• Tidak ada hasil yang ditemukan

Posisi Negara dalam Menangani Kepemilikan Publik: Distribusi Tanah Milik Negara dalam Membangun Ekonomi Masyarakat Miskin

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Posisi Negara dalam Menangani Kepemilikan Publik: Distribusi Tanah Milik Negara dalam Membangun Ekonomi Masyarakat Miskin"

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

POSISI NEGARA DALAM MENANGANI KEPEMILIKAN PUBLIK; DISTRIBUSI TANAH MILIK NEGARA DALAM MEMBANGUN EKONOMI

MASYARAKAT MISKIN Yuke Rahmawati UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

yuke.rahmawati@uinjkt.ac.id

Abstract. Land is a fundamental part of human life. In fact, people's access to land is very small, even lost due to government regulation in this sector does not support. The state policy through land reform regulations Act 56 of 1960 that people should not have more than five hectares of land (java), seems not yet realized properly. With literacy studies, the authors attempt to compile the various views, both in theory and concepts in order to find the position of the state in improving the local economy through a policy of land distribution.

Keyword: land, poverty, distribution, state policy.

Abstrak. Dalam kehidupan manusia, kebutuhan akan tanah adalah bagian dharury (asasi)untuk kelangsungan hidup. Namun pada kenyataannya akses masyarakat -miskin terutama- terhadap tanah sangat kecil, bahkan hilang akibat pengaturan pemerintah dalam sektor ini tidak mendukung grass root.Kebijakan negara melalui peraturan land reform UU No.56 tahun 1960 bahwa orang tidak boleh memiliki tanah lebih dari lima hektar (jawa), nampaknya belum terealisir dengan baik.Penelusuran dengan studi literasi, penulis berupaya mengkompilasi berbagai pandangan, baik secara teori maupun konsep dalam rangka menemukan posisi negara dalam meningkatkan ekonomi masyarakat melalui kebijakan distribusi tanah.

(2)

PENDAHULUAN

Persoalan distribusi pada umumnya sering dikaitkan dengan persoalan sistem distribusi pendapatan (income distribution) diantara berbagai golongan masyarakat. Dikatakan bahwa distribusi kekayaan dalam masyarakat sangat erat kaitannya dengan distribusi pendapatan. Ketidak-seimbangan distribusi pendapatan akan menciptakan ketidak-seimbangan distribusi kekayaan (wealth distribution). Hal ini dianggap wajar karena menyangkut masalah kesejahteraan kehidupan masyarakat, dan tidak dapat dipungkiri bahwa hasil pembangunan yang dicapai, seutuhnya adalah untuk kesejahteraan masyarakat dan dapat dinikmati oleh masyarakat secara merata.

Teori ekonomi modern mengungkapkan, teori distribusi merupakan suatu teori yang menetapkan harga jasa produksi. Siapa saja yang terlibat dalam suatu produksi, maka ia akan mendapatkan suatu konsekuensi dari padanya. Sebaliknya, bagi yang tidak terlibat, walau dengan alasan apapun jelas tidak akan mendapatkannya. Pengertian ini dapat memberikan pemahaman bahwa keadilan dalam distribusi diartikan sebagai memberi balas jasa pada setiap orang sesuai sumbangan yang diberikan (reward of desert).

‹•‹•‹ Žƒ‹•á ò•‡•‹•…ƒ›ƒƒ•ó ƒ†ƒ •ƒ•—•‹ƒ ›ƒ•‰ tidak bisa ikut andil didalamnya karena barbagai alasan tertentu, menjelaskan bahwa sebagian orang bekerja dan berpenghasilan, sedang sebagian lagi tidak(Khudori, 2004) atau bahkan sebagian kecil orang kaya raya, sedang sebagian terbesarnya adalah orang miskin.

‹•–‡• †‹•–”‹„—•‹ •›ƒ”‹ïƒŠ •‡•’—•›ƒ‹ †—ƒ ’‡†‘•ƒ• †ƒ•ƒ” †ƒŽam upaya meningkatkan kesejahteraan masyarakat diatas, yakni dengan; pertama, mengurangi kesenjangan sosial diantara kelompok-kelompok yang ada dalam masyarakat seperti membuka atau memperluas lapangan pekerjaaan dan memberikan peluang bekerja, sehingga masyarakat dapat memiliki pendapatan untuk pemenuhan kebutuhan dalam hidupnya. Kedua, secara langsung memberikan santunan dan bantuan kepada warga masyarakat miskin agar mereka secara terus menerus dapat meningkatkan mutu kehidupannya (Mubyarto, 1988).

Dalam pandangan Islam hubungan yang ada diantara produksi dan distribusi bukanlah hubungan ketergantungan. Islam menjadikan distribusi sebagai koridor bagi produksi bukannya menyesuaikan distribusi dengan kebutuhan produksi

(3)

sebagaimana ditetapkan oleh teori Marxis. Islam memegang beberapa prisip tentang hal ini diantaranya;(Baqir Ash-Shadr, 2008)

a. Sistem Ekonomi Islam memandang hukum-hukum (norma-norma) yang dibawanya sebagai hukum yang permanen, tetap, serta valid disetiap zaman. Misalnya, hukum yang mengatakan: ò ‡•‡”Œƒ „‡”Šƒ• ƒ–ƒ• „—ƒŠ •‡”Œƒ•›ƒóä

b. Islam memandang proses produksi yang dijalankan oleh pekerja sebagai sebuah fase dimana baerlaku hukum umum distribusi. Namun pada saat yang sama pada proses itu berlaku hukum umum distribusi kekayaan yang dihasilkan. Karena itu ranah produksi juga merupakan ranah aplikasi hukum distribusi.

c. Ekstensifitas produksi manusia untuk meningkatkan pertumbuhan, timbul ketika level dan potensi produksi meningkat, sehingga dominasi manusia atas alam pun meningkat. Evolusi produksi dan pertumbuhan akan memperbesar peran aplikasi hukum umum distribusi, oleh karenanya derajat aplikasinya harus mampu menhapus bahaya yang mengancam keseimbangan umum dan keadilan sosial.

Di Indonesia, sistem ekonomi yang digunakan pada dasarnya tidak kapitalis dan tidak pula sosialis. Karena sistem-sistem tersebut dianggap akan bertentangan dengan ideologi yang dianutnya yakni Pancasila. Namun pada kenyataannya, sistem ekonomi Indonesia terasa sangat kapitalistik, dimana lebih banyak orang terang-terangan •‡•‡”‹•ƒ †ƒ• •‡•ŒƒŽƒ••ƒ• •‹•–‡• ‡•‘•‘•‹ –‡”•‡„—– •ƒ”‡•ƒ †‹ƒ•‰‰ƒ’ò–ƒ• –‡”‡Žƒ••ƒ•ó †ƒ• •ƒ”‡•ƒ •‡Œƒ• –ƒŠ—• s{{s •ƒ’‹–ƒŽ‹••‡ –‡ŽƒŠ Œ‡Žƒ• –‡”„—•–‹ memenangkan persaingan dari sosialisme (Mubyarto, 2002). Namun sejak masa reformasi, terutama sejak SI-MPR 1998, kemudian populer istilah ekonomi kerakyatan sebagai sistem ekonomi yang harus diterapkan di Indonesia.

Dalam Islam, aktivitas distribusi sudah terbentuk dalam sistem ekonominya dan merupakan prinsip utama yang ke-tiga dari sistem ekonomi Islam diatas tadi. Memastikan dan meyakinkan bahwa peredaran kekayaaan tidak terkonsentrasi pada segelintir orang atau golongan (in a few hands) saja (QS. Al-Hasyr:7). Islam juga sangat mengharamkan penimbunan akan harta, baik itu membekukannya, menahannya, maupun menjauhkannya dari peredaran.

Meski disisi lain, Islam mengakui adanya gradasi/hirarki (tingkatan) ekonomi dalam suatu masyarakat. Namun perbedaan itu tidak untuk dijadikan sebagai perbedaan sosial atau kesenjangan, karena setiap manusia mempunyai hak untuk

(4)

memenuhi kebutuhan dasarnya untuk tetap menjalani hidup. Islam menawarkan proses pendistribusian ini dengan sistem yang telah dimiliki yang pada dasarnya mengandung dua sistem distribusi utama, yakni: distribusi secara komersial dan mengikuti mekanisme pasar serta sistem distribusi yang bertumpu pada aspek keadilan sosial masyarakat.

METODOLOGI

Artikel ini merupakan penelitian yang berbasis pada penelitian kualitatif yang berbasis pada kajian kepustakaan (library research), dimana berupaya membandingkan literatur-literatur terkait dengan peran Negara dalam menangani kepemilikan publik dari sisi ekonomi Islam dan ekonomi konvensional beserta terapan yang sudah dilakukan di Indonesia. Sehingga, nantinya artikel ini mampu memberikan suatu posisi yang jelas terkait peran negara dalam menangani kepemilikan publik terutama dalam hal kaitannya dengan distribusi tanah negara. PEMBAHASAN

Distribusi Tanah Negara

Kajian bidang ekonomi syariah pada prinsipnya juga membicarakan tingkah laku manusia sebagai konsumen (Abdillah, 2007), produsen (Ernawati Usman, 2007) dan pelaku distribusi. Perilaku konsumen muslim misalnya, harus mengarah pada kepuasan yang dikehendaki oleh Allah (MM. Metwally, 1997). Perilaku-perilaku tersebut merupakan upaya untuk memenuhi kebutuhan dasar mereka dalam hidup. Muhammad Nejatullah (1988) mengatakan bahwa makanan, pakaian dan tanah (untuk menjadi rumah) adalah kebutuhan dasar untuk bertahan hidup (M. Nejatullah Siddiqi, 1988). Dia juga menggambarkan setengah dari populasi negara-negara muslim berada dalam ketimpangan dan ketidakseimbangan distribusi lahan (tanah) serta bentuk kekayaan lain sebagai penghasilan. Kondisi tersebut terjadi karena dua hal, pertama keberadaan distribusi lahan kebanyakan bentuk dari praktik ketidakadilan di masa lalu. Kedua, misi pengurangan ketimpangan distribusi pendapatan dan kekayaan menjadi tujuan yang diinginkan dalam kebijakan ekonomi dalam Islam (M. Nejatullah Siddiqi, 1988). Selain itu, reformasi lahan dimaksudkan untuk mentrasformasi petani penyewa lahan menjadi petani pemilik lahan (M. Nejatullah Siddiqi, 1979).

(5)

Sesungguhnya arah kondisi ekonomi itu pembangunan ekonomi. Pengertian ’‡•„ƒ•‰—•ƒ• ‡•‘•‘•‹ •‡”‹•‰ †‹†‡ˆ‹•‹•‹•ƒ• •‡„ƒ‰ƒ‹ òproses yang menyebabkan kenaikan pendapatan riil per kapita penduduk suatu negara dalam jangka panjang yang disertai oleh perbaikan sistem kelembagaanó ‹•…‘Ž‹• ”•›ƒ†á trrv ä Pengertian ini memberi pemahaman bahwa peningkatan pendapatan per kapita adalah sebagai ukuran tingkat pertambahan GNP/GDP suatu negara pada satu tahun tertentu. Yang tentunya dapat dikatakan bersifat positif bila GNP tersebut melebihi tingkat pertambahan penduduknya. Namun ternyata peningkatan GNP per kapita yang cepat saja tidak secara otomatis meningkatkan taraf hidup masyarakat keseluruhan. Hal ini disebabkan karena proses aliran manfaat dari pertumbuhan ekonomi tidak terjadi. Dan inilah yang disebut ketidakmerataan distribusi pendapatan.

Berbicara mengenai hasil pembangunan, pembangunan ekonomi dalam hal ini mempunyai beberapa indikator menuju keberhasilannya, yakni indikator moneter dan indikator non-moneter (Lincolin Arsyad, 2004). Indikator pembangunan ekonomi dari segi moneter yang pertama biasanya diwakili dengan besaran pendapatan per kapita masyarakat. Selain untuk membedakan tingkat kemajuan ekonomi suatu bangsa (GNP riil), pendapatan per kapita juga memberikan gambaran tentang laju pertumbuhan kesejahteraan masyarakatnya. Indikator ini juga menunjuk faktor penting lainnya, yaitu distribusi pendapatan, dimana bila tiap masyarakat memiliki tingkat pendapatan yang intens, maka di pastikan akan mendapatkan kesejahteraan dalam hidupnya, meski tingkat kesejahteraan pada tiap-tiap masyarakatnya akan berbeda. Namun, kondisi ini juga kadang menimbulkan ketidakseimbangan, karena prioritas usaha-usaha pembangunan ekonomi untuk memperoleh pendapatan diatas hanya menguntungkan sebagian kecil anggota masyarakat saja. Hal tersebut memberi arti, bahwa tujuan pembangunan ekonomi belum seluruhnya tercapai.

Indikator moneter kedua, adalah kesejahteraan ekonomi bersih atau Net Economic Welfare (NEW). Indikator ini hanya bentuk koreksi dari kegiatan ekonomi yang bersifat materi penuh pada kegiatan ekonomi yang lebih bersifat bathiniah (kepuasan hati), yang menunjukkan bertambahnya tingkat kesejahteraan, meski tingkat GNP-nya turun.

(6)

Selanjutnya, indikator pembangunan ekonomi yang bersifat non moneter, lebih menitik beratkan pada aspek sosial dan indeks kualitas hidup manusia. Pada aspek sosial misalnya, pembangunan ekonomi dapat dilihat dari perbandingan tingkat pendapatan antara beberapa wilayah atau negara, perbandingan tingkat harga yang berlaku serta perbandingan tingkat kesejahteraan yang berdasarkan pada data jumlah kendaraan bermotor, jumlah penduduk yang bersekolah, jumlah konsumsi minyak dan lain sebagainya. Sedangkan menurut indeks kualitas hidup, dapat dibagi pada tiga hal, yaitu; tingakat harapan hidup (angka kematian), tingkat melek huruf, dan tingkat pendapatan riil per kapita berdasarkan daya beli (purchasing power parity) bukan kurs pasar.

Selain itu berdasarkan aspek filosofis prinsip-prinsip pembangunan ekonomi menurut Islam yakni ; bersifat komprehensif dan mengandung unsur spiritual, moral dan material. Serta merupakan aktivitas yang berorientasi pada tujuan dan nilai. Dimana aspek material, moral, ekonomi dan sosial spiritual tidak dapat dipisahkan. Kebahagian yang ingin dicapai tidak hanya kebahagian dan kesejahteraan material di dunia, tetapi juga di akhirat. Segala aktivitas multidimensional tersebut seluruhnya terkait dan harus diserahkan pada keseimbangan berbagai faktor dan tidak menimbulkan ketimpangan. Termasuk pemanfaatan sumberdaya yang telah diberikan Allah kepada ummat manusia dan lingkungannya semaksimal mungkin melalui pembagian secara merata berdasarkan prinsip keadilan dan kebenaran.

Terkait dengan hal itu semua, maka prinsip pemerataan kesejahteraan sosial-ekonomi bagi masyarakat merupakan bagian dari maqashid al-•›ƒ”‹ïƒŠ Islam, dalam rangka mencapai ridla Allah dan kebahagiaan dunia-akhirat. Pengejawantahan prinsip ini salah satunya adalah melalui sistem distribusi yang berkeadilan (distributive justice). Prinsip distribusi ini berlaku dalam seluruh kegiatan perekonomian secara Islam. Tidak hanya pada kegiatan pasca produksi, tetapi juga pada seluruh sumber daya alam yang Allah karuniakan bagi manusia. Salah satunya adalah tanah.

Dalam kehidupan manusia, kebutuhan akan tanah adalah bagian dharury (asasi) untuk kelangsungan hidup. Hak asasi ini merupakan hukum Allah (sunnatullah) pada seluruh manusia sebagai bagian dari nalurinya. Mengenai sumber

(7)

kajian dalam hal ini, isyarat Allah telah sangat jelas diuraikan dalam hukum-hukum yang diturunkannya, baik melalui Kalamullah maupun melalui ucapan para nabi utusannya.

Sistem perekonomian yang berlaku saat ini tidak terlepas dari pemikiran ideologi yang menguasainya. Di Indonesia, sistem ekonominya banyak dipengaruhi oleh pemikiran ideologi yang masuk ke semua wilayah teritorialnya, baik melalui mekanisme persuasif seperti hubungan dagang, dan mekanisme jajahan (kolonial) seperti yang telah dialami bangsa ini selama ratusan tahun. Oleh karenanya, tidak hanya sistem perekonomiannya saja yang berideologi sama tetapi juga hukum serta aturan perekonomiannya pun punya akibat yang sama.

Tak terlepas dari asumsi diatas, aturan perekonomian di Indonesia sangat tergantung pada seberapa banyak masyarakat dapat menguasai hak atas tanah sebagai salah satu sektor ekonomi penunjang kebutuhan hidupnya. Sehingga tak dapat dipungkiri, bahwa kepemilikan akan tanah dalam kehidupan manusia adalah sesuatu yang esensi.

Aspek penguasaan tanah merupakan bagian yang sangat esensial dalam keseluruhan sistem agraria yang berlaku, karena akan menentukan tingkat kesejahteraan dan distribusi ekonomi masyarakat di dalamnya. Selain itu faktor penguasaan tanah menjadi penentu kegiatan usaha sekaligus distribusi hasilnya. Konsep penguasaan tanah pada resalisasinya relatif berbeda, baik dalam bentuk maupun sistemnya. Namun bila kita spesifikasi di Indonesia, maka penguasaan tanah menurut hukum adat pada beberapa suku bangsa di Indonesia memiliki banyak kesamaan dengan bentuk penguasaan tanah menurut hukum Islam (Syahyuti, 2006).

Bentuk penguasaan tanah pada satu negara mengikuti ideologi ekonomi yang dianut negara tersebut. Kita mengenal setidaknya lima ideologi sistem ekonomi, yaitu kapitalisme, sosialisme, komunisme, fasisme, dan ekonomi Islam (Eldine Achyar,2005). Secara umum, hak kepemilikan (property rights) yang berlaku dalam sistem ekonomi kapitalis adalah kepemilikan yang tanpa batas. Bentuk kepemilikan tanpa batas ini berlaku untuk benda apa saja termasuk tanah. Si pemilik (owner) dapat menggunakan dan menguasai miliknya sebagaimana ia sukai. Konsep dasar sistem ekonomi kapitalis adalah kebebasan tanpa batas untuk menciptakan

(8)

pendapatan pribadi dan membelanjakannya sesuai dengan kemauannya (personal propensities), (Robert L Heilbroner, 1986). Motif kepentingan individu yang didorong oleh filsafat liberalisme kemudian melahirkan sistem ekonomi pasar bebas, yang pada akhirnyamelahirkan ekonomi kapitalis. Lebih dari itu dalam konteks ini, menurut Wiradi (Gunawan Wiradi, 1996), pemilikan tanahyang disamakan dengan •—•„‡” †ƒ›ƒ ‡•‘•‘•‹ Žƒ‹• •‡Š‹•‰‰ƒ –ƒ•ƒŠ •‡•Œƒ†‹ ó•‘•‘†‹–ƒ•óᕇ”—’ƒ•ƒ• ƒ•ƒ” terjadinya berbagai krisis ekonomi di tingkat dunia selama ini. Misalnya saja yang baru-baru ini terjadi yaitu subprime property di Amerika, yang menggambarkan tingkat ketidak mampuan masyarakat Amerika untuk membayar rumah (tempat tinggal) mereka, akibat penentuan harga yang tak terkendali di negara tersebut. Sehingga berdampak massiv terhadap aspek primer masyarakatnya yakni hilangnya hak mendapatkan tanah untuk tempat tinggal mereka. Secara tidak langsung, ternyata idealisme kapitalisme telah menggilas hak-hak manusia terutama hak atas tanah.

Sisi ekstrim yang lain adalah kepemilikan tanah di negara sosialis, dimana pemilikan pribadi hampir seluruhnya telah dicabut dan dialihkan ke negara, dimana pemerintah bertindak sebagai pihak yang dipercayai oleh seluruh warga masyarakat. Pada akhirnya, sosialisme melibatkan pemilikan semua alat-alat produksi, termasuk di dalamnya tanah-tanah pertanian oleh negara dan menghilangkan milik swasta. Dalam masyarakat sosialis, hal yang menonjol adalah kolektivisme atau rasa kebersamaan, dimana alokasi produksi dan cara pendistribusian semua sumber-sumber ekonomi diatur oleh negara (Eldine Achyar, 2005). Selanjutnya, komunisme lebih bersifat gerakan ideologis yang juga mencoba mendobrak sistem kapitalisme. Komunisme adalah bentuk paling ekstrem dari sosialisme. Sementara dalam fasisme, asosiasi-asosiasi yang mencakup seluruh industri atau sindikat-sindikat pekerja mengoperasikan kegiatan produksi, pemerintah melakukan pengendalian dalam bidang produksi, sedangkan kekayaan dimiliki oleh pihak swasta.

Dalam ekonomi Islam, manusia tidaklah berada dalam kedudukan mendistribusikan sumber-sumber daya semaunya sendiri. Ada pembatasan yang serius berdasarkan ketetapan kitab suci Al-Qur`an dan Sunnah. Dalam Islam, kesejahteraan sosial dapat dimaksimalkan jika sumber daya ekonomi juga dialokasikan sedemikian rupa, dimana tidak seorang pun lebih baik dengan

(9)

menjadikan orang lain lebih buruk. Dalam konteks ini manusia tidak hanya sebagai makhluk sosial tetapi juga sebagai makhluk religius. Dalam hukum Islam tanah mati lebih dikenal dengan al-mawatä ‡•—”—– ‘—‹• ƒïluf (1986),al-mawat mempunyai dua arti. Pertama, sesuatu yang tidak mempunyai roh. Kedua, tanah yang tidakberpenduduk dan tanah yang tidak dimanfaatkan.

Hukum tanah di Indonesia memiliki fungsi sosial. Unsur sosial tersebut berupaya agar tidak terjadi akumulasi dan monopli tanah oleh segelintir orang. Negara berwenang membatasi individu maupun badan hukum dalam penguasaan tanah dalam jumlah besar, seperti dalam peraturan land reform UU No.56 tahun 1960 bahwa orang tidak boleh memiliki tanah lebih dari lima hektar (jawa). Namun sistem hukum tanah di Indonesia tampak berada ditengah dua ekstrim, yaitu hukum adat dan Islam disatu sisi dan hukum barat (kapitalis) di sisi ekstrim lainnya. Ini bersumber dari Burgerlijk Wetboek Belanda yang disusun berdasarkan Code Civil Perancis, yang dasar filosofisnya menganut individualistik-liberal (Syaiful Bahari, 2005).

”‹••‹’ ò ƒ•ƒŠ —•–—• ƒ•›ƒ–󛃕‰ •‡”‹•‰ †‹†‡•‰—•‰•ƒ• ‘Ž‡Š ’‡•‡”‹•–ƒŠ Indonesia dari masa ke masaseakan-akan hanya sebuah kalimat tanpa makna. Karena pada kenyataannya akses masyarakat miskin terutamaterhadap tanah sangat kecil, bahkan hilang akibat pengaturan pemerintah dalam sektor ini tidak mendukung grass root. Sementara itu, dipihak lain para pengembangmendapat dukungan yang lebih dari cukup yang justru untuk keperluan spekulasi dan komersil. Rupanya sistem demand & supply tanah yang ada, berlaku seperti halnya prinsip perekonomian yang berjalan saat ini. Sistem konvensional yang berprinsip mekanisme pasar (market mecanism) membawa dampak para spekulan tanah meraih keuntungan yang sangat besar. Dan disinilah gap pembangunan sosial dan ekonomi terjadi.

Di Indonesia, seluruh bumi, air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dalam wilayah RI sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa adalah bumi, air dan ruang angkasa bangsa Indonesia dan merupakan kekayaan Nasional. Dalam aplikasinya penguasaan hak akan tanah pada masyarakat harus melalui legalisasi hukum pertanahan, karena terkait dengan undang-undang yang menyatakan bahwa seluruh sumber daya alam beserta kandungannya adalah milik negara dengan merujuk Undang-undang Dasar 1945. Berdasarkan landasan inilah

(10)

kemudian, negara menentukan bagaimana dan siapa saja yang dapat memiliki dan menguasai tanah yang tersebar diseluruh wilayah negeri ini melalui mekanisme dan aturan yang berlaku.

Mekanisme itu tertuang dalam perundang-undangan hukum agraria Indonesia. Yang tentu saja didalamnya terdapat hasil elaborasi dan kolaborasi hukum adat, hukum agama serta hukum yang diberlakukan oleh pemerintah penjajah yang berkuasa saat itu. Sehingga produk hukum dan peraturan yang dikeluarkan atau dilaksanakanpun hingga saat ini memuat tiga komponen tersebut. Namun, sejatinya mekanisme ini digunakan dengan tujuan supaya seluruh rakyat/masyarakat mendapatkan kesejahteraan hidup jangka panjang dan dapat menikmati kehidupan sehari-harinya dengan laik. Sehingga dapat tercipta pemerataan kekayaan sekaligus pendapatan dengan adanya pemilikan hak atas tanah tersebut.

Disisi lain, pada kenyataannya tidak seluruh rakyat/masyarakat mendapatkan hak itu dengan selaiknya, bahkan mungkin lebih banyak masyarakat yang tidak mendapatkan hak tersebut. Hal ini terjadi akibat mekanisme perundang-undangan dan peraturan yang diberlakukan tidak condong dan tidak mendukung akan tujuan utama tadi. Sehingga, pada realitasnya menyebabkan terjadinya gap kepemilikan atau penguasaan hak atas tanah. Bahwa sebagian kecil masyarakat dapat menguasai sebagian besar hak atas tanah, tapi sebagian besar masyarakat justru hanya menguasai sebagian kecilnya saja atau bahkan tidak.

Salah satunya adalah rancangan undang-undang perubahan atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria (UUPA), khususnya Rancangan UU tentang Hak Milik atas Tanah dan rancangan UU tentang Pengambilalihan Lahan untuk Kepentingan Umum. Yang kemudian lahir Perpres No 36/2005 tentang Pengadaan Tanah bagi Pelaksanaan Pembangunan untuk Kepentingan Umum. Menurut sebagian pemerhati, hal ini justru memberi peluang untuk terjadinya penguasaan tanah oleh kelompok-kelompok tertentu, yang tentu saja manfaatnya hanya dirasakan oleh kelompok tersebut. Sedangkan, tujuan utama dirombaknya UUPA lama untuk di reformasi kearah yang lebih baik, justru menjadi beban hidup bagi masyarakat yang notabene kepemilikan tanahnya tak seberapa -jauh dari mencukupi kebutuhan dasar mereka harus dialihkan kepemilikannya

(11)

kepada negara atas nama kepentingan umum dan pembangunan, yang justru didominasi untuk kepentingan industri skala besar.

Kondisi-kondisi inilah yang mengharuskan lahirnya mekanisme atau aturan mengenai penguasaan/pemilikan hak atas tanah yang condong dan mendukung pada pemerataan dan kesejahteraan masyarakat. Kenyataan saat ini adalah penguasaan hak tanah ada pada negara baik yang sudah dikelola atau pun belum selama bertahun-tahun, hingga seseorang mau dan mampu membeli tanah tersebut, apakah untuk dikelola dan dimanfaatkan atau dibiarkan sekalipun.

Sehingga, pengejawantahan ide-ide yang ada dalam Undang-Undang Dasar 1945 belum terealisir sebagai upaya pencapaian tujuan yang dimaksud, yaitu pemerataan pendapatan dan kesejahteraan hidup masyarakat. Dalam hal inilah kita seharusnya mau menganalisa bagaimana praktik penguasaan atau pemilikan hak atas tanah yang dilaksanakan di Indonesia, yang memungkinkan kedua hal tersebut mengarahkan kondisi perekonomian masyarakat miskin Indonesia khususnya, mendapatkan kemakmuran dan kesejahteraan hidup.

Prinsip Pembangunan Ekonomi dalam Distribusi Tanah

Ilmu Ekonomi Pembangunan mempunyai ruang lingkup yang lebih luas, yang berbeda dengan pengertian ilmu ekonomi biasa. Selain mengupas cara-cara alokasi sumber daya produktif langka seefisien mungkin, juga memberikan perhatian pada mekanisme-mekanisme ekonomi, sosial, politik dan kelembagaan, baik di sektor swasta maupun yang ada di sektor publik.

Menurut ukuran ekonomi tradisional diartikan sebagai kapasitas dari sebuah perekonomian nasional yang bersifat statis dalam kurun waktu lama untuk:

1. Menciptakan dan mempertahankan kenaikan tahunan atas GDP atau GNP suatu negara.

2. Tingkat pertumbuhan pendapatan per kapita atau GNP per kapita masyarakat suatu negara.

3. Tingkat dan laju pertumbuhan GNP Riil.

4. Kemajuan struktur produksi dan penyerapan sumber daya manusia (employment)

Kondisi-kondisi inilah yang mendorong pengabaian pada aspek utama, yakni soal kemiskinan, pengangguran, dan ketimpangan distribusi pendapatan. Paling tidak

(12)

terdapat beberapa hal dalam prinsip ekonomi pembangunan ini yang menjunjung tinggi harkat dan penghidupan manusia secara utuh. Hal ini tercermin pada inti pembangunan ekonomi yakni;

1. Kecukupan (Sustenance) : Kemampuan untuk memenuhi Kebutuhan-Kebutuhan Dasar

2. Jati Diri (Self Esteem) : Menjadi Manusia Seutuhnya

3. Kebebasan (Freedom) : Kebebasan dari Sikap Menghamba = Kemampuan untuk Memilih

Secara derivatif prinsip diatas memberikan pemahaman lebih lanjut, bahwa:

1. Pembangunan ekonomi mengarah pada peningkatan ketersediaan serta perluasan distribusi berbagai macam barang kebutuhan hidup yang pokok, seperti; pangan, sandang, papan, kesehatan, pendidikan dan perlindungan keamanan.

2. Peningkatan Standar hidup yang tidak hanya peningkatan berupa pendapatan, penambahan penyediaan lapangan kerja, perbaikan kualitas pendidikan, serta peningkatan perhatian atas nilai-nilai kultural dan kemanusiaan untuk menumbuhkan jati diri bangsa yang bersangkutan.

3. Perluasan pilihan-pilihan ekonomis dan sosial bagi setiap individu serta bangsa secara keseluruhan, yakni dengan membebaskan mereka dari sikap menghamba dan ketergantungan, bukan hanya terhadap orang atau negara, namun juga terhadap setiap kekuatan yang berpotensi merendahkan nilai-nilai kemanusiaan mereka.

Prinsip-prinsip diatas memberi pemaknaan bahwa masyarakat baik secara individu maupun kolektif mempunyai hak utama untuk mendapat kemakmuran dan kesejahteraan secara ekonomi dalam kehidupannya. Dukungan negara menjadi ò™ƒŒ‹„ •‹ˆƒ›ƒŠó †ƒŽƒ• •‡•‰—’ƒ›ƒ•ƒ• •‡”–ƒ •‡”‡ƒŽ‹•ƒ•‹•ƒ• –—Œ—ƒ• †ƒ”‹ ’”‹••‹’ -prinsip tersebut.

Konsep Wakaf

Hal lain yang ditawarkan Islam dalam pengelolaan tanah milik Negara adalah konsep Wakaf. Dalam bahasa hukum kontemporer, wakaf berarti pemberian, dilakukan atas kehendak ahli waris dengan satu niat memenuhi panggilan ketaqwaan. Atau sebagai harta yang disumbangkan untuk berbagai tujuan

(13)

kemanusiaan, sekali dalam selamanya. Atau juga didefinisikan sebagai suatu tindakan penahanan dari penggunaan dan penyerahan asset tetap seseorang sebagai bentuk menifestasi kepatuhan terhadap agama, dimana orang lain dapat memanfaatkan atau menggunakan hasilnya untuk tujuan amal, sepanjang harta tersebut masih ada (M.A. Mannan, 2001). Bahkan Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia dalam putusan fatwanya tentang wakaf tunai memberikan pengertian bahwa, ò ƒ•ƒˆ ƒ†ƒŽƒŠ perbuatan hukum seseorang atau kelompok orang atau badan hukum yang memisahkan sebagian dari benda miliknya guna kepentingan ibadat atau keperluan umu• Žƒ‹••›ƒ •‡•—ƒ‹ †‡•‰ƒ• ƒŒƒ”ƒ• •Žƒ•ó †ƒ• ò ‡•†ƒ ™ƒ•ƒˆ ƒ†ƒŽƒŠ •‡‰ƒŽƒ „‡•†ƒá baik bergerak atau tidak bergerak, yang memiliki daya tahan yang tidak hanya sekali ’ƒ•ƒ‹ †ƒ• „‡”•‹Žƒ‹ •‡•—”—– ƒŒƒ”ƒ• •Žƒ•ó ( diambil dari: Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, Buku II, Bab I, Pasal 215, (1) dan (4).

Dengan demikian secara aplikatif, dalam hukum Islam, wakaf berarti menyerahkan suatu hak milik yang tahan lama (zatnya) kepada seseorang atau nadzir (penjaga wakaf) baik berupa perorangan maupun lembaga, dengan ketentuan bahwa hasilnya digunakan sesuai dengan syariat Islam. Harta yang telah diwakafkan keluar dari hak milik yang mewakafkan (wakif), dan bukan pula hak milik nadzir/lembaga pengelola wakaf tapi menjadi hak milik Allah yang harus dimanfaatkan untuk kesejahteraan masyarakat. Wakaf memiliki fungsi sosial, dimana Allah memberi kesempatan kepada yang kaya untuk menyantuni yang miskin, yang cerdas membimbing yang bodoh dan yang kuat menolong yang lemah. Imam Dahlawi berkata, wakaf memiliki keistimewaan yang tidak dimiliki oleh jenis sedekah yang lainnya. Dimana infak yang diberikan, berbentuk paten dan bertahan lama, sehingga dapat dimanfaatkan secara terus menerus. Dengan demikian sasarannya bukan sekedar orang fakir dan miskin, namun juga untuk kepentingan publik dan masyarakat luas.

Di Indonesia, wakaf, pada umumnya berupa benda-benda konsumtif, bukan barang-barang yang produktif (Muhammad Daud Ali, 1988). Oleh karenanya sering terjadi masalah mengenai biaya pemeliharaan/perawatan.Namun lembaga perwakafan di Indonesia saat ini telah mengalami kemajuan di berbagai hal, baik itu dari objek harta, dari segi legalitas maupun manajemennya. Seperti saat ini telah berdiri suatu badan yang mengkoordinir segala macam bentuk perwakafan yang akan

(14)

dilaksanakan. Hingga Undang-undang (UU) Wakaf untuk pengaturannya. Melalui badan ini juga diharapkan perwakafan di Indonesia mampu berkembang lebih baik lagi. Terutama dalam melakukan pembinaan, pengawasan nadzir atau pengelolaan wakaf itu sendiri. Kementerian Agama RI telah membuat satu divisi, khusus tentang Pengembangan Wakaf untuk masyarakat muslim Indonesia, yang disebut dengan Badan Wakaf Indonesia (BWI). Keberadaan BWI adalah melaksanakan pembinaan yang intensif bagi para pengelola wakaf di seluruh Indonesia. Sekaligus menjadi lembaga pengontrol bagi para pengelola wakaf yang ada di Indonesia.

Kehadirannya akan menjadi lembaga independen dan dijalankan secara profesional, dimana disarankan agar BWI diisi oleh hanya orang-orang profesional dan struktur organisasinya tidak terlalu gemuk. Atau paling tidak, sekitar 20 hingga 30 orang saja. Selain itu, dikatakan bahwa pembentukan Badan Wakaf Indonesia (BWI) ini merupakan salah satu amanah penting dari UU Wakaf.

Di antara tugas Badan Wakaf Indonesia sendiri adalah melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap pengelola wakaf. Yang mana diharapkan pengelola wakaf yang berbentuk perorangan, lembaga atau badan usaha akan mampu mengelolanya dengan baik dan membuat wakaf tersebut dapat memberikan manfaat sosial lebih besar dibandingkan pada masa lalu dan sekarang. Sebab, sekarang ini wakaf tak sekadar tanah milik (harta tidak bergerak) tetapi juga terdapat wakaf benda bergerak.

Dengan demikian, keberadaan Badan Wakaf Indonesia akan bermanfaat dalam hal melaksanakan pembinaan yang intensif bagi para pengelola wakaf di seluruh Indonesia. Selain itu lembaga ini pun akan menjadi lembaga pengontrol bagi para pengelola wakaf yang ada di Indonesia. Karena selama ini, tak ada management control sama sekali terhadap para pengelola wakaf. Buktinya, begitu banyak kasus di lapangan yang memperlihatkan para nadzîr baik perorangan maupun kelembagaan tak bertanggung jawab atas benda wakaf yang dikelolanya.

Sisi penting lainnya adalah tentang bagaimana jika pada suatu saat benda yang diwakafkan berubah peruntukannya. Misalnya, wãqif (pemberi wakaf) menyatakan „ƒŠ™ƒ •—ƒ–— „‡•†ƒ ™ƒ•ƒˆ«•‡’‡”–‹ •‡•‘ŽƒŠ«•ƒ”‡•ƒ ƒ†ƒ ’‡”—„ƒŠƒ• –ƒ–ƒ ”—ƒ•‰ •‘–ƒ ‹–— harus tergusur atau dipindahkan. Untuk memberikan persetujuan memungkinkan atau tidaknya perubahan peruntukan ini, harus ada lembaga yang memiliki otoritas.

(15)

Karena selama ini, masalah perubahan peruntukan benda wakaf kerap tak terselesaikan.

KESIMPULAN

Negara memiliki kemampuan untuk mengubah dan menciptakan aturan dan kebijakan distribusi tanah (land) yang menyejahterakan masyarakat. Karena sistem distribusi merupakan bagian kegiatan ekonomi yang mempunyai pengaruh kuat terhadap pemerataan kesejahteraan masyarakat. Distribusi menurut Islam bahkan •‡”—’ƒ•ƒ• ƒ–—”ƒ• ›ƒ•‰ –‹†ƒ• †ƒ’ƒ– †‹’‹•ƒŠ•ƒ• †ƒ”‹ •‡–‡•–—ƒ• •ƒ“ƒ•Š‹† •›ƒ”ï‹á›ƒ•g didalamnya terdapat aspek distribusi kekayaan yang menjadi wajib diselenggarakan demi keamanan ekonomi masyarakat. Penataan kepemilikan tanah bagi masyarakat tidak mampu, merupakan tugas penting pemerintah dalam rangka melangsungkan hak hidup masing-masing individu masyarakat tersebut.

REFERENSI

Abdillah. 2007. Perilaku Konsumen dalam Perspektif Syariah, Jurnal Ekonomi dan Bisnis, vol. 6 No. 2 Juli 2007

Baqir Ashshadr Iqtishoduna2008. (terj), Pen: Zahra, Jakarta, hal. 434 Dian Masyita Juhelmi, http//www.tazkiaonline.com/

Eldine Achyar. 2005. Prinsip-prinsip ekonomi Islam, (http//.www.uika-bogor.ac.id/jur07.htm)

Ermawati Usman. 2007. Perilaku Produsen dalam Etika Bisnis Islam; (Suatu Upaya Perlindungan Konsumen)á ƒŽ—ã —”•ƒŽ –—†‹ •Žƒ•‹•ƒ ò óá ˜‘Ž. 4, no.3 hal. 210

Gunawan Wiradi. 1996. Jangan Perlakukan Tanah sebagai Komoditiá —”•ƒŽ ò •ƒŽ‹•‹• ‘•‹ƒŽó ᇆ‹•‹u

http://www.ekonomirakyat.org/edisi2/artikel, Mubyarto. 2002.Etika Bisnis Pancasila, (Artikel-Th.1-No.2) April

Lincolin Arsyad. 2004. Ekonomi Pembangunan, UGM Yogya: Bag. Penerbitan STIE YKPN, edisi-4, cet-II, hal. 113

‘—‹• ƒïŽ—ˆä s{zxä Al-Munjid: Fiy al-Lughah wa al- •, (Beirut: Dar al-Musyriq), hlm. 779

(16)

M. Nejatullah Siddiqi. 1978. •Ž¢• •¢ ƒ¢ƒ”‹›ƒŠ-e-Milkiyat, (Delh‹á ƒ”•ƒœÄ ƒ•–ƒ„ƒŠ Islami)., pp 441-454

M. Nejatullah Siddiqi. 1988. The Guarantee of A Minimum Level of Living in Islamic State; Distributive Justice and Need Fulfilment in an Islamic Economy (ed). Munawar iqbal, (Leicester, U.K, The Islamic Foundation), Islamic Economic Series-13, hal 261

M.A. Mannan. 2001. Sertifikat Wakaf Tunai; Sebuah Inovasi Instrumen Keuangan Islam, (Jakarta: Ciber, PkttI-UI, terjmh), hal.29

Metwally, M.M. 1995. Teori dan Model Ekonomi Islam, (Jakarta: PT. Bangkit Daya Insana), cet. I, hal. 26

Mubyarto. 1988. Islam dan Kemiskinan, Penerbit: Pustaka, Bandung, hal. 3

Muhammmad Daud Ali. 1988.Sistem Ekonomi Islam, Zakat dan Wakaf, Jakarta: UI Press, hal. 96

Robert L Heilbroner. 1986. Tokoh-Tokoh Besar Pemikir Ekonomi, UI Press

ƒ››‹† „—Ž  ƒ—†—†‹ dan Hasan al- —…ƒ„‹ †ƒŽƒ• ä ‡Œƒ–—ŽŽƒŠ ‹††‹“‹ä s{yzä •Ž¢• •¢ ƒ¢ƒ”‹›ƒŠ-e-Milkiyatá ‡ŽŠ‹á ƒ”•ƒœÄ ƒ•–ƒ„ƒŠ •Žƒ•‹ ä

Syahyuti. 2006. Forum Penelitian Agro Ekonomi, Vol.24 no. 1 Syaiful Bahari. 2005. Negara dan Hak Rakyat Atas Tanah, Kompas.

Referensi

Dokumen terkait

Ketentuan di Aceh bahwa zakat dikelola resmi oleh Lembaga Baitul Mal (Pasal 191 UUPA), dan zakat sebagai PAD (Pasal 180 UUPA) serta zakat dapat mengurangi jumlah pembayaran

Pada jendela program Microsoft Word, dapat kita pilih menu File New, Pada jendela program Microsoft Word, dapat kita pilih menu File New, maka setelah kita

Alat Pemberi Isyarat Lalu Lintas adalah perangkat elektronik yang menggunakan isyarat lampu yang dapat dilengkapi dengan isyarat bunyi untuk mengatur Lalu Lintas orang

dasa~ilya ~nempunyai beberapa tujoan yang hendak dicapai. Secara ririci liasil yalig dicapai dalam penyululiaya~~g berbeutuk dialog. inte~.ah?if ini adalali sebagai berikut

Persoalan terorisme menjadi semakin serius dikarenakan pada era globalisasi ini berbagai media yang tersedia telah menghasilkan formulasi serangan terorisme yang

Di kabupaten Ponorogo luas tanaman tembakau mencapai 503 hektar yang tersebut di 10 kecamatan dengan 4 jenis tembakau yang ditanam oleh petani tembakau di musim

Bahwa terdakwa, Pian dan saksi Andi Zainuddin Bin Sultan Alias Attana Ikhsan pada waktu dan tempat sebagaimana tersebut diatas melakukan penebangan satu (1) pohon kayu

Manfaat Teoritis Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah referensi yang dapat memberikan sumbangan pengetahuan untuk kepentingan pendidikan, khususnya terkait pada