ABSTRACT
THE INFLUENCE OF SEX AND LOCUS OF CONTROL TOWARD THE RELATION AMONG FAMILY CULTURE, WORKPLACE CULTURE, AND
SOCIETY CULTURE WITH TEACHER’S EMOTIONAL INTELLIGENCE
Survey: Teacher of Senior High Schools in Sleman Regency, Province of Daerah Istimewa Yogyakarta.
Suprapti
Sanata Dharma University 2007
This study aims to know: (1) the influence of sex in the relation between family culture and teachers’ emotional intelligence; (2) the influence of sex in the relation between workplace culture and teachers’ emotional intelligence; (3) the influence of sex in the relation between society culture and teachers’ emotional intelligence; (4) the influence of locus of control in the relation between family culture and teachers’ emotional intelligence; (5) the influence of locus of control in the relation between workplace culture and teachers’ emotional intelligence; (6) the influence of locus of control in the relation between society culture and teachers’ emotional intelligence.
This study was done in three state Senior High Schools and eight private Senior High Schools in Sleman Regency, Province of Daerah Istimewa Yogyakarta in December, 2006. The technique of gathering data was questionnaire. By using purposive sampling technique and proportional sampling, the researcher gained 308 teachers as samples. The technique of analyzing the data was regression model that was developed by Chow.
The result shows: (1) there is influence of sex in the relation between family culture and teachers’ emotional intelligence (p = 0,049 < a = 0,05); (2) there is influence of sex in the relation between workplace culture and teachers’ emotional intelligence (p = 0,043 < a = 0,05); (3) there is influence of sex in the relation between society culture and teachers’ emotional intelligence (p = 0,003 < a = 0,05); (4) there is not influence of locus of control in the relation between family culture and teachers’ emotional intelligence (p = 0,426 > a = 0,05); (5) there is influence of locus of control in the relation between workplace culture and teachers’ emotional intelligence (p = 0,042 < a = 0,05); (6) there is not influence of locus of control in the relation between society culture and teachers’ emotional intelligence (p = 0,885 > a = 0,05).
MOTTO DAN PERSEMBAHAN
Jika kita me nc inta i a p a ya ng kita ke rja ka n, Ma ka ha l se sulit a p a p un a ka n te ra sa mud a h, Pe ke rja a n se b e ra t a p a p un a ka n te ra sa ring a n,
Buka n ha nya itu, jika kita me nye na ng i p e ke rja a n d a n p ro fe si kita , Ma ka ta nta ng a n se b e sa r a p a p un
Bisa kita ub a h me nja d i p e lua ng ya ng lua r b ia sa ...
(xa vie r Que ntin Pra na ta )
Karya kecilku ini kupersembahkan untuk
:
Jesus Kristus juru selamatku,
Bunda Maria, bunda pelindungku,
Bapak, simbok, adik serta kakak-kakakku tercinta
yang telah memberikan perhatian serta dukungan yang
begitu berarti,
Mas Dhanang dengan pengertian dan motivasinya
selama ini.
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA
Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang saya tulis ini tidak
memuat karya atau bagian karya orang lain, kecuali yang telah disebutkan dalam
kutipan dan daftar pustaka, sebagaimana layaknya karya ilmiah.
Yogyakarta, 3 Mei 2007
Penulis
Suprapti
ABSTRAK
PENGARUH JENIS KELAMIN DAN LOCUS OF CONTROL TERHADAP HUBUNGAN KULTUR KELUARGA, KULTUR LINGKUNGAN KERJA, DAN KULTUR LINGKUNGAN MASYARAKAT DENGAN KECERDASAN
EMOSIONAL GURU
Survei : Guru SMA di Kabupaten Sleman, Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta
Suprapti
Universitas Sanata Dharma 2007
Tujuan penelitian ini untuk mengetahui: (1) pengaruh jenis kelamin terhadap hubungan kultur keluarga dengan kecerdasan emosional guru; (2) pengaruh jenis kelamin terhadap hubungan kultur lingkungan kerja dengan kecerdasan emosional guru; (3) pengaruh jenis kelamin terhadap hubungan kultur lingkungan masyarakat dengan kecerdasan emosional guru; (4) pengaruh locus of control terhadap hubungan kultur keluarga dengan kecerdasan emosional guru; (5) pengaruh locus of control terhadap hubungan kultur lingkungan kerja dengan kecerdasan emosional guru; (6) pengaruh locus of control terhadap hubungan kultur lingkungan masyarakat dengan kecerdasan emosional guru.
Penelitian ini dilaksanakan di 11 SMA di Kabupaten Sleman Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta pada bulan Desember 2006. Teknik pengumpulan data menggunakan kuesioner. Dengan menggunakan teknik purposive sampling
dan proportional sampling, peneliti mendapatkan 308 guru sebagai sampel. Teknik analisis data menggunakan model persamaan regresi yang dikembangkan oleh Chow.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa: (1) ada pengaruh jenis kelamin terhadap hubungan kultur keluarga dengan kecerdasan emosional guru (ρ = 0,049 < α = 0,05); (2) ada pengaruh jenis kelamin terhadap hubungan kultur lingkungan kerja dengan kecerdasan emosional guru (ρ = 0,043 < α = 0,05); (3) ada pengaruh jenis kelamin terhadap hubungan kultur lingkungan masyarakat dengan kecerdasan emosional guru (ρ = 0,003 < α = 0,05); (4) tidak ada pengaruh locus of control terhadap hubungan kultur keluarga dengan kecerdasan emosional guru (ρ = 0,426 > α = 0,05); (5) ada pengaruh locus of control terhadap hubungan kultur lingkungan kerja dengan kecerdasan emosional guru (ρ = 0,042 < α = 0,05); (6) tidak ada pengaruh locus of control terhadap hubungan kultur lingkungan masyarakat dengan kecerdasan emosional guru (ρ = 0,885 > α = 0,05).
ABSTRACT
THE INFLUENCE OF SEX AND LOCUS OF CONTROL TOWARD THE RELATION AMONG FAMILY CULTURE, WORKPLACE CULTURE, AND
SOCIETY CULTURE WITH TEACHER’S EMOTIONAL INTELLIGENCE
Survey: Teacher of Senior High Schools in Sleman Regency, Province of Daerah Istimewa Yogyakarta.
Suprapti
Sanata Dharma University 2007
This study aims to know: (1) the influence of sex in the relation between family culture and teachers’ emotional intelligence; (2) the influence of sex in the relation between workplace culture and teachers’ emotional intelligence; (3) the influence of sex in the relation between society culture and teachers’ emotional intelligence; (4) the influence of locus of control in the relation between family culture and teachers’ emotional intelligence; (5) the influence of locus of control
in the relation between workplace culture and teachers’ emotional intelligence; (6) the influence of locus of control in the relation between society culture and teachers’ emotional intelligence.
This study was done in three state Senior High Schools and eight private Senior High Schools in Sleman Regency, Province of Daerah Istimewa Yogyakarta in December, 2006. The technique of gathering data was questionnaire. By using purposive sampling technique and proportional sampling, the researcher gained 308 teachers as samples. The technique of analyzing the data was regression model that was developed by Chow.
The result shows: (1) there is influence of sex in the relation between family culture and teachers’ emotional intelligence (p = 0,049 < a = 0,05); (2) there is influence of sex in the relation between workplace culture and teachers’ emotional intelligence (p = 0,043 < a = 0,05); (3) there is influence of sex in the relation between society culture and teachers’ emotional intelligence (p = 0,003 < a = 0,05); (4) there is not influence of locus of control in the relation between family culture and teachers’ emotional intelligence (p = 0,426 > a = 0,05); (5) there is influence of locus of control in the relation between workplace culture and teachers’ emotional intelligence (p = 0,042 < a = 0,05); (6) there is not influence of locus of control in the relation between society culture and teachers’ emotional intelligence (p = 0,885 > a = 0,05).
KATA PENGANTAR
Puji syukur atas kasih dan karunia yang berlimpah yang telah diberikan
oleh Tuhan Yesus Kristus dan Bunda Maria sehingga penulis dapat
menyelesaikan penyusunan skripsi yang berjudul “Pengaruh Jenis Kelamin Dan
Locus Of Control Terhadap Hubungan Kultur Keluarga, Kultur Lingkungan
Kerja Dan Kultur Lingkungan Masyarakat Dengan Kecerdasan Emosional Guru”. Survei: Guru SMA di Kabupaten Sleman, Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Skripsi ini disusun untuk memenuhi persyaratan akhir mencapai
Gelar Sarjana Pendidikan Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.
Dalam penyusunan skripsi ini penulis banyak menerima bantuan,
semangat, dan doa dari berbagai pihak yang sangat mendukung penulis dalam
penyelesaian skripsi ini. Oleh karena itu, dengan kerendahan hati penulis ingin
menyampaiakan rasa syukur dan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:
1. Tuhan Yesus Kristus dan Bunda Maria atas karunia, rahmat serta penyertaan
yang telah diberikan.
2. Bapak Drs. T. Sarkim, M.Ed., Ph.D. selaku Dekan Fakultas Keguruan dan
Ilmu Pendidikan Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.
3. Bapak Drs. Sutarjo Adisusilo J.R, selaku Ketua Jurusan Pendidikan dan Ilmu
Pengetahuan Sosial Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.
4. Bapak S. Widanarto Prijowuntato, S.Pd., M.si. selaku Ketua Program Studi
Pendidikan Akuntansi Universitas Sanata Dharma Yogyakata.
5. Bapak L. Saptono, S.Pd., M.Si. selaku Dosen Pembimbing I yang dengan
sabar dan meluangkan waktu untuk membimbing, memberikan nasehat, kritik
serta saran, serta pengarahan kepada penulis dalam penyusunan skripsi ini
sampai dengan selesai.
6. Bapak Ag. Heri Nugroho S.Pd. selaku Dosen Pembimbing II yang telah
memberikan pengarahan, bimbingan, nasehat, dan saran kepada penulis dalam
penyusunan skripsi ini.
7. Bapak S. Widanarto P., S.Pd., M.Si. selaku dosen tamu yang telah
memberikan saran dan pengarahan dalam skripsi ini.
8. Seluruh Bapak dan Ibu Dosen Program Studi Pendidikan Akuntansi
Universitas Sanata Dharma Yogyakarta yang telah mencurahkan ilmunya serta
dengan sepenuh hati dalam mendidik kami sehingga berguna untuk masa
depan kami.
9. Mba’ Aris dan Pak Wawi yang telah melayani dan membantu selama
menjalankan pendidikan di Univeritas Sanata Dharma Yogyakarta.
10.Bapak Kepala SMA 1 Sleman, SMA 1 Seyegan, SMA 1 Depok, SMA
Muhammadiyah Seyegan, SMA Islam 2 Sleman, SMA Muhammadiyah Mlati,
SMA Ma’arif 1 Sleman, SMA Tiga Belas Maret Depok (Gama), SMA
Binatama Sleman, MAN III Yogyakarta, dan SMA Santo Agustinus yang
telah memberikan kesempatan kepada penulis dalam melaksanakan penelitian.
Terima kasih banyak atas izin dan bantuannya.
11.Para Staf Karyawan, dan bapak serta ibu guru di 11 SMA di Kabupaten
Sleman Yogyakarta.
12.Bapak dan Simbok (terimakasih untuk semua dukungan, pengorbanan, doa,
dan cinta yang besar untuk ku...aku menyayangi kalian).
13.Mas Wahyu, Mas Ratno, Mbak Kunik, Mbak Atun, Adikku Si-El serta
keponakanku Erik dan Ervin (terimakasih untuk semua bantuan, dukungan,
pengorbanan, motivasi, dan segala keceriaan yang telah kalian berikan).
14.Mas Dhanang (terimakasih untuk doa, perhatian, motivasi, dan cintanya yang
selama ini telah kamu berikan).
15.Mbah Suto putri yang ada di surga terimakasih untuk doa restunya...
16.Teman–teman seperjuanganku Lina Cipluxs (makasih ya atas semua bantuan,
waktu dan kebersamaannya... ayo diet’biar tambah cantik....), Sari (makasih
telah merepotkan selama ini...jangan pernah bosen ya punya tamu aku terus...),
MM (makasih atas kebersamaannya...jangan suka bohong lagi Em...) dan
Tante Tutik (makasih atas kebersamaan serta resep-resep jitunya...) Terima
Kasih juga untuk doa, semangat, persahabatan serta keceriaan yang telah
kalian berikan selama ini.
17.Teman–teman seangkatanku PAK C’02 ( Risa, teman curhatku, “jangan bosen
ya kalau aku ngoceh terus”, Ima “ayo terus berjuang”, Dita “Si pekerja baru”,
Budhe Dewi “Si pekerja baru juga”, Dika “Si centil”, makasih ya bantuannya,
Esti yang lagi berburu pekerjaan, Cat dengan petuah-petuah religiusnya, Dian
yang lagi berjuang, Putri “ayo put jangan menyerah”, Banu “moga laris manis
ya pulsanya”, Toro sang penakluk virus komputer, Thomas yang centil,
Candra “bapak yang baik, kok tambah kurus aja...”, Satya yang lagi mo
smangat kuliah, Valent “si muka ngantuk”, Tiara si usil, Tm “jangan
ngelamun terus”, Ivon yang lagi menghilang, Andre si Bang Roma, Uchi “ayo
jangan kuliah terus”, Lia “si pendiam yang lagi bisnis counter”, Dewi cilik
“kuliah yang rajin ya”, Heri “ayo smangat”, Sigit “frater” smangat Ter...) dan
Wulan yang tambah cantik aja. Terima kasih atas kebersamaan dan
kenangan-kenangan indah bersama kalian...
18.Teman-teman kos Gatot Kaca 6, Andri, Dhita, Rina, Yohana, mba Nur, mba
Yati, mba Nonong mba Santi, Mba Yuli, Mas Iwan, Gun-gun, Bajuri, Nowo,
Charles, dan Robert yang belum juga kukenal sampai sekarang, terimakasih
atas kebersamaan dan suka duka yang telah kita lalui bersama.
19.Kris, terimakasih atas smangatnya. “jualan sengsu lagi yuk”.
20.Mas Anto’ Terima kasih atas waktu dan bantuannya.
21.Pihak-pihak yang tidak bisa saya sebutkan satu persatu terima kasih untuk
doa, dukungan, dan perhatiannya.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa penyusunan skripsi ini jauh dari
sempurna, sehingga masih perlu dikaji dan dikembangkan secara lebih lanjut.
Oleh karena itu, penulis sangat mengharapkan saran dan kritik yang bersifat
konstuktif. Akhir kata, penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi
semua pihak yang berkepentingan.
Penulis
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ... i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii
HALAMAN PENGESAHAN ... iii
HALAMAN MOTTO DAN PERSEMBAHAN... iv
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... v
ABSTRAK ... vi
ABSTRACT ... vii
KATA PENGANTAR ... viii
DAFTAR ISI ... xii
DAFTAR TABEL ... xviii
DAFTAR LAMPIRAN ... xx
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ……… 1
B. Identifikasi Masalah……… 4
C. Rumusan Masalah ……… 5
D. Tujuan Penelitian……… 6
E. Manfaat Penelitian ……… 6
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kultur Keluarga ……… 8
1. Pengertian Kultur ……… 8
2. Pengertian Keluarga ……… 9
3. Dimensi Kultur Keluarga ……… 11
B. Kultur Lingkungan Kerja ……… 14
1. Pengertian Lingkungan Kerja ……… 14
2. Dimensi Kultur Lingkungan Kerja ……… 15
C. Kultur Lingkungan Masyarakat ……… 17
1. Pengertian Masyarakat ……….. 17
2. Dimensi Kultur Lingkungan Masyarakat ……… 18
D. Kecerdasan Emosional ………. 21
1. Pengertian Emosi ……… 21
2. Pengertian Kecerdasan Emosional ………. 22
3. Dimensi Kecerdasan Emosional ……… 23
4. Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Kecerdasan Emosional …. 27 E. Jenis Kelamin ……… 29
F. Locus of Control ……… 31
G. Kerangka Berpikir ……… 34
1. Pengaruh Jenis Kelamin Terhadap Hubungan Kultur Keluarga Dengan Kecerdasan Emosional Guru ………... 34
2. Pengaruh Jenis Kelamin Terhadap Hubungan Kultur Lingkungan Kerja Dengan Kecerdasan Emosional Guru ……… 40
3. Pengaruh Jenis Kelamin Terhadap Hubungan Kultur Lingkungan Masyarakat Dengan Kecerdasan Emosional Guru .. 45
4. Pengaruh Locus of Control Terhadap Hubungan Kultur Keluarga Dengan Kecerdasan Emosional Guru ……….. 49
5. Pengaruh Locus of Control Terhadap Hubungan Kultur Lingkungan Kerja Dengan Kecerdasan Emosional Guru ……… 53
6. Pengaruh Locus of Control Terhadap Hubungan Kultur Lingkungan Masyarakat Dengan Kecerdasan Emosional Guru .. 56
H. Perumusan Hipotesis ……… 60
BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian ……… 61
B. Tempat dan Waktu Penelitian ……….. 61
1. Tempat Penelitian ……… 61
2. Waktu Penelitian ……… 62
C. Subyek dan Obyek Penelitian ……… 62
1. Subyek Penelitian ……… 62
2. Obyek Penelitian ……… 62
D. Populasi, Sampel dan Teknik Pengambilan Sampel ……… 62
1. Populasi Penelitian ……… 62
2. Sampel Penelitian dan Teknik Pengambilan Sampel ………… 63
E. Variabel Penelitian dan Pengukurannya ……… 63
1. Kecerdasan Emosional ……… 63
2. Kultur Keluarga……… 66
3. Kultur Lingkungan Kerja ……… 68
4. Kultur Lingkungan Masyarakat ……….. 69
5. Jenis Kelamin ……….. 71
6. Locus of Control ………... 72
F. Teknik Pengumpulan Data ………... 73
G. Pengujian Validitas dan Reliabilitas ………... 73
1. Uji Validitas ……….... 73
a. Kecerdasan Emosional ……….. 74
b. Kultur Keluarga ……… 75
c. Kultur Lingkungan Kerja ……….. 75
d. Kultur Lingkungan Masyarakat ……….... 76
e. Locus of Control ……… 76
2. Uji Reliabilitas ……… 77
H. Teknik Analisis Data ……… 80
1. Statistik Deskriptif……… 80
2. Pengujian Normalitas dan Linearitas ……….. 81
a. Uji Normalitas ……….. 81
b. Uji Linearitas ……… 82
3. Pengujian Hipotesis Penelitian ……… 83
a. Hipotesis I ………. 83
1) Rumusan hipotesis ……….. 83
2) Pengujian hipotesis ………. 83
BAB IV ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN A. Deskripsi Data ……….. 85
1. Deskripsi Responden Penelitian ………. 85
2. Deskripsi Variabel Penelitian ………. 86
a. Kecerdasan Emosional Guru ……… 86
b. Kultur Keluarga ……… 88
1) Power Distance ………... 88
2) Individualism vs Collectivism ………. 89
3) Femininity vs Masculinity ………... 90
4) Uncertainty Avoidance ……… 92
c. Kultur Lingkungan Kerja ………. 95
1) Power Distance ……….. 95
2) Individualism vs Collectivism ………. 96
3) Femininity vs Masculinity ……… 98
4) Uncertainty Avoidance ……… 99
d. Kultur Lingkungan Masyarakat ……… 102
1) Power Distance ………... 102
2) Individualism vs Collectivism ………. 103
3) Femininity vs Masculinity ………... 105
4) Uncertainty Avoidance ……… 106
e. Locus of Control ………... 109
B. Analisis Data ………... 110
1. Pengujian Prasyarat Analisis Data ……….. 110
a. Pengujian Normalitas ……… 110
b. Pengujian Linearitas ………. 111
2 Pengujian Hipotesis ……… 113
a. Pengaruh Jenis Kelamin Terhadap Hubungan Kultur Keluarga Dengan Kecerdasan Emosional Guru …………... 113
1) Rumusan hipotesis I ……… 113
2) Pengujian hipotesis ………. 113
b. Pengaruh Jenis Kelamin Terhadap Hubungan Kultur Lingkungan Kerja Dengan Kecerdasan Emosional Guru ….. 115
1) Rumusan hipotesis II ……….. 115
2) Pengujian hipotesis ………. 115
c. Pengaruh Jenis Kelamin Terhadap Hubungan Kultur
Lingkungan Masyarakat Dengan Kecerdasan Emosional
Guru ……….. 117
1) Rumusan hipotesis III ………. 117
2) Pengujian hipotesis ………. 117
d. Pengaruh Locus of Control Terhadap Hubungan Kultur Keluarga Dengan Kecerdasan Emosional Guru …………... 119
1) Rumusan hipotesis IV ………. 119
2) Pengujian hipotesis ……… 119
e. Pengaruh Locus of Control Terhadap Hubungan Kultur Lingkungan Kerja Dengan Kecerdasan Emosional Guru …. 121 1) Rumusan hipotesis V……… 121
2) Pengujian hipotesis ………. 121
f. Pengaruh Locus of Control Terhadap Hubungan Kultur Lingkungan Masyarakat Dengan Kecerdasan Emosional Guru ……….. 123
1) Rumusan hipotesis VI ………. 123
2) Pengujian hipotesis ………. 123
C. Pembahasan Hasil Penelitian ……… 125
1. Pengaruh Jenis Kelamin Terhadap Hubungan Kultur Keluarga Dengan Kecerdasan Emosional Guru ………. 125
2. Pengaruh Jenis Kelamin Terhadap Hubungan Kultur Lingkungan Kerja Dengan Kecerdasan Emosional Guru ……… 128
3. Pengaruh Jenis Kelamin Terhadap Hubungan Kultur Lingkungan Masyarakat Dengan Kecerdasan Emosional Guru .. 131
4. Pengaruh Locus of Control Terhadap Hubungan Kultur Keluarga Dengan Kecerdasan Emosional Guru ……… 135
5. Pengaruh Locus of Control Terhadap Hubungan Kultur Lingkungan Kerja Dengan Kecerdasan Emosional Guru ……… 138
6. Pengaruh Locus of Control Terhadap Hubungan Kultur
Lingkungan Masyarakat Dengan Kecerdasan Emosional
Guru ……… 142
BAB V KESIMPULAN, KETERBATASAN PENELITIAN DAN SARAN A. Kesimpulan ……….. 146
B. Keterbatasan Penelitian………. 147
C. Saran ………. 148
DAFTAR PUSTAKA ……….. 151
LAMPIRAN
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 3.1. Operasionalisasi Variabel Kecerdasan Emosional Guru ………. 64
Tabel 3.2. Operasionalisasi Variabel Kultur Keluarga ……… 67
Tabel 3.3. Operasionalisasi Variabel Kultur Lingkungan Kerja …………. 68
Tabel 3.4. Operasionalisasi Variabel Kultur Lingkungan Masyarakat …… 70
Tabel 3.5. Operasionalisasi Variabel Locus of Control ……… 72
Tabel 3.6. Hasil Pengujian Validitas Variabel Kecerdasan Emosional
Guru ……… 74
Tabel 3.7. Hasil Pengujian Validitas Variabel Kultur Keluarga ………….. 75
Tabel 3.8. Hasil Pengujian Validitas Variabel Kultur Lingkungan
Kerja ……… 75
Tabel 3.9. Hasil Pengujian Validitas Variabel Kultur Lingkungan
Masyarakat ……….. 76
Tabel 3.10. Hasil Pengujian Validitas Variabel Locus of Control …………. 76
Tabel 3.11. Hasil Pengujian Reliabilitas ……… 79
Tabel 4.1. Deskripsi Jenis Kelamin Responden ……….. 85
Tabel 4.2. Deskripsi Variabel Kecerdasan Emosional Guru ……… 87
Tabel 4.3. Deskripsi Variabel Kultur Keluarga Pada Dimensi Power
Distance ………... 88
Tabel 4.4. Deskripsi Variabel Kultur Keluarga Pada Dimensi
Individualism vs Collectivism ………. 89
Tabel 4.5. Deskripsi Variabel Kultur Keluarga Pada Dimensi
Femininity vs Masculinity ……… 91
Tabel 4.6. Deskripsi Variabel Kultur Keluarga Pada Dimensi
Uncertainty Avoidance ……… 92
Tabel 4.7. Deskripsi Variabel Kultur Keluarga ……… 93
Tabel 4.8. Deskripsi Variabel Kultur Lingkungan Kerja Pada Dimensi
Power Distance ……….. 95
Tabel 4.9. Deskripsi Variabel Kultur Lingkungan Kerja Pada Dimensi
Individualism vs Collectivism ………. 96
Tabel 4.10. Deskripsi Variabel Kultur Lingkungan Kerja Pada Dimensi
Femininity vs Masculinity ……… 98
Tabel 4.11. Deskripsi Variabel Kultur Lingkungan Kerja Pada Dimensi
Uncertainty Avoidance ……… 99
Tabel 4.12. Deskripsi Variabel Kultur Lingkungan Kerja ………. 101
Tabel 4.13. Deskripsi Variabel Kultur Lingkungan Masyarakat Pada
Dimensi Power Distance ………. 102
Tabel 4.14. Deskripsi Variabel Kultur Lingkungan Masyarakat Pada
Dimensi Individualism vs Collectivism ………... 103
Tabel 4.15. Deskripsi Variabel Kultur Lingkungan Masyarakat Pada
Dimensi Femininity vs Masculinity ………. 105
Tabel 4.16. Deskripsi Variabel Kultur Lingkungan Masyarakat Pada
Dimensi Uncertainty Avoidance ………. 106
Tabel 4.17. Deskripsi Variabel Kultur Lingkungan Masyarakat …………... 108
Tabel 4.18. Deskripsi Variabel Locus of Control ……….. 109
Tabel 4.19. Hasil Pengujian Normalitas ……… 110
Tabel 4.20. Hasil Pengujian Linearitas Variabel Kultur Keluarga dengan
Variabel Kecerdasan Emosional Guru ……… 111
Tabel 4.21. Hasil Pengujian Linearitas Variabel Kultur Lingkungan
Kerja dengan Variabel Kecerdasan Emosional Guru …………. 112
Tabel 4.22. Hasil Pengujian Linearitas Variabel Kultur Lingkungan
Masyarakat dengan Variabel Kecerdasan Emosional Guru …… 112
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 Kuesioner ... 153
Lampiran 2 Data Prapenelitian ... 160
Lampiran 3 Validitas dan Reliabilitas ... 165
Lampiran 4 Data Induk ... 171
Lampiran 5 Data Distribusi Frekuensi ... 202
Lampiran 6 Hasil Uji Normalitas dan Linieritas ... 223
Lampiran 7 Hasil Uji Regresi ... 225
Lampiran 8 Tabel ... 233
Lampiran 9 Surat Ijin Penelitian ... 235
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Salah satu penentu keberhasilan dalam pelaksanaan kegiatan belajar
mengajar di sekolah adalah guru. Guru adalah seorang pengajar. Sebagai
seorang pengajar, guru dituntut untuk profesional yaitu memiliki kinerja tinggi
dalam menjalankan amanah keguruannya, memiliki kreatifitas tinggi,
memikirkan tentang bagaimana siswanya dapat mengetahui ilmu pengetahuan,
mengetahui kondisi dirinya maupun siswanya. Untuk dapat menjadi guru yang
profesional, seorang guru tidak hanya dituntut untuk memiliki tingkat
kecerdasan intelektual tetapi juga kecerdasan emosional (emotional
intelligence) yang tinggi. Kecerdasan emosional guru ini mencakup
kemampuan guru untuk membedakan dan menanggapi dengan tepat suasana
hati, temperamen, motivasi, serta hasrat keinginan diri sendiri dan orang lain.
Kecerdasan emosional menurut Goleman
(http://www1.unpar.ac.id/web/column/rudiscolumn.asp?Koderekaman=02451
31215406176) adalah kemampuan merasakan, memahami, dan dengan efektif
menerapkan daya dan kepekaan emosi sebagai sumber energi, informasi, dan
pengaruh yang manusiawi. Kecerdasan emosional mencakup pengendalian
diri, semangat dan ketekunan, serta kemampuan untuk memotivasi diri sendiri
dan bertahan menghadapi frustasi, kesanggupan untuk mengendalikan
dorongan hati dan emosi, untuk membaca perasaan terdalam orang lain
(empati), kemampuan untuk menyelesaikan konflik, serta kemampuan untuk
memimpin. Dengan demikian kecerdasan emosional merupakan modal
keberhasilan diri guru dalam menjalankan profesinya. Ketrampilan guru akan
hal-hal tersebut penting khususnya dalam menghadapi siswanya yang
memiliki karakter yang berbeda.
Ada dua faktor yang secara umum berhubungan dengan kecerdasan
emosional, yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal
merupakan faktor-faktor yang ada dalam diri individu sendiri. Sedangkan
faktor eksternal kecerdasan emosional merupakan faktor-faktor yang berasal
dari perlakuan yang didapatkan dari lingkungan tempat seseorang berada atau
tinggal. Lingkungan yang mempengaruhi kecerdasan emosional adalah
keluarga, lingkungan teman-teman sebaya (rekan kerja), dan lingkungan
masyarakat sosial. Pada masing-masing lingkungan tersebut, guru berhadapan
dengan kebiasaan-kebiasan (kultur) yang berbeda antara yang satu dengan
yang lainnya. Sehingga dengan demikian, karakter seorang guru akan terpola
dari akulturasi dengan lingkungannya tersebut. Kultur keluarga, kultur
lingkungan kerja, dan kultur lingkungan masyarakat mengambil peranan yang
penting dalam menentukan tinggi atau rendahnya tingkat kecerdasan
emosional seorang guru.
Ada dugaan bahwa terdapat perbedaan derajat hubungan kultur
keluarga, kultur lingkungan kerja dan kultur lingkungan masyarakat dengan
kecerdasan emosional pada jenis kelamin guru yang berbeda. Pada guru yang
emosional yang lebih tinggi karena perempuan memiliki pola dasar yang
terarah pada manusia, lebih tabah mudah menerima serta mampu
mengendalikan, dan mengatur emosi dengan perasaan yang lebih menonjol.
Sementara, pada guru yang berjenis laki-laki pada umumnya berperan sebagai
kepala keluarga dan memegang kekuasaan mengambil keputusan dalam
keluarga. Namun demikian laki-laki umumnya kurang dapat mengendalikan
dan mengatur emosi, karena terdapat kecenderungan bahwa guru laki-laki
lebih mengutamakan inteleklual dan rasionya dari pada emosi dan perasaan.
Dengan demikian, diduga kuat bahwa derajat hubungan kultur keluarga, kultur
lingkungan kerja dan kultur lingkungan masyarakat dengan kecerdasan
emosional guru akan lebih tinggi pada guru berjenis kelamin perempuan
dibandingkan dengan guru berjenis kelamin laki-laki.
Di samping hal tersebut di atas, ada dugaan juga bahwa terdapat
perbedaan derajat hubungan kultur keluarga, kultur lingkungan kerja, dan
kultur lingkungan masyarakat dengan kecerdasan emosional pada guru dengan
locus of control yang berbeda. Locus of control dapat diklasifikasi menjadi
dua, yaitu: internal dan eksternal. Seorang guru yang memiliki locus of control
internal merasa bahwa dirinya sendirilah yang menjadi sumber pencapaian
keberhasilan dari segala tindakannya. Sedangkan guru dengan locus of control
eksternal cenderung memandang bahwa dirinya, keputusan dan tindakannya
sangat dipengaruhi oleh orang lain. Dengan demikian diduga kuat bahwa
derajat hubungan kultur keluarga, kultur lingkungan kerja dan kultur
pada seorang guru yang memiliki locus of control internal dibandingkan
dengan seorang guru yang memiliki locus of control eksternal.
Penelitian ini dimaksudkan untuk mengetahui apakah kultur keluarga,
kultur lingkungan kerja dan kultur lingkungan masyarakat yang berbeda akan
berhubungan dengan tingkat kecerdasan emosional pada guru dengan jenis
kelamin dan locus of control yang berbeda. Penelitian ini selanjutnya
dirumuskan dalam judul “PENGARUH JENIS KELAMIN DAN LOCUS OF
CONTROL TERHADAP HUBUNGAN KULTUR KELUARGA, KULTUR
LINGKUNGAN KERJA, DAN KULTUR LINGKUNGAN MASYARAKAT
DENGAN KECERDASAN EMOSIONAL GURU” dan mengambil survei
pada guru SMA di Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta.
B. Identifikasi Masalah
Terdapat beberapa faktor yang bisa mempengaruhi tingkat kecerdasan
emosional seseorang. Faktor-faktor tersebut adalah faktor internal dan faktor
ekternal. Faktor internal terdiri dari faktor fisiologis dan faktor psikologis.
Faktor fisiologis meliputi ketrampilan emosional otak manusia. Sedangkan
faktor psikologis meliputi keyakinan, rasa ingin tahu, niat, pengendalian diri,
keterkaitan, dan kemampuan bekerja sama. Faktor eksternal meliputi
lingkungan keluarga, lingkungan teman-teman sebaya, dan lingkungan
masyarakat. Dalam penelitian ini, penulis memfokuskan pada faktor eksternal
yaitu kultur keluarga, kultur lingkungan kerja, dan kultur lingkungan
C. Rumusan Masalah Penelitian
Berdasarkan latar belakang masalah tersebut di atas, dirumuskan
permasalahan sebagai berikut:
1. Apakah ada pengaruh jenis kelamin terhadap hubungan kultur keluarga
dengan kecerdasan emosional guru?
2. Apakah ada pengaruh jenis kelamin terhadap hubungan kultur lingkungan
kerja dengan kecerdasan emosional guru?
3. Apakah ada pengaruh jenis kelamin terhadap hubungan kultur lingkungan
masyarakat dengan kecerdasan emosional guru?
4. Apakah ada pengaruh locus of control terhadap hubungan kultur keluarga
dengan kecerdasan emosional guru?
5. Apakah ada pengaruh locus of control terhadap hubungan kultur
lingkungan kerja dengan kecerdasan emosional guru?
6. Apakah ada pengaruh locus of control terhadap hubungan kultur
D. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah tersebut di atas, tujuan penelitian ini adalah
sebagai berikut:
1. Ada pengaruh jenis kelamin terhadap hubungan kultur keluarga dengan
kecerdasan emosional guru.
2. Ada pengaruh jenis kelamin terhadap hubungan lingkungan kerja dengan
kecerdasan emosional guru.
3. Ada pengaruh jenis kelamin terhadap hubungan kultur lingkungan
masyarakat dengan kecerdasan emosional guru.
4. Ada pengaruh locus of control terhadap hubungan kultur keluarga dengan
kecerdasan emosional guru.
5. Ada pengaruh locus of control terhadap hubungan kultur lingkungan kerja
dengan kecerdasan emosional guru.
6. Ada pengaruh locus of control terhadap hubungan kultur lingkungan
masyarakat dengan kecerdasan emosional guru.
E. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi berbagai pihak, yaitu:
1. Subjek Penelitian (Guru)
Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi guru untuk
memperluas pengetahuan mereka tentang pentingnya memiliki kecerdasan
bahwa kecerdasan emosional sangat penting dalam meningkatkan
profesionalitas sebagai tenaga pendidik.
2. Peneliti Lain
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan inspirasi untuk
mengadakan dan mengembangkan penelitian lanjutan dalam bidang
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Kultur Keluarga
1. Pengertian Kultur
Banyak ahli mendefinisikan kultur secara berbeda-beda. The
American Heritage Dictionary (dalam Kotter, 1992:4) mendefinisikan kultur
sebagai:
The totality of socially transmitted behavior patterns, arts, beliefs, institutions, and all other products of human work and thought characteristics of a community or population.
Kultur merupakan keseluruhan pola keperilakuan manusia, seni,
kepercayaan, lembaga-lembaga, dan keseluruhan hasil karya manusia yang
mewujudkan karakteristik-karakteristik yang dibawa dari komunitas atau
masyarakatnya.
Tylor dalam Conrad Phillip Kottak (1991:37) mendefinisikan kultur
sebagai berikut:
Cultur is that complex whole which includes knowledge, belief, arts, morals, law, custom, and any other capabilities and habits acquired by man as a member of society.
Kultur merupakan sesuatu yang kompleks/menyeluruh mencakup
pengetahuan, kepercayaan, seni, moral, hukum, adat istiadat, dan kemampuan
serta kebiasaan yang diperlukan manusia sebagai anggota masyarakat.
Sementara itu, Hofstede (1994:5) mengartikan kultur sebagai:
A collective phenomenon, because it is at least partly shared with people who live or lived within the same social environment, which is there it was learned. It is collective programming of the mind which distinguishes the members of the one group or category of people from another.
Kultur merupakan bentuk pemprograman mental secara kolektif yang
membedakan anggota kelompok satu dengan kelompok yang lainnya dalam
pola pikir, perasaan, dan tindakan anggota suatu kelompok. Hofstede (1994:4)
karenanya menyebutkan kultur sebagai “software of the mind”. Sebagai
bentuk pemprograman mental secara kolektif, kultur cenderung sulit berubah
karena telah terkristalisasi dalam lembaga yang telah mereka bangun.
Dengan demikian kultur merupakan pandangan hidup yang diakui
bersama dalam suatu kelompok, yang mencakup pola berpikir, berperilaku,
sikap nilai yang tercermin dalam wujud fisik maupun abstrak yang
membedakan anggota kelompok satu dengan kelompok yang lainnya.
2. Pengertian Keluarga
Yang dimaksud keluarga adalah keluarga asal anak, dimana anak
dilahirkan, dibesarkan, dan hidup bersama ayah, ibu, dan saudaranya
(Kartono, 1985:27). Sedangkan Paul B. Horton dalam Manurung (1995:47)
mendefinisikan keluarga sebagai berikut:
Keluarga diartikan sebagai suatu kelompok pertalian nasib keluarga
yang dapat dijadikan tempat untuk membimbing anak-anak dan untuk
pemenuhan kebutuhan hidup lainnya.
Sementara menurut Ahmadi (1991:239), keluarga dalam bentuk murni
merupakan satu kesatuan sosial yang terdiri dari suami, istri, dan anak-anak
yang belum dewasa. Satuan ini mempunyai sifat-sifat tertentu yang sama
dimana saja dalam satuan masyarakat manusia. Keluarga merupakan suatu
kesatuan sosial yang terdiri dari ayah, ibu, dan anak, yang dapat dijadikan
tempat untuk membimbing anak-anak dan untuk pemenuhan kebutuhan hidup,
baik kebutuhan fisik maupun psikis.
Dari definisi tentang kultur dan keluarga di atas, dapat disimpulkan
bahwa kultur keluarga merupakan pandangan hidup yang mencakup cara
berpikir, berperilaku, dan sikap nilai, yang diakui bersama dalam suatu
kesatuan sosial yang terdiri atas ayah, ibu, dan anak, yang dapat dijadikan
tempat untuk membimbing anak-anak sekaligus sebagai tempat untuk
pemenuhan kebutuhan hidup, baik kebutuhan fisik maupun psikis.
Sebagai tempat untuk membimbing anak, keluarga mempunyai
peranan yang sangat besar bagi perkembangan anak, baik itu fisik maupun
psikis. Dalam lingkungan keluarga, seseorang belajar bagaimana mengolah
perasaan dirinya sendiri, bagaimana berpikir tentang perasaan ini, menentukan
pilihan-pilihan untuk bereaksi, dan bagaimana membaca dan mengungkapkan
pikiran, perilaku, dan sikap nilai yang tertanam dalam diri seseorang, yang
merupakan cerminan dari tingkat kecerdasan emosional seseorang. Misalnya
saja dalam keluarga yang mempunyai kebiasaan untuk saling bertukar
pendapat mengenai kebijakan keluarga, akan melahirkan seseorang yang
mampu berkomunikasi dengan baik dan mampu menghormati pendapat orang
lain. Selain itu, keluarga juga berperan dalam pembentukan konsep tentang
keberadaan orang lain ataupun konsep tentang hal-hal yang dilihat di
sekitarnya. Misalnya, jika sejak kecil seseorang telah dididik untuk
menghormati orang lain, maka akan tumbuh pemahaman dalam dirinya bahwa
semua orang harus dihormati.
3. Dimensi Kultur Keluarga
Kultur keluarga terbagi menjadi 4 dimensi yaitu: (a) jarak kekuasaan
(power distance); (b) penghindaran ketidakpastian (uncertainty avoidance);
(c) individualisme versus kolektivisme (individualism versus collectivism); (d)
maskulinitas versus femininitas (masculinity versus femininity).
Jarak kekuasaan (power distance) menunjukkan tingkatan atau
sejauhmana tiap keluarga mempertahankan perbedaan status atau kekuasaan
diantara anggota-anggotanya. Keluarga dengan latar belakang budaya power
distance besar akan cenderung mengembangkan aturan, mekanisme atau
kebiasaan-kebiasaan dalam mempertahankan perbedaan status atau
kecil akan berusaha untuk meminimalkan perbedaan-perbedaan status atau
mengutamakan kesejajaran (equality).
Dalam dimensi kedua yaitu penghindaran ketidakpastian (uncertainty
avoidance) menunjuk sejauhmana pandangan anggota keluarga dalam
menghadapi situasi yang tidak pasti. Keluarga dengan latar belakang budaya
uncertainty avoidance kuat, merasa terancam dengan ketidakpastian sehingga
akan berusaha menciptakan mekanisme untuk mengurangi risiko. Lain halnya
pada keluarga dengan latar belakang budaya uncertainty avoidance lemah,
toleransi terhadap situasi tidak pasti akan menjadi lebih tinggi.
Sementara itu dimensi individualisme versus kolektivisme
(individualism versus collectivism) mengacu pada sejauhmana suatu keluarga
mendukung tendensi individualisme atau kolektivisme. Keluarga dengan latar
belakang budaya individualisme mendorong anggota-anggotanya untuk
mandiri (otonom) dan merealisasikan hak-hak pribadinya. Sedangkan pada
keluarga dengan latar belakang budaya kolektivisme menekankan kewajiban
pada kelompok daripada hak-hak pribadinya.
Dimensi maskulinitas versus femininitas (masculinity versus
femininity) menunjukkan sejauhmana suatu keluarga berpegang teguh pada
peran gender atau nilai-nilai seksual tradisional yang didasarkan pada
perbedaan biologis. Kelurga dengan latar belakang budaya maskulinitas
menekankan peran yang lebih dominan dari pada perempuan. Biasanya dalam
(tentang yang boleh atau tidak boleh dilakukan) dibandingkan pihak ibu.
Sementara keluarga dengan latar belakang budaya femininitas mengutamakan
nilai-nilai kesederhanaan, kerendahan hati, dan kesetiakawanan. Oleh karena
itu, dalam hubungan antar anggota keluarga orang tua tidak menghendaki
adanya perbedaan-perbedaan yang tampak diantara mereka (misalnya: kerja
atau tidak kerja).
Dimensi jarak kekuasaan (power distance) mencakup indikator antara
lain: kekuasaan orang tua atas aturan, kepatuhan/rasa hormat terhadap orang
tua atau terhadap anggota keluarga lain yang lebih tua, ketergantungan kepada
orang tua dan kebiasaan dalam meminimalkan perbedaan status. Dimensi
penghindaran ketidakpastian (uncertainty avoidance) mencakup indikator
yang meliputi: sikap dalam menghadapi ketidak pastian hidup dan penetapan
aturan. Dimensi individualisme versus kolektivisme (individualism versus
collectivism) mencakup indikator antara lain: kebebasan untuk menyatakan
pendapat, loyalitas pada anggota keluarga yang lain, keleluasaan untuk
mandiri keterikatan sosial satu sama lain dalam keluarga, kebutuhan untuk
berkomunikasi, dan perasaan yang muncul akibat pelanggaran atas suatu
aturan atau norma tertentu. Sedangkan pada dimensi maskulinitas versus
femininitas (masculinity versus femininity) mencakup indikator antara lain:
peran ayah lebih dominan, perhatian yang lebih kepada anggota yang lebih
kuat, anggota keluarga (laki-laki atau perempuan) memiliki cita-cita yang
B. Kultur Lingkungan Kerja
1. Pengertian Lingkungan Kerja
Lingkungan kerja merupakan segala sesuatu yang ada di sekitar para
pekerja dan yang dapat mempengaruhi dirinya dalam menjalankan tugas-tugas
yang dibebankan (Nitisemito, 1982:183). Agus Ahyari (1986:125-126),
mendefinisikan lingkungan kerja sebagai suatu lingkungan dimana karyawan
tersebut bekerja dan melakukan tugas sehari-hari yang meliputi penafsiran
perusahaan terhadap karyawan, kondisi kerja karyawan, dan hubungan
karyawan di dalam perusahaan.
Pandji Anoraga dan Sri Suyati (1995:72), mendefinisikan lingkungan
kerja sebagai lingkungan yang meliputi hubungan antar karyawan, hubungan
dengan pimpinan, suhu, penerangan, dan sebagainya. Lingkungan kerja
merupakan lingkungan di sekitar pekerja yang mempengaruhi dirinya, baik
secara emosional maupun intelektual, dalam menjalankan tugas-tugas yang
dibebankan.
Dari definisi tentang kultur dan lingkungan kerja di atas, kultur
lingkungan kerja merupakan pandangan hidup, mencakup cara berpikir,
berperilaku, sikap nilai, yang diakui bersama dalam suatu lingkungan di
sekitar pekerja yang mempengaruhi dirinya, baik secara emosional maupun
2. Dimensi Kultur Lingkungan Kerja
Menurut Hofstede dalam Tri Dayakisni dan Salis Yuniardi (2004:277),
dimensi utama nilai yang berkaitan dengan kultur lingkungan kerja adalah: (a)
jarak kekuasaan (power distance); (b) penghindaran ketidakpastian
(uncertainty avoidance); (c) individualisme versus kolektivisme
(individualism versus collectivism); (d) maskulinitas versus femininitas
(masculinity versus femininity). Masing-masing dimensi ini berkaitan dengan
perbedaan secara konkrit dalam hal sikap, opini, keyakinan, dan perilaku
dalam organisasi kerja dan bentuk-bentuk dasar untuk memahami
norma-norma sosial tertentu.
Dimensi jarak kekuasaan (power distance) menunjukkan tingkatan
atau sejauhmana tiap budaya mempertahankan perbedaan status atau
kekuasaan diantara anggota-anggotanya. Lingkungan kerja dengan latar
belakang budaya power distance besar akan cenderung mengembangkan
aturan, mekanisme atau kebiasaan-kebiasaan dalam mempertahankan
perbedaan status atau kekuasaan. Implikasinya biasanya ditandai dengan
adanya struktur hirarki yang tinggi. Sedangkan kultur lingkungan kerja
dengan latar belakang budaya power distance kecil berusaha meminimalkan
perbedaan status atau kekuasaan dan dalam hubungan kerjanya didukung oleh
inisiatif dari atasan dan bawahan.
Dimensi penghindaran ketidakpastian (uncertainty avoidance)
menghadapi situasi yang tidak pasti. Lingkungan kerja dengan latar belakang
budaya uncertainty avoidance kuat, merasa terancam dengan ketidakpastian
sehingga setiap anggotanya akan berusaha menciptakan mekanisme untuk
mengurangi risiko dan mempertahankan harga diri. Berbeda pada lingkungan
kerja dengan latar belakang budaya uncertainty avoidance lemah, toleransi
terhadap situasi ketidakpastian akan menjadi lebih tinggi, sehingga setiap
anggotanya cenderung lebih senang mencoba hal-hal baru.
Budaya individualisme mendorong anggota-anggotanya agar mandiri,
menekankan tanggung jawab dan hak-hak pribadinya, sehingga mampu
menumbuhkan kemandirian emosional pada instansi tempat seseorang
bekerja. Budaya kolektivisme menekankan kewajiban kepada instansi
(kelompok) tempat seseorang bekerja daripada hak-hak pribadinya.
Sedangkan dimensi maskulinitas versus femininitas (masculinity
versus femininity) menunjukkan sejauhmana lingkungan kerja berpegang
teguh pada peran gender. Lingkungan kerja dengan latar belakang budaya
maskulinitas menekankan pada nilai ketegasan, ambisi, dan persaingan.
Sedangkan pada lingkungan kerja dengan latar belakang budaya femininitas
lebih mengutamakan kesederhanaan, kerendahan hati, dan kesetiakawanan.
Dimensi jarak kekuasaan (power distance) mencakup indikator antara
lain: perbedaan jarak antara atasan dan bawahan, tingkat pengawasan, dan
sistem penggajian. Dimensi penghindaran ketidakpastian (uncertainty
bekerja, kebebasan mengeluarkan ide, sumber motivasi dalam bekerja, dan
dasar kedisiplinan kerja. Dimensi maskulinitas versus femininitas (masculinity
versus femininity) mencakup indikator: cara mengatasi masalah, filosofi kerja,
sikap atasan dalam memimpin, dan orientasi kerja. Dimensi individualisme
versus kolektivisme (individualism versus collectivism) mencakup indikator:
dasar hubungan atasan bawahan, dasar pemberian gaji dan sistem manajemen
kerja yang dianut.
C. Kultur Lingkungan Masyarakat
1. Pengertian Masyarakat
Masyarakat merupakan orang-orang yang hidup bersama, yang
menghasilkan kebudayaan (Selo Soemardjan dalam Soerjono Soekanto,
1982:22). Hal demikian berarti masyarakat merupakan setiap kelompok
manusia yang telah hidup dan bekerja bersama cukup lama sehingga mereka
dapat mengatur diri mereka dan menganggap diri mereka sebagai suatu
kesatuan sosial dengan batas-batas yang dirumuskan dengan jelas (Ralph
Linton dalam Soerjono Soekanto, 1982:22).
Sedangkan menurut Hasan Shadily, masyarakat adalah golongan besar
atau kecil terdiri atas beberapa manusia, yang dengan atau karena sendirinya
bertalian secara golongan dan mempengaruhi satu sama lain (dalam
Manurung, 1995:48). Sementara, Webster menguraikan masyarakat sebagai
dianggap seperti suatu sistem yang olehnya kehidupan individu dibentuk,
terikat oleh cita-cita atau tujuan bersama, kepentingan bersama dalam taraf
kehidupan (dalam Manurung, 1995:49). Jadi, masyarakat merupakan
sekelompok manusia yang membentuk kesatuan sosial dimana didalamnya
kehidupan individu dibentuk, saling mempengaruhi satu sama lain, terikat
oleh tujuan bersama dengan batas-batas aturan yang dirumuskan dengan jelas.
Dari definisi di atas, kultur lingkungan masyarakat merupakan
pandangan hidup, mencakup cara berpikir, berperilaku, sikap nilai, yang
diakui bersama dalam sekelompok manusia yang membentuk kesatuan sosial
dimana didalamnya kehidupan individu dibentuk, saling mempengaruhi satu
sama lain, terikat oleh tujuan bersama dengan batas-batas aturan yang
dirumuskan dengan jelas.
2. Dimensi Kultur Lingkungan Masyarakat
Menurut Hofstede (1994:10), dimensi kultur lingkungan masyarakat
adalah: (a) jarak kekuasaan (power distance); (b) penghindaran ketidakpastian
(uncertainty avoidance); (c) individualisme versus kolektivisme
(individualism versus collectivism); (d) maskulinitas versus femininitas
(masculinity versus femininity).
Dimensi jarak kekuasaan (power distance) menunjukkan tingkatan
sejauhmana tiap budaya mempertahankan perbedaan status atau kekuasaan
belakang budaya power distance besar akan cenderung mengembangkan
aturan, mekanisme atau kebiasaan-kebiasaan dalam mempertahankan
perbedaan status atau kekuasaan. Hal ini ditandai dengan anggapan perangkat
desa sebagai pihak yang sah dan tepat untuk dimintai pandangan tentang
kriteria baik dan buruknya tindakan. Lingkungan masyarakat dengan latar
belakang budaya power distance kecil berusaha meminimalkan perbedaan
status atau kekuasaan sehingga dalam hubungan bermasyarakat tidak
menampakkan dirinya sebagai atasan dan warga tidak merasa sebagai
bawahan.
Dimensi penghindaran ketidakpastian (uncertainty avoidance)
menunjuk sejauhmana pandangan anggota lingkungan masyarakat dalam
menghadapi situasi yang tidak pasti. Lingkungan masyarakat dengan latar
belakang budaya uncertainty avoidance kuat, merasa terancam dengan
ketidakpastian sehingga anggota lingkungan masyarakat akan cenderung
menghindari perubahan. Sementara pada lingkungan masyarakat dengan latar
belakang budaya uncertainty avoidance lemah toleransi terhadap situasi tidak
pasti akan menjadi lebih tinggi, sehingga anggota lingkungan masyarakat
akan merubah aturan bersama jika dirasa aturan tersebut sudah tidak dapat
lagi diterapkan.
Sementara dimensi individualisme versus kolektivisme (individualism
versus collectivism) mengacu pada sejauhmana suatu masyarakat mendukung
latar belakang budaya individualisme mendorong anggota-anggotanya untuk
mandiri (otonom) dan merealisasikan hak-hak pribadinya. Sedangkan pada
lingkungan masyarakat dengan latar belakang budaya kolektivisme
menekankan kewajiban pada kelompok daripada hak-hak pribadinya.
Sedangkan dimensi maskulinitas versus femininitas (masculinity
versus femininity) menunjukkan sejauhmana lingkungan masyarakat
berpegang teguh pada peran gender. Lingkungan masyarakat dengan latar
belakang budaya maskulinitas menekankan pada nilai ketegasan, ambisi, dan
persaingan. Sedangkan pada lingkungan masyarakat dengan latar belakang
budaya femininitas lebih mengutamakan kesederhanaan, kerendahan hati, dan
kesetiakawanan
Dimensi jarak kekuasaan (power distance) mencakup indikator antara
lain: kewenangan dalam pengunaan kekuasaan, kepemilikan hak, performance
of powerfull people, dasar kekuasaan, dan fokus manajemen terhadap aturan.
Dimensi penghindaran ketidakpastian (uncertainty avoidance) mencakup
indikator yang meliputi: perlakuan terhadap pelanggaran aturan, sikap atasan
terhadap kritik bawahan, dan letak kepercayaan. Dimensi individualisme
versus kolektivisme (invidualism versus collectivism) mencakup indikator
antara lain: orientasi kepentingan dalam masyarakat, tingkat kepentingan
kehidupan pribadi, penetapan pendapat atas kelompok, perbedaan pelaksanaan
hukum dan hak, tujuan yang ingin dicapai. Sedangkan pada dimensi
indikator antara lain: orientasi solidaritas, tingkat toleransi atas kesalahan,
cara penyelesaian konflik, kuantitas wanita dalam menduduki jabatan politik,
pengertian kebebasan wanita.
D. Kecerdasan Emosional
1. Pengertian Emosi
Pada awal sejarahnya, pendiri psikologi yaitu William James
memahami emosi sebagai sebuah hasil dari reaksi perilaku kita terhadap
sebuah stimulus yang menghasilkan reaksi tersebut. Selanjutnya Buck dalam
Tri Dayakisni dan Salis Yuniardi (2004:76) menyempurnakan definisi emosi
menjadi:
berlaku secara naluri bergantung pada situasi (Francisco Burzi,
http://www.pts.com.my).
Dengan demikian dapat disimpulkan emosi adalah suatu gambaran
jiwa manusia yang menunjukkan keadaan psikologis seseorang, dimana
keadaan ini berlaku secara naluri bergantung pada situasi tertentu, dengan
melibatkan pikiran dan perasaan sebagai reaksi terhadap stimulus tertentu
sehingga dapat mendorong untuk melakukan suatu tindakan yang akan
dilakukan.
2. Pengertian Kecerdasan Emosional
Menurut Daniel Goleman (http://www1.unpar.ac.id/web/
column/rudiscolumn.asp.koderekaman=0245131215406176) kecerdasan
emosional (emotional intelligence) adalah kemampuan merasakan,
memahami, dan dengan efektif menerapkan daya dan kepekaan emosi sebagai
sumber energi, informasi dan pengaruh yang manusiawi.
Kecerdasan emosional juga dapat dipandang sebagai suatu ketrampilan
yang dimiliki seseorang yang meliputi pengendalian diri, semangat dan
ketekunan, serta kemampuan memotivasi diri, kesanggupan mengendalikan
dorongan hati dan emosi, mengatur suasana hati, kemampuan membaca
perasaan orang lain (empati) dan memelihara hubungan dengan baik, dan
kemampuan menyelesaikan konflik serta memimpin (Fransisco Burzi,
Mozaik (Juni 2005) adalah kemampuan untuk mengenali, mengekspresikan
dan mengelola emosi, baik emosi dirinya sendiri maupun emosi orang lain,
dengan tindakan konstruktif, yang mempromosikan kerjasama sebagai tim
yang mengacu pada produktivitas dan bukan pada konflik
(http://www.ganeca.blogspirit.com).
Individu yang memiliki kecerdasan emosional tidak dikendalikan oleh
emosi melainkan mengendalikan emosi, individu dapat memotivasi dirinya
sendiri sehingga mandiri, juga mampu mempengaruhi emosi orang lain,
bersikap ramah, simpati, murah hati dan toleransi. Jadi dapat disimpulkan
bahwa kecerdasan emosional merupakan ketrampilan emosional, yang
meliputi mengidentifikasi dan memberi nama emosi-emosi, mengungkapkan
emosi, menilai intensitas emosi, menunda pemuasan, mengendalikan
dorongan hati, menangani stres, memahami sudut pandang orang lain dan
empati.
3. Dimensi Kecerdasan Emosional
Dimensi kecerdasan emosional mempunyai 5 (lima) komponen dasar
(http://www.ganeca.blogspirit.com/archive/2005/06/23/ge_mozaik_
juni_2005_pentingnya_pendidikan_kecerdasan_emos.html) yaitu:
a. Self-awareness (pengenalan diri)
Self-awareness merupakan kemampuan untuk mengenali emosi diri
keyakinan terhadap emosi diri sendiri berkaitan dengan ketepatan
pengambilan keputusan-keputusan masalah pribadi. Seorang guru yang
memiliki keyakinan yang lebih tentang perasaannya adalah pemimpin
yang andal bagi kehidupannya sendiri, karena mempunyai kepekaan yang
lebih tinggi akan perasaan mereka yang sesungguhnya atas pengambilan
keputusan-keputusan masalah pribadinya.
Dimensi self-awareness mencakup indikator: mengenali emosi sendiri,
mengetahui kekuatan, mengetahui keterbatasan diri, keyakinan akan
kemampuan diri.
b. Self-regulation (penguasaan diri)
Self-regulation merupakan kemampuan untuk menangani emosi agar
dapat terungkap dengan “pas”. Emosi yang dialami tidak ditekan atau
diabaikan, tetapi tidak juga terjadi secara berlebihan.
Seseorang yang mempunyai penguasaan diri yang baik dapat lebih
terkontrol dalam membuat tindakan agar lebih hati-hati. Penguasaan diri
berarti menangani perasaan agar perasaan dapat terungkap dengan tepat,
hal ini merupakan kecakapan yang sangat tergantung pada kesadaran diri.
Seorang guru yang memiliki self-regulation rendah, saat mengalami
kegagalan dalam hidup, akan terus menerus dalam keadaan murung (tidak
mampu menghibur dirinya sendiri), sementara seorang guru yang
memiliki self-regulation tinggi dapat bangkit kembali dengan cepat saat
Dimensi self-regulation mencakup indikator: menahan emosi dan
dorongan negatif, memelihara norma kejujuran dan integritas,
bertanggung-jawab atas kinerja pribadi, keluwesan dalam menghadapi
perubahan terbuka terhadap ide-ide serta informasi baru.
c. Self-motivation (motivasi diri)
Self-motivation berkaitan dengan kemampuan untuk memotivasi diri agar
tetap berorientasi pada sasaran atau tujuan yang telah ditetapkan.
Kemampuan seseorang memotivasi diri dapat ditelusuri melalui hal-hal
sebagai berikut: (1) cara mengendalikan dorongan hati; (2) derajat
kecemasan yang berpengaruh terhadap unjuk kerja seseorang; (3)
kekuatan berpikir positif; (4) optimisme; (5) keadaan flow
(mengikuti aliran).
Menata emosi sebagai alat untuk mencapai tujuan adalah hal yang sangat
penting dalam kaitan untuk memotivasi diri sendiri, menguasai diri sendiri
dan untuk berkreasi. Seorang guru yang memiliki kendali diri emosional,
menahan diri terhadap kepuasan dan mengendalikan dorongan hati, serta
mampu menyesuaikan diri dalam “flow”, cenderung jauh lebih produktif
dan efektif dalam hal apapun yang mereka kerjakan.
Ketika sesuatu berjalan tidak sesuai dengan rencana, seorang guru yang
mempunyai tingkat kecerdasan emosional tinggi tidak akan bertanya “apa
yang salah dengan saya ?”. Sebaliknya ia akan bertanya “apa yang dapat
Dimensi self-motivation mencakup indikator: dorongan untuk menjadi
lebih baik, menyesuaikan dengan sasaran kelompok atau organisasi,
kesiapan untuk memanfaatkan kesempatan, kegigihan dalam
memperjuangkan kegagalan dan hambatan.
d. Empathy (empati)
Empathy merupakan kemampuan untuk mengenali perasaan orang lain
dan merasakan apa yang orang lain rasakan jika dirinya sendiri yang
berada pada posisi tersebut. Empati atau mengenal emosi orang lain yang
dibangun berdasarkan pada kesadaran diri emosional, merupakan
“ketrampilan bergaul”. Jika seseorang terbuka pada emosi sendiri, maka
e. Social skills (ketrampilan sosial)
Dengan adanya 4 kemampuan seperti telah disebutkan di atas seseorang
dapat berkomunikasi dengan orang lain secara efektif. Kemampuan untuk
memecahkan masalah bersama-sama lebih ditekankan dan bukan pada
konfrontasi yang tidak penting yang sebenarnya dapat dihindari. Orang
yang mempunyai tingkat kecerdasan emosional yang tinggi mempunyai
tujuan konstruktif dalam pikirannya. Membina hubungan dengan orang
lain merupakan ketrampilan sosial yang mendukung keberhasilan dalam
pergaulan dengan orang lain. Tanpa memiliki ketrampilan sosial seseorang
akan mengalami kesulitan dalam pergaulan sosial.
Dimensi Social skills mencakup indikator: kemampuan persuasi,
mendengar dengan terbuka dan memberi pesan yang jelas, kemampuan
menyelesaikan pendapat, semangat leadership, kolaborasi dan kooperatif,
team building.
4. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kecerdasan Emosional
Ada beberapa faktor yang berperan penting dalam pembentukan dan
perkembangan tingkat kecerdasan emosional. Secara umum faktor-faktor
tersebut dibedakan menjadi dua, yaitu: faktor internal dan faktor eksternal.
Faktor internal adalah faktor yang ada dalam individu sendiri, yaitu: faktor
fisiologis dan faktor psikologis. Faktor fisiologis merupakan faktor kesehatan
kecerdasan emosional adalah otak. Otak manusia adalah sumber pengetahuan
tentang emosi karena di otak emosi dapat dideteksi dan dikenali, serta
memberikan respon untuk bertindak.
Faktor psikologis berkaitan dengan sikap, motivasi, dan
dorongan-dorongan internal lain yang memungkinkan sejauh mana individu memiliki
kecerdasan emosional. Daniel Goleman (1999:274) menyatakan bahwa rasa
keyakinan ingin tahu, niat atau kemauan, pengendalian diri, keterkaitan,
kecakapan berkomunikasi dan kemampuan bekerja sama, mempengaruhi
kecerdasan emosional individu yang dijelaskan sebagai berikut:
a. Keyakinan, yaitu perasaan kendali dan penguasaan individu terhadap
dirinya sendiri. Seseorang yang memiliki pengertian akan dirinya bahwa
dia mampu membawa dirinya berdasarkan tuntutan situasi dan kondisi,
cenderung berhasil dalam apa yang dikerjakannya.
b. Rasa ingin tahu, yaitu dorongan untuk mencari tahu atau menyelidiki
sesuatu. Kebutuhan untuk memahami ini sifatnya positif dan memberikan
kepuasan.
c. Niat, yaitu didorong dari dalam/inisiatif untuk berhasil, ketekunan atau
hasrat untuk bertindak secara konsekuen untuk mencapai tujuan.
d. Pengendalian diri, yaitu kemampuan untuk menyesuaikan tindakan
dengan pola yang sesuai dengan usia, kendali yang mengarahkan diri
e. Keterkaitan, yaitu kemampuan melibatkan diri dengan orang lain, dengan
memahami situasi yang dialami oleh orang lain dan mampu berpikir dari
sudut pandang orang lain.
f. Kecakapan berkomunikasi, yaitu kemampuan verbal, untuk bertukar
gagasan, perasaan dan konsep dengan orang lain. Kemampuan
mendengarkan dan memberi umpan balik berdasarkan rasa percaya dan
keterkaitan dengan orang lain.
g. Kemampuan bekerjasama, yaitu bersikap kooperatif berarti mampu untuk
menyeimbangkan kebutuhannya sendiri dengan kebutuhan orang lain
dalam kegiatan kelompok.
Faktor eksternal adalah perlakuan yang diperoleh dari lingkungan
yang mempengaruhi kecerdasan emosional. Lingkungan yang pertama-tama
mempengaruhi kecerdasan emosional adalah keluarga, kemudian lingkungan
teman sebaya (lingkungan kerja), dan masyarakat sosial.
E. Jenis Kelamin
Secara umum manusia diciptakan atas dua kategori yaitu laki-laki dan
perempuan. Pembagian tersebut berdasarkan pada perbedaan yang melekat pada
kedua jenis kelamin tersebut. Jenis kelamin menunjuk pada keseluruhan ciri-ciri
yang membedakan manusia sebagai laki-laki dan perempuan yaitu mengenai
jasmani, kejiwaan, sifat, cara berpikir, perasaan dan sebagainya. Adanya
antara laki-laki dan perempuan. Perbedaan-perbedaan ini mengakibatkan
perbedaan ciri-ciri, sifat dan karakteristik psikologis yang berbeda antara laki-laki
dan perempuan (Tri Dayakisni dan Salis Yuniardi, 2004:253). Sewaktu menjadi
dewasa, individu akan mempelajari peran-peran sosial melalui proses-proses
penguatan dan peniruan. Sehingga pada akhirnya laki-laki dan perempuan
memperoleh sikap, ketrampilan dan ciri-ciri kepribadian yang berbeda
berdasarkan peran yang dikaitkan dengan jenis kelamin dalam lingkungannya.
Berikut disajikan tabel perbedaan psikologis antara laki-laki dan
perempuan (Gilarso, 2003:3):
7. Intelek dan rasio lebih utama, dapat mengendalikan perasaan dengan akalnya
8. Lebih melihat kenyataan obyektif, terarah pada garis-garis besar, lebih teguh dalam putusan
1. Pola dasar pandangan ke dalam, terarah pada manusia
9. Gelombang perasaan mendatar dan relatif stabil
10.Gairah seksual lebih berkobar, lebih bersifat jasmani biologis
9. Perasaan pasang surut terpengaruh oleh siklus bulanan
10. Gairah seksual lebih rohani lebih mementingkan cinta dan kemesraan
Secara terus menerus perbedaan-perbedaan psikologis tersebut akan
semakin berkembang sesuai psikologi kepribadian masing-masing sehingga,
pada akhirnya laki-laki dan perempuan akan memiliki kepribadian yang berbeda
serta tingkat kecerdasan emosional yang berbeda pula. Berdasarkan sifat dan
karakteristik psikologisnya, emosi dan perasaan pada perempuan lebih menonjol
dan mempengaruhi pikirannya daripada laki-laki. Karenanya perempuan
cenderung mempunyai tingkat kecerdasan emosional lebih tinggi dari pada
laki-laki.
F. Locus of Control
Locus of control merupakan sebuah konsep yang dibangun oleh Rotter
(Tri Dayakisni dan Salis Yuniardi, 2004:209) yang menyatakan bahwa setiap
orang berbeda dalam bagaimana dan seberapa besar kontrol diri mereka terhadap
perilaku dan hubungan mereka dengan orang lain serta lingkungan. Rotter
mendefinisikan locus of control sebagai berikut
Locus of control as a generalized expectancy of the extent to which a person perceives that events in one’s life are consequences of one’s behavior.
Locus of control sebagai suatu harapan yang secara umum meluas
dimana sering dirasakan seseorang dalam kejadian-kejadian dalam kehidupannya
sebagai akibat dari suatu tingkah laku seseorang. Rotter (dalam Brigita Pujiwati,
2004:31) mendefinisikan locus of control berdasarkan teori belajar sosial,
menjadi tiga aspek utama yaitu behavior potential (perilaku potensial),
expectancy (harapan) dan reinforcement value (nilai penguat), ketiga aspek itu
berhubungan satu dengan yang lain. Perilaku individu bergantung pada
harapan-harapan dimana suatu tingkah laku tertentu akan memberi penguatan, dan nilai
penguatan tersebut akan memuaskan kehidupan individu selanjutnya. Jika
individu berhasil memperoleh penguatan yang diharapkan, maka ia cenderung
meyakini bahwa penguatan itu akan diperoleh bukan dari dirinya sendiri. Secara
singkat dapat disimpulkan bahwa locus of control adalah anggapan sejauh mana
orang tersebut merasakan adanya usaha yang telah dilakukan dan akibatnya.
Locus of control umumnya dibedakan menjadi dua berdasarkan
arahnya, yaitu internal dan eksternal. Individu dengan locus of control eksternal
melihat diri mereka sangat ditentukan oleh bagaimana lingkungan dan orang lain
melihat mereka. Keberhasilan dan kegagalan dalam hidupnya dipandang sebagai
nasib, faktor keberuntungan, kesempatan karena kekuasaan orang lain atau karena
kondisi-kondisi yang tidak dapat dikuasainya. Sedangkan individu dengan locus
Keberhasilan dan kegagalan dalam hidupnya dipandang sebagai akibat
perilakunya.
Locus of control pada individu merupakan suatu konsep yang kontinum.
Dalam artian, locus of control individu bergerak dari ekstrim eksternal dan
ekstrim internal. Oleh karena itu setiap orang memiliki sekaligus faktor internal
dan eksternal dalam dirinya. Perkembangan orientasi individu ke arah internal
atau eksternal didapatkan melalui proses belajar. Pengalaman individu di masa
lalu akan mempengaruhi perkembangan orientasi ini. Perbedaaan orientasi ini
juga akan mempengaruhi penilaian seseorang terhadap suatu peristiwa atau situasi
yang sedang dihadapi.
Individu yang berorientasi internal cenderung memandang dunia sebagai
sesuatu yang dapat diramalkan dan tindakannya dianggap sangat menentukan
akibat yang diterima, baik itu positif maupun negatif, lebih perspektif dan siap
belajar dari lingkungan, memiliki daya tahan yang lebih besar terhadap pengaruh
orang lain, lebih cepat dalam mengambil keputusan dan tindakan karena merasa
mampu mengontrol lingkungannya.
Individu yang berorientasi eksternal, memandang dunia sebagai sesuatu
yang tidak dapat diramalkan, tidak berpengaruh besar dalam mengendalikan
akibat hidupnya, baik dalam mencapai tujuan maupun dalam melakukan
penghindaran terhadap situasi yang tidak menyenangkan, lebih cemas dan