• Tidak ada hasil yang ditemukan

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "4 HASIL DAN PEMBAHASAN"

Copied!
31
0
0

Teks penuh

(1)

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Produksi Udang Kabupaten Cilacap

Sektor kelautan dan perikanan di Kabupaten Cilacap khususnya usaha perikanan tangkap udang memiliki peranan yang penting dalam perekonomian Cilacap. Usaha perikanan tangkap udang telah berhasil menumbuhkan rangkaian usaha lainnya yaitu industri pengolahan, pemasaran dan perdagangannya. Udang merupakan salah satu produk unggulan komoditas perikanan Cilacap. Produk udang sebagian besar diekspor dalam bentuk beku. Udang juga dipasarkan dan diperdagangkan ke daerah lain dalam bentuk segar. Jumlah produksi, alat tangkap, kapal dan trip penangkapan sebagaimana tabel berikut :

Tabel 5 Data produksi udang, kapal, alat tangkap trammel net dan trip penangkapan udang tahun 1999-2008

No  Tahun  Perahu/Kapal  Alat 

Tangkap  Trammel  Net 

Trip  Penangkapan 

Dengan   Trammel Net 

Produksi  Udang (kg)  Rumah 

Tangga  Perikanan 

Tangkap  (RTP‐PT) 

Perahu   Tanpa  Motor  (PTM) 

Perahu  Motor  Tempel 

(PMT) 

Kapal Motor 

10  GT 

10 ‐  30  GT 

30 

‐  90  GT 

90  GT 

 3    4    5   10  11  12 

1999   1,975    550    1,312  260  225   37   ‐   365   44,600   738,778.74 

2000   1,985    547    1,315  262  237  49   ‐   369   45,280    809,526.83 

2001   1,989    543    1,327  265  241  51   ‐   375   45,500   980,030.66 

2002   1,990    541    1,355  278  245  55   ‐   382   46,120    969,526.83 

2003   1,995    537    1,360  281  263  54   ‐   384   46,680   1,035,038.32  2004   2,005    532    1,375  282  273  53   ‐   385   47,700   1,118,644.20  2005   2,020    526    1,380  283  279  62   ‐   387   48,330   1,081,616.71 

2006   2,035    522    1,385  287  284  68   ‐   390   48,900    998,338.78 

2007   2,058    199    1,412  292  293  74   ‐   392   50,240    810,526.09 

10  2008   2,058    513    1,770  364  193  17   5   421   51,170    818,595.00 

4.1.1 Sumberdaya Udang dan Metode Penangkapan Udang

Berdasarkan data produksi pada Tabel 5, menunjukkan bahwa stok

sumberdaya udang di Cilacap masih cukup melimpah, walaupun terjadi tren

penurunan hasil tangkapan. Ukuran udang yang ditangkap di perairan Cilacap dan

dilelang pada tempat pelelangan ikan (TPI) masih cukup besar. Pelelangan udang

mayoritas dilaksanakan di TPI PPS Cilacap dan TPI Sidakaya/Bakung. TPI

lainnya melelangan udang namun dalam jumlah yang tidak besar. Gambaran

udang yang sedang dilelang pada TPI PPS Cilacap sebagaimana Gambar 10.

(2)

Garnbar 10 Udang sedang dilelang di TPI PPS Cilacap.

Trammel net atau nama lokal disebut sebagai jaring ciker adalah alat penangkap ikan/udang dengan tiga lapis jaring dengan bentuk segi empat.

Spesifikasi trammel net di Cilacap umumnya adalah lebar 1,20 m, panjang 35 m terdiri dari 6 pis. Dua bagian outer net terletak disisi kiri mesh size 5 inch dan kanan mesh size 5in c h terbuat dari nylon monofillament dengan dengan iner net (midle net) dengan mesh size 1,5 inch.

Cara pengoperasian trammel net di Cilacap dilaksanakan dengan cara setengah lingkaran. Pengoperasiannya dapat dilakukan dengan menggunakan perahu motor dalam (inboard motor) atau perahu motor luat (outboard motor).

Satu unit Trammel net dapat mengoperasikan jaring 60 – 80 tinting (lembar jaring) dengan tenaga kerja sebanyak 5 - 8 orang. Operasi trammel net dilaksanakan di dasar perairan dengan melingkarkan jaring hingga membentuk setengah lingkaran. Kemudian ditarik ke kapal dan ikan & udang yang tertangkap dilepaskan.

4.1.2 Hasil Analisis Biologi Terhadap Hasil Tangkapan Udang

Kabupaten Cilacap memiliki sumberdaya udang yang besar, dan hingga saat ini masih menjadi sentra produksi udang di Indonesia. Kegiatan penangkapan udang yang dilakukan di perairan Cilacap menggunakan alat tangkap trammel net, karena alat tangkap tersebut cukup produktif dan tergolong ramah lingkungan.

Berdasarkan data dan perhitungan dari penulis mengenai hasil tangkapan

udang, upaya penangkapan udang (effort) di Cilacap semakin meningkat setiap

tahunnya, terbukti dengan pertambahan jumlah trip penangkapan yang terjadi

semenjak tahun 1999, yaitu sebanyak 44.600 trip penangkapan, dan terus

(3)

bertambah hingga tahun 2008 yang mencapai jumlah 51.170 trip penangkapan.

Berdasarkan data yang berhasil dihimpun oleh penulis, jumlah trip penangkapan terendah berada pada tahun 1999, yang berjumlah 44.600 trip. Kegiatan penangkapan tertinggi berdasarkan data yang ada adalah trip penangkapan pada tahun 2008, yaitu sebanyak 51.170 trip, dengan fluktuasi yang terjadi terus menerus mengalami peningkatan.

Hasil perhitungan biologi dengan metode Gordon dilakukan terhadap pengaruh kegiatan penangkapan udang di Cilacap kepada kelestarian sumberdaya udang. Perhitungan tersebut dilakukan dengan membagi antara hasil tangkapan dengan banyaknya trip penangkapan udang, sehingga dihasilkan CPUE (catch per unit effort). Trip penangkapan udang yang tertinggi terjadi pada tahun 2008, yaitu sebanyak 51.170 trip penangkapan, sedangkan hasil tangkapan yang tertinggi terjadi pada tahun 2004, yaitu 1.118.644,20 kg. Hal tersebut menyebabkan dinamika terhadap nilai CPUE pada kegiatan penangkapan udang di Cilacap.

Nilai CPUE tertinggi berada pada tahun 2004 sebesar 23,4517 kg/trip, yang terjadi pada saat hasil tangkapan memiliki produksi tertinggi, yaitu 1.118.644,20 kg. Nilai terendah dari CPUE terjadi pada tahun 2008, sebanyak 51.170 trip, dengan nilai CPUE sebesar 15,9976 kg/trip (Tabel 6).

Tabel 6 Perhitungan CPUE pada penangkapan udang tahun 1999-2008

No  Tahun  Q (kg)

E (Trip)

CPUE   (kg/trip) 

3 4

1  1999  738,778.74  44,600  16.5645  

2  2000  809,526.83  45,280  17.8782 

3  2001  980,030.66  45,500  21.5391 

4  2002  969,526.83  46,120   21.0218  

5  2003  1,035,038.32  46,680  22.1731  

6  2004  1,118,644.20  47,700  23.4517  

7  2005  1,081,616.71  48,330  22.3798  

8  2006  998,338.78  48,900   20.4159  

9  2007  810,526.09  50,240   16.1331  

10  2008  818,595.00  51,170   15.9976  

Analisis biologi terhadap sumberdaya udang, menggunakan perhitungan regresi sehingga dapat menentukan korelasi antara nilai CPUE dengan usaha penangkapan. Berdasarkan nilai yang dihasilkan akan diperoleh persamaan yang dapat menggambarkan produktivitas alat tangkap trammel net. Berdasarkan perhitungan antara CPUE dengan trip penangkapan (effort) dihasilkan persamaan:

CPUE = 34,74 – 0,0003 E

(4)

Persamaan tersebut menunjukkan bahwa CPUE memiliki korelasi negatif dengan kegiatan penangkapan, karena upaya penangkapan udang (E) bernilai negatif. Semakin banyak kegiatan penangkapan udang yang dilakukan pada perairan Cilacap, maka semakin rendah nilai CPUE. Nilai CPUE akan berbanding lurus dengan tingkat produktivitas alat tangkap udang trammel net, apabila CPUE semakin berkurang maka produktivitas alat tangkap terhadap objek hasil tangkapan akan semakin berkurang, demikian halnya apabila nilai CPUE bertambah, maka alat tangkap yang digunakan memiliki produktivitas yang baik bagi objek tangkapannya. Kesimpulan dari persamaan diatas adalah alat tangkap trammel net di Cilacap produktivitasnya terus menurun walaupun jumlah trip penangkapan udang terus ditingkatkan. Terbukti dari korelasi negatif persamaan CPUE, dimana setiap penambahan trip penangkapan (effort) sebesar E, nilai CPUE berkurang sebesar 0,0003 kali trip penangkapan (E) di Cilacap, sebagaimana gambar berikut:

Garnbar 11 Grafik CPUE penangkapan udang dengan trammel net.

Menurut Schaefer (1957) diacu dalam Fauzi dan Anna (2005), perubahan cadangan sumberdaya ikan secara alami dipengaruhi oleh pertumbuhan logistik ikan, yang secara metematis dapat dinyatakan dalam sebuah fungsi sebagai berikut:

CPUE (Kg/Th)

TRIP

(5)

(dx/dt = f x)

dx/dt = xr (1- x/k) ... (1) dimana:

x = ukuran kelimpahan biomas ikan k = daya dukung alam

r = laju pertumbuhan instrinsik f (x) = fungsi pertumbuhan biomas ikan dx/dt = 1aju pertumbuhan biomas

Apabila sumberdaya tersebut dimanfaatkan melalui kegiatan penangkapan, maka ukuran kelimpahan akan mengalami perubahan. Perubahan tersebut merupakan selisih antara laju pertumbuhan biomas dengan jumlah biomas yang ditangkap, sehingga secara hubungan fungsional, dinyatakan sebagai berikut:

dx/ dt = f ( x )−h ... (2) dimana:

h = hasil tangkapan

dan hasil tangkapan, secara matematis dapat dituliskan sebagai berikut:

h = q.E.x ... (3) dimana:

q = koefisien teknologi penangkapan E = tingkat upaya penangkapan (effort)

Pada kondisi keseimbangan, perubahan kelimpahan sama dengan nol (dx/dt

= 0), dengan asumsi koefisien teknologi sama dengan satu (q =1) maka diperoleh hubungan antara laju pertumbuhan biomassa dengan hasil tangkapan. Hubungan tersebut secara matematis dinyatakan dengan menggabungkan persamaan (1) dengan persamaan (3), sehingga diperoleh persamaan baru sebagai berikut:

dx/dt = f (x) - h = 0 h = f (x)

q.E.z = r.x (1− x / k) ... (4)

sehingga hubungan antara ukuran kelimpahan (stok) dengan tingkat upaya dapat dinyatakan dalam persamaan sebagai berikut:

x = k − k / rE ... (5)

(6)

Dengan mensubsitusikan persamaan (5) ke dalam persamaaan (3), maka diperoleh fungsi produksi lestari perikanan tangkap yang menggambarkan hubungan antar tingkat upaya (effort) dengan hasil tangkapan (produksi) lestarinya, sehingga secara matematis persamaannya menjadi:

h = k.E−(k / r)E

2

... (6)

Persamaan CPUE di atas menjadi acuan dalam menghitung hasil tangkapan udang lestari dengan metode Schaefer. Persamaan tersebut menghasilkan nilai hasil tangkapan udang maksimum lestari (h

msy

) dan nilai upaya penangkapan udang maksimum lestari (E

msy

). Korelasi kedua nilai tersebut akan digambarkan dengan kurva parabolik, yang terbentuk dari perhitungan persamaan kuadrat.

Kurva tersebut menggambarkan bahwa dalam setiap penambahan upaya penangkapan udang (E) akan meningkatkan hasil tangkapan udang (h) sampai dengan nilai maksimum hasil tangkapan, yaitu 955.493,34 Kg/tahun, yang tercapai dalam upaya penangkapan sebesar 55.014,68 trip, apabila upaya tangkap melebihi jumlah upaya penangkapan maksimum lestari (E > E

msy

), maka hasil tangkapan udang akan terus menurun, seperti digambarkan kurva dalam gambar berikut:

Gambar 12 Kurva korelasi model Schaefer hasil tangkapan lestari udang dengan

upaya penangkapan (E) dengan trammel net

(7)

4.1.3 Hasil Analisis Bio-Ekonomi Penangkapan Udang

Analisis bio-ekonomi penangkapan udang dilakukan dengan membandingkan antara hasil perhitungan biologi sumberdaya hasil tangkapan dengan metode Gordon, dan metode perhitungan ekonomi Schaefer. Metode bio- ekonomi penangkapan udang akan menjelaskan dengan konsep kuantitatif mengenai penyebab penurunan produktivitas alat tangkap trammel net, dengan memperhitungkan hasil penangkapan udang lestari. Hasil perhitungan tersebut akan menjadi acuan analisis, sampai sejauh mana tingkat pemanfaatan sumberdaya tersebut sampai dengan tingkat kelestarian yang optimal dan dapat menghasilkan keuntungan secara maksimal. Hasil perhitungan analisis hasil tangkapan udang akan dilakukan dengan membandingkan antara trip penangkapan (effort), hasil tangkapan, dengan keutungan ekonomi (rente) antara kondisi aktual berdasarkan data, Maximum Sustainability Yield (MSY), Maximum Economical Yield (MEY), dan pada kondisi Open Acces (Oa). Kondisi Open Access merupakan kondisi dimana seluruh upaya penangkapan diberlakukan tanpa ada pembatasan dalam hal trip penangkapan, dan apabila kondisi ini dibiarkan setelahnya akan terjadi penangkapan berlebih, dan berdampak pada hilangnya kelestarian objek tangkapan udang, dan penangkapan udang sudah tidak layak untuk dilakukan pada perairan tersebut, karena total biaya upaya tangkap (TC) dan nilai hasil tangkapan (TR) bernilai impas (TC = TR = 0).

Dengan memasukkan faktor harga per satuan hasil tangkap dan biaya per satuan upaya penangkapan pada persamaan 6 analisis biologi yaitu:

h = k.E−(k / r)E

2

... (6)

Maka persamaan keuntungan dari usaha pemanfaatan sumberdaya perikanan menjadi

= TR −TC ... (7) = p.h − c.E ... (8) dimana:

= keuntungan pemanfaatan sumberdaya p = harga rata-rata hasil tangkapan

c = biaya penangkapan ikan per satuan upaya TR = penerimaan total

TC = biaya total penangkapan ikan

(8)

Tabel 7 Hasil analisis bio-ekonomi terhadap hasil produksi, MSY, MEY, dan Open Access pada pengelolaan udang

Rincian Effort

(Trip) Hasil

(Kg) Total Penerimaan

(Rp) Total Biaya Trip

(Rp) Rente (Rp)

Aktual 47.452,00 926.062,22 79.641.350.920,00 12.386.537.916,00 67.254.813.004,00 MSY 55.014,68 955.493,34 82.172.427.069,03 14.360.647.405,03 67.811.779.664,01 MEY 45.510,03 926.973,78 79.719.744.650,99 11.879.619.660,99 67.840.124.990,00 Open

Access

100.912,93 306.297,73 26.341.604.856,69 26.341.604.856,69 0

Perbandingan nilai antara kondisi aktual, MSY, MEY, dan Open Access dapat secara langsung terlihat dalam tabel di atas (tabel 7). Upaya penangkapan udang (E) berdasarkan MEY, berjumlah 45.510,03 jauh lebih sedikit dibandingkan dengan nilai MSY. Sedangkan nilai hasil tangkapan MEY memiliki perbandingan sedikit lebih kecil dengan MSY. Walaupun dengan jumlah trip yang lebih sedikit dan hasil tangkapan yang lebih sedikit, tetapi keuntungan (Rente) hasil tangkapan dengan MEY lebih besar dibandingkan dengan MSY. Perbedaan nilai tersebut akan diperjelas dengan keberadaan grafik perbandingan upaya tangkap dan hasil tangkapan berbasis MSY, MEY, dan Open Access (Gambar 12, 13, dan 14), yang sekaligus berperan dalam memvisualisasikan perbedaan yang terjadi antara nilai upaya penangkapan (E) maupun hasil tangkapan, yang diperoleh dari MSY, MEY, dan Open Access.

Gambar 13 Perbandingan upaya penangkapan udang dengan trammel net terhadap hasil produksi, MSY, MEY, dan Open Access periode 1999-2008 (dalam trip penangkapan)

Upaya Tangkap (Trip)

(9)

Gambar 14 Perbandingan hasil penangkapan udang dengan trammel net terhadap hasil produksi, MSY, MEY, dan Open Access periode 1999-2008 (dalam kilogram)

Gambar 15 Perbandingan keuntungan hasil tangkapan udang dengan trammel net berbasis kondisi aktual, MSY, MEY, dan Open Access periode 1999-2008 (dalam 1.000 Rupiah)

Berdasarkan analisis diperoleh besarnya produksi maksimum lestari udang (MSY) adalah 955.493,34 kg dan produksi ekonomi maksimum lestari (MEY) adalah 926.973,78 kg. MSY diperoleh pada saat upaya penangkapan sebesar 55.014,68 trip, sedangkan MEY diperoleh pada saat upaya penangkapan sebesar 45.510,03 trip. Dari sisi perhitungan keuntungan diperoleh hasil bahwa pada kondisi MEY memiliki keuntungan lebih besar daripada pada kondisi MSY. Hal tersebut menunjukkan bahwa kegiatan penangkapan udang yang dilakukan pada kondisi MEY, akan lebih menguntungkan dibandingkan pada kondisi MSY, walaupun dengan upaya penangkapan yang lebih sedikit dan hasil tangkapan yang

Hasil Tangkapan (Kg)Keuntungan Hasil Tangkapan (x Rp. 1.000)

(10)

lebih kecil. Sedangkan upaya penangkapan tanpa pengaturan (Open Access) sebaiknya tidak dilakukan, karena jika upaya penangkapannya tidak dibatasi justru tidak menguntungkan sama sekali.

Hasil analisis di atas menunjukkan bahwa kondisi aktual penangkapan udang yang dilakukan di Kabupaten Cilacap (E

aktual

) yaitu sebesar 47.452 trip telah melampaui upaya pada kondisi MEY (E

MEY

) yaitu sebesar 45.510,03 trip, namun masih berada dibawah jumlah upaya penangkapan pada kondisi MSY (E

MSY

) yaitu sebesar 55.014,68 trip. Keuntungan ekonomi (Rente

Aktual

) yaitu sebesar Rp. 67.254.813.004,00 lebih kecil dibandingkan dengan keuntungan ekonomi pada kondisi MEY dan MSY walaupun nilai Rente

MEY

dan Rente

MSY

tidak berbeda jauh.

Berdasarkan analisis di atas menunjukkan bahwa kondisi perikanan tangkap udang di Kabupaten Cilacap masih menguntungkan. Namun demikian telah terjadi penurunan produktifitas, karena penangkapan yang dilakukan sudah melampaui kondisi MEY. Kurva keseimbangan bio-ekonomi Gordon-Schaefer (Gambar 15) dibangun berdasarkan hasil analisis bio-ekonomi. Kurva tersebut menggambarkan korelasi antara hasil tangkapan udang dan upaya penangkapan udang (E) di Kabupaten Cilacap dengan trammel net.

Gambar 16 Kurva keseimbangan Bio-ekonomi Gordon-Schaefer pengelolaan

udang dengan alat tangkap trammel net

(11)

Kurva keseimbangan bio-ekonomi pada Gambar 16 menunjukkan upaya penangkapan udang di Kabupaten Cilacap secara aktual telah melampaui kondisi optimum atau nilai maksimum ekonomi lestari (MEY). Pada kurva tersebut titik h-Aktual telah melewati titik MEY, apabila upaya penangkapan terus bertambah maka akan mencapai nilai sumberdaya lestari maksimum (MSY). Apabila telah melewati batas MSY berakibat tidak saja pada penurunan keuntungan hasil tangkapan terlebih pada degradasi sumberdaya udang yang ditangkap. Hal ini menggambarkan kondisi kegiatan penangkapan udang di Kabupaten Cilacap sudah tidak optimal, karena dengan setiap bertambahnya upaya penangkapan keuntungan tetap semakin menurun. Apabila upaya penangkapan udang terus bertambah, dengan cepat akan mancapai nilai tangkapan maksimum lestari dan apabila berlanjut tidak hanya keuntungan hasil tangkapan yang berkurang, tetapi sumberdaya udang akan terus mengalami penurunan.

Hal tersebut juga sesuai dengan penurunan produktivitas alat tangkap udang trammel net pada analisis CPUE. Pada analisis CPUE menunjukkan seberapapun besar upaya penangkapan udang dengan trammel net, apabila telah melampaui MEY, maka keuntungan dari kegiatan penangkapan udang akan terus menurun.

Apabila tidak ada pengaturan yang baik, akan berujung pada titik Open Access, yang berarti bahwa kegiatan penangkapan yang dilakukan akan menderita kerugian baik secara finansial maupun punahnya sumberdaya udang hasil tangkapan.

4.2 Peta Kawasan Mangrove di Cilacap

Penyusunan peta liputan lahan Kabupaten Cilacap bertujuan salah satunya

untuk mengetahui posisi atau keberadaan dan luasan hutan mangrove. Peta

disusun dari data dasar citra satelit. Luasan hutan mangrove pada hasil peta

mengabaikan kerapatan vegetasinya. Berdasarkan citra satelit tahun 2005, 2007

dan 2009, diolah menjadi peta liputan lahan Cilacap tahun 2005 (Gambar 17),

peta liputan lahan Cilacap tahun 2007 (Gambar 18) dan peta liputan lahan Cilacap

tahun 2009 (Gambar 19).

(12)

Gambar 17 Peta liputan lahan Kabupaten Cilacap tahun 2005

Gambar 18 Peta liputan lahan Kabupaten Cilacap tahun 2007

(13)

Gambar 19 Peta liputan lahan Kabupaten Cilacap tahun 2009

Berdasarkan ketiga peta tersebut diperoleh luasan kawasan mangrove yaitu:

tahun 2005 seluas 14.502,55 Ha; tahun 2007 seluas 9.326,71 Ha; dan tahun 2009 seluas 2.618,78 Ha.

4.3 Permasalahan Penurunan Hasil Tangkapan Udang

Penelitian mengenai penurunan hasil tangkap udang akan dianalisis berdasarkan proses sebab-akibat menggunakan diagram tulang ikan (fish-bone Ishikawa). Komponen penyusun diagram tersebut terdiri atas permasalahan utama, penyebab, dan alasan. Diagram sebab-akibat, dikenal dengan fish bone diagram Ishikawa, mengungkapkan antara permasalahan dengan penyebab dan alasan timbulnya penyebab permasalahan.

Permasalahan dirumuskan berdasarkan tujuan dari penelitian. Faktor

penyebab berasal dari diskusi dan survei yang dilakukan di lapangan, kemudian

membentuk kuisioner bagi responden pelaku perikanan dan pemangku

kepentingan yang terkait. Pelaku perikanan dan pemangku kepentingan terkait

terdiri dari pengusaha kapal udang, nelayan penangkap udang, pengurus nelayan,

pejabat Dinas Kelautan dan Perikanan Cilacap, pejabat Pelabuhan Perikanan

Samudera Cilacap dan pedagang/bakul udang.

(14)

Kategori sebab akibat terbagi atas empat bagian besar terkait penurunan hasil tangkapan udang, diantaranya adalah sumberdaya manusia nelayan, kapal dan alat tangkap, sumberdaya mangrove, dan yang terakhir adalah metode pengelolaan penangkapan. Penyebab dapat ditelusuri kembali ke akar penyebab berdasarkan kriteria yang ada, seperti pada Gambar 20.

Gambar 20 Faktor-faktor penyebab penurunan hasil tangkapan udang

Faktor-faktor penyebab permasalahan penurunan hasil tangkapan udang dikelompokkan menjadi 5 (lima) hal yaitu sumberdaya manusia nelayan, kapal dan alat tangkap, populasi udang, metode penangkapan dan mangrove. Berikut adalah akar sebab dari permasalahan penurunan hasil tangkapan udang yaitu:

1) Sumberdaya manusia nelayan:

(1) Kurangnya partisipasi nelayan untuk menjaga sumberdaya udang dan mangrove. Hal ini disebabkan penyuluhan yang tidak intensif.

(2) Manfaat ekonomi usaha penangkapan rendah. Hal ini disebabkan karena nilai ekonomi hasil tangkapan udang tidak mencukupi lagi untuk memenuhi kebutuhan hidup nelayan.

2) Kapal dan alat tangkap:

(1) Jumlah armada kapal penangkap udang yang terus bertambah.

Penambahan tersebut karena bertambahnya kapal lokal dan kapal dari luar

Cilacap.

(15)

(2) Alat tangkap yang terus bertambah dari sisi ukuran maupun jumlahnya.

Ukuran alat tangkap semakin besar dan jumlah alat tangkap juga semakin bertambah.

3) Populasi udang:

(1) Jumlah populasi udang semakin menurun akibat tekanan penangkapan yang tinggi.

(2) Pertumbuhan udang terganggu, sebagai akibat dari penangkapan yang turut menangkap induk dan anakan udang (nener).

4) Metode penangkapan:

(1) Pengaturan waktu tangkap tidak diatur. Waktu penangkapan idealnya diatur untuk memberikan kesempatan udang agar berkembang biak.

(2) Jumlah upaya (trip) penangkapan tidak dikendalikan. Upaya penangkapan idealnya diatur agar efektif, efisien dan tetap menguntungkan.

5) Hutan Mangrove:

(1) Konservasi lahan hutan mangrove untuk lahan industri, pertanian, perikanan budidaya dan perumahan.

(2) Pencemaran perairan di lokasi mangrove sebagai akibat aktifitas industri, pariwisata, rumah tangga, pertanian dan perikanan budidaya yang membuang limbah, pupuk dan bahan-bahan kimia yang mencemari perairan.

(3) Penebangan mangrove untuk dijual sebagai kayu bakar maupun dibuat arang.

4.4 Strategi Pengelolaan Sumberdaya Udang

Perumusan strategi pengelolaan sumberdaya udang dilakukan dengan

menggunakan analisis SWOT. Analisis SWOT diawali dengan melakukan

identifikasi potensi internal kekuatan dan kelemahan serta potensi eksternal

peluang dan ancaman. Informasi kondisi eksternal dan internal diperoleh dari

kondisi riil perikanan tangkap udang di Kabupaten Cilacap. Masalah internal dan

eksternal diperoleh dari hasil strukturisasi permasalahan pada diagram tulang

ikan. Hasil identifikasi SWOT pada permasalahan penurunan hasil tangkapan

udang adalah sebagaimana pada Tabel 8.

(16)

Tabel 8 Identifikasi SWOT pada permasalahan penurunan hasil tangkapan udang

Kekuatan (S) Kelemahan (W) 1. Jumlah armada kapal dan alat tangkap

besar 1. Penyuluhan kepada nelayan kurang

2. Terdapat banyak Tempat Pelelangan

Ikan (TPI) 2. Pengawasan terhadap operasi kapal tidak intensif

3. Terdapat Pelabuhan Perikanan

Samudera 3. Pengawasan terhadap mangrove kurang

4. Jumlah nelayan besar 4. Konversi lahan mangrove tinggi 5. Terdapat petugas pengawas perikanan

(pengawas kapal ikan, Polairud, KPLP)

5. Tidak ada pengaturan waktu dan trip penangkapan

Peluang (O) Ancaman (T) 1. Permintaan udang yang besar 1. Penurunan manfaat ekonomi hasil

tangkapan udang dalam memenuhi kebutuhan hidup nelayan

2. Peluang perlindungan/konservasi mangrove dengan pariwisata mangrove

2. Meningkatnya kapal dan alat tangkap yang berasal dari luar Cilacap

3. Besarnya peluang investor untuk

berinvestasi pada usaha perikanan udang 3. Tingginya tingkat pencemaran akibat aktifitas ekonomi dan rumah tangga 4. Ketersediaan kredit usaha dari Pemerintah

dan perbankan

4. Penurunan populasi udang 5. Alternatif kegiatan ekonomi diluar

usaha perikanan udang tersedia cukup 5. Penurunan kualitas udang terkait

standarisasi mutu ekspor udang yang sangat tinggi

Dari hasil identifikasi sebagaimana pada Tabel 8 kemudian dilaksanakan pembobotan sehingga menghasilkan matriks perbandingan bobot kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman terhadap permasalahan penurunan hasil tangkapan udang di Kabupaten Cilacap. Hasil matriks pembobotan SWOT merekomendasikan strategi penyelesaian permasalahan penurunan hasil tangkapan udang di Kabupaten Cilacap. Langkah analisis diawali dengan pembobotan terhadap potensi dan permasalahan yang tercantum dalam kuisioner, dan disurvei terhadap responden yang bersangkutan terhadap kegiatan penangkapan udang. Seluruh komponen kuisioner diberikan bobot penilaian yang sama dan diperhitungkan dalam sistem penilaian berdasarkan konstanta yang ada.

Hasil pembobotan tersebut adalah sebagaimana pada Tabel 9 Faktor-faktor strategis internal (IFAS) dan Tabel 10 Faktor-faktor strategis eksternal (EFAS).

Perhitungan sintesis IFAS dan EFAS merupakan suatu sintesis perumusan

prioritas yang akan diambil dari berbagai faktor penyebab yang dirumuskan pada

diagram sebab akibat, dan menjadi acuan prioritas penyelesaian masalah melalui

analisis SWOT.

(17)

Tabel 9 Faktor-faktor strategis internal (IFAS)

Faktor Strategis Internal

Bobot Rating Skor (Bobot x Rating) Kekuatan (S)

1. Jumlah armada kapaldan alat tangkap besar 0,14 2 0,29 2. Terdapat banyak Tempat Pelelangan Ikan

(TPI)

0,14 4 0,57

3. Terdapat Pelabuhan Perikanan Samudera 0,04 2 0,07

4. Jumlah nelayan besar 0,07 3 0,21

5. Terdapat petugas pengawas perikanan (pengawas kapal ikan, Polairud, KPLP)

0,11 4 0,43

Kelemahan (W)

1. Penyuluhan kepada nelayan kurang 0,11 3 0,32 2. Pengawasan terhadap operasi kapal tidak intensif 0,14 4 0,57 3. Pengawasan terhadap mangrove kurang 0,04 2 0,07

4. Konversi lahan mangrove tinggi 0,07 4 0,29

5. Tidak ada pengaturan waktu dan trip penangkapan 0,14 1 0,14

Jumlah 1,00 2,96

Hasil perhitungan faktor strategis internal dalam kegiatan penangkapan udang di Kabupaten Cilacap diperoleh nilai skor 2,96. Skor tersebut membuktikan bahwa secara keseluruhan faktor internal (kekuatan dan kelemahan) berpengaruh cukup kuat dalam mendukung upaya penangkapan udang di Kabupaten Cilacap.

Kekuatan pengaruh tersebut tidak hanya terbatas pada faktor internal secara keseluruhan, dengan skor 2,96 akan turut mempengaruhi komponen faktor yang berada di dalamnya untuk berpengaruh sama kuat antara satu dengan yang lain.

Kekuatan pengaruh antar faktor tersebut disebabkan nilai total dari skor IFAS yang diperoleh berada di atas skor rataan, yaitu 2,5. Sehingga faktor internal memiliki pengaruh yang kuat pada objek kegiatan (Nurani et al. 2006).

Keberadaan dari masing-masing skor faktor internal masih berada pada

sumbu x positif, berasal dari pengurangan dari skor faktor kekuatan (dengan skor

1,57) dan kelemahan (dengan skor 1,39) dengan hasil positif 0,18. Dengan nilai

positif tersebut akan memungkinkan bagi faktor tersebut untuk dapat berada pada

kuadran I atau II pada analisis SWOT. Sehingga masih dimungkinkan bagi faktor

kekuatan dalam sisi internal akan lebih kuat pengaruhnya bagi kegiatan

penangkapan udang di Kabupaten Cilacap, dibandingkan dengan faktor

kelemahan.

(18)

Tabel 10 Faktor-faktor strategis eksternal (EFAS)

Faktor Strategis Eksternal

Bobot Rating Skor (Bobot x Rating) Peluang (O)

1. Permintaan udang yang besar 0,14 2 0,29

2. Peluang perlindungan/konservasi mangrove dengan pariwisata mangrove

0,07 2 0,14

3. Besarnya peluang investor untuk berinvestasi pada usaha perikanan udang

0,14 3 0,43

4. Ketersediaan kredit usaha dari pemerintah dan perbankan

0,11 2 0,21

5. Alternatif kegiatan ekonomi diluar usaha perikanan udang tersedia cukup

0,04 2 0,07

Ancaman (T)

1. Penurunan manfaat ekonomi hasil tangkapan udang dalam memenuhi kebutuhan hidup nelayan

0,10 2 0,20

2. Meningkatnya kapal dan alat tangkap yang berasal dari luar Cilacap

0,03 1 0,03

3. Tingginya tingkat pencemaran akibat aktifitas ekonomi dan rumah tangga

0,13 2 0,27

4. Penurunan populasi udang 0,17 1 0,17

5. Penurunan kualitas udang terkait standarisasi mutu ekspor udang yang sangat tinggi

0,07 2 0,13

Jumlah 1,00 1,94

Rekapitulasi skor dari faktor strategis eksternal dalam kegiatan penangkapan udang di Kabupaten Cilacap diperoleh nilai skor 1,94. Skor tersebut membuktikan bahwa secara keseluruhan faktor eksternal (peluang dan ancaman) tidak berpengaruh kuat terhadap kegiatan penangkapan udang di Kabupaten Cilacap.

Dengan skor 1,94 menunjukkan pengaruh seluruh komponen faktor eksternal

tidak terlalu kuat mempengaruhi. Kelemahan pengaruh tersebut disebabkan nilai

total dari skor EFAS yang diperoleh berada pada skala 1 sampai dengan 2, yang

berdampak pada lemahnya pengaruh faktor eksternal pada kegiatan penangkapan

udang di Kabupaten Cilacap.

(19)

Gambar 21 Diagram kuadran sintesis prioritas IFAS dan EFAS

Skor masing-masing faktor eksternal akan melengkapi skor faktor internal, yaitu dengan nilai gradien positif yang memastikan bahwa keseluruhan faktor tersebut berada pada gradien I, berasal dari pengurangan dari skor faktor Peluang (dengan skor 1,14) dan Ancaman (dengan skor 0,80) dengan hasil positif 0,34.

Keberadaan faktor IFAS dan EFAS pada kuadran I menunjukkan bahwa kegiatan penangkapan udang di Kabupaten Cilacap masih memiliki peluang yang besar untuk dikembangkan lebih lanjut. Sesuai Gambar 21 dengan keberadaan skor IFAS dan EFAS pada kuadran I akan memberikan penilaian sama kuatnya terhadap kekuatan dan peluang yang ada, dalam menanggulangi kelemahan dan ancaman dalam mengembangkan usaha.

Berdasarkan faktor IFAS dan EFAS (Internal/External Factor Analysis

Summary) dihasilkan matriks SWOT dan kemudian dapat disusun strategi

penyelesaian masalah dari masing-masing komponen SWOT. Strategi tersebut

dihasilkan dari perbandingan nilai kuantitatif pembobotan antara kekuatan dengan

peluang (SO), kelemahan dengan peluang (WO), kekuatan dengan ancaman (ST),

dan kelemahan dengan ancaman (WT). Hasil matriks SWOT adalah sebagaimana

pada Tabel 11.

(20)

Tabel 11 Matriks SWOT pengelolaan udang Kabupaten Cilacap

Internal

Eksternal

Kekuatan (S) Kelemahan (W) 1. Jumlah armada kapal dan

alat tangkap besar;

2. Terdapat banyak Tempat Pelelangan Ikan (TPI);

3. Terdapat Pelabuhan Perikanan Samudera;

4. Jumlah nelayan besar;

5. Terdapat petugas pengawas perikanan (pengawas kapal ikan, Polairud, KPLP).

1. Penyuluhan kepada nelayan kurang;

2. Pengawasan terhadap operasi kapal tidak intensif;

3. Pengawasan terhadap mangrove kurang;

4. Konversi lahan mangrove tinggi;

5. Tidak ada pengaturan waktu dan trip penangkapan.

Peluang (O) Strategi SO Strategi WO 1. Permintaan udang yang

besar;

2. Peluang perlindungan/

konservasi mangrove dengan pariwisata mangrove;

3. Besarnya peluang investor untuk

berinvestasi pada usaha perikanan udang;

4. Ketersediaan kredit usaha dari Pemerintah dan Perbankan;

5. Alternatif kegiatan ekonomi diluar usaha perikanan udang.

1.Strategi penegakkan hukum dengan

memanfaatkan petugas pengawas perikanan dan ditempatkan pada PPS, TPI, dan wilayah hutan mangrove untuk pengendalian

penangkapan udang dan eksploitasi mangrove.

1.Strategi pengembangan kawasan ekonomi masyarakat pesisir dengan memanfaatkan investasi dan kredit usaha dari pemerintah, dunia usaha dan perbankan untuk penguatan modal dan diversifikasi usaha nelayan dan masyarakat pesisir.

Ancaman (T) Strategi ST Strategi WT 1. Penurunan manfaat

ekonomi hasil tangkap udang dalam memenuhi kebutuhan hidup nelayan;

2. Meningkatnya kapal dan alat tangkap yang beroperasi dari luar Cilacap;

3. Tingginya tingkat pencemaran akibat aktifitas ekonomi dan rumah tangga;

4. Penurunan populasi udang;

5. Penurunan kualitas udang terkait

standarisasi mutu ekspor udang yang sangat tinggi.

1.Strategi pengelolaan perikanan tangkap udang terpadu dan penerapan sistem perikanan tangkap udang yang baik, ramah lingkungan dan

menerapkan manajemen mutu terpadu dengan memanfaatkan TPI dan PPS yang telah dibangun.

1.Strategi rehabilitasi mangrove dan ekosistem perairan untuk

memperbaiki, mempertahankan dan meningkatkan kuantitas hutan mangrove dan ekosistem perairan;

2. Strategi peningkatan daya dukung lingkungan dan sumberdaya udang dalam rangka

memperbaiki kualitas lingkungan untuk dapat mempertahankan populasi udang.

Berdasarkan matriks SWOT dan sesuai dengan kondisi SO, WO, ST dan

WT, diperoleh beberapa strategi pengelolaan sumberdaya udang di Kabupaten

Cilacap yaitu:

(21)

1) Strategi penegakkan hukum dengan memanfaatkan petugas pengawas perikanan dan ditempatkan pada PPS, TPI, dan wilayah hutan mangrove untuk pengendalian penangkapan udang dan eksploitasi mangrove.

2) Strategi pengembangan kawasan ekonomi masyarakat pesisir dengan memanfaatkan investasi dan kredit usaha dari pemerintah, dunia usaha dan perbankan untuk penguatan modal dan diversifikasi usaha nelayan dan masyarakat pesisir.

3) Strategi pengelolaan perikanan tangkap udang terpadu dan penerapan sistem perikanan tangkap udang yang baik, ramah lingkungan dan menerapkan manajemen mutu terpadu dengan memanfaatkan TPI dan PPS yang telah dibangun.

4) Strategi rehabilitasi mangrove dan ekosistem perairan untuk memperbaiki, mempertahankan dan meningkatkan kuantitas hutan mangrove dan ekosistem perairan.

5) Strategi peningkatan daya dukung lingkungan dan sumberdaya udang dalam rangka memperbaiki kualitas lingkungan untuk dapat mempertahankan populasi udang.

4.5 Prioritas Strategi Pengelolaan Sumberdaya Udang

Beberapa strategi pengelolaan sumberdaya udang yang telah diperoleh dari hasil analisis SWOT, selanjutnya dipilih prioritas strategi. Penentuan prioritas strategi dilaksanakan dengan Analytical Hierarchy Process (AHP).

4.5.1 Dekomposisi Masalah

Tahapan dalam penyusunan AHP dimulai dengan dekomposisi masalah.

Dekomposisi masalah meliputi menentukan tujuan (goal) yang akan dicapai, menentukan permasalahan (problems) yang dihadapai, menentukan aktor (actor) yang memungkinkan untuk dapat menyelesaikan permasalahan dan menentukan strategi (strategy) penyelesaian permasalahan.

Tujuan (goal) yang akan dicapai adalah optimalisasi hasil tangkapan udang

di Kabupaten Cilacap. Permasalahan (problems) yang dihadapi untuk mencapai

tujuan tersebut telah diidentifikasi dengan menggunakan diagram tulang ikan

(Bab IV Sub Bab 4.3) yang terdiri dari SDM nelayan, kapal dan alat tangkap,

populasi udang, metode penangkapan, dan mangrove.

(22)

Hasil identifikasi terhadap aktor (actors) yang diharapkan dapat menyelesaikan permasalahan adalah:

1) Pemerintah, sebagai aktor yang paling berpengaruh terhadap penyusunan dan penerapan kebijakan;

2) Masyarakat, yaitu nelayan penangkap udang, dan masyarakat umum yang berinteraksi langsung dengan lingkungan dan mangrove;

3) Pelaku usaha, yaitu pemilik kapal, pengusaha perbekalan, pembeli dan pemasar udang hasil tangkapan, dan pengusaha pengolahan udang;

4) Lembaga Swadaya Masyarakat, sebagai lembaga kontrol sosial terhadap kebijakan maupun kegiatan yang terkait dengan sumberdaya udang maupun sumberdaya alam yang mendukungnya;

5) Akademisi, sebagai pihak yang berperan meneliti sumberdaya maupun kebijakan yang disusun dan diterapkan pemerintah.

Penentuan strategi (strategy) untuk penyelesaian permasalahan telah diidentifikasi dengan menggunakan analisis SWOT (Bab IV Sub Bab 4.3). Hasil dekomposisi masalah selengkapnya sebagaimana Gambar 22.

Gambar 22 Diagram AHP untuk pengelolaan sumberdaya udang di Cilacap

(23)

4.5.2 Hasil Penilaian Elemen dan Analisis Kebijakan

Tahap penilaian atau perbandingan antar elemen yaitu perbandingan antar kriteria dan perbandingan antar pilihan untuk setiap kriteria. Tujuan dari tahap ini adalah untuk menentukan bobot pada masing-masing kriteria, disamping itu tahapan ini juga bertujuan untuk menentukan bobot suatu pilihan terhadap suatu kriteria. Dalam analisis ini, terdapat 4 level pengambilan keputusan, yakni fokus pengelolaan; permasalahan; aktor dan strategi kebijakan yang mungkin dilaksanakan. Berdasarkan perhitungan nilai tiap tingkat AHP diperoleh hasil sebagai berikut:

1) Permasalahan

Elemen permasalahan dalam pengambilan keputusan kebijakan pengelolaan udang berkelanjutan di Kabupaten Cilacap dibagi berdasarkan 5 elemen.

Pentingnya peranan masing-masing permasalahan dalam penentuan alternatif kebijakan menurut AHP disajikan pada Tabel 12.

Tabel 12 Prioritas masalah berdasar akar permasalahan pada pengelolaan udang berkelanjutan

No Permasalahan Nilai

1. Kapal dan Alat Tangkap 0.045

2. Sumberdaya Nelayan 0.473

3. Sumberdaya Mangrove 0.148

4. Metode Penangkapan 0.084

5. Sumberdaya Udang 0.251

Dari Tabel 12 diketahui, bahwa permasalahan Sumberdaya nelayan (0,473)

dan Sumberdaya Udang (0,251) merupakan permasalahan prioritas yang perlu

dicari solusinya. Hal ini menunjukkan bahwa permasalahan keterbatasan

sumberdaya nelayan baik berupa kemampuan modal, ketersediaan teknologi tepat

guna dan keterbatasan kepemilikan sarana dan prasarana dan menurunnya daya

dukung sumberdaya udang perlu segera dicari solusi pemecahan

permasalahannya. Hasil lebih lengkap mengenai prioritas permasalahan dengan

menggunakan AHP dapat dilihat pada Gambar 23.

(24)

Gambar 23 Urutan prioritas permasalahan berdasar tujuan yang ingin dicapai pada pengelolaan udang berkelanjutan

Berdasarkan hasil analisis AHP untuk level permasalahan diperoleh nilai inconsistency sebesar 0,07. Hasil perhitungan ini mempengaruhi tingkat-tingkat pengembilan keputusan selanjutnya.

2) Peranan Aktor.

Peranan kelima aktor dalam pengambilan keputusan pengelolaan udang berkelanjutan studi kasus udang tangkap Cilacap. Pentingnya peranan masing- masing aktor dalam penentuan alternatif kebijakan menurut AHP disajikan pada Tabel 13.

Tabel 13 Prioritas permasalahan berdasar aktor pada pengelolaan udang berkelanjutan

No Aktor Permasalahan Global

1 2 3 4 5 Priority

1 Pemerintah 0,02 0,184 0,065 0,04 0,11 0.419 2 Masyarakat 0,012 0,134 0,037 0,020 0,06 0.263 3 Pelaku Usaha 0,007 0,085 0,02 0,015 0,05 0.160 4 LSM 0,002 0,049 0,004 0,002 0,005 0.062 5 Akademisi 0,004 0,053 0,012 0,008 0,02 0.097 Keterangan Permasalahan: 1 = Kapal dan Alat Tangkap; 2 = Sumberdaya Nelayan; 3 =

Sumberdaya Mangrove; 4 = Metode Penangkapan; 5 = Sumberdaya Udang.

Dari Tabel 13 diketahui, bahwa peranan kebijakan pemerintah dalam memecahkan permasalahan ”Keterbatasan sumberdaya nelayan” dan

”Menurunnya daya dukung sumberdaya udang” merupakan hal yang paling

menentukan (0,419). Hal ini menunjukkan bahwa pemerintah memiliki peranan

yang sangat penting dalam pengelolaan udang secara berkelanjutan yaitu

stabilisasi hasil tangkapan udang. Hasil lebih lengkap mengenai prioritas aktor

dalam pengelolaan udang berkelanjutan dapat dilihat pada Gambar 24.

(25)

Gambar 24 Urutan prioritas aktor berdasar tingkat kepentingan pada pengelolaan udang berkelanjutan

Berdasarkan hasil analisis AHP untuk level aktor diperoleh nilai inconsistency sebesar 0,02. Hasil perhitungan ini menunjukkan bahwa level aktor mempengaruhi tingkat pengembilan keputusan selanjutnya, yaitu level strategi.

3) Hierarki strategi berdasarkan aktor pengelolaan

Penentuan hirarki strategi kebijakan pengelolaan udang berkelanjutan ditentukan berdasarkan aktor pengelolaan. Dari Tabel 14 diketahui bahwa kebijakan Peningkatan Daya Dukung Lingkungan dan Sumberdaya Udang (0.487), Rehabilitasi Mangrove dan Ekosistem Pesisir (0.250) dan Penegakan Hukum (0,216) dipandang sebagai strategi kebijakan yang paling memungkinkan untuk dilaksanakan karena masing-masing memberikan nilai tertinggi. Peranan Pemerintah dan Masyarakat memiliki peranan paling penting agar penerapan strategi kebijakan tersebut memberikan hasil manfaat lebih baik, yaitu stabilisasi hasil tangkapan udang dalam pengelolaan udang berkelanjutan.

Tabel 14 Hierarki strategi kebijakan pengelolaan udang berkelanjutan berdasarkan aktor

No Strategi Aktor Global

1 2 3 4 5 Priority 1 Penegakan Hukum 0,109 0,045 0,030 0,013 0,019 0.216 2 Rehabilitasi Mangrove dan

Ekosistem Perairan 0,1 0,072 0,04 0,017 0,022 0.250 3 Peningkatan Daya Dukung

Lingkungan & Sumberdaya Udang

0,223 0,13 0,07 0,026 0,038 0.487

4 Sistem Pengelolaan Perikanan Tangkap Udang Terpadu

0,045 0,02 0,012 0,004 0,01 0.091

5 Pengembangan Kawasan

Ekonomi Masyarakat Pesisir 0,02 0,02 0,012 0,004 0,01 0,046 Keterangan Permasalahan: 1 = Pemerintah; 2 = Masyarakat; 3 = Pelaku Usaha; 4 = LSM; 5 =

Akademisi.

(26)

Berdasarkan hasil analisis AHP untuk level strategi diperoleh nilai inconsistency sebesar 0,04. Hasil perhitungan ini menunjukkan bahwa level strategi pengelolaan yang dibuat dipengaruhi oleh level-level sebelumnya.

Gambar 25 Urutan prioritas strategi berdasar level aktor pada pengelolaan udang berkelanjutan

4.6 Strategi dan Rekomendasi Kebijakan Pengelolaan Udang Berkelanjutan Dalam upaya meningkatkan keberlanjutan dalam perikanan udang di Cilacap perlu dirumuskan berbagai strategi dan rekomendasi kebijakan. Dari hasil Analytical Hierarchy Process (AHP) telah diperoleh urutan prioritas strategi terhadap lima strategi hasil analisis SWOT yaitu:

1) Strategi peningkatan daya dukung lingkungan dan sumberdaya udang dalam rangka memperbaiki kualitas lingkungan untuk dapat mempertahankan populasi udang.

2) Strategi rehabilitasi mangrove dan ekosistem perairan untuk memperbaiki, mempertahankan dan meningkatkan kuantitas hutan mangrove dan ekosistem perairan.

3) Strategi penegakkan hukum dengan memanfaatkan petugas pengawas perikanan dan ditempatkan pada PPS, TPI, dan wilayah hutan mangrove untuk pengendalian penangkapan udang dan eksploitasi mangrove.

4) Strategi pengelolaan perikanan tangkap udang terpadu dan penerapan sistem perikanan tangkap udang yang baik, ramah lingkungan dan menerapkan manajemen mutu terpadu dengan memanfaatkan TPI dan PPS yang telah dibangun.

5) Strategi pengembangan kawasan ekonomi masyarakat pesisir dengan

memanfaatkan investasi dan kredit usaha dari pemerintah, dunia usaha dan

perbankan untuk penguatan modal dan diversifikasi usaha nelayan dan

masyarakat pesisir.

(27)

Gambar 26 Desain strategi pengelolaan udang berkelanjutan

Sesuai dengan Gambar 26, terdapat 5 kelompok stakeholder yang berperan dalam pengelolaan udang di Cilacap, yaitu pemerintah, pelaku usaha, masyarakat, LSM dan pakar (akademisi). Masyarakat dan pelaku usaha sebagai pelaku utama dalam pengelolaan udang perlu diberdayakan sehingga pengelolaan udang dapat dilaksanakan secara optimal dan sumberdayanya tetap lestari dan berkelanjutan.

Peran serta LSM dan Pakar sebagai pengontrol dalam sistem memegang peranan yang sangat vital agar tujuan dapat dicapai. Pemberdayaan masyarakat tetap memperhatikan sumber-sumber penggerak keberlanjutan sistem yaitu populasi udang dan hutan mangrove tetap terjaga.

Masyarakat &

Pelaku Usaha

• Pengaturan Terhadap Kapal Motor

• Pengelolaan Sistem Penangkapan Pemerintah

Areal Mangrove

Tekanan terhadap daya dukung lingkungan dan sumberdaya udang:

• Penurunan kualitas daya dukung lingkungan dan kawasan pesisir

• Kerusakan terhadap ekosistem

• Pencemaran perairan pantai

Populasi udang

Pemberdayaan nelayan &

masyarakat pesisir Pakar

(Akademisi)

LSM Permasalahan Penurunan Hasil Tangkapan Udang

(28)

Peran pemerintah dalam sistem pengelolaan udang sangat penting.

Kebijakan-kebijakan pemerintah dalam hal pengaturan jumlah kapal motor yang beroperasi dalam kegiatan perikanan tangkap udang dan penentuan sistem pengelolaan perikanan tangkap udang. Kebijakan tersebut sebagai rambu agar perikanan tangkap udang dapat terus berjalan dan menguntungkan sekaligus mempertahankan agar sumberdaya udang tetap lestari.

Rekomendasi kegiatan dan kebijakan yang dapat dilaksanakan berdasarkan strategi yang telah ditentukan adalah:

1) Strategi peningkatan daya dukung lingkungan dan sumberdaya udang dalam rangka memperbaiki kualitas lingkungan untuk dapat mempertahankan populasi udang:

(1) Pembangunan kawasan hutan mangrove menjadi kawasan wisata mangrove;

(2) Pengamanan (sterilisasi) hutan mangrove sebagai nursery ground udang dari kegiatan penangkapan udang;

(3) Pengamanan (sterilisasi) perairan dari pencemaran;

(4) Pengaturan selektifitas udang yang ditangkap;

(5) Penyuluhan kepada nelayan dan masyarakat pesisir secara intensif tentang pentingnya mangrove bagi kelestarian sumberdaya udang.

2) Strategi rehabilitasi mangrove dan ekosistem perairan untuk memperbaiki, mempertahankan dan meningkatkan kuantitas hutan mangrove dan ekosistem perairan:

(1) Penyelenggaraan kegiatan penanaman kembali (reboisasi) mangrove pada lokasi yang kerusakannya cukup parah;

(2) Pelatihan dan pemberdayaan kepada masyarakat lokal untuk pengamanan hutan mangrove;

(3) Pengelolaan perairan dengan baik dan ramah lingkungan terutama dari aktifitas industri yang merusak dan mencemari ekosistem perairan.

3) Strategi penegakkan hukum dengan memanfaatkan petugas pengawas perikanan dan ditempatkan pada PPS, TPI, dan wilayah hutan mangrove untuk pengendalian penangkapan udang dan eksploitasi mangrove:

(1) Penegakkan hukum pada pencemaran perairan di sekitar hutan mangrove;

(29)

(2) Penegakkan hukum pada usaha perikanan tangkap udang yang dilakukan di sekitar hutan mangrove;

(3) Penegakkan hukum pada kegiatan perikanan tangkap yang tidak ramah lingkungan;

(4) Penegakkan hukum pada kegiatan penebangan liar hutan mangrove;

(5) Pengontrolan terhadap dokumen tata guna lahan di sekitar hutan mangrove.

4) Strategi pengelolaan perikanan tangkap udang terpadu dan penerapan sistem perikanan tangkap udang yang baik, ramah lingkungan dan menerapkan manajemen mutu terpadu dengan memanfaatkan TPI dan PPS yang telah dibangun:

(1) Pengaturan jumlah upaya penangkapan;

(2) Pengaturan ukuran mata jaring;

(3) Pembatasan dan pelarangan jenis alat tangkap;

(4) Pembatasan kapal ikan;

(5) Penerapan pajak izin penangkapan;

(6) Penerapan sistem pembatasan produksi;

(7) Penerapan sistem zonasi penangkapan udang.

5) Strategi pengembangan kawasan ekonomi masyarakat pesisir dengan memanfaatkan investasi dan kredit usaha dari pemerintah, dunia usaha dan perbankan untuk penguatan modal dan diversifikasi usaha nelayan dan masyarakat pesisir:

(1) Penyuluhan masyarakat terkait diversifikasi usaha perikanan sehingga masyarakat mulai beralih dari usaha perikanan tangkap menjadi usaha perikanan budidaya;

(2) Mempersiapkan komoditas, sarana dan prasarana budidaya yang sesuai dan ramah lingkungan bagi pengembangan perikanan budidaya di Kabupaten Cilacap;

(3) Pengembangan ekonomi masyarakat dengan pola kredit usaha rakyat dari

perbankan maupun pemerintah dengan bungan sangat rendah maupun

yang tanpa bunga.

(30)

4.7 Pembahasan

Hasil tangkapan udang di Cilacap cenderung semakin menurun pada beberapa tahun terakhir. Hal tersebut diduga disebabkan karena terjadinya eksploitasi sumberdaya udang secara besar-besaran dan kerusakan ekologi kawasan pesisir khususnya mangrove. Intensitas penangkapan yang sangat tinggi menyebabkan laju pertumbuhan biologi menurun karena menyempitnya kesempatan udang untuk berkembang biak. Sedangkan kerusakan mangrove disebabkan oleh pengurangan dan konversi. Dalam penelitian ini terbukti bahwa penurunan hasil tangkapan udang seiring dengan menurunnya luasan kawasan mangrove.

Menurut Dixon (1989) dalam Bengen (2001), fungsi biologi mangrove adalah sebagai kawasan pemijahan (spawning ground) dan daerah asuhan (nursery ground) bagi udang, serta ekosistem mangrove memiliki beragam fungsi ekologi dan ekonomi baik sebagai sumber makanan yang penting bagi biota perairan maupun untuk memenuhi kebutuhan manusia. Hal itu menunjukkan sangat pentingnya hutan mangrove bagi keberlangsungan sumberdaya udang.

Wilayah Segara Anakan di Cilacap memiliki mangrove yang luas, namun keberadaannya mengalami tekanan negatif yang serius. Dalam penelitian Naamin (1987) menghasilkan bahwa daerah asuhan udang jerbung di perairan Cilacap adalah di perairan Segara Anakan dari stadium post larva sampai stadium yuwana.

Menurut Zarochman (2003) penurunan produksi udang di perairan Cilacap dan sekitarnya sebagian besar dipengaruhi oleh degradasi lingkungan habitat dan kegiatan penangkapan di perairan Segara Anakan. Dalam penelitian ini terbukti bahwa menurunnya luasan kawasan mangrove berpengaruh terhadap populasi udang dan selanjutnya akan menyebabkan menurunnya hasil tangkapan udang.

Mengingat pentingnya manfaat mangrove bagi keberlangsungan

sumberdaya udang maka strategi peningkatan daya dukung lingkungan dan

sumberdaya udang sebagai hasil dari analisis AHP harus dilaksanakan secara

intensif. Diharapkan dengan pulih atau membaiknya daya dukung lingkungan

yaitu mangrove maka populasi udang akan meningkat sehingga memungkinkan

peningkatan hasil tangkapan udang oleh nelayan (Dixon 1989 dalam Bengen

2001).

(31)

Kondisi penurunan hasil tangkapan udang tersebut bila tidak ditangani dengan baik, tentunya akan merugikan nelayan dan mengganggu keberlanjutan perikanan udang. Berdasarkan analisis Ishikawa, SWOT dan AHP yang telah dilaksanakan maka perbaikan untuk kondisi tersebut harus secara terintegrasi dilaksanaakan terhadap 5 (lima) faktor yang menjadi penyebabnya yaitu sumberdaya manusia nelayan, kapal dan alat tangkap, populasi udang, metode penangkapan dan mangrove. Apabila perbaikan terhadap kelima hal tersebut dapat dilaksanakan dengan baik dapat diharapkan hasil tangkapan udang akan lebih maksimal dan keberlanjutan sumberdaya udang dapat terjamin. Perbaikan tersebut dilaksanakan dengan melaksanakan 5 (lima) strategi yang telah diperoleh sebagai hasil analisis AHP dengan urutan prioritas yaitu: strategi peningkatan daya dukung lingkungan dan sumberdaya udang; strategi rehabilitasi mangrove dan ekosistem perairan; strategi penegakkan hukum; strategi pengelolaan perikanan tangkap udang terpadu; dan strategi pengembangan ekonomi masyarakat pesisir.

Kelima aktor yang paling berperan dalam permasalahan penurunan hasil

tangkapan udang yaitu pemerintah, masyarakat, pelaku usaha, lembaga swadaya

masyarakat dan akademisi harus bekerja secara simultan bersama-sama untuk

menjalankan strategi, sehingga dapat memperbaiki berbagai kelemahan dan

ancaman, dan menghasilkan tercapainya keberlanjutan sumberdaya udang dan

usaha perikanan tangkap udang tetap berlangsung dan menguntungkan semua

pihak yang terlibat dalam perikanan udang tersebut.

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan analisis SWOT dengan membandingkan faktor Peluang dan Kekuatan (Strategi SO), Peluang dan Kelemahan (Strategi WO), Kekuatan dan Ancaman (Strategi ST), serta

18 Berdasarkan analisis SWOT dengan membandingkan faktor Peluang dan Kekuatan (Strategi SO), Peluang dan Kelemahan (Strategi WO), Kekuatan dan Ancaman (Strategi ST), serta

Berdasarkan analisis SWOT tersebut, dapat disusun empat strategi utama yaitu : SO (Strengths, Opportunities), WO (Weakness, Opportunities), ST (Strengths, Threats),

Berdasarkan hasil analisis matriks SWOT, strategi yang dipilih lebih pada alternatif strategi Weakness-Opportunity (strategi WO), dimana strategi yang disusun

Berdasarkan perumusuan strategi yang diusulkan pada matriks SWOT, strategi – strategi tersebut merupakan strategi yang harus dilakukan untuk mempertahankan posisi

Berdasarkan hasil pada SWOT dengan menggunakan matriks Grand Strategy posisi Air Terjun Ponot ada di strategi SO, Air terjun Alam Tani ada pada strategi WO, Air

Berdasarkan analisis SWOT dengan membandingkan faktor Peluang dan Kekuatan (Strategi SO), Peluang dan Kelemahan (Strategi WO), Kekuatan dan Ancaman (Strategi ST), serta

368 Matriks SWOT didapatkan dengan menggabungakan faktor – faktor yang ada pada kekuatan dan peluang untuk strategi SO, kelemahan dan ancaman untuk strategi WO, kekuatan dan ancaman