan ekonomi suatu wilayah dapat dilihat dari PDRB wilayah tersebut. Laju pertumbuhan PDRB merupakan tingkat output yang diturunkan dari fungsi produksi suatu barang dan jasa. Fungsi produksi merupakan hubungan antara tingkat output (Y) dengan tingkat input. Tingkat input terdiri dari modal

(39)

(capital) dan tenaga kerja (labour). Turunan pertama dari produksi dirumuskan sebagai berikut :

Y = f(K,L) (2.5)

Berdasarkan penjelasan di atas maka nilai PDRB secara langsung dipengaruhi oleh tingkat investasi yang merupakan perubahan kapital (AK) dan angkatan kerja yang merupakan labour (L) dalam fungsi produksi (Mankiw, 2000).

PDRB juga mampu memperlihatkan tabel turunan yang dikenal dengan laju pertumbuhan ekonomi dan pendapatan per kapita. Pendapatan per kapita merupakan pendapatan penduduk rata-rata per orang atau kemampuan belanja konsumen serta dapat menentukan potensi pasar.

2.1.7. OLS

Metode kuadrat terkecil (ordinary least squares method) merupakan salah satu metode yang sering digunakan dalam mengestimasi suatu model persamaan regresi karena kemudahannya dalam pengolahan data. Selain itu, OLS juga memiliki asumsi-asumsi tertentu yang mengakibatkan metode OLS memiliki sifat statistik yang sangat menarik. Beberapa asumsi yang menyederhanakan model ini adalah (Gujarati, 1978) :

1. Nilai rata-rata bersyarat dari unsur gangguan populasi ui (galat) tergantung

kepada nilai tertentu variabel yang menjelaskan (X) adalah nol. 2. Varians bersyarat dari ui adalah konstan atau homokedastik.

(40)

4. Variabel yang menjelaskan adalah nonstokastik (yaitu tetap dalam penyampelan berulang) atau, jika stokastik, didistribusikan secara independen dari gangguan ui.

5. Tidak ada multikolinearitas diantara variabel yang menjelaskan X.

6. u didistribusikan secara normal dengan rata-rata dan varians yang diberikan oleh asumsi 1 dan asumsi 2.

Jika asumsi-asumsi di atas terpenuhi maka penaksir OLS dari koefisien regresi adalah penaksir tak bias linear atau Best Linear Unbiassed Estimator (BLUE), dengan asumsi didistribusikan secara normal.

Salah satu regresi dalam OLS adalah regresi linear berganda. Analisis linear berganda menunjukkan hubungan sebab akibat antara variabel X (variabel eksogen) yang merupakan penyebab dari variabel Y (variabel endogen) yang merupakan akibat dari variabel X. Regresi linear berganda tidak hanya melihat keterkaitan antar variabel-variabel namun juga mengukur besaran hubungan kausalitasnya. Model regresi liner berganda dapat ditulis sebagai berikut (Sitepu dan Bonar, 2006) ;

Yi = β0 + β1X1i + β2X2i + ... + βkXki + εi (2.5)

dimana :

Y = variabel dependen β0 = intersep

β1,..., βk = koefisien parameter regresi

ε = faktor pengganggu stokastik (error term) i = 1,2, ... n = pengamatan ke-i

(41)

2.2. Penelitian Terdahulu

2.2.1. Penelitian Terdahulu Mengenai Tekstil dan Produk Tekstil (TPT) TPT merupakan salah satu komoditi industri yang memiliki prospek yang sangat menjanjikan, oleh karena itu berbagai penelitian telah banyak dilaksanakan baik dari lembaga akademis maupun lembaga penelitian lainnya. Maryadi (2007) meneliti mengenai analisis pertumbuhan investasi sektor industri tekstil dan produk tekstil (TPT) terhadap perekonomian Indonesia dengan menggunakan analisis input-output. Industri TPT pada penelitian ini terdiri dari industri pemintalan dan industri tekstil, pakaian dan kulit. Sumber data yang digunakan adalah tabel input-output Indonesia tahun 2003 berdasarkan transaksi total atas dasar harga produsen dengan klasifikasi 11 sektor.

Berdasarkan penelitian dapat disimpulkan bahwa industri TPT merupakan industri yang penting dalam mendorong sektor hulunya, hal tersebut dapat dilihat dari nilai keterkaitan ke depan dan nilai kepekaan penyebarannya yang lebih dari satu. Disamping itu juga, industri TPT mampu mendorong sektor lainnya dari penyediaan output, pendapatan dan tenaga kerja yang dilihat dari efek multiplier dan analisis investasi khususnya bagi industri TPT sendiri.

Penelitian tentang komoditi tekstil juga dilakukan oleh Junaedi (2007). Penelitian ini berbeda dengan penelitian Maryadi. Junaedi meneliti mengenai dampak peningkatan ekspor di sektor industri tekstil dan produk tekstil terhadap perekonomian Indonesia dengan menggunakan model analisis input-output sisi permintaan. Pada penelitian dilakukan simulasi berupa shock pada bagian ekspor sektor industri tekstil sebesar Rp 5,6 trilyun atau 77 persen dari total ekspor industri tekstil. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sektor industri tekstil dan

(42)

produk tekstil sangat bergantung pada sektor industri pengolahan lainnya, sektor tanaman perkebunan, dan sektor listrik, gas dan air bersih. Berdasarkan analisis multiplier diperoleh bahwa sektor industri TPT memiliki kemampuan yang sangat kuat untuk mempengaruhi pembentukan output, pendapatan dan tenaga kerja di seluruh sektor perekonomian.

Propinsi Jawa Barat merupakan sentral pabrik tekstil dan penghasil tekstil terbesar di Indonesia. Oleh karena itu, berbagai penelitian tentang komoditi tekstil telah banyak dilaksanakan. Beberapa penelitian tekstil yang dilakukan di Jawa Barat dijelaskan pada uraian berikut.

Penelitian Mulyani (2007) mengenai dampak restrukturisasi industri tekstil dan produk tekstil (TPT) terhadap kinerja perekonomian Jawa Barat. Hasil analisis menunjukkan bahwa pembentukan output untuk sektor industri TPT adalah sebesar Rp 41,05 milyar atau sebesar 13,08 persen dari total output Jawa Barat tahun 1999. Permintaan akhir untuk sektor industri TPT sebesar Rp 24,61 milyar atau 10,36 persen dari total permintaan akhir yang digunakan untuk memenuhi permintaan barang dan jasa untuk keperluan konsumsi langsung. Industri TPT mempunyai koefisien penyebaran paling tinggi yaitu sebesar Rp 1,34 milyar. Nilai koefisien yang lebih dari satu menunjukkan bahwa sektor industri TPT memiliki kemampuan untuk meningkatkan pertumbuhan sektor hulunya atau meningkatkan output sektor lain yang digunakan sebagai input sektor industri TPT. Jumlah tersebut mengindikasikan bahwa industri TPT mampu meningkatkan pertumbuhan sektor lain.

Agustineu (2004) melakukan penelitian mengenai analisis faktor-faktor yang mempengaruhi output industri tekstil di Jawa Barat dengan menggunakan

(43)

metode regresi berganda atau ordinary least square (OLS). Hasil penelitian menunjukkan bahwa faktor-faktor yang berpengaruh positif terhadap peningkatan output industri tekstil di Jawa Barat adalah faktor produksi modal, bahan baku, dan bahan bakar, sedangkan faktor yang berpengaruh negatif dan tidak nyata terhadap peningkatan output adalah tenaga kerja. Dari sisi elastisitas, modal mempunyai nilai elastisitas sebesar 0,369 artinya jika modal ditingkatkan satu persen maka akan meningkatkan output sebesar 0,369 persen. Bahan baku memiliki nilai elastisitas sebesar 0,841 artinya peningkatan bahan baku sebesar sebesar 1 persen akan meningkatkan output sebesar 0,841 persen. Bahan bakar mempunyai nilai elastisitas 0,182 artinya peningkatan bahan bakar satu persen akan meningkatkan output sebesar 0,182 persen. Tenaga kerja mempunyai nilai elastisitas yang negatif yaitu sebesar -0,124 artinya penambahan jumlah tenaga kerja sebanyak 1 persen maka akan menurunkan output sebesar 0,124 persen. Pada penelitian ini, industri tekstil di Jawa Barat berada pada kondisi increasing return to scale yang artinya laju pertumbuhan output lebih besar daripada laju pertumbuhan input.

2.2.2. Penelitian Terdahulu Mengenai Investasi

Penelitian tentang analisis pengaruh otonomi daerah terhadap pertumbuhan investasi di Propinsi Jawa Barat dilaksanakan oleh Ferdiyan (2006). Metode yang digunakan adalah metode shift share dan OLS dengan data tahunan periode sebelum otonomi daerah (1995-2000) dan periode masa otonomi daerah (2001-2004).

Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebelum otonomi daerah pada umumnya terjadi pertumbuhan investasi yang negatif pada sektor-sektor

(44)

perekonomian di Jawa Barat, sedangkan pada saat otonomi daerah terjadi pertumbuhan yang positif hampir di seluruh perekonomian di Jawa Barat. Berdasarkan hasil analisis regresi, otonomi daerah, dan PMDN Jawa Barat tahun sebelumnya berpengaruh positif secara signifikan terhadap PMDN di Jawa Barat, sedangkan tingkat inflasi Jawa Barat secara signifikan berpengaruh negatif. Faktor-faktor yang berpengaruh signifikan secara positif terhadap investasi PMA Jawa Barat adalah otonomi daerah dan PDRB.

2.2.3. Penelitian Terdahulu Mengenai Upah Minimum

Octivaningsih (2006) meneliti mengenai analisis pengaruh nilai upah minimum kabupaten terhadap investasi, penyerapan tenaga kerja, dan PDRB di Kabupaten Bogor. Penelitian ini menggunakan model analisis Y = f(K,L). Model yang dirumuskan tersebut merupakan model ekonometrika dalam bentuk persamaan simultan. Penelitian ini menggunakan batasan pada nilai investasi yang masuk ke daerah dan penyerapan tenaga kerja sebagai indikator yang mempengaruhi PDRB secara langsung. Hal ini dikarenakan nilai UMK tidak akan berpengaruh langsung terhadap PDRB.

Hasil analisis menunjukkan bahwa nilai UMK secara signifikan berpengaruh negatif terhadap tingkat investasi asing namun tidak berpengaruh signifikan terhadap nilai investasi dalam negeri. Selanjutnya, nilai UMK berpengaruh negatif secara signifikan terhadap penyerapan tenaga kerja sektor manufaktur di Kabupaten Bogor. Tetapi, nilai UMK tidak berpengaruh signifikan terhadap penyerapan tenaga kerja sektor nonmanufaktur di Kabupaten Bogor. Hubungan nilai UMK terhadap pertumbuhan ekonomi (PDRB) di Kabupaten Bogor dapat dilihat dari faktor-faktor yang mempengaruhi PDRB secara langsung,

(45)

yaitu investasi asing, dalam negeri, penyerapan tenaga kerja sektor manufaktur dan nonmanufaktur. Pada penelitian Octivaningsih dapat disimpulkan bahwa pengaruh dari nilai UMK terhadap investasi, penyerapan tenaga kerja, dan PDRB di Kabupaten Bogor adalah negatif.

Sandra (2004) meneliti mengenai dampak kebijakan upah minimum terhadap upah dan pengangguran di Pulau Jawa dengan menggunakan model persamaan simultan. Model tersebut terdiri dari empat persamaan identitas yaitu persamaan tenaga kerja, penawaran tenaga kerja, upah riil dan pengangguran. Simulasi kebijakan pada variabel UMP riil dengan perubahan sebesar 5 persen dilakukan untuk mengetahui dampak kebijakan upah minimum terhadap tingkat upah dan pengangguran di Pulau Jawa. Hasil simulasi menunjukkan bahwa kenaikan UMP riil sebesar 5 persen mengakibatkan terjadinya penurunan jumlah permintaan tenaga kerja di tiap propinsi dengan penurunan rata-rata sebesar 0,74 persen dalam rentang waktu 1988 sampai tahun 2002. Upah riil dan pengangguran juga mengalami penurunan, masing-masing sebesar 2,71 dan 11,29 persen. Penurunan UMP sebesar 5 persen akan menyebabkan upah riil pekerja mengalami kenaikan sebesar 3,03 persen. Penyerapan tenaga kerja akibat penurunan tersebut mengalami kenaikan sebesar 0,82 persen dan jumlah pengangguran mengalami kenaikan sebesar 12,49 persen.

Berdasarkan uraian penelitian-penelitian terdahulu, penelitian tentang upah minimum dan TPT telah banyak dilakukan. Namun, pengaruh upah minimum terhadap investasi suatu sektor belum pernah dilakukan. Oleh karena itu, perbedaan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya adalah ruang lingkup investasi di Jawa Barat yaitu investasi pada sektor industri TPT.

(46)

III. KERANGKA PEMIKIRAN

3.1. Kerangka Pemikiran Teoritis

3.1.1. Hubungan Upah Minimum, Suku Bunga, dan Investasi

Teori Keynes menyatakan bahwa ”kenaikan tingkat upah dapat mengakibatkan peningkatan permintaan uang baik dengan motif transaksi maupun motif spekulasi, maka suku bunga juga akan naik”. Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa kenaikan tingkat upah akan mengakibatkan kenaikan tingkat bunga dengan asumsi suplai uang tetap stabil (Stonier dan Haque, 1975).

Berdasarkan teori Keynes di atas, penetapan UMP memiliki pengaruh negatif secara langsung terhadap investasi. Penetapan UMP akan meningkatkan tingkat upah sehingga mengakibatkan peningkatan pendapatan para pekerja. Selanjutnya, tingkat konsumsi juga akan meningkat dan diikuti oleh kenaikan permintaan uang. Permintaan uang yang meningkat akan menaikkan suku bunga sehingga investasi akan menurun. Kondisi ini dapat ditunjukkan oleh Gambar 7 berikut.

Peningkatan upah akan mengakibatkan peningkatan permintaan uang. Peningkatan MD tersebut dapat dilihat pada Gambar 7(a). Kenaikan permintaan uang karena peningkatan upah akan mengakibatkan kurva MD1 bergeser ke kanan atas menjadi MD2. Pergeseran MD tersebut akan menaikkan suku bunga dari r1 menjadi r2. Selanjutnya, peningkatan suku bunga akan mempengaruhi tingkat investasi yang ditunjukkan pada Gambar 7(b). Gambar tersebut menunjukkan hubungan antara suku bunga dan tingkat investasi. Peningkatan suku bunga dari r1 menjadi r2 akan mengurangi jumlah investasi dari I(r1) menjadi I(r2).

(47)

(a) Kurva Keseimbangan Uang Riil (b) Fungsi Investasi

Sumber : Mankiw, 2000.

Gambar 7. Kurva Keseimbangan Uang Riil dan Fungsi Investasi

Penjelasan di atas merupakan uraian pengaruh UMP terhadap investasi melalui pendapatan, konsumsi dan permintaan uang para pekerja. Jika dilihat dari sisi pengusaha, upah minimum merupakan biaya produksi bagi perusahaan. Tingginya nilai upah minimum yang ditetapkan di suatu daerah akan menambah biaya produksi dan selanjutnya akan meningkatkan harga per unit barang yag diproduksi. Berdasarkan teori efek suku bunga Keynes, kenaikan harga akan meningkatkan suku bunga akibat permintaan uang yang naik. Selanjutnya, suku bunga yang meningkat akan menurunkan investasi (Mankiw, 2000).

Peningkatan biaya produksi dan suku bunga akibat kenaikan upah minimum di suatu daerah akan menyebabkan perusahaan-perusahaan yang akan melakukan investasi tidak tertarik untuk menanamkan modalnya. Bahkan, dikhawatirkan dengan semakin meningkatnya nilai upah minimum akan mengakibatkan perusahaan-perusahaan yang sudah menanamkan modalnya

Suku bunga, r MD1 MD2 MS r2 r1 I (r) Suku bunga, r r1 r2 Keseimbangan uang riil, M/P I(r2) I(r1) P M ΔI

(48)

melakukan relokasi modal ke luar daerah yang memiiki nilai upah minimum yang lebih rendah (Octivaningsih, 2006).

3.1.2. Hubungan Nilai Tukar, PDRB, dan Investasi

Nilai tukar atau kurs merupakan harga dimana penduduk antar negara saling melakukan perdagangan. Nilai tukar merupakan indikator penting yang akan berpengaruh pada aktivitas di pasar modal maupun pasar uang. Jika kurs riil rendah maka harga barang dalam negeri relatif lebih murah, dan harga barang luar negeri relatif lebih mahal. Penduduk domestik akan merespon kondisi ini dengan membeli barang impor lebih sedikit dan orang-orang asing akan membeli lebih banyak produk domestik. Akibatnya, jumlah ekspor akan lebih tinggi daripada impor atau dengan kata lain ekspor neto akan mengalami peningkatan. Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa jika nilai tukar riil mengalami depresiasi maka ekspor neto akan mengalami peningkatan. Berdasarkan kondisi ini, dapat diketahui bahwa ekspor neto dan nilai tukar riil memiliki hubungan yang negatif dan dapat dinyatakan sebagai (Mankiw, 2003) :

NX = NX (∈) (3.1) Hubungan antara nilai tukar, investasi dan PDRB per kapita dapat

dijelaskan dengan menggunakan model Mundell-Fleming, kurva IS, kurva perpotongan Keynesian dan kurva Investasi-Pendapatan. Model Mundell-Fleming mengasumsikan bahwa tingkat harga domestik dan luar negeri adalah tetap sehingga nilai tukar riil proporsional terhadap nilai tukar nominal. Ketika nilai tukar nominal terdepresiasi, barang-barang luar negeri lebih mahal dibandingkan barang domestik sehingga ekspor akan naik sedangkan impor menurun.

(49)

Berdasarkan Gambar 8(a), ekspor neto berhubungan terbalik dengan nilai tukar. Depresiasi nilai tukar dari e1 menjadi e2 akan meningkatkan ekspor neto dari NX(e1) ke NX(e2). Selanjutnya pada perpotongan Keynesian yaitu Gambar 8(b), peningkatan ekspor neto akan menggeser kurva pengeluaran yang direncanakan ke atas dan meningkatkan pendapatan dari Y1 ke Y2. Perubahan dalam ekuilibrium pasar barang akan ditunjukkan oleh kurva IS, yaitu kurva yang menghubungkan nilai tukar dengan pendapatan. Pada Gambar 8(c) dapat dilihat penurunan nilai tukar akan meningkatkan pendapatan.

Efek akhir dari depresiasi nilai tukar dapat dilihat pada gambar 8(d), yaitu terjadinya kenaikan pendapatan dari Y1 ke Y2 akan meningkatkan investasi dari I1 menjadi I2. Gambar ini juga menunjukkan hubungan positif antara PDRB per kapita (dinyatakan dalam Y) terhadap investasi.

Berdasarkan penjelasan di atas, depresiasi nilai tukar akan meningkatkan jumlah ekspor sehingga terjadi surplus neraca pembayaran. Neraca pembayaran yang baik akan menarik minat dan kepercayaan investor terhadap perekonomian Indonesia. Selanjutnya, kenaikan PDRB per kapita akan memperbesar pendapatan masyarakat sehingga permintaan terhadap barang-barang dan jasa juga meningkat. Keuntungan perusahaan akan bertambah tinggi dan akan mendorong pengusaha untuk melakukan investasi yang lebih banyak (Sukirno, 1981). Secara grafis, ringkasan pengaruh depresiasi nilai tukar rupiah terhadap investasi serta hubungan antara pendapatan dan investasi dapat dilihat pada Gambar 8 berikut.

(50)

(b) Perpotongan Keynesian

(a) Kurva Ekspor-Neto (c) Kurva IS*

(d) Kurva Investasi-Pendapatan

Sumber : Mankiw (2003) dan Putong (2003).

Gambar 8. Hubungan Nilai Tukar, Pendapatan, dan Investasi e1 e2 NX(e1) NX(e2) NX(e) Ekspor Neto, NX e1 e2 IS* Y1 Y2 Pendapatan, Output,Y ΔNX Kurs, e Kurs, e ΔNX Pengeluaran, E Y1 Y2 Pendapatan, Output,Y Pengeluaran aktual Pengeluaran yang direncanakan Y1 Y2 Y I2 I1 Investasi, I

Gambar

Tabel 1.   Persentase Produk Domestik Bruto Indonesia Atas Dasar Harga  Konstan Tahun 2000 menurut Lapangan Usaha Tahun 2002-2006   Lapangan Usaha  2002  2003  2004  2005  2006  Pertanian, Peternakan,
Gambar 1.  Persentase Share  (Kontribusi)  Sektor  dan  Produksi  Utama             Indonesia terhadap Surplus Perdagangan Tahun 2006
Tabel 2. Persentase  Kontribusi  Sektoral dalam Perekonomian Jawa Barat  Berdasarkan Harga Konstan 2000
Gambar 2. Persentase Kontribusi Subsektoral Pada Sektor Industri  Pengolahan Nonmigas Jawa Barat, Periode 2005-2006
+7

Referensi

Dokumen terkait

komunikasi interaktif antara para petani dengan kader jamaah produksi. yang berperan sebagai para

Baterai akan habis jika di gunakan secara terus menerus.Untuk mengatasi hal tersebut perlu di pasang system pengisian.Alternator berfungsi untuk merubah energy mekanik yang di

Penelitian ini difokuskan pada analisis kesediaan membayar masyarakat sekitar obyek wisata dan pengunjung obyek wisata dalam upaya pelestarian lingkungan obyek

Sesuai dengan FLORIST MURAH | BELI BUNGA | TOKO BUNGA DI BANJAR BARU no 2 di atas harga bunga dekoran di FLORIST MURAH | BELI BUNGA | TOKO BUNGA DI BANJAR BARU ini di jamin

Jurnal primary program studi pendidikan guru sekolah dasar fakultas keguruan dan ilmu pendidikan universitas riau, 2

g. Profil Murid Pondok Sufi POMOSDA h. Proses Menuju Martabat Insân Kâmila. 1) Meminta petunjuk Ilmu Syaththariah (melalui

Sistem dan praktek pendidikan dewasa ini terkesan carut marut, tambal sulam, tidak jelas arah dan tujuan, dan yang lebih mendasar lagi jauh dari ideal manusia yang

Pada Usecase Diagram, terdapat aktor berupa admin yang dapat melakukan update database, insert database, delete database, melihat pesanan yang dilakukan oleh customer pada