• Tidak ada hasil yang ditemukan

TRADISI NURUNKEN KALAK MATE CAWIR METUA DALAM MASYARAKAT KARO DISERTASI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "TRADISI NURUNKEN KALAK MATE CAWIR METUA DALAM MASYARAKAT KARO DISERTASI"

Copied!
353
0
0

Teks penuh

(1)

DISERTASI

Oleh

MUHAMMAD ALI PAWIRO NIM 108107013 PROGRAM DOKTOR (S3) LINGUISTIK

FAKULTAS ILMU BUDAYA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2017

(2)

DISERTASI

Oleh

MUHAMMAD ALI PAWIRO NIM 108107013 Program Doktor (S3) Linguistik dan Konsentrasi Kajian Tradisi

Lisan

FAKULTAS ILMU BUDAYA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2017

(3)

DISERTASI

Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor dalam Program Doktor Linguistik pada Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara di bawah pimpinan Rektor Sumatera Utara Prof. Dr. Runtung Sitepu, SH., M.Hum. dan dipertahankan di hadapan sidang

Terbuka Senat Universitas Sumatera Utara

Oleh

MUHAMMAD ALI PAWIRO NIM: 108107013

Program Doktor (S3) Linguistik

FAKULTAS ILMU BUDAYA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2017

(4)

Nomor Pokok : 108107013

Program Studi : Program Doktor (S3) Linguistik

Menyetujui,

Komisi Pembimbing

(Prof. Dr. Robert Sibarani, M.S.) Promotor

(Prof. Hamzon Situmorang, M.S., Ph.D.) (Dr. Matius C.A. Sembiring, M.A.) Co-Promotor 1 Co-Promotor 2

Ketua Program Studi Dekan

(Prof. T. Silvana Sinar, M.A., Ph.D.) (Dr. Budi Agustono, M.A.)

Tanggal lulus:

(5)

PANITIA PENGUJI DISERTASI

Pemimpin Sidang:

Prof. Dr. Runtung Sitepu, S.H., M.Hum. (Rektor USU)

Ketua: Prof. Dr. Robert Sibarani, M.S. (USU Medan)

Anggota: Prof. T. Silvana Sinar, M.A., Ph.D. (USU Medan) Prof. Hamzon Situmorang, M.S., Ph.D. (USU Medan) Dr. Matius C.A. Sembiring, M.A. (USU Medan) Prof. Dr. Ikhwanuddin Nasution, M.Si. (USU Medan)

Dr. Asmyta Surbakti, M.Si. (USU Medan)

Dr. Muhammad Takari, M.Hum. (USU Medan)

Dengan Surat Keputusan Rektor Universitas Sumatera Utara No :

Tanggal :

(6)

Prof. Dr. Robert Sibarani, M.S.

Prof. Hamzon Situmorang, M.S., Ph.D.

Dr. Matius C.A. Sembiring, M.A.

(7)

Prof. T. Silvana Sinar, M.A., Ph.D.

Prof. Dr. Ikhwanuddin Nasution, M.Si.

Dr. Asmyta Surbakti, M.Si.

Dr. Muhammad Takari, M.Hum.

(8)

Judul Disertasi

TRADISI NURUNKEN KALAK MATE CAWIR METUA DALAM MASYARAKAT KARO

Dengan ini penulis menyatakan bahwa disertasi ini yang disusun sebagai syarat untuk memperoleh gelar Doktor Linguistik pada Program Studi Linguistik Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara adalah benar merupakan hasil karya penulis sendiri.

Ketika melakukan pengutipan-pengutipan terhadap bagian-bagian tertentu dari berbagai karya orang lain, penulis telah mencantumkan sumbernya secara jelas sesuai dengan norma, kaidah, dan etika penulisan ilmiah.

Apabila di kemudian hari ternyata ditemukan seluruh atau sebagian disertasi ini bukan hasil karya penulis sendiri atau adanya plagiat dalam bagian-bagian tertentu, penulis bersedia menerima sanksi pencabutan gelar akademik yang penulis sandang dan sanksi lainnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Medan, Januari 2017

Muhammad Ali Pawiro

(9)

Saya persembahkan karya Adhiluhung ini kepada

§ Orang tua Terkasih

Rono Pawiro (Alm) dan Saparinah (Almh)

§ Mertua (Mama dan Mami) Tercinta Y. Sembiring dan M. Perangin-angin

§ Isteri Tersayang

Rosianna Br. Sembiring, SST., M.Kes.

§ Anak-anak tercinta Farouk Ali Pawiro Fatihuz-Dzaky Ali Pawiro

Muzhaffar Ali Pawiro Raihan Ali Pawiro

§ Masyarakat Karo umumnya dan khususnya mereka yang tinggal di Kabupaten Karo

(10)

ABSTRAK

Disertasi ini terutama difokuskan pada studi teoritis dan metodologis terhadap tradisi lisan dan pragmatika, dengan perhatian khusus pada isu-isu tradisi (atau ritual kematian) Nurunken Kalak Mate Cawir Metua (NKMCM), kearifan lokal, revitalisasi budaya, dan maksim kearifan. Beberapa aspek tentang bentuk dan isi dari tradisi menjadi pusat perhatian. Kabupaten Karo secara administratif di bawah Provinsi Sumatera Utara. Proyek penelitian ini bersifat multidisiplin dan dengan demikian penelitian ini secara metodologis jamak meskipun pendekatan utama untuk tradisi lisan didasarkan pada gagasan bahwa NKMCM adalah imaji yang terkonstruksi secara sosial. Banyak aktor dari tradisi ini adalah tuan tanah atau para petani lepas yang tentu saja terlibat di dalam keberhasilan tradisi itu sendiri.

Penelitian ini bersifat kualitatif. Penyelidikan terhadap tradisi ini didasarkan atas pengumpulan data lapangan yang dilaksanakan di Desa Dolat Rayat pada Senin, 14 Januari 2013. Secara khusus, data diperoleh dari sebuah ritual kematian seorang wanita tua. Penelitian ini berusaha menganalisis berbagai isu yang terkait dengan perkembangan terkini dari NKMCM. Rumusan masalah adalah: bagaimanakah bentuk performansi; makna, fungsi, dan nilai-nilai kearifan lokal; dan model revitalisasi terhadap NKMCM? Subyek penelitian adalah semua pelayat yang terlibat di dalam pidato turut belangsungkawa dan kemudian, apa yang mereka utarakan dipilih secara acak untuk dijadikan sebagai bahan diskusi maksim kesantunan. Wawancara dilakukan dengan orang-orang lokal dengan menggunakan teknik bola salju bergulir (snow-ball) dan wawancara itu diadakan untuk mendukung pencarian makna dan fungsi, nilai dan norma, kearifan lokal dan model revitalisasi dan direkam dengan menggunakan audio-video. Tanggapan dari para informan ditranskripsikan secara manual pada lembar kertas.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa bentuk performansi dari NKMCM telah secara umum bergeser; salah satu pergeseran ini terkait dengan peran kalimbubu, anak beru, dan sembuyak. Makna, fungsi dan nilai-nilai kearifan lokal terbukti secara umum bertahan meskipun di beberapa sesi nilai-nilainya hilang, misalnya, jumlah orang menurun setelah makan siang. Pemeriksaan NKMCM mengungkapkan bahwa bentuk performansi, perkolong-kolong dan instrumen musik tradisional harus direvitalisasi dan dibawa kembali ke versi aslinya. Tradisi NKMCM terbukti menunjukkan harapan hidup dan dinamika rutinitas sehari-hari para pelayat. Meskipun NKMCM bukanlah sebuah tradisi yang telah mati namun masih masih perlu direvitalisasi karena tradisi ini dalam beberapa bagian terkikis, yang berarti bahwa tradisi ini mengalami perubahan bentuk dan beberapa proses disederhanakan untuk memenuhi tuntutan keadaan dari para pelayat yang bekerja di ladang atau di lembaga negara atau swasta. Dan akibatnya, beberapa pelayat tidak mempunya niat untuk berbicara meskipun mereka secara normatif memiliki hak untuk melakukannya; di samping itu, durasi NKMCM menjadi sedikit lebih pendek karena beberapa pelaku datang terlambat di pagi hari dan sebagai hasilnya, ritual tampak seperti sebuah jam karet. Hasil penelitian menyimpulkan bahwa

(11)

Meskipun model revitalisasi dari gerakan Wallace telah berhasil diterapkan di bidang studi etnografi dan ethnosejarah dari masyarakat di seluruh dunia (seperti yang dikatakan oleh Liebmann), revitalisasi adalah jauh lebih terdokumentasi dengan baik dalam konteks ritual kematian. Pemeriksaan NKMCM mengungkapkan bahwa bentuk dan isinya serta perkolong-kolong dan instrumen musik tradisional harus direvitalisasi dan dibawa kembali ke versi asli. Revitalisasi diharapkan memberi perubahan kepada para pemuda untuk ikut serta secara aktif di dalam pelaksanaan tradisi ini.

Kata kunci: Tradisi, cawir metua, bentuk, isi, kearifan lokal, model revitalisasi, maksim kearifan pragmatik

(12)

ABSTRACT

This dissertation is primarily focused on theoretical and methodological study of oral tradition and pragmatics, with special attention to the issues of the tradition (or the death ritual) of Nurunken Kalak Mate Cawir Metua (NKMCM), the local wisdoms, the cultural revitalization and the tact maxims. Some aspects of forms and contents of the tradition which is carried out by among the Karo Batak people living in Karo Regency becomes the focus. Karo Regency is administratively under the North Sumatera Province of Indonesia. First of all, it is stated that the research project is multidisciplinary and thus it is also methodologically plural though the primary approach to oral tradition is based on the idea that NKMCM is socially constructed image. The main organization of the NKMCM and many actors of the tradition, who are in majority landlords or free-lance farmers, are of course enganged in the success of the tradition itself.

This research is qualitative. The investigation into this tradition is based on the collection of field data held in the village of Dolat Rayat, Karo (KK), North Sumatra (Indonesia) on Monday, January 14, 2013. In particular, the data was obtained from a ritual death of an elderly woman. The main objective of this study is to provide an overview of Karo's tradition; therefore, this study seeks to analyze the issues related to the latest developments of NKMCM. The formulation of the problems is:

how is the form of performance; meaning, function, and the values of local wisdom;

and a model of revitalization of the NKMCM? Subjects were all mourners involved in speech condolences and then, what they uttered randomly selected to be used as a discussion of maxim of politeness. Interviews were conducted with local people using the technique of rolling snowball (snow-ball) and the interview was held to support the search for meaning and functions, values and norms, local knowledge and models of revitalization and recorded using audio-video. The response of the informants transcribed manually on a sheet of paper.

Specifically, the data was obtained from an elder woman’s death ritual. The subjects of this study were all actors who were invloved in the speech and then, they were randomly selected for the discussion of tact maxims. Interviews were conducted with local people using snow-ball technique and these interviews were held to support the search for the values of local wisdom and revitalization model and were recorded on audio-video. Responses were written manually on sheet of papers. A discussion about the running processes of the NKMCM is proved to show life expectancy and dynamics of the actors’ daily routines. Although the NKMCM is not the dying-out-tradition since it is still held either in glamour or in humble by the indigenous locals but such tradition is in some sessions eroded, meaning a few processes are simplified to meet the demands of the actors who should work in the fields or at state institutions or at private sectors. And consequently, some actors have no intention to speak although they are normatively having the right to do so;

in addition, the duration of the NKMCM is a little bit shorter because some actors come late in the morning and as a result, the ritual looks like a rubber watch. On the

(13)

indicated to remain still although a few sessions loose their values, for example, the number of people decreases after lunch time.

Although Wallace’s revitalization movement model has been successfully applied in the fields of ethnographic and ethnohistorical studies of societies throughout the world (as it was argued by Liebmann), revitalization is considerably less well- documented in death ritual contexts. An examination of the NKMCM reveals that its forms and contents as well as the perkolong-kolong and the traditional music intruments should be revitalized and brought back to the original version.

Key-words: Tradition, cawir metua, form, content, local wisdom, revitalization model, pragmatic maxims.

(14)

Pertama sekali, penulis mengucapkan Alhamdulillahi Rabbil ‘Alamin sebagai tanda syukur kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala yang telah melimpahkan segala nikmat yang tiada terhingga sehingga penulis berhasil menyelesaikan disertasi ini. Penulis juga menyampaikan salam kepada Nabi dan Rasul-Nya Muhammad SAW, manusia pilihan Allah, yang tiada tercela di dunia dan akhirat dan yang telah mendapatkan hak (dari Allah) untuk memberikan Syafaat kepada manusia di Akhirat.

Karena banyaknya hambatan di dalam penelitian dan penyelesaian disertasi ini, penulis menyadari dengan sungguh-sungguh bahwa penulis mendapatkan bantuan moril dan materil. Oleh karena itu, penulis memberikan ucapan terima kasih dan penghargaan setinggi-tingginya kepada:

1. DIRJEN DIKTI Kementerian Riset dan Pendidikan Tinggi yang telah memberikan beasiswa BPPS untuk tahun anggaran 2000/2011, 2011/2012, 2012/2013 dan perpanjangan bantuan beasiswa untuk Fase I terhitung sejak September 2013 hingga Februari 2014 dan telah juga memberikan ijin dan bantuan finansial kepada penulis untuk mengikuti Program Sandwich-Like di Universitas Leiden (Belanda).

2. Lembaga Kerajaan Belanda Koninklijk Instituut voor Taal-, Land- en Volkenkunde (K.I.T.L.V. Leiden) dan Universitas Leiden yang telah menerima penulis sejak Oktober-Desember 2011 sehingga penulis bisa melakukan penelitian Kepustakaan dalam bidang Budaya, Linguistik dan Adat-istiadat Batak Karo di lembaga dan institusi itu dan sekaligus juga melakukan studi banding ke ZEI (Zentrum fur Europaische Integrationsforschung) di Rheinische Friedrich-Wilhems-Universitat Bonn dan di Ratenstraught-Joest-Museum (yang dikenal sebagai Kulturer der Welt) di kota Cologne (keduanya di Jerman).

3. Bapak Prof. Dian Armanto, M.Pd., M.A., M.Sc., Ph.D. selaku Koordinator KOPERTIS Wilayah I Aceh dan Sumatra Utara (sekarang menjadi KOPERTIS Wilayah I Sumut) yang telah memberikan ijin belajar di Program Doktor Linguistik Universitas Sumatra Utara sejak awal pertengahan 2010.

4. Bapak Prof. Dr. Runtung Sitepu, M.Hum., sebagai Rektor Universitas Sumatera Utara.

5. Bapak Dr. Budi Agustono, M.S., sebagai Dekan Fakultas Ilmu Budaya USU.

6. Ibu Prof. T. Silvana Sinar, M.A., Ph.D. sebagai Ketua Program Studi Doktor Linguistik PPs USU yang telah memperkenankan penulis sebagai salah seorang mahasiswa Program Doktor di sini dan terimakasih kepada seluruh staf Tata Usaha.

7. Bapak Prof. Dr. Robert Sibarani, M.S., sebagai Promotor dan Prof. Hamzon Situmorang, M.S., Ph.D. dan Dr. Matius C.A. Sembiring, M.A., sebagai ko- Promotor yang telah memberikan segala daya dan upaya dalam penyelesaian penulisan disertasi ini.

8. Kepada seluruh Tim Penguji Luar Komisi: Prof. T. Silvana Sinar, M.A., Ph.D., Prof. Dr. Ikhwanuddin Nasution, M.Si., Dr. Asmyta Surbakti, M.Si dan Dr.

Muhammad Takari, M.Hum.

(15)

Prof. Paitoon M. Chaiyanara, Ph.D., Prof. Dr. Aron Meko Mbete, M.Sc., Dr.

Edddy Setia, M.Ed. TESP, Dr. Irawaty Kahar, M.Pd., dan Dr. T. Syarfina, M.Hum.

10. Ibu Prof. Dr. Pudentia MPSS, M.S. sebagai Ketua Asosiasi Tradisi Lisan Pusat yang telah memberi peluang kepada penulis untuk mendapatkan bantuan beasiswa untuk konsentrasi Kajian Tradisi Lisan.

11. Bapak Dr. Supandi, SH, M.Hum. (Hakim Agung pada Mahkamah Agung RI) yang telah memberikan bantuan moriil.

12. Kepada Pemerintah Kabupaten Karo terutama Dinas Kebudayaan dan Pariwisata atas pemberian ijin selama dua periode penelitian.

13. Kepada Pengurus Harian Yayasan Universitas Islam Sumatera Utara (UISU).

14. Kepada Prof. Dr. Ir. Muhammad Ass’ad, MSi. sebagai Rektor UISU dan seluruh Pembantu Rektor dan kepada Pimpinan Fakultas Sastra UISU.

15. Kepada seluruh informan yang menetap di Desa Dolat Rayat, Desa Seberaya, dan Desa Aji Buhara.

16. Kepada Alpena Tarigan, S.S. yang telah membuat teks transkripsi dari rekaman video dan kepada Dewi Sembiring, S.S. yang telah menterjemahkan teks transkripsi ke Bahasa Indonesia.

17. Kepada seluruh sahabat saya Angkatan 2010 pada Konsentrasi Linguistik dan Konsentrasi Kajian Tradisi Lisan.

Medan, Januari 2017

Muhammad Ali Pawiro

(16)

ABSTRAK ... i

ABSTRACT ... iii

UCAPAN TERIMAKASIH ... v

DAFTAR ISI ... vii

DAFTAR TABEL ... xiii

DAFTAR GAMBAR ... xiv

DAFTAR BAGAN ... xv

DAFTAR DIAGRAM ... xvi

DAFTAR LAMPIRAN ... xvii

DAFTAR ISTILAH ... xviii

DAFTAR SINGKATAN ... xx

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Perumusan Masalah ... 16

1.3 Tujuan Penelitian ... 17

1.4 Manfaat Penelitian ... 19

1.5 Kerangka Konsep Penelitian ... 20

BAB II KAJIAN PUSTAKA ... 24

2.1 Etnografi Batak Karo ... 24

2.1.1 Nama Suku Bangsa ... 25

2.1.2 Lokasi, Lingkungan Alam, dan Demografi ... 29

2.1.3 Asal-mula dan Sejarah ... 33

2.1.4 Bahasa ... 36

2.1.5 Sistem Ekonomi (Mata Pencarian) ... 40

2.1.6 Agama dan Sistem Religi ... 41

2.1.7 Organisasi Sosial ... 47

2.1.7.1 Konsep Sintua-singuda ... 48

2.1.7.2 Konsep Bere-bere ... 49

2.2 Tradisi Lisan ... 52

2.2.1 Pandangan Ruth Finnegan ... 52

2.2.2 Pandangan Jan Vansina ... 54

2.2.3 Pandangan Walter J. Ong ... 56

(17)

2.4 Konsep Dasar NKMCM ... 64

2.5 Tradisi Penguburan di Berbagai Agama ... 69

2.5.1 Agama Islam ... 70

2.5.2 Agama Kristen ... 72

2.5.3 Agama Budha ... 73

2.5.4 Agama Hindu ... 75

2.5.5 Agama Yahudi ... 76

2.5.6 Agama Sikh ... 77

2.5.7 Agama-agama Cina ... 78

2.5.8 Agama-agama Jepang ... 80

2.6 Teori-teori Relevan dengan Fokus Penelitian ... 81

2.7 Teori-teori Relevan dengan Sub-fokus Penelitian ... 85

2.7.1 Makna dan Fungsi ... 86

2.7.2 Norma dan Nilai Kultural ... 88

2.7.3 Kearifan Lokal dan Nilai-nilainya ... 91

2.7.4 Revitalisasi dan Model ... 97

2.7.5 Pragmatika dan Maksim Kesantunan Pragmatik ... 102

2.7.5.1 Maksim Kearifan ... 106

2.7.5.2 Maksim Kedermawanan ... 110

2.7.5.3 Maksim Pujian ... 112

2.7.5.4 Maksim Kerendahan Hati ... 115

2.7.5.5 Maksim Kesepakatan dan Maksim Simpati ... 116

2.7.6 Beberapa Kajian tentang Maksim Kesantunan ... 119

2.7.6.1 Bethan Davies ... 120

2.7.6.2 Sukarno ... 120

2.7.6.3 Noriko Inagaki ... 121

2.7.6.4 Khaida Ali Muhammad ... 121

2.8 Kajian Hasil-hasil Penelitian Terdahulu yang Relevan …... 122

2.8.1 Tradisi NKMCM ... 123

2.8.1.1 Tampilen ... 123

(18)

2.8.1.4 Uli Kozok ... 129

2.8.1.5 Lusiana Meliala ... 133

2.8.2 Kearifan lokal ... 134

2.8.2.1 Kearifan dan Ungkapan Kebahasaan ... 135

2.8.2.2 Kearifan Lokal dan Pemikiran Nusantara ... 139

2.8.2.3 Kearifan Lokal dan Identitas ... 144

2.8.2.4 Kearifan Lokal dan Komunitas Harta ... 145

2.8.2.5 Kebijaksanaan dan Gaya Hidup Lokal ... 146

2.8.2.6 Kearifan Lokal NKMCM Batak Karo ... 147

2.9 Model Revitalisasi ... 148

2.9.1 Anthony F.C. Wallace ... 149

2.9.2 Jana Kulhankova ... 150

2.9.3 Jennifer Ranford ... 151

2.9.4 Evgenia Romanova ... 152

2.9.5 Karin Czermak dkk ... 152

2.9.6 Miss Roikhwanphut Mungmachon ... 154

2.9.7 Supawadee Juysukha ... 156

2.9.8 Yer J. Thao ... 157

2.9.9 Matthew Liebmann ... 158

2.9.10 Revitalisasi ‘Melukis Pasir’ ... 159

BAB III METODE PENELITIAN ... 161

3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian ... 161

3.2 Jenis Penelitian ... 162

3.3 Prosedur Penelitian ... 164

3.4 Data dan Sumber Data ... 166

3.5 Teknik Pengumpulan dan Perekaman Data ... 166

3.6 Instrumen Penelitian ... 169

3.7 Model Analisi Data ... 170

3.8 Pemeriksaan dan Pengecekan Keabsahan Data/Triangulasi ... 173

(19)

4.1.1 Mengawetkan dan Memasukkan Si Mate ke Peti Jenazah ... 177

4.1.2 Mendandani Si Mate ... 178

4.1.3 Nurunken Si Mate dari Rumah Duka ke Jambur ... 180

4.1.4 Letak Peti Jenazah di Jambur ... 181

4.1.5 Ucapan Selamat Tinggal kepada Si Mate ... 182

4.1.6 Penyajian Hidangan Makan Siang ... 191

4.1.7 Erkolong-Kolong ... 192

4.1.8 Membawa Peti Jenazah ke Kuburan ... 193

4.2 Analisis Data ... 194

4.2.1 Bentuk Performansi, Teks, Ko-Teks dan Konteks dari Tradisi NKMCM ... 195

4.2.1.1 Bentuk Performansi ... 195

4.2.1.1.1 Persiapan ... 195

4.2.1.1.2 Pelaksanaan ... 198

4.2.1.1.3 Penguburan ... 201

4.2.1.2 Teks dan Struktur Teks ... 201

4.2.1.3 Ko-Teks dari Tradisi NKMCM ... 204

4.2.1.4 Konteks ... 210

4.2.1.4.1 Konteks Budaya ... 210

4.2.1.4.2 Konteks Sosial ... 212

4.2.1.4.3 Konteks Situasi ... 223

4.2.1.4.4 Konteks Ideologi ... 225

4.2.2 Makna dan Fungsi, Nilai dan Norma, dan Kearifan Lokal dari Tradisi NKMCM ... 226

4.2.2.1 Makna dan Fungsi ... 227

4.2.2.2 Norma dan Nilai ... 229

4.2.2.3 Kearifan Lokal ... 231

4.2.2.4 Maksim Kesantunan Pragmatik ... 234

4.2.2.4.1 Maksim Kearifan dan Kedermawanan ... 234

4.2.2.4.2 Maksim Pujian dan Kerendahan Hati ... 244

(20)

4.2.3.1 Revitalisasi ... 254

4.2.3.1.1 Penghidupan / Pengaktifan kembali Tradisi NKMCM ... 254

4.2.3.1.2 Pengelolaan Tradisi NKMCM ... 256

4.2.3.1.3 Metode Pewarisan terhadap Tradisi NKMCM ... 257

4.2.3.2 Model Revitalisasi ... 259

BAB V TEMUAN PENELITIAN ... 263

5.1 Permasalahan Pertama: Bentuk Performansi, Teks, Ko-Teks dan Konteks dari Tradisi NKMCM ... 263

5.1.1 Bentuk Performansi ... 263

5.1.1.1 Formula ... 263

5.1.1.2 Kaidah ... 264

5.1.1.3 Struktur ... 264

5.1.2 Teks dan Struktur Teks ... 264

5.1.2.1 Formula ... 264

5.1.2.2 Kaidah ... 265

5.1.2.3 Struktur ... 265

5.1.3 Ko-teks ... 265

5.1.3.1 Formula ... 265

5.1.3.2 Kaidah ... 265

5.1.3.3 Struktur ... 266

5.1.4 Konteks ... 266

5.1.4.1 Konteks Budaya ... 266

5.1.4.2 Konteks Sosial ... 266

5.1.4.3 Konteks Situasi ... 266

5.1.4.4 Konteks Ideologi ... 267

5.2 Permasalahan Kedua: Makna dan Fungsi, Nilai dan Norma, Kearifan Lokal dari Tradisi NKMCM, dan Maksim Kesantunan Pragmatik ... 267

5.2.1 Makna dan Fungsi ... 267

5.2.2 Nilai dan Norma ... 267

(21)

5.3 Permasalahan Ketiga: Revitalisasi dan Model Revitalisasi

Tradisi NKMCM ... 268

5.3.1 Revitalisasi ... 268

5.3.2 Model Revitalisasi ... 269

BAB VI SIMPULAN DAN SARAN ... 270

6.1 Simpulan ... 270

6.2 Saran ... 273

DAFTAR PUSTAKA ... 274

(22)

2.1. Proporsi Populasi Beberapa Suku Bangsa di Indonesia ... 285 2.2 Bahasa-Bahasa Batak di Wilayah Utara ... 286 2.3 Profil Kabupaten Karo ... 287 2.4 Perubahan Perimbangan Penduduk di Sumatra Utara ... 288 2.5 Nama-Nama Desa dan Kode Pos di Kecamatan Dolat Rayat ... 289 2.6 Nama-Nama Kecamatan, Jumlah Desa/Kelurahan, Jumlah Penduduk,

dan Luas Wilayahnya ... 290 2.7 Suhu Udara Menurut Bulan ... 291 2.8 Pembagian Karo Menurut Onder Afdeling Karo Landen ... 292 2.9 Kedudukan Bahasa Batak Karo dalam Laman Internasional ... 293 2.10 Bahasa-Bahasa Batak di Wilayah Utara ... 294 2.11 Perbandingan Jumlah Penutur dan Status Bahasa di Northwest-Barrier Islands ... 295 2.12 Fungsi Umum Tindak Tutur ... 103 2.13 Skala Untung Rugi ... 107 2.14 Skala Sopan-Santun dengan Ilokusi-Ilokusi Taklangsung ... 108 2.15 Dunia Pemikiran Nusantara ... 140 2.16 Sumber-Sumber Kearifan Lokal ... 141 4.1 Jumlah Perwakilan Penutur ... 214

(23)

2.1 Peta Kabupaten-kabupaten di Sumatera Utara ... 296 2.2 Awan Bahasa Batak Karo ... 297 2.3 Kerangka Kebudayaan ... 298 2.4 Denah Skema Ideologis dari Hubungan Affinal ... 147 4.1 Foto Si Mate setelah Dipindahkan ke Peti Jenazah ... 179

(24)

1.1 Alur Kerangka Konsep Penelitian ... 22 2.1 Alur Tradisi NKM ... 66 2.2 Alur Ritual Gendang Adat Nurunken Si Mate ... 69 2.3 Langkah-langkah Revitalisasi Permainan Pasir di Vanuatu ... 160 3.1 Alur Prosedur Penelitian Kualitatif Spradley ... 164 3.2 Alur Prosedur Penelitian ... 165 3.3 Alur Teknik Pengumpulan Data ... 168 3.4 Alur Model Analisis Data Miles dan Huberman ... 171 3.5 Alur Pengumpulan Data Triangulasi ... 174 4.1 Alur Model Revitalisasi Tradisi NKMCM ... 261

(25)

1.1 Pembagian Maksim Kesantunan ... 105

(26)

1.1 Contoh Undangan Berita Ceda Ate ... 299 3.1 Panduan Wawancara ... 302 4.1. Impositif (perintah) dengan subjek persona kedua ... 304 4.2. Pernyataan dengan kata kerja ‘ingin’ ... 310 4.3. Kalimat pernyataan (deklaratif) dengan ‘akan’ ... 313 4.4 Kalimat pernyataan (deklaratif) dengan ‘dapat’ ... 314 4.5 Ekspresi pujian dalam masyarakat Karo ... 316

(27)

A

Anak beru Anak atau panggilan kesayangan

Anak beru Kerabat penerima menantu perempuan atau pihak yang memperisteri anak gadis dari kalimbubu Arih ersada Satu keputusan di dalam musyawarah

B

Bapa Bapak

Begu Hantu

Begu jabu Hantu/roh leluhur

Beru Panggilan terhadap anak perempuan

Belo Dauh sirih

Bulang Kakek

Bulang-bulang Kain ulos yang dililitkan di kepala

Bujur Terimakasih

C

Cakap Berbicara

Cawir metua Meninggal pada usia lanjut D

Dibata Tuhan

Diberu Perempuan

Dilaki Laki-laki

E

erpangir Mandi keramas dengan jeruk purut dan bunga-bunga Erkolong-kolong Melantunkan syair dengan meratap oleh seorang

penyanyi (perempuan) I

Idilo dibata Berpulang kepada Tuhan / meninggal

Impal Saudara sepupu

J

Jabu Rumah

K

Kalimbubu Kelompok pemberi gadis

Kela Menantu laki-laki Kesain Halaman rumah

Kundul Duduk

Kuta Desa atau kampung L

Landek Tarian

La rose Acar adat tanpa pakaian adat dalam tradisi penguburan

Los/jambur bangunan atau wisma untuk acara adat M

Maneh-maneh Hutang adat yang dibayarkan kepada kalimbubu

Mate meninggal

(28)

N

Nak Lihat anak

nande Ibu

Nangkih Naik

Ngangkat tulan tulan Penguburan kedua

Nini Nenek

Nini bulang Kakek

P

Pemena Religi di Karo sebelum datangnya agama samwai Penayep Kain putih (kain kafan)

Pendonen Area pekuburan

Pengulu Kepala desa

Perkolong-kolong Pernyanyi erkolong-kolong

Permain Menantu perempuan

R

Rose Acara adat dengan pakaian adat pada tradisi penguburan

Runggu musyawarah

S

Sangkep nggeluh Konsep kekerabatan terdiri dari kalimbubu, anak beru, dan sembuyak/senina

Sembuyak Panggilan kepada orang dengan marga yang sama

Sen Uang

Sibayak merga Harta keturunan dalam satu marga Sukut Pihak yang mendapat musibah kematian

T

Tendi Jiwa dari orang yang masih hidup U

Uis gara Kain merah (biasanya dipakai untuk tradisi pernikahan)

Uis kapal Kain merah gelap yang tebal (biasanya dipakai untuk tradisi penguburan)

(29)

BBK : Bahasa Batak Karo

BK : Batak Karo

BDK : Bahasa Daerah Karo DAS : Daerah aliran sungai Dll. : Dan lain-lain

DPN : Dunia pemikiran nusantara

IK : Indigenous knowledge (pengetahuan pribumi)

KK : Kabupaten Karo

KSD : Kalimbubu simada dareh

n : Penutur

NKM : Nurunken kalak mate (membawa keranda dari rumah duka ke jambur

NKMCM : Nurunken kalak mate cawir metua (upacara penguburan untuk kematian lanjut usia)

PB : Pengetahuan budaya

PDKS : Percakapan dalam kematian simate-mate PI : Pra Indonesia

PK : Penutur kolektif PN : Pemikiran nusantara RP : Ritual penguburan

SIL : Summer Institute of Linguistics

t : Petutur

UNESCO : Salah satu lembaga PBB WN : Wawasan nusantara

(30)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Siklus terakhir di dalam kehidupan manusia adalah kematian yang memiliki hubungan antagonis dengan kelahiran. Bila kelahiran disambut dengan rasa gembira, misalnya, oleh orang-orang di sekitar si bayi namun ternyata si bayi menyambut kehadirannya di dunia ini dengan tangisan. Wujud kegembiraan dari mereka direalisasikan dengan sebuah tradisi, misalnya, ritual syukuran, memberi nama, atau mengayunkan si bayi. Sebaliknya, kematian disikapi dengan ungkapan sedih oleh keluarga dan handai tolan namun tidak seorangpun mengetahui apakah yang meninggal menyambut kematiannya dengan kesedihan dan/atau kegembiraan.

Yang menarik untuk diutarakan adalah bahwa dua aspek terakhir—

kesedihan dan kegembiraan--ini menjadi fenomena nyata di dalam tradisi masyarakat Karo ketika mereka berhadapan dengan perpisahan yang disebabkan oleh kematian dari salah satu anggota keluarga mereka. Maksudnya di sini adalah bahwa kematian, misalnya kematian cawir metua, selalu berhadapan dengan dua realitas: kesedihan dan kegembiraan. Oleh karena itu, penelitian ini diupayakan untuk memahami, baik secara tradisi lisan dan linguistik, tradisi Nurunken Kalak Mate Cawir Metua1 dalam masyarakat Karo di Kabupaten Karo (KK).

Davies (dalam Holm dan Bowker, 2007:1) menyatakan bahwa “hidup manusia ditandai dengan perubahan.” Perubahan yang ia maksudkan, misalnya,

1 Istilah Nurunken Kalak Mate Cawir Metua disingkat dengan NKMCM dan singkatan ini ditulis dengan huruf kapital namun tidak ditulis miring pada halaman-halaman berikutnya.

(31)

adalah bayi dikandung, dilahirkan, tumbuh, dewasa, menghasilkan keturunan, dan akhirnya meninggal; semuanya sebagai bagian dari kenyataan biologis dalam kehidupan. Davies menganggap semua perubahan ini sebagai sebuah “dimensi lain” dimana seseorang yang meninggal mendapatkan gelar sebagai leluhur atau karena, misalnya, “orang yang meninggal dianggap sebagai “leluhur” atau berpindah ke “dunia setelah kematian.” Oleh karena itu, Davies berpendapat bahwa permohonan yang dikerjakan oleh pihak lain yang masih hidup dapat memberikan ranah “kekuatan supranatural” sehingga yang meninggal dapat mengharungi perjalanannya dengan permohonan dari orang-orang yang masih hidup tersebut.

NKMCM merupakan salah satu warisan budaya non-benda (intangible) yang masih bertahan hidup di beberapa daerah di KK, misalnya, di Desa Dolat Rayat yang dipilih sebagai lokasi penelitian, dan bahkan tradisi ini masih dilakukan di Desa Pamah Kecamatan Deli Tua (Kabupaten Deli Serdang).2 Terdapat dua alasan utama mengapa penelitian ini dianggap penting; pertama, penelitian ini adalah sebuah upaya sistematis,3 walaupun juga bersifat teoretis, untuk mendokumentasikan secara utuh tradisi NKMCM yang ditemukan di lokasi penelitian. Oleh karena itu, penelitian dan pendokumentasian ini dapat digunakan

2 Walaupun desa terakhir ini tergolong dekat dengan kota Medan namun tradisi ini tidak terlalu tergerus dengan tajam oleh arus modernisasi. Tradisi ini dijalankan dengan beberapa pembaharuan, misalnya, karena ketika itu yang meninggal adalah seorang wanita Muslimah maka NKMCM dilakukan setelah yang meninggal dikuburkan. Dengan demikian, pada saat pelaksanaan NKMCM wujud pengganti dari yang meninggalkan adalah sebuah guling yang diletakkan di tengah tempat tidur dan foto dari yang meninggal diletakkan di bagian kepala.

3 Dengan meminjam istilah dari Sugiyono (2011:3), yang dimaksud dengan “sistematis” adalah bahwa proses yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan langkah-langkah tertentu yang bersifat logis.

(32)

sebagai alat bukti untuk keperluan perlindungan dan pelestraian/pemeliharaan4 (safeguarding/preservation dan conservation) dalam dimensi waktu saat ini dan masa datang. Kedua, hasil penelitian ini, nantinya, dapat dijadikan sumber rujukan dan telaah terhadap maksim kesantunan pragmatik.

Sesungguhnya penelitian ini terinspirasi oleh dua hal. Pertama, pada Januari 2010 peneliti, untuk pertama sekali, menghadiri sebuah ritual persemayaman dan penguburan5 dalam tradisi Batak Karo6 dimana peneliti memanggil orang yang meninggal sebagai mama tua.7 Ritual tersebut diadakan di sebuah jambur8 (sebuah

4 Kedua istilah ini ditemukan dalam laporan hasil penelitian Karin Czermak, Philippe Delanghe, dan Wei Weng (tanpa tahun) dengan judul “Preserving intangible cultural heritage in Indonesia” yang

didanai oleh UNESCO Jakarta dan dapat diakses di

http://www.sil/org/asia/ldc/parallel_papers/unesco_jakarta.pdf. Mereka hanya menitikberatkan pada wacana perlindungan kultural terhadap warisan budaya (cultural preservation of cultural heritage) yang meliputi tradisi lisan dan literatur, seni visual, musik, seni pertunjukan (performing arts), menceritakan cerita (story-telling), lagu-lagu, ritual, kehidupan sehari-hari (everyday life), dan perekaman ritual dan tarian secara audio dan video (the recording (audio and video) of rituals and dances). Landasan moral yang digunakan adalah Coolangatta Statement (1999): “Masyarakat pribumi punya hak untuk tetap pribumi. Mereka tidak bisa bertahan hidup sebagai imaji dan refleksi dari masyarakat non-pribumi” dan UNESCO (1982): “kultur ... semua kompleksitas atas fitur-fitur spiritual, material, intelektual dan emosional yang beraneka ragam yang mencirikan satu masyarakat atau kelompok sosial yang meliputi tidak hanya seni (arts) dan kesusasteraan (letters), tetapi juga moda kehidupan (mode of life), hak-hak fundamental manusia, sistim nilai, tradisi dan kepercayaan.”

5 Ritual persemayaman dan penguburan sering diterjemahkan sebagai funeral and burial rituals dalam wacana Antropologi. Ritual persemayaman inilah yang disebut nurunken kalak mate sedangkan ritual penguburan dinamakan naruhken si mate ku pendonen dalam tradisi Karo.

6 Istilah ini lebih umum digunakan oleh para peneliti dari berbagai disiplin ilmu humaniora namun peneliti menyampaikan usulan dari para informan yang lebih menyukai istilah Kalak Karo ‘Orang Karo.’

7 Dalam perspektif hubungan keluarga dalam BK mama tua dimasukkan ke dalam kelompok kalimbubu yang oleh Bruner dan Becker (1979:66) dialihbahasakan ke dalam bahasa Inggris sebagai wife-giver ‘pemberi istri.’ Sebagai pemberi istri kalimbubu patut mendapatkan perbedaan (difference), kehormatan (honour), dan kerja kasar (servitude).

8 Singarimbun (1975:19) menggunakan kata jambor sebagai nama alternatif yang menjadi tempat pertemuan dan secara ekslusif digunakan oleh kaum lelaki untuk tiga kegiatan, misalnya, untuk menghabiskan waktu santai, untuk berbicara dengan teman, atau untuk melakukan tugas-tugas minor, seperti, membuat sendok bambu atau memperbaiki jaring ikan. Singarimbun menambahkan yang dinamakan “waktu santai” adalah ketika kembali dari kebun atau ladang pada tengah hari, seorang pria Karo pergi ke jambor dan di sana ia menunggu makan siangnya. Setelah makan ia kembali lagi ke tempat itu. Jambur adalah sebuah bangunan tradisional Karo yang memiliki ukuran

(33)

aula tradisional yang terkadang disebut juga losd) di Desa Dolat Rayat, Kecamatan Dolat Rayat di KK dan dikomunikasikan dengan menggunakan Bahasa Batak Karo9 (BBK). Peneliti tidak memahami ritual tersebut sama sekali, namun seiring dengan berjalannya waktu peneliti secara kondisional menyukai ritual itu karena posisi adat peneliti adalah sebagai anak beru.10 Para pelayat, secara bergiliran11, mengekspresikan kesedihan mereka pada saat mereka mengutarakan ucapan belangsungkawa yang umumnya dilakukan oleh kelompok dewasa dan ucapan belangsungkawa ini menunjukkan kemampuan berbicara yang baik di depan publik. Berbicara dengan gaya retorika seperti ini disebut persentabi12 yang secara literal berarti ‘meminta maaf.’

kecil dan berlantai dua. Lantai pertama tidak memiliki dinding (atau terbuka) dan dapat digunakan sebagai tempat persiapan berbagai hal, misalnya, memasak dan membuat sayur pada saat berlangsung sebuah pesta. Lantai kedua memiliki beberapa ruangan yang dapat dijadikan sebagai lumbung padi dan yang juga dipergunakan sebagai tempat rehat atau tidur bagi para pemuda (anak perana). Namun saat ini jambur merupakan sebuah tempat besar di mana hampir seluruh acara adat, termasuk juga nurunken kalak mate, atau acara nasional dilaksanakan di tempat ini. Kesain dapat berarti ‘alun-alun’ atau ‘halaman rumah’.

9 Semua informan saya lebih menyukai istilah “Cakap Karo” dibanding dengan BBK atau Bahasa Karo namun dalam disertasi ini peneliti tetap menggunakan BBK.

10 Bruner dan Becker (1979:66) menterjemahkan anak beru ke dalam bahasa Inggris sebagai wife- receiver ‘penerima istri’ sementara Singarimbun (1979:96) memakai istilah wife-taker ‘pembawa istri.’ Namun, kedua konsepsi ini tidak berbeda secara esensial. Baik penerima atau pembawa istri memiliki tugas menegakkan hukum, mensukseskan acara, dan berlaku adil di dalam keluarga.

11 Giliran untuk mengutarakan perasaan duka umumnya dapat dilihat di kartu undangan yang ditetapkan di seksi ikut ertenah walaupun di dalam praktikya giliran tersebut bisa mengalami perubahan yang biasanya disebabkan oleh beberapa faktor, misalnya, jarak yang cukup jauh, konflik keluarga, tugas yang tidak bisa ditinggalkan dan sebagainya sehingga mereka yang tertera di dalam undangan tidak hadir. (Lihat contoh undangan)

12 Nama lainnya adalah persentabin atau persintabi. Ketiga kata itu berasal dari akar kata tabi

‘ucapan selamat atau hormat.’ Hadirnya awalan sen- atau sin- membuat akar kata itu mengalami proses morfologis menjadi sentabi atau sintabi ‘rasa hormat saya, dengan hormat, ijinkan saya dan maafkan saya.’ Kata bentukan terakhir ini mengalami lagi perubahan morfologis setelah mendapatkan awalan er- sehingga terbentuk kata turunan baru ersentabi atau ersintabi (V) ‘meminta maaf.’ Kata kerja ini mengalami perubahan bentuk lagi menjadi persentabi atau persintabi

‘kehormatan.’ Uli Kozok (1993:61) menggunakan istilah persentabin yang merupakan alat retorika dalam pidato publik dan dalam lagu-lagu seperti balada yang ia istilahkan dengan katoneng- katoneng (KK). KK digunakan pada acara masuk rumah baru, upacara perkawinan, upacara penguburan kembali dan lainnya.

(34)

Kedua, peneliti menjadi lebih tertarik terhadap ritual di atas setelah membaca disertasi dari Ginting dimana dia menggunakan istilah percakapan dalam kematian simate-mate (PDKS)13 untuk mendeskripsikan ritual persemayaman tadi. Namun pada kesempatan ini peneliti mengganti istilah PDKS dengan nurunken kalak maté (NKM), yang secara literal berarti ‘menurunkan yang meninggal dari lantai rumah ke halaman rumah’. Dengan demikian, istilah terakhir ini setidaknya sama dengan ritual penguburan (RP) atau PDKS. NKM merujuk kepada RP yang dicirikan dengan membawa yang meninggal (si mate atau kalak maté) oleh keluarga terdekatnya dari rumah duka ke tempat persemayaman yang biasanya adalah sebuah jambur atau losd. Di sanalah si maté disemayamkan dan di- adat-kan menurut tata cara dari NKM.

Peneliti menganggap istilah PDKS dapat membawa makna ambigu. Istilah ini dapat ditafsirkan sebagai sebuah percakapan atau interaksi antara seseorang yang sedang menghadapi sakaratul maut dengan pihak keluarganya, sama seperti istilah percakapan telepon (yaitu percakapan antara orang yang menelepon dengan orang yang dihubungi), percakapan jual-beli (yaitu percakapan antara seorang pembeli dengan seorang penjual), percakapan satu arah (yaitu percakapan antara seorang pembicara dengan pendengarnya yang tidak memberi reaksi), dan lainnya.

Walaupun demikian istilah ini dapat juga diterjemahkan sebagai sebuah percakapan

13 Ginting (2010:104-5) tidak menjelaskan istilah di atas namun berpendapat bahwa dalam upacara kematian selain memaparkan pengalamannya penutur juga dapat menukarkan pengalamannya.

Pertukaran pengalaman dilakukan bukan kepada orang yang hadir melainkan kepada orang yang mati. Pilihan yang dapat dilakukan penutur baik dalam memaparkan pengalaman maupun menukarkan pengalaman adalah memberi dan meminta informasi, serta memberi dan meminta barang dan jasa.

(35)

(atau ucapan turut belangsungkawa) dari orang lain kepada pihak, baik keluarga atau perseorangan, yang salah seorang dari kerabat dekatnya meninggal dunia.

Tradisi NKMCM sebenarnya tidak berkenaan dengan latar-belakang kultural peneliti namun peneliti yakin bahwa tradisi ini dapat dipahami dengan landasan moral dari sebuah pepatah14 dari sebuah suku asli Amerika yang bila diterjemahkan ke dalam Bahasa Inggris berbunyi: Never judge a person until you have walked a mile in his moccasins (Jangan pernah menilai seseorang hingga anda telah berjalan satu mil dengan menggunakan sepatu kulitnya.). Pepatah tersebut memberi inspirasi kepada peneliti bahwa apapun bentuk penelitian, baik penelitian tentang religi, ideologi, tradisi, ataupun ritual terhadap sebuah etnis, dapat dijalankan dengan pengalaman langsung terhadap etnis tersebut.

Dalam perspektif terkini tentang tradisi lisan dan preservasi bahasa (language preservation) terdapat tiga hal15 penting, yaitu kultur, pengetahuan pribumi (indigenous knowledge, IK), dan bahasa-bahasa pribumi (indigenous languages). UNESCO menggulirkan dana yang cukup besar untuk melakukan penelitian di seluruh dunia atas ketiga aspek tersebut dan UNESCO Jakarta sendiri telah bekerjsama dengan banyak peneliti Indonesia dan luar, dan juga dengan SIL Jakarta dengan melakukan penelitian terhadap kekayaan Indonesia atas ketiga aspek tersebut. Upaya-upaya mereka tersebut bertujuan untuk melakukan

14 Pepatah itu ditemukan dalam bukunya Smart (1989:10). Apa yang ia maksudkan dengan pepatah itu adalah bahwa “untuk memahami pandangan dunia (worldviews) tentang religi dan sekuler dan makna praktisnya kita harus menggunakan imaginasi. Kita harus masuk ke dalam kehidupan mereka dimana ide dan tindakan itu penting.”

15 Lihat Czermak dkk di atas. Mereka menambahkan bahwa IK merupakan sebuah konsep holistik, terstruktur dan dipindahkan melalui bahasa pribumi oleh karena itu IK tidak dapat dipreservasi di luar konteks lokal dan linguistik; ada hubungan erat antara kultur, IK, dan bahasa pribumi.

(36)

konservasi dan proteksi/preservasi. Salah satu sasaran mereka adalah kelompok- kelompok minoritas etnis di Kalimantan dan penelitian ini dikerjakan oleh tiga peneliti asing, yakni Karin Czermak, Phillipe Delanghe, dan Wei Weng bekerjasama dengan UNESCO Jakarta.

Usaha untuk melestarikan kebudayaan dari sebuah etnis merupakan pengejawantahan16 dari Wawasan Nusantara (WN)17 terutama pada pasal 2 ayat b.

Konsep WN juga menjadi inspirasi penelitian ini karena pengejawantahan dalam konsep ini dapat berwujud pengawetan cipta budaya daerah yang pernah ada ataupun pemeliharaan cipta budaya daerah itu sendiri. Dengan demikian, baik pengawetan maupun pemeliharaan cipta budaya daerah dapat dijadikan sebagai salah satu upaya dalam Ketahanan Nasional sehingga negeri ini tidak terombang- ambing oleh ke-tidak-pastian identitas nasional. Konflik18 harus diminimalkan ketika usaha-usaha tentang bagaimana melindungi dan melakukan konservasi tradisi sedang berlangsung.

16 Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa (2008:353) dalam edisi ke-4 memberi makna kata di atas sebagai penjelmaan (perwujudan, pelaksanaan, manifestasi) suatu posisi, kondisi, sikap, pendirian, dsb.

17 Secara konstitusional, Wawasan Nusantara dikukuhkan dengan Kepres MPR No. IV/MPR/1973, tentang Garis Besar Haluan Negara Bab II Sub E, Pokok-pokok Wawasan Nusantara dinyatakan sebagai Wawasan dalam mencapai tujuan Pembangunan Nasional adalah Wawasan Nusantara mencakup: 1. Perwujudan Kepulauan Nusantara sebagai satu Kesatuan Politik, 2. Perwujudan Kepulaun Nusantara sebagai Kesatuan Sosial dan Budaya, 3. Perwujudan Kepulauan Nusantara sebagai satu kesatuan Ekonomi, dan 4. Perwujudan Kepulauan Nusantara sebagai satu Kesatuan Pertahanan dan Keamanan (Lemhanas, 1989:7). Lihat Sigit Dwi Kusrahmadi Pentingnya Wawasan Nusantara Dan Integrasi Nasional di http://staff.uny.ac.id/sites/default/files/ WAWASAN NUSANTARA.pdf. 6/12/2014.

18 Smart (1989:27) berdalih bahwa ... dalam memikirkan tradisi sebagai memiliki masa “akar” dan masa formasi klasik, begitu juga masa-masa lainnya tentang reformasi utama, kita harus berusaha menghindarkan berbagai konflik yang tidak perlu.

(37)

Beberapa negara di Asia Selatan dan Tenggara, misalnya India, Nepal, Burma, Sri Lanka, Thailand dan Singapura, telah membuktikan diri mereka berhasil dalam mempertahankan bagian-bagian penting dari tradisi-tradisinya dan bahkan mampu menggabungkan beberapa elemen kapitalisme dan demokrasi. Jika perhatian diarahkan ke Asia Timur terdapat beberapa negara, umpamanya Jepang, Korea Selatan, Taiwan dan Hong Kong, yang telah juga berhasil mempertahankan tradisi-tradisi pribumi (indigenous traditions) mereka. Mereka layak berbangga dengan semua peradaban kemanusiaan (human civilization) mereka sehingga mereka dikenal lebih mandiri dalam berbagai hal.

Kecemburuan positif perlu juga kiranya ditujukan kepada Amerika Serikat19, misalnya, yang berhasil membuat satu konsensus nasional tentang enam tata nilai Amerika (American Values): individualistik dan mandiri, informal, terus terang, kenal waktu, prestasi dan kompetisi, dan materialistik) dan enam ciri Amerika (American Characteristics): kooperatif, ramah, banyak bertanya, naive secara internasional, gugup dalam susana diam, dan terbuka dan gemar menjelaskan). Merujuk kepada konsensus AS tersebut sangat perlu dilakukan agar bangsa Indonesia, sedikit banyaknya, dapat belajar dari sana.

Hingga saat ini upaya untuk membuat tata nilai dan ciri Indonesia tengah terus diusahakan. Merujuk kepada konsensus AS tersebut bangsa Indonesia harus belajar dari mereka. Karena tata nilai dapat menghasilkan karakter, diskusi panjang lebar tentang karakter dapat dilihat di dalam tulisan Sibarani (2015: 1-25) termasuk di dalamnya pandangan tentang 18 karakter yang dibuat oleh Kementerian

19 Baca selengkapnya dalam Donna Huchel (1984:22-25) “Bound for America.”

(38)

Pendidikan Nasional. Lahirnya 18 nilai karakter menurut Kemendikbud tersebut perlu mendapat apresiasi dari seluruh anggota masyarakat karena nilai-nilai tersebut dapat membawa Indonesia kepada keadaan yang lebih baik.

Para anggota dari suku-suku di sini atau para pemerhati etnis juga melakukan berbagai upaya untuk melahirkan tata nilai dan ciri dari masing-masing etnis. Yang penting diperhatikan, menurut Smart (1989:22), adalah bahwa identitas etnis terkadang dapat dipisahkan, atau memiliki garis demarkasi, oleh bahasa dan warisan kultural (cultural heritage), kadang-kadang oleh agama, kadang-kadang oleh keduanya, dan bahkan kadang-kadang oleh sejarah yang berbagi (shared history). Jerman, misalnya, telah berbagi bahasa (shared language), Irlandia telah menikmati perbedaan agama (distinctive religion), Polandia bangga dengan perbedaan bahasa dan agama (distinctive language and religion), dan Singapura merasa tenteram dengan berbagi sejarah antara Cina, Melayu dan kelompok linguistik lainnya.

Indonesia malah memiliki nilai plus dibanding dengan negeri-negeri yang disebutkan di atas karena negeri ini mempunyai ratusan keanekaragaman bahasa etnis dan budaya dan keanekaragaman agama dan kepercayaan; semuanya dapat diikat oleh satu bahasa persatuan, yaitu Bahasa Indonesia. Maka Bahasa Indonesia memiliki kekuatan yang luar biasa di negeri ini sebagai sebuah media komunikasi resmi yang digunakan oleh publik. Oleh karena itu, kekuatan yang dimiliki oleh Bahasa Indonesia tidak sampai membawa peran kabur terhadap bahasa-bahasa etnis lainnya, atau terhadap kebudayaan-kebudayaan etnis yang terdapat di Nusantara.

Satu hal yang perlu dicatat adalah bahwa bahasa dan kebudayaan etnis telah muncul dan bertahan jauh sebelum Bahasa Indonesia secara resmi ditetapkan.

(39)

Suku Karo merupakan salah satu etnis pribumi di Sumatera Utara yang bisa dikategorikan sebagai masyarakat skala-kecil20 (small-scale society) namun memiliki konsep tata nilai yang beraneka ragam dan unik dan salah satu dari tata nilai tersebut digali melalui penelitian terhadap tradisi NKMCM. Penggalian ini selaras dengan Proyek Penelitian Bahasa dan Sastra Indonesia dan Daerah oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI. Proyek ini mengalami pasang surut dalam perjalanannya dan memiliki lima fase perkembangan.21 Kelima fase tersebut berjalan dengan amat teratur dimana satu fase berlangsung selama lima tahun dan untuk setiap fase, konsentrasi penelitian diarahkan pada bahasa daerah tertentu.

NKMCM diharapkan mampu memberikan banyak nilai kearifan lokal yang secara turun-temurun sudah ada pada BK walaupun di sana sini nilai kearifan lokal tersebut mungkin saja bertahan atau mengalami metamorfosis bentuk. Semuanya, tentunya, terjadi seiring dengan dinamika masyarakat BK yang notabene secara mayoritas adalah kaum petani yang tinggal di dataran tinggi di KK. Bagi masyarakat BK, NKMCM menjadi salah satu acara seremonial yang sangat diagungkan karena tradisi ini menjadi sarana untuk memberi penghormatan baik kepada si mate maupun kepada keluarga besar (kalimbubu, anak beru, senina, atau teman meriah) dari si mate.

20Masyarakat skala-kecil umumnya merujuk pada suatu masyarakat dengan beberapa ratus hingga ribuan orang yang hidup dengan memburu hewan liar, menternakkan binatang domestik, atau holtikultura non-intensif pada tingkat kelompok atau desa. Masyarakat seperti ini tidak memiliki baik kota besar maupun ekonomi kompleks dan pemerintahan. Hubungan kekeluargaan biasanya sangat penting dibanding dengan masyarakat skala-besar. Masyarakat terakhir ini berkenaan dengan sebuah masyarakat dengan beberapa kota, industri, pertanian intensif, dan ekonomi internasional yang kompleks. Selain masyarakat ini memiliki kelas sosio-ekonomi dan pemerintahan dengan hirarki pejabat, pentingnya kekerabatan dihilangkan dalam masalah-masalah sosial, ekonomi, dan politik. http://anthro.palomar.edu/tutorials/cglossary.htm#large-scale_society diakses pada 19/04/2015.

21Baca selengkapnya dalam Syamsuddin Udin (1989:v-vi).

Referensi

Dokumen terkait