SEPASANG KAUS
KAKI HITAM
Sanksi Pelanggaran Pasal 113 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014
tentang Hak Cipta
(1) Setiap Orang yang dengan tanpa hak melakukan pelanggaran hak ekonomi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf i untuk Penggunaan Secara Komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp100.000.000 (seratus juta rupiah). (2) Setiap Orang yang dengan tanpa hak dan/atau tanpa izin
Pencipta atau pemegang Hak Cipta melakukan pelanggaran hak ekonomi Pencipta se bagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf c, huruf d, huruf f, dan/atau huruf h untuk Penggunaan Secara Komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah). (3) Setiap Orang yang dengan tanpa hak dan/atau tanpa izin
Pencipta atau pemegang Hak Cipta melakukan pelanggaran hak ekonomi Pencipta seba gaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf e, dan/atau huruf g untuk Penggunaan Secara Komersial dipidana dengan pidana pen-jara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau pidana denda pa-ling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). (4) Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud
pada ayat (3) yang dilakukan dalam bentuk pembajakan, di-pidana dengan di-pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah).
SEPASANG KAUS
KAKI HITAM
ariadi g.
Sepasang Kaus Kaki Hitam
Copyright © 2017 ariadi g.
Hak cipta dilindungi oleh undang-undang Diterbitkan pertama kali tahun 2017
oleh PT Elex Media Komputindo, Kelompok Gramedia, Anggota IKAPI, Jakarta
Sepasang Kaus Kaki Hitam
Editor: M.L Anindya Larasati
EMK: 717031286 ISBN: 978-602-04-3636-4
Dilarang mengutip, memperbanyak, dan menerjemahkan sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari penerbit.
SATU
Karawang, September 2000
Saat itu sore belum habis, tapi kegelapan mulai menyelimuti sebagian kota Karawang. Awan hitam bergulung dan meng gantung rendah di kaki langit. Sesekali langit ber gemuruh diiringi kilatan cahaya terang membelah gelapnya awan. Sinar matahari bahkan tidak mampu menembus gumpalan awan yang terlampau pekat. Angin bertiup kencang menerbangkan debu di sepanjang jalan Teluk Jambe.
Orangorang tampak sibuk mengemasi jemuran di hala man rumah mereka. Seseorang berteriak cemas ketika angin menerbangkan beberapa helai pakaian yang tengah diambilnya. Beberapa yang lain terburuburu memasukkan sepeda motor ke dalam rumah. Hujan yang turun sore ini sepertinya akan sangat lebat.
Gue setengah berlari menuju sebuah rumah di tengah gang. Rumah ini tampak paling tinggi dibandingkan rumahrumah lain di sekitarnya. Di balik pagar besi yang membatasi halaman terparkir banyak sepeda motor milik para penghuni kosan. Titiktitik gerimis sudah mulai turun ketika gue sampai di pintu
masuk. Segera saja suara gaduh air yang jatuh dari langit beradu dengan atap kanopi plastik yang menaungi tempat parkir. Merasa sudah aman dari hujan, gue memperlambat langkah kaki menuju anak tangga di koridor.
Walaupun hari sudah hampir gelap, tapi aktivitas di rumah kosan ini masih terlihat sepi. Tidak tampak seorangpun di sepanjang koridor yang gue lewati. Mereka seolah bersembunyi di balik pintu kamar dari derasnya hujan sore ini. Satusatunya suara yang terdengar berasal dari lagu yang diputar oleh salah satu penghuni kamar di lantai atas. Lengkingan vokal John Francis Bongiovi., Jr di lagu Livin’ On A Prayer yang legendaris
itu seolah menandingi suara gemuruh di langit.
Gue sampai di anak tangga terakhir di lantai atas. Di sini ada dua deret kamar yang saling berhadapan, dengan masing masing deret berisi tiga kamar. Anak tangga ber ada di sisi utara bangunan, sementara di ujung lainnya terdapat sebuah balkon kecil berukuran tidak lebih dari dua meter persegi menjadi pembatasnya. Gue menempati kamar di ujung selatan koridor yang letaknya paling jauh dari tangga, bersebelahan langsung dengan balkon. Ada dua pintu kamar yang terbuka saat itu. Yang pertama adalah pintu yang bersebelahan tepat dengan kamar gue. Dari sini rupanya lagulagu Bon Jovi itu diputar. Ketika gue berjalan melewati pintu itu, tidak tampak seorang pun di dalamnya. Mungkin orangnya sedang di kamar mandi.
Satu pintu lainnya yang terbuka adalah kamar di seberang kamar gue. Seperti kebanyakan rumah kos pada umumnya,
adalah sosok wanita yang sedang duduk di depan pintu kamar itu. Seorang wanita yang kemungkinan berusia lebih muda dua atau tiga tahun dari gue. Rambut panjangnya menjuntai tertiup angin. Dia duduk memeluk lutut, menenggelamkan sebagian wajahnya di sana. Yang terlihat hanya garis hi dung mancungnya yang membentuk segitiga lancip di antara kedua lututnya. Dia tidak menyadari kedatangan gue. Matanya khu syuk memandang sesuatu di lantai. Selain rambutnya yang meriapriap tertiup angin, tidak ada lagi gerakan yang terlihat. Benarbenar persis seperti patung.
“Sore, Mbak.” Gue mencoba menyapanya.
Jangankan menoleh dan menjawab salam, bola matanya bahkan sama sekali tidak bergerak untuk mencari tahu siapa yang bicara padanya. Ah, mungkin karena suara musik yang terlalu kencang menenggelamkan suara gue.
“Permisi.” Sekali lagi gue menyapa. Kali ini dengan suara yang lebih keras.
Dia tetap bergeming.
‘Sombong banget, sih!’ Gue menggerutu dalam hati.
Penampilan wanita ini terbilang aneh. Dia mengenakan celana jins pendek yang dipadukan dengan kaus kaki panjang berwarna hitam sampai ke atas lutut. Terasa ganjil untuk dipa kai di kota sepanas Karawang.
Karena merasa diabaikan, gue putuskan untuk tidak mem buang waktu lebih banyak lagi dengan berlalu dan berhenti mencoba menyapanya. Lagi pula bungkusan nasi di tangan su dah memanggilmanggil untuk segera dimakan. Maka gue pun bergegas masuk ke kamar tanpa memedulikan wanita tersebut.
kampung halaman. Dalam perjalanan selama tiga hari dua malam menyeberangi Laut Jawa, gue nyaris tidak sanggup menghadapi sensasi goyangan ombak yang memuakkan. Untung saja ada seorang ibu baik hati yang mau berbagi obat dan teh hangatnya. Beliau lalu bercerita tentang anak laki lakinya yang merantau ke Pulau Jawa beberapa tahun silam. Sebuah kecelakaan di tempat kerja membuat anak bungsunya itu tidak lagi bisa kembali dari perantauan. Dan kali ini beliau bermaksud ziarah ke makam sang anak. Selama tiga hari di lautan kami banyak bertukar cerita, lalu kami berpisah setelah tiba di Pelabuhan Priok. Gue segera melanjutkan perjalanan melalui jalur darat menuju Karawang.
Tidak banyak yang gue tahu mengenai kota ini. Satusatunya hal yang gue ingat adalah fakta sejarah yang diajarkan di bangku sekolah dasar bahwa Soekarno dan Hatta pernah diculik oleh sejumlah pemuda ke Rengasdengklok untuk mempercepat proklamasi kemerdekaan. Di mana tepatnya Rengasdengklok, gue sama sekali tidak tahu, yang pasti tempat itu adalah bagian dari Karawang. Mungkin setelah beberapa lama tinggal di sini gue akan berkunjung ke salah satu lokasi bersejarah tersebut.
Besok merupakan hari pertama gue bekerja. Gue berharap bisa cepat tidur. Jelas, gue harus tidur awal supaya badan gue segar untuk pergi bekerja besok. Tapi, sa yangnya, malam itu kedua mata gue sulit sekali terpejam. Semakin gue berusaha tidur, justru semakin lebar mata terbuka. Radio kecil yang gue bawa dari kampung bahkan sudah tidak bisa menemukan
ketika samarsamar terdengar suara seorang wanita dari luar kamar. Dia sedang menangis. Isakannya terde ngar begitu me milukan. Siapa orang yang tengah malam begini berkeliaran di luar kamar dan menangis dengan begitu sedih?
Gue terduduk kaku. Prasangkaprasangka mistis berkele batan dalam kepala, berlomba dengan detak jantung yang be gitu cepat terpacu. Saat itu lampu kamar sudah dipadamkan. Satusatunya sumber cahaya adalah sinar lampu dari luar yang menerobos masuk melalui jendela kamar. Kaca jendela tertu tup sebuah gorden lusuh, tapi bayangan apapun dari luar masih bisa tergambar di sana. Selama beberapa menit gue terdiam mendengar isakan pilu wanita itu. Gue mempertimbangkan untuk keluar kamar dan mencari tahu, namun pada akhirnya sembunyi di balik sarung adalah pilihan yang lebih tepat.
Suara si wanita mendadak terhenti ketika suara lain ter dengar–langkah kaki menaiki tangga dari lantai bawah. Gue mengintip sedikit dari balik sarung. Sebuah bayang an berkele bat di depan jendela, disusul kemudian bunyi klik dari daun
pintu yang dikunci. Kemudian hening.
Esoknya gue tidak bisa untuk tidak menghubungkan suara tangisan itu dengan wanita di seberang kamar. Suara pintu yang menutup sepertinya berasal dari pintu kamarnya. Tapi kenapa? Kenapa dia menangis di tengah malam? Kenapa pula tangisan nya terdengar begitu memilukan, seolah tidak ada lagi harapan yang bisa menye lamatkan kegundahan hatinya?