• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. Denpasar. Pada zaman dahulu, perempuan wangsa kesatria yang menikah dengan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. Denpasar. Pada zaman dahulu, perempuan wangsa kesatria yang menikah dengan"

Copied!
9
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Sejak dahulu masalah kasta atau wangsa merupakan permasalahan yang tak kunjung sirna pada beberapa kelompok masyarakat di Bali, khususnya di Denpasar. Pada zaman dahulu, perempuan wangsa kesatria yang menikah dengan orang biasa (sudra) dianggap sebagai sebuah pelanggaran adat. Pelanggaran ini menurut kepercayaan masyarakat wangsa kesatria dapat diganjar dengan upacara yang disebut mapati wangi. Sekarang upacara tersebut jarang ditemukan, tetapi para orang tua masih saja percaya untuk mengharuskan anak perempuannya menikah dengan “wangsa pepadan” (wangsa yang setara).

Hak perempuan dalam menentukan jodoh adalah termasuk hak asasi manusia sipil dan hak-hak sipil antara lain yang menyangkut hak untuk menentukan nasib sendiri. Jodoh merupakan teman hidup selama perkawinan berlangsung. Kesesuaian, pengertian, dan segala macam harapan yang mengarah pada perubahan nasib pada masa yang akan datang dicurahkan kepada orang yang dicintai (jodoh itu sendiri).

Undang-Undang Nomor 1, Tahun 1974 tidak mensyaratkan adanya persamaan wangsa (pepadan). Yang penting, dalam Undang Undang Nomor 1, Tahun 1974 tentang Perkawinan adalah adanya “ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.

(2)

Berdasarkan pernyataan ini maka jelaslah bahwa persoalan keturunan atau wangsa tidak ada sangkut pautnya dalam syarat-syarat suatu pernikahan yang bahagia.

Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia pasal 2 menyatakan “setiap orang berhak atas semua hak dan kebebasan yang dicanangkan dalam deklarasi, tanpa pembedaan apa pun, seperti ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, opini politik atau opini lain, kewarganegaraan, atau asal usul sosial, kekayaan, keturunan atau status lainnya”. Dalam deklarasi jelas masalah keturunan (wangsa) di Bali mirip hak asasi manusia pembatasan perempuan wangsa kesatria menentukan jodohnya sehingga menurut hukum internasional pembatasan ini juga merupakan pelanggaran hak asasi manusia.

Menurut Hugo Grotius, sumber hukum adalah rasio manusia. Karena karakteristik yang membedakan manusia dengan makhluk lain adalah kemampuan akalnya, seluruh kehidupan manusia harus berdasarkan kemampuan akal (rasio) itu. Jadi, menurut Grotius tidak ada perbedaan antara manusia karena semua manusia memiliki kemampuan untuk berpikir. Hukum alam adalah hukum yang muncul sesuai dengan kodrat manusia. Hukum alam ini tidak mungkin dapat diubah (secara ekstrem, Grotius menyatakan bahkan oleh Tuhan sekalipun!). Hukum alam ini diperoleh manusia dari akalnya, tetapi Tuhan yang memberikan kekuatan mengikatnya (Darji Darmodiharjo, 2006:111). Teori Hukum Alam dari Grotius sangat relevan untuk mendeskripsikan perlindungan hak asasi manusia perempuan wangsa kesatria dalam menentukan jodoh sebab persoalan jodoh adalah adanya campur tangan Tuhan. Tidak seorang pun tahu jodoh manusia di alam ini dan akan muncul begitu saja tanpa bisa direncanakan oleh manusia.

(3)

Menurut teori Hukum Alam dari Grotius ini, hukum adalah hukum yang muncul dan sesuai dengan kodrat manusia. Secara ekstrem Grotius menyatakan bahwa hukum tidak dapat diubah sekalipun oleh Tuhan. Namun, penulis sependapat dengan Grotius apa pun kejadian di dunia ini, apalagi mengenai jodoh, Tuhan sedikit banyak campur tangan di dalamnya. Dengan demikian, berdasarkan hukum alam, sesuai dengan kodratnya tidak seharusnya perempuan wangsa kesatria berada dalam konvensi lokal yang memasung kebebasan perempuan (wangsa kesatria) melalui kode-kode kultural berasaskan endogami klan dilindungi dengan aturan-aturan adat dengan kewangsaan yang menyebabkan sempitnya kebebasan untuk memilih jodoh.

Konsep negara hukum atau rule of law menurut A.V. Dicey dalam Mansyur Effendi (1994:36) mengandung tiga unsur, yaitu seperti di bawah ini.

1. Hak asasi manusia dijamin lewat undang-undang.

2. Persamaan kedudukan di muka hukum (equality before law). 3. Supremasi aturan-aturan hukum (supremacy of the law) dan tidak

adanya kesewenang-wenangan tanpa aturan yang jelas.

Perlindungan hak asasi manusia perempuan wangsa kesatria dalam menentukan jodoh dapat juga dideskripsikan melalui konsep negara hukum seperti yang terdapat dalam penjelasan dasar-dasar hak asasi manusia di atas. Penulis mengambil pendapat A.V. Dicey yang menyatakan bahwa hak asasi manusia dijamin lewat undang-undang. Dari sudut pandang ini terbukti bahwa dengan disusunnya seperangkat aturan hukum yang utama, bagaimana hak asasi manusia dalam hal ini perempuan wangsa kesatria dilindungi tanpa ada perlindungan

(4)

hukum yang disepakati bersama. Nasib hak asasi manusia hanya akan merupakan kekuatan potensial yang sulit direalisasikan dalam negara. Jadi, hak asasi manusia mengenai kebebasan memilih jodoh bagi perempuan wangsa kesatria dijamin, tidak adanya diskriminasi apa pun dalam menentukan jodoh berdasarkan perundang-undangan.

Pada awal era Majapahit dengan dinasti Kepakisannya, di Bali diterapkan sistem catur warna. Hal ini diperkuat dengan fakta sejarah bahwa leluhur Sri Aji Kresna Kepakisan adalah Brahmana, yakni Mpu Soma Kepakisan, dan Raja Kresna Kepakisan sebagai raja baru dan keturunannya tergolong kesatria sesuai dengan profesi (I. B. Rai Putra dalam Diantha, 2010: 6). Kemudian sistem warna berubah menjadi sistem kasta yang sangat diskriminatif dimulai saat era Kerajaan Gelgel dan lebih diskriminatif lagi sejak zaman pemerintahan Kolonial Belanda.

Di Bali, larangan perkawinan antara kasta rendahan dan kasta tinggi sudah dihapus oleh DPRD Bali melalui Peraturan Daerah No.11, Tahun 1951 walaupun hukum adat mengenai hal tersebut belum secara tegas dihapus oleh hukum nasional, baik berbentuk undang-undang maupun peraturan daerah. Baru pada tahun 2002 Parisadha Hindu Dharma Indonesia Pusat menetapkan Bhisama Sabha Pandita tentang pengamalan catur warna dalam pergaulan hidup sehari-hari bagi umat Hindu. Dalam lampiran bhisama itu dimuat sebelas butir strategi pengamalan catur warna yang harus dijadikan pedoman untuk mewujudkan supremasi agama di atas adat, bukan sebaliknya supremasi adat di atas agama. Artinya, adat lama yang berlandaskan sistem kasta perlahan-lahan harus diubah menjadi adat baru yang berlandaskan sistem “warna”. “Kasta” adalah cara

(5)

pandang tentang derajat/ martabat seseorang berdasarkan keturunan, sementara “warna” sesuai dengan ketentuan kitab suci Hindu adalah cara pandang tentang derajat/ martabat seseorang berdasarkan jenis pekerjaan (profesi).

Pengaruh globalisasi dan semakin banyaknya masyarakat Bali yang memiliki wawasan yang luas seharusnya menyebabkan sistem kasta tidak digunakan lagi. Namun, nyatanya praktik-praktik perjodohan yang mengatasnamakan unsur “pepadan” atau wangsa yang setara masih sering ditemukan. Sebagai akibatnya adalah fakta-fakta yang dapat diamati, yaitu besarnya jumlah perempuan wangsa kesatria di Banjar Tegal Agung, Kecamatan Denpasar Barat, Denpasar yang tidak menikah sampai pada usia lanjut (di atas usia 35 tahun). Banjar Tegal Agung beranggotakan kurang lebih seratus lima puluh kepala keluarga. Dari jumlah kepala keluarga tersebut, sebagaimana yang termuat dalam daftar informan pada lampiran, terdapat sembilan perempuan lajang dengan usia rata-rata di atas 35 tahun. Menurut Glade B. Curtis (2000:4) pada usia 35 tahun, seorang wanita mempunyai kesempatan lima persen untuk melahirkan seorang bayi dengan kelainan kromosom. Dengan kata lain perempuan di atas 35 tahun memiliki risiko tinggi dalam mengandung dan melahirkan anak.

Menurut I Gusti Ngurah Bagus dalam Kuntjaraningrat (2002: 287) pada umumnya seorang pemuda Bali dapat memperoleh seorang istri dengan dua cara, yaitu dengan meminang (mapadik, ngidih) kepada keluarga seorang gadis, atau dengan cara melarikan seorang gadis (merangkat, ngrorod). Kedua cara itu berdasarkan adat. Adat perkawinan Bali meliputi rangkaian peristiwa seperti

(6)

kunjungan resmi dari keluarga si laki-laki kepada keluarga si gadis atau memberitahukan kepada mereka bahwa si gadis akan dibawa untuk dinikahi; upacara perkawinan (masakapan); dan akhirnya lagi suatu kunjungan resmi dari keluarga si pemuda ke rumah orang tua si gadis untuk minta diri kepada para roh nenek moyangnya. Perempuan wangsa kesatria yang menikah dengan laki-laki biasa (sudra) masih dianggap pelanggaran adat dan dipercayai oleh masyarakat wangsa Kesatria untuk diganjar dengan hukuman untuk tidak diperbolehkan melaksanakan upacara mapadik atau ngidih (meminang). Di samping itu juga dilarang untuk mepamit atau meminta izin untuk meninggalkan sanggah atau pemerajan yang ada di rumah dan untuk minta diri kepada para roh nenek moyangnya. Hal ini menjadi pertanyaan di tengah isu-isu gender yang semakin sering disuarakan pada zaman sekarang. Mengapa hanya wanita yang bersuamikan laki-laki sudra yang dikenai hukuman? Sebaliknya, laki-laki wangsa kesatria yang beristrikan wanita biasa/sudra tidak mendapatkan sanksi adat. Saat ini walaupun sanksi atas pelanggaran adat tersebut tidak lagi diberikan. Namun, masih ada saja orang tua yang mengharuskan anak perempuannya untuk menikah dengan laki-laki dengan kasta yang sama (pepadan). Hal ini yang disebut ketidakadilan gender.

1.2 Rumusan Masalah

Di satu sisi perempuan Bali (wangsa kesatria) di Banjar Tegal Agung terkungkung oleh suatu harapan (konvensi) dalam memilih pasangannya yang sepadan (pepadan); tetapi dari sisi lainnya wacana feminisitas yang resisten

(7)

terhadap konvensi tersebut adalah problematik yang urgen diteliti berdasarkan kajian budaya. Oleh karena itu, masalah yang dapat dirumuskan adalah sebagai berikut.

1. Bagaimana bentuk hegemoni orang tua dalam pemilihan jodoh bagi perempuan wangsa kesatria di Banjar Tegal Agung, Kecamatan Denpasar Barat, Denpasar?

2. Faktor-faktor apa yang menyebabkan hegemoni orang tua dalam pemilihan jodoh bagi perempuan wangsa kesatria di Banjar Tegal Agung, Kecamatan Denpasar Barat, Denpasar?

3. Apa dampak dan makna hegemoni orang tua dalam pemilihan jodoh bagi perempuan wangsa kesatria di Banjar Tegal Agung, Kecamatan Denpasar Barat, Denpasar?

1.3 Tujuan Penelitian 1.3.1 Tujuan Umum

Penelitian ini secara umum bertujuan untuk mendeskripsikan, memahami, dan mendalami hegemoni orang tua dalam pemilihan jodoh bagi perempuan wangsa kesatria di Banjar Tegal Agung, Kecamatan Denpasar Barat, Denpasar.

(8)

1.3.2 Tujuan Khusus

Adapun tujuan khusus penelitian ini adalah sebagai berikut.

1. Mengetahui bentuk hegemoni orang tua dalam pemilihan jodoh bagi perempuan wangsa kesatria di Banjar Tegal Agung, Kecamatan Denpasar Barat, Denpasar.

2. Memahami faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya hegemoni orang tua dalam pemilihan jodoh bagi perempuan wangsa kesatria di Banjar Tegal Agung, Kecamatan Denpasar Barat, Denpasar.

3. Menginterpretasi dampak dan makna hegemoni orang tua dalam pemilihan jodoh bagi perempuan wangsa kesatria di Banjar Tegal Agung, Kecamatan Denpasar Barat, Denpasar.

1.4 Manfaat Penelitian 1.4.1 Manfaat Teoretis

a. Hasil penelitian ini bermanfaat memperluas wawasan pembaca dalam hal hegemoni orang tua dalam pemilihan jodoh bagi perempuan wangsa kesatria di Banjar Tegal Agung, Kecamatan Denpasar Barat, Denpasar.

b. Hasil penelitian ini dapat dimanfaatkan sebagai sumber informasi dan referensi bagi mereka yang mendalami hegemoni orang tua dalam pemilihan jodoh bagi perempuan wangsa kesatria di Banjar Tegal Agung, Kecamatan Denpasar Barat, Denpasar.

(9)

1.4.2 Manfaat Praktis

a. Temuan penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi tokoh-tokoh adat, tokoh masyarakat, serta masyarakat yang bersangkutan guna memperoleh kesadaran bahwa pengklasifikasian masyarakat berdasarkan kasta, khususnya dalam pemilihan jodoh, sudah tidak relevan digunakan dalam era globalisasi saat ini. b. Hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi generasi muda Hindu, khususnya di Bali untuk tidak melakukan kesalahan yang sama sebagaimana yang dilakukan oleh para pendahulunya.

Referensi

Dokumen terkait

Dapat disimpulkan bahwa Nilai-nilai yang terkait aspek bentuk terdiri dari nilai arsitektural, dan simbolik, dari aspek fungsi terdiri dari nilai sejarah, nilai

Adapun nilai-nilai tersebut akan dijabarkan dalam kehidupan yang bersifat praksis atau Adapun nilai-nilai tersebut akan dijabarkan dalam kehidupan yang bersifat

Secara teoretis, penulisan ini dapat memberikan kontribusi di bidang linguistik khususnya pragmatik yang mengkaji tindak tutur lokusi, ilokusi, dan perlokusi dalam

Subsidy Ratio to Producers (SRP) adalah ukuran dari gabungan seluruh transfer effects yang terjadi. Rasio ini adalah perbandingan antara nilai net transfer

Jika terindikasi adanya kebakaran dan/atau gempa bumi maka sistem mengirimkan pesan singkat berisi informasi bencana dan lokasi gedung ke nomor kontak yang diregistrasikan

Berdasarkan pembahasan, hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa, Waktu fermentasi optimal untuk menghasilkan etanol dari batang jagung yaitu pada rentang waktu

Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari keberadaan fungi selulolitik pada tanah bekas kebakaran di Kabupaten Samosir serta sifat kimia dan biologi tanah yang

Kelima faktor di atas saling berkaitan erat satu dengan yang lainnya, karena merupakan esensi dari penegakan hukum dan merupakan tolok ukur daripada