• Tidak ada hasil yang ditemukan

Mistifikasi Kampus dan Ruang Kelas.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Mistifikasi Kampus dan Ruang Kelas."

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)
(2)
(3)

3

Mistifikasi Kampus dan Ruang Kelas

Menyoal Pendidikan dan Kepemilikkan

Wahyu Budi Nugroho&Fadhillah Sri Meutia

Abstract

This study pursues to seek campus and classes mystifying indications and its implications. Contradictory with the study of socio-culture normative argument where demystification or de-sanctification occurs because of rationalization and quantification, mystifying indications in this study occurs because both of them. Furthermore, this study also pursues the educational institution sanctification process through the perspective of spatial sociology (the sociology of space) which is formed as place-non-place. Attaching the spatial categorization which occurs some indications, such as; throwness, sameness, an anxiety/angst, and care . At last, this study is concluded with a quite surprising conclusion at which higher education institutions become eventful of study process from nonformal course institution in order to mystify territorial or non-territorial borders effects.

Keywords; campus mystifying, class mystifying, nonformal course.

Abstrak

Tulisan ini berupaya menelisik timbulnya gejala mistifikasi kampus dan ruang kelas beserta implikasi yang dibawanya. Membalikkan argumen normatif pengkajian sosiologi budaya di mana demistifikasi atau desakralisasi terjadi akibat rasionalisasi dan kuantifikasi, gejala mistifikasi dalam pembahasan ini justru terjadi akibat kedua hal tersebut. Lebih jauh, tulisan ini turut mengkaji proses sakralisasi institusi pendidikan melalui perspektif sosiologi ruang yang menemui wujudnya sebagai tempat

-bukan-tempat (place-non-place). Disertakan pula kategorisasi ruang yang menimbulkan serangkaian gejala layaknya; keterlemparan, persamaan,

kegelisahan, serta perhatian . Terakhir, tulisan ini ditutup dengan

simpulan cukup mengejutkan di mana institusi perguruan tinggi justru

Sosiologi Universitas Udayana.

(4)

4 sarat belajar dari lembimjar (lembaga bimbingan belajar) guna mendemistifikasi sekat-sekat teritori maupun nonteritori yang diciptakannya.

Kata kunci; mistifikasi kampus, mistifikasi kelas, lembimjar.

…untuk menilai sesuatu, Anda harus mengalaminya secara langsung. [Bronislaw Malinowski, Argonauts of theWest Pacific]

Pendahuluan: Mistifikasi, Ketabuan, dan Kemalu-maluan

Semenjak komodifikasi pendidikan menggejala secara mafhum, tanpa disadari ia telah mengalienasi banyak hal. Dalam hal ini, tak terkecuali mereka yang tak berpunya, melainkan pula elemen-elemen atau manusia-manusia yang terdapat dalam institusi pendidikan itu sendiri. Institusi kampus yang ter(r)uangkan 1 tak sekedar memunculkan privatisasi di ranah fisik, tetapi juga fragmentasi mentalitas sehingga pengetahuan seolah memiliki batasan-batasan yang keras dan tak boleh terlampaui antarsatu sama lain. Ambilah misal mereka yang mengambil suatu disiplin dalam studinya, maka hingga mengenakan toga nanti akan tetap terkungkung dalam disiplinnya. Meskipun memang, beberapa kampus atau fakultas telah menelurkan kebijakan-kebijakan inovatif seperti kuliah lintas jurusan (prodi) atau lintas fakultas, namun, hal ini dirasa masih membatasi intuisi kepengetahuan mengingat pilihan pada kuliah-kuliah lintas departemen tersebut dibatasi oleh SKS (Sistem Kredit Semester).

Disadari atau tidak, secara tak langsung kampus pun menjadi agen-agen pencetak one dimensional man manusia satu dimensi. Istilah tersebut, meminjam terminus yang dicetuskan Herbert Marcuse (1964: 15), hanya saja dengan kontekstualisasi berbeda; tak menunjuk pada kesadaran manusia modern yang sekedar dikonstruksi oleh media, tetapi kesadaran peserta didik yang terdangkalkan oleh kurikulum sehingga berpikiran disiplin

-sentris dan tak mampu menyerap epistemologi keilmuan secara holistik. Dampak ikutan dari filosofi keilmuan parsial tersebut pun menyebabkan peserta didik tak mampu melakukan pembacaan berikut analisis realitas sosial secara (manjamah) utuh, atau setidaknya secara silang-perspektif demi menghindari kebekuan fenomena yang diamati. Ini sudah tentu menyalahi semangat intelektual zaman, di mana sejak hadirnya cultural studies—juga kelanjutannya: after-Bourdieu—sekat-sekat antardisiplin tak

(5)

5 lagi ada, ibarat liquid modernity-postmodernity cetusan Zygmunt Bauman (dalam Jacobsen & Poder, 2008: 24-25); segala sesuatu mencair dan mengalir (menjalar) kemanapun.

Di samping timbulnya beragam persoalan di atas, ihwal yang kerap kali luput dari penginderaan kita adalah hadirnya atmosfer atau aura

mistis berbagai institusi pendidikan yang ada, terlebih, beberapa universitas tanah air telah menelurkan kebijakan tegas tentang larangan memasuki lingkungan kampus bagi publik atau masyarakat umum di luar civitas akademika. Terang, hal ini membuat lingkungan kampus kian elit, eksklusif, dan sekedar menegaskan eksistensinya bagi kalangan tertentu. Dimensi separatis yang dibangunnya pun tak hanya bersifat teritorial, melainkan pula nonteritorial, yakni terkait dikotomi kognitif dan mentalitas; publik dengan pemikiran kampus , serta publik dengan pemikiran nonkampus . Keterjagaan atau keterpeliharaan kampus dari dunia luar inilah yang kemudian melahirkan aura kesakralan tersendiri, seolah kampus merupakan institusi dengan kemurnian nilai yang semurni-murninya. Serangkaian semat metafisik-hiperbolis itulah yang pada

gilirannya menimbulkan kemistisan dunia kampus; seakan kita tak dapat membincangnya secara sepele, sembarangan, melainkan sarat dalam atmosfer penuh ketabuan dan kemalu-maluan. Hal ini mengingat, kampus sekedar ditujukan bagi manusia-manusia tertentu; juga ruang-ruang kelas di dalamnya.

Mistifikasi melalui Kuantifikasi

Dalam subbab ini, kita hendak membalikkan argumen Max Weber (dalam Schecter, 2010: 53) tentang terjadinya gejala desakralisasi akibat rasionalisasi dan kuantifikasi. Dinyatakan olehnya, ketika laju rasionalisasi telah melanda situs maupun ritus kebudayaan, maka yang terjadi selanjutnya adalah: disenchantment of the world hilangnya pesona dunia .

(6)

6 orang dapat mengaksesnya. Lambat-laun, pertanyaan seputarnya pun tergerus, bahkan hilang sama sekali; kompleks tersebut menjadi tempat biasa, pun mengalami desakralisasi. Hal serupa sesungguhnya turut terjadi pada banyak kompleks percandian di tanah air; yang seyogyanya merupakan tempat ritual (ibadah), berubah menjadi tempat wisata.

Di ranah ritus atau tindakan/aktivitas kebudayaan, kita dapat memisalkan dengan tari bedhaya (baca: bedoyo) asal Keraton yang dahulu dianggap begitu sakral dan mistis, pun sekedar keluarga kerajaan berikut tamu-tamu kehormatan kerajaan yang dapat menyaksikannya. Kini, dengan ditampilkannya tarian tersebut bagi setiap pengunjung yang datang, pesonanya pun memudar, dalam arti, tak ditemui lagi dimensi mengusik lagi menggoda dari tarian tersebut—ia menjadi biasa saja. Lalu, bagaimana kita dapat membalikkan argumen Weber di atas, bahwa mistifikasi pun dapat terjadi melalui kuantifikasi. Di sini, kita perlu menilik kembali argumen George Simmel (dalam Duncan, 1997: 20-21) tentang kemampuan uang dalam menguantitatifkan segala sesuatu. Meskipun pemikiran tersebut benar adanya, namun perlu diingat jika tak semua lapisan masyarakat memiliki kemampuan finansial setara. Ini artinya, uang pun memiliki kekuatan untuk membatasi akses seseorang dan membuat sesuatu tak terjamah.

Sebagai misal, kajian cultural studies tentang struktur mall di mana semakin ke atas, lantai mall semakin eksklusif dan mengetalase barang-barang dengan bandrol selangit. Karuan, kita dapat membayangkan psikis dan mentalitas mereka dengan daya beli lemah tatkala memasuki outlet-outlet tersebut; gugup, keringat dingin mengucur, kikuk, salah tingkah, pun segera ingin lepas dari ketidaknyamanan ruang terkait. Berbagai gejala tersebut tak ubahnya gejala ketika kita memasuki tempat angker lagi mistis; kita tak seharusnya berada di situ, tempat itu memiliki aturan dan cara bertindak yang khas (khusus/spesifik), dan kita urung memahaminya.

Di sisi lain, fenomena di atas memiripkan bentuknya sebagai gejala

(7)

7 berpenampilan, merasa tak layak menempati kasur springbed, dan berbagai gestur serta tingkah laku lain yang tak jarang membuat kita tersenyum ataupun tertawa. Parahnya, kesemua itu dianggap sebagai hiburan.

Lebih jauh, pengkajian ini dapat bermuara pada konsep fethisme komoditas besutan Karl Marx dan Jean Baudrillard. Bagi Marx (dalam Lee, 2006: 23-24), fethisme komoditas menunjuk pada pendewaan benda akibat berbagai kualitas metafisik yang sengaja disematkan padanya. Dengan demikian, nilai guna suatu benda seolah jauh melampaui nilai aslinya, inilah yang secara tak langsung menimbulkan pemujaan atas suatu benda. Di satu sisi, Baudrillard (2006: 54) melacak gejala fethisme komoditas melalui pergeseran makna akan suatu entitas. Makna yang seyogyanya bersifat esensial dan berada di dalam, kemudian sengaja dikeluarkan dan bersifat eksistensial. Tataran makna di level permukaan inilah yang ditujukan untuk mempesona, dan pada gilirannya menimbulkan pendewaan. Nyatanya, dunia perguruan tinggi pun tak terlepas dari permainan makna tersebut. Dewasa ini, kerap dijumpai kampus-kampus dengan slogan seperti; research university, atau world class university. Sesungguhnya, berbagai slogan tersebut merupakan upaya guna memunculkan makna di permukaan. Seketika, kampus-kampus tersebut pun menjadi simbol, mengingat ukuran slogan yang idealnya termanifestasi sebagai aktivitas di dalam , justru termanifestasi lewat serangkai kata di luar; pemujaan dan pendewaan atasnya pun tak terhindarkan kemudian.

Fenomenologi Ruang Kelas: Tempat-bukan-tempat

Dunia dan seisinya menghampar begitu saja, manusialah yang mengklasifikasi ke dalam kategori-kategori seperti daratan atau perairan. Selanjutnya, daratan pun masih terbagi, yakni dataran rendah atau dataran tinggi; begitu pula dengan perairan, perairan dangkal atau perairan dalam, dan demikian seterusnya hingga dunia yang tak tahu-menahu ini terpetak-petak oleh kualitas-kualitas nilai buatan manusia. Seiring berjalannya waktu, manusia pun tak menerima secara sui generic apa adanya landskap-landskap yang telah terkategori dan tersaji di hadapannya, bertitik tolak melalui inilah muncul kehendak dan kemampuan manusia dalam mencipta ruang.

(8)

sosio-8 filosofis. Sebagai misal, Henri Lavebvre dan kelompok Annales (dalam Scott, 2012: 224) yang mendaulat ruang dalam kerangka aktivitas (produksi) sosial dan terlepas dari ciri-ciri fisik yang mendasarinya. Di sini, kebernilaian ruang pun mengerucut pada ada-tidaknya aktivitas yang

menghasilkan . Pembatasan-pembatasan yang diciptakan ruang tersebut dapat dimisalkan dengan mudah lewat semat ruang ibadah , yang artinya, tak ada aktivitas lain yang diperbolehkan di ruang tersebut selain untuk beribadah. Begitu pula, kategori ruang kelas ; maka ia dimaksudkan untuk belajar, melakukan transfer pengetahuan yang seyogyanya bersifat dialogis; bukan sebagai tempat untuk jogging, melepas penat, atau rekreasi. Inilah mengapa, Michel Foucault (2002: xix) turut menyatakan eksistensi ruang sebagai tempat totalisasi aktivitas sosial dan sejarah dipadatkan.

Pertanyaannya, manakah yang lebih menonjol; dimensi keruangan itu sendiri, ataukah aktivitas yang terdapat di dalamnya?. Investigasi ini menghantarkan kita pada dua hal; Pertama, sang pembuat ruang, dan

Kedua, sang penempat (baca: pengguna) ruang. Hal ini mengingat, sang pembuat ruang tak melulu sekaligus menjadi penempat ruang.

Membalikkan dalil eksistensialisme yang berbunyi, eksistensi mendahului esensi , agaknya terciptanya ruang sebagai buah kesengajaan menunjukkan esensi yang mendahului eksistensi. Artinya, ruang tersebut telah terlebih dahulu direncana, serta diberikan nilai tentang maksud dan tujuan keberadaannya. Di sini, kita melihat betapa dimensi ruang fisik lebih kental terasa ketimbang bentuknya sebagai aktivitas—ia sengaja dihadirkan.

(9)

9 Pertama-tama, kita perlu mendefinisikan kembali maksud dan tujuan hadirnya ruang kelas. Sebagaimana telah disinggung sebelumnya, secara manifes ruang kelas dihadirkan untuk melangsungkan proses transfer pengetahuan. Namun, ihwal unik yang selalu melekat ialah eksistensinya yang terbagi. Sebagai misal, sebuah fakultas yang memiliki lima prodi (program studi)2, maka ruang kelas tersebut tak menjadi hak milik salah satu prodi, melainkan kelimanya. Boleh jadi, ketika mahasiswa menggunakan kelas tersebut—sesuai jadwal—mereka merasa sah, berhak, dan memiliki kelas tersebut. Akan tetapi, bagaimana pasca SKS pertemuan kelas terpenuhi dan berganti dengan kelas berikut dosen prodi yang lain?3 Sejurus, ruang kelas tersebut menjadi asing, tabu, bahkan terlarang. Gejala-gejala ini tak lain disebabkan oleh rezim birokrasi kampus yang mensyaratkan mahasiswa memasuki kelas sesuai prodi berikut prosedur administratif yang dibayarnya.

Hingga titik ini, kita menemui keberadaan kelas sebagai ruang temporer. Dalam kesementaraan itu, ia dapat dimiliki dan ditempati, namun sekejap, ia berubah menjadi tempat terlarang lagi tabu. Ini mengingat, keberadaannya ditujukan bagi ihwal atau orientasi yang lebih tinggi; bukan sebagai ruang transfer ilmu an-Sich, melainkan sebagai prasyarat berdiri atau dijuluknya bangunan bernama kampus, perguruan tinggi, atau universitas. Dengan kata lain, tanpa ruang-ruang kelas, perguruan tinggi atau universitas tidaklah ada. Oleh karenanya, dapatlah ditilik betapa fungsi laten dari ruang kelas lebih dominan ketimbang fungsinya secara manifes—sebagai prasyarat administratif yang mendasari seluruh aktivitas di dalamnya. Jika demikian, lalu apa yang membedakan bangku kelas dengan bangku-bangku yang terdapat di rumah makan cepat saji?. Bangku-bangku rumah makan cepat saji dihadirkan untuk mengingkari tujuannya sendiri, ia tak ditujukan bagi pelanggan, melainkan orientasi yang melampauinya: akumulasi profit secara cepat. Inilah mengapa, George Ritzer (1996: 198) mengatakan jika sering kali bangku-bangku rumah makan cepat saji sengaja dibuat tak nyaman agar pelanggan tak betah berlama-lama, begitu pula dengan interior ruang yang mencolok

dan terkesan menekan . Baik kemiripan gejala yang terdapat pada bangku ruang kelas maupun bangku rumah makan cepat saji kiranya menyebabkan keduanya dapat didaulat sebagai tempat-bukan-tempat ; tempat yang

2 Dapat pula departemen atau jurusan.

3Inilah mengapa, kita sering menyebutnya sebagai “pergantian kelas”, sedang sesungguhnya

(10)

10 seyogyanya tak ditujukan sebagai tempat, melainkan bagi orientasi lain yang sengaja disembunyikan.

Bangku Kelas: Sebuah Keterlemparan

Semenjak suatu ruang berdiri bersama aktivitas yang menyertainya, maka sejak saat itulah da-Seinde atau dunia kecil dalam terminologi filsafat being Martin Heidegger (1962: 145) terbentuk. Dunia kecil ini tak ubahnya kenyataan kecil yang memiliki aturan-aturan sendiri, dan pada gilirannya membentuk dasein4 atau individu-individu di dalamnya. Ruang kelas, sebagaimana dunia kecil tersebut, seakan tercerabut dari dunia luar dan memiliki hukum gravitasinya sendiri. Para mahasiswa sarat mengikuti aturan yang berlaku di dalamnya, ibarat menaiki moda transportasi umum, entah kereta atau bus, maka penumpang diharuskan mengikuti setiap arahan masinis atau sopir. Tentu, dalam ruang kelas, peran tersebut diemban oleh dosen. Ia berhak menentukan apa yang seharusnya dan tidak seharusnya dilakukan mahasiswa di kelas, menentukan siapa yang berhak dan tidak berhak mengikuti perkuliahan, serta memiliki kuasa penuh menentukan baik-buruk nilai akhir mahasiswa berdasar ukuran-ukuran subyektifnya; dan, atas kesemua itu, tak satu pun mahasiswa dapat mengelaknya. Di sini, kita tiba pada konsep tentang keterlemparan (Heidegger, 1962: 203).

Keberadaan bangku kelas sebagai keterlemparan tak terlepas dari pergeseran pendidikan sedari hak menjadi kewajiban. Sirnanya pendidikan sebagai hak terjadi seiring ketidakmampuan pemerintah menyediakan pendidikan bagi mereka yang tak berpunya. Dus, pendidikan pun menjadi kewajiban yang tak bisa ditawar-tawar lagi bagi kalangan berpunya demi berlangsungnya reproduksi kelas sosial. Lebih jauh, keterlemparan ini menjadi kian dalam ketika peserta didik menyadari bahwa pola pikir mereka sengaja dibentuk berdasar kapling keilmuannya—disiplin-sentris, dengan kata lain, mereka sengaja disamakan. Pada titik ini, sampailah kita pada konsep tentang persamaan . Sementara, bagi pembelajar ilmu-ilmu sosial-humaniora khususnya, faktual semakin mereka memahami konstruksi keilmuannya, maka semakin disadari bahwa pondasi disiplinnya berkait erat dengan berbagai disiplin sosial-humaniora lainnya. Kesadaran ini pulalah yang menghantar pada keinsyafan bahwa ruang kelas tak

4 Heidegger mengistilahkan manusia sebagai dasein; da: di sana, sein: ada. Istilah manusia

(11)

11 ubahnya tempat lokalisasi pengetahuan di mana manusia-manusia dengan kesadaran satu dimensi dicetak; bagaikan mereka yang terjebak di dalam sebuah kereta atau bus dan baru dapat terbebas setelah mencapai tujuannya—wisuda.

Bagi mereka yang memahami, proses persamaan ini akan melahirkan

kegelisahan (angst) dan perhatian (care) (Heidegger, 1962: 227-228). Kegelisahan bahwa diri mereka tak otentik berikut sekedar menjadi produk lingkungannya, serta perhatian dikarenakan ruang-ruang kelas (dunia-dunia kecil) tak berjalan sebagaimana mestinya. Kemalfungsian ruang kelas tersebut tak hanya terjadi pada ruang kelas yang didiami, melainkan pula pada ruang-ruang kelas lain yang tak dapat dimiliki: Mengapa kita tak dapat duduk di ruang kelas ilmu komunikasi atau ilmu hubungan

internasional ketika kita menjadi mahasiswa sosiologi? . Di sini, kita kembali

pada mistifikasi akibat kuantifikasi serta berbagai kualitas metafisik yang sengaja disematkan prodi pada institusinya; visi-misi prodi, tujuan prodi, standar kompetensi, prospek karier, dan lain sejenisnya; di mana kesemua itu mewujud sebagai eksklusivitas dan bermuara pada satu hal: pemujaan berikut pendewaan atas institusi.

Faktual, mistifikasi tersebut tak sekedar mendera peserta didik, tetapi juga manusia-manusia lain di lingkungan kampus. Pernahkah kita berpikir tentang perasaan karyawan/karyawati kampus yang setiap harinya bekerja menyiapkan ruang kelas; sedari pegawai kebersihan, teknisi perangkat kelas, hingga tata usaha. Mereka bekerja untuk aktivitas— belajar-mengajar—yang tak dimengertinya, atau tak dapat diaksesnya. Oleh karenanya, mereka pun turut mengalami keterlemparan, yakni dalam bentuk aktivitas yang telah ditentukan. Pada gilirannya, mereka pun merasakan persamaan dengan sesamanya, namun kiranya hanya sedikit saja yang mengalami kegelisahan dan mencapai perhatian , ini mengingat, telah demikian lamanya struktur kognitif terkooptasi oleh ide tentang klasifikasi sosial: bahwa setiap manusia memiliki perannya masing-masing. Alhasil, manusia-manusia ini pun mendiami dunia kecilnya dengan nyaman.

Penutup: Demistifikasi Ruang Kelas, Belajar dari Lembimjar5

Adalah lembimjar atau lembaga bimbingan belajar yang justru memiliki model pembelajaran emansipatoris. Institusi yang mempersiapkan

5 Sebagian diambil dari pengalaman penulis (Wahyu Budi Nugroho) saat menjadi tentor

(12)

12 siswa/i sekolah menengah atas menuju bangku perguruan tinggi ini agaknya begitu memperhatikan kenyamanan dan kesenangan para peserta didik. Konsekuensinya, kekuasaan tentor (pengajar) di kelas maupun manajer lembaga beserta perangkatnya tereduksi, beralih pada dominannya kehendak siswa. Meskipun memang, lembaga ini dituduh sangat berorientasi pada profit dan tak lepas dari praktek mistifikasi di level permukaan, namun setidaknya, ia memberi contoh tentang ketiadaan mistifikasi ruang-ruang kelas di dalamnya. Secara operasional, meskipun siswa/i telah memiliki jadwal belajarnya, mereka tetap dibebaskan memilih kelasnya. Bisa jadi, seorang siswa yang seharusnya memperoleh pelajaran bahasa Inggris di satu hari, memilih pelajaran sosiologi; dan begitu pula sebaliknya. Bahkan, siswa IPS pun dapat memasuki kelas IPA; pun sebaliknya dengan siswa IPA—dapat memasuki kelas IPS. Model pengelolaan aktivitas-ruang ini sama sekali tak menyirat keterlemparan mengingat siswa dibebaskan melompat dari satu dunia kecil ke dunia kecil lainnya, atau dengan kata lain, adanya keluwesan untuk memilih dan menjadi otentik.

Pertanyaannya, bagaimana penerapan pengelolaan aktivitas-ruang lembimjar pada dunia kampus?. Pertama, dominasi dosen di ruang kelas sarat direduksi layaknya tentor sehingga mahasiswa menjadi aktor, begitu pun dengan birokrasi kampus. Hal ini mengingat, apabila kita kembalikan pada kalkulasi kuantifikasi, sesungguhnya baik dosen maupun birokrasi kampus sedikit-banyak turut digaji oleh mahasiswa, terlebih kini dengan munculnya kebijakan UKT (Uang Kuliah Tunggal). Kedua, meniru model

kelas terbuka pada lembimjar, kiranya setiap perkuliahan di dunia kampus dapat diformat dalam bentuk kuliah umum sehingga baik mahasiswa lintas prodi maupun lintas fakultas selalu dapat mengaksesnya, sekalipun sekedar sit-in. Dengan demikian, cukup lewat satu bea administratif, setiap mahasiswa dapat mengembangkan keilmuannya secara bebas, seperti tumpahan air yang meresap dan menjalar kemanapun. Tentunya, tanpa melupakan landas-dasar keilmuannya.

(13)

13

Referensi

Baudrillard, Jean P., 2006, Ekstasi Komunikasi, Kreasi Wacana. Duncan, Hugh Dalziel, 1997, Sosiologi Uang, Pustaka Pelajar.

Foucault, Michel, 2002, The Order of Things: An Archeology of the Human Sciences, Routledge.

Fromm, Erich, 2001, Konsep Manusia menurut Marx, Pustaka Pelajar.

Marcuse, Herbert, 1964, One-Dimensional Man: Studies in the Ideology of Advanced Industrial Society, Beacon Press.

Heidegger, Martin, 1962, Being and Time, Basil Blackwell.

Jacobsen, Michael Hviid & Poul Poder, 2008, The Sociology of Zygmunt Bauman: Challenges and Critique, Ashgate.

Lee, Martyn J., 2006, Budaya Konsumen Terlahir Kembali, Kreasi Wacana. Ritzer, George, 1996, The McDonaldization of Society: An Investigation into

the Changing Character of Contemporary Social Life, Pine Forge Press.

Schecter, Darrow, 2010, The Critique of Instrumental Reason from Weber to Habermas, Continuum.

Scott, John, 2012, Teori Sosial: Masalah-masalah Pokok dalam Sosiologi, Pustaka Pelajar.

Wahyu Budi Nugroho, S.Sos., M.A. Merupakan sosiolog muda Universitas Udayana. Beberapa buku yang telah ditulisnya antara lain; Koruptorrajim: Surat-surat Cinta untuk KPK (bersama Edi Akhiles, dkk. [IRCiSoD, 2012]),

Orang Lain adalah Neraka: Sosiologi Eksistensialisme Jean Paul Sartre

(Pustaka Pelajar, 2013), Alienasi, Fenomenologi, dan Pembebasan Individu

(bersama Dr. M. Supraja [LOGIS, 2013]), dan lain-lain. Memiliki minat studi pada tema seputar pengkajian aktor dan agensi sosial. Hingga kini aktif menuangkan ide-idenya di http://kolomsosiologi.blogspot.com/. Penulis dapat dihubungi lewat surel wahyubudinug@yahoo.com.

Fadhillah Sri Meutia, A.Md., S.Sos., M.A. Menyelesaikan D3 Teknik Arsitektur dan S1 Sosiologi di Universitas Hasanuddin dalam waktu hampir bersamaan. Kemudian melanjutkan studi S2 di Jurusan Sosiologi, Fisipol-UGM. Saat ini aktif mengajar di UIN Alauddin-Makassar, STKIP Muhammadiyah-Enrekang, serta menjadi konsultan teknik salah satu perusahaan swasta Makassar. Memiliki minat studi pada tema seputar sosiologi ruang dan sosiologi arsitektur. Penulis dapat dihubungi lewat surel

Referensi

Dokumen terkait

Dalam melaksanakan pengangkatan anak lebih banyak menggunakan hukum adat yang berlaku di masyarakat Indonesia dan hukum Islam yang merupakan konsekuensi dari masyarakat Indonesia

[r]

Namun demikian perlu diketahui seberapa besar pengaruh yang telah ditimbulkan tersebut dan juga bagaimana aktivitas utama stasiun mempengaruhi aktivitas perekonomian, sehingga

Melihat banyaknya dukungan tersebut upaya pengembangan yang ada perlu ditindaklanjuti secara nyata, namun sebelum merealisasikan kawasan Pecinan sebagai kawasan wisata budaya

Memiliki Tempat/Ruang Pelaksanaan uji kompetensi sebagaimana kriteria tercantum pada format IV , dengan memperoleh skor 

It is not only a written status that establishes a cultural representation but also pictures that promote a certain social context comprehended by the users of Facebook.. No one but

Sangat sesuai dengan watak dan karakter 90-100 Sesuai dengan watak dan karakter 80-89 Cukup sesuai dengan watak dan karakter 75-79 Kurang sesuai dengan watak dan karakter Tidak

sebagai komponen utama agroforest untuk mebel dan bahan bangunan dapat mengganggu pola pemanfaatan lahan dengan konsep agroforest dan upaya konservasi tanah di kawasan