• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengaruh jenis kelamin dan locus of control terhadap hubungan kultur keluarga, kultur lingkungan kerja, dan kultur lingkungan masyarakat dengan kecerdasan emosional guru : survei pada guru SMA di Kabupaten Sleman, DIY.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pengaruh jenis kelamin dan locus of control terhadap hubungan kultur keluarga, kultur lingkungan kerja, dan kultur lingkungan masyarakat dengan kecerdasan emosional guru : survei pada guru SMA di Kabupaten Sleman, DIY."

Copied!
271
0
0

Teks penuh

(1)
(2)

ABSTRACT

THE INFLUENCE OF SEX AND LOCUS OF CONTROL TOWARD THE RELATION AMONG FAMILY CULTURE, WORKPLACE CULTURE, AND

SOCIETY CULTURE WITH TEACHER’S EMOTIONAL INTELLIGENCE

Survey: Teacher of Senior High Schools in Sleman Regency, Province of Daerah Istimewa Yogyakarta.

Suprapti

Sanata Dharma University 2007

This study aims to know: (1) the influence of sex in the relation between family culture and teachers’ emotional intelligence; (2) the influence of sex in the relation between workplace culture and teachers’ emotional intelligence; (3) the influence of sex in the relation between society culture and teachers’ emotional intelligence; (4) the influence of locus of control in the relation between family culture and teachers’ emotional intelligence; (5) the influence of locus of control in the relation between workplace culture and teachers’ emotional intelligence; (6) the influence of locus of control in the relation between society culture and teachers’ emotional intelligence.

This study was done in three state Senior High Schools and eight private Senior High Schools in Sleman Regency, Province of Daerah Istimewa Yogyakarta in December, 2006. The technique of gathering data was questionnaire. By using purposive sampling technique and proportional sampling, the researcher gained 308 teachers as samples. The technique of analyzing the data was regression model that was developed by Chow.

The result shows: (1) there is influence of sex in the relation between family culture and teachers’ emotional intelligence (p = 0,049 < a = 0,05); (2) there is influence of sex in the relation between workplace culture and teachers’ emotional intelligence (p = 0,043 < a = 0,05); (3) there is influence of sex in the relation between society culture and teachers’ emotional intelligence (p = 0,003 < a = 0,05); (4) there is not influence of locus of control in the relation between family culture and teachers’ emotional intelligence (p = 0,426 > a = 0,05); (5) there is influence of locus of control in the relation between workplace culture and teachers’ emotional intelligence (p = 0,042 < a = 0,05); (6) there is not influence of locus of control in the relation between society culture and teachers’ emotional intelligence (p = 0,885 > a = 0,05).

(3)
(4)
(5)
(6)

MOTTO DAN PERSEMBAHAN

Jika kita me nc inta i a p a ya ng kita ke rja ka n, Ma ka ha l se sulit a p a p un a ka n te ra sa mud a h, Pe ke rja a n se b e ra t a p a p un a ka n te ra sa ring a n,

Buka n ha nya itu, jika kita me nye na ng i p e ke rja a n d a n p ro fe si kita , Ma ka ta nta ng a n se b e sa r a p a p un

Bisa kita ub a h me nja d i p e lua ng ya ng lua r b ia sa ...

(xa vie r Que ntin Pra na ta )

Karya kecilku ini kupersembahkan untuk

:

Jesus Kristus juru selamatku,

Bunda Maria, bunda pelindungku,

Bapak, simbok, adik serta kakak-kakakku tercinta

yang telah memberikan perhatian serta dukungan yang

begitu berarti,

Mas Dhanang dengan pengertian dan motivasinya

selama ini.

(7)

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA

Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang saya tulis ini tidak

memuat karya atau bagian karya orang lain, kecuali yang telah disebutkan dalam

kutipan dan daftar pustaka, sebagaimana layaknya karya ilmiah.

Yogyakarta, 3 Mei 2007

Penulis

Suprapti

(8)

ABSTRAK

PENGARUH JENIS KELAMIN DAN LOCUS OF CONTROL TERHADAP HUBUNGAN KULTUR KELUARGA, KULTUR LINGKUNGAN KERJA, DAN KULTUR LINGKUNGAN MASYARAKAT DENGAN KECERDASAN

EMOSIONAL GURU

Survei : Guru SMA di Kabupaten Sleman, Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta

Suprapti

Universitas Sanata Dharma 2007

Tujuan penelitian ini untuk mengetahui: (1) pengaruh jenis kelamin terhadap hubungan kultur keluarga dengan kecerdasan emosional guru; (2) pengaruh jenis kelamin terhadap hubungan kultur lingkungan kerja dengan kecerdasan emosional guru; (3) pengaruh jenis kelamin terhadap hubungan kultur lingkungan masyarakat dengan kecerdasan emosional guru; (4) pengaruh locus of control terhadap hubungan kultur keluarga dengan kecerdasan emosional guru; (5) pengaruh locus of control terhadap hubungan kultur lingkungan kerja dengan kecerdasan emosional guru; (6) pengaruh locus of control terhadap hubungan kultur lingkungan masyarakat dengan kecerdasan emosional guru.

Penelitian ini dilaksanakan di 11 SMA di Kabupaten Sleman Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta pada bulan Desember 2006. Teknik pengumpulan data menggunakan kuesioner. Dengan menggunakan teknik purposive sampling

dan proportional sampling, peneliti mendapatkan 308 guru sebagai sampel. Teknik analisis data menggunakan model persamaan regresi yang dikembangkan oleh Chow.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa: (1) ada pengaruh jenis kelamin terhadap hubungan kultur keluarga dengan kecerdasan emosional guru (ρ = 0,049 < α = 0,05); (2) ada pengaruh jenis kelamin terhadap hubungan kultur lingkungan kerja dengan kecerdasan emosional guru (ρ = 0,043 < α = 0,05); (3) ada pengaruh jenis kelamin terhadap hubungan kultur lingkungan masyarakat dengan kecerdasan emosional guru (ρ = 0,003 < α = 0,05); (4) tidak ada pengaruh locus of control terhadap hubungan kultur keluarga dengan kecerdasan emosional guru (ρ = 0,426 > α = 0,05); (5) ada pengaruh locus of control terhadap hubungan kultur lingkungan kerja dengan kecerdasan emosional guru (ρ = 0,042 < α = 0,05); (6) tidak ada pengaruh locus of control terhadap hubungan kultur lingkungan masyarakat dengan kecerdasan emosional guru (ρ = 0,885 > α = 0,05).

(9)

ABSTRACT

THE INFLUENCE OF SEX AND LOCUS OF CONTROL TOWARD THE RELATION AMONG FAMILY CULTURE, WORKPLACE CULTURE, AND

SOCIETY CULTURE WITH TEACHER’S EMOTIONAL INTELLIGENCE

Survey: Teacher of Senior High Schools in Sleman Regency, Province of Daerah Istimewa Yogyakarta.

Suprapti

Sanata Dharma University 2007

This study aims to know: (1) the influence of sex in the relation between family culture and teachers’ emotional intelligence; (2) the influence of sex in the relation between workplace culture and teachers’ emotional intelligence; (3) the influence of sex in the relation between society culture and teachers’ emotional intelligence; (4) the influence of locus of control in the relation between family culture and teachers’ emotional intelligence; (5) the influence of locus of control

in the relation between workplace culture and teachers’ emotional intelligence; (6) the influence of locus of control in the relation between society culture and teachers’ emotional intelligence.

This study was done in three state Senior High Schools and eight private Senior High Schools in Sleman Regency, Province of Daerah Istimewa Yogyakarta in December, 2006. The technique of gathering data was questionnaire. By using purposive sampling technique and proportional sampling, the researcher gained 308 teachers as samples. The technique of analyzing the data was regression model that was developed by Chow.

The result shows: (1) there is influence of sex in the relation between family culture and teachers’ emotional intelligence (p = 0,049 < a = 0,05); (2) there is influence of sex in the relation between workplace culture and teachers’ emotional intelligence (p = 0,043 < a = 0,05); (3) there is influence of sex in the relation between society culture and teachers’ emotional intelligence (p = 0,003 < a = 0,05); (4) there is not influence of locus of control in the relation between family culture and teachers’ emotional intelligence (p = 0,426 > a = 0,05); (5) there is influence of locus of control in the relation between workplace culture and teachers’ emotional intelligence (p = 0,042 < a = 0,05); (6) there is not influence of locus of control in the relation between society culture and teachers’ emotional intelligence (p = 0,885 > a = 0,05).

(10)

KATA PENGANTAR

Puji syukur atas kasih dan karunia yang berlimpah yang telah diberikan

oleh Tuhan Yesus Kristus dan Bunda Maria sehingga penulis dapat

menyelesaikan penyusunan skripsi yang berjudul “Pengaruh Jenis Kelamin Dan

Locus Of Control Terhadap Hubungan Kultur Keluarga, Kultur Lingkungan

Kerja Dan Kultur Lingkungan Masyarakat Dengan Kecerdasan Emosional Guru”. Survei: Guru SMA di Kabupaten Sleman, Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Skripsi ini disusun untuk memenuhi persyaratan akhir mencapai

Gelar Sarjana Pendidikan Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

Dalam penyusunan skripsi ini penulis banyak menerima bantuan,

semangat, dan doa dari berbagai pihak yang sangat mendukung penulis dalam

penyelesaian skripsi ini. Oleh karena itu, dengan kerendahan hati penulis ingin

menyampaiakan rasa syukur dan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Tuhan Yesus Kristus dan Bunda Maria atas karunia, rahmat serta penyertaan

yang telah diberikan.

2. Bapak Drs. T. Sarkim, M.Ed., Ph.D. selaku Dekan Fakultas Keguruan dan

Ilmu Pendidikan Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

3. Bapak Drs. Sutarjo Adisusilo J.R, selaku Ketua Jurusan Pendidikan dan Ilmu

Pengetahuan Sosial Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

4. Bapak S. Widanarto Prijowuntato, S.Pd., M.si. selaku Ketua Program Studi

Pendidikan Akuntansi Universitas Sanata Dharma Yogyakata.

5. Bapak L. Saptono, S.Pd., M.Si. selaku Dosen Pembimbing I yang dengan

sabar dan meluangkan waktu untuk membimbing, memberikan nasehat, kritik

(11)

serta saran, serta pengarahan kepada penulis dalam penyusunan skripsi ini

sampai dengan selesai.

6. Bapak Ag. Heri Nugroho S.Pd. selaku Dosen Pembimbing II yang telah

memberikan pengarahan, bimbingan, nasehat, dan saran kepada penulis dalam

penyusunan skripsi ini.

7. Bapak S. Widanarto P., S.Pd., M.Si. selaku dosen tamu yang telah

memberikan saran dan pengarahan dalam skripsi ini.

8. Seluruh Bapak dan Ibu Dosen Program Studi Pendidikan Akuntansi

Universitas Sanata Dharma Yogyakarta yang telah mencurahkan ilmunya serta

dengan sepenuh hati dalam mendidik kami sehingga berguna untuk masa

depan kami.

9. Mba’ Aris dan Pak Wawi yang telah melayani dan membantu selama

menjalankan pendidikan di Univeritas Sanata Dharma Yogyakarta.

10.Bapak Kepala SMA 1 Sleman, SMA 1 Seyegan, SMA 1 Depok, SMA

Muhammadiyah Seyegan, SMA Islam 2 Sleman, SMA Muhammadiyah Mlati,

SMA Ma’arif 1 Sleman, SMA Tiga Belas Maret Depok (Gama), SMA

Binatama Sleman, MAN III Yogyakarta, dan SMA Santo Agustinus yang

telah memberikan kesempatan kepada penulis dalam melaksanakan penelitian.

Terima kasih banyak atas izin dan bantuannya.

11.Para Staf Karyawan, dan bapak serta ibu guru di 11 SMA di Kabupaten

Sleman Yogyakarta.

12.Bapak dan Simbok (terimakasih untuk semua dukungan, pengorbanan, doa,

dan cinta yang besar untuk ku...aku menyayangi kalian).

(12)

13.Mas Wahyu, Mas Ratno, Mbak Kunik, Mbak Atun, Adikku Si-El serta

keponakanku Erik dan Ervin (terimakasih untuk semua bantuan, dukungan,

pengorbanan, motivasi, dan segala keceriaan yang telah kalian berikan).

14.Mas Dhanang (terimakasih untuk doa, perhatian, motivasi, dan cintanya yang

selama ini telah kamu berikan).

15.Mbah Suto putri yang ada di surga terimakasih untuk doa restunya...

16.Teman–teman seperjuanganku Lina Cipluxs (makasih ya atas semua bantuan,

waktu dan kebersamaannya... ayo diet’biar tambah cantik....), Sari (makasih

telah merepotkan selama ini...jangan pernah bosen ya punya tamu aku terus...),

MM (makasih atas kebersamaannya...jangan suka bohong lagi Em...) dan

Tante Tutik (makasih atas kebersamaan serta resep-resep jitunya...) Terima

Kasih juga untuk doa, semangat, persahabatan serta keceriaan yang telah

kalian berikan selama ini.

17.Teman–teman seangkatanku PAK C’02 ( Risa, teman curhatku, “jangan bosen

ya kalau aku ngoceh terus”, Ima “ayo terus berjuang”, Dita “Si pekerja baru”,

Budhe Dewi “Si pekerja baru juga”, Dika “Si centil”, makasih ya bantuannya,

Esti yang lagi berburu pekerjaan, Cat dengan petuah-petuah religiusnya, Dian

yang lagi berjuang, Putri “ayo put jangan menyerah”, Banu “moga laris manis

ya pulsanya”, Toro sang penakluk virus komputer, Thomas yang centil,

Candra “bapak yang baik, kok tambah kurus aja...”, Satya yang lagi mo

smangat kuliah, Valent “si muka ngantuk”, Tiara si usil, Tm “jangan

ngelamun terus”, Ivon yang lagi menghilang, Andre si Bang Roma, Uchi “ayo

jangan kuliah terus”, Lia “si pendiam yang lagi bisnis counter”, Dewi cilik

(13)

“kuliah yang rajin ya”, Heri “ayo smangat”, Sigit “frater” smangat Ter...) dan

Wulan yang tambah cantik aja. Terima kasih atas kebersamaan dan

kenangan-kenangan indah bersama kalian...

18.Teman-teman kos Gatot Kaca 6, Andri, Dhita, Rina, Yohana, mba Nur, mba

Yati, mba Nonong mba Santi, Mba Yuli, Mas Iwan, Gun-gun, Bajuri, Nowo,

Charles, dan Robert yang belum juga kukenal sampai sekarang, terimakasih

atas kebersamaan dan suka duka yang telah kita lalui bersama.

19.Kris, terimakasih atas smangatnya. “jualan sengsu lagi yuk”.

20.Mas Anto’ Terima kasih atas waktu dan bantuannya.

21.Pihak-pihak yang tidak bisa saya sebutkan satu persatu terima kasih untuk

doa, dukungan, dan perhatiannya.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa penyusunan skripsi ini jauh dari

sempurna, sehingga masih perlu dikaji dan dikembangkan secara lebih lanjut.

Oleh karena itu, penulis sangat mengharapkan saran dan kritik yang bersifat

konstuktif. Akhir kata, penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi

semua pihak yang berkepentingan.

Penulis

(14)

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii

HALAMAN PENGESAHAN ... iii

HALAMAN MOTTO DAN PERSEMBAHAN... iv

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... v

ABSTRAK ... vi

ABSTRACT ... vii

KATA PENGANTAR ... viii

DAFTAR ISI ... xii

DAFTAR TABEL ... xviii

DAFTAR LAMPIRAN ... xx

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ……… 1

B. Identifikasi Masalah……… 4

C. Rumusan Masalah ……… 5

D. Tujuan Penelitian……… 6

E. Manfaat Penelitian ……… 6

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kultur Keluarga ……… 8

1. Pengertian Kultur ……… 8

2. Pengertian Keluarga ……… 9

3. Dimensi Kultur Keluarga ……… 11

B. Kultur Lingkungan Kerja ……… 14

1. Pengertian Lingkungan Kerja ……… 14

2. Dimensi Kultur Lingkungan Kerja ……… 15

C. Kultur Lingkungan Masyarakat ……… 17

1. Pengertian Masyarakat ……….. 17

2. Dimensi Kultur Lingkungan Masyarakat ……… 18

(15)

D. Kecerdasan Emosional ………. 21

1. Pengertian Emosi ……… 21

2. Pengertian Kecerdasan Emosional ………. 22

3. Dimensi Kecerdasan Emosional ……… 23

4. Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Kecerdasan Emosional …. 27 E. Jenis Kelamin ……… 29

F. Locus of Control ……… 31

G. Kerangka Berpikir ……… 34

1. Pengaruh Jenis Kelamin Terhadap Hubungan Kultur Keluarga Dengan Kecerdasan Emosional Guru ………... 34

2. Pengaruh Jenis Kelamin Terhadap Hubungan Kultur Lingkungan Kerja Dengan Kecerdasan Emosional Guru ……… 40

3. Pengaruh Jenis Kelamin Terhadap Hubungan Kultur Lingkungan Masyarakat Dengan Kecerdasan Emosional Guru .. 45

4. Pengaruh Locus of Control Terhadap Hubungan Kultur Keluarga Dengan Kecerdasan Emosional Guru ……….. 49

5. Pengaruh Locus of Control Terhadap Hubungan Kultur Lingkungan Kerja Dengan Kecerdasan Emosional Guru ……… 53

6. Pengaruh Locus of Control Terhadap Hubungan Kultur Lingkungan Masyarakat Dengan Kecerdasan Emosional Guru .. 56

H. Perumusan Hipotesis ……… 60

BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian ……… 61

B. Tempat dan Waktu Penelitian ……….. 61

1. Tempat Penelitian ……… 61

2. Waktu Penelitian ……… 62

C. Subyek dan Obyek Penelitian ……… 62

1. Subyek Penelitian ……… 62

2. Obyek Penelitian ……… 62

D. Populasi, Sampel dan Teknik Pengambilan Sampel ……… 62

1. Populasi Penelitian ……… 62

(16)

2. Sampel Penelitian dan Teknik Pengambilan Sampel ………… 63

E. Variabel Penelitian dan Pengukurannya ……… 63

1. Kecerdasan Emosional ……… 63

2. Kultur Keluarga……… 66

3. Kultur Lingkungan Kerja ……… 68

4. Kultur Lingkungan Masyarakat ……….. 69

5. Jenis Kelamin ……….. 71

6. Locus of Control ………... 72

F. Teknik Pengumpulan Data ………... 73

G. Pengujian Validitas dan Reliabilitas ………... 73

1. Uji Validitas ……….... 73

a. Kecerdasan Emosional ……….. 74

b. Kultur Keluarga ……… 75

c. Kultur Lingkungan Kerja ……….. 75

d. Kultur Lingkungan Masyarakat ……….... 76

e. Locus of Control ……… 76

2. Uji Reliabilitas ……… 77

H. Teknik Analisis Data ……… 80

1. Statistik Deskriptif……… 80

2. Pengujian Normalitas dan Linearitas ……….. 81

a. Uji Normalitas ……….. 81

b. Uji Linearitas ……… 82

3. Pengujian Hipotesis Penelitian ……… 83

a. Hipotesis I ………. 83

1) Rumusan hipotesis ……….. 83

2) Pengujian hipotesis ………. 83

BAB IV ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN A. Deskripsi Data ……….. 85

1. Deskripsi Responden Penelitian ………. 85

2. Deskripsi Variabel Penelitian ………. 86

a. Kecerdasan Emosional Guru ……… 86

(17)

b. Kultur Keluarga ……… 88

1) Power Distance ………... 88

2) Individualism vs Collectivism ………. 89

3) Femininity vs Masculinity ………... 90

4) Uncertainty Avoidance ……… 92

c. Kultur Lingkungan Kerja ………. 95

1) Power Distance ……….. 95

2) Individualism vs Collectivism ………. 96

3) Femininity vs Masculinity ……… 98

4) Uncertainty Avoidance ……… 99

d. Kultur Lingkungan Masyarakat ……… 102

1) Power Distance ………... 102

2) Individualism vs Collectivism ………. 103

3) Femininity vs Masculinity ………... 105

4) Uncertainty Avoidance ……… 106

e. Locus of Control ………... 109

B. Analisis Data ………... 110

1. Pengujian Prasyarat Analisis Data ……….. 110

a. Pengujian Normalitas ……… 110

b. Pengujian Linearitas ………. 111

2 Pengujian Hipotesis ……… 113

a. Pengaruh Jenis Kelamin Terhadap Hubungan Kultur Keluarga Dengan Kecerdasan Emosional Guru …………... 113

1) Rumusan hipotesis I ……… 113

2) Pengujian hipotesis ………. 113

b. Pengaruh Jenis Kelamin Terhadap Hubungan Kultur Lingkungan Kerja Dengan Kecerdasan Emosional Guru ….. 115

1) Rumusan hipotesis II ……….. 115

2) Pengujian hipotesis ………. 115

(18)

c. Pengaruh Jenis Kelamin Terhadap Hubungan Kultur

Lingkungan Masyarakat Dengan Kecerdasan Emosional

Guru ……….. 117

1) Rumusan hipotesis III ………. 117

2) Pengujian hipotesis ………. 117

d. Pengaruh Locus of Control Terhadap Hubungan Kultur Keluarga Dengan Kecerdasan Emosional Guru …………... 119

1) Rumusan hipotesis IV ………. 119

2) Pengujian hipotesis ……… 119

e. Pengaruh Locus of Control Terhadap Hubungan Kultur Lingkungan Kerja Dengan Kecerdasan Emosional Guru …. 121 1) Rumusan hipotesis V……… 121

2) Pengujian hipotesis ………. 121

f. Pengaruh Locus of Control Terhadap Hubungan Kultur Lingkungan Masyarakat Dengan Kecerdasan Emosional Guru ……….. 123

1) Rumusan hipotesis VI ………. 123

2) Pengujian hipotesis ………. 123

C. Pembahasan Hasil Penelitian ……… 125

1. Pengaruh Jenis Kelamin Terhadap Hubungan Kultur Keluarga Dengan Kecerdasan Emosional Guru ………. 125

2. Pengaruh Jenis Kelamin Terhadap Hubungan Kultur Lingkungan Kerja Dengan Kecerdasan Emosional Guru ……… 128

3. Pengaruh Jenis Kelamin Terhadap Hubungan Kultur Lingkungan Masyarakat Dengan Kecerdasan Emosional Guru .. 131

4. Pengaruh Locus of Control Terhadap Hubungan Kultur Keluarga Dengan Kecerdasan Emosional Guru ……… 135

5. Pengaruh Locus of Control Terhadap Hubungan Kultur Lingkungan Kerja Dengan Kecerdasan Emosional Guru ……… 138

(19)

6. Pengaruh Locus of Control Terhadap Hubungan Kultur

Lingkungan Masyarakat Dengan Kecerdasan Emosional

Guru ……… 142

BAB V KESIMPULAN, KETERBATASAN PENELITIAN DAN SARAN A. Kesimpulan ……….. 146

B. Keterbatasan Penelitian………. 147

C. Saran ………. 148

DAFTAR PUSTAKA ……….. 151

LAMPIRAN

(20)

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 3.1. Operasionalisasi Variabel Kecerdasan Emosional Guru ………. 64

Tabel 3.2. Operasionalisasi Variabel Kultur Keluarga ……… 67

Tabel 3.3. Operasionalisasi Variabel Kultur Lingkungan Kerja …………. 68

Tabel 3.4. Operasionalisasi Variabel Kultur Lingkungan Masyarakat …… 70

Tabel 3.5. Operasionalisasi Variabel Locus of Control ……… 72

Tabel 3.6. Hasil Pengujian Validitas Variabel Kecerdasan Emosional

Guru ……… 74

Tabel 3.7. Hasil Pengujian Validitas Variabel Kultur Keluarga ………….. 75

Tabel 3.8. Hasil Pengujian Validitas Variabel Kultur Lingkungan

Kerja ……… 75

Tabel 3.9. Hasil Pengujian Validitas Variabel Kultur Lingkungan

Masyarakat ……….. 76

Tabel 3.10. Hasil Pengujian Validitas Variabel Locus of Control …………. 76

Tabel 3.11. Hasil Pengujian Reliabilitas ……… 79

Tabel 4.1. Deskripsi Jenis Kelamin Responden ……….. 85

Tabel 4.2. Deskripsi Variabel Kecerdasan Emosional Guru ……… 87

Tabel 4.3. Deskripsi Variabel Kultur Keluarga Pada Dimensi Power

Distance ………... 88

Tabel 4.4. Deskripsi Variabel Kultur Keluarga Pada Dimensi

Individualism vs Collectivism ………. 89

Tabel 4.5. Deskripsi Variabel Kultur Keluarga Pada Dimensi

Femininity vs Masculinity ……… 91

Tabel 4.6. Deskripsi Variabel Kultur Keluarga Pada Dimensi

Uncertainty Avoidance ……… 92

Tabel 4.7. Deskripsi Variabel Kultur Keluarga ……… 93

Tabel 4.8. Deskripsi Variabel Kultur Lingkungan Kerja Pada Dimensi

Power Distance ……….. 95

(21)

Tabel 4.9. Deskripsi Variabel Kultur Lingkungan Kerja Pada Dimensi

Individualism vs Collectivism ………. 96

Tabel 4.10. Deskripsi Variabel Kultur Lingkungan Kerja Pada Dimensi

Femininity vs Masculinity ……… 98

Tabel 4.11. Deskripsi Variabel Kultur Lingkungan Kerja Pada Dimensi

Uncertainty Avoidance ……… 99

Tabel 4.12. Deskripsi Variabel Kultur Lingkungan Kerja ………. 101

Tabel 4.13. Deskripsi Variabel Kultur Lingkungan Masyarakat Pada

Dimensi Power Distance ………. 102

Tabel 4.14. Deskripsi Variabel Kultur Lingkungan Masyarakat Pada

Dimensi Individualism vs Collectivism ………... 103

Tabel 4.15. Deskripsi Variabel Kultur Lingkungan Masyarakat Pada

Dimensi Femininity vs Masculinity ………. 105

Tabel 4.16. Deskripsi Variabel Kultur Lingkungan Masyarakat Pada

Dimensi Uncertainty Avoidance ………. 106

Tabel 4.17. Deskripsi Variabel Kultur Lingkungan Masyarakat …………... 108

Tabel 4.18. Deskripsi Variabel Locus of Control ……….. 109

Tabel 4.19. Hasil Pengujian Normalitas ……… 110

Tabel 4.20. Hasil Pengujian Linearitas Variabel Kultur Keluarga dengan

Variabel Kecerdasan Emosional Guru ……… 111

Tabel 4.21. Hasil Pengujian Linearitas Variabel Kultur Lingkungan

Kerja dengan Variabel Kecerdasan Emosional Guru …………. 112

Tabel 4.22. Hasil Pengujian Linearitas Variabel Kultur Lingkungan

Masyarakat dengan Variabel Kecerdasan Emosional Guru …… 112

(22)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Kuesioner ... 153

Lampiran 2 Data Prapenelitian ... 160

Lampiran 3 Validitas dan Reliabilitas ... 165

Lampiran 4 Data Induk ... 171

Lampiran 5 Data Distribusi Frekuensi ... 202

Lampiran 6 Hasil Uji Normalitas dan Linieritas ... 223

Lampiran 7 Hasil Uji Regresi ... 225

Lampiran 8 Tabel ... 233

Lampiran 9 Surat Ijin Penelitian ... 235

(23)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Salah satu penentu keberhasilan dalam pelaksanaan kegiatan belajar

mengajar di sekolah adalah guru. Guru adalah seorang pengajar. Sebagai

seorang pengajar, guru dituntut untuk profesional yaitu memiliki kinerja tinggi

dalam menjalankan amanah keguruannya, memiliki kreatifitas tinggi,

memikirkan tentang bagaimana siswanya dapat mengetahui ilmu pengetahuan,

mengetahui kondisi dirinya maupun siswanya. Untuk dapat menjadi guru yang

profesional, seorang guru tidak hanya dituntut untuk memiliki tingkat

kecerdasan intelektual tetapi juga kecerdasan emosional (emotional

intelligence) yang tinggi. Kecerdasan emosional guru ini mencakup

kemampuan guru untuk membedakan dan menanggapi dengan tepat suasana

hati, temperamen, motivasi, serta hasrat keinginan diri sendiri dan orang lain.

Kecerdasan emosional menurut Goleman

(http://www1.unpar.ac.id/web/column/rudiscolumn.asp?Koderekaman=02451

31215406176) adalah kemampuan merasakan, memahami, dan dengan efektif

menerapkan daya dan kepekaan emosi sebagai sumber energi, informasi, dan

pengaruh yang manusiawi. Kecerdasan emosional mencakup pengendalian

diri, semangat dan ketekunan, serta kemampuan untuk memotivasi diri sendiri

dan bertahan menghadapi frustasi, kesanggupan untuk mengendalikan

dorongan hati dan emosi, untuk membaca perasaan terdalam orang lain

(24)

(empati), kemampuan untuk menyelesaikan konflik, serta kemampuan untuk

memimpin. Dengan demikian kecerdasan emosional merupakan modal

keberhasilan diri guru dalam menjalankan profesinya. Ketrampilan guru akan

hal-hal tersebut penting khususnya dalam menghadapi siswanya yang

memiliki karakter yang berbeda.

Ada dua faktor yang secara umum berhubungan dengan kecerdasan

emosional, yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal

merupakan faktor-faktor yang ada dalam diri individu sendiri. Sedangkan

faktor eksternal kecerdasan emosional merupakan faktor-faktor yang berasal

dari perlakuan yang didapatkan dari lingkungan tempat seseorang berada atau

tinggal. Lingkungan yang mempengaruhi kecerdasan emosional adalah

keluarga, lingkungan teman-teman sebaya (rekan kerja), dan lingkungan

masyarakat sosial. Pada masing-masing lingkungan tersebut, guru berhadapan

dengan kebiasaan-kebiasan (kultur) yang berbeda antara yang satu dengan

yang lainnya. Sehingga dengan demikian, karakter seorang guru akan terpola

dari akulturasi dengan lingkungannya tersebut. Kultur keluarga, kultur

lingkungan kerja, dan kultur lingkungan masyarakat mengambil peranan yang

penting dalam menentukan tinggi atau rendahnya tingkat kecerdasan

emosional seorang guru.

Ada dugaan bahwa terdapat perbedaan derajat hubungan kultur

keluarga, kultur lingkungan kerja dan kultur lingkungan masyarakat dengan

kecerdasan emosional pada jenis kelamin guru yang berbeda. Pada guru yang

(25)

emosional yang lebih tinggi karena perempuan memiliki pola dasar yang

terarah pada manusia, lebih tabah mudah menerima serta mampu

mengendalikan, dan mengatur emosi dengan perasaan yang lebih menonjol.

Sementara, pada guru yang berjenis laki-laki pada umumnya berperan sebagai

kepala keluarga dan memegang kekuasaan mengambil keputusan dalam

keluarga. Namun demikian laki-laki umumnya kurang dapat mengendalikan

dan mengatur emosi, karena terdapat kecenderungan bahwa guru laki-laki

lebih mengutamakan inteleklual dan rasionya dari pada emosi dan perasaan.

Dengan demikian, diduga kuat bahwa derajat hubungan kultur keluarga, kultur

lingkungan kerja dan kultur lingkungan masyarakat dengan kecerdasan

emosional guru akan lebih tinggi pada guru berjenis kelamin perempuan

dibandingkan dengan guru berjenis kelamin laki-laki.

Di samping hal tersebut di atas, ada dugaan juga bahwa terdapat

perbedaan derajat hubungan kultur keluarga, kultur lingkungan kerja, dan

kultur lingkungan masyarakat dengan kecerdasan emosional pada guru dengan

locus of control yang berbeda. Locus of control dapat diklasifikasi menjadi

dua, yaitu: internal dan eksternal. Seorang guru yang memiliki locus of control

internal merasa bahwa dirinya sendirilah yang menjadi sumber pencapaian

keberhasilan dari segala tindakannya. Sedangkan guru dengan locus of control

eksternal cenderung memandang bahwa dirinya, keputusan dan tindakannya

sangat dipengaruhi oleh orang lain. Dengan demikian diduga kuat bahwa

derajat hubungan kultur keluarga, kultur lingkungan kerja dan kultur

(26)

pada seorang guru yang memiliki locus of control internal dibandingkan

dengan seorang guru yang memiliki locus of control eksternal.

Penelitian ini dimaksudkan untuk mengetahui apakah kultur keluarga,

kultur lingkungan kerja dan kultur lingkungan masyarakat yang berbeda akan

berhubungan dengan tingkat kecerdasan emosional pada guru dengan jenis

kelamin dan locus of control yang berbeda. Penelitian ini selanjutnya

dirumuskan dalam judul “PENGARUH JENIS KELAMIN DAN LOCUS OF

CONTROL TERHADAP HUBUNGAN KULTUR KELUARGA, KULTUR

LINGKUNGAN KERJA, DAN KULTUR LINGKUNGAN MASYARAKAT

DENGAN KECERDASAN EMOSIONAL GURU” dan mengambil survei

pada guru SMA di Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta.

B. Identifikasi Masalah

Terdapat beberapa faktor yang bisa mempengaruhi tingkat kecerdasan

emosional seseorang. Faktor-faktor tersebut adalah faktor internal dan faktor

ekternal. Faktor internal terdiri dari faktor fisiologis dan faktor psikologis.

Faktor fisiologis meliputi ketrampilan emosional otak manusia. Sedangkan

faktor psikologis meliputi keyakinan, rasa ingin tahu, niat, pengendalian diri,

keterkaitan, dan kemampuan bekerja sama. Faktor eksternal meliputi

lingkungan keluarga, lingkungan teman-teman sebaya, dan lingkungan

masyarakat. Dalam penelitian ini, penulis memfokuskan pada faktor eksternal

yaitu kultur keluarga, kultur lingkungan kerja, dan kultur lingkungan

(27)

C. Rumusan Masalah Penelitian

Berdasarkan latar belakang masalah tersebut di atas, dirumuskan

permasalahan sebagai berikut:

1. Apakah ada pengaruh jenis kelamin terhadap hubungan kultur keluarga

dengan kecerdasan emosional guru?

2. Apakah ada pengaruh jenis kelamin terhadap hubungan kultur lingkungan

kerja dengan kecerdasan emosional guru?

3. Apakah ada pengaruh jenis kelamin terhadap hubungan kultur lingkungan

masyarakat dengan kecerdasan emosional guru?

4. Apakah ada pengaruh locus of control terhadap hubungan kultur keluarga

dengan kecerdasan emosional guru?

5. Apakah ada pengaruh locus of control terhadap hubungan kultur

lingkungan kerja dengan kecerdasan emosional guru?

6. Apakah ada pengaruh locus of control terhadap hubungan kultur

(28)

D. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah tersebut di atas, tujuan penelitian ini adalah

sebagai berikut:

1. Ada pengaruh jenis kelamin terhadap hubungan kultur keluarga dengan

kecerdasan emosional guru.

2. Ada pengaruh jenis kelamin terhadap hubungan lingkungan kerja dengan

kecerdasan emosional guru.

3. Ada pengaruh jenis kelamin terhadap hubungan kultur lingkungan

masyarakat dengan kecerdasan emosional guru.

4. Ada pengaruh locus of control terhadap hubungan kultur keluarga dengan

kecerdasan emosional guru.

5. Ada pengaruh locus of control terhadap hubungan kultur lingkungan kerja

dengan kecerdasan emosional guru.

6. Ada pengaruh locus of control terhadap hubungan kultur lingkungan

masyarakat dengan kecerdasan emosional guru.

E. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi berbagai pihak, yaitu:

1. Subjek Penelitian (Guru)

Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi guru untuk

memperluas pengetahuan mereka tentang pentingnya memiliki kecerdasan

(29)

bahwa kecerdasan emosional sangat penting dalam meningkatkan

profesionalitas sebagai tenaga pendidik.

2. Peneliti Lain

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan inspirasi untuk

mengadakan dan mengembangkan penelitian lanjutan dalam bidang

(30)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Kultur Keluarga

1. Pengertian Kultur

Banyak ahli mendefinisikan kultur secara berbeda-beda. The

American Heritage Dictionary (dalam Kotter, 1992:4) mendefinisikan kultur

sebagai:

The totality of socially transmitted behavior patterns, arts, beliefs, institutions, and all other products of human work and thought characteristics of a community or population.

Kultur merupakan keseluruhan pola keperilakuan manusia, seni,

kepercayaan, lembaga-lembaga, dan keseluruhan hasil karya manusia yang

mewujudkan karakteristik-karakteristik yang dibawa dari komunitas atau

masyarakatnya.

Tylor dalam Conrad Phillip Kottak (1991:37) mendefinisikan kultur

sebagai berikut:

Cultur is that complex whole which includes knowledge, belief, arts, morals, law, custom, and any other capabilities and habits acquired by man as a member of society.

Kultur merupakan sesuatu yang kompleks/menyeluruh mencakup

pengetahuan, kepercayaan, seni, moral, hukum, adat istiadat, dan kemampuan

serta kebiasaan yang diperlukan manusia sebagai anggota masyarakat.

(31)

Sementara itu, Hofstede (1994:5) mengartikan kultur sebagai:

A collective phenomenon, because it is at least partly shared with people who live or lived within the same social environment, which is there it was learned. It is collective programming of the mind which distinguishes the members of the one group or category of people from another.

Kultur merupakan bentuk pemprograman mental secara kolektif yang

membedakan anggota kelompok satu dengan kelompok yang lainnya dalam

pola pikir, perasaan, dan tindakan anggota suatu kelompok. Hofstede (1994:4)

karenanya menyebutkan kultur sebagai “software of the mind”. Sebagai

bentuk pemprograman mental secara kolektif, kultur cenderung sulit berubah

karena telah terkristalisasi dalam lembaga yang telah mereka bangun.

Dengan demikian kultur merupakan pandangan hidup yang diakui

bersama dalam suatu kelompok, yang mencakup pola berpikir, berperilaku,

sikap nilai yang tercermin dalam wujud fisik maupun abstrak yang

membedakan anggota kelompok satu dengan kelompok yang lainnya.

2. Pengertian Keluarga

Yang dimaksud keluarga adalah keluarga asal anak, dimana anak

dilahirkan, dibesarkan, dan hidup bersama ayah, ibu, dan saudaranya

(Kartono, 1985:27). Sedangkan Paul B. Horton dalam Manurung (1995:47)

mendefinisikan keluarga sebagai berikut:

(32)

Keluarga diartikan sebagai suatu kelompok pertalian nasib keluarga

yang dapat dijadikan tempat untuk membimbing anak-anak dan untuk

pemenuhan kebutuhan hidup lainnya.

Sementara menurut Ahmadi (1991:239), keluarga dalam bentuk murni

merupakan satu kesatuan sosial yang terdiri dari suami, istri, dan anak-anak

yang belum dewasa. Satuan ini mempunyai sifat-sifat tertentu yang sama

dimana saja dalam satuan masyarakat manusia. Keluarga merupakan suatu

kesatuan sosial yang terdiri dari ayah, ibu, dan anak, yang dapat dijadikan

tempat untuk membimbing anak-anak dan untuk pemenuhan kebutuhan hidup,

baik kebutuhan fisik maupun psikis.

Dari definisi tentang kultur dan keluarga di atas, dapat disimpulkan

bahwa kultur keluarga merupakan pandangan hidup yang mencakup cara

berpikir, berperilaku, dan sikap nilai, yang diakui bersama dalam suatu

kesatuan sosial yang terdiri atas ayah, ibu, dan anak, yang dapat dijadikan

tempat untuk membimbing anak-anak sekaligus sebagai tempat untuk

pemenuhan kebutuhan hidup, baik kebutuhan fisik maupun psikis.

Sebagai tempat untuk membimbing anak, keluarga mempunyai

peranan yang sangat besar bagi perkembangan anak, baik itu fisik maupun

psikis. Dalam lingkungan keluarga, seseorang belajar bagaimana mengolah

perasaan dirinya sendiri, bagaimana berpikir tentang perasaan ini, menentukan

pilihan-pilihan untuk bereaksi, dan bagaimana membaca dan mengungkapkan

(33)

pikiran, perilaku, dan sikap nilai yang tertanam dalam diri seseorang, yang

merupakan cerminan dari tingkat kecerdasan emosional seseorang. Misalnya

saja dalam keluarga yang mempunyai kebiasaan untuk saling bertukar

pendapat mengenai kebijakan keluarga, akan melahirkan seseorang yang

mampu berkomunikasi dengan baik dan mampu menghormati pendapat orang

lain. Selain itu, keluarga juga berperan dalam pembentukan konsep tentang

keberadaan orang lain ataupun konsep tentang hal-hal yang dilihat di

sekitarnya. Misalnya, jika sejak kecil seseorang telah dididik untuk

menghormati orang lain, maka akan tumbuh pemahaman dalam dirinya bahwa

semua orang harus dihormati.

3. Dimensi Kultur Keluarga

Kultur keluarga terbagi menjadi 4 dimensi yaitu: (a) jarak kekuasaan

(power distance); (b) penghindaran ketidakpastian (uncertainty avoidance);

(c) individualisme versus kolektivisme (individualism versus collectivism); (d)

maskulinitas versus femininitas (masculinity versus femininity).

Jarak kekuasaan (power distance) menunjukkan tingkatan atau

sejauhmana tiap keluarga mempertahankan perbedaan status atau kekuasaan

diantara anggota-anggotanya. Keluarga dengan latar belakang budaya power

distance besar akan cenderung mengembangkan aturan, mekanisme atau

kebiasaan-kebiasaan dalam mempertahankan perbedaan status atau

(34)

kecil akan berusaha untuk meminimalkan perbedaan-perbedaan status atau

mengutamakan kesejajaran (equality).

Dalam dimensi kedua yaitu penghindaran ketidakpastian (uncertainty

avoidance) menunjuk sejauhmana pandangan anggota keluarga dalam

menghadapi situasi yang tidak pasti. Keluarga dengan latar belakang budaya

uncertainty avoidance kuat, merasa terancam dengan ketidakpastian sehingga

akan berusaha menciptakan mekanisme untuk mengurangi risiko. Lain halnya

pada keluarga dengan latar belakang budaya uncertainty avoidance lemah,

toleransi terhadap situasi tidak pasti akan menjadi lebih tinggi.

Sementara itu dimensi individualisme versus kolektivisme

(individualism versus collectivism) mengacu pada sejauhmana suatu keluarga

mendukung tendensi individualisme atau kolektivisme. Keluarga dengan latar

belakang budaya individualisme mendorong anggota-anggotanya untuk

mandiri (otonom) dan merealisasikan hak-hak pribadinya. Sedangkan pada

keluarga dengan latar belakang budaya kolektivisme menekankan kewajiban

pada kelompok daripada hak-hak pribadinya.

Dimensi maskulinitas versus femininitas (masculinity versus

femininity) menunjukkan sejauhmana suatu keluarga berpegang teguh pada

peran gender atau nilai-nilai seksual tradisional yang didasarkan pada

perbedaan biologis. Kelurga dengan latar belakang budaya maskulinitas

menekankan peran yang lebih dominan dari pada perempuan. Biasanya dalam

(35)

(tentang yang boleh atau tidak boleh dilakukan) dibandingkan pihak ibu.

Sementara keluarga dengan latar belakang budaya femininitas mengutamakan

nilai-nilai kesederhanaan, kerendahan hati, dan kesetiakawanan. Oleh karena

itu, dalam hubungan antar anggota keluarga orang tua tidak menghendaki

adanya perbedaan-perbedaan yang tampak diantara mereka (misalnya: kerja

atau tidak kerja).

Dimensi jarak kekuasaan (power distance) mencakup indikator antara

lain: kekuasaan orang tua atas aturan, kepatuhan/rasa hormat terhadap orang

tua atau terhadap anggota keluarga lain yang lebih tua, ketergantungan kepada

orang tua dan kebiasaan dalam meminimalkan perbedaan status. Dimensi

penghindaran ketidakpastian (uncertainty avoidance) mencakup indikator

yang meliputi: sikap dalam menghadapi ketidak pastian hidup dan penetapan

aturan. Dimensi individualisme versus kolektivisme (individualism versus

collectivism) mencakup indikator antara lain: kebebasan untuk menyatakan

pendapat, loyalitas pada anggota keluarga yang lain, keleluasaan untuk

mandiri keterikatan sosial satu sama lain dalam keluarga, kebutuhan untuk

berkomunikasi, dan perasaan yang muncul akibat pelanggaran atas suatu

aturan atau norma tertentu. Sedangkan pada dimensi maskulinitas versus

femininitas (masculinity versus femininity) mencakup indikator antara lain:

peran ayah lebih dominan, perhatian yang lebih kepada anggota yang lebih

kuat, anggota keluarga (laki-laki atau perempuan) memiliki cita-cita yang

(36)

B. Kultur Lingkungan Kerja

1. Pengertian Lingkungan Kerja

Lingkungan kerja merupakan segala sesuatu yang ada di sekitar para

pekerja dan yang dapat mempengaruhi dirinya dalam menjalankan tugas-tugas

yang dibebankan (Nitisemito, 1982:183). Agus Ahyari (1986:125-126),

mendefinisikan lingkungan kerja sebagai suatu lingkungan dimana karyawan

tersebut bekerja dan melakukan tugas sehari-hari yang meliputi penafsiran

perusahaan terhadap karyawan, kondisi kerja karyawan, dan hubungan

karyawan di dalam perusahaan.

Pandji Anoraga dan Sri Suyati (1995:72), mendefinisikan lingkungan

kerja sebagai lingkungan yang meliputi hubungan antar karyawan, hubungan

dengan pimpinan, suhu, penerangan, dan sebagainya. Lingkungan kerja

merupakan lingkungan di sekitar pekerja yang mempengaruhi dirinya, baik

secara emosional maupun intelektual, dalam menjalankan tugas-tugas yang

dibebankan.

Dari definisi tentang kultur dan lingkungan kerja di atas, kultur

lingkungan kerja merupakan pandangan hidup, mencakup cara berpikir,

berperilaku, sikap nilai, yang diakui bersama dalam suatu lingkungan di

sekitar pekerja yang mempengaruhi dirinya, baik secara emosional maupun

(37)

2. Dimensi Kultur Lingkungan Kerja

Menurut Hofstede dalam Tri Dayakisni dan Salis Yuniardi (2004:277),

dimensi utama nilai yang berkaitan dengan kultur lingkungan kerja adalah: (a)

jarak kekuasaan (power distance); (b) penghindaran ketidakpastian

(uncertainty avoidance); (c) individualisme versus kolektivisme

(individualism versus collectivism); (d) maskulinitas versus femininitas

(masculinity versus femininity). Masing-masing dimensi ini berkaitan dengan

perbedaan secara konkrit dalam hal sikap, opini, keyakinan, dan perilaku

dalam organisasi kerja dan bentuk-bentuk dasar untuk memahami

norma-norma sosial tertentu.

Dimensi jarak kekuasaan (power distance) menunjukkan tingkatan

atau sejauhmana tiap budaya mempertahankan perbedaan status atau

kekuasaan diantara anggota-anggotanya. Lingkungan kerja dengan latar

belakang budaya power distance besar akan cenderung mengembangkan

aturan, mekanisme atau kebiasaan-kebiasaan dalam mempertahankan

perbedaan status atau kekuasaan. Implikasinya biasanya ditandai dengan

adanya struktur hirarki yang tinggi. Sedangkan kultur lingkungan kerja

dengan latar belakang budaya power distance kecil berusaha meminimalkan

perbedaan status atau kekuasaan dan dalam hubungan kerjanya didukung oleh

inisiatif dari atasan dan bawahan.

Dimensi penghindaran ketidakpastian (uncertainty avoidance)

(38)

menghadapi situasi yang tidak pasti. Lingkungan kerja dengan latar belakang

budaya uncertainty avoidance kuat, merasa terancam dengan ketidakpastian

sehingga setiap anggotanya akan berusaha menciptakan mekanisme untuk

mengurangi risiko dan mempertahankan harga diri. Berbeda pada lingkungan

kerja dengan latar belakang budaya uncertainty avoidance lemah, toleransi

terhadap situasi ketidakpastian akan menjadi lebih tinggi, sehingga setiap

anggotanya cenderung lebih senang mencoba hal-hal baru.

Budaya individualisme mendorong anggota-anggotanya agar mandiri,

menekankan tanggung jawab dan hak-hak pribadinya, sehingga mampu

menumbuhkan kemandirian emosional pada instansi tempat seseorang

bekerja. Budaya kolektivisme menekankan kewajiban kepada instansi

(kelompok) tempat seseorang bekerja daripada hak-hak pribadinya.

Sedangkan dimensi maskulinitas versus femininitas (masculinity

versus femininity) menunjukkan sejauhmana lingkungan kerja berpegang

teguh pada peran gender. Lingkungan kerja dengan latar belakang budaya

maskulinitas menekankan pada nilai ketegasan, ambisi, dan persaingan.

Sedangkan pada lingkungan kerja dengan latar belakang budaya femininitas

lebih mengutamakan kesederhanaan, kerendahan hati, dan kesetiakawanan.

Dimensi jarak kekuasaan (power distance) mencakup indikator antara

lain: perbedaan jarak antara atasan dan bawahan, tingkat pengawasan, dan

sistem penggajian. Dimensi penghindaran ketidakpastian (uncertainty

(39)

bekerja, kebebasan mengeluarkan ide, sumber motivasi dalam bekerja, dan

dasar kedisiplinan kerja. Dimensi maskulinitas versus femininitas (masculinity

versus femininity) mencakup indikator: cara mengatasi masalah, filosofi kerja,

sikap atasan dalam memimpin, dan orientasi kerja. Dimensi individualisme

versus kolektivisme (individualism versus collectivism) mencakup indikator:

dasar hubungan atasan bawahan, dasar pemberian gaji dan sistem manajemen

kerja yang dianut.

C. Kultur Lingkungan Masyarakat

1. Pengertian Masyarakat

Masyarakat merupakan orang-orang yang hidup bersama, yang

menghasilkan kebudayaan (Selo Soemardjan dalam Soerjono Soekanto,

1982:22). Hal demikian berarti masyarakat merupakan setiap kelompok

manusia yang telah hidup dan bekerja bersama cukup lama sehingga mereka

dapat mengatur diri mereka dan menganggap diri mereka sebagai suatu

kesatuan sosial dengan batas-batas yang dirumuskan dengan jelas (Ralph

Linton dalam Soerjono Soekanto, 1982:22).

Sedangkan menurut Hasan Shadily, masyarakat adalah golongan besar

atau kecil terdiri atas beberapa manusia, yang dengan atau karena sendirinya

bertalian secara golongan dan mempengaruhi satu sama lain (dalam

Manurung, 1995:48). Sementara, Webster menguraikan masyarakat sebagai

(40)

dianggap seperti suatu sistem yang olehnya kehidupan individu dibentuk,

terikat oleh cita-cita atau tujuan bersama, kepentingan bersama dalam taraf

kehidupan (dalam Manurung, 1995:49). Jadi, masyarakat merupakan

sekelompok manusia yang membentuk kesatuan sosial dimana didalamnya

kehidupan individu dibentuk, saling mempengaruhi satu sama lain, terikat

oleh tujuan bersama dengan batas-batas aturan yang dirumuskan dengan jelas.

Dari definisi di atas, kultur lingkungan masyarakat merupakan

pandangan hidup, mencakup cara berpikir, berperilaku, sikap nilai, yang

diakui bersama dalam sekelompok manusia yang membentuk kesatuan sosial

dimana didalamnya kehidupan individu dibentuk, saling mempengaruhi satu

sama lain, terikat oleh tujuan bersama dengan batas-batas aturan yang

dirumuskan dengan jelas.

2. Dimensi Kultur Lingkungan Masyarakat

Menurut Hofstede (1994:10), dimensi kultur lingkungan masyarakat

adalah: (a) jarak kekuasaan (power distance); (b) penghindaran ketidakpastian

(uncertainty avoidance); (c) individualisme versus kolektivisme

(individualism versus collectivism); (d) maskulinitas versus femininitas

(masculinity versus femininity).

Dimensi jarak kekuasaan (power distance) menunjukkan tingkatan

sejauhmana tiap budaya mempertahankan perbedaan status atau kekuasaan

(41)

belakang budaya power distance besar akan cenderung mengembangkan

aturan, mekanisme atau kebiasaan-kebiasaan dalam mempertahankan

perbedaan status atau kekuasaan. Hal ini ditandai dengan anggapan perangkat

desa sebagai pihak yang sah dan tepat untuk dimintai pandangan tentang

kriteria baik dan buruknya tindakan. Lingkungan masyarakat dengan latar

belakang budaya power distance kecil berusaha meminimalkan perbedaan

status atau kekuasaan sehingga dalam hubungan bermasyarakat tidak

menampakkan dirinya sebagai atasan dan warga tidak merasa sebagai

bawahan.

Dimensi penghindaran ketidakpastian (uncertainty avoidance)

menunjuk sejauhmana pandangan anggota lingkungan masyarakat dalam

menghadapi situasi yang tidak pasti. Lingkungan masyarakat dengan latar

belakang budaya uncertainty avoidance kuat, merasa terancam dengan

ketidakpastian sehingga anggota lingkungan masyarakat akan cenderung

menghindari perubahan. Sementara pada lingkungan masyarakat dengan latar

belakang budaya uncertainty avoidance lemah toleransi terhadap situasi tidak

pasti akan menjadi lebih tinggi, sehingga anggota lingkungan masyarakat

akan merubah aturan bersama jika dirasa aturan tersebut sudah tidak dapat

lagi diterapkan.

Sementara dimensi individualisme versus kolektivisme (individualism

versus collectivism) mengacu pada sejauhmana suatu masyarakat mendukung

(42)

latar belakang budaya individualisme mendorong anggota-anggotanya untuk

mandiri (otonom) dan merealisasikan hak-hak pribadinya. Sedangkan pada

lingkungan masyarakat dengan latar belakang budaya kolektivisme

menekankan kewajiban pada kelompok daripada hak-hak pribadinya.

Sedangkan dimensi maskulinitas versus femininitas (masculinity

versus femininity) menunjukkan sejauhmana lingkungan masyarakat

berpegang teguh pada peran gender. Lingkungan masyarakat dengan latar

belakang budaya maskulinitas menekankan pada nilai ketegasan, ambisi, dan

persaingan. Sedangkan pada lingkungan masyarakat dengan latar belakang

budaya femininitas lebih mengutamakan kesederhanaan, kerendahan hati, dan

kesetiakawanan

Dimensi jarak kekuasaan (power distance) mencakup indikator antara

lain: kewenangan dalam pengunaan kekuasaan, kepemilikan hak, performance

of powerfull people, dasar kekuasaan, dan fokus manajemen terhadap aturan.

Dimensi penghindaran ketidakpastian (uncertainty avoidance) mencakup

indikator yang meliputi: perlakuan terhadap pelanggaran aturan, sikap atasan

terhadap kritik bawahan, dan letak kepercayaan. Dimensi individualisme

versus kolektivisme (invidualism versus collectivism) mencakup indikator

antara lain: orientasi kepentingan dalam masyarakat, tingkat kepentingan

kehidupan pribadi, penetapan pendapat atas kelompok, perbedaan pelaksanaan

hukum dan hak, tujuan yang ingin dicapai. Sedangkan pada dimensi

(43)

indikator antara lain: orientasi solidaritas, tingkat toleransi atas kesalahan,

cara penyelesaian konflik, kuantitas wanita dalam menduduki jabatan politik,

pengertian kebebasan wanita.

D. Kecerdasan Emosional

1. Pengertian Emosi

Pada awal sejarahnya, pendiri psikologi yaitu William James

memahami emosi sebagai sebuah hasil dari reaksi perilaku kita terhadap

sebuah stimulus yang menghasilkan reaksi tersebut. Selanjutnya Buck dalam

Tri Dayakisni dan Salis Yuniardi (2004:76) menyempurnakan definisi emosi

menjadi:

(44)

berlaku secara naluri bergantung pada situasi (Francisco Burzi,

http://www.pts.com.my).

Dengan demikian dapat disimpulkan emosi adalah suatu gambaran

jiwa manusia yang menunjukkan keadaan psikologis seseorang, dimana

keadaan ini berlaku secara naluri bergantung pada situasi tertentu, dengan

melibatkan pikiran dan perasaan sebagai reaksi terhadap stimulus tertentu

sehingga dapat mendorong untuk melakukan suatu tindakan yang akan

dilakukan.

2. Pengertian Kecerdasan Emosional

Menurut Daniel Goleman (http://www1.unpar.ac.id/web/

column/rudiscolumn.asp.koderekaman=0245131215406176) kecerdasan

emosional (emotional intelligence) adalah kemampuan merasakan,

memahami, dan dengan efektif menerapkan daya dan kepekaan emosi sebagai

sumber energi, informasi dan pengaruh yang manusiawi.

Kecerdasan emosional juga dapat dipandang sebagai suatu ketrampilan

yang dimiliki seseorang yang meliputi pengendalian diri, semangat dan

ketekunan, serta kemampuan memotivasi diri, kesanggupan mengendalikan

dorongan hati dan emosi, mengatur suasana hati, kemampuan membaca

perasaan orang lain (empati) dan memelihara hubungan dengan baik, dan

kemampuan menyelesaikan konflik serta memimpin (Fransisco Burzi,

(45)

Mozaik (Juni 2005) adalah kemampuan untuk mengenali, mengekspresikan

dan mengelola emosi, baik emosi dirinya sendiri maupun emosi orang lain,

dengan tindakan konstruktif, yang mempromosikan kerjasama sebagai tim

yang mengacu pada produktivitas dan bukan pada konflik

(http://www.ganeca.blogspirit.com).

Individu yang memiliki kecerdasan emosional tidak dikendalikan oleh

emosi melainkan mengendalikan emosi, individu dapat memotivasi dirinya

sendiri sehingga mandiri, juga mampu mempengaruhi emosi orang lain,

bersikap ramah, simpati, murah hati dan toleransi. Jadi dapat disimpulkan

bahwa kecerdasan emosional merupakan ketrampilan emosional, yang

meliputi mengidentifikasi dan memberi nama emosi-emosi, mengungkapkan

emosi, menilai intensitas emosi, menunda pemuasan, mengendalikan

dorongan hati, menangani stres, memahami sudut pandang orang lain dan

empati.

3. Dimensi Kecerdasan Emosional

Dimensi kecerdasan emosional mempunyai 5 (lima) komponen dasar

(http://www.ganeca.blogspirit.com/archive/2005/06/23/ge_mozaik_

juni_2005_pentingnya_pendidikan_kecerdasan_emos.html) yaitu:

a. Self-awareness (pengenalan diri)

Self-awareness merupakan kemampuan untuk mengenali emosi diri

(46)

keyakinan terhadap emosi diri sendiri berkaitan dengan ketepatan

pengambilan keputusan-keputusan masalah pribadi. Seorang guru yang

memiliki keyakinan yang lebih tentang perasaannya adalah pemimpin

yang andal bagi kehidupannya sendiri, karena mempunyai kepekaan yang

lebih tinggi akan perasaan mereka yang sesungguhnya atas pengambilan

keputusan-keputusan masalah pribadinya.

Dimensi self-awareness mencakup indikator: mengenali emosi sendiri,

mengetahui kekuatan, mengetahui keterbatasan diri, keyakinan akan

kemampuan diri.

b. Self-regulation (penguasaan diri)

Self-regulation merupakan kemampuan untuk menangani emosi agar

dapat terungkap dengan “pas”. Emosi yang dialami tidak ditekan atau

diabaikan, tetapi tidak juga terjadi secara berlebihan.

Seseorang yang mempunyai penguasaan diri yang baik dapat lebih

terkontrol dalam membuat tindakan agar lebih hati-hati. Penguasaan diri

berarti menangani perasaan agar perasaan dapat terungkap dengan tepat,

hal ini merupakan kecakapan yang sangat tergantung pada kesadaran diri.

Seorang guru yang memiliki self-regulation rendah, saat mengalami

kegagalan dalam hidup, akan terus menerus dalam keadaan murung (tidak

mampu menghibur dirinya sendiri), sementara seorang guru yang

memiliki self-regulation tinggi dapat bangkit kembali dengan cepat saat

(47)

Dimensi self-regulation mencakup indikator: menahan emosi dan

dorongan negatif, memelihara norma kejujuran dan integritas,

bertanggung-jawab atas kinerja pribadi, keluwesan dalam menghadapi

perubahan terbuka terhadap ide-ide serta informasi baru.

c. Self-motivation (motivasi diri)

Self-motivation berkaitan dengan kemampuan untuk memotivasi diri agar

tetap berorientasi pada sasaran atau tujuan yang telah ditetapkan.

Kemampuan seseorang memotivasi diri dapat ditelusuri melalui hal-hal

sebagai berikut: (1) cara mengendalikan dorongan hati; (2) derajat

kecemasan yang berpengaruh terhadap unjuk kerja seseorang; (3)

kekuatan berpikir positif; (4) optimisme; (5) keadaan flow

(mengikuti aliran).

Menata emosi sebagai alat untuk mencapai tujuan adalah hal yang sangat

penting dalam kaitan untuk memotivasi diri sendiri, menguasai diri sendiri

dan untuk berkreasi. Seorang guru yang memiliki kendali diri emosional,

menahan diri terhadap kepuasan dan mengendalikan dorongan hati, serta

mampu menyesuaikan diri dalam “flow”, cenderung jauh lebih produktif

dan efektif dalam hal apapun yang mereka kerjakan.

Ketika sesuatu berjalan tidak sesuai dengan rencana, seorang guru yang

mempunyai tingkat kecerdasan emosional tinggi tidak akan bertanya “apa

yang salah dengan saya ?”. Sebaliknya ia akan bertanya “apa yang dapat

(48)

Dimensi self-motivation mencakup indikator: dorongan untuk menjadi

lebih baik, menyesuaikan dengan sasaran kelompok atau organisasi,

kesiapan untuk memanfaatkan kesempatan, kegigihan dalam

memperjuangkan kegagalan dan hambatan.

d. Empathy (empati)

Empathy merupakan kemampuan untuk mengenali perasaan orang lain

dan merasakan apa yang orang lain rasakan jika dirinya sendiri yang

berada pada posisi tersebut. Empati atau mengenal emosi orang lain yang

dibangun berdasarkan pada kesadaran diri emosional, merupakan

“ketrampilan bergaul”. Jika seseorang terbuka pada emosi sendiri, maka

(49)

e. Social skills (ketrampilan sosial)

Dengan adanya 4 kemampuan seperti telah disebutkan di atas seseorang

dapat berkomunikasi dengan orang lain secara efektif. Kemampuan untuk

memecahkan masalah bersama-sama lebih ditekankan dan bukan pada

konfrontasi yang tidak penting yang sebenarnya dapat dihindari. Orang

yang mempunyai tingkat kecerdasan emosional yang tinggi mempunyai

tujuan konstruktif dalam pikirannya. Membina hubungan dengan orang

lain merupakan ketrampilan sosial yang mendukung keberhasilan dalam

pergaulan dengan orang lain. Tanpa memiliki ketrampilan sosial seseorang

akan mengalami kesulitan dalam pergaulan sosial.

Dimensi Social skills mencakup indikator: kemampuan persuasi,

mendengar dengan terbuka dan memberi pesan yang jelas, kemampuan

menyelesaikan pendapat, semangat leadership, kolaborasi dan kooperatif,

team building.

4. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kecerdasan Emosional

Ada beberapa faktor yang berperan penting dalam pembentukan dan

perkembangan tingkat kecerdasan emosional. Secara umum faktor-faktor

tersebut dibedakan menjadi dua, yaitu: faktor internal dan faktor eksternal.

Faktor internal adalah faktor yang ada dalam individu sendiri, yaitu: faktor

fisiologis dan faktor psikologis. Faktor fisiologis merupakan faktor kesehatan

(50)

kecerdasan emosional adalah otak. Otak manusia adalah sumber pengetahuan

tentang emosi karena di otak emosi dapat dideteksi dan dikenali, serta

memberikan respon untuk bertindak.

Faktor psikologis berkaitan dengan sikap, motivasi, dan

dorongan-dorongan internal lain yang memungkinkan sejauh mana individu memiliki

kecerdasan emosional. Daniel Goleman (1999:274) menyatakan bahwa rasa

keyakinan ingin tahu, niat atau kemauan, pengendalian diri, keterkaitan,

kecakapan berkomunikasi dan kemampuan bekerja sama, mempengaruhi

kecerdasan emosional individu yang dijelaskan sebagai berikut:

a. Keyakinan, yaitu perasaan kendali dan penguasaan individu terhadap

dirinya sendiri. Seseorang yang memiliki pengertian akan dirinya bahwa

dia mampu membawa dirinya berdasarkan tuntutan situasi dan kondisi,

cenderung berhasil dalam apa yang dikerjakannya.

b. Rasa ingin tahu, yaitu dorongan untuk mencari tahu atau menyelidiki

sesuatu. Kebutuhan untuk memahami ini sifatnya positif dan memberikan

kepuasan.

c. Niat, yaitu didorong dari dalam/inisiatif untuk berhasil, ketekunan atau

hasrat untuk bertindak secara konsekuen untuk mencapai tujuan.

d. Pengendalian diri, yaitu kemampuan untuk menyesuaikan tindakan

dengan pola yang sesuai dengan usia, kendali yang mengarahkan diri

(51)

e. Keterkaitan, yaitu kemampuan melibatkan diri dengan orang lain, dengan

memahami situasi yang dialami oleh orang lain dan mampu berpikir dari

sudut pandang orang lain.

f. Kecakapan berkomunikasi, yaitu kemampuan verbal, untuk bertukar

gagasan, perasaan dan konsep dengan orang lain. Kemampuan

mendengarkan dan memberi umpan balik berdasarkan rasa percaya dan

keterkaitan dengan orang lain.

g. Kemampuan bekerjasama, yaitu bersikap kooperatif berarti mampu untuk

menyeimbangkan kebutuhannya sendiri dengan kebutuhan orang lain

dalam kegiatan kelompok.

Faktor eksternal adalah perlakuan yang diperoleh dari lingkungan

yang mempengaruhi kecerdasan emosional. Lingkungan yang pertama-tama

mempengaruhi kecerdasan emosional adalah keluarga, kemudian lingkungan

teman sebaya (lingkungan kerja), dan masyarakat sosial.

E. Jenis Kelamin

Secara umum manusia diciptakan atas dua kategori yaitu laki-laki dan

perempuan. Pembagian tersebut berdasarkan pada perbedaan yang melekat pada

kedua jenis kelamin tersebut. Jenis kelamin menunjuk pada keseluruhan ciri-ciri

yang membedakan manusia sebagai laki-laki dan perempuan yaitu mengenai

jasmani, kejiwaan, sifat, cara berpikir, perasaan dan sebagainya. Adanya

(52)

antara laki-laki dan perempuan. Perbedaan-perbedaan ini mengakibatkan

perbedaan ciri-ciri, sifat dan karakteristik psikologis yang berbeda antara laki-laki

dan perempuan (Tri Dayakisni dan Salis Yuniardi, 2004:253). Sewaktu menjadi

dewasa, individu akan mempelajari peran-peran sosial melalui proses-proses

penguatan dan peniruan. Sehingga pada akhirnya laki-laki dan perempuan

memperoleh sikap, ketrampilan dan ciri-ciri kepribadian yang berbeda

berdasarkan peran yang dikaitkan dengan jenis kelamin dalam lingkungannya.

Berikut disajikan tabel perbedaan psikologis antara laki-laki dan

perempuan (Gilarso, 2003:3):

7. Intelek dan rasio lebih utama, dapat mengendalikan perasaan dengan akalnya

8. Lebih melihat kenyataan obyektif, terarah pada garis-garis besar, lebih teguh dalam putusan

1. Pola dasar pandangan ke dalam, terarah pada manusia

(53)

9. Gelombang perasaan mendatar dan relatif stabil

10.Gairah seksual lebih berkobar, lebih bersifat jasmani biologis

9. Perasaan pasang surut terpengaruh oleh siklus bulanan

10. Gairah seksual lebih rohani lebih mementingkan cinta dan kemesraan

Secara terus menerus perbedaan-perbedaan psikologis tersebut akan

semakin berkembang sesuai psikologi kepribadian masing-masing sehingga,

pada akhirnya laki-laki dan perempuan akan memiliki kepribadian yang berbeda

serta tingkat kecerdasan emosional yang berbeda pula. Berdasarkan sifat dan

karakteristik psikologisnya, emosi dan perasaan pada perempuan lebih menonjol

dan mempengaruhi pikirannya daripada laki-laki. Karenanya perempuan

cenderung mempunyai tingkat kecerdasan emosional lebih tinggi dari pada

laki-laki.

F. Locus of Control

Locus of control merupakan sebuah konsep yang dibangun oleh Rotter

(Tri Dayakisni dan Salis Yuniardi, 2004:209) yang menyatakan bahwa setiap

orang berbeda dalam bagaimana dan seberapa besar kontrol diri mereka terhadap

perilaku dan hubungan mereka dengan orang lain serta lingkungan. Rotter

mendefinisikan locus of control sebagai berikut

(54)

Locus of control as a generalized expectancy of the extent to which a person perceives that events in one’s life are consequences of one’s behavior.

Locus of control sebagai suatu harapan yang secara umum meluas

dimana sering dirasakan seseorang dalam kejadian-kejadian dalam kehidupannya

sebagai akibat dari suatu tingkah laku seseorang. Rotter (dalam Brigita Pujiwati,

2004:31) mendefinisikan locus of control berdasarkan teori belajar sosial,

menjadi tiga aspek utama yaitu behavior potential (perilaku potensial),

expectancy (harapan) dan reinforcement value (nilai penguat), ketiga aspek itu

berhubungan satu dengan yang lain. Perilaku individu bergantung pada

harapan-harapan dimana suatu tingkah laku tertentu akan memberi penguatan, dan nilai

penguatan tersebut akan memuaskan kehidupan individu selanjutnya. Jika

individu berhasil memperoleh penguatan yang diharapkan, maka ia cenderung

meyakini bahwa penguatan itu akan diperoleh bukan dari dirinya sendiri. Secara

singkat dapat disimpulkan bahwa locus of control adalah anggapan sejauh mana

orang tersebut merasakan adanya usaha yang telah dilakukan dan akibatnya.

Locus of control umumnya dibedakan menjadi dua berdasarkan

arahnya, yaitu internal dan eksternal. Individu dengan locus of control eksternal

melihat diri mereka sangat ditentukan oleh bagaimana lingkungan dan orang lain

melihat mereka. Keberhasilan dan kegagalan dalam hidupnya dipandang sebagai

nasib, faktor keberuntungan, kesempatan karena kekuasaan orang lain atau karena

kondisi-kondisi yang tidak dapat dikuasainya. Sedangkan individu dengan locus

(55)

Keberhasilan dan kegagalan dalam hidupnya dipandang sebagai akibat

perilakunya.

Locus of control pada individu merupakan suatu konsep yang kontinum.

Dalam artian, locus of control individu bergerak dari ekstrim eksternal dan

ekstrim internal. Oleh karena itu setiap orang memiliki sekaligus faktor internal

dan eksternal dalam dirinya. Perkembangan orientasi individu ke arah internal

atau eksternal didapatkan melalui proses belajar. Pengalaman individu di masa

lalu akan mempengaruhi perkembangan orientasi ini. Perbedaaan orientasi ini

juga akan mempengaruhi penilaian seseorang terhadap suatu peristiwa atau situasi

yang sedang dihadapi.

Individu yang berorientasi internal cenderung memandang dunia sebagai

sesuatu yang dapat diramalkan dan tindakannya dianggap sangat menentukan

akibat yang diterima, baik itu positif maupun negatif, lebih perspektif dan siap

belajar dari lingkungan, memiliki daya tahan yang lebih besar terhadap pengaruh

orang lain, lebih cepat dalam mengambil keputusan dan tindakan karena merasa

mampu mengontrol lingkungannya.

Individu yang berorientasi eksternal, memandang dunia sebagai sesuatu

yang tidak dapat diramalkan, tidak berpengaruh besar dalam mengendalikan

akibat hidupnya, baik dalam mencapai tujuan maupun dalam melakukan

penghindaran terhadap situasi yang tidak menyenangkan, lebih cemas dan

Gambar

Tabel 3.1 Tabel Operasionalisasi Variabel Kecerdasan Emosional Guru
Tabel Operasionalisasi Variabel Kultur Keluarga
Tabel 3.3 Tabel Operasionalisasi Kultur Lingkungan Kerja
Tabel 3.4 Tabel Operasionalisasi Kultur Lingkungan Masyarakat
+7

Referensi

Dokumen terkait

Kandungan palmitoleat pada kerang baji ( Donax cuneatus ) adalah 12,71% dan kandungan oleatnya sebesar 11,18% (Shanmugam et al. 2007), nilai ini lebih tinggi dibandingkan

1. Formulir Permohonan Penggunaan Arsip; 2. Tata tertib pelayanan arsip di unit pengolah dan di unit kearsipan. Penggunaan arsip dilaksanakan sesuai dengan sistem

Maka berdasarkan pengujian black box yang telah dilakukan, dapat diketahui bahwa sistem informasi pemetaan strata desa siaga aktif dengan metode AHP telah

Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak telah memberikan perlindungan hukum bagi anak yang berkonflik sehingga anak sebagai generasi dan harapan

Selain masalah biaya masyarakat yang memiliki aktivitas kerja yang cukup padat juga tidak memiliki banyak waktu untuk melakukan konsultasi ke dokter kesehatan kulit maupun klinik

(8) Fungsi bangunan gedung sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus sesuai dengan peruntukan lokasi yang diatur dalam Peraturan Daerah tentang Rencana Tata Ruang Wilayah

[r]

Kepuasan kerja dari para karyawan di Politeknik “X” Bandung pada dasarnya. masih tergolong cukup hal tersebut untuk