• Tidak ada hasil yang ditemukan

berkodekan V. Maksim Simpati (sympathy maxim) juga hanya ditemukan dalam ilokusi asertif dan ditandai dengan proposisi-proposisi signifikannya, yaitu: (a)

2.9 Model Revitalisasi

Sub-bab ini mengulas beberapa pandangan, misalnya, oleh Anthony, Jana, Jennifer dan lain-lainnya tentang model revitalisasi. Model-model yang mereka

tawarkan telah dilaksanakan di tempat-tempat yang menjadi lokasi penelitian mereka.

2.9.1 Anthony F.C. Wallace

Ilmuwan yang mengklaim pertama sekali menggunakan terminologi

‘gerakan revitalisasi’ (revitalization movement) adalah Wallace, seorang profesor di Universitas Pennsylvania (AS). Ia mengaku bahwa istilah tersebut muncul di tengah-tengah ramainya bermunculan berbagai nama gerakan96 namun di dalam This Week’s Citation Classic (hal. 3) yang diterbitkan oleh CC/ART HUMAN, (26): 18-18 Dec 17, 1990 ia kemudian membuat pengakuan lagi bahwa latar belakang munculnya terminologi itu berawal dari usulan yang dibuat oleh Sheila Steen yang bekerja sebagai asisten Wallace dan juga sebagai mahasiswa pasca sarjana di Universitas Pennsylvania. Wallace kemudian menawarkan batasan konsep revitalisasi97 yang dapat dijadikan sebagai panduan awal bagi para peneliti dan praktisi tradisi lisan di dalam membuat program revitalisasi budaya.

Terkait dengan struktur proses (processual structure) Wallace (1956: 268-275) menawarkan prinsip metodologi dasar (basic methodological principle) yang disandarkan atas analisis-kejadian (event-analysis) dimana analisis ini pernah ia

96 Misalnya, gerakan Nativistik, gerakan reformasi, curgo cult, gerakan agama, gerakan mesiah, masyarakat utopia, for masi sekte, gerakan massa, gerakan sosial, revolusi, gerakan kharismatik, dan lain-lain (Wallace, 1956: 264).

97 Gerakan revitalisasi didefinisikan sebagai usaha sengaja, terorganisir, dan sadar dari para anggota masyarakat untuk mengkonstruksi kultur yang lebih memuaskan. Dengan demikian, revitalisasi, dari sudut pandang kultural, merupakan satu hal khusus tentang fenomena perubahan kultur: orang-orang yang terlibat di dalam revitalisasi harus mempersepsikan kultur mereka, atau beberapa wilayah utamanya, sebagai sebuah sistem (baik akurat atau tidak); mereka harus merasa bahwa sistem kultural ini tidak memuaskan; dan mereka harus melakukan inovasi tidak hanya terhadap hal-hal berbeda, kecuali satu sistem budaya baru, yang secara khusus merujuk pada hubungan baru,...

(Wallace, 1956: 265).

utarakan pada 1953. Pendekatannya ini memakai metode perbandingan terkontrol (method of controlled comparison) yang digunakan untuk melakukan studi terhadap proses yang melibatkan urutan-urutan diakronik (diachronic sequences) yang panjang atau pendek. Wallace juga menawarkan lima tahapan yang berkenaan dengan struktur proses revitalisasi (structure of revitalization process): (i) kondisi siaga (steady state), (ii) priode penekanan individual (period of individual stress), (iii) periode distorsi budaya (period of cultural distortion), (iv) periode revitalisasi, dan (v) kondisi siaga baru (new steady state). Periode revitalisasi (period of revitalization) mencakup berbagai fungsi tentang reformulasi jalan yang membingungkan (mazeway reformulation), komunikasi, organisasi, adaptasi, transformasi budaya, dan rutinisasi.

2.9.2 Jana Kulhankova

Berkenaan dengan revitalisasi terhadap budaya pribumi di pusat perawatan anak pada masyarakat Aborigin di Brisbane, Australia, Kulhankova (2011: 475-477) mengikuti saran penduduk lokal dari kelompok wanita karena pusat perawatan anak tersebut memang mendapat perhatian serius dari kaum wanita setempat. Para wanita ini berependapat bahwa revitalisasi terhadap pusat perawatan anak harus dilakukan dengan tiga cara: spiritual, emosional, dan psikologis.

Konsep penduduk setempat tersebut dilaksanakan dengan membentuk lingkaran ketika berbicara, pembuatan karya seni, bernyanyi atau menghabiskan waktu di alam terbuka. Semua ini didukung oleh persepsi dasar yang mereka miliki bahwa ‘penting untuk menjaga alam tetap sehat’. Mereka beranggapan bahwa ‘jika

bumi tidak sehat, mereka juga tidak sehat; dan hal ini mempengaruhi emosi, spiritual, dan psikologis’.

2.9.3 Jennifer Ranford

Dalam artikelnya yang memberi perhatian kepada praktik pengobatan tradisional penduduk lokal di Kanada dan program revitalisasi terhadap masyarakat dan budayanya Ranford (1998: 65-71) membuat program revitalisasi budaya dan masyarakat (cultural and community revitalization) dimana program tersebut diarahkan pada empat wilayah penting: (i) memperkaya nilai budaya, kepercayaan dan tradisi, (ii) memperkuat identitas diri dan budaya, (iii) memacu perkembangan bahasa tradisional, dan (iv) meningkatkan hubungan masyarakat. Program revitalisasi yang dilakukannya memang tidak terkait langsung dengan penelitian ini namun, setidaknya, cara-cara ia bekerja untuk mempertahankan pengobatan tradisional patut mendapat apresiasi dari para peneliti tradisi lisan.

Revitalisasi terhadap wilayah pertama dilakukan dengan ‘menerima sistem kepercayaan dari pengobatan tradisional dan berpartisipasi di dalam filosofi dan ritual dari pengobatan tersebut’. Cara-cara untuk merevitalisasi wilayah kedua dilakukan dengan mengembalikan hak fundamental penduduk lokal, yakni, dengan definisi diri (self-definition) dan identitas diri (self-identity); sementara, wilayah ketiga direvitalisasi dengan mencatat ulang seluruh terminologi pribumi (indigenous terminologies) yang biasanya digunakan untuk mengenali herbal-herbal atau pengobatan natural yang beranekaragam yang di dalam ilmu kedokteran disebut dengan materia medica. Dengan demikian, penggunaan obat-obat tradisional berarti mengenal dan menghafal berbagai kosa kata obat di sistem

pengobatan pribumi. Pada wilayah terakhir ini, revitalisasinya dikerjakan dengan membangkitkan kembali hubungan mesra antara berbagai generasi dimana generasi muda dilibatkan untuk menemukan kembali berbagai informasi tentang tradisi, misalnya, upacara-upacara pengobatan dari orang-orang tua.

2.9.4 Evgenia Romanova

Dalam tesis S-2 yang memberi perhatian pada proses revitalisasi terhadap budaya dan identitas etnik pribumi pada suku Vep di Karelia (Rusia), Romanova (2007: 64-65) memilih untuk merevitalisasi bahasa lokal sebagai agenda utama.

Alasan yang ia utarakan dapat dikatakan sederhana; ia beranjak dari satu paradigma bahwa “revitalisasi terhadap bahasa sebagai langkah awal menandai kebangkitan terhadap kesadaran etnis (ethnic self-consciousness) dan menandai kemunculan gerakan”. Ia membuat empat agenda tambahan: (i) buku-buku teks dan buku-buku umum harus dipublikasikan di dalam bahasa Vep sedangkan siaran TV disampaikan secara bergantian di dalam bahasa Karelia, Vep, dan Finlandia, (ii) mengadakan festival folklor secara teratur dan pendirian museum etnografi, (iii) mengikutsertakan Vep di dalam festival nasional, dan (iv) pembentukan

“Masyarakat Budaya Vep”.

2.9.5 Karin Czermak dkk.

Pendekatan saat ini untuk konservasi warisan budaya dan perlindungan menekankan pada partisipasi masyarakat lokal dan memberikan perhatian yang

lebih besar kepada "Indigenous Knowledge (IK)”98 (pengetahuan pribumi). Tiga peneliti dari UNESCO Jakarta, misalnya, Karin Czermak, Phillippe Delanghe, dan Wei Weng, dalam proyek percontohan mereka pada tradisi lisan dan pelestarian bahasa dengan judul "Melestarikan Warisan Budaya Takbenda di Indonesia"

berpendapat bahwa IK adalah sebuah konsep holistik, terstruktur dan ditularkan melalui bahasa pribumi. IK tidak dapat dipertahankan di luar konteks lokal dan bahasa yang masuk akal. Memberikan pengakuan penuh dengan ikatan erat antara budaya, IK, dan bahasa pribumi, dan mengakui fungsi bahasa sebagai sumber daya tak tergantikan dari IK, UNESCO Jakarta, bekerja sama dengan SIL Jakarta, mendukung program untuk menjaga bahasa yang terancam punah dan untuk mengintegrasikan IK dan bahasa pribumi dalam pendidikan. Upaya untuk melestarikan dan melindungi tiga elemen di Indonesia mencerminkan realisasi cakrawala budaya nusantara ‘Wawasan Kebudayaan Nusantara’.

Bentuk-bentuk realisasinya dapat berupa pelestarian produk budaya lokal yang pernah ada atau dalam pengamanan produk budaya lokal sendiri. Singkatnya, baik pelestarian dan pengamanan terhadap produk budaya lokal diharapkan menjadi pilar Identitas Nasional; sebagai hasilnya, Indonesia tidak terombang-ambing oleh produk budaya asing dan oleh ketidakpastian identitas nasional Indonesia saat ini.

Ketidakpastian identitas yang dimaksudkan di sini adalah kegagalan sebagian masyarakat di dalam menentukan pilihan untuk kepentingan nasional. Misalnya,

98Artikel dari ketiganya dapat ditemukan di http://www.sil/org/asia/ldc/parallel papers/unesco_jakarta.pdf.

sebagian masyarakat lebih memilih menggunakan produk luar di dalam kehidupan sehari-hari padahal produk-produk nasional terdapat juga di pasaran.

Konflik99 harus dihindari ketika upaya-upaya tentang bagaimana melestarikan dan melindungi tradisi sedang berlangsung. Beberapa negara100 terbukti sukses dalam mempertahankan tradisi pribuminya dan mendapatkan prestasi yang lebih tinggi dalam mengembangkan semua aspek kehidupan. Di Asia Selatan dan Tenggara negara-negara seperti India, Nepal, Myanmar, Sri Lanka, dan Thailand telah mampu mempertahankan bagian penting dari tradisi mereka dan menggabungkan beberapa elemen-elemen kapitalisme modern dan demokrasi.

Sementara ke Timur ditemukan Jepang, Korea Selatan, Taiwan, Hong Kong, dan Singapura. Tradisi adat telah dipertahankan meskipun dengan infus ide dan praktik Barat.

2.9.6 Miss Roikhwanphut Mungmachon

Mungmachon101 mengadopsi Vasi (2007) yang mendefinisikan

"masyarakat" sebagai masyarakat mini di mana setiap anggota memiliki tujuan dan harapan yang sama, saling membantu dalam berbagai cara, dan belajar

99 Smart (1989:27) berdalih bahwa ... dalam memikirkan tradisi sebagai memiliki formasi periode

“akar” (root) dan periode klassik, dan juga era informasi lainnya, kita perlu menghindari konflik-konflik yang tidak perlu.

100 Lihat Ninian Smart.

101 Miss Roikhwanphut Mungmachon adalah mahasiswa kandidat doktor di Ubon Rachathani University (Thailand) dan menulis dalam artikelnya “Knowledge and Local Wisdom: Community Treasure” which was published in Internationa Journal of Humanities and Social Science. 2(13), 2012; 174-180.

sama; masyarakat kecil pasti tahu tentang rasa persatuan, dan memelihara identitas yang stabil dalam menghadapi perubahan sosial yang cepat. Konsep tersebut dijadikan sebagai model untuk revitalisasi. Ia berusaha menyadarkan para penduduk bahwa mereka adalah “harta”. Dia mencatat lima contoh masyarakat yang menjadi kuat dan stabil: jaringan masyarakat Khaendong, desa Lahokkrasang, pusat pembelajaran desa Saengjan, masyarakat Pangmapha, dan Yayasan pertanian padi berkelanjutan Khwan Khao .

Khaendong adalah sub-distrik di Propinsi Buriram dan merupakan sebuah jaringan .masyarakat yang kuat dan stabil setelah para anggota jaringan ini memulihkan kepercayaan diri mereka sehingga mampu menghidupkan kembali cara-cara tradisional yang berkaitan satu sama lain, dan bekerja sama dalam berbagai kegiatan ekonomi seperti membuat makanan olahan, memproduksi obat-obatan herbal dan produk kesehatan lainnya. Mereka memiliki dana kesejahteraan untuk memberi dukungan terhadap anak-anak dan remaja, mempunyai pusat pemasaran untuk segala produksi, dan terdapat kelompok tabungan masyarakat yang dijalankan oleh anggotanya sendiri.

Desa Lahokkrasang pernah menjadi hutan Kaokok tapi hutan ini dirusak oleh kapitalis, pejabat lokal dan pemerintah pada tahun 1992 dan 2002.

Mungmachon berpendapat bahwa masalah di desa ini telah diselesaikan dengan lima strategi: i) rekonsiliasi, ii) mempercayakan perawatan bagian dari hutan kepada masing-masing komunitas yang berdampingan dengan bagian hutan tersebut, iii) mempromosikan proyek "hutan di rumah" dengan mendorong setiap keluarga memiliki kebun yang sekaligus sebagai dapur mereka sendiri, sehingga mengurangi intrusi mereka ke dalam hutan, iv) memulai sebuah proyek "hutan

bersaksi" dengan mendorong para penduduk lokal untuk merawat hutan, dan v) survei hutan bersama dengan kelompok Pemuda Cinta Alam dan para sesepuh setempat yang mengetahui nama-nama pohon dan ramuan spesies hutan.

Desa Saengjan adalah desa kecil dengan hanya kurang dari setengah hektar.

Para filsuf dan pemimpin lokal mengundang 40 anggota di desa Saengjan ke pusat belajar untuk mengatur pertukaran pengetahuan dan mengunjungi “tempat tidur kebun” dari setiap anggota setiap bulan dengan tiga tujuan: untuk mendorong pembelajaran di tingkat masyarakat, untuk menyadari pengetahuan dan kebijaksanaan, dan belajar hal-hal baru dari luar masyarakat.

Kearifan lokal masyarakat Pangmapha tergolong unik. Anggota komunitas ini menolak untuk menggunakan bahan kimia dalam pertanian mereka, mempromosikan pertanian alami babi, hambatan pencegahan kebakaran, sistem saluran air, reboisasi, restorasi budaya lokal dan permainan tradisional bekerjasama dengan sekolah-sekolah, dan berbagi pengetahuan dan kebijaksanaan oleh tetua dengan pemuda.

Yayasan Khwan Khao menciptakan "Sekolah Petani" dengan menawarkan pelatihan dalam pengendalian hama biologis, tanah bergizi, dan mengembangkan varietas padi. Akibatnya, pertanian padi berkelanjutan dicapai setelah anggota menggabungkan pengetahuan tradisional mereka dengan pengetahuan modern.

2.9.7 Supawadee Juysukha

Juysukha (2011: 92-93) telah melakukan penelitian dan akhirnya membuat program revitalisasi terhadap dua kebutuhan penting, baik segala kebutuhan yang

bersifat fisik dan mental. Dalam kebutuhan fisik ia menawarkan empat cakupan:

makanan, pakaian, tempat tinggal, dan obat-obatan. Makanan lokal yang bersifat umum adalah makanan Muslim yang halal.102

Di bawah disiplin agama, umat Islam diwajibkan untuk memakai pakaian menyeluruh (hijab). Bahan dan struktur bangunan disesuaikan dengan wilayah dari setiap komunitas. Obat rakyat terutama yang terbuat dari tumbuh-tumbuhan (herbal medicines) harus dipopulerkan secara luas dengan cara mempromosikannya di toko-toko obat modern. Sementara itu, dalam hal kebutuhan mental (atau jiwa) ia mengagendakan ‘perdamaian’ dan ‘keamanan’ sebagai kebutuhan yang masuk dalam skala prioritas utama. Kedua agenda yang ditawarkan oleh Juysukha pantas untuk diterapkan di Indonesia sehingga setiap individu di negeri merasa damai dan aman di berbagai kegiatan sehari-hari.

2.9.8 Yer J. Thao

Di dalam bukunya “The Mong Oral Tradition: Cultural Memory in the Absence of Written Language” Thao memberi perhatian penuh pada suku Mong di Cina. Di dalam bab 4 yang ia beri judul “Oral Tradition as a Source of Knowledge”

Thao (1970:63) membahas upacara penguburan yang dianggap sebagai upacara paling penting bagi masyarakat Mong. Konsep filosofis tentang kematian di suku ini adalah bahwa “orang mati memberi nilai terhadap kehidupan sama seperti manusia yang masih hidup”. Oleh karena itu, mereka wajib menyanyikan lagu-lagu

102 Supawadee Juysukha melakukan penelitian di lima propinsi di Thailand dan mempresentasikan artikelnya “The wisdom, evolution and the relationship between lifestyle and community-based product design development” di First International Conference on Interdisciplinary Research and Development di Thailand, 31 May – 1June, 2011.

duka cita (yang di dalam bahasa lokal disebut quaj hab nyiaw) sebagai bentuk duka cita dari mereka dan untuk menghormati dan menghibur jiwa orang yang maninggal sehingga jiwa tersebut dapat berangkat ke dunia lain dengan bahagia. Salah satu lagu wajibnya adalah nkauj yang biasanya dinyanyikan oleh penyanyi profesional yang sengaja dipilih oleh keluarga dari yang meninggal.

Bagi para pelayat yang tidak memiliki hubungan kekeluargaan dengan yang meningga, mereka harus juga menyanyikan lagu-lagu duka cita sebagai bentuk cinta mereka terhadap yang mati dan sebagai ekspresi seberapa sedih mereka ditinggalkan oleh si mati.

2.9.9 Matthew Liebmann

Terkait dengan studi revitalisasi terhadap nilai dari budaya material, Liebmann (2008: tanpa halaman) berpendapat bahwa “persepektif berbasis material memberi ruang pada pengujian terhadap gerakan revitalisasi dari bawah ke atas (bottom up) melalui tindakan-tindakan yang masih dianggap gelap...”. Ini berarti bahwa dunia budaya yang terkadang dianggap sebagai sisi gelap oleh sebagian orang dapat diteliti dan kemudian direvitalisasi dengan melibatkan masyarakat bawah yang sudah dikenal memiliki keperdulian terhadap budayanya sendiri. Ia kurang (atau bahkan tidak) mempercayai bahwa revitalisasi dapat dilakukan dari atas-ke-bawah (top-down) yang selalu disandarkan pada pendekatan yang terpusat pada elit pemerintahan (elite-centered approach). Ia juga menawarkan bahwa program revitalisasi dapat dikerjakan dengan melibatkan para pemimpin khrarismatik.

2.9.10 Revitalisasi ‘melukis pasir’

Yang paling mengarah ke bentuk operasional dari model revitalisasi adalah apa yang dilakukan oleh UNESCO dan Pemerintah Vanuatu103 ketika mereka berusaha untuk menyelamatkan budaya melukis pasir (sand drawing). Melukis pasir di sana menjadi sebuah keterampailan tersendiri yang dimiliki oleh penduduk lokal. Mereka mampu mendekorasi pinggiran pantai dengan berbagai model hiasan pasir dan hiasan ini memiliki berbagai motif yang menarik dan para pelukis harus berlomba dengan air laut yang menuju di pantai untuk menyelesaikan lukisan mereka. Begitu air laut menyentuh bibir pantai maka lukisan mereka segera hilang.

Langkah-langkah yang mereka lakukan adalah: (1) melakukan kampanye keperdulian di tingkat komunitas, provinsi dan seterusnya, (2) mentransformasikan tradisi, (3) dijadikan sebagai sebuah studi di kurikulum sekolah, (4) penciptaan undang-undang nasional untuk perlindungan pengetahuan tradisional, (5) merancang data base dan situs internet, (6) penciptaan kurikulum nasional dan pelatihan guru, (7) mengorganisasikan kegiatan publik, seperti pertunjukan (performances), eksibisi, dan festival dan penciptaan tenaga ahli, (8) melakukan interaktif permanen di museum, dan (9) menjembatani artis-artis pribumi (indigenous artists) dan para pemimpin masyarakat (community leaders) untuk muncul dalam pertunjukan budaya.

Walaupun prosedur revitalisasi di atas diperuntukkan bagi sebuah permainan pasir pantai namun melukis di pasir telah memberi inspirasi untuk

103 Sumber tersebut dapat dilihat di http://www.unesco.org/culture/ich/index.php?project_id=00022.

29/12/2012 dan http://www.linkedin.com/pub/stephen-zagala/3a/167/7ab.29/12/2012)

mengambil sebagian dari langkah-langkah revitalisasi tersebut sebagai bahan pertimbangan untuk revitalisasi NKMCM, misalnya: transformasi tradisi, muatan lokal, pembuatan UU Nasional tentang perlindungan pengetahuan tradisional, data base dan situs internet, dan Penciptaan kurikulum dan pelatihan. Program revitalisasi tradisi NKMCM ditekankan pada bentuk performansi karena bentuk ini, seiring dengan perubahan zaman, mengalami perubahan yang sama. Perubahan zaman dan perubahan perilaku manusia tidak dapat dikekang.

3

Bagan 2.3 Langkah-langkah revitalisasi permainan pasir di Vanuatu