• Tidak ada hasil yang ditemukan

ANOTASI. Hak Cipta Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI All rights reserved TIM REVIEWER

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "ANOTASI. Hak Cipta Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI All rights reserved TIM REVIEWER"

Copied!
38
0
0

Teks penuh

(1)
(2)

2 | PUSAT PEMANTAUAN PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG BADAN KEAHLIAN, SEKRETARIAT JENDERAL DPR RI

ANOTASI

Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia, Kompilasi dengan Peraturan Pelaksana, Putusan Mahkamah Konstitutsi beserta Pertimbangan Hukum Mahkamah Konstitusi

Hak Cipta Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI

All rights reserved

TIM REVIEWER

Dra. Tanti Sumartini, M.Si.

Poedji Poerwanti, S.H., M.H.

Yudarana Sukarno Putra, S.H., LLM Antonius Samturnip, S.H

TIM PENYUSUN DAN EDITING Ester Yolanda Friska, S.H., M.H.

Rizki Emil Birham, S.H.

(3)

PUSAT PEMANTAUAN PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG | 3 BADAN KEAHLIAN, SEKRETARIAT JENDERAL DPR RI

KATA PENGANTAR

DPR RI memiliki 3 (tiga) fungsi utama sebagaimana amanat Pasal 20A ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 yaitu fungsi legislasi, fungsi anggaran dan fungsi pengawasan sebagai representasi rakyat dan juga untuk mendukung upaya Pemerintah dalam melaksanakan politik luar negeri. Salah satu fungsi pengawasan yang dilakukan DPR RI adalah melakukan pemantauan dan peninjauan terhadap undang-undang.

Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang di Badan

Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI memberikan dukungan keahlian kepada DPR RI dalam menjalankan fungsi pengawasan tersebut dengan memantau dan menginventarisir Putusan-Putusan Mahkamah Konstitusi yang menyatakan pasal/ayat dalam undang-undang bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945.

Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaaan Republik Indonesia (selanjutnya disebut UU Kejaksaan) dibentuk berdasarkan pertimbangan bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah negara hukum yang berdasarkan Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945, sehingga penegakan hukum dan keadilan merupakan salah satu syarat mutlak dalam mencapai tujuan nasional. Sehubungan dengan hal tersebut, Kejaksaan Republik Indonesia sebagai satu badan yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman perlu dimantapkan kedudukan dan perannya agar menjadi lembaga pemerintahan yang dalam melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan menjadi bebas dari pengaruh kekuasaan pihak mana pun.

Dokumen ini merupakan kompilasi dari UU Kejaksaan yang terdiri dari pembukaan undang-undang, batang tubuh undang- undang, daftar peraturan pelaksana undang-undang, lampiran penjelasan undang- undang. dan disertai pertimbangan hukum Mahkamah Konstitusi atas pasal/ayat/penjelasan pasal yang dibatalkan.

Harapan kami dengan adanya dokumen ini dapat memberikan masukan untuk pembahasan dalam Program Legislasi Nasional kepada anggota DPR RI pada khususnya, serta dapat memberikan informasi hukum kepada masyarakat pada umumnya.

Kepala Pusat

Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang,

Dra. Tanti Sumartini, M.Si.

NIP.196310011988032001

(4)

4 | PUSAT PEMANTAUAN PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG BADAN KEAHLIAN, SEKRETARIAT JENDERAL DPR RI

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ... 3

DAFTAR PERATURAN PELAKSANA... 5

BAB I KETENTUAN UMUM ... 8

Bagian Pertama Pengertian... 8

Bagian Kedua Kedudukan ... 8

BAB II SUSUNAN KEJAKSAAN ... 9

Bagian Pertama Umum ... 9

Bagian Kedua Jaksa ... 9

Bagian Ketiga Jaksa Agung, Wakil Jaksa Agung, dan Jaksa Agung Muda ... 13

Bagian Keempat Kepala Kejaksaan Tinggi, Wakil Kepala Kejaksaan Tinggi, Kepala Kejaksaan Negeri, dan Kepala Cabang ... 15

Bagian Kelima Jabatan Fungsional dan Tenaga Ahli ... 16

BAB III TUGAS DAN WEWENANG ... 16

Bagian Pertama ... 16

Bagian Kedua Khusus ... 17

BAB IV KETENTUAN LAIN... 18

BAB V KETENTUAN PERALIHAN ... 18

BAB VI KETENTUAN PENUTUP ... 19

LAMPIRAN I ... 20

LAMPIRAN II ... 33

(5)

PUSAT PEMANTAUAN PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG | 5 BADAN KEAHLIAN, SEKRETARIAT JENDERAL DPR RI

DAFTAR PERATURAN PELAKSANA No. Pasal yang

mengamanatkan Peraturan Pelaksana Catatan

1. Pasal 6 ayat (1) Peraturan Presiden No. 15 Tahun 2021 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Presiden No.

38 Tahun 2010 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kejaksaan Republik Indonesia

2. Pasal 9 ayat (3) Keputusan Jaksa Agung No. 004/A/JA/2004 tentang Tata Cara, syarat atau petunjuk pelaksanaan untuk mengikuti pendidikan dan pelatihan pembentukan Jaksa

3. Pasal 11 ayat (2) Peraturan Pemerintah No. 47 Tahun 2015 tentang Perubahan Astas PP No. 29 Tahun 1997 tentang Pegawai Negeri Sipil Yang Menduduki Jabatan Rangkap.

4. Pasal 13 ayat (3) Keputusan Jaksa Agung No. 017/A/J.A/01/2004 tentang Majelis Kehormatan Jaksa

5. Pasal 16 Peraturan Pemerintah No. 20 Tahun 2008 tentang Tata Cara Pemberhentian dengan Hormat, Pemberhentian tidak dengan Hormat, dan Pemberhentian Sementara serta Hak jabatan Fungsional Jaksa yang Terkena Pemberhentian

6. Pasal 17 Peraturan Presiden No. 117 Tahun 2014 tentang Tunjangan Jabatan Fungsional Jaksa

7. Pasal 22 ayat (2) Peraturan Pemerintah No. 20 Tahun 2008 tentang Tata Cara Pemberhentian dengan Hormat, Pemberhentian tidak dengan Hormat, dan Pemberhentian Sementara serta Hak jabatan Fungsional Jaksa yang Terkena Pemberhentian

8. Pasal 28 Peraturan Jaksa Agung No. PER-

065/A/JA/07/2007 tentang Pembinaan Karir Pegawai Kejaksaan Republik Indonesia

9. Pasal 42 Peraturan Presiden No. 18 Tahun 2005 tentang

Komisi Kejaksaan Republik Indonesia

(6)

6 | PUSAT PEMANTAUAN PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG BADAN KEAHLIAN, SEKRETARIAT JENDERAL DPR RI

PASAL/AYAT YANG DIBATALKAN MAHKAMAH KONSTITUSI

Pasal 22 ayat (1) huruf d ………... 14

Penjelasan Pasal 35 huruf c ……….. 31

(7)

PUSAT PEMANTAUAN PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG | 7 BADAN KEAHLIAN, SEKRETARIAT JENDERAL DPR RI

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2004

TENTANG

KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang :

a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah negara hukum yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 maka penegakan hukum dan keadilan merupakan salah satu syarat mutlak dalam mencapai tujuan nasional;

b. bahwa Kejaksaan Republik Indonesia termasuk salah satu badan yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman menurut Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

c. bahwa untuk lebih memantapkan kedudukan dan peran Kejaksaan Republik Indonesia sebagai lembaga pemerintahan yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan harus bebas dari pengaruh kekuasaan pihak mana pun;

d. bahwa Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1991 tentang Kejaksaan Republik Indonesia sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan kebutuhan hukum masyarakat dan kehidupan ketatanegaraan menurut Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

e. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d perlu membentuk Undang- Undang tentang Kejaksaan Republik Indonesia;

Mengingat :

1. Pasal 20, Pasal 21, dan Pasal 24 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

2. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209);

3. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran

Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 8, Tambahan Lembaran Negara

Republik Indonesia Nomor 4358);

(8)

8 | PUSAT PEMANTAUAN PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG BADAN KEAHLIAN, SEKRETARIAT JENDERAL DPR RI

Dengan Persetujuan Bersama

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA dan

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

MEMUTUSKAN :

Menetapkan : UNDANG-UNDANG TENTANG KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA BAB I

KETENTUAN UMUM Bagian Pertama

Pengertian

Pasal 1 Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:

1. Jaksa adalah pejabat fungsional yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk bertindak sebagai penuntut umum dan pelaksana putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap serta wewenang lain berdasarkan undang- undang;

2. Penuntut Umum adalah jaksa yang diberi wewenang oleh Undang- Undang ini untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan hakim;

3. Penuntutan adalah tindakan penuntut umum untuk melimpahkan perkara ke pengadilan negeri yang berwenang dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam Hukum Acara Pidana dengan permintaan supaya diperiksa dan diputus oleh hakim di sidang pengadilan;

4. Jabatan Fungsional Jaksa adalah jabatan yang bersifat keahlian teknis dalam organisasi kejaksaan yang karena fungsinya memungkinkan kelancaran pelaksanaan tugas kejaksaan.

Bagian Kedua Kedudukan

Pasal 2

(1) Kejaksaan Republik Indonesia yang selanjutnya dalam Undang- Undang ini disebut kejaksaan adalah lembaga pemerintahan yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan serta kewenangan lain berdasarkan undang-undang;

(2) Kekuasaan negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan secara merdeka;

(3) Kejaksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah satu dan tidak terpisahkan.

(9)

PUSAT PEMANTAUAN PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG | 9 BADAN KEAHLIAN, SEKRETARIAT JENDERAL DPR RI

Pasal 3

Pelaksanaan kekuasaan negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, diselenggarakan oleh Kejaksaan Agung, kejaksaan tinggi, dan kejaksaan negeri.

Pasal 4

(1) Kejaksaan Agung berkedudukan di ibukota negara Republik Indonesia dan daerah hukumnya meliputi wilayah kekuasaan negara Republik Indonesia;

(2) Kejaksaan tinggi berkedudukan di ibukota provinsi dan daerah hukumnya meliputi wilayah provinsi;

(3) Kejaksaan negeri berkedudukan di ibukota kabupaten/kota yang daerah hukumnya meliputi daerah kabupaten/kota.

BAB II

SUSUNAN KEJAKSAAN Bagian Pertama

Umum Pasal 5

Susunan kejaksaan terdiri dari Kejaksaan Agung, Kejaksaan Tinggi, dan Kejaksaan Negeri.

Pasal 6

(1) Susunan organisasi dan tata kerja kejaksaan ditetapkan oleh Presiden atas usul Jaksa Agung;

1

(2) Kejaksaan tinggi dan kejaksaan negeri dibentuk dengan Keputusan Presiden atas usul Jaksa Agung.

Pasal 7

(1) Dalam hal tertentu di daerah hukum kejaksaan negeri dapat dibentuk cabang kejaksaan negeri;

(2) Cabang kejaksaan negeri dibentuk dengan Keputusan Jaksa Agung.

Bagian Kedua Jaksa

1

Dilaksanakan dengan Peraturan Presiden No. 15 Tahun 2021 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan

Presiden No. 38 Tahun 2010 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kejaksaan Republik Indonesia.

(10)

10 | PUSAT PEMANTAUAN PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG BADAN KEAHLIAN, SEKRETARIAT JENDERAL DPR RI

Pasal 8

(1) Jaksa diangkat dan diberhentikan oleh Jaksa Agung;

(2) Dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, jaksa bertindak untuk dan atas nama negara serta bertanggung jawab menurut saluran hierarki;

(3) Demi keadilan dan kebenaran berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, jaksa melakukan penuntutan dengan keyakinan berdasarkan alat bukti yang sah;

(4) Dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, jaksa senantiasa bertindak berdasarkan hukum dengan mengindahkan norma- norma keagamaan, kesopanan, kesusilaan, serta wajib menggali dan menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan yang hidup dalam masyarakat, serta senantiasa menjaga kehormatan dan martabat profesinya;

(5) Dalam hal melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (4), jaksa diduga melakukan tindak pidana maka pemanggilan, pemeriksaan, penggeledahan, penangkapan, dan penahanan terhadap jaksa yang bersangkutan hanya dapat dilakukan atas izin Jaksa Agung.

Pasal 9

(1) Syarat-syarat untuk dapat diangkat menjadi jaksa adalah:

a. warga negara Indonesia;

b. bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;

c. setia kepada Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

d. berijazah paling rendah sarjana hukum;

e. berumur paling rendah 25 (dua puluh lima) tahun dan paling tinggi 35 (tiga puluh lima) tahun;

f. sehat jasmani dan rohani;

g. berwibawa, jujur, adil, dan berkelakuan tidak tercela; dan h. pegawai negeri sipil.

(2) Selain syarat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk dapat diangkat menjadi jaksa, harus lulus pendidikan dan pelatihan pembentukan jaksa;

(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara, syarat, atau petunjuk pelaksanaan untuk mengikuti pendidikan dan pelatihan pembentukan jaksa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan oleh Jaksa Agung.

2

Pasal 10

(1) Sebelum memangku jabatannya, jaksa wajib mengucapkan sumpah atau janji menurut agamanya di hadapan Jaksa Agung;

(2) Sumpah atau janji sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berbunyi sebagai

2

Dilaksanakan dengan Keputusan Jaksa Agung No. 004/A/JA/2004 tentang Tata Cara, syarat atau

petunjuk pelaksanaan untuk mengikuti pendidikan dan pelatihan pembentukan Jaksa.

(11)

PUSAT PEMANTAUAN PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG | 11 BADAN KEAHLIAN, SEKRETARIAT JENDERAL DPR RI

berikut:

“Saya bersumpah/berjanji:

bahwa saya akan setia kepada dan mempertahankan negara kesatuan Republik Indonesia, serta mengamalkan Pancasila sebagai dasar negara, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, serta melaksanakan peraturan perundang- undangan yang berlaku bagi negara Republik Indonesia.

bahwa saya senantiasa menjunjung tinggi dan akan menegakkan hukum, kebenaran dan keadilan, serta senantiasa menjalankan tugas dan wewenang dalam jabatan saya ini dengan sungguh- sungguh, saksama, obyektif, jujur, berani, profesional, adil, tidak membeda-bedakan jabatan, suku, agama, ras, jender, dan golongan tertentu dan akan melaksanakan kewajiban saya dengan sebaik- baiknya, serta bertanggung jawab sepenuhnya kepada Tuhan Yang Esa, masyarakat, bangsa, dan negara.

bahwa saya senantiasa akan menolak atau tidak menerima atau tidak mau dipengaruhi oleh campur tangan siapa pun juga dan saya akan tetap teguh melaksanakan tugas dan wewenang saya yang diamanatkan undang-undang kepada saya.

bahwa saya dengan sungguh-sungguh, untuk melaksanakan tugas ini, langsung atau tidak langsung, dengan menggunakan nama atau cara apa pun juga, tidak memberikan atau menjanjikan sesuatu apapun kepada siapa pun juga.

bahwa saya untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam tugas ini, tidak sekali-kali akan menerima langsung atau tidak langsung dari siapa pun juga suatu janji atau pemberian“.

Pasal 11

(1) Kecuali ditentukan lain oleh Undang-Undang ini, jaksa dilarang merangkap menjadi:

a. pengusaha, pengurus atau karyawan badan usaha milik negara/daerah, atau badan usaha swasta;

b. advokat.

(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai jabatan atau pekerjaan yang dilarang dirangkap selain jabatan atau pekerjaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diatur dengan Peraturan Pemerintah.

3

Pasal 12

Jaksa diberhentikan dengan hormat dari jabatannya karena:

3

Dilaksanakan dengan Peraturan Pemerintah No. 47 Tahun 2015 tentang Perubahan Astas PP No. 29

Tahun 1997 tentang Pegawai Negeri Sipil Yang Menduduki Jabatan Rangkap.

(12)

12 | PUSAT PEMANTAUAN PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG BADAN KEAHLIAN, SEKRETARIAT JENDERAL DPR RI

a. permintaan sendiri;

b. sakit jasmani atau rohani terus-menerus;

c. telah mencapai usia 62 (enam puluh dua) tahun;

d. meninggal dunia;

e. tidak cakap dalam menjalankan tugas.

Pasal 13

(1) Jaksa diberhentikan tidak dengan hormat dari jabatannya dengan alasan :

a. dipidana karena bersalah melakukan tindak pidana kejahatan, berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap;

b. terus menerus melalaikan kewajiban dalam menjalankan tugas/pekerjaannya;

c. melanggar larangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11;

d. melanggar sumpah atau janji jabatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10; atau

e. melakukan perbuatan tercela.

(2) Pengusulan pemberhentian tidak dengan hormat dengan alasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, huruf c, huruf d, dan huruf e dilakukan setelah jaksa yang bersangkutan diberi kesempatan secukupnya untuk membela diri di hadapan Majelis Kehormatan Jaksa;

(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pembentukan, susunan, dan tata kerja Majelis Kehormatan Jaksa, serta tata cara pembelaan diri ditetapkan oleh Jaksa Agung.

4

Pasal 14

(1) Jaksa yang diberhentikan tidak dengan hormat dari jabatannya, dengan sendirinya diberhentikan sebagai pegawai negeri sipil;

(2) Sebelum diberhentikan tidak dengan hormat sebagaimana dimaksud pada ayat (1), jaksa yang bersangkutan dapat diberhentikan sementara dari jabatannya oleh Jaksa Agung;

(3) Setelah seorang jaksa diberhentikan sementara dari jabatan fungsionalnya berlaku pula ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (2) tentang kesempatan untuk membela diri.

Pasal 15

(1) Apabila terdapat perintah penangkapan yang diikuti dengan penahanan terhadap seorang jaksa, dengan sendirinya jaksa yang bersangkutan diberhentikan sementara dari jabatannya oleh Jaksa Agung;

(2) Dalam hal jaksa dituntut di muka pengadilan dalam perkara pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (4) Undang- Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang

4

Dilaksanakan dengan Keputusan Jaksa Agung No. 017/A/J.A/01/2004 tentang Majelis Kehormatan

Jaksa.

(13)

PUSAT PEMANTAUAN PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG | 13 BADAN KEAHLIAN, SEKRETARIAT JENDERAL DPR RI

Hukum Acara Pidana tanpa ditahan, jaksa dapat diberhentikan sementara dari jabatannya oleh Jaksa Agung.

Pasal 16

Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberhentian dengan hormat, pemberhentian tidak dengan hormat, dan pemberhentian sementara, serta hak-hak jabatan fungsional jaksa yang terkena pemberhentian diatur dengan Peraturan Pemerintah.

5

Pasal 17

Ketentuan mengenai tunjangan jabatan fungsional jaksa diatur dengan Peraturan Presiden.

6

Bagian Ketiga

Jaksa Agung, Wakil Jaksa Agung, dan Jaksa Agung Muda Pasal 18

(1) Jaksa Agung adalah pimpinan dan penanggung jawab tertinggi kejaksaan yang memimpin, mengendalikan pelaksanaan tugas, dan wewenang kejaksaan.

(2) Jaksa Agung dibantu oleh seorang Wakil Jaksa Agung dan beberapa orang Jaksa Agung Muda.

(3) Jaksa Agung dan Wakil Jaksa Agung merupakan satu kesatuan unsur pimpinan.

(4) Jaksa Agung Muda adalah unsur pembantu pimpinan.

Pasal 19 (1) Jaksa Agung adalah pejabat negara;

(2) Jaksa Agung diangkat dan diberhentikan oleh Presiden.

Pasal 20

Syarat-syarat untuk dapat diangkat menjadi Jaksa Agung adalah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, huruf f, dan huruf g.

Pasal 21 Jaksa Agung dilarang merangkap menjadi:

5

Dilaksanakan dengan Peraturan Pemerintah No. 20 Tahun 2008 tentang Tata Cara Pemberhentian dengan Hormat, Pemberhentian tidak dengan Hormat, dan Pemberhentian Sementara serta Hak jabatan Fungsional Jaksa yang Terkena Pemberhentian.

6

Dilaksanakan dengan Peraturan Presiden No. 117 Tahun 2014 tentang Tunjangan Jabatan Fungsional

Jaksa.

(14)

14 | PUSAT PEMANTAUAN PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG BADAN KEAHLIAN, SEKRETARIAT JENDERAL DPR RI

a. pejabat negara lain atau penyelenggara negara menurut peraturan perundang- undangan;

b. advokat;

c. wali, kurator/pengampu, dan/atau pejabat yang terkait dalam perkara yang sedang diperiksa olehnya;

d. pengusaha, pengurus atau karyawan badan usaha milik negara/daerah, atau badan usaha swasta;

e. notaris, notaris pengganti, atau pejabat pembuat akta tanah;

f. arbiter, badan atau panitia penyelesaian sengketa yang dibentuk berdasarkan peraturan perundang-undangan;

g. pejabat lembaga berbentuk komisi yang dibentuk berdasarkan undang-undang;

atau

h. pejabat pada jabatan lainnya yang ditentukan berdasarkan undang- undang.

Pasal 22

(1) Jaksa Agung diberhentikan dengan hormat dari jabatannya karena:

a. meninggal dunia;

b. permintaan sendiri;

c. sakit jasmani atau rohani terus menerus;

d. berakhir masa jabatannya;

7

e. tidak lagi memenuhi salah satu syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21.

(2) Pemberhentian dengan hormat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Keputusan Presiden.

8

Pasal 23

(1) Wakil Jaksa Agung diangkat dan diberhentikan oleh Presiden atas usul Jaksa Agung;

(2) Wakil Jaksa Agung bertanggung jawab kepada Jaksa Agung;

(3) Yang dapat diangkat menjadi Wakil Jaksa Agung adalah Jaksa Agung Muda, atau yang dipersamakan dengan memperhatikan jenjang dan jabatan karier.

Pasal 24

(1) Jaksa Agung Muda diangkat dan diberhentikan oleh Presiden atas usul Jaksa Agung;

(2) Yang dapat diangkat menjadi Jaksa Agung Muda adalah jaksa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 yang berpengalaman sebagai kepala kejaksaan tinggi atau jabatan yang dipersamakan dengan jabatan kepala kejaksaan tinggi;

7

Putusan MK No. 49/PUU-VIII/2010 menyatakan Pasal 22 ayat (1) huruf d Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia adalah sesuai dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 secara bersyarat (conditionally constitutional), yaitu konstitusional sepanjang dimaknai “masa jabatan Jaksa Agung itu berakhir dengan berakhirnya masa jabatan Presiden Republik Indonesia dalam satu periode bersama-sama masa jabatan anggota kabinet atau diberhentikan dalam masa jabatannya oleh Presiden dalam periode yang bersangkutan”

8

Dilaksanakan dengan Peraturan Pemerintah No. 20 Tahun 2008 tentang Tata Cara Pemberhentian

dengan Hormat, Pemberhentian tidak dengan Hormat, dan Pemberhentian Sementara serta Hak jabatan

Fungsional Jaksa yang Terkena Pemberhentian.

(15)

PUSAT PEMANTAUAN PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG | 15 BADAN KEAHLIAN, SEKRETARIAT JENDERAL DPR RI

(3) Jaksa Agung Muda dapat diangkat dari luar lingkungan kejaksaan dengan syarat mempunyai keahlian tertentu;

(4) Wakil Jaksa Agung dan Jaksa Agung Muda diberhentikan dengan hormat dari jabatannya karena:

a. meninggal dunia;

b. permintaan sendiri;

c. sakit jasmani atau rohani terus menerus;

d. berakhir masa jabatannya;

e. tidak lagi memenuhi salah satu syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21.

Pasal 25

(1) Dalam hal Wakil Jaksa Agung dan Jaksa Agung Muda dinilai melakukan perbuatan yang dapat menyebabkan pemberhentian tidak dengan hormat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1), Presiden atas usul Jaksa Agung dapat memberhentikan untuk sementara dari jabatannya sebelum diambil tindakan pemberhentian tersebut;

(2) Ketentuan tentang pembelaan diri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (2), berlaku pula terhadap Wakil Jaksa Agung dan Jaksa Agung Muda.

Bagian Keempat

Kepala Kejaksaan Tinggi, Wakil Kepala Kejaksaan Tinggi, Kepala Kejaksaan Negeri, dan Kepala Cabang

Pasal 26

(1) Kepala kejaksaan tinggi adalah pimpinan kejaksaan tinggi yang mengendalikan pelaksanaan tugas dan wewenang kejaksaan di daerah hukumnya;

(2) Kepala kejaksaan tinggi dibantu oleh seorang wakil kepala kejaksaan tinggi sebagai kesatuan unsur pimpinan, beberapa orang unsur pembantu pimpinan, dan unsur pelaksana.

Pasal 27

(1) Kepala kejaksaan negeri adalah pimpinan kejaksaan negeri yang mengendalikan pelaksanaan tugas dan wewenang kejaksaan di daerah hukumnya;

(2) Kepala kejaksaan negeri dibantu oleh beberapa orang unsur pembantu pimpinan dan unsur pelaksana;

(3) Kepala cabang kejaksaan negeri adalah pimpinan cabang kejaksaan negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7, yang mengendalikan pelaksanaan tugas dan wewenang kejaksaan di sebagian daerah hukum kejaksaan negeri yang membawahkannya;

(4) Kepala cabang kejaksaan negeri dibantu oleh beberapa orang unsur pelaksana.

Pasal 28

Yang dapat diangkat menjadi kepala kejaksaan tinggi, wakil kepala kejaksaan tinggi,

(16)

16 | PUSAT PEMANTAUAN PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG BADAN KEAHLIAN, SEKRETARIAT JENDERAL DPR RI

kepala kejaksaan negeri, dan kepala cabang kejaksaan negeri adalah jaksa yang memenuhi syarat-syarat yang ditetapkan lebih lanjut oleh Jaksa Agung.

9

Bagian Kelima

Jabatan Fungsional dan Tenaga Ahli Pasal 29

(1) Pada kejaksaan dapat ditugaskan pegawai negeri yang tidak menduduki jabatan fungsional jaksa, yang diangkat dan diberhentikan oleh Jaksa Agung menurut peraturan perundang- undangan;

(2) Pegawai negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diangkat sebagai tenaga ahli atau tenaga tata usaha untuk mendukung pelaksanaan tugas dan wewenang kejaksaan;

(3) Selain tenaga ahli sebagaimana dimaksud pada ayat (2), pada kejaksaan dapat diangkat tenaga ahli bukan dari pegawai negeri.

BAB III

TUGAS DAN WEWENANG Bagian Pertama

Pasal 30

(1) Di bidang pidana, kejaksaan mempunyai tugas dan wewenang:

a. melakukan penuntutan;

b. melaksanakan penetapan hakim dan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap;

c. melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan putusan pidana bersyarat, putusan pidana pengawasan, dan keputusan lepas bersyarat;

d. melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan undang- undang;

e. melengkapi berkas perkara tertentu dan untuk itu dapat melakukan pemeriksaan tambahan sebelum dilimpahkan ke pengadilan yang dalam pelaksanaannya dikoordinasikan dengan penyidik.

(2) Di bidang perdata dan tata usaha negara, kejaksaan dengan kuasa khusus dapat bertindak baik di dalam maupun di luar pengadilan untuk dan atas nama negara atau pemerintah;

(3) Dalam bidang ketertiban dan ketenteraman umum, kejaksaan turut menyelenggarakan kegiatan:

a. peningkatan kesadaran hukum masyarakat;

b. pengamanan kebijakan penegakan hukum;

c. pengawasan peredaran barang cetakan;

d. pengawasan aliran kepercayaan yang dapat membahayakan masyarakat dan

9

Dilaksanakan dengan Peraturan Jaksa Agung No. PER-065/A/JA/07/2007 tentang Pembinaan Karir

Pegawai Kejaksaan Republik Indonesia.

(17)

PUSAT PEMANTAUAN PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG | 17 BADAN KEAHLIAN, SEKRETARIAT JENDERAL DPR RI

negara;

e. pencegahan penyalahgunaan dan/atau penodaan agama;

f. penelitian dan pengembangan hukum serta statistik kriminal.

Pasal 31

Kejaksaan dapat meminta kepada hakim untuk menempatkan seorang terdakwa di rumah sakit, tempat perawatan jiwa, atau tempat lain yang layak karena yang bersangkutan tidak mampu berdiri sendiri atau disebabkan oleh hal-hal yang dapat membahayakan orang lain, lingkungan, atau dirinya sendiri.

Pasal 32

Di samping tugas dan wewenang tersebut dalam Undang-Undang ini, kejaksaan dapat diserahi tugas dan wewenang lain berdasarkan undang-undang.

Pasal 33

Dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, kejaksaan membina hubungan kerja sama dengan badan penegak hukum dan keadilan serta badan negara atau instansi lainnya.

Pasal 34

Kejaksaan dapat memberikan pertimbangan dalam bidang hukum kepada instansi pemerintah lainnya.

Bagian Kedua Khusus Pasal 35 Jaksa Agung mempunyai tugas dan wewenang:

a. menetapkan serta mengendalikan kebijakan penegakan hukum dan keadilan dalam ruang lingkup tugas dan wewenang kejaksaan;

b. mengefektifkan proses penegakan hukum yang diberikan oleh undang- undang;

c. mengesampingkan perkara demi kepentingan umum;

d. mengajukan kasasi demi kepentingan hukum kepada Mahkamah Agung dalam perkara pidana, perdata, dan tata usaha negara;

e. dapat mengajukan pertimbangan teknis hukum kepada Mahkamah Agung dalam pemeriksaan kasasi perkara pidana;

f. mencegah atau menangkal orang tertentu untuk masuk atau keluar wilayah

Negara Kesatuan Republik Indonesia karena keterlibatannya dalam perkara

(18)

18 | PUSAT PEMANTAUAN PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG BADAN KEAHLIAN, SEKRETARIAT JENDERAL DPR RI

pidana sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

10

Pasal 36

(1) Jaksa Agung memberikan izin kepada tersangka atau terdakwa untuk berobat atau menjalani perawatan di rumah sakit dalam negeri, kecuali dalam keadaan tertentu dapat dilakukan perawatan di luar negeri;

(2) Izin secara tertulis untuk berobat atau menjalani perawatan di dalam negeri diberikan oleh kepala kejaksaan negeri setempat atas nama Jaksa Agung, sedangkan untuk berobat atau menjalani perawatan di rumah sakit di luar negeri hanya diberikan oleh Jaksa Agung;

(3) Izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), hanya diberikan atas dasar rekomendasi dokter, dan dalam hal diperlukannya perawatan di luar negeri rekomendasi tersebut dengan jelas menyatakan kebutuhan untuk itu yang dikaitkan dengan belum mencukupinya fasilitas perawatan tersebut di dalam negeri.

Pasal 37

(1) Jaksa Agung bertanggung jawab atas penuntutan yang dilaksanakan secara independen demi keadilan berdasarkan hukum dan hati Nurani;

(2) Pertanggungjawaban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan kepada Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat sesuai dengan prinsip akuntabilitas.

BAB IV KETENTUAN LAIN

Pasal 38

Untuk meningkatkan kualitas kinerja kejaksaan, Presiden dapat membentuk sebuah komisi yang susunan dan kewenangannya diatur oleh Presiden.

11

Pasal 39

Kejaksaan berwenang menangani perkara pidana yang diatur dalam Qanun sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, sesuai dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.

BAB V

KETENTUAN PERALIHAN

10

Terdapat peraturan perundang-undangan yang terkait dengan ketentuan ini yaitu Peraturan Pemerintah No. 31 Tahun 2013 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang No. 6 Tahun 2011 Tentang Keimigrasian.

11

Dilaksanakan dengan Peraturan Presiden No. 18 Tahun 2005 tentang Komisi Kejaksaan Republik

Indonesia.

(19)

PUSAT PEMANTAUAN PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG | 19 BADAN KEAHLIAN, SEKRETARIAT JENDERAL DPR RI

Pasal 40

Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, peraturan perundang- undangan yang berkaitan dengan kejaksaan dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan atau belum diganti berdasarkan Undang- Undang ini.

BAB VI

KETENTUAN PENUTUP Pasal 41

Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1991 tentang Kejaksaan Republik Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1991 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3451), dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.

Pasal 42

Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaga Negara Republik Indonesia.

Disahkan di Jakarta pada tanggal 26 Juli 2014

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, ttd.

MEGAWATI SOEKARNOPUTRI

Diundangkan di Jakarta pada tanggal 26 Juli 2004

SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA,

ttd BAMBANG KESOWO

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2004 NOMOR 67

(20)

20 | PUSAT PEMANTAUAN PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG BADAN KEAHLIAN, SEKRETARIAT JENDERAL DPR RI

LAMPIRAN I

PENJELASAN ATAS

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA 16 TAHUN 2004

TENTANG

KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA

I. UMUM

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menentukan secara tegas bahwa negara Indonesia adalah negara hukum. Sejalan dengan ketentuan tersebut maka salah satu prinsip penting negara hukum adalah adanya jaminan kesederajatan bagi setiap orang di hadapan hukum (equality before the law). Oleh karena itu setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil, serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.

Dalam usaha memperkuat prinsip di atas maka salah satu substansi penting perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 telah membawa perubahan yang mendasar dalam kehidupan ketatanegaraan khususnya dalam pelaksanaan kekuasaan kehakiman. Berdasarkan perubahan tersebut ditegaskan bahwa ketentuan badan-badan lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman diatur dalam undang-undang. Ketentuan badan-badan lain tersebut dipertegas oleh Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman yang menyatakan bahwa badan-badan lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman, salah satunya adalah Kejaksaan Republik Indonesia.

Sejalan dengan perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, dan beberapa undang-undang yang baru, serta berdasarkan perkembangan kebutuhan hukum masyarakat dan kehidupan ketatanegaraan maka Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1991 tentang Kejaksaan Republik Indonesia sudah tidak sesuai lagi sehingga perlu dilakukan perubahan secara komprehensif dengan membentuk undang- undang yang baru.

Pembaharuan Undang-Undang tentang Kejaksaan Republik Indonesia tersebut

dimaksudkan untuk lebih memantapkan kedudukan dan peran Kejaksaan Republik

Indonesia sebagai lembaga negara pemerintahan yang melaksanakan kekuasaan

negara di bidang penuntutan harus bebas dari pengaruh kekuasaan pihak mana pun,

yakni yang dilaksanakan secara merdeka terlepas dari pengaruh kekuasaan

pemerintah dan pengaruh kekuasaan lainnya.

(21)

PUSAT PEMANTAUAN PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG | 21 BADAN KEAHLIAN, SEKRETARIAT JENDERAL DPR RI

Kejaksaan sebagai salah satu lembaga penegak hukum dituntut untuk lebih berperan dalam menegakkan supremasi hukum, perlindungan kepentingan umum, penegakan hak asasi manusia, serta pemberantasan korupsi, kolusi, dan nepotisme.

Oleh karena itu perlu dilakukan penataan kembali terhadap kejaksaan untuk menyesuaikan dengan perubahan-perubahan tersebut diatas.

Dalam melaksanakan fungsi, tugas, dan wewenangnya, Kejaksaan Republik Indonesia sebagai lembaga pemerintahan yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan harus mampu mewujudkan kepastian hukum, ketertiban hukum, keadilan dan kebenaran berdasarkan hukum dan mengindahkan norma-norma keagamaan, kesopanan, dan kesusilaan, serta wajib menggali nilai-nilai kemanusiaan, hukum, dan keadilan yang hidup dalam masyarakat.

Kejaksaan juga harus mampu terlibat sepenuhnya dalam proses pembangunan antara lain turut menciptakan kondisi yang mendukung dan mengamankan pelaksanaan pembangunan untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila, serta berkewajiban untuk turut menjaga dan menegakkan kewibawaan pemerintah dan negara serta melindungi kepentingan masyarakat.

Dalam Undang-Undang ini diatur hal-hal yang disempurnakan, antara lain:

1. Kejaksaan sebagai lembaga pemerintahan yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan ditegaskan kekuasaan negara tersebut dilaksanakan secara merdeka. Oleh karena itu, kejaksaan dalam melaksanakan fungsi, tugas, dan wewenangnya terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah dan kekuasaan lainnya. Selanjutnya ditentukan Jaksa Agung bertanggung jawab atas penuntutan yang dilaksanakan secara independen demi keadilan berdasarkan hukum dan hati nurani. Dengan demikian Jaksa Agung selaku pimpinan kejaksaan dapat sepenuhnya merumuskan dan mengendalikan arah dan kebijakan penanganan perkara untuk keberhasilan penuntutan;

2. Untuk membentuk jaksa yang profesional harus ditempuh berbagai jenjang pendidikan dan pengalaman dalam menjalankan fungsi, tugas, dan wewenang.

Sesuai dengan profesionalisme dan fungsi kejaksaan, ditentukan bahwa jaksa merupakan jabatan fungsional. Dengan demikian, usia pensiun jaksa yang semula 58 (lima puluh delapan) tahun ditetapkan menjadi 62 (enam puluh dua) tahun.

3. Kewenangan kejaksaan untuk melakukan penyidikan tindak pidana tertentu dimaksudkan untuk menampung beberapa ketentuan undang-undang yang memberikan kewenangan kepada kejaksaan untuk melakukan penyidikan, misalnya Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia, Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, dan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

4. Kejaksaan adalah lembaga pemerintahan yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang penegakkan hukum dengan berpegang pada peraturan perundang- undangan dan kebijakan yang ditetapkan oleh pemerintah. Dengan demikian, Jaksa Agung diangkat dan diberhentikan oleh Presiden serta bertanggung jawab kepada Presiden.

5. Di bidang perdata dan tata usaha negara, kejaksaan mempunyai kewenangan

(22)

22 | PUSAT PEMANTAUAN PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG BADAN KEAHLIAN, SEKRETARIAT JENDERAL DPR RI

untuk dan atas nama negara atau pemerintah sebagai penggugat atau tergugat yang dalam pelaksanaannya tidak hanya memberikan pertimbangan atau membela kepentingan negara atau pemerintah, tetapi juga membela dan melindungi kepentingan rakyat.

II. PASAL DEMI PASAL

Pasal 1

Cukup jelas Pasal 2

Ayat (1)

Cukup jelas.

Ayat (2)

Yang dimaksud dengan “secara merdeka” dalam ketentuan ini adalah dalam melaksanakan fungsi, tugas, dan wewenangnya terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah dan pengaruh kekuasaan lainnya.

Ayat (3)

Yang dimaksud dengan “kejaksaan adalah satu dan tidak terpisahkan” adalah satu landasan dalam pelaksanaan tugas dan wewenangnya di bidang penuntutan yang bertujuan memelihara kesatuan kebijakan di bidang penuntutan sehingga dapat menampilkan ciri khas yang menyatu dalam tata pikir, tata laku, dan tata kerja kejaksaan.

Oleh karena itu kegiatan penuntutan di pengadilan oleh kejaksaan tidak akan berhenti hanya karena jaksa yang semula bertugas berhalangan. Dalam hal demikian tugas penuntutan oleh kejaksaan akan tetap berlangsung sekalipun untuk itu dilakukan oleh jaksa lainnya sebagai pengganti.

Pasal 3

Cukup jelas Pasal 4

Cukup Jelas Pasal 5

Cukup Jelas Pasal 6

Cukup Jelas

(23)

PUSAT PEMANTAUAN PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG | 23 BADAN KEAHLIAN, SEKRETARIAT JENDERAL DPR RI

Pasal 7 Ayat (1)

Yang dimaksud dengan “dalam hal tertentu” adalah keadaan yang harus dipertimbangkan perlunya percepatan layanan hukum kepada masyarakat dalam pembentukan cabang kejaksaan, antara lain:

a. wilayah hukum kejaksaan negeri yang luas;

b. kondisi geografis dan demografis; atau c. intensitas layanan tugas yang tinggi.

Ayat (2) Cukup jelas.

Pasal 8 Ayat (1)

Cukup jelas.

Ayat (2)

Cukup jelas.

Ayat (3)

Cukup jelas.

Ayat (4)

Cukup jelas.

Ayat (5)

Ketentuan dalam ayat ini bertujuan untuk memberikan perlindungan kepada jaksa yang telah diatur dalam Guidelines on the Role of Prosecutors dan International Association of Prosecutors yaitu negara akan menjamin bahwa jaksa sanggup untuk menjalankan profesi mereka tanpa intimidasi, gangguan, godaan, campur tangan yang tidak tepat atau pembeberan yang belum diuji kebenarannya baik terhadap pertanggungjawaban perdata, pidana, maupun pertanggungjawaban lainnya.

Pasal 9

Cukup Jelas Pasal 10

Cukup Jelas Pasal 11

Ayat (1)

(24)

24 | PUSAT PEMANTAUAN PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG BADAN KEAHLIAN, SEKRETARIAT JENDERAL DPR RI

Huruf a

Yang dimaksud dengan “pengusaha” adalah direksi atau komisaris perusahaan, pemilik saham dalam perusahaan yang kegiatan usahanya berada dalam ruang lingkup kekuasaannya, atau memiliki saham tetapi saham tersebut dapat langsung atau tidak langsung menentukan penyelenggaraan jalannya perusahaan.

Huruf b Cukup jelas.

Ayat (2)

Cukup jelas.

Pasal 12 Huruf a

Cukup jelas.

Huruf b

Yang dimaksud dengan “sakit jasmani atau rohani terus menerus” adalah sakit yang menyebabkan si penderita tidak mampu lagi melakukan tugas kewajibannya dengan baik sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Huruf c

Yang dimaksud dalam ketentuan ini adalah jaksa diberhentikan dari jabatan fungsionalnya.

Huruf d Cukup jelas.

Huruf e Cukup jelas.

Pasal 13 Ayat (1)

Huruf a

Yang dimaksud dengan “dipidana“ ialah dijatuhi pidana penjara paling singkat 3 (tiga) bulan.

Huruf b

Yang dimaksud dengan “terus-menerus melalaikan kewajiban dalam menjalankan tugas/pekerjaan” adalah apabila dalam jangka waktu paling lama 45 (empat puluh lima) hari, yang bersangkutan tidak menyelesaikan tugas yang dibebankan kepadanya tanpa suatu alasan yang sah.

Huruf c

(25)

PUSAT PEMANTAUAN PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG | 25 BADAN KEAHLIAN, SEKRETARIAT JENDERAL DPR RI

Cukup jelas.

Huruf d Cukup jelas.

Huruf e

Yang dimaksud dengan “perbuatan tercela” adalah sikap, perbuatan, dan tindakan jaksa yang bersangkutan baik pada saat bertugas maupun tidak bertugas merendahkan martabat jaksa atau kejaksaan.

Ayat (2)

Cukup jelas.

Ayat (3)

Cukup jelas.

Pasal 14 Ayat (1)

Cukup jelas.

Ayat (2)

Yang dimaksud dengan “pemberhentian sementara” adalah tindakan memberhentikan sementara waktu sebagai jaksa, sampai adanya keputusan definitif dari Jaksa Agung berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap atau keputusan Majelis Kehormatan Jaksa atas kesalahan jaksa yang bersangkutan.

Ayat (3)

Cukup jelas.

Pasal 15 Ayat (1)

Dengan adanya surat perintah penangkapan dan penahanan oleh pihak yang berwenang maka Jaksa Agung segera menyusuli dengan surat keputusan pemberhentian sementara.

Ayat (2)

Pasal 21 ayat (4) huruf b Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum

Acara Pidana menetapkan tindak pidana tertentu yang memberi wewenang

kepada penyidik, penuntut umum, atau pengadilan untuk melakukan tindakan

penahanan atas pelaku tindak pidana tersebut. Dalam hal seorang jaksa dituntut

di muka pengadilan karena melakukan salah satu tindak pidana tersebut,

walaupun yang bersangkutan tidak ditahan, ia dapat dikenakan tindakan

pemberhentian sementara.

(26)

26 | PUSAT PEMANTAUAN PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG BADAN KEAHLIAN, SEKRETARIAT JENDERAL DPR RI

Pasal 16

Cukup jelas.

Pasal 17

Cukup jelas.

Pasal 18 Ayat (1)

Mengingat Jaksa Agung adalah pimpinan dan penanggung jawab tertinggi yang mengendalikan pelaksanaan tugas dan wewenang kejaksaan maka Jaksa Agung adalah juga pimpinan dan penanggung jawab tertinggi dalam bidang penuntutan.

. Ayat (2)

Cukup jelas.

Ayat (3)

Yang dimaksud dengan “kesatuan unsur pimpinan” adalah wujud keterpaduan dan kebersamaan antara Jaksa Agung dan Wakil Jaksa Agung dalam melaksanakan kebijakan yang ditetapkan oleh Jaksa Agung.

Ayat (4)

Cukup jelas.

Pasal 19

Cukup jelas.

Pasal 20

Cukup jelas.

Pasal 21 Huruf a

Yang dimaksud dengan “pejabat negara lain atau penyelenggara negara”, misalnya anggota Dewan Perwakilan Rakyat, anggota Dewan Perwakilan Daerah, anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, menteri, hakim, dan pejabat lain sebagaimana ditentukan dalam peraturan perundang-undangan.

Huruf b Cukup jelas.

Huruf c Cukup jelas.

Huruf d

(27)

PUSAT PEMANTAUAN PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG | 27 BADAN KEAHLIAN, SEKRETARIAT JENDERAL DPR RI

Yang dimaksud dengan “pengusaha” adalah direksi atau komisaris perusahaan, pemilik saham dalam perusahaan yang kegiatan usahanya berada dalam ruang lingkup kekuasaannya, atau memiliki saham tetapi saham tersebut dapat langsung atau tidak langsung menentukan penyelenggaraan jalannya perusahaan.

Huruf e Cukup jelas.

Huruf f Cukup jelas.

Huruf g Cukup jelas.

Huruf h Cukup jelas.

Pasal 22

Cukup jelas.

Pasal 23 Ayat (1)

Adanya jabatan Wakil Jaksa Agung akan sangat membantu Jaksa Agung khususnya dalam pembinaan administrasi sehari-hari dan segi-segi teknis operasional lainnya. Karena sifat tugasnya tersebut maka jabatan Wakil Jaksa Agung merupakan jabatan karier dalam lingkungan kejaksaan.

Pengusulan pencalonan oleh Jaksa Agung harus memperhatikan pembinaan karier di lingkungan kejaksaan.

Ayat (2)

Cukup jelas.

Ayat (3)

Yang dimaksud dengan “yang dipersamakan” adalah jabatan yang setara dengan Eselon I.

Pasal 24 Ayat (1)

Cukup jelas.

Ayat (2)

(28)

28 | PUSAT PEMANTAUAN PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG BADAN KEAHLIAN, SEKRETARIAT JENDERAL DPR RI

Yang dimaksud dengan “jabatan yang dipersamakan dengan jabatan kepala kejaksaan tinggi” adalah jabatan kepala direktorat, kepala biro, atau jabatan lainnya yang setingkat.

Ayat (3)

Pada dasarnya jabatan Jaksa Agung Muda adalah jabatan karier. Ketentuan dalam ayat ini memberikan kemungkinan pengangkatan seorang Jaksa Agung Muda dari luar lingkungan kejaksaan. Sifatnya sangat selektif dan berdasarkan kebutuhan serta pejabat tersebut mempunyai keahlian tertentu yang bermanfaat bagi pelaksanaan tugas dan wewenang kejaksaan.

Ayat (4) Huruf a

Cukup jelas.

Huruf b Cukup jelas.

Huruf c

Lihat penjelasan Pasal 12 huruf b.

Huruf d Cukup jelas.

Huruf e Cukup jelas.

Pasal 25

Cukup jelas.

Pasal 26

Cukup jelas.

Pasal 27

Cukup jelas.

Pasal 28

Cukup jelas.

Pasal 29 Ayat (1)

Cukup jelas.

Ayat (2)

Yang dimaksud dengan “tenaga ahli” adalah ahli dalam berbagai disiplin ilmu

(29)

PUSAT PEMANTAUAN PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG | 29 BADAN KEAHLIAN, SEKRETARIAT JENDERAL DPR RI

dan tidak dimaksudkan untuk memberikan “keterangan ahli” dalam suatu persidangan, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 28 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.

Yang dimaksud dengan “tenaga tata usaha” adalah tenaga yang tidak melaksanakan fungsi jaksa.

Ayat (3) Cukup jelas Pasal 30

Ayat (1) Huruf a

Dalam melakukan penuntutan, jaksa dapat melakukan prapenuntutan.

Prapenuntutan adalah tindakan jaksa untuk memantau perkembangan penyidikan setelah menerima pemberitahuan dimulainya penyidikan dari penyidik, mempelajari atau meneliti kelengkapan berkas perkara hasil penyidikan yang diterima dari penyidik serta memberikan petunjuk guna dilengkapi oleh penyidik untuk dapat menentukan apakah berkas perkara tersebut dapat dilimpahkan atau tidak ke tahap penuntutan.

Huruf b

Dalam melaksanakan putusan pengadilan dan penetapan hakim, kejaksaan memperhatikan nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat dan peri kemanusiaan berdasarkan Pancasila tanpa mengesampingkan ketegasan dalam bersikap dan bertindak.

Melaksanakan putusan pengadilan termasuk juga melaksanakan tugas dan wewenang mengendalikan pelaksanaan hukuman mati dan putusan pengadilan terhadap barang rampasan yang telah dan akan disita untuk selanjutnya dijual lelang.

Huruf c

Yang dimaksud dengan “keputusan lepas bersyarat” adalah keputusan yang dikeluarkan oleh menteri yang tugas dan tanggung jawabnya di bidang pemasyarakatan.

Huruf d

Kewenangan dalam ketentuan ini adalah kewenangan sebagaimana diatur misalnya dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia dan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 jo. Undang- Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Huruf e

Untuk melengkapi berkas perkara, pemeriksaan tambahan dilakukan dengan

(30)

30 | PUSAT PEMANTAUAN PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG BADAN KEAHLIAN, SEKRETARIAT JENDERAL DPR RI

memperhatikan hal-hal sebagai berikut : 1) tidak dilakukan terhadap tersangka;

2) hanya terhadap perkara-perkara yang sulit pembuktiannya, dan/atau dapat meresahkan masyarakat, dan/atau yang dapat membahayakan keselamatan Negara;

3) harus dapat diselesaikan dalam waktu 14 (empat belas) hari setelah dilaksanakan ketentuan Pasal 110 dan 138 ayat (2) Undang-undang Nomor 8 Tahun1981 tentang Hukum Acara Pidana;

4) prinsip koordinasi dan kerjasama dengan penyidik.

Ayat (2)

Cukup jelas.

Ayat (3)

Tugas dan wewenang kejaksaan dalam ayat ini bersifat preventif dan/atau edukatif sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Yang dimaksud dengan “turut menyelenggarakan“ adalah mencakup kegiatan- kegiatan bersifat membantu, turut serta, dan bekerja sama.

Dalam turut menyelenggarakan tersebut, kejaksaan senantiasa memperhatikan koordinasi dengan instansi terkait.

Pasal 31

Cukup jelas.

Pasal 32

Cukup jelas.

Pasal 33

Adalah menjadi kewajiban bagi setiap badan negara terutama dalam bidang penegakan hukum dan keadilan untuk melaksanakan dan membina kerja sama yang dilandasi semangat keterbukaan, kebersamaan, dan keterpaduan dalam suasana keakraban guna mewujudkan sistem peradilan pidana terpadu.

Hubungan kerja sama ini dilakukan melalui koordinasi horizontal dan vertikal secara berkala dan berkesinambungan dengan tetap menghormati fungsi, tugas, dan wewenang masing-masing. Kerja sama antara kejaksaan dengan instansi penegak hukum lainnya dimaksudkan untuk memperlancar upaya penegakan hukum sesuai dengan asas cepat, sederhana, dan biaya ringan, serta bebas, jujur, dan tidak memihak dalam penyelesaian perkara.

Pasal 34

Cukup jelas.

Pasal 35

Huruf a

(31)

PUSAT PEMANTAUAN PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG | 31 BADAN KEAHLIAN, SEKRETARIAT JENDERAL DPR RI

Cukup jelas.

Huruf b Cukup jelas.

Huruf c

Yang dimaksud dengan “kepentingan umum” adalah kepentingan bangsa dan negara dan/atau kepentingan masyarakat luas.

Mengesampingkan perkara sebagaimana dimaksud dalam ketentuan ini merupakan pelaksanaan asas oportunitas, yang hanya dapat dilakukan oleh Jaksa Agung setelah memperhatikan saran dan pendapat dari badan-badan kekuasaan negara yang mempunyai hubungan dengan masalah tersebut.

12

Huruf d

Pengajuan kasasi demi kepentingan hukum ini adalah sesuai dengan ketentuan undang-undang.

Huruf e Cukup jelas.

Huruf f Cukup jelas.

Pasal 36 Ayat (1)

Untuk memperoleh izin sebagaimana dimaksud pada ayat ini, tersangka atau terdakwa atau keluarganya mengajukan permohonan secara tertulis kepada Jaksa Agung atau pejabat yang ditunjuk sesuai dengan Keputusan Jaksa Agung.

Diperlukannya izin dalam ketentuan ini oleh karena status tersangka atau terdakwa yang sedang dikenakan tindakan hukum, misalnya berupa penahanan, kewajiban lapor, dan/atau pencegahan dan penangkalan.

Yang dimaksud dengan “tersangka atau terdakwa” adalah tersangka atau terdakwa yang berada dalam tanggung jawab kejaksaan.

Yang dimaksud dengan “dalam keadaan tertentu”, adalah apabila fasilitas pengobatan atau menjalani perawatan di dalam negeri tidak ada.

12

Putusan MK No. 29/PUU-XIV/2016 menyatakan Frasa "mengesampingkan perkara sebagaimana

dimaksud dalam ketentuan ini merupakan pelaksanaan atas asas oportunitas yang hanya dapat dilakukan

Jaksa Agung setelah memperhatikan saran dan pendapat dari badan-badan kekuasaan negara yang

mempunyai hubungan dengan masalah tersebut" dalam Penjelasan Pasal 35 huruf c Undang-Undang

Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945

dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai "Jaksa Agung wajib

memperhatikan saran dan pendapat dari badan-badan kekuasaan negara yang mempunyai hubungan

dengan masalah tersebut".

(32)

32 | PUSAT PEMANTAUAN PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG BADAN KEAHLIAN, SEKRETARIAT JENDERAL DPR RI

Ayat (2) Cukup jelas.

Ayat (3)

Selain rekomendasi dari dokter untuk berobat ke luar negeri, juga disyaratkan adanya jaminan tersangka atau terdakwa atau keluarganya berupa uang sejumlah kerugian negara yang diduga dilakukan oleh tersangka atau terdakwa.

Apabila tersangka atau terdakwa tidak kembali tanpa alasan yang sah dalam jangka waktu 1 (satu) tahun, uang jaminan tersebut menjadi milik negara.

Pelaksanaannya dilakukan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 37 Ayat (1)

Cukup jelas.

Ayat (2)

Laporan pertanggungjawaban yang disampaikan kepada Dewan Perwakilan Rakyat dilakukan melalui rapat kerja.

Pasal 38

Cukup jelas.

Pasal 39

Yang dimaksud dengan “menangani perkara pidana” dalam ketentuan ini adalah seluruh proses yang menjadi kewenangan kejaksaan sebagaimana ditentukan dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.

Pasal 40

Cukup jelas Pasal 41

Cukup jelas.

Pasal 42

Cukup jelas.

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4401

(33)

PUSAT PEMANTAUAN PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG | 33 BADAN KEAHLIAN, SEKRETARIAT JENDERAL DPR RI

LAMPIRAN II

PERTIMBANGAN HUKUM MAHKAMAH KONSTITUSI dalam Putusan Nomor 49/PUU-VIII/2010

[3.5] Menimbang bahwa para Pemohon mendalilkan hak konstitusionalnya telah dirugikan oleh berlakunya ketentuan Pasal 2 ayat (4) UU 14/2008 dengan alasan yang pada pokoknya sebagai berikut:

1. Para Pemohon adalah perseorangan warga negara Indonesia yang hak-hak konstitusionalnya sebagaimana diatur dalam Pasal 28A, Pasal 28D ayat (1), Pasal 28I ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945 dirugikan atau setidaknya berpotensi dirugikan oleh berlakunya Pasal 35 huruf c berikut Penjelasannya dalam UU 16/2004;

2. Para Pemohon adalah Sebagian korban dari suatu peristiwa pidana penganiayaan yang terjadi pada tanggal 18 Februari 2004 dan diduga dilakukan oleh seorang Polisi yang bernama Novel yang pada waktu itu berpangkat Inspektur Satu Polisi (Iptu);

3. Terhadap perkara penganiayaan yang diduga dilakukan oleh Tersangka Novel baru dilimpahkan oleh Jaksa Penuntut Umum ke Pengadilan Negeri Bengkulu untuk disidangkan sekitar tanggal 29 Januari 2016. Namun, ternyata setelah ditetapkannya hari persidangan, Jaksa Penuntut Umum menarik Surat Dakwaan dengan alas an untuk diperbaiki/disempurnakan. Alih-alih memperbaiki/menyempurnakan Surat Dakwaan, Jaksa Penuntut Umum justru mengeluarkan Surat ketetapan Penghentian Penuntutan Nomor B- 03/N.7.10/E.p.1/02/2016, tanggal 22 Februari 2016 (“SKP2”) untuk menghentikan penuntutan dalam kasus tersebut dengan alasan tidak cukup bukti dan telah daluwarsa. SKP2 a quo telah dilakukan upaya hukum Praperadilan ke Pengadilan Negeri Bengkulu pada tanggal 1 Maret 2016 sebagaimana terdaftar dalam perkara Nomor 02/PID.PRA/2016/PN.Bgl., dan pada tanggal 31 Maret 2016 Pengadilan Negeri Bengkulu telah mengeluarkan putusan yang pada intinya menyatakan SKP2 tidak sah. Menyikapi putusan Praperadilan itu, Jaksa Agung membuka peluang untuk melakukan pengesampingan perkara demi kepentingan umum (seponering) berdasarkan Pasal 35 huruf c UU Kejaksaan;

4. Bahwa berdasarkan uraian tersebut di atas, menurut para Pemohon, hak konstitusional para Pemohon yang dijamin dalam Pasal 28A, Pasal 28D ayat (1), Pasal 28I ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945, yaitu (i) hak untuk hidup dan mempertahankan kehidupan, (ii) pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian huku, (iii) hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan (iv) bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apapun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu, dirugikan atau setidak-tidaknya potensial oleh berlakunya ketentuan Pasal 35 huruf c UU 16/2004 berikut penjelasannya;

[3.6] Menimbang bahwa berdasarkan pertimbangan dalam paragraph [3.3] sampai dengan paragraph [3.5], Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut:

[3.6.1] Bahwa berdasarkan bukti P-3 dan bukti P-4, para Pemohon benar perseorangan warga negara Indonesia;

[3.6.2] Bahwa para Pemohon memiliki hak konstitusional yang dijamin oleh UUD

(34)

34 | PUSAT PEMANTAUAN PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG BADAN KEAHLIAN, SEKRETARIAT JENDERAL DPR RI

1945 khususnya dalam Pasal 28A, Pasal 28D ayat (1), Pasal 28I ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945;

[3.6.3] Bahwa para Pemohon adalah korban dari suatu tindal pidana yang diduga dilakukan oleh seorang Polisi berpangkat Inspektur Satu Polisi (Iptu) bernama Novel yang kasusnya kemudian ke Pengadilan Negeri Bengkulu. Terhadap SKP2 tersebut kemudian ditempuh upaya praperadilan dan SKP2 tersebut dinyatakan tidak sah.

Atas hal tersebut, menurut para Pemohon, Jaksa Agung akan menggunakan Pasal 35 huruf c UU 16/2004 untuk mengenyampingkan perkara demi kepentigan umum.

Berdasarkan hal tersebut, tindakan yang akan dilakukan Jaksa Agung menggunakan Pasal 35 huruf c UU 16/2004 terhadap suatu tindak pidana yang diduga dilakukan oleh Inspektur Satu Polisi (Iptu) bernama Novel yang SKP2-nya oleh Pengadilan Negeri Bengkulu sudah dinyatakan tidak sah, menurut Mahkamah, sesuai penalaran yang wajar jelas berpotensi merugikan hak konstitusional para Pemohon selaku korban;

[3.6.4] Bahwa kerugian potensial hak konstitusional para Pemohon tersebut memiliki hubungan sebab akibat (casual verband) dengan berlakunya Pasal 35 huruf c UU 16/2004 berserta Penjelasan Pasal 35 huruf c yang apabila dikabulkan maka kerugian potensial hak konstitusional para Pemohon seperti yang didalilkan oleh para Pemohon tidak lagi terjadi;

Berdasarkan pertimbangan di atas, Mahkamah menilai, para Pemohon secara potensial dirugikan oleh berlakunya ketentuan Pasal 35 huruf c UU 16/2004 berserta Penjelasan Pasal 35 huruf c, sehingga para Pemohon memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan a quo;

[3.7] Menimbang bahwa oleh karena Mahkamah berwenang mengadili permohonan a quo dan para Pemohon memiliki kedudukan hukum (legal standing) untuk mengajukan permohonan a quo maka Mahkamah selanjutnya akan mempertimbangkan pokok permohonan;

Dalam Provisi

[3.8] Menimbang bahwa terhadap tuntutan provisi para Pemohon agar Mahkamah menjatuhkan putusan sela sebelum menjatuhkan putusan akhir, Mahkamah berpendapat sebagai berikut:

Pada dasarnya dalam hukum acara Mahkamah Konstitusi putusan sela hanya

dapat diberikan terhadap permohonan Sengketa Kewenangan Lembaga Negara yang

Kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar sebagaimana diatur dalam

Pasal 63 UU MK, namun Mahkamah pernah menjatuhkan putusan sela dalam

permohonan pengujian Undang-Undang dengan pertimbangan sangat khusus, yaitu

dalam Putusan Mahkamah Nomor 133/PUU-VIII/2009 bertanggal 25 November 2009,

dengan pertimbangan untuk mencegah kemungkinan kerugian konstitusional para

Pemohon apabila menjadi terdakwa karena diberhentikan secara tetap oleh Presiden,

padahal dasar hukum atau pasal Undang-Undang yang akan menjadi dasar dalam

pemberhentian tersebut sedang dalam proses pengujian konstitusionalnya di

Mahkamah. Adapun terkait dengan permohonan para Pemohon, menurut penilaian

(35)

PUSAT PEMANTAUAN PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG | 35 BADAN KEAHLIAN, SEKRETARIAT JENDERAL DPR RI

Mahkamah, tidak terdapat hal yang sangat mendesak sekali atau sangat penting yang berakibat langsung dengan keselamatan diri para Pemohon apabila Pasal 35 huruf c UU 16/2004 tetap berlaku seperti yang terjadi pada para Pemohon dalam Putusan Mahkamah Nomor 133/PUU-VIII/2009 bertanggal 25 November 2009.

Berdasarkan pertimbangan tersebut, menurut Mahkamah, permohonan provisi para Pemohon tidak beralasan menurut hukum sehingga harus ditolak;

Dalam Pokok Permohonan

[3.9] Menimbang bahwa para Pemohon mendalilkan yang pada pokoknya Pasal 35 huruf c UU 16/2004 berserta Penjelasan Pasal 35 huruf c bertentangan dengan Pasal 28A, Pasal 28D ayat (1), Pasal 28I ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945;

[3.10] Menimbang bahwa setelah Mahkamah memeriksa dengan seksama permohonan para Pemohon, keterangan Presiden, keterangan DPR, bukti surat/tulisan para Pemohon, ahli para Pemohon, ahli Presiden, serta kesimpulan para Pemohon, Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut:

[3.10.1] Dalam sistem hukum dikenal dua asas, yaitu asas legalitas dan asas oportunitas. Asas legalitas memiliki pengertian bahwa semua perkara yang cukup bukti dilimpahkan ke Pengadilan. Negara yang menganut asas legalitas, antara lain, Jerman, Austria, Italia, Spanyol, Portugal, Swedia. Adapun asas oportunitas adalah asas yang memiliki pengertian bahwa tidak semua perkara dilimpahkan ke pengadilan namun dapat diberhentikan penuntutannya demi kepentingan hukum oleh Jaksa. Negara yang menganut asas oportunitas, antara lain, Belanda, Perancis, Belgia, Jepang, termasuk Indonesia.

[3.10.2] Menurut Soepomo, “baik di negeri Belanda maupun di Hindia Belanda yang berlaku asas oportunitas dalam tuntutan pidan aitu artinya badan penuntut umum berwenang tidak melakukan suatu penuntutan jikalau adanya tuntutan itu dianggap tidak “opportuun” tidak guna kepentingan masyarakat”; (Soepomo, Sistem Hukum di Indonesia Sebelum Perang Dunia II, Pradnya Paramita, Jakarta, 1981, hal. 137).

Pemberlakuan asas oportunitas di Indonesia tertuang di dalam Pasal 167 Strafvordering 1926 dan Reglement op de Rechterlijke Organisatie en het Beleid der Justitie (RO). Dengan demikian, asas tersebut berlaku di Indonesia sudah sejak zaman Hindia Belanda dan tetap dipertahankan hingga saat ini. Pertanyaan selanjutnya adalah apakah asas oportunitas tersebut bertentangan dengan UUD 1945 atau tidak bertentangan dengan UUD 1945;

[3.10.3] Asas oportunitas yang dianut dalam sistem hukum Indonesia tidak dimaksudkan untuk mengabaikan hak konstitusional warga negara yang dijamin oleh UUD 1945, apalagi menghilangkan hak konstitusional warga negara. Asas oportunitas adalah asas yang terdapat dalam sistem hukum yang dianut oleh banyak negara yang juga menjunjung tinggi hak asasi manusia, seperti Belanda dan Perancis.

Bahkan di Amerika Serikat yang dalam sistem hukumnya tidak menganut asas

legalitas dan asas oportunitas dalam praktiknya menerapkan asas diskresi

penuntutan, sedangkan di Inggris yang juga tidak menganut asas legalitas dan asas

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan pada fenomena, survey awal yang telah dilakukan dan merujuk pada beberapa hasil penelitian sebelumnya, maka peneliti tertarik membahas mengenai peran brand image dalam

Dari penelitian ini bisa dilihat berbagai permasalahan global seperti Bagaimana sejarah Ritus Mandi Safar di Desa Air Hitam Laut ini, siapakah pelopor tradisi Ritus

Ketentuan lebih lanjut mengenai penjatuhan sanksi Ormas, ormas badan hukum yayasan asing atau sebutan lainnya, dan Ormas badan hukum yayasan yang didirikan warga

Berdasarkan hasil kajian dan evaluasi pemantauan pelaksanaan UU PWP3K, dapat disimpulkan bahwa materi muatan dalam UU PWP3K belum cukup memadai digunakan sebagai dasar

Hubungan antara BP Migas dan Badan Hukum atau Bentuk Usaha Tetap yang mengelola Migas dilakukan dalam bentuk Kontrak Kerja Sama (selanjutnya disebut KKS)

“Menyatakan frasa “mengesampingkan perkara sebagaimana dimaksud dalam ketentuan ini merupakan pelaksanaan atas asas oportunitas yang hanya dapat dilakukan oleh Jaksa

@All Right Reserved Hak Cipta dilindungi Undang undang RENSTRA Dr Abdurrahman Hi Usman, S Pd, SH, M Pd RENCANA STRATEGIS PENGEMBANGAN Dr Agus, M Pd I INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI

Ketentuan mengenai penggunaan setiap informasi melalui media elektronik yang menyangkut data pribadi seseorang harus dilakukan atas persetujuan orang yang