• Tidak ada hasil yang ditemukan

Lampiran 1. Rata-rata laju pertumbuhan bobot, lebar karapas dan panjang karapas kebiting bakau, Scyla srerata selama penelitian.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Lampiran 1. Rata-rata laju pertumbuhan bobot, lebar karapas dan panjang karapas kebiting bakau, Scyla srerata selama penelitian."

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

Lampiran 1. Rata-rata laju pertumbuhan bobot, lebar karapas dan panjang karapas kebiting bakau, Scyla srerata selama penelitian

Ulangan

Perlakuan

A B C

L P

(gr/hari) L K (cm) P K (cm) L P (gr/hari) L K (cm) P K (cm) L P (gr/hari) L K (cm) P K (cm)

1 0.0067 1.30 1.07 0.0084 1.23 1.21 0.0099 1.64 1.37 2 0.0087 0.38 0.42 0.0092 1.97 0.97 0.0101 1.87 1.28 3 0.0069 1.00 0.81 0.0084 1.33 1.07 0.0107 1.97 1.20 4 0.0079 1.83 0.79 0.0083 1.50 0.91 0.0097 1.73 1.50 Jumlah 0.0302 4.51 3.09 0.0343 6.03 4.16 0.404 7.2 5.35 Rata-rata 0.0075 1.13 0.77 0.0086 0.51 1.04 0.0101 1.8 1.34

(2)

PENGARUH FREKUENSI PEMBERIAN PAKAN TERHADAP PERTUMBUHAN DAN KELANGSUNGAN HIDUP KEPITING BAKAU (Scylla serrata FORSKAL) DI LAGUNA

Oleh :

Usman Bulanin * Ronal Rusdi** * Fakultas Perikanan Universitas Bung Hatta ** Alumni Fakultas Perikanan Universitas Bung Hatta

Abstrak

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui sejauh mana efek dari frekuensi pemberian pakan terhadap pertumbuhan dan kelangsungan hidup kepiting bakau, Scylla serrata, di laguna. Penelitian ini digunakan rancangan acak lengkap (RAL) dengan tiga perlakuan yang masing-masing di ulang sebanyak empat kali.

Dari pengamatan terhadap laju pertumbuhan, panjang karapas dan lebar karapas pemberian pakan sebanyak empat kali lebih baik dari pada tiga dan dua kali sehari. Rata-rata laju pertumbuhan kepiting bakau untuk pemberian pakan 4 kali sehari ( 0,0101 gram/hari), panjang kerapas ( 1,34 cm ), lebar kerapas ( 1,80 cm ), dan kelansungan hidup ( 83,34 % ), sedangkan untuk pemberian pakan tiga kali sehari masing-masing adalah 0,0086 gr/hari laju pertumbuhan, 1,40 cm panjang karapas

dan 1,51 cm lebar karapas dengan kelangsungan hidup 58,34 %. Kemudian laju pertumbuhan dan pertambahan panjang serta lebar karapas kepiting bakau terendah terdapat pada perlakuan pemberian pakan dua kali sehari yaitu 0,0075 gr/hari dan 0,77 cm serta 1,31 cm dengan kelangsungan hidup sebesar 50%.

Hasil analisi varians menunjukkan bahwa frekuensi pakan yang berbeda memberikan pengaruh yang sangat nyata (P<0,01) terhadap pertumbuhan bobot harian dan panjang karapas kepiting bakau. Sedangkan untuk pertambahan lebar karapas kepiting bakau terdapat perbedaan yang tidak nyata (P>0,05) dan tidak berbenya nyata terhadap laju kelangsungan hidup.

Kata kunci: Kepiting bakau, fekuensi pakan dan pertumbuhan.

1. PENDAHULUAN

Kepiting bakau (Scylla serrata) merupakan salah satu sumber protein hewani yang hidup di perairan pantai dan muara sungai, terutama yang ditumbuhi oleh pohon bakau dengan dasar perairan berlumpur (Mossa et.al., 1985). Kepiting bakau disenangi masyarakat karena rasa dagingnya yang lezat dan nilai gizinya yang tinggi terutama pada betina bertelur (matang gonad): Sulaiman dan Hanafi (1992), mengemukakan bahwa daging kepiting mengandung 65,72% protein dan 0,88% lemak, sedangkan ovarium (telur) kepiting mengandung 88,55% protein dan 0,16% lemak. Kemudian menurut Afrianto dan Liviawaty (1992), setiap 100 gram daging kepiting mengandung protein sebesar 13,6 gram, lemak 3,8 gram, hidrat arang 14,1 gram dan air sebanyak 68,1 gram.

Permintaan akan komoditas kepiting yang terus meningkat, baik di pasaran dalam maupun luar negeri, sehingga menjadikan organisme ini termasuk salah satu komoditas andalan untuk ekspor mendampingi komoditas udang windu. Karena

(3)

permintaan kepiting terus meningkat, baik untuk konsumsi dalam negeri maupun untuk ekspor, maka penangkapan di alampun semakin intensif pula, akibatnya terjadi penurunan populasi kepiting di alam. Untuk mengatasi kebutuhan pangan yang semakin meningkat, maka sudah waktunya diusahakan pelestarian dan perlu dilakukan budidayanya (Mossaet al., 1985).

Untukmenangulangi hal tersebut maka upaya budidaya perlu diintensifikasi dan ekstensifikasi. Budidaya secara intensif antara lain dapat dilakukan dengan jalan mengatur padat tebar, penggunaan benih unggul dan bermutu serta penentuan sistem perairan yang teratur. Sedangkan cara ekstensifikasi yaitu dengan memperluas daerah budidaya yang menagtur daerah budidaya yang mempunyai potensi besar.

Menurut Kordi (1997), waktu pemberian pakan pada kepiting sebaiknya dilakukan pada sore hari, walaupun demikian kepiting juga termasuk hewan yang makan secara terus-menerus. Afrianto dan Liviawati (1992) sebaiknya pakan diberikan pada sore hari, sebab kepiting termasuk hewan yang aktif pada malam hari, akan tapi ada juga beberapa petani yang melakukan pemberian pakan sebanyak tiga kali yaitu pagi, siang dan sore hari.

Berdasarkan hal tersebut diatas maka perlu dilakukan penelitian tentang Pengaruh Frekuensi Pemberian Pakan Terhadap Pertumbuhan Dan Kelangsungan Hidup Kepiting Bakau (Scylla serrata FORSKAL).di Laguna

MATERI DAN METODE PENELITIAN

Rancangan yang digunakan dalam penelitian adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL), dengan tiga perlakuan yang masing-masing diulang empat kali. Perlakuan dalam penelitian ini adalah efek dari frekuensi waktu pemberian pakan dua, tiga dan empat kali setiap hari terhadap pertumbuhan dan kelangsungan hidup kepiting bakau.

Keramba yang digunakan untuk pemeliharaan kepiting bakau terlebih dahulu ditempatkan dalam kolam (laguna) dan dilapisi dengan lumpur pada dasar keramba setebal 15-20 cm. Kemudian kepiting uji dimasukkan kedalam keramba pemeliharaan yang sebelumnya telah diukur berat, panjang dan lebar karapasnya. Bobot kepiting rata 100-120 gram per ekor dengan padat tebar masing-masing kotak sebanyak 3 ekor. Ketinggian air dalam keramba 30-90 cm. Sirkulasi air dalam keramaba cukup baik. Pakan diberi setiap hari sebanyak 5 % dari berat tubuh kepiting dengan frekuensi pemberian pakan 2 kali sehari (A), pada jam 08.00 WIB dan 20.00 WIB, 3 kali sehari (B), pada jam 08.00 WIB, 14.00 WIB dan 20.00 WIB dan 4 kali sehari (C), pada jam 08.00 WIB, 12.00 WIB, 16.00 WIB, dan 20.00 WIB. Jumlah pakan yang diberikan disesuaikan setiap 7 hari setelah pengukuran berat, panjang dan lebar karapas serta jumlah kepiting yang hidup. Pakan yang diberikan berupa ikan rucah. Pemeliharaan dilakukan selama 42 hari.

Laju pertumbuhan berat harian kepiting bakau dapat dihitung dengan menggunakan rumus Effendi (1978) yaitu :

K = t Wo Ln - Wt Ln Dimana :

K = Laju pertumbuhan berat harian (gram/hari) Wt = Berat rata-rata kepiting bakau akhir penelitian Wo = berat rata-rata kepiting bakau awal penelitian t = Waktu penelitian (hari)

(4)

A. Pertumbuhan Panjang dan Lebar Karapas

Pertumbuhan panjang dan lebar karapas kepiting bakau dapat dihitung dengan menggunakan rumus Sulaeman dan Hanafi (1992) yaitu :

PK = PKt – Pko Dimana :

PK = Pertumbuhan panjang karapas (cm)

PKt = Panjang rata-rata kerapas pada akhir penelitian (cm) Pko = Panjang rata-rata karapas pada awal penelitian (cm) B. Tingkat Kelangsungan Hidup

Tingkat kelangsungan hidup kepiting bakau dapat dihitung dengan menggunakan rumus Effendi (1978) yaitu :

SR = x 100% No

Nt Dimana :

SR = Kelangsungan hidup

Nt = Jumlah total kepiting bakau yang hidup samapi akhir penelitian No = Jumlah total kepiting bakau pada awal penelitian

Data yang diperoleh selama penelitian ditabulasikan kedalam bentuk tabel dan gambar untuk kemudian dianalisis dengan analisis variansi, sedangkan untuk melihat pengaruh masing-masing perlakuan maka analisis dilanjutkan dengan uji lanjut wilayah berganda Duncan’s (Stell dan Torrie, 1989).

HASIL DAN PEMBAHASAN Pertumbuhan

Berdasarkan hasil pengukuran selama penelitian, didapat bahwa perbedaan frekuensi pemberian pakan pada kepiting bakau yang dipelihara dalam keramba, memberikan pertambahan bobot dan laju pertumbuhan harian serta pertambahan panjang dan lebar karapas yang berbeda seperti yang disajikan pada gambar 1, 2 dan lampiran 1.

(5)

100 110 120 130 140 150 160 170 180 0 7 14 21 28 35 42

Pe ngam atan (hari k e-)

R a ta -r a ta p e rt a m b a h a n b o b o t (g r/ h a ri ) A B C

Gambar 1. Rata-rata pertambahan bobot individu harian (gram/hari) kepiting bakau selama penelitian

Dari gambar 1 dan 2 terlihat bahwa rata-rata pertambahan bobot kepiting bakau yang paling tinggi adalah pada perlakuan C. Pola pertambahan bobot selama penelitian baik perlakuan A, B dan C mempunyai pola yang sama yaitu mendekati linear, artinya pertambahan bobot meningkat dengan meningkatnya umur atau lama pemeliharaan. Begitu juga dari hasil perhitungan laju pertumbuhan harian rata-rata kepiting bakau tertinggi terdapat pada perlakuan C yaitu 0,0101 gr/hari, kemudian diikuti perlakuan B yaitu 0,0086 gr/hari dan perlakuan A yaitu 0,0075 gr/hari. Hasil analisi varians (lampiran 1) menunjukkan bahwa frekuensi pakan yang berbeda memberikan pengaruh yang sangat nyata (P<0,01) terhadap pertumbuhan bobot harian kepiting bakau.

8 8.2 8.4 8.6 8.8 9 9.2 9.4 9.6 9.8 10 0 7 14 21 28 35 42

Pengamatan (hari ke-)

R a ta -r a ta p e rt a m b a h a n le b a r k a ra p a s ( c m ) 5.5 5.7 5.9 6.1 6.3 6.5 6.7 6.9 7.1 0 7 14 21 28 35 42

Pengamatan (hari ke-)

R a ta -r a ta p e rt a m b a h a n p a n ja n g k a ra p a s ( c m ) A B C a b

Gambar 2 : Grafik (a) pertambahan lebar karapas (cm) dan (b) pertambahan panjang karapas (cm) selama penelitian.

(6)

Dari Gambar 2 dapat di jelaskan bahwa rata-rata pertambahan panjang dan lebar kerapas kepiting bakau terbaik terdapat pada perlakuan C yaitu 1,34 cm, 1,80 cm, Kemudian di ikuti perlakuan B yaitu 1,40 cm, 1,51 cm. Sedangkan pertambahan panjang dan lebar karapas kepiting bakau terendah terdapat pada perlakuan A yaitu 0,77 cm dan 1,31 cm. Dari hasil analisis varians untuk panjang karapas kepiting bakau menunjukkan perbedaan sangat nyata (P<0,01). Sedangkan hasil analisis varians untuk pertambahan lebar karapas kepiting bakau terdapat perbedaan yang tidak nyata (P>0,05) (Lampiran 1).

Terjadinya perbedaan pertumbuhan baik bobot maupun panjang dan lebar karapas harian disebabkan karena semakin sering kepiting diberi makan maka semakain banyak pakan yang dikonsumsi. Disamping itu pemberian pakan empat kali sehari rata-rata pakan tersebut habis dimakan sedangkan pemberian pakan dua dan tiga kali masih ada yang tersisa (tidak habis) terutama waktu pemberian makan pada pagi dan siang hari. Tersisanya pakan yang diberikan pada pagi dan siang hari diduga disebabkan karena kepiting merupakan hewan yang aktif pada malam hari sehingga nafsu makanya lebih tinggi pada malam hari bila dibandingkan dengan siang hari. Begitu juga dengan yang dikemukan oleh Effendi (1978) bahwa perbedaan pertumbuhan disebabkan oleh makanan, umur, berat awal, ruang gerak, genetik, serta faktor lainnya.

Kemudian semakain banyak pakan yang dikonsumsinya, maka semakin bertambah besar kepiting tersebut sehingga semakin sering pula terjadi pergantian kulit (molting). Pergantian kulit akan mempengaruhi terhadap pertambahan panjang dan lebar karapas. Menurut Afrianto dan Liviawati (1992), jika tersedia pakan dalam jumlah melimpah, maka proses pergantian kulit kepiting akan berlangsung lebih cepat. Sedangakn menurut Kordi (1997), selama masa pertumbuhan, kepiting menjadi dewasa akan mengalami pergantian kulit antara 17-20 kali tergantung dari kondisi lingkungan dan pakan yang mempengaruhi pertumbuhannya. Proses dan interval pergantian kulit berlangsung relatif lama yaitu setiap 17-26 hari. Setiap pergantian kulit, tubuh kepiting akan bertambah besar sekitar 1/3 kali ukuran semula, dan panjang kerapas meningkat 5-10 mm pada kepiting dewasa.

Tingkat Kelangsungan Hidup

Hasil kelangsungan hidup kepiting bakau selama penelitian dapat dilihat pada Tabel 1, Gambar 3.

Tabel 1. Tingkat kelangsungan hidup (%) kepiting bakau selama penelitian pada masing-masing perlakuan dan ulangan.

Ulangan Perlakuan A B C 1 33.33 66.67 66.67 2 66.67 66.67 66.67 3 66.67 33.33 100 4 33.33 66.67 100 Jumlah 200 233.34 333.34 Rata-rata 50a 58.34a 83.34a

Keterangan : Superskrip dengan huruf kecil yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata (P.0,05)

(7)

40 50 60 70 80 90 100 0 7 14 21 28 35 42

Pengamatan (hari ke-)

R a ta -r a ta k e la n g s u n g a n h id u p (% ) A B C

Gambar 3. Grafik persentase kelangsungan hidup kepiting bakau selama penelitian Dari tabel 1 terlihat bahwa tingkat kelangsungan hidup kepiting bakau tertinggi terdapat pada perlakuan C yaitu 83,34 %, kemudian diikuti perlakuan B yaitu 58,34 %. Sedangkan yang terendah terletak pada perlakuan A yaitu 50%. Hasil analisis varians menunjukkan bahwa frekuensi pemberian pakan terhadap pertumbuhan dan tingkat kelangsungan hidup kepiting bakau tidak berbeda nyata (P>0,05). Dari Gambar 3 kelihatan kematian kepiting mulai terjadi pada pengamatan hari ke 21. Kematian ini diduga disebabkan dimakan atau diserang oleh kepiting lain ketita saat terjadi pergantian kulit. Sesuai dengan Kordi (1997), Proses dan interval pergantian kulit berlangsung relatif lama yaitu setiap 17-26 hari. Ditambahkan juga bahwa molting dapat terjadi jika kondisi pakan mencukupi dan lingkungan cukup bagus. Kemudian menurut Afrianto dan Liviawati (1992), proses pergantian kulit kepiting akan berlangsung lebih cepat jika tersedia pakan dalam jumlah melimpah. Pada saat terjadi pergantian kulit tubuh kepiting menjadi lunak sehingga mudah dimakan dan diserang oleh kepiting lain. Pada saat terjadi perganitan kulit atau molting biasanya kepiting tersebut bersembunyi.

Kualitas Air

Di dalam penelitian ini diamati beberapa parameter kualitas perairan yang sekiranya dapat menunjang kehidupan kepiting bakau, serta secara langsung dan tidak langsung mendapatkan pengaruh dari penambahan pakan yang diberikan, antara lain parameter fisika dan kimia. Adapun hasil pengamatan kualitas air selama penelitian dapat dilihat pada Tabel 2.

Selama penelitian terlihat bahwa kualitas air baik suhu (27-350C), salinitas (2-12 ppt) dan keasaman/pH air (6,5-7) selama penelitian masih berada pada kisaran yang layak bagi kehidupan kepiting bakau. Menurut Soim (1994) persyaratan kualitas air yang perlu diperhatikan pada pemeliharaan kepiting bakau adalah suhu, salinitas dan pH. Suhu yang sesuai untuk kehidupan kepiting bakau berkisar antara 23 0 C sampai 320 C dengan perubahan yang tidak secara mendadak, salinitas antara 15 – 30 ppt dan pH berkisar antara 7,2,-7,8. Sedangkan Hill (1997)mengemukakan bahwa kepiting bakau dapat hidup pada salinitas 0 ppt sampai 60 ppt. Kemudian Afrianto

(8)

dan Livianti (1992) Ph yang optimum untuk pemiliharaan kepiting bakau adalah 6.5-7,0.

Tabel 2. Hasil penelitian parameter kualitas air tempat pemeliharaan kepiting bakau selama penelitian.

Parameter Nilai Kisaran

Suhu (0C) Salinitas (ppt) Keasaman (pH) Kedalaman (cm) Kecerahan (cm) NH3 (ppm) O2 (ppm) CO2 (ppm) 27-35 2-12 6,5-7 25-90 25-65 0,60-0,82 4,75-6,65 2,0-3,6

Kecerahan air selama penelitian berkisar antara 25-65 cm yang berarti menunjukan bahwa penetrasi cahaya kedalam air cukup baik karena yang diharapkan masuk kedalam media pemeliharaan dapat tercapai. Menurut Wahyuni dan Ismail (1987) menyatakan bahwa di alam (hutan bakau) kepiting bakau hidup pada kecerahan 44,0-75,0 cm dengan kedalaman air 30-79 cm

Kandungan Nh3 berkisar antara 0,60-0,82, ppm, o2 terlarut berkisar antara4,75-6,65 ppm dan co2 berkisar antara 2,0-03,6 ppm. Kisaran angka diatas masih dapat ditolerir oleh kepiting bakau. Selanjutnya Asmawi (1983) menyatakan O2 terlarut yang baik adalah 5 – 10 ppm, CO2 bebas tidak lebih dari 12 ppm dan terendah 2 ppm serta NH3 yang baik adalah kurang dari 1 ppm. Pada kadar NH3 0,053-0,280 ppm kondisi larva udang masih cukup baik. Gangguan NH3 terhadap larva mulai terlihat pada kadar 0,6 ppm ( Hadic dan Jatna 1998). Selanjutnya menurut Saputra (1988) kandungan NH3 yang baik untuk pertumbuhan ikan kurang dari 1 ppm dan Co2 berkisar 0,0-15,0

KESIMPULAN

Bedasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, maka dapat diambil beberapa kesimpulan yaitu: Perlakukan C ( pemberian pakan 4 kali sehari ) mempunyai pertumbuhan lebar kerapas ( 0,0101 gram/hari), panjang kerapas ( 1,34 cm ), lebar kerapas ( 1,80 cm ), dan kelansungan hidup ( 83,34 % ) merupakan pertumbuhan tertinggi selama penelitian.

(9)

DAFTAR PUSTAKA Afrianto, E dan E, Liviawa. 1992.

Pemeliharaan kepiting. Penerbit Kanisius. Yogyakarta. 103 hal Arriola, F.J.1940. A Primary Study of

the life History of Scylla serrata ( Foskal ). Philip. J. Sci. 73 : 437 – 456.

Asmawati, S. 1983. Pemiliharaan Ikan Dalam Keramba. Gramedia. Jakarta.

Effendi, M.I.1978. Biologi Perikanan. Fakultas Perikanan IPB. Bogor. Hadick, W dan Jatna Supriatna. 1988.

Pengembangan Udang Galah dalam Hatchery dan Budidaya. Kanisius. Yogyakarta.

Hill, B.J. 1994. Salinity and Temperature Tolerance of Zoeae of the portunidae Crab, Scylla serrata ( Forska ) ini Estuary. Marine Biology,25 : 21-24.

Hil, B.J. 1989. Live Histories and Environmental Reguiremens of Costal fisher and Invertebrates ( Mid. Adlantic ). Blue Crab Biologocal Report., 82 : 11.100. Jati, S. B. P. 1985. Penelaahan

Beberapa Aspek Biologi Kepiting Bakau (Scylla serrata (Forskal), di Pertambangan Muaro Gembong, Kab. Bekasi. Karya ilmiah Fakultas Perikanan IPB. Bogor. 21 hal.

Kordi K, M. G. H. 1997. Budidaya Kepiting dan Ikan Bandeng di Tambak Sistem Politikur. Dahara Prize. Semarang.

Mossa, M. k., I. Aswandy dan A. Kasry. 1985. Kepitng Bakau, Scylla serrata (Forskal, 1775) dari Perairan Indonesia. LON-LIPI. Jakarta. 18 hal.

Saputra, H. 1988. Membuat dan Membudidayakan Ikan Dalam Kantong Jaring. CV. Simplex. Jakarta.

Soim, A. 1994. Pembesaran Kepiting. Penebar Swadaya. Jakarta.

Sulaeman dan Hanafi, A. 1992. Pemotongan Tangkai Mata Terhadap Kematangan Gonad dan Pertumbuhan Kepiting Bakau (Scylla serrata). J. Penelitian Budidaya Pantai. Vol 8 no. 4. Steel, R. g. d. dan J. H. Torrie. 1989.

Prinsip dan Prosedur Statistik Sistem Pendekatan Biometrik. PT. Gramedia. Jakarta.

Wahyuni, E dan Ismail, W. 1987. Beberapa Kondisi Lingkungan Perairan Kepiting Bakau (Scylla serrata Forskal) di Perairan Tanjung Pasir, Tangerang. Journal Penelitian Perikanan Laut. No. 38 Th. 1987. Hal. 59-68.

(10)

Gambar

Gambar  1.  Rata-rata  pertambahan  bobot  individu  harian  (gram/hari)  kepiting  bakau  selama penelitian
Tabel  1.  Tingkat  kelangsungan  hidup  (%)  kepiting  bakau  selama  penelitian  pada  masing-masing perlakuan dan ulangan
Gambar 3. Grafik persentase kelangsungan hidup kepiting bakau selama penelitian  Dari tabel 1 terlihat bahwa tingkat kelangsungan hidup kepiting bakau tertinggi  terdapat pada perlakuan  C yaitu 83,34 %, kemudian diikuti perlakuan B  yaitu 58,34
Tabel  2.  Hasil  penelitian  parameter  kualitas  air  tempat  pemeliharaan  kepiting  bakau  selama penelitian

Referensi

Dokumen terkait

Metode yang cocok digunakan dalam mengembangkan perilaku hormat pada anak adalah metode pembiasaan, karena guru mengajarkan kepada anak melalui hafalan

Pengaruh doping Natrium dan Klorin terhadap Germanene pada saat posisi Natrium hollow menunjukan bahwa sifat optik germanene yang di doping oleh NaCl mempunyai nilai maksimum

Menurut peneliti berdasarkan data tersebut merupakan hal yang fisiologis karena adanya his yang adekuat sehingga terjadi kemajuan persalinan dan persalinan

Berdasarkan data yang didapat dari surve lapangan di perusahaan genteng terdapat banyaknya kecacatan yang timbul dari genteng tersebut disebabkan oleh kurang

Pengawasan merupakan pengendalian yang diterapkan pada organisasi yang dilakukan guna memastikan bahwa pekerjaan dapat dilakukan sesuai dengan prosedurnya (Karyoto,

1 KELOMPOK NAMA SISWA Kekompakan Kelompok dalam presentasi Menghargai pendapat teman dalam Kelompok lain Menyampaikan hasildiskusi di

Dalam Jurnal Energi dan Kelistrikan yang berjudul “Analisis Pengaruh Sudut Kemiringan Terhadap Arus Keluaran Pada Photovoltaic Dengan Menggunakan Regretion Quadratic

Hasil: Dari Hasil analisis karakteristik air pada 4 penderita leptospirosis yang berada di wilayah kerja Puskesmas Bulu Lor dengan 12 sampel air yang diambil dari