• Tidak ada hasil yang ditemukan

PEMADATAN TANAH AKIBAT PENYARADAN KAYU DENGAN TEKNIK PEMANENAN KAYU BERDAMPAK RENDAH DI KALIMANTAN BARAT

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PEMADATAN TANAH AKIBAT PENYARADAN KAYU DENGAN TEKNIK PEMANENAN KAYU BERDAMPAK RENDAH DI KALIMANTAN BARAT"

Copied!
6
0
0

Teks penuh

(1)

Pb = Pendapatan bersih per hektar.

HASIL DAN PEMBAHASAN

ari hasil analisis optimasi dapat diketahui bahwa hanya petani golongan III (luas lahan 1,58 hektar) di kawasan penyangga TNGL yang dapat mencapai hasil sama atau melebihi standar kebutuhan hidup layak (KHL) terutama pada subskenario 2 untuk semua skenario utama (Tabel 1 dan 2) serta semua subskenario pada skenario utama III dan IV (Tabel 2). Subskenario 5 pada skenario utama II juga mendapatkan hasil melebihi kebutuhan hidup layak (Tabel 1). Hasil penelitian Abdul-Rauf (2004) (bagian analisis lain dari rangkaian kajian ini) dapat diketahui bahwa kebutuhan hidup layak (KHL) bagi petani di kawasan penyangga TNGL Kabupaten Langkat, dengan 5 orang anggota keluarga, sebesar Rp. 10.000.000,-.

Meskipun hampir seluruh skenario pada petani golongan III dapat mencapai/melampaui target/tujuan

kebutuhan hidup layak namun bila ditinjau dari erosi yang terjadi maka hanya subskenario 2 dan 5 yang dapat memenuhi tingkat ketercapaian tujuan/target yang diinginkan. Ketercapaian tujuan pada subskenario 2 dan 5 tersebut dapat diketahui karena persen penyimpangan atau deviasi (d) memiliki nilai negatif hingga nol yang berarti erosi yang terjadi lebih kecil atau sama dengan erosi yang dapat ditoleransikan (31, 25 t/ha/thn). Sementara pada subskenario 1, 3 dan 4 pada semua skenario utama untuk petani golongan III ini menghasilkan erosi yang jauh lebih tinggi (257-299%) dari erosi yang dapat ditoleransikan (Tabel 1 dan 2).

Selanjutnya bila ditinjau dari tenaga kerja yang diperlukan maka subskenario 5 memerlukan tambahan tenaga kerja cukup banyak sekitar 300-430 HOK sementara pada subskenario 2 hanya sekitar 67-68 HOK dari tenaga kerja keluarga yang tersedia.

Tabel 1. Tingkat ketercapaian tujuan optimasi penggunaan lahan pada sistem agroforestri di kawasan penyangga TNGL Kabupaten Langkat, untuk petani Golongan III pada skenario utama I dan II, subskenario 1-5.

Prioritas Tujuan*)

Tujuan (Target)

Tingkat Ketercapaian Tujuan/Target pada Skenario

I.1 I.2 I.3 I.4 I.5

C1 C2 C3 C4 C5 1,58 31,25 10.000.000 1 .700.000 630 1,58 (0) 124,77 (+ 299,27) 8.762.000 (- 12,38) 3.400.000 (- 100,00) 1.106,72 (- 75,67) 1,58 (0) 31,25 (0) 13.133.000 (+ 31,33) 2.103.070 (- 23,71) 697,22 (- 10,67) 1,58 (0) 124,77 (+ 299,27) 8.751.000 (- 12,49) 3.400.000 (- 100,00) 1.030,11 (- 63,51) 1,58 (0) 124,77 (+ 299,27) 9.620.000 (- 3,8) 3.400.000 (- 100,00) 1.106,72 (- 75,67) 1,58 (0) 16,85 (- 46,08) 9.771.000 (- 2,29) 1,620,780 (+ 4,66) 968,76 (+ 57,34)

II.1 II.2 II.3 II.4 II.5

D

PEMADATAN TANAH AKIBAT PENYARADAN KAYU DENGAN

TEKNIK PEMANENAN KAYU BERDAMPAK RENDAH

DI KALIMANTAN BARAT

(Soil Compaction Caused by Skidding of Reduced Impact

Timber Harvesting in West Kalimantan)

Muhdi*, Elias

*

dan Syafii Manan

***

*Staf Pengajar pada Program Studi Teknologi Hasil Hutan USU Medan

Jalan Trikora Ujung No. 1 Kampus USU Medan

**

Staf Pengajar pada Departemen Hasil Hutan IPB Bogor

***Staf Pengajar pada Departemen Silvikultur IPB Bogor

ABSTRACT

This research was aimed to study the soil compaction caused by skidding of Reduced Impact Timber Harvesting (RITH) in natural forest. The research showed that the bulk density at conventional timber harvesting after skidding of deepness 0-5 cm, 10-15 cm and 25-30 cm was 1.065 g/cm3; 1.062 g/cm3 and 1.158 g/cm3 respectively. The bulk density at reduced impact timber harvesting after skidding of deepness 0-5 cm, 10-15 cm and 25-30 cm was 0.887 g/cm3; 0.969 g/cm3 and 1.080 g/cm3 respectively. This research indicated that the bulk density at RITH was lower than conventional timber harvesting.

Key word : Soil compaction, Bulk density, Skidding, Reduced impact timber harvesting

ABSTRAK

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui tingkat pemadatan tanah akibat penyaradan kayu dengan teknik pemanenan kayu konvensional dan berdampak rendah (RITH) di hutan alam. Penelitian ini menunjukkan bahwa rata-rata berat isi tanah pada petak pemanenan kayu konvensional setelah penyaradan kayu pada kedalaman 0-5 cm, 10-15 cm dan 25-30 cm masing-masing sebesar 1.065 g/cm3; 1.062 g/cm3 dan 1.158 g/cm3. Rata-rata berat isi tanah pada petak pemanenan kayu RITH pada kedalaman 0-5 cm, 10-15 cm dan 25-30 cm masing-masing sebesar 0.887 g/cm3; 0.969 g/cm3 dan 1.080 g/cm3. Penelitian ini menunjukkan bahwa berat isi tanah pada petak pemanenan kayu RITH lebih rendah bila dibandingkan dengan rata-rata berat isi tanah pada petak pemanenan kayu konvensional.

(2)

PENDAHULUAN

alam rangka kebijakan penge-lolaan hutan yang lestari, dipandang perlu untuk mengurangi dampak kerusakan lingkungan (vegetasi dan tanah) serta pengaruhnya terhadap flora dan fauna lainnya dalam rangka menjamin terpeliharanya sumberdaya hutan.

Pemanenan kayu merupakan suatu kegiatan produksi dimana kayu bulat dan hasil hutan lainnya sebagai hasilnya. Pemanenan hasil hutan betapapun hati-hatinya dilaksanakan, namun kerusakan terhadap vegetasi dan tanah yang timbul tidak mungkin dapat dihindari sepenuhnya.

Penyaradan kayu merupakan salah satu tahap dari serangkaian kegiatan pemanenan kayu yang bertujuan untuk memindahkan kayu dari tempat tebangan ke tempat pengumpulan kayu (Tpn) (Dykstra and Heinrich. 1996; Elias, 1997; Suparto, 1999). Alat penyarad dan kayu yang disarad menghendaki keleluasaan gerak yang dapat mengakibatkan kerusakan pada pohon-pohon di sekitarnya. Demikian juga kontak antara alat penyarad dan kayu yang disarad dengan tanah dapat mengakibatkan kerusakan pada struktur tanah.

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui tingkat pemadatan tanah akibat penyaradan kayu dengan teknik pemanenan kayu berdampak rendah di hutan alam.

METODOLOGI PENELITIAN

ntuk mengetahui kerapatan massa tanah akibat penyaradan kayu, dilakukan pengamatan pada jalan-jalan sarad utama, cabang dan di tempat pengumpulan kayu (Tpn) yang ada pada plot permanen yang berukuran 100 m x 100 m. Pengamatan pada jalan sarad dilakukan tiga kali ulangan, dimana titik-titik pengambilan contoh tanah ditempatkan secara sistematis pada kedua sisi dan tengah jalan sarad.

Kerapatan massa tanah diukur dengan menggunakan metode lobang beraturan pada kedalaman tanah masing-masing 5 cm, 15 cm dan 30 cm dengan cara mengambil contoh tanah dengan cara memasukkan “cylinder soil” sampler ke dalam tanah dengan bantuan palu (Idris, 1987).

Contoh tanah juga diambil tiga kali ulangan dari lantai hutan yang belum terganggu dekat jalan sarad untuk mendapatkan gambaran keadaan kerapatan massa tanah sebelum kegiatan penyaradan berlangsung. Contoh uji tanah diuji di laboratorium tanah, Fakultas Pertanian Universitas Tanjung Pura, Pontianak. Data yang diambil meliputi : berat basah tanah dan berat kering tanah.

Untuk melihat apakah ada perbedaan pengaruh teknik pemanenan kayu konvensional vs RITH terhadap pemadatan tanah dapat diuji dengan Uji-t, dimana teknik pemanenan kayu sebagai perlakuan dan plot sebagai ulangan.

D

U

Prioritas 6 (C6) : Tujuan penggunaan tenaga kerja keluarga

Analisis model optimasi dilakukan menggunakan perangkat lunak komputer dengan program ABQM terhadap 60 (enam puluh) skenario. Ke enam puluh skenario tersebut terdiri dari empat macam skenario utama dan lima macam subskenario dengan tiga stratifikasi pemilikan luas lahan petani di lokasi penelitian. Skenario-skenario tersebut disusun guna mendapatkan alokasi penggunaan lahan yang optimal, memenuhi sekaligus tujuan atau target yang telah ditetapkan dan ingin dicapai yaitu secara ekologis lestari dan secara ekonomis menguntungkan. Ke empat skenario utama terdiri dari :

I. Target kebutuhan hidup layak dapat tercapai setiap tahun (100% KHL) II. Target kebutuhan untuk aktifitas sosial

dan tabungan dapat seluruhnya ditingkatkan setiap tahun, sehingga pendapatan meningkat sebesar 12% dari standar kebutuhan hidup layak (KHL + 12%)

III. Target kebutuhan untuk melakukan tabungan tidak terpenuhi sehingga pendapatan berkurang sebesar 6% dari standar kebutuhan hidup layak (KHL-6%).

IV. Target kebutuhan untuk melakukan tabungan tidak terpenuhi dan aktifitas sosial serta biaya fasilitas penunjang dikurangi masing-masing setengah- nya, sehingga pendapatan berkurang 12% dari standar kebutuhan hidup layak (KHL-12%).

Sedangkan 5 (lima) macam Subskenario terdiri dari :

1. Keadaan awal yaitu potensi yang dimiliki petani pada saat pengamatan dilakukan.

2. Melakukan penanaman tanaman obat dan rempah atau rumput di bawah tegakan kayu sungkai atau pengembalian sisa tanaman sebagai mulsa organik ke dalam tanah sehingga produksinya bertambah sebesar 50% dan erosi berkurang 75% tetapi modal yang diperlukan bertambah 25%.

3. Melakukan tambahan modal sebesar 50 % dari modal semula dan tenaga kerja yang diperlukan juga bertambah 50%.

4. Kebutuhan bahan bakar kayu bertambah 25% dan bahan makanan berupa padi gogo bertambah sebesar 50%.

5. Menerapkan teknik konservasi berupa teras dan sengkedan sehingga erosi yang terjadi berkurang sebesar 92%, tetapi memerlukan tambahan tenaga kerja sebanyak 700 HOK per hektar.

Sementara ke 3 (tiga) stratifikasi (golongan) petani yang dibedakan berdasarkan luas lahan garapannya terdiri dari :

1. Petani golongan I dengan luas lahan 0,32 hektar,

2. Petani golongan II dengan luas lahan 0,96 hektar, dan

3. Petani golongan III dengan luas lahan 1,58 hektar.

Penggolongan petani ke dalam tiga kelompok luas lahan tersebut didasarkan pada kondisi rasional yang terdapat di lokasi penelitian dengan pertimbangan rata luas lahan tersempit dan terluas yang dapat diusahakan dengan hanya mengandalkan modal dan tenaga kerja yang tersedia di tingkat petani.

Untuk mengetahui luas lahan minimal yang diperlukan agar diperoleh pendapatan yang dapat memenuhi kebutuhan hidup layak (KHL) digunakan persamaan :

Lm = KHL/Pb ……… (6) dengan: Lm = luas lahan minimal diperlukan dalam hektar.

(3)

untuk: i = 1, 2, …, m tujuan atau target m

∑ gkj.Xj ≤ atau ≥ Ck ………. (3)

j=1

untuk: k = 1, 2, …, p kendala fungsional j = 1, 2, …, n peubah keputusan

dan: Xj, d+i, d-i ≥ 0 ……….……… (4)

d-i . d+i = 0 ……….……… (5)

dengan:

Z = nilai skala dari kriteria pengambilan keputusan, merupakan fungsi tujuan

d-i dan d+i = jumlah unit deviasi yang kekurangan (-) atau kelebihan (+)

terhadap tujuan (bi)

W+i dan W-i = timbangan atau penalti (ordinal atau kardinal) yang diberikan terhadap

suatu unit deviasi yang kekurangan (-) atau kelebihan (+) terhadap tujuan (bi)

aij = koefisien teknologi fungsi kendala tujuan yaitu yang berhubungan dengan tujuan peubah pengambil keputusan (Xj)

Xj = peubah pengambilan keputusan atau kegiatan yang selanjutnya

dinamakan sebagai sub tujuan bi = tujuan atau target yang ingin dicapai

gkj = koefisien teknologi fungsi kendala biasa Ck = jumlah sumber daya k yang tersedia

Py , Ps = faktor-faktor prioritas dari tujuan

Model atau skenario penggunaan lahan yang optimal pada sistem agroforestri di kawasan penyangga TNGL tersebut memiliki sasaran yang dapat : (1) menghasilkan laju erosi yang lebih kecil atau sama dengan laju erosi yang masih dapat ditoleransikan pada beberapa strata kemiringan lereng; (2) memberikan tingkat produksi yang dapat memenuhi produksi yang dikonsumsi dan memenuhi kebutuhan hidup lainnya selama satu tahun; dan (3) dapat diterapkan dalam keadaan sumber daya terbatas yang dimiliki petani antara lain : luas lahan garapan yang tersedia, modal yang dimiliki dan tenaga kerja yang tersedia pada setiap keluarga petani dalam satu tahun.

Peubah keputusan yang digunakan disesuaikan dengan jenis tanaman atau komoditi yang dominan ditanam dan memiliki prospek yang baik serta sesuai dengan kondisi setempat dalam

penelitian, yaitu: X1 = luas lahan untuk

tanaman kayu Sungkai atau Nungke (Peronema canescens) (sebagai pewakil tanaman pohon); X2 = luas lahan untuk

tanaman Padi Gogo (sebagai pewakil tanaman pangan); X3 = luas lahan untuk

tanaman Jagung (sebagai pewakil tanaman palawija), dan X4 = luas lahan untuk

tanaman Cabai Merah (sebagai pewakil tanaman sayuran). Tujuan dan kendala untuk keperluan analisis ditetapkan menurut urutan prioritas sebagai berikut : Prioritas 1 (C1) : Kendala ketersediaan lahan

Prioritas 2 (C2) : Tujuan laju erosi dari sistem pertanaman agroforestri

Prioritas 3 (C3) : Tujuan produksi yang dikonsumsi

Prioritas 4 (C4 : Tujuan pendapatan yang dapat memenuhi kebutuhan hidup layak Prioritas 5 (C5) : Tujuan modal usaha milik petani yang tersedia

HASIL DAN PEMBAHASAN

asil pengukuran berat isi tanah pada petak pemanenan kayu

konvensional dan RITH disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1. Rata-rata berat isi tanah (g/cm3) pada petak pemanenan kayu konvensional dan RITH

No Plot

Teknik Konvensional Teknik RITH

Kedalaman tanah (cm) Kedalaman tanah (cm)

0-5 10-15 25-30 0-5 10-15 25-30 I II III Virgin Forest 1,339 1,047 0,819 0,696 1,157 1,037 0,993 0,839 1,236 1,053 1,185 0,912 0,918 0,912 0,831 0,713 1,094 0,971 0,842 0,794 1,051 1,180 1,020 0,959 Rataan 1,065 1,062 1,158 0,887 0,969 1,080

Tabel 1 menunjukkan bahwa bila dibandingkan dengan areal hutan yang tidak dilalui alat sarad (traktor), maka pada petak pemanenan kayu konvensional terjadi perubahan tahanan penetrasi yang jauh lebih besar bila dibandingkan dengan pada petak pemanenan kayu RITH. Pada petak pemanenan kayu konvensional untuk kedalaman 0-5 cm, 10-15 cm dan 25-30 cm terjadi peningkatan nilai tahanan penetrasi rata-rata berturut-turut dari 0.695 g/cm3 menjadi 1.065 g/cm3, 0.839 g/cm3 menjadi 1.062 gr/cm3 dan dari 0.912 g/cm3 menjadi 1.158 g/cm3. Pada petak pemanenan kayu dengan kedalaman tanah yang sama terjadi peningkatan nilai tahan penetrasi tanah namun relatif kecil yakni dari 0.713 g/cm3 menjadi 0.887 g/cm3, 0.794 g/cm3 menjadi 0.969 g/cm3 dan dari 0.959 g/cm3 menjadi 1.080 g/cm3.

Tabel 1 juga menunjukkan bahwa berat isi tanah rata-rata pada petak pemanenan kayu konvensional akibat

10-15 cm dan 25-30 cm berturut-turut adalah 1.065 g/cm3; 1.062 g/cm3 dan 0.947 g/cm3 lebih besar bila dibandingkan pada petak pemanenan kayu RITH yakni pada kedalaman 0-5 cm sebesar 0.887 g/cm3, 10-15 cm sebesar 0.969 g/cm3 dan pada kedalaman 25-30 cm sebesar 1.080 g/cm3.

Tabel 1 di atas menunjukkan bahwa berat isi tanah rata-rata yang terjadi pada petak pemanenan kayu konvensional berkisar antara 0.809-1.339 g/cm3 pada kedalaman tanah 0-5 cm, 0.993-1.157 g/cm3 pada kedalaman 10-15 cm dan 1.053-1,236 g/cm3 pada kedalaman 25-30 cm. Hal ini memperlihatkan bahwa pemadatan tanah yang lebih besar pada setiap kedalaman tanah bila dibandingkan dengan hasil pemadatan tanah yang terjadi pada petak pemanenan kayu RITH yakni masing-masing berkisar antara 0.831-0.918 g/cm3 pada kedalaman 0-5 cm, 0.842-1.094 g/cm3 pada kedalaman 10-15 cm dan berkisar antara 1.020-1.180 g/cm3 pada

(4)

dengan hasil penelitian Idris (1987) dimana pemadatan tanah rata-rata pada jalan sarad sebesar 1.15 g/cm3 dengan kisaran 0.80-1.77 g/cm3, maka hasil pemadatan tanah pada kedua petak pemanenan kayu lebih kecil.

Matangaran (1995) menyatakan bahwa kondisi areal yang baik untuk pertumbuhan benih yang jatuh dan berkecambah secara alami adalah dengan batas kerapatan limbak (“bulk density”) 1.3 g/cm3. Jika melewati batas kerapatan limbak tersebut, maka benih akan sangat terganggu pertumbuhannya, bahkan mungkin mati. Berdasarkan penelitian ini maka petak pemanenan kayu RITH masih cukup baik untuk pertumbuhan benih secara alami. Pada petak pemanenan kayu konvensional masih cukup baik untuk pertumbuhan benih secara alami tetapi

pada plot I tidak demikian (“bulk density” rata-rata 1.33 g/cm3).

Perubahan berat isi tanah dihubungkan dengan kedalaman tanah pada petak pemanenan kayu konvensional sangat besar bila dibandingkan dengan tahanan penetrasi pada tanah yang tidak terusik (“virgin forest”) terutama pada plot I dan plot II. Pada kedalaman 25-30 cm untuk plot I dan plot II masih menunjukkan perubahan yang signifikan walaupun menurun. Hal ini menunjukkan pemadatan tanah yang sangat intensif sebagai akibat lalu lintas traktor.

Untuk melihat pengaruh penyara-dan kayu terhadap berat isi tanah (g/cm3) pada petak pemanenan kayu konvensional dan RITH dengan kedalaman tanah yang berbeda (0-5 cm, 10-15 cm dan 25-30 cm) dapat dilihat pada Gambar 1 dan Gambar 2. 0% 25% 50% 75% 100% 125% 150% I II III Plot

Berat Isi Tanah (g/cm3)

Virgin Forest

0-5 cm 15-10 cm 25-30 cm

Gambar 1. Hubungan antara kedalaman tanah terhadap kerapatan isi tanah pada petak pemanenan kayu konvensional.

Gambar 1 memperlihatkan bahwa perubahan berat isi tanah (“bulk density”) pada petak pemanenan kayu konvensional

sangat besar bila dibandingkan dengan berat isi tanah pada tanah yang tidak terusik (“virgin forest”). Terutama pada plot

kehutanan dan pertanian) berdasarkan kelestarian dan untuk kesejahteraan masyarakat, baik diusahakan secara serentak, maupun berurutan (rotasi) sehingga membentuk tajuk berlapis-lapis (Satjapradja, 1981; Nair, 1989; Chundawat dan Gautam, 1993; Lal, 1995).

Berdasarkan uraian di atas, maka telah dilakukan kajian untuk mengidentifikasi dan mengevaluasi sistem agroforestri yang terdapat di kawasan penyangga Ekosistem Leuser, khususnya di Wilayah Kecamatan Sei Bingei, Kuala dan Salapian, Kabupaten Langkat, terutama yang berkaitan dengan aspek sosial, budaya, ekonomi serta alokasi dan optimasi penggunaan lahannya yang dapat sekaligus memenuhi kebutuhan hidup layak keluarga petani dan lahan tetap lestari (tidak terdegradasi).

METODE PENELITIAN

okasi penelitian ditetapkan dengan sengaja (“purposive sampling”) yaitu Kabupaten Langkat Sumatera Utara yang didasari oleh luasnya (205.575 hektar atau sekitar 24%) kawasan Ekosistem Leuser berada di daerah ini (Tim Peneliti UNSYIAH, 1993). Sekitar 59% dari luas wilayah tersebut (122.819 hektar) merupakan lahan budidaya (Dirjen Perlindungan Hutan dan Pelestarian Alam, 1995). Penelitian dilaksanakan pada bulan Mei 2000 hingga Oktober 2001.

Pengamatan terhadap petani pelaksana sistem agroforestri dilakukan dengan cara survei lapang dan wawancara.

Struktur agroforestri diamati dengan cara deskriptif, sedangkan data masukan dan keluaran dari sistem agroforestri yang diusahakan dilakukan dengan wawancara langsung kepada petani/pemilik lahan menggunakan daftar pertanyaan (kuisioner). Data masukan yang diperlukan meliputi luas lahan yang digunakan, penggunaan bibit, pupuk, obat-obatan dan sumber serta jumlah tenaga kerja yang diperlukan. Sedangkan data keluaran yang diperlukan meliputi jenis dan jumlah/volume produksi masing-masing komponen penyusun, jumlah produksi yang dikonsumsi atau digunakan sendiri oleh keluarga petani, jumlah produksi yang dijual dan total pendapatan per tahun. Besarnya erosi aktual yang terjadi pada lahan agroforestri diamati menggunakan metoda petak kecil sedangkan erosi terbolehkan diamati berdasarkan kedalaman ekivalen tanah (Hammer, 1981).

Analisis optimasi penggunaan lahan yang ditujukan untuk mendapatkan model penggunaan lahan yang optimal dari berbagai kombinasi jenis tanaman yang dibudidayakan dalam sistem agroforestri di lokasi penelitian dilakukan menggunakan Program Tujuan Ganda (“Multiple Goal Programming atau Multiple Objective Programming”) mengacu pada model umum dari persoalan tujuan ganda yang memiliki struktur timbangan pengutamaan (“preemtive weights”) dengan urutan ordinal (“ordinal ranking”) dengan fungsi tujuan meminimumkan deviasi diantara berbagai tujuan dan sasaran yang ditetapkan (Keeney dan Raiffa, 1978).

Meminimumkan:

m

Z = ∑ Py W+i,yd+i + PsW-i,sd-i ……… (1)

i=1

Syarat ikatan atau fungsi kendala: m

∑ aij.Xj + d-i- d+i = bi ……….……… (2)

j=1

(5)

aneka ragam hayati dan komponen-komponen khas lainnya yang secara alami terintegrasi dalam suatu wilayah bentangan alam pegunungan Bukit Barisan dari Propinsi Daerah Istimewa Aceh sampai ke Sumatera Utara, sepanjang lebih kurang 100 km (Dirjen Perlindungan Hutan dan Pelestarian Alam, 1995).

Dalam “World Conservation Strategy”, kawasan Ekosistem Leuser ditetapkan sebagai “asset heritage” dan cagar biosfer sehingga keberadaannya bukan hanya sebagai aset nasional, tetapi juga merupakan aset internasional. Di dalam kawasan Ekosistem Leuser diperkirakan hidup sekitar 176 jenis binatang menyusui, 194 jenis binatang melata, 52 jenis binatang amphibi, 320 jenis burung dan tidak terkira jumlah serta jenis tumbuhannya. Selain itu, kawasan Ekosistem Leuser merupakan hulu beberapa sungai (DAS) yang mengalir ke pantai timur dan barat Sumatera diantaranya Sungai Batang Serangan, Sungai Wampu, Sungai Besitang, Sungai Bingei dan Sungai Ular. Dengan kondisi ekosistem yang begitu kompleks, kawasan ini telah mendapat perhatian dari berbagai pihak (domestik dan mancanegara), baik sebagai kawasan konservasi, objek penelitian dan pendidikan, cagar budaya, maupun sebagai objek wisata alam (“ecoturism”) (Pusat Kajian Ekonomi dan Bisnis FE-USU, 1995; Lembaga Penelitian UNSYIAH, 1997; Griffiths dan Pardede, 1999).

Keberadaan kawasan Ekosistem Leuser dengan kekayaan dan keanekaragaman sumber daya alam dan hayati serta potensi wilayahnya menjadi rentan terhadap tindakan dan ancaman kerusakan akibat perambahan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab. Sekitar 300.000 hektar dari sekitar 1.790.000 hektar luas kawasan Ekosistem Leuser tersebut telah rusak dirambah manusia. Kerusakan terus berlanjut sebagaimana hasil pengamatan Unit Managemen Leuser (pada bulan Mei 1999)

diketahui hampir setiap 3-4 menit terdengar suara gemuruh pohon-pohon besar yang tumbang ditebang pencuri kayu di sekitar daerah Suaq Belimbing Kabupaten Aceh Selatan (Griffiths dan Pardede, 1999).

Ekosistem Leuser memiliki kawasan penyangga (“buffer zone”) yang sangat luas mencapai 900.000 hektar. Kawasan penyangga Ekosistem Leuser ini memiliki peranan sangat penting, baik sebagai penunjang pelestarian kawasan inti, maupun bagi pemenuhan kebutuhan ekonomi, sosial dan budaya masyarakat setempat. Sedikitnya terdapat 31 Wilayah Kecamatan di empat Kabupaten (Aceh Selatan, Aceh Tenggara, Langkat dan Karo) termasuk ke dalam kawasan Ekosistem Leuser. Jumlah penduduk yang berdomisili di 31 wilayah kecamatan tersebut hingga tahun 1990 sebanyak 838.274 jiwa (Dirjen Perlindungan Hutan dan Pelestarian Alam, 1995).

Oleh karena cakupan kawasan penyangga ini sangat luas, maka pengelolaan setiap kegiatan yang terjadi di daerah ini memiliki arti sangat strategis, baik dalam menjaga kelestarian Ekosistem Leuser, maupun dalam pemenuhan tujuan-tujuan pengem-bangan wilayah yang berbatasan langsung dengan kawasan inti Ekosistem Leuser. Aspek penting dalam pengelolaan kawasan penyangga ini adalah dengan melibatkan masyarakat setempat yang telah secara turun temurun bermukim di kawasan Ekosistem Leuser tersebut.

Salah satu pengelolaan lahan di kawasan penyangga yang dapat menjamin kelestarian sumber daya alam dan sekaligus dapat memenuhi kebutuhan ekonomi, sosial dan budaya masyarakatnya adalah dengan penerapan Sistem Agroforestri. Sistem agroforestri merupakan suatu bentuk pemanfaatan lahan secara optimal pada suatu tapak di dalam dan atau di luar kawasan hutan yang mengusahakan produksi biologi berdaur pendek dan berdaur panjang (komoditi

I dan plot II. Pada kedalaman 25-30 cm untuk plot I dan plot II masih menunjukkan perubahan yang signifikan walaupun

cenderung menurun. Hal ini menun-jukkan pemadatan tanah yang sangat intensif sebagai akibat lalu lintas traktor.

0% 25% 50% 75% 100% 125% 150%

I II Plot III Virgin Forest

Berat Isi Tanah (g/cm3)

0-5 cm 10-15 cm 25-30 cm

Gambar 2. Hubungan antara kedalaman tanah terhadap kerapatan isi tanah pada petak pemanenan kayu RITH.

Gambar 2 memperlihatkan bahwa terjadi peningkatan berat isi tanah (“bulk density”) di jalan sarad petak pemanenan kayu RITH bila dibandingkan dengan berat isi tanah pada tanah yang tidak terusik (“virgin forest”). Perubahan berat isi tanah ini tidak relatif kecil. Hal ini dapat dilihat bahwa pada kedalaman 10-15 cm walaupun terjadi peningkatan cenderung menurun. Pada kedalaman 25-30 cm pada ketiga plot tidak menunjukkan perubahan yang signifikan. Hal ini menunjukkan pemadatan tanah pada jalan sarad petak pemanenan kayu RITH tidak begitu intensif, karena traktor tidak bersentuhan langsung dengan permukaan tanah akan tetapi terhalang oleh galangan kayu.

Gambar 1 dan 2 memperlihatkan bahwa akibat lalu lintas alat sarad telah menyebabkan pemadatan tanah, dimana berat isi tanah pada plot I, plot II dan plot III lebih besar dari pada tanah yang tidak terusik (“virgin forest”). Pada petak pemanenan kayu konvensional perubahan berat isi tanah terbesar terjadi pada

menurun pada kedalaman tanah 10-15 cm dan 25-30 cm. Pada petak pemanenan kayu RITH terjadi perubahan berat isi tanah yang terjadi relatif lebih kecil.

Rata-rata berat isi tanah secara umum meningkat sampai kedalaman tertentu dengan meningkatnya kedalaman tanah. Grafik memperlihatkan kenaikan berat isi tanah untuk kedalaman 0-5 cm sampai kedalaman 10-15 cm dan cenderung menurun pada kedalaman sampai 25-30 cm. Hal ini dimungkinkan karena tanah mengalami pemadatan dari permukaan tanah karena lalu lintas alat dan pada tanah yang berada di bawah permukaan mengalami akumulasi pemadatan tanah di atasnya. Akumulasi pemadatan tanah mencapai maksimum pada kedalaman 10-15 cm dan cenderung menurun pada kedalaman di bawahnya.

Berat isi tanah pada jalan sarad yang dilalui dengan intensitas yang lebih tinggi, meningkatkan berat isi tanah. Rata-rata berat isi tanah pada plot I cenderung lebih

(6)

lebih besar dari plot III. Berat isi tanah maksimum pada masing-masing petak pemanenan kayu konvensional dan RITH berada pada plot I. Hal ini dimungkinkan karena intensitas alat penyaradan (traktor) lebih tinggi pada plot yang lebih dekat ke Tpn. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa intensitas traktor berpengaruh terhadap pemadatan tanah, dimana semakin besar intensitas lalu lintas traktor maka proses pemadatan semakin besar.

Berdasarkan uji beda rata-rata berat isi tanah pada petak pemanenan kayu konvensional dan RITH menunjukkan bahwa berat isi tanah pada petak pemanenan kayu konvensional dan RITH menunjukkan perbedaan yang sangat nyata untuk kedalaman 10-15 cm dan belum menujukkan secara nyata untuk kedalaman 0-5 cm dan 25-30 cm pada tingkat kepercayaan 95%.

KESIMPULAN

Rata-rata berat isi tanah pada petak pemanenan kayu konvensional setelah penyaradan kayu pada kedalaman 0-5 cm, 10-15 cm dan 25-30 cm masing-masing sebesar 1.065 g/cm3; 1.062 g/cm3 dan 1.158 g/cm3.

Rata-rata berat isi tanah pada petak pemanenan kayu RITH pada kedalaman 0-5 cm, 10-10-5 cm dan 20-5-30 cm masing-masing sebesar 0.887 g/cm3; 0.969 g/cm3 dan 1.080 g/cm3.

DAFTAR PUSTAKA

Dykstra, D. P, and R. Heinrich. 1996. Model Code of Forest Harvesting Practice. Food and Agriculture Organization of The United Nations. Rome.

Elias. 1997. State of The Art of Timber Harvesting Operations in The Tropical Natural Forest in Indonesia. Paper Presented on Exchange Meeting Between Staffts of Faculty of Forestry, Bogor Agricultural University, Bogor, Indonesia and Staffts of Shimane University, Japan 30 June 1997 in Shimane. Japan. Idris, M.M. 1987. Pengaruh Penyaradan

Kayu dengan Traktor Berban Ulat terhadap Kerusakan Tegakan Tingga, Pergeseran Tanah serta Pemadatan Tanah Hutan. Tesis Pascasarjana IPB Bogor. Bogor.

Matangaran. 1995. Pengaruh Intensitas Penyaradan Kayu oleh Traktor Berban Ulat terhadap Pemadatan Tanah dan Pertumbuhan Kecambah Sengon (Paraserianthes falcataria) dan Meranti (Shorea sp.). Tesis Pascasarjana IPB Bogor. Bogor. Suparto, R.S. 1999. Bunga Rampai

Pemanenan Kayu. Penyunting : Elias. IPB Press. Bogor.

PENGGUNAAN LAHAN OPTIMAL DENGAN SISTEM AGROFORESTRI

DI KAWASAN PENYANGGA

TAMAN NASIONAL GUNUNG LEUSER

Studi Kasus di Kabupaten Langkat Sumatera Utara, Indonesia

(Optimal Land Use of Agroforestri System at Buffer Zone of

Taman Nasional Gunung Leuser

Case Study in Langkat District, North Sumatra, Indonesia)

Abdul Rauf

Staf Pengajar pada Program Studi Ilmu Tanah Fakultas Pertanian USU Jl. Prof. A. Sofyan No. 3 Kampus USU Medan - 20155

ABSTRACT

The study of optimal land use of agroforestri system had been carried out in buffer zone of Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL), Langkat North Sumatra at altitude of 600-1.050 meters above sea level, and land slope of 25%-65% from May, 2000 to October, 2001. This research to analyze the optimal management of agroforestri system toward sustainable land use in the area. Research location were determined through purposive sampling technique. Therefore, there are 3 of 9 sub districts of the area had been determined as location samples (Kecamatan Sei Bingei, Kuala and Salapian). Identification of agroforestri system was described directly in the field through field observation while socio economic data were gathered through farmers interview using open questioner. Optimum land use for agroforestri was analyzed using Multi Purpose Program or Multiple Goal Programming Method. Result of this research shows that total agroforestri land needed to get income greater or equal to worth living standard (wls) is/1.18 hectare. Recommendation of optimum allocation of this land are, 66-68% planted to sungkai tree (Peronema canescens), 13-31% planted to up land rice, 13-20% planted to maize, and 10-13 % planted to red pepper. This system should be cropped with shaded resistance crops, such as medical plants, fodder/grasses, etc. By this recommendation the farmers should have income greater or equal to wls (total income/Rp. 10.000.000) and erosion is less than or equal to tolerable soil loss (31,25 ton/ha/year).

Key words: Agroforestri, Buffer Zone, Optimal Land use.

ABSTRAK

Penelitian untuk mengkaji penggunaan lahan optimal dengan sistem agroforestri dengan tujuan mendapatkan alokasi penggunaan lahan agroforestri yang secara ekonomis menguntungkan dan secara ekologis lestari, telah dilakukan di kawasan penyangga Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL) yang dilakukan di Kabupaten Langkat Sumatera Utara pada ketinggian tempat 600 hingga 1.050 meter di atas permukaan laut dan kemiringan lereng 25% hingga 65%, pada bulan Mei 2000 hingga Oktober 2001. Lokasi penelitian ditetapkan dengan sengaja (“purposive sampling”) yaitu 3 dari 9 wilayah kecamatan di Kabupaten Langkat yang berbatasan langsung dengan kawasan inti TNGL, yaitu Kecamatan Sei Bingei, Kuala dan Salapian. Data dasar yang dikumpulkan adalah penghasilan petani dari sistem agroforestri yang diterapkan, luas lahan garapan, “input” dan “output factor”. Data-data ini diperoleh dengan cara deskriptif dan wawancara. Pengukuran erosi (aktual dan terbolehkan) dilakukan pada sistem agroforestri pewakil. Analisis data untuk mendapatkan optimasi penggunaan lahannya menggunakan Program Tujuan Ganda (“Multiple Goal Programming”). Hasil penelitian menunjukkan bahwa untuk mendapatkan penghasilan yang dapat memenuhi kebutuhan hidup layak (KHL) bagi petani dengan 5 orang anggota keluarga diperlukan lahan seluas minimal 1,18 hektar. Alokasi penggunaan lahan optimalnya adalah 66-68% untuk pohon sungkai, 13-31% untuk padi gogo, 13-20% untuk jagung dan 10-13% untuk cabai merah. Lahan sela di bawah pohon sungkai harus ditanami tanaman yang tahan naungan, seperti tanaman obat (kencur atau kunyit), rumput pakan ternak dan lain-lain dan atau diberi mulsa organik. Dengan demikian petani akan memperoleh penghasilan bersih melebihi standar KHL (Rp.10.000.000,-) dengan erosi yang sama atau kurang dari erosi yang dapat ditoleransikan (31,25 ton/ha/thn). Kata Kunci: Agroforestri, Kawasan Penyangga, Penggunaan Lahan Optimal.

PENDAHULUAN

E

kosistem Leuser merupakan bagian dari sumber daya alam Indonesia yang

memiliki karakteristik khas flora dan fauna, terdapat keseimbangan habitat dalam mendukung keberlanjutan hidup

Gambar

Gambar 1.   Hubungan antara kedalaman tanah terhadap kerapatan isi tanah pada petak pemanenan kayu  konvensional
Gambar 2.   Hubungan antara kedalaman tanah terhadap kerapatan isi tanah pada petak pemanenan kayu  RITH

Referensi

Dokumen terkait

Dengan kata lain zakat produktif adalah dana zakat yang dikeluarkan dan diberikan kepada seseorang atau kelompok masyarakat untuk digunakan sebagai modal kerja demi

Beberapa peneliti telah menganalisis asosiasi kesepian dengan proses penuaan, menunjukkan peningkatan prevalensi di lanjutan usia, ketika risiko kehilangan hubungan

Skripsi berjudul “Analisis Efektivitas Biaya Berdasarkan Nilai ACER Penggunaan Insulin Dibandingkan Kombinasi Insulin – Metformin pada Pasien Diabetes Melitus Tipe 2

Pokja Pengadaan Barang ULP Barang/ Jasa Pemerintah di Lingkungan Pemerintah Provinsi Bali akan melaksanakan Pelelangan Umum dengan pascakualifikasi untuk paket pekerjaan

Peserta lomba “Pemburu Harta Karun” harus melewati tepat satu kali semua lintasan sesuai dengan arah panah seperti pada gambar di bawah. Peserta yang melewati setiap pos (K, L, M, N

Penulis melakukan penelitian dan pengamatan langsung pada PT PLN (Persero) Penyaluran dan Pusat Pengatur Beban Sumatera Unit Pelayanan Transmisi Padang, dengan

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2010 yang dimaksud cagar budaya adalah warisan budaya bersifat kebendaan berupa benda cagar budaya, bangunan cagar

[r]