• Tidak ada hasil yang ditemukan

Post 6d4f1a4f4097fdd1

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Post 6d4f1a4f4097fdd1"

Copied!
100
0
0

Teks penuh

(1)

NILAI-NILAI PENDIDIKAN ISLAM

DALAM RITUAL TINGKEPAN

DI DUSUN GINTUNGAN DESA BUTUH

KEC. TENGARAN KAB. SEMARANG

TAHUN 2011

SKRIPSI

Diajukan untuk Memperoleh Gelar

Sarjana Pendidikan Islam

Oleh :

MUNAFIAH

NIM. 11107040

JURUSAN TARBIYAH

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI

(2)
(3)
(4)
(5)
(6)

MOTTO

Begitu sulit untuk meraih cita-cita, tapi kita sadar

apa yang kita lakukan terkadang jauh apa yang diharapkan.

Maka dari itu tidak mudah putus asa adalah kuncinya.

Dan berfikirlah bahwa hari esok jauh lebih baik dari hari ini

(7)

PERSEMBAHAN

Skripsi ini penulis persembahkan kepada: Tuhan Yang Maha Esa

Untuk Bapak dan Ibuku Nurhadi dan Jumiah yang slalu memberikan do’a Adikku Muhammad mahfudz

Suamiku tercinta Subhan Sabigh yang selalu memotifasi dan menemaniku Buah hatiku tercinta Muhammad Zidan Ardiansyah

Dosen pembimbingku Drs. Djuz’an, M.Hum

(8)

KATA PENGANTAR

Bismillahir rahmanir rahim

Segala puji bagi Allah SWT, Tuhan semesta alam pencipta langit dan bumi beserta isinya yang telah memberikan segala rahmat, taufik dan hidayah-Nya kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini.

Shalawat serta salam penulis sampaikan kepada pemimpin umat dan penutup para Rasul, Muhammad SAW yang telah membimbing dan mendidik manusia dari masa kegelapan menuju masa yang sangat terang benderang dengan syariatnya yang lurus.

Skripsi yang berjudul “Nilai-nilai Pendidikan Islam dalam Ritual Tingkepan di Dusun Gintungan Desa Butuh Kecamatan Tengaran Kabupaten Semarang Tahun 2011” ini, diajukan untuk memperoleh gelar Sarjana Pendidikan Islam( S.PdI ) pada Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri ( STAIN ) Salatiga.

Dalam skripsi ini, penulis akan memaparkan Bagaimana ritual tingkepan yang ada di Dusun Gintungan Desa Butuh, Kec. Tengaran, Kab. Semarang dan Bagaimana nilai-nilai pendidikan Islam dalam ritual tingkepan di masyarakat Dusun Gintungan Desa Butuh, Kec. Tengaran, Kab. Semarang.

Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih kepada :

1. Yang terhormat Ketua STAIN Salatiga Bpk. DR.Imam Sutomo, M.Ag

2. Yang terhormat Bpk. Drs. Djuz’an, M.Hum selaku Dosen Pembimbing yang telah berkenan membimbing penulis dalam penulisan skripsi ini.

3. Bapak dan Ibuku Nurhadi dan Jumiah yang slalu memberikan do’a yang telah mengasuh, mendidik, membimbing serta memotivasi kepada penulis, baik moral maupun spiritual

(9)

5. Mas Eko Haryanto atas Bimbingan dan arahan dalam penulisan skripsi ini, 6. Pihak-pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan penulisan

skripsi ini, khususnya Mbak Umi Hani’ah dan si kecil Zahra, Ida, Hidayah dan Tri Ningsih serta Teman-teman seperjuangan yang tidak tersebut namanya satu persatu.

Semoga segala amal yang telah diperbuat akan menjadi amal saleh, yang akan mendaptakan pahala yang setimpal dari Allah SWT, kelak dikemudian hari.

Akhirnya, penulis berharap semoga skripsi ini bermanfaat.Amin.ya rabbal ‘alamin

Salatiga, 16 September 2011 Penulis

(10)

ABSTRAKSI

Munafiah .2011. Nilai-nilai Pendidikan Islam dalam Ritual Tingkepan di Dusun Gintungan Desa Butuh Kecamatan Tengaran Kabupaten Semarang.

Skripsi. Jurusan Tarbiyah. Program Studi Pendidikan Agama Islam. Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri Salatiga.

Kata kunci: Nilai-nilai Pendidikan Islam dalam Ritual Tingkepan

Penelitian ini membahas tentang Nilai-nilai Pendidikan Islam dalam Ritual Tingkepan di Dusun Gintungan Desa Butuh Kecamatan Tengaran Kabupaten Semarang. Rumusan masalah yang dikaji dalam penelitian ini adalah Bagaimana ritual tingkepan yang ada di lingkungan masyarakat di Dusun Gintungan Desa Butuh, Tengaran-Semarang dan Bagaimana nilai-nilai pendidikan Islam dalam ritual tingkepan di Dusun Gintungan Desa Butuh, Tengaran, Semarang.

Kehadiran peneliti di lapangan sangat penting sekali mengingat skripsi ini adalah kualitatif. peneliti bertindak langsung sebagai instrumen lengsung dan sebagai pengumpul data dari hasil observasi yang mendalam serta terlibat aktif dalam penelitian. Data yang berbentuk kata-kata diambil dari para informan / responden pada waktu mereka diwawancarai. Dengan kata lain data-data tersebut berupa keterangan dari para informan, sedangkan data tambahan berupa dokumen. Keseluruhan data tersebut selain wawancara diperoleh dari observasi dan dokumentasi. Analisa data dilakukan dengan cara menelaah data yang ada, lalu mengadakan reduksi data, penyajian data, menarik kesimpulan dan tahap akhir dari ananlisa data ini adalah mengadakan keabsahan data dengan menggunakan ketekunan pengamatan triangulasi.

Dari penelitian yang dilaksanakan diperoleh hasil penelitian sebagai berikut: Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pemahaman masyarakat terhadap tradisi Tingkepan di Dusun Gintungan Desa Butuh relatif normal, dengan adanya kesadaran yang tinggi dan keyakinan mereka semua atau pemahaman masyarakat. Tradisi Tinkepan menurut warga masyarakat Butuh banyak sekali berkah dan manfaatnya bagi perubahan hidup masyarakat juga merupakan sarana untuk bersyukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas karunia, rejeki dan keselamatan kepada masyarakat. Nilai pendidikan dalam tradisi Tingkepan adalah Sebagai sarana mutlak agar bakal bayi dan ibu yang hamil senantiasa terhindar dari hal-hal yang tidak diinginkan dengan harapan sehat dan selamat serta Mendoa’akan si bayi agar lahir dengan sehat tanpa cacat dan agar mempunyai masa depan yang baik.

(11)

nilai-nilai yang berlaku seperti tidak menyakiti binatang pada waktu hamil dan menghindari pantangan-pantangan untuk ibu hamil

(12)

DAFTAR INFORMAN

1. Bapak SubadiKepala Desa Butuh 2. Bapak Semo Tokoh Pendidikan 3. Bapak Minto Tokoh Pendidikan 4. Bapak Damsuri Tokoh Agama 5. Bapak Subadi Tokoh Agama

6. Bapak Wiryotondo Tokoh Pendidikan 7. Bapak Warno Tokoh Agama

8. Bapak H. Jumeri Tokoh Agama 9. Bapak Nurhadi tokoh Pendidikan 10. Ibu Rif’ah tokoh Pendidikan 11. Bapak Jamsuri Kaurs Kesra

(13)

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

LEMBAR BERLOGO ... ii

HALAMAN PERSETUJUAN ... iii

HALAMAN PENGESAHAN ... iv

HALAMAN PERNYATAAN ... v

HALAMAN MOTTO ... vi

HALAMAN PERSEMBAHAN ... vii

KATA PENGANTAR ... viii

ABSTRAK ... x

DAFTAR INFORMAN ... xii

DAFTAR ISI ... xiii

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Rumusan Masalah ... 6

C. Tujuan Penelitian ... 6

D. Kegunaan Penelitian ... 7

E. Penegasan Istilah ... 7

F. Metode Penelitian ... 8

1. Pendekatan dan Jenis Penelitian ... 8

2. Kehadiran Peneliti ... 9

3. Lokasi Penelitian ... 10

4. Sumber Data ... 10

5. Prosedur Pengumpulan Data ... 11

(14)

8. Tahap-tahap Penelitian ... 15

G. Sistematika Penulisan ... 16

BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Korelasi Budaya Jawa dan Agama Islam 1. Islam dalam Budaya Jawa ………18

2. Proses Akulturasi Budaya jawa dan Islam ………. …..20

3. Interelasi Nilai Budaya Jawa dan Islam dalam aspek kepercayaan dan ritual ………. ……….25

B. Tradisi Tingkeban Dalam Masyarakat Jawa 1. Tradisi Tingkepan Sebagai Slametan Upacara Kandungan……...28

a. Deskripsi Slametan ………...28

b. Pengertian Tradisi Tingkepan ………...30

c. Waktu Penyelenggaraan Tradisi Tingkepan ………...31

d. Perlengkapan Tradisi Tingkepan ………32

e. Rangkaian Upacara Tingkepan ………...34

2. Makna Tradisi Tingkepan Perspektif Masyarakat Jawa a. Tujuan Pelaksanaan Tradisi Tingkepan ………. ……36

b. Tradisi Tingkepan merupakan suatu upacara ritual adat Jawa ……… 37

c. Tradisi Tingkepan Sebagai Upacara Menyongsong Lahirnya Generasi Penerus……….38

(15)

2. Batasan Pendidikan Islam………... 41

3. Tujuan Pendidikan Islam……….... 42

4. Unsur-unsur Pendidikan Islam……… 42

BAB III PAPARAN DATA DAN TEMUAN PENELITIAN A. Paparan Data Gambaran Umum Lokasi ………... 45

B. Temuan Penelitian 1. Deskripsi Slametan ………..………... 47

2. Pengertian Tradisi Tingkepan ………..48

3. Waktu Penyelenggaraan Tradisi Tingkepan ……… 49

4. Perlengkapan Tradisi Tingkepan ………. 49

5. Rangkaian Upacara Tingkepan ………...52

6. Makna Tradisi Tingkepan Perspektif Masyarakat Jawa ……….. 57

BAB IV PEMBAHASAN ………..60

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan ……….. 77

B. Saran ………. 81 DAFTAR PUSTAKA

(16)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Masyarakat jawa mempunyai beberapa aturan yang berkenaan dengan masalah kekeluargaan dalam rangka menyongsong lahirnya generasi penerus. Diantara aturan itu sedikit banyak mengikuti aturan yang diajarkan dalam Islam dan ajaran yang dibawa agama Hindu dan Budha. Hal itu wajar saja, karena jika kita tengok sejarah masyarakat jawa pada masa silam sebelum Islam datang ke pulau Jawa, masyarakat jawa telah terbiasa dalam kehidupan yang mengikuti ajaran-ajaran terdahulu, yaitu animisme dan dinamisme yang dibawa oleh agama Hindu dan Budha. Karena Islam datang setelah agama Hindu dan Budha, maka yang diterapkan oleh para wali yang membawa risalah tersebut lebih banyak mengikuti arus dari pada melawan arus.

Pengislaman di Jawa terjadi secara damai karena metode yang dipakai oleh para wali dalam berdakwah menggunakan metode yang sangat akomodatif dan lentur, yakni dengan menggunakan unsur-unsur budaya lama (Hinduisme dan Budhisme), tetapi secara tidak langsung memasukkan nilai-nilai Islam ke dalam unsur-unsur lama itu.

(17)

“Pembakaran kemenyan yang semula menjadi sarana dalam penyembahan terhadap para dewa, tetap dipakai oleh Sunan Kalijaga dengan pemahaman sebatas sebagai pengharum ruangan ketika seorang muslim berdoa sehingga doa akan bisa khusyuk, masih banyak lagi upaya mengambil unsur-unsur budaya lama dengan memasukkan nilai-nilai ajaran Islam”.

(18)

wali masih berupaya meninggalkan corak Islam yang sinkretis,kejawaan, ke-Hindu-Budha-an.

Secara garis besar budaya memiliki ciri khas yang lentur dan terbuka. Walaupun suatu saat terpengaruh unsur kebudayaan lain, tetapi kebudayaan jawa masih dapat dipertahankan keasliannya. Dengan demikian inti budaya jawa tidak larut dalam Hinduisme dan budhisme, tetapi justru unsur duabudaya itu dapat “dijawakan” hal ini terjadi karena nilai budaya jawa pra Hindu yang animistis dan magis sejalan dengan Hinduisme dan budhisme yang bercorak religius magis. Namun suatu budaya jawa yang animistis magis bertemu dengan unsure budaya Islam yang monotheistis, terjadilah pergumulan yang menghasilkan jawaIslam. Di kalangan jawa Islam inilah tumbuh dan berkembangnya perpaduan budaya jawa Islam, yang memiliki bagian luar budaya itu menggunakan simbol Islam, tetapi ruh budayanya adalah jawa sinkretis (Islam digambarkan sebagai wadah, sedangkan isinya adalah jawa).

(19)

setiap pelaksanaannya. Namun, di masyarakat Jawa banyak sekali yang melaksanakan upacara ini karena sudah menjadi suatu adat yang harus dilaksanakan dalam kehidupan yang dijalani. Menurut Sutrisno Sastro Utomo (2005:3), “Upacara sebelum kelahiran dalam masa mengandung tujuh bulan biasa disebut dengan “tingkepan”. Dan dalam tradisi Tingkepan ini masih ada perbedaan-perbedaan antara daerah yang satu dengan daerah yang lain karena intensitas pengaruh budaya luar antara daerah yang satu dengan daerah yang lain berbeda”.Pada zaman dahulu perbedaan itu tidak saja terlihat antar daerah tetapi juga antara kelompok masyarakat itu sendiri.

(20)

masyarakat yang aman, tentram dan sejahtera. Sama halnya dengan tradisi Tingkepan yang merupakan bagian upacara adat jawa yang masih berlaku pada masyarakat Gintungan. Hal tersebut adalah salah satu contoh tradisi kebudayaan yang masih berlaku dan berkembang di tengah-tengah masyarakat. Mereka yakin dengan melakukan ritual atau tradisi ini akan terhindar dari celaka dan akan menciptakan sikap yang lebih lemah lembut, kehati-hatian dan salah satu media untuk mendekatkan diri pada Allah SWT dengan selalu bersyukur atas nikmat-Nya.

(21)

Maka peneliti tertarik ingin mengetahui lebih jauh apa yang melatar belakangi kebiasaan atau tradisi Tingkepansehingga dilakukan oleh masyarakat Gintungan, Sehingga peneliti mengambil judul:

“ Nilai-nilai Pendidikan Islam Dalam Ritual Tingkepan di Dusun

Gintungan Desa Butuh, Kec. Tengaran, Kab. Semarang Tahun

2011”

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang penulis kemukakan di atas maka yang menjadi topik permasalahan ini dapat dirumuskan sebagai berikut: 1. Bagaimana ritual tingkepan yang ada di Dusun Gintungan Desa Butuh,

Kec. Tengaran, Kab. Semarang?

2. Bagaimana nilai-nilai pendidikan Islam dalam ritual tingkepan di masyarakat Dusun Gintungan Desa Butuh, Kec. Tengaran, Kab. Semarang?

C. Tujuan Penelitian

Penelitian ini secara umum bertujuan sebagai berikut:

1 Untuk mengetahui bentuk ritual tingkepan yang ada di masyarakat Dusun Gintungan Desa Butuh, Kec. Tengaran, Kab. Semarang 2 Untuk mengetahui nilai-nilai pendidikan Islam dalam ritual

(22)

D. Kegunaan Penelitian

Dari hasil penelitian, diharapkan nantinya dapat berguna yaitu sebagai berikut:

1. Bagi pemerintah, hasil penelitian ini dapat berguna untuk melestarikan nilai-nilai budaya yang terdapat di Indonesia.

2. Untuk masyarakat, sebagai sumbangan informasi bagi semua lapisan masyarkat agar tetap menjaga tradisi dan adat istiadat peninggalan orang-orang Jawa yang ada sampai saat ini.

3. Bagi STAIN Salatiga, untuk memperkaya perbendaharaan perpustakan di Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Salatiga.

4. Bagi peneliti, sebagai bahan masukan untuk mengembangkan wawasan dan bahan dokumentasi untuk penelitian lebih lanjut.

E. Penegasan Istilah

Untuk menghindari kesalahpahaman, penulis akan mengartikan beberapa kata yaitu:

1. Nilai adalah sifat-sifat (hal-hal) yg penting atau berguna bagi kemanusiaan

(23)

maupun tidak langsung untuk membantu anak dalam perkembanganya untuk mencapai kedewasaanya”.

3. Tingkepan adalah diselenggarakanya upacara slametan pada masa kehamilan seorang ibu hamil pada usia tujuh bulan (Cliford Geertz,1981:48)

Jadi yang di maksud Nilai-nilai Pendidikan Islam dalam ritual tingkepan adalah nilai-nilai Pendidikan yang Islami yang terkandung dalam tingkepan. Tingkepan itu sendiri seorang ibu akan merasa tenang dan bahagia menunggu si jabang bayi lahir tanpa rasa takut, was-was dan gelisah.

F. Metode Penelitian

Metode penelitian di bagi menjadi tujuh tahap, yaitu: 1. Pendekatan dan Jenis Penelitian

Pada penelitian ini penulis menitikberatkan pada “Nilai-nilai pendidikan Islam dalam ritual tingkepan di masyarakat Dusun Gintungan Desa Butuh, Kec. Tengaran, Kab. Semarang”, dengan menggunakan jenis pendekatan kualitatif. Dengan demikian, “Pendekatan kualitatif adalah jenis penelitian yang menghasilkan penemuan-penemuan yang tidak dicapai (diperoleh) dengan menggunakan prosedur-prosedur statistik atau dengan cara-cara lain dari kualifikasi (pengukuran)”(Djuanidi Ghani,1997:11).

(24)

Kec. Tengaran, Kab. Semarang” diperlukan pengamatan yang mendalam. Oleh karena itu, kegiatan tersebut melalui pendekatan kualitatif. Adapun jenis penelitian yang digunakan oleh penulis adalah deskriptif. Menurut sumadi Suryabrata (1998:19), ” Penelitian deskriptif adalah penelitian yang bermaksud untuk membuat pencandraan (uraian, paparan) mengenai situasi kejadian-kejadian”. Sedangkan tujuan penelitian deskriptif menurut Husain Umar (1999:29), ” Tujuan penelitian deskriptif adalah untuk menggambarkan sifat sesuatu yang tengah berlangsung pada saat researh dilakukan dan untuk memeriksa sebab-sebab dari sesuatu gejala tertentu”.

Berdasarkan pendapat diatas, pendekatan kaulitatif ini dimaksudkan untuk menjelaskan peristiwa atau kejadian yang ada pada saat penelitian berlangsung, yaitu tentang ” Nilai-nilai pendidikan Islam dalam ritual tingkepan di masyarakat Dusun Gintungan Desa Butuh, Kec. Tengaran, Kab. Semarang”.

2. Kehadiran Peneliti

(25)

3. Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Dusun Gintungan Desa Butuh, Kecamatan Tengaran, Kab. Semarang, Jawa Tengah, Sebuah desa yang sebagian besar penduduknya bermata pencaharian sebagai petani dan pedagang. Uniknya para warga masih melestarikan adat Jawa, hal ini juga menjadi alasan penulis untuk mengadakan penelitian di desa tersebut.

4. Sumber Data

Menurut Lofland yang dikutip oleh Lexy Moleong (2000:112), ” Sumber data dalam penelitian kualitatif ialah kata-kata dan tindakan, selebihnya adalah data tambahan seperti dokumen dan lain-lain”. Data dalam penelitian ini adalah semua data atau informasi yang diperoleh dari informan yang dianggap penting, selain itu data juga dihasilkan dari dokumentasi yang menunjang. Adapun yang digunakan dalam penelitian ini adalah:

a. Kata-kata atau Tindakan

Data yang berbentuk kata-kata diambil dari para informan / responden pada waktu mereka diwawancarai. Dengan kata lain data-data tersebut berupa keterangan dari para informan dari beberapa pihak diantaranya: Pejabat desa, Tokoh Agama dan masyarkat yang penulis anggap mampu untuk memberikan keterangan yang relevan.

(26)

Data yang berbentuk tulisan diperoleh dari pejabat desa dan dokumen-dokumen lain yang tentunya masih berkaitan dengan subjek penelitian.

c. Foto

Dalam penelitian yang telah dilakukan oleh peneliti diperoleh beberapa foto tentang ” Ritual tingkepan di masyarakat Dusun Gintungan Desa Butuh, Kec. Tengaran, Kab. Semarang”. 5. Prosedur Pengumpulan Data

Dalam rangka agar sebuah kajian ilmiah dapat disajikan secara sistematis, maka langkah pertama yang perlu dilakukan adalah penentuan seperangkat metode yang sesuai dengan objek dan karakteristik materal yang diangkat. Hal ini dimaksudkan agar sebuah metode penelitian rasional dan terarah maka peneliti menggunakan teknik-teknik pengumpulan data seperti yang tersebut di bawah ini: a. Observasi

(27)

Menurut Hadari Nawawi (1990:100), “Observasi biasa diartikan sebagai pengamatan dan percatatan secara sisitematik terhadap gejala yang tampak pada obyek penelitian”. Penulis berusaha mengamati dan mendengarkan dalam rangka memahami, mencari Jawab, mencari bukti terhadap fenomena sosial-keagamaan (perilaku, kejadian-kejadian, keadaan, benda dan simbol-simbol tertentu) selama beberapa waktu tanpa mempengaruhi fenomena yang diobservasi dengan mencatat, merekam, memotret fenomena tersebut guna penemuan data analisis. Metode observasi digunakan untuk mengamati Nilai-nilai pendidikan Islam dalam ritual tingkepan di masyarakat Dusun Gintungan Desa Butuh, Kec. Tengaran, Kab. Semarang.

b. Wawancara atau Interview

(28)

digunakan untuk menggali informasi tentang Nilai-nilai pendidikan Islam dalam ritual tingkepan di masyarakat Dusun Gintungan Desa Butuh, Kec. Tengaran, Kab. Semarang dari peneliti terhadap perangkat desa, para sesepuh dan masyarakat setempat

c. Dokumen

Dokumen terdiri dari kata-kata dan gambar yang telah direkam tanpa campur tangan pihak peneliti. Dokumen tersebut tersedia dalam bentuk tulisan, catatan, suara dan gambar (Cristine daymon,2008:344)

Metode ini digunakan untuk lebih memperluas pengamatan dan pengumpulan data terhadap sesuatu yang diselidiki oleh peneliti.

6. Analisis Data

Menurut Imam Suprayogo dan Tobroni (2001:192), “Kegiatan analisis data selama pengumpulan data dapat dimulai setelah peneliti memahami fenomena sosial yang sedang diteliti dan setelah mengumpulkan data yang dapat dianalisis”. Kegiatan-kegiatan analisis selama penulis mengumpulkan data meliputi:

a. Menetapkan fokus penelitian

b. Penyusunan temuan-temuan sementara berdasarkan data yang telah terkumpul

(29)

d. Pengembangan pertanyaan-pertanyaan analitik dalam rangka pengumpulan data berikutnya; dan

e. Penetapan sasaran-sasaran pengumpulan data berikutnya.

Sedangkan Menurut Noeng Muhadjir (1996:104) mengatakan: “Analisis data merupakan upaya untuk mencapai dan menata

secara sistematis catatan hasil observasi, wawancara dan lainya. Untuk meningkatkan pemahaman penelitian tentang kasus yang diteliti dan menyajikanya sebagi temuan bagi orang lain. Sedangkan untuk meningkatkan pemahaman tersebut, analisis perlu dilanjutkan dengan berupaya mancari makna”.

Setelah data terkumpul maka selanjutnya adalah tahap menganalisis data, sebagai tahap akhir suatu penelitian maka penulis menggunakan metode deskriptif yaitu dengan cara data yang dikumpulkan berupa kata-kata, gambar dan bukan angka-angka, hal ini disebabkan oleh adanya penerapan metode kualitatif. Selain itu, semua yang dikumpulkan berkemungkinan menjadi kunci terhadap apa yang sudah diteliti. Jadi, ” Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah reduksi data, penyajian data serta menarik kesimpulan (verifikasi)” (Milles, 1992:16-18).

(30)

7. Pengecekan Keabsahan Data

Untuk Keabsahan data dalam penelitian ini ditentukan dalam menggunakan Kriteria kreadibilitas. Hal ini dimaksudkan untuk membuktikan bahwa apa yang berhasil dikumpulkan sesuai dengan kenyataan yang ada dalam latar penelitian.

8. Tahap-tahap Penelitian

Menurut Lexy J. Moloeng (2009:127-151) Tahap-tahap penelitian yang digunakan oleh peneliti sebagai berikut:

a. Tahap pra lapangan

1) Mengajukan judul penelitian 2) Menyusun proposal penelitian

3) Konsultasi penelitian kepada pembimbing b. Tahap pekerjaan lapangan, yang meliputi:

1) Persiapan diri untuk memasuki lapangan penelitian

2) Pengumpulan data atau informasi yang terkait dengan fokus penelitian

3) Pencatatan data yang telah dikumpulkan c. Tahap analisis data, meliputi kegiatan:

(31)

G. Sistematika Penulisan

Dalam sistem pembahasan penulisan skripsi ini, penulis mengajukan pembahasan dari beberapa bab yang berisi tentang keterkaitan tentang studi kasus yang penulis teliti, penulis memberikan gambaran sebagai berikut:

Adapun pembahasan dalam skripsi ini: Pada BAB I berisi Pendahuluan, yang memuat: Latar Belakang Masalah, Rumusan Masalah, Tujuan Penelitian, Kegunaan Penelitian, Penegasan Istilah dan Metode Penelitian. Metode penelitian berisi: Pendekatan dan Jenis Penelitian, Kehadiran Peneliti, Lokasi Penelitian, Sumber Data, Prosedur Pengumpulan Data, Analisis Data, Pengecekan Keabsahan Data, Tahap-tahap Penelitian dan Sistematika Penulisan.

Pada BAB II berisi Kajian Pustaka, yang memuat: yang pertama adalah Tingkepan, Tingkepan itu sendiri mencakup: Pengertian Tingkepan, Bentuk –bentuk ritual Tingkepan dan Tujuan pelaksanaan ritual Tingkepan, yang kedua adalah Pendidikan Islam, pendidikan Islam itu sendiri mencakup: Pengertian Pendidikan Islam, Batasan Pendidikan Islam, Tujuan Pendidikan Islam, Unsur-unsur Pendidikan Islam, Bentuk-bentuk Pendidikan Islam dan Nilai-nilai pendidikan Islam dalam ritual Tingkepan

(32)

Butuh, Tengaran, Semarang dan Temuan Penelitian berisi Bentuk-bentuk ritual Tingkepan di Dusun Gintungan Desa Butuh, Tengaran, Semarang dan Faktor pendukung dan penghambat adanya ritual Tingkepan Dusun Gintungan Desa Butuh, Tengaran

(33)

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

A. Korelasi Budaya Jawa dan Agama Islam

1. Islam dalam Budaya Jawa

Sikap hidup masyarakat Jawa ialah menempatkan dirinya sebagai sosok yang mampu menjaga keseimbangan hidup secara harmoni antara kehendak individu dengan kejadian obyektif yang dihadapinya. Sikap hidup itu muncul dari kesadaran bahwa manusia hanya dianjurkan untuk berusaha. Dijelaskan oleh Hardjowirogo Marbangun (1995:29),

“Sikap itu semakin kental ketika mereka menghadap persoalanpersoalan hidup yang tidak mampu diatasi lagi, seperti ketika menghadapi anggota keluarganya yang menderita sakit keras dan sulit disembuhkan secara medis, baik modern maupun tradisional. Disamping itu, nasib seseorang - bahagia atau menderita -telah diatur oleh Tuhan dan manusia dituntut untuk menerima dengan ikhlas dengan dilandasi sikap pasrah sarta

sumarah (berserah diri). Kedua sikap religius tersebut tampak

nyata dalam ungkapan manungso mung wenang mbudidoyo

Gusti kang wenang nemtoake ‘manusia hanya berhak berusaha

dan Tuhan yang berhak menentukan”.

Sikap religius manusia Jawa tersebut meliputi segala aspek kehidupan yang tidak terlepas dari semua pemikiran Jawa.

(34)

memulai suatu kerja penting dan sebagainya. Menurut Dhanu Priyo Prabowo (2003:30):

(35)

Islam datang dan berkembang di jawa dipengaruhi oleh kultur atau budaya jawa. Pada sisi yang lain, budaya jawa makin di perkaya oleh khazanah Islam. ditambahkan oleh Dhanu Priyo Prabowo (2003:9-10):

“Perpaduan antara keduanya menampakkan atau melahirkan ciri yang khas sebagai budaya yang sinkretis, yakni Islam Kejawen (agama Islam yang bercorak kejawen). Pada titik inilah terjadi semacam ”simbiosis mutualisme” antara Islam dan budaya Jawa. Keduanya (yang kemudian bergabung menjadi satu) dapat berkembang dan diterima oleh masyarakat Jawa tanpa menimbulkan friksi dan ketegangan. Padahal, antara keduanya sesungguhnya terdapat beberapa celah yang sangat memungkinkan untuk saling berkronfontasi”.

Dalam hidup keberagamaan, kecenderungan untuk mengakomodasikan Islam dengan budaya Jawa setempat telah melahirkan kepercayaan-kepercayaan serta upacara-upacara ritual sebagaimana akan di uraikan pada bagian berikutnya. Adapun yang dimaksud budaya Jawa disini adalah budaya sebelum Islam tersebar di Jawa, yakni budaya yang bersumberkan dari ajaran-ajaran agama Hindu dan budha yang bercampur aduk dengan kepercayaan animisme dan dinamisme”(Ridin Sofwan dkk, 2004:121).

2. Proses Akulturasi Budaya jawa dan Islam

(36)

dan batin. Budaya lahir terlihat dalam simbolisasi nilai-nilai etika yang menjadi pedoman bagi masyarakat Jawa dalam bertindak sesuai kodratnya, baik selaku makhluk individu maupun makhluk sosial, sedangkan budaya batin yang dalam klasifikasi menurut Koentjaraningrat (1984:2) dapat dimasukkan pada sistem religi atau keagamaan Jawa tersimbolkan dengan manunggaling kawula-Gusti dalam pandangan keagamaan Jawa. Derajat kesinkretisan dalam beragama itu akan sejalan dengan seberapa jauh sikap akomodatif dalam berdakwah terhadap pemangku budaya lama. Dari rentangan sikap da`i terhadap upacara-upacara lama itu akan sejalan dengan metode dakwah yang dipakai. Rentangan itu berada di antara sikap menerima (receptive) dan sikap penolakan (resistance). Menerima budaya lama berarti terdapat sinkretisme dan menolak budaya lama berarti tidak ada unsure sinkretisme. Di antara kedua sikap positif dan negatif itu terdapat seperangkat metode dakwah yang berjenjang, sekaligus juga menggambarkan tingkat kesinkretisan. Adapun cara-cara yang dipakai para wali dalam menghadapi budaya lama (Hindu) itu menurut Ridin Sofwan dkk (2004:11-12) adalah:

a. Menjaga dan memelihara (keeping) upacara-upacara atau tradisi-tradisi lama, contoh menerima upacara Tingkepan dan mitoni. b. Menambah (addition) upacara-upacara, tradisi-tradisi lama dengan

(37)

c. Mengintegrasikan tradisi lama ke arah pengertian yang baru atau menambah fungsi baru (modification) terhadap budaya lama, contoh wayang disamping sebagai sarana hiburan juga sebagai sarana pendidikan.

d. Menurunkan tingkatan status atau kondisi sesuatu (devaluation) dari budaya lama, contoh status dewa dalam wayang diturunkan derajatnya dan diganti dengan Allah.

e. Mengganti (exchange) sebagian unsur lama dalam suatu tradisi dengan unsure baru, contoh slametan atau kenduren motifasinya diganti.

f. Mengganti secara keseluruhan (subtitution) tradisi lama dengan tradisi baru, contoh sembahyang di kuil diganti dengan sembahyang di masjid sehingga tidak ada unsur pengaruh Hindu di masjid.

g. Menciptakan tradisi, upacara baru (creation of new ritual) dengan menggunakan unsur lama, contoh penciptaan gamelan dan upacara sekaten.

h. Menolak (negation) tradisi lama, contoh penghancuran patung-patung Budha di candi-candi sebagai penolakan terhadap penyembahan patung”.

(38)

pertama disebut Islamisasi Kultur Jawa. Melalui pendekatan ini budaya jawa di upayakan agar tampak bercorak Islam, baik secara formal maupun secara subtansial. Upaya ini ditandai dengan penggunaan istilah-istilah Islam, nama-nama Islam, pengambilan peran tokoh Islam pada berbagai cerita lama, sampai kepada penerapan-penerapan hukum-hukum, norma-norma Islam dalam berbagai aspek kehidupan. Adapun pendekatan yang kedua disebut Jawanisasi Islam, yang diartikan sebagai upaya penginternalisasian nilai-nilai Islam melalui cara penyusupan ke dalam budaya Jawa. Ditambahkan oleh Darori Amin (2002:120), “Melalui cara pertama, Islamisasi dimulai dari aspek formal terlebih dahulu sehingga simbol-simbol ke Islaman nampak secara nyata dalam budaya Jawa, sedangkan pada cara kedua, meskipun istilah-istilah dan nama-nama Jawa tetap dipakai, tetapi nilai yang dikandungnya adalah nilai-nilai Islam sehingga Islam menjadi men-Jawa”.

(39)

sufistik. Dalam fiqih terdapat konsep sepikul-segendongan sebagai bentuk pembagian harta waris dari konsep Islam, perbandingan 2:1 bagi anak laki-laki dengan anak perempuan. “Demikian juga bentuk fisik tempat ibadah Islam (masjid) masih mengacu kepada bangunan tempat ibadah agama terdahulu (Hindu), dan masih banyak contoh yang lain”(Rahmat Subagya, 1981:64)

Sebagai suatu cara pendekatan dalam proses akulturasi, kedua kecenderungan itu merupakan strategi yang sering diambil ketika dua kebudayaan saling bertemu. Apalagi pendekatan itu sesuai dengan watak orang Jawa yang cenderung bersikap menjadi bahan perbincangan di kalangan para pengamat adalah makna yang terkandung dari percampuran kedua budaya tersebut. Mereka memiliki penilaian yang berbeda ketika dimensi keberagamaan orang Islam Jawa termanifestasikan dalam kehidupan sehari-hari. Sebagian mereka menilai bahwa percampuran itu masih sebatas pada segi-segi lahiriah sehingga Islam seakan hanya sebagai kulitnya saja, sebagian yang lain menilai sebaliknya, dalam arti nilai Islam telah menjadi semacam ruh dari penampakan budaya jawa kendatipun tidak secara konkret berlabel Islam. Dijelaskan oleh Darori Amin (2002:121):

(40)

upacara-3. Interelasi Nilai Budaya Jawa dan Islam dalam aspek kepercayaan

dan ritual.

Agama dan masyarakat secara inherent mempunyai jalinan yang erat dan saling mempengaruhi satu sama lain. Agama merupakan sumber nilai dan norma yang bersifat universal sehingga dapat membentuk sikap dan perilaku manusia dalam menjawab tantangan kehidupan. Bahkan dikatakan oleh Nielsen bahwa manusia sebagai makhluk sosial belum menjadi manusia sepenuhnya tanpa agama”(Suyuthi Pulungan, 2002:145). Dalam konteks ini agama sebagai sumber nilai dan pandangan hidup manusia dapat diperankan dalam kehidupan bermasyarakat, khususnya pembangunan dalam bangsa. Setiap agama dalam arti seluas-luasnya tentu memiliki aspek fundamental, yakni aspek kepercayaan atau keyakinan, terutama kepercayaan terhadap sesuatu yang sakral, yaitu suci atau yang gaib.

(41)

Dengan demikian iman-tauhid adalah percaya kepada Allah dan mengesakan-Nya, inilah aspek lahir akidah”.

Sementara itu, dalam budaya Jawa pra Islam yang bersumberkan ajaran agama Hindu terdapat kepercayaan tentang adanya para dewata, kitab-kitab suci, orang suci, roh-roh jahat, lingkaran penderitaan, hukum karma dan hidup bahagia abadi. Pada agama Budha terdapat kepercayaan tentang empat kasunyatan (kebenaran abadi), yaitu dukha (penderitaan), samudaya (sebab penderitaan), nirodha (pemadaman keinginan) dan marga (jalan kelepasan). Menurut Darori Amin (2002:122), “Adapun pada agama primitif sebagai agama orang jawa sebelum kedatangan agama Hindu ataupun Budha, inti kepercayaanannya adalah percaya kepada daya-daya kekuatan ghaib yang menempati pada setiap benda (dinamisme), serta percaya roh-roh ataupun makhluk halus yang menempati pada suatu benda ataupun berpindah-pindah dari suatu tempat lain, baik benda hidup maupun benda mati (animisme). Kepercayaan kepercayaan dari agama Hindu, Budha maupun kepercayaan dinamisme dan animisme itulah yang dalam proses perkembangan Islam berinterelasi dengan kepercayaan dalam Islam”.

(42)

dan haji. Khusus mengenai shalat dan puasa wajib di bulan ramadhan, terdapat pula shalat-shalat dan puasa-puasa sunnah. Intisari dari shalat adalah doa, oleh karena arti harfiah shalat juga doa yang ditujukan kepada Allah SWT, sedangkan puasa adalah suatu bentuk pengendalian nafsu dalam rangka penyucian rohani. Aspek doa dan puasa tampak mempunyai pengaruh yang sangat luas, mewarnai berbagai bentuk upacara tradisional orang Jawa. Secara luwes Islam memberikan warna baru pada upacara-upacara itu dengan sebutan

kenduren atau slametan. Di dalam upacara slametan ini yang pokok

adalah pembacaan doa (donga) yang dipimpin oleh orang yang dipandang memiliki pengetahuan tentang Islam, apakah seorang modin, kaum, lebe, atau kiai. Selain itu, terdapat seperangkat makanan

yang dihidangkan bagi para peserta selamatan, serta makanan yang dibawa pulang ke rumah masing-masing peserta slametan yang disebut dengan berkat. Dengan inilah nilai-nilai Islam telah memasuki pelaksanaan upacara slametan dalam berbagai bentuknya, seperti upacara Tingkepan atau mitoni, upacara kelahiran, upacara sunatan, upacara perkawinan, dan upacara kematian. Ibadah puasa sebagaimana yang disyariatkan Islam telah mewarnai pula perilaku orang jawa, yakni sebagai bentuk penyucian rohani untuk melengkapi doa-doa yang dipanjatkan kepada Tuhan.

(43)

ketika orang jawa meng-krama-kan puasa. Dalam keadaan tertentu ketika seseorang mempunyai suatu cita-cita, agar cita-cita itu terwujud, maka di samping berdoa ia juga melakukan puasa. Terdapat kebiasaan di antara orang Jawa untuk melakukan puasa pada hari senin dan kamis, serta puasa sunah lain, kendatipun mungkin kewajiban-kewajiban lain seperti shalat lima waktu tidak dikerjakan. Menurut Rahmat Subagya (1981:136):

“Puasa ini sering juga disebut dengan tirakat, yakni meninggalkan makan dan minum pada hari-hari tertentu, bahkan juga tirakat diartikan sebagai tidak tidur (jaga) semalam suntuk. Meskipun demikian jika dilihat dari segi arti harfiah tirakat ini sesungguhnya dari konsep Islam, yakni taraka, yang berarti meninggalkan. Dalam konteks puasa maka taraka mempunyai pengertian yang tidak berbeda dengan apa yang disebut dengan siyam atau shaum”.

Nilai budaya Jawa dan Islam yang religius magis itu telah tertanam begitu kuat dalam jiwa masyarakat yang menganut budaya tersebut. Melalui pewarisan yang turun-temurun di lingkungan keluarga dan masyarakat, nilai itu menghujam masuk dalam wilayah emosional seseorang karena sejak kecil telah dibiasakan dengan adatistiadat Jawa Islam yang tumbuh dalam keluarga maupun masyarakatnya. Oleh karena itu, menurut Koentjaraningrat (1984:42), “Upaya mengganti nilai budaya yang sudah mapan dengan nilai budaya lain memerlukan waktu yang lama”.

B. Tradisi Tingkepan Dalam Masyarakat Jawa

1. Tradisi Tingkepan Sebagai Slametan Upacara Kandungan

(44)

Dalam keyakinan orang Jawa, kehidupan dipandang telah mengikuti suatu pola yang teratur dan terkoordinasi yang harus diterima. Dengan demikian mereka harus menyelaraskan diri dengan apa yang lebih agung dari diri mereka sendiri serta berusaha agar mereka tetap dalam keadaan damai dan tenteram (slamet). Menurut M. Murtadho (2002:16), “Maksud utama praktek sosio religius orang Jawa tidak lain kecuali mendapatkan keslametan di dunia ini”. Berangkat bahwa tujuan hidup adalah

untuk mendapatkan keslametan, maka upacara keagamaan yang pokok adalah slametan. Upacara ini diselenggarakan bertepatan dengan waktu-waktu tertentu, seperti kelahiran, perkawinan, kematian, dan momentum-momentum yang dianggap perlu

Slametan adalah suatu upacara yang biasanya diadakan di

rumah suatu keluarga dan dihadiri oleh anggota-anggota keluarga, tetangga-tetangga dekat, kenalan-kenalan yang tinggal tidak jauh, dan termasuk juga orang-orang yang mempunyai hubungan dagang. Dalam bukunya Darori Amin (2002:160-161) menjelaskan:

(45)

Secara umum, tujuan slametan adalah untuk menciptakan keadaan sejahtera, aman dan bebas dari gangguan makhluk yang nyata maupun halus-suatu keadaan yang disebut slamet.

b. Pengertian Tradisi Tingkepan

Upacara-upacara daur hidup dalam masa kehamilan hakekatnya ialah upacara peralihan sebagai sarana menghilangkan petaka. Jadi semacam inisiasi yang menunjukkan bahwa upacara-upacara itu merupakan penghayatan unsur-unsur kepercayaan lama. Pada umumnya upacara kehamilan diadakan selamatan. Mulai kandungan seorang wanita berumur satu bulan sampai sembilan bulan. Dengan harapan agar selama mengandung mendapat keselamatan, tidak ada kesulitan. Menurut Purwadi (2005:130):

“Sapta Kawasa Jati adalah citra kehamilan pada bulan ketujuh dalam pandangan dunia Jawa, ketika bayi berada dalam kandungan ibu. Sapta berarti tujuh, Kawasa berarti kekuasaan, Jati berarti nyata. Pengertian secara bebas adalah jika kodrat yang maha kuasa menghendaki, dapat saja pada bulan ini lahir bayi dengan sehat dan sempurna”. Orang jawa menyebut bayi yang lahir pada bulan ketujuh sudah dianggap matang atau tua. Namun jika pada bulan ini bayi belum lahir, calon orang tua atau calon neneknya membuat selamatan yang disebut dengan Mitoni atau Tingkepan”.

Mitoni berasal dari kata pitu yang artinya tujuh. Semua

(46)

sebanyak tujuh orang. Maksud upacara ini memberikan pengumuman kepada keluarga dan para tetangga bahwa kehamilan telah menginjak masa tujuh bulan.

Menurut Sutrisno Sastro Utomo (2005:7):

“Kata pitu juga mengandung doa dan harapan, semoga kehamilan ini mendapat pitulungan atau pertolongan dari Yang Maha Kuasa, agar baik bayi yang dikandung maupun calon ibu yang mengandung tetap diberikan kesehatan dan keselamatan. Mitoni juga disebut Tingkepan, karena acara ini berasal dari kisah sepasang suami isteri bernama Ki Sedya dan Ni Satingkeb, yang menjalankan laku prihatin (brata) sampai permohonannya dikabulkan oleh Yang Maha Kuasa. Laku prihatin tersebut sampai sekarang dilestarikan menjadi acara yang sekarang kita sebut Tingkepan atau mitoni ini”.

c. Waktu Penyelenggaraan Tradisi Tingkepan

Penyelenggaraan upacara dapat dilaksanakan menurut keinginan yang mempunyai hajat, kecuali harti Jum’at. Karena hari Jum’at merupakan pantangan untuk menyelenggarakan upacara tradisional. Menurut Purwadi (2005:134-135):

“Untuk upacara tujuh bulan yang disebut dengan Mitoni

atau ningkebi, penyelenggaraannya harus menurut

(47)

d. Perlengkapan Tradisi Tingkepan

Mitoni atau Tingkepan dilakukan setelah kehamilan seorang ibu genap usia 7 bulan atau lebih. Dilaksanakan tidak boleh kurang dari 7 bulan, sekalipun kurang sehari. Menurut Clifford Geertz (1981:48-49), “Upacara tingkepan merupakan upacara paling utama sehingga seringkali dibuat besar-besaran terutama bagi kehamilan pertama”.

Untuk kandungan berumur tujuh bulan, persiapan dan perlengkapan upacara kandungan berumur tujuh bulan (mitoni atau Tingkepan) terdiri dari sajen siraman, kenduri, persiapan di tempat

mandi, persiapan di muka pasren, patanen, atau senthong tengah. Sajen siraman, tumpeng robyong, nasi yang dibentuk kerucut seperti gunung ditempatkan di bakul nasi dari bambu diberi lauk pauk: telor, daging, terasi, bawang merah, cabe merah, ditancapkan di ujung nasi yag berbentuk kerucut tadi. Ditambahkan oleh Purwadi (2005:134-135):

(48)

Dijelaskan oleh (Purwadi 2005:139-144),

“Persiapan dan perlengkapan di tempat mandi: air bunga, yaitu air yang berasal dari tujuh mata air diberi aneka bunga-bungaan ditempatkan di bak mandi. Kelapa tabonan, yaitu dua buah kelapa biasa yang sedang (tidak untuk mencuci rambut (keramas). Londho merang adalah bahan pencuci rambut (shampo) tradisional terbuat dari tangkai padi yang sudah dibakar direndam air. Air rendaman itulah yang dipakai sebagai pencuci rambut.

Klenthing, tempayan air terbuat dari tanah. Air dalam

klenthing itu sudah diberi mantera. Bobok lulur, yaitu

semacam bedak dingin terbuat dari tepung berwarna tujuh macam dicampur mangir, daun pandan wangi, daun kemuning. Dhingklik, yaitu tempat duduk tradisional dari kayu yang dipergunakan sewaktu mandi.

Di atas dhingklik diberi bermacam-macam daun-daunan, yaitu daun apa-apa, daun kluwih, daun dadap serep, daun ilalang, daun kara. Di atas dedaunan dibentangkan tikar yang di atasnya diberi beraneka macam lawe (semacam benang tenun). Di atasnya lagi diberi alas kain tujuh macam motif yaitu letrek, warna hijau ditengahnya putih, jingga, warna kuning biru di tengahnya putih. Sindur, warna merah di tengahnya puith. Kain lurik puluh watu. Kain lurik yuyu sekandhang. Diatasnya lagi diberi alas mori putih (lawon). keris, cengkir gadhing, kelapa kuning dan buah. Sampora, terbuat dari cairan tepung beras diberi santan kemudian dibentuk seperti tempurung tengkurap di dalamnya diberi gula dimasak. Pring sedapur, terbuat dari cairan tepung beras dibentuk kerucut kecil (tumpeng) berjumlah 18 buah atau 9 pasang. Pada tumpeng-tumpeng kecil tersebut ditancapkan aneka macam warna bulat-bulatan kecil dari tepung beras.

Persiapan dan perlengkapan di muka pasren atau

patapen atau senthong tengah. Persiapan di muka pasren,

(49)

lambang baik. Misalnya kain-kain yang bermotif truntum, sidoluhur, sidomukti,grompol, panangkusuma dan lasem”.

e. Rangkaian Upacara Tingkepan

Ada tiga tahap pelaksanaan upacara mitoni (Tingkepan), yang pertama siraman, dilanjutkan dengan brojolan dan yang ketiga pemakaian busana. Siraman dilakukan di kamar mandi atau tempat yang dibuat secara khusus (disebut krobongan) dengan hiasan yang indah. Siraman artinya memandikan. Ditambahkan oleh Sutrisno Sastro Utomo (2005:7-8), “Air yang dipergunkan untuk memandikan diambil dari tujuh sumber, lalu ditaruh di jambangan (sejenis ember dari tanah liat atau tembaga) dan ditambahi dengan bunga talon (tiga), seperti bunga setaman atau sritaman, yaitu mawar, melati, kantil dan kenanga”.

(50)

Seperti dijelaskan oleh Sutrisno Sastro Utomo (2005:7-10) sebagai berikut:

“Siraman dilakukan dengan menuangkan air yang telah diberi bunga tadi ke tubuh calon ibu. Setelah selesai memandikan, dukun yang ditugasi tadi memberikan air terakhir untuk membersihkan diri dari kendhi (sejenis teko dari tembikar) yang telah diberi mantra-mantra. Selesai membersihkan diri, kendhi lalu dibanting oleh calon ibu. Setelah dikeringkan dengan handuk, calon ibu diberi busana dengan lilitan kain (jarik) yang diikat (secara longgar) dengan letrek (sejenis benang berwarna merah, putih dan hitam). Calon nenek lalu memasukkan tropong (alat tenun) ke dalam lilitan kain tadi, kemudian dijatuhkan ke bawah.

Sementara itu acara dilanjutkan dengan memasukkan dua buah kelapa gading yang telah digambari (lewat lilitan jarit yang dikenakan ibu). Gambarnya bisa memilih Kamajaya dan Dewi Ratih atau Harjuna dan Sembrada, bisa juga Panji Asmara Bangun dengan Galuh Candra Kirana. Acara ini disebut brojolan yang merupakan visualisasi doa orang Jawa agar kelahirannya nanti jika laki-laki bisa setampan Kamajaya, Harjuna atau Panji Asmara Bangun, dan jika perempuan secantik Dewi Ratih, Sembrada atau Galuh Candra Kirana. Upacara brojolan yang meluncurkan tropong dan kelapa kadang-kadang tanpa tropong, hanya dengan dua buah kelapa saja. Tugas calon bapak adalah memotong letrek yang mengikat calon ibu dengan menggunakan keris yang ujungnya ditutupi kunyit atau dapat juga dengan menggunakan parang yang telah diberi untaian bunga melati. Apa yang dikerjakan calon bapak adalah menggambarkan kewajiban suami untuk memutuskan segala rintangan dalam kehidupan sekeluarga nanti. Calon bapak melanjutkan tugasnya dengan memecah buah kelapa yang telah digambarti tadi, dengan sekali tebas. Jika buah kelapa bisa terbelah menjadi dua bagian, maka seluruh hadirin akan berteriak:” perempuan”!. Namun jika tidak terbelah dan hanya menyemburkan air isinya saja, maka hadirin akan berteriak:”laki-laki”!.

Setelah dikeringkan dengan handuk, calon ibu dibawa ke ruang tengah untuk diberi busana dengan menggunakan Jarik berbagai motif. Di wilayah Yogyakarta sering memakai motif Sidaluhur, Sida Asih, Sida Mukti,

(51)

motif Lasem. Motif Lurik Lasem melambangkan cinta kasih antara calon bapak dan ibunya. Sedangkan di wilayah Surakarta dan sekitarnya memakai motif Bango Tulak, Pudak Mekar, Pare, Puluh Watu, Yuyu Sekandhang,

Sindhur dan Wono Bodro. Setiap diganti dengan satu kain

tersebut, ibu petugas menanyakan kepada tamu yang hadir. Petugas: “sudah pantas belum ibu-ibu?” Hadirin: (serentak menjawab) “belum!!!” Begitu juga seterusnya sampai pada kain yang keenam.

Ketika diganti kain yang ketujuh atau yang terakhir, serentak ibu-ibu hadirin menjawab: “sudah!!!”. Keenam kain yang dianggap kurang pantas tadi akhirnya menumpuk di bawah ibu yang hamil, lalu dijadikan alas untuk duduk calon ibu dan calon bapaknya. Acara ini disebut angreman karena menggambarkan seperti ayam yang mengerami telurnya. Calon orang tua bayi duduk bersama di tumpukan kain tadi”.

Ditambahkan oleh Purwadi (2005:147-150), “Maka selesailah sudah keseluruhan upacara Tingkepan, ditandai dengan upacara doa oleh kaum yang mengelilingi selamatan. Kemudian sesajian selamatan itu disantap sedikit dan sebagian dibawa pulang (mberkat)”.

2. Makna Tradisi Tingkepan Perspektif Masyarakat Jawa

a. Tujuan Pelaksanaan Tradisi Tingkepan

(52)

ritus-ritus sebagai sarana mutlak agar bakal bayi dan ibu yang hamil terhindar dari malapetaka

Adapun aspek solidaritas primordial, terutama adat-istiadat yang secara turun temurun dilestarikan oleh kelompok sosialnya. Adat-istiadat yang berkaitan dengan masa kehamilan juga mencerminkan salah satu etik status sosial kelompoknya. Mengabaikan adat-istiadat yang mencerminkan salah satu etik itu, dapat dinilai sebagai suatu ulah yang tidak memperlihatkan watak golongan bangsawan, tidak menunjukkan solidaritas primordial golongan bangsawan tidak disenangi. Menurut Purwadi (2005:133-134):

”Mengabaikan adat-istiadat mengakibatkan celaan dan nama buruk bagi keluarga yang bersangkutan di mata kelompok sosialnya. Karena ulahnya itu, bukan saja dinilai tidak sesuai dengan etik status sosial golongan bangsawan, tidak menghormati pranatan dan leluhur, melainkan juga dapat merusak keseimbangan tata hidup kelompok sosialnya”.

b. Tradisi Tingkepan merupakan suatu upacara ritual adat Jawa

(53)

Peserta slametan memandangnya sebagai bagian integral dari kehidupan mereka sebagai makhluk sosial dan dalam pemahaman mengenai diri mereka sendiri sebagai orang Jawa; mereka memandangnya sebagai ringkasan tradisi lokal. Tradisi Tingkepan telah tertanam begitu kuat dalam masyarakat yang menganut budaya tersebut. Melalui pewarisan yang turun temurun di lingkungan keluarga dan masyarakat, nilai itu menghujam masuk dalam wilayah emosional seseorang karena sejak kecil telah dibiasakan dengan adat istiadat Jawa yang tumbuh dalam keluarga maupun masyarakatnya. Oleh karena itu, dalam masyarakat Jawa menganggap bahwa tradisi Tingkepan merupakan suatu upacara ritual adat Jawa yang harus dilaksanakan apabila mengalami sebab-sebab untuk melakukan tradisi Tingkepan tersebut.

c. Tradisi Tingkepan Sebagai Upacara Menyongsong Lahirnya

Generasi Penerus.

(54)

akan menyerupai binatang itu. Demikian masih banyak contoh lain yang dianggap oleh masyarakat Jawa sebagai kepercayaan-kepercayaan yang diturunkan nenek moyang mereka. Kalau seorang calon ibu ada tanda-tanda nyidam, biasanya ingin sesuatu yang spesifik. Misalnya ingin sekali makan buah-buahan tertentu yang masih muda dan rasanya masih asam. Mungkin itulah sebab buah-buahan yang masih muda disebut nyidam. Ditegaskan oleh Purwadi (2005:131):

“Kalau permintaan wanita tersebut tidak dituruti, orang Jawa beranggapan bahwa kelak kalau bayinya sudah lahir akan menimbulkan ekses kurang baik. Misalnya anak itu akan selalu mengeluarkan air liur (ngiler). Keinginan sesuatu bagi seorang wanita yang sedang hamil tidak terbatas pada buah-buahan saja, akan tetapi ada juga yang mempunyai keinginan lain yang harus dituruti”.

(55)

lahir tersebut merupakan generasi penerus, sehingga jika generasi penerus itu baik akan membawa kebaikan bagi manusia secara keseluruhan.

C. Pendidikan Islam

1. Pengertian pendidikan Islam

Pendidikan merupakan sebagai Proses Transformasi Budaya yang diartikan sebagai kegiatan pewarisan budaya dari satu generasi ke generasi yang lain. Nilai-nilai kebudayaan tersebut mengalami proses transformasi dari generasi tua ke generasi muda. Pendidikan juga diartikan sebagai suatu kegiatan yang sistematis dan sistemik terarah kepada terbentuknya kepribadian peserta didik. Sistematis oleh karena proses pendidikan berlangsung melalui tahap-tahap bersinambungan (prosedural) dan sistemik oleh karena berlangsung dalam semua situasi kondisi, di semua lingkungan yang saling mengisi (lingkungan rumah, sekolah, masyarakat).

(56)

dan mengajarkan manusia menuju kedewasaan sehingga dia dapat bertanggungjawab atas dirinya sesuai ajaran Islam

2. Batasan pendidkan Islam

Dibawah ini penulis kemukakan beberapa batasan pendidikan: a. Pendidikan sebagai Proses transformasi Budaya

Sebagai proses transformasi budaya, pendidikan diartikan sebagai kegiatan pewarisan budaya dari satu generasi ke generasi yang lain. Nilai-nilai budaya tersebut mengalami proses transformasi dari generasi tua ke generasi muda. Ada tiga bentuk transformasi yaitu nilai-nilai yang masih cocok diteruskan misalnya nilai-nilai kejujuran, rasa tanggung jawab, dan lain-lain. b. Pendidikan sebagai Proses Pembentukan Pribadi

Sebagai proses pembentukan pribadi, pendidikan diartikan sebagi suatu kegiatan yang sistematis dan sistemik terarah kepada terbentuknya kepribadian peserta didik. Proses pembentukan pribadi melalui 2 sasaran yaitu pembentukan pribadi bagi mereka yang belum dewasa oleh mereka yang sudah dewasa dan bagi mereka yang sudah dewasa atas usaha sendiri.

c. Pendidikan sebagai Proses Penyiapan Warganegara

(57)

d. Pendidikan sebagai Penyiapan Tenaga Kerja

Pendidikan sebagai penyimpanan tenaga kerja diartikan sebagai kegiatan membimbing peserta didik sehingga memiliki bekal dasar utuk bekerja. Pembekalan dasar berupa pembentukan sikap, pengetahuan, dan keterampilan kerja pada calon luaran. Ini menjadi misi penting dari pendidikan karena bekerja menjadi kebutuhan pokok dalam kehidupan manusia.

3. Tujuan pendidikan Islam

Kohsntamm seorang ahli pendidikan menyebutkan bahwa tujuan pendidikan ialah membantu seseorang dalam upaya proses pemanusiaan-diri sendiri untuk mencapai ketentraman batin yang paling dalam, tanpa mengganggu atau tanpa membebani orang lain”(Kartini Kartono,1992:219). Namun secara garis besar Tujuan pendidikan memuat gambaran tentang nilai-nilai yang baik, luhur, pantas, benar, dan indah untuk kehidupan. Pendidikan memiliki dua fungsi yaitu memberikan arah kepada segenap kegiatan pendidikan dan merupakan sesuatu yang ingin dicapai oleh segenap kegiatan

pendidikan.

4. Unsur-unsur pendidikan Islam

Proses pendidikan melibatkan banyak hal yaitu: a. Subjek yang dibimbing (peserta didik).

(58)

orang yang belum dewasa atau orang yang masih menjadi

tanggungjawab pendidik (Sutari Imam Barnadib, 1982:39). Dalam hal ini Peserta didik berstatus sebagai subjek didik. Ciri khas peserta didik yang perlu dipahami oleh pendidik ialah:

1) Individu yang memiliki potensi fisik dan psikis yang khas, sehingga merupakan insan yang unik.

2) Individu yang sedang berkembang.

3) Individu yang membutuhkan bimbingan individual dan perlakuan manusiawi.

4) Individu yang memiliki kemampuan untuk mandiri b. Orang yang membimbing (pendidik)

Pendidik adalah tiap orang yang dengan sengaja

mempengaruhi orang lain untuk mencapai tingkat kemanusiaan yang lebih tinggi (Sutari Imam Barnadib, 1982:38). Disisi lain Yang dimaksud pendidik adalah orang yang bertanggung jawab terhadap pelaksanaan pendidikan dengan sasaran peserta didik. Peserta didik mengalami pendidikannya dalam tiga lingkungan yaitu lingkungan keluarga, lingkungan sekolah, dan lingkungan masayarakat. Sebab itu yang bertanggung jawab terhadap

(59)

Interaksi edukatif pada dasarnya adalah komunikasi timbal balik antara peserta didik dengan pendidik yang terarah kepada tujuan pendidikan. Pencapaian tujuan pendidikan secara optimal ditempuh melalui proses berkomunikasi intensif dengan manipulasi isi, metode, serta alat-alat pendidikan.

d. Ke arah mana bimbingan ditujukan (tujuan pendidikan)

e. Pengaruh yang diberikan dalam bimbingan (materi pendidikan) f. Cara yang digunakan dalam bimbingan (alat dan metode)

(60)

BAB III

PAPARAN DATA DAN TEMUAN PENELITIAN

A. Gambaran Umum Lokasi penelitian

Dusun Gintungan merupakan dalam wilayah Desa Butuh kec. Tengaran kab. Semarang dan merupakan daerah pedesaan dengan Masyarakat hidup dari pertanian dengan kondisi tanah tadah hujan yang sangat luas dan mencukupi untuk kebutuhan sehari-hari. Tidak sedikit pula para warganya juga beralih profesi ke arah wirausaha, pedagang dan bagi yang tidak memiliki ladang mereka bekerja sebagai buruh tani.

Dijelaskan oleh bapak kepala Desa Bapak Subadi wawancara pada tanggal 09 Juli 2011 jam 10.00 Wib, ”Pada Tahun 2010 jumlah penduduk desa Butuh mencapai 3.382 jiwa terdiri dari 1.699 jumlah laki-laki dan 1.683 jumlah perempuan yang tersebar di 9 dusun di antaranya dusun Kemploko, Rejosari, Godean, Butuh kidul, Butuh krajan, Pongge, Tluko, Banaran dan Gintungan. Infra struktur rumah warga 60% terbuat dari kayu berlantai tanah sedangkan sekitar 40% bangunan terbuat dari bahan material. Diantara bangunan penting di dusun Gintungan terbuat dari tembok misalkan: Sekolahan, Kantor Kelurahan, Puskesmas dan Masjid”.

(61)

a. Desa Karang duren sebelah utara b. Desa Klero sebelah timur

c. Desa Patemon sebelah barat

d. Desa Ngadirejo Kec. Ampel sebelah selatan

Untuk jarak dusun Gintungan ke Balai desa Butuh sejauh 1 km sedangkan kearah kantor kecamatan Tengaran jaraknya 2 km. Desa dialiri listrik dimulai pada tahun 1985. Kondisi fisik jalan raya di desa itu telah di aspal walaupun terdapat titik-titik kerusakan akibat tidak adanya perawatan berkala dari pemerintah daerah setempat. Jadi saat terjadi musim penghujan kondisi jalan raya sangat becek dan banyak terdapat lubang serta terdapat genangan air ditengah-tengah badan jalan sehingga mengganggu aktifitas. Tidak ada kasus sosial dari tahun ketahun. Pendidikan formal warga sebagai berikut:

(62)

serta memiliki beberapa sarana peribadatan umat Islam karena mayoritas agama masyarakat desa Butuh dusun Gintungan adalah Islam maka disitu terdapat 9 buah Masjid. Masyarakat juga rutin melakukan kegiatan yang bernuansa Islami seperti Tahlilan, Pengajian dan Yasinan. Untuk jadwal yasinan disetiap RT yaitu kelompok Ibu-ibu di laksanakan pada hari senin malam atau malam selasa di rumah warga secara bergiliran dari rumah ke rumah dengan di pimpin oleh seorang ustadz yang bertugas sebagai pembawa do’a. Isi dari kegiatan itu adalah tahlilan, membaca surat Yasin, pengajian dan pembacaan do’a.

Kegiatan religi lainya adalah tahlilan oleh bapak-bapak kegiatan untuk laki-laki ini dilaksanakan pada kamis malam ba’da magrib yang inti kegiatanya sama dengan yasinan.

B. Temuan Penelitian

1. Deskripsi Slametan

(63)

jam 09.30 Wib bahwa, “ Slametan adalah suatu upacara yang biasanya diadakan di rumah suatu keluarga dan dihadiri oleh anggota-anggota keluarga, tetangga-tetangga dekat, kenalan-kenalan yang tinggal tidak jauh”.

Secara umum digambarkan oleh Wiryotondo wawancara pada tanggal 11 Juli 2011 jam 10.30 Wib, “Tujuan slametan adalah untuk menciptakan keadaan sejahtera, aman dan bebas dari gangguan makhluk yang nyata maupun halus”.

2. Pengertian Tradisi Tingkepan

Menurut Rif’ah wawancara pada tanggal 11 Juli 2011 jam 11.30 Wib, “Tingkepan dilakukan setelah kehamilan seorang ibu genap usia 7 bulan”. Upacara dalam masa kehamilan hakekatnya ialah upacara peralihan sebagai sarana menghilangkan was-was. Jadi semacam inisiasi yang menunjukkan bahwa upacara-upacara itu merupakan penghayatan dan memberikan semangat kepada seorang calon Ibu.

Menurut Subadi wawancara pada tanggal 11 Juli 2011 jam 13.00 Wib, “Mulai kandungan seorang wanita berumur satu bulan sampai sembilan bulan sering dilakukan slametan. Dengan harapan agar selama mengandung mendapat keselamatan, tidak ada kesulitan”.

(64)

Menurut Jumi’ah wawancara pada tanggal 11 Juli 2011 jam 15.00 Wib, “Mitoni berasal dari kata pitu yang artinya tujuh. Semua sarana yang disajikan dalam selamatan dibuat masing-masing sebanyak tujuh buah, orang yang memandikan pun dipilih sebanyak tujuh orang”. Ditegaskan oleh Nurhadi wawancara pada tanggal 11 Juli 2011 jam 14.00 Wib, “Maksud upacara ini memberikan pengumuman kepada keluarga dan para tetangga bahwa kehamilan telah menginjak masa tujuh bulan”.

3. Waktu Penyelenggaraan Tradisi Tingkeban

(65)

4. Perlengkapan Tradisi Tingkeban

Perlengkapan upacara kandungan yang berumur tujuh bulan (mitoni atau tingkeban) terdiri dari sajen siraman, kenduri, persiapan di tempat mandi, persiapan di muka pasren, patanen, atau senthong tengah. Sajen siraman, tumpeng robyong, nasi yang dibentuk kerucut seperti gunung ditempatkan di bakul nasi dari bambu diberi lauk pauk: telor, daging, terasi, bawang merah, cabe merah, ditancapkan di ujung nasi yag berbentuk kerucut tadi.

Menurut Damsuri wawancara pada tanggal 13 Juli 2011 jam 14.15 Wib, “Sesaji sangat penting didalam setiap upacara tradisonal. Sebenarnya maksud dan tujuan sesaji adalah seperti sebuah doa. Kalau doa diucapkan dengan kata-kata, sedangkan sesaji diungkapkan melalui sesaji yang berupa berbagai bunga, dedaunan dan hasil bumi yang lain. ditambahkan oleh Janari wawancara pada tanggal 13 Juli 2011 jam 13.40 Wib, Tujuan sesaji adalah : Mengagungkan asma

Gusti, Tuhan dan merupakan permohonan tulus kepada Gusti supaya

memberikan berkah dan perlindungan. Mengingat dan menghormati para pinisepuh, supaya mendapat tempat tentram dialam keabadian. Supaya upacara berjalan lancar dan sukses, tidak diganggu oleh apapun”.

(66)

a. Perlengkapan di tempat mandi: air bunga, yaitu air yang berasal dari tujuh mata air diberi aneka bunga-bungaan ditempatkan di bak mandi.

b. Kelapa tabonan, yaitu dua buah kelapa biasa yang sedang (tidak tua), diikat jadi satu dengan cara diambilkan sedikit sabut dari keduanya. Dua buah kelapa yang masih utuh ini dimasukkan ke dalam bak mandi. Pengambil air yang terbuat dari tempurung kelapa yang masih ada kelapanya dan berlubang (gayung). Air asam dan londho merang untuk mencuci rambut (keramas).

c. Londho merang adalah bahan pencuci rambut terbuat dari tangkai

padi yang sudah dibakar direndam air. Air rendaman itulah yang dipakai sebagai pencuci rambut. Klenthing, tempayan air terbuat dari tanah.

d. Bobok lulur, yaitu semacam bedak dingin terbuat dari tepung

berwarna tujuh macam dicampur mangir, daun pandan wangi dan daun kemuning.

e. Dhingklik, yaitu tempat duduk tradisional dari kayu yang

(67)

tengahnya putih. Sindur, warna merah di tengahnya putih. Kain lurik puluh watu. Kain lurik yuyu sekandhang.

f. cengkir gadhing, kelapa kuning dan buah. Sampora, terbuat dari

cairan tepung beras diberi santan kemudian dibentuk seperti tempurung tengkurap di dalamnya diberi gula dimasak. Pring sedhapur, terbuat dari cairan tepung beras dibentuk kerucut kecil (tumpeng) berjumlah 18 buah atau 9 pasang. Pada tumpeng-tumpeng kecil tersebut ditancapkan aneka macam warna bulat-bulatan kecil dari tepung beras”.

5. Rangkaian Upacara Tingkeban

Dijelaskan Wirtyotondo wawancara pada tanggal 14 Juli 2011 jam 12.00 Wib.Rangkaian acara dari Tingkepan sebagai berikut : a. Siraman calon ibu.

Upacara Siraman dilakukan oleh sesepuh sebanyak tujuh orang. Bermakna mohon doa restu, supaya suci lahir dan batin. Setelah upacara siraman selesai, air kendi tujuh mata air dipergunakan untuk mencuci muka, setelah air dalam kendi habis, kendi dipecah.

(68)

b. Memasukkan telur ayam kampung

Setelah siraman, calon ayah memasukkan telur ayam kampung di bagian dada dari kain yang dikenakan calon ibu, lalu mengurutkannya ke bawah, sampai ke luar. Ini melambangkan permohonan, agar bayi lahir dengan lancar dan selamat.

c. Santun busono atau Salin rasukan

Santun berarti berganti, busono adalah pakaian. Calon ibu secara bergantian memakai (melilitkan pada tubuh) 7 (tujuh) kain batik, yang berbeda coraknya. Ini melambangkan, bahwa ibu calon bayi sadar, bahwa dalam membesarkan dan mendidik anak nantinya, akan dijumpai berbagai corak kehidupan. Corak batik yang dipakai urut, mulai dari yang terbaik sampai terjelek, yaitu:

a. Sidoluhur,

Maknanya agar anak menjadi orang yang sopan dan berbudi pekerti luhur

b.Sidomukti,

Maknanya agar bayi yang akan lahir menjadi orang yang mukti wibawa, yaitu berbahagia dan disegani karena kewibawaannya.

c.Truntum,

(69)

d.Wahyu tumurun,

Maknanya agar bayi yang akan lahir menjadi orang yang senantiasa mendekatkan diri kepada Tuhan Yang Maha Esa dan selalu mendapat petunjuk dan perlindungan dari Nya e.Udan riris,

Maknanya agar anak dapat membuat situasi yang menyegarkan, enak dipandang, dan menyenangkan siapa saja yang bergaul dengannya.

f.Sido asih,

Maknanya agar bayi yang akan lahir menjadi orang yang selalu di cintai dan dikasihi oleh sesama serta mempunyai sifat belas kasih

g.Lasem.

Bermotif garis vertikal, bermakna semoga anak senantiasa bertakwa pada Tuhan YME.

(70)

orang yang sederhana.

Angka 7 melambangkan 7 lubang tubuh (2 di mata, 2 di telinga, 1 di mulut, 1 di dubur, dan 1 di alat kelamin), yang harus selalu dijaga kesucian dan kebersihannya. Ada pengertian lain dari angka 7 ini yang disebut keratabasa . Angka 7, dalam Basa Jawa disebut pitu , keratabasa dari pitu-lungan (pertolongan).

d. Membelah kelapa gading

Selanjutnya, ibu dari si calon ibu menyerahkan kepada si calon ibu, dua butir kelapa gading, yang masing-masing telah digambari Dewa Kamajaya dan Dewi Ratih, atau Arjuna dan Sembodro. Gambar tokoh wayang melambangkan doa, agar nantinya si bayi jika laki-laki akan setampan Dewa Kamajaya atau Arjuna, dan jika wanita secantik Dewi Ratih atau Sembodro. Kedua dewa dan dewi ini merupakan lambang kasih sayang sejati. Oleh si calon ibu, kedua butir kelapa diserahkan pada suaminya (calon bapak), yang akan membelah kedua butir kelapa gading menjadi dua bagian dengan bendo . Ini melambangkan, bahwa jenis kelamin apa pun, nantinya, terserah pada kekuasaan Allah.

e. Dodol dawet lan rujak

(71)

tradisional. Beberapa perias penganten juga menyediakan uang kreweng ini. Kemudian, para tamu membeli dawet dan rujak , yang melayani (menjual) adalah si calon ibu dan calon ayah. Si calon ibu melayani pembelinya, sedang si ayah menerima uang untuk disimpan. Jual beli dawet dengan duwit kreweng , melambangkan doa agar lancarlah rejeki yang akan diterima, dan niat calon ibu dan ayah untuk bersama-sama menyimpan kekayaan.

f. Kembul bujana

Kembul adalah bersama-sama, sedang bujana adalah makan, maksudnya makan bersama. Lazimnya disediakan nasi tumpeng. Ini merupakan acara akhir dari tingkeban”.

g. Selamatan

(72)

kelak lahir dengan selamat dan menjadi anak yang soleh/solehah serta agar si ibu selamat

6. Makna Tradisi Tingkeban Perspektif Masyarakat Jawa

a.Tujuan Pelaksanaan Tradisi Tingkeban

Referensi

Garis besar

Dokumen terkait

Berdasarkan hasil analisis sifat mekanik, membran berbasis kitosan suksinat-kitosan terinsersi litium memiliki sifat mekanik yang cukup baik dan memiliki kekuatan tarik

Setelah dilakukan klasifikasi terhadap data set sms spam menggunakan algoritma Naïve Bayes, maka didapatkan tiga hasil perbandingan untuk tingkat akurasi,

Penanganan terhadap peredaran dan konsumsi minuman beralkohol yang tidak sesuai standar dan aturan yang berlaku dilakukan dengan pembenahan dan pembangunan sistem

Dari hasil evaluasi keseluruhan proses yang dijalankan pada sistem pengklasifikasian gigi molar dan premolar pada dental panoramic radiograph ini, dapat dikatakan

Oleh karena itu penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bauran pemasaran jasa yang dilakukan Hotel Posters dalam mempengaruhi proses keputusan penggunaan yang dilakukan

Menurut Manuaba (2008; h.389) disebutkan perdarahan terjadi karena gangguan hormon, gangguan kehamilan, gangguan KB, penyakit kandungan dan keganasan genetalia. 55)

Berdasarkan perintah kepala bidang maka bagian sekertariat akan membuatkan surat perintah tugas bagi pegawai untuk melaksanakan tugas sesuai dengan tujuan yang

masing-masing bagian merupakan salah satu usaha perusahaan dalam mengendalikan biaya, karena apabila ada biaya yang berlebihan maka kepala produksi atau kepala