• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tradisi Penguburan di Berbagai Agama

Bagan 2.2. Alur ritual gendang adat nurunken si mate

2.5 Tradisi Penguburan di Berbagai Agama

Di bagian ini, diskusi diarahkan ke beberapa penelitian tentang upacara-upacara kematian di beberapa agama, seperti pada agama Islam, Kristen, Budha, Hindu, Yahudi, Sikh, agama-agama Cina dan Jepang. Penelitin-penelitian terhadap agama-agama tersebut dihadirkan kembali sebagai bahan-bahan tambahan untuk

1. Erpangir bas paspasen

2. Tektek ketang

3. Gendang jumpa teruh

4. Gendang nangketken ose

5. Gendang naruhken tudungen

6. Landek adat 6.1 Sukut

6.2 Kalimbubu

6.3 Anak beru dan diikuti pihak

lainnya

mendukung tentang sebuah kondisi bahwa tradisi kematian dalam masyarakat Karo memiliki kekhususan tersendiri.

2.5.1 Agama Islam

Buku sederhana tentang panduan “sholat dan cara memulainya” (tanpa penulis, tahun dan tempat terbit) memberi arahan bahwa “Islam mengajarkan kepada umatnya untuk menghormati orang yang meninggal dengan melaksanakanupacara yang dimulai dengan memandikan jenazah,50

50 Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin (2011: 3-6) berpendapat bahwa apabila sudah pasti meninggalnya seorang muslim, disyari’atkan bagi orang yang ada di sekitarnya memejamkan matanya, mengikat rahangnya dan menutupinya, dan segera mengurusnya. Tata cara memandikan jenazah adalah melaksanakannya di tempat tertutup yang tidak dilihat orang lain, tidak ada yang hadir selain yang ikut memandikan atau yang membantunya. Kemudian dilepas pakaiannya setelah diletakkan kain di atas auratnya sehingga tidak terlihat.Dimulai dengan memandikannya secara syar’i yaitu membasuh kedua tangannya, kemudian mengelurkan kotoran dari perutnya, mewudhukannya seperti wudhu shalat. Kemudian dibasuh kepala dan jenggotnya dengan air yang dicampur dengan daun bidara atau semisalnya berupa sabun atau asynaan. Kemudian menyiram air di sebelah kanan, kemudian sebelah kiri. Kemudian melakukan hal yang sama yang kedua dan ketiga. Jika belum bersih, ditambah hingga lima kali atau tujuh kali dan berikan kapur barus dibasuhan terakhir jika ada. Dan setelah itu diberikan minyak wangi di lipatan kaki dan tangannya, tempat-tempat sujudnya, dan jika ia diberikan minyak wangi di seluruh bagian tubuh nya maka lebih baikJenis tumbuhan yang tumbuh di tanah berpasir, ia biasa digunakan atau abunya dalam mencuci pakaian atau tangan ditambah hingga lima kali atau tujuh kali dan berikan kapur barus dibasuhan terakhir jika ada. Dan setelah itu diberikan minyak wangi di lipatan kaki dan tangannya, tempat-tempat sujudnya, dan jika ia diberikan minyak wangi di seluruh bagian tubuh nya maka lebih baik.

Jika ia mencukupkan dengan sekali mandi saja maka hal itu boleh. Rambut perempuan diikat tiga ikatan (sanggul) dan diletakkan di belakangnya.

mengkafaninya,51 mensolatinya,52 dan mengkuburkannya53 (hal. 42).” Shiddieqy (1951: 459) pernah menulis bahwa Rasulullah SAW memberi istilah ‘orang yang membelakangi dunia’ kepada seseorang yang telah meninggal dunia. Reid (2011:

114-115) pernah memaparkan catatan Nicolaus de Graaff yang pernah mencatat jalannya upacara pemakaman penguasa Aceh, yaitu Sultan Iskandar Thani, yang wafat pada Februari 1641 sebagai berikut:

“Iringan-iringan pemakaman dilaksanakan dengan penuh keanggunan: terdiri dari barisan-barisan para Pangeran, Bangsawan,

51 Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin (2011: 7) berpendapat bahwa jenazah laki-laki dikafani dengan tiga kain putih yang tidak ada padanya pakaian dan surban, dilipat satu persatu. Dan boleh dikafan pada pakaian, sarung dan satu lipatan, atau satu lipatan saja. Perempuan dikafani dengan lima helai kain yaitu pakaian, penutup kepala, kain dan dua lipatan. Dan jika dikafan pada satu lipatan juga dibolehkan.

52 Shiddieqy (1951: 460-476) menulis beberapa hal yang telah disepakati oleh para fuqaha bahwa shalat jenazah itu fardhu kifayah (dilakukan secara berjamaah), misalnya, bahwa shalat jenazah mempunyai beberapa rukun: pertama, niat; kedua, berdiri oleh yang sanggup berdiri; ketiga, empat kali takbir yang diselingi oleh beberapa ketentuan, misalnya, mengangkat tangan di takbir yang pertama saja, tidak lagi pada takbir-takbir lain; keempat, membaca alfatihah secara sir (di dalam hati) sesudah takbir pertama dan disukai berdoa sesudahnya; kelima, membaca salawat kepada Rasul SAW sesudah takbir kedua dan disukai berdoa sesudahnya; keenam, berdoa sesudah takbir ketiga;

ketujuh, berdoa sesudah takbir keempat; dan kedelapan, salam. Setelah ini, jenazah dibawa ke kuburan dengan ketentuan bahwa “orang-orang berkendaraan berjalan di belakang jenazah, orang yang berjalan kaki boleh dimana saja ia kehendaki, dan anak kecil dishalatkan untuknya” (H.R.

Ashhabus Sunan, Nailul Authar 4: 82). Ketentuan lainnya tentang shalat jenazah adalah: pertama, anak kecil (bayi) yang baru lahir dalam keadaan hidup, ada gerak atau bersin dishalatkan jenazahnya; kedua, anak yang gugur sebelum empat bulan hanya dimandikan saja (tidak dishalatkan), lalu dikafani dan dikuburkan; ketiga, seorang perempuan yang mati dirajam lantaran melakukan zina dishalatkan; keempat, orang yang tidak dishalatkan jenazahnya dari orang-orang Islam ialah para syahid yang meninggal di medan pertempuran namun orang yang luka dalam pertempuran, kemudian mati maka jenazahnya dimandikan dan dishalatkan.

53 Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin (2011: 9-11) berpendapat bahwa jenazah tidak boleh diikuti dengan penerangan lampu, tidak boleh ditinggikan suara dalam berdoa bersamanya dan tidak pula tahlil. Jenazah diletakkan di ahat jika memungkinkan, jika tidak bisa dibuat shaqq (lobang di tengah kubur). Setelah kubur diratakan tanah, dianjurkan para hadirin agar berdiri sesaat, memohon ampun untuknya dan memohon keteguhan baginya. Tidak boleh ditunda kecuali dalam batas kebutuhan mengurusnya atau menunggu datang kerabatnya, atau tetangganya, apabila hal itu tidak terlalu lama menurut pandangan umum, berdasarkan sabda Nabi Muhammad shallallahu ‘alahi wa sallam : ﺣ ﻤ َ ﺎﺎأ رﻮﺳأ ﻪﺖﻠﻋﷲﻤﷲﻤ و: ( ﻢﻠﺳ َ ﻋﺳ َ ـﺎة ز َﺠﺘﻣ) ﺑﻟﺎﻨـﻖ َ ﺖﻠﻋ ‘Segeralah mengurus jenazah.’ Tidak boleh diadakah walimah atau tidak boleh didirikan tenda dan semisalnya, yang biasa dinamakan tanda berduka cita. Orang yang tidak sempat shalat atasnya boleh shalat di atas kuburnya apabila ia berada di kuburan si mayit hingga batas dua bulan. Sesungguhnya Nabi Muhammad shallallahu ‘alahi wa sallam shalat di atas kubur Ummu Sa’ad radhiyallahu ‘anha setelah dikuburkan satu bulan. Tidak boleh menguburkan seorang muslim di pemakaman kaum Nashrani dan orang-orang kafir lainnya seperti Yahudi, komunis dan penyembah berhala (paganisme).

dan Pejabat tinggi, dan 260 ekor gajah, semua berselimutkan kain sutra yang sangat mahal, kain emas, dan kain bersulam. Gading gajah-gajah itu ada yang bertatahkan emas, ada yang bertatahkan perak; ada gajah yang dilengkapi rumah-rumah kecil dan tenda mewah di punggungnya, penuh dengan rumbai-rumbai dari perak dan emas.

Juga ada beberapa badak bercula dan kuda Persia dengan kekang dari perak dan emas, dan berkaitkan kain-kain yang mahal. Jenazah dibawa dengan peti dari tembaga suasa, setengah emas setangah suasa, ke liang kubur yang digali oleh leluhur... Jenazah Raja baru diturunkan ke liang kubur setelah dua meriam kembar dari perak ditembakkan, dan setelah itu semua senjata api di nAceh ditembakkan sepanjang malam, diiringi dengan seruan-seruan terus menerus

“Tuhan melindungi Ratu yang baru.”

2.5.2 Agama Kristen

Davies, dalam Holm dan Bowker (Ed.) (2007:53) berpendapat kematian sebagai “awal kesedihan ditandai dengan penguburan orang yang meninggal;

setelah itu, yang ditinggal mati menjadi duda atau janda dan anak-anak tidak memiliki ayah atau ibu ... bahwa mereka menjadi yatim piatu karena kehilangan kedua orang tuanya.” Pernyataannya dalam tanda petik di atas juga bermakna bahwa dalam tradisi teologi Kristen yang luas “kematian mengakhiri perkawinan.”

Dalam sub bab tentang kematian54 Davies menguraikannya dengan panjang lebar.

54 Davies menjelaskan perubahan besar di Inggris, dan di beberapa bagian di Eropa, terjadi pada munculnya kremasi, dan krematorium sebagai tempat di mana tubuh bertemu dengan kesudahannya, dan juga pada munculnya rumah pemakaman sebagai tempat di mana jasad disimpan bukannya dalam lingkungan domestik rumah orang yang meninggal. Ritual ritus terakhir dalam tradisi Katolik meliputi pengakuan dosa, absolusi oleh imam, pengurapan dengan minyak, dan komuni. Idenya adalah mempersiapkan perjalanan orang yang akan meninggal kepada Tuhan yang akan diikutinya;

bagian komuni dari ritus tersebut bahkan disebut dalam bahasa Latin viaticum (perbekalan untuk suatu perjalanan). Beberapa saat setelah seseorang meninggal, persiapan jenazah berupa sebuah ibadat singkat yang dapat dilakukan di rumah orang yang meninggal, di rumah pemakaman khusus atau dibawa ke gereja pada malam sebelum pemakaman. Pada hari penguburan, ibadat singkat mendahului keberangkatan jenazah dari rumah manusiawinya ke gereja, menuju pemkaman, atau karena kadangkala ibadat gereja mendahului ibadat di krematorium sementara di tempat lainnya tidak ada ibadat di gereja, dan di kesempatan lain ibadat utama dilakukan di gereja dengan sangat sedikit ritual dilakukan di krematorium. Upacara diakhiri dengan pemberian status baru kepada orang yang meninggal, dimasukkan ke dalam kehidupan abadi (dalam Holm dan Bowker (Ed.) (2007:55-56).

Ia juga melaporkan pandangan pro-kontra tentang kremasi dan terutama pandangan dari aliran Ortodoks.55

2.5.3 Agama Budha

Lamb, dalam Holm dan Bowker (Ed.) (2007:32), berpendapat

“pemakaman56 merupakan pengingat kematian dan ketidak-kekalan dan sangat tepat bahwa para biarawan mengambil kesempatan untuk mewartakan buddhadharma karena kasihan kepada orang yang kehilangan.” Setelah mengucapkan stanza (seperti yang ditampilkan pada akhir catatan kaki 12), para biarawan melanjutkan proses57 selanjutnya, misalnya, mengambil kain putih hingga

55 ... banyak gereja dari tradisi Protestan mnerima kremasi awal abad ke dua puluh, gere Katolik Roma baru melakukannya di tahun 1960-an, dan gereja-gereja Ortodoks tetap menolak praktik tersebut. Ia mengagumi praktik gereja Ortodoks tersebut karena menunjukkan pendekatan Kristen yang paling tradisional terhadap kematian, dan juga melanggengkan komitmen dasar akan kebangkitan Kristus sebagai aspek dominan teologi dan liturginya. Bentuk-bentuk ibadat berbeda tergantung pada apakah yang meninggal anak-anak, orang awam, atau imam. Pola umum mengikuti perbedaan tiga tingkatan antara ibadat di rumah, di gereja, dan di makam dengan satu doa di tiap kesempatan. Skema keseluruhannya adalah prosesi perjalanan. Peti ditempatkan di dalam gereja sedemikian rupa sehingga wajah orang yang meninggal menghadap ke altar; peti biasanya dibuka.

Lagu pujian dan ayat-ayat yang dinyanyikan sama seperti untuk Sabtu Suci, hari sebelum Minggu Paskah. Umat memberikan ciuman damai kepada jenazah untuk melambangkan bahwa ia masih menjadi bagian dari persaudaraan total gereja dalam Kristus. Di makam, tanah diletakkan di atas peti dalam bentuk salib dan makam diberkati untuk menerima jenazah, kemudian semua pulang.

Davies menambahkan bahwa dalam konteks desa Mediterania mengenai khidupan ortodoks Yunani, jenazah tidak hanya ditinggalkan di makam selamanya. Telah menajdi tradisi bahwa tulang-tulang jenazah akan diambil dari makam antara tiga sampai lima tahun setelah pemakaman dan ditempatkan di tempat khusus menyimpan tulang-tulang jenazah desa tersebut (Davies dalam Holm dan Bowker (Ed.) (2007:58-59).

56 Lamb, dalam Holm dan Bowker (Ed.) (2007:32-33), menjelaskan bahwa pada pemakaman itu sendiri kain putih dibentangkan di atas peti. Seorang biarawan memimpin pencarian perlindungan dalam Tiga Mustika dan Lima Ajaran. Kemudian ia mengucapkannya tiga kali, diulangi oleh semua yang hadir: “Saya memberikan pakaian – jenazah ini kepada Sangha para biarawan.” Para biarawan membentangkan kain di atas peti dan menyanyikan stanza yang pertama kali diucapkan pada saat kematian Budha: “Hal-hal yang terbentuk sungguh tidak kekal, dapat naik atau turun. Setelah naik, mereka dihancurkan, pemberian kebahagiaan yang paling sejati mereka.”

57 Lamb, dalam Holm dan Bowker (Ed.) (2007:33), lebih lanjut mengatakan bahwa para biarawan mengambil kain putih yang secara simbolis menyerap kotoran jenazah; mereka kebal terhadapnya.

Kain tersebut juga melambangkan ... apa yang dapat dilakukan pertapa dengan mana para biarawan dapat membuat jubah dari kain-kain yang dibuang pada tumpukan-debu atau di tempat kremasi.

Setelah kain dilepaskan, air dituangkan dari tempayan ke dalam mangkuk sampai tumpah sementara

menuangkan air dari tempayan. Lamb juga memaparkan satu contoh pemakaman yang terjadi di Tibet yang ritusnya58 tergolong unik. Lamb, dalam Holm dan Bowker (Ed.) (2007:34-35), melaporkan hasil penelitiannya bahwa dalam pemakaman Tibet ritusnya sangat beragam; jenazah dapat dibuang dengan penguburan ‘udara’,59 dikubur dalam air, dikubur dalam tanah, dikremasi atau ditempatkan dalam stupa,60 sesuai dengan status orang yang meninggal. Bilamana terdapat seseorang yang dalam keadaan sekarat, upacara pembacaan Bar-do Thos-grol dapat segera diinisiasi. Pada saat sanak saudara dan teman-teman dari yang meninggal datang, mereka membawa bingkisan untuk keluarga yang berduka dan

para biarawan menyanyikan bait-bait. Setelah itu khotbah disampaikan dan para biarawan biasanya pulang, meninggalkan para keluarga untuk menyelesaikan penguburan atau kremasi....

58 Lamb, dalam Holm dan Bowker (Ed.) (2007:35), melaporkan hasil penelitiannya bahwa dalam pemakaman Tibet ritusnya sangat beragam; secara umum, jenazah, ditutup dengan kain-putih, dibaringkan dan upacara pembacaan Bar-do Thos-grol ke telinga orang yang meninggal selama periode tiga sampai lima hari dilakukan oleh biarawan.... Kemudian, jenazah ditelanjangi, lutut ditarik ke atas ke dada dan diikat dengan posisi seperti embrio. Kemudian jenazah dibungkus dengan selimut wool. Pembuangan jenazah dilakukan jika sudah yakin bahwa tubuh dan kesadaran telah berpisah. ... para pelayat diberi makan dan sebagian makanan danminuman ditawarkan kepada roh yang meninggal. Setelah pemakaman dilakukan dengan benar patung orang yang meninggal ditempatkan di rungan dan diberikan makanan selama empat puluh sembilan hari bar-do secara penuh....

59 Lamb, dalam Holm dan Bowker (Ed.) (2007:36), berpendapat bahwa bentuk pemakaman yang paling umum untuk rakyat biasa, yaitu penguburan udara. Jenazah dibawa naik ke puncak bebatuan yang tinggi dan membakar kayu cypress. Tsam-pa (tepung gerst yang dibakar) ditaburkan di atasnya dan asap memberi tanda bagi burung-burung hering untuk berkumpul. Daging jenazah dipotong-potong dijadikan irisan kecil-kecil dan disihkan; kemudian tulangnya dihancurkan dan dicampur dengan tsam-pa. Ini diumpankan ke burung-burung sehingga setiap bagian tubuh dimakan.

60 Lamb, dalam Holm dan Bowker (Ed.) (2007:36) melaporkan bahwa penguburan air digunakan untuk para pengemis, kaum papa dan janda; penguburan tanah untuk para perampok, pembunuh dan mereka yang meninggal karena kusta dan cacar; kremasi untuk bangsawan dan para biarawan yang tinggi kedudukannya. Jenazah ditempatkan di dalam stupa dengan lutut ditekuk ke atas dan ditali dengan syal putih. Lengan disilangkan dan vajra serta lonceng ditempatkan di tangan. Di atas kepala diletakkan topi bodhisattva hitam yang dihiasi dengan tasbih hitam. Pakaian merah diletakkan di atas wajah. Stupa, yang terbuat dari batu bata yang ditutup dengan lumpur dan air kapur, dibangun di sekeliling jenazah. Kayu ditumpuk di sekeliling dan minyak dituangkan di atasnya. Ada empat lubang di sekeliling dasaran dan dua lagi untuk menerima persembahan pada bagian atas. Api harus disulut oleh seseorang yang belum menerima pengajaran Lama. Jenis pemakaman yang paling tinggi, yaitu penyimpanan dalam stupa, disiapkan untuk para Lama yang paling tinggi, seperti Dalai dan Tashi Lama. Jenazah dimumikan dengan garam dan rempah-rempah, ditutup dengan zat semacam semen, ditutup emas dan bagian wajah dilukis.

syal sutra putih untuk yang meninggal. Tidak ada ornamen yang terpasang di ruangan dimana jenazah dibaringkan; keluarga tidak boleh mencuci wajah dan menyisir rambut selama masa berkabung. Selain itu, jenazah tidak boleh disentuh;

ini dimaksudkan agar tubuh bar-do dapat berpisah sendiri dari tubuh jasmaniahnya.

2.5.4 Agama Hindu

Flood, dalam Holm dan Bowker (Ed.) (2007:71), mengatakan bahwa dalam agama Hindu terdapat empat tahap yang dapat dilalui oleh kasta tinggi atau seorang pria yang ‘dilahirkan dua kali’: tahap pelajar (brahmacarya), tahap kepala rumah tangga (grhastha), tahap penghuni hutan (vanaprastha) dan tahap orang yang meninggalkan dunia61 (samnyasa). Dua tahap pertama berkaitan dengan kehidupan duniawi, yang ketiga dengan kehidupan di luar tugas-tugas rumah tangga, dan yang terakhir dengan ketidakterbatasan dunia dan penyelamatan.

Flood menjelaskan lebih lanjut tentang konsep keluarga kotor pada hari kedua hingga satu tahun setelah kematian anggota dari sebuah keluarga Hindu:

“... bahwa pada hari-hari setelah kematian, keluarga menjadi kotor.

Lama keadaan kotor ini beragam di mana-mana. Ada persembahan berupa nasi yang dibentuk seperti bola kepada orang yang meninggal dengan tujuan untuk membangun dan memberi makan tubuhnya di kehidupan setelah mati. Tubuh ini akan menjadi lengkap setelah sepuluh hari kemudian dan keluarga dibebaskan dari kotoran-kematian

61 Flood, dalam Holm dan Bowker (Ed.) (2007:74-84), menjelaskan bahwa tahap orang yang meninggalkan dunia (samnyasa) ditandai dengan ritus penguburan (antyesti) yang menandai akhir dari kehidupan rumah tangga dan mulainya keberadaan baru. Pola ritus penguburan yang umum adalah jenazah dimandikan dan diurapi dengan perekat dari kayu-sandal, biasanya dicukur apabila laki-laki, didandani dan dibungkus dalam kain, dan dibawa ke tempat kremasi oleh teman-teman dan saudara-saudara lelakinya yang, berbeda dengan rposesi penguburan barat, bergerak secepat mungkin, sambil menyanyikan nama Tuhan (misalnya ‘Ram’). Di atas tumpukan kayu api pembakaran, sering kali di tepi sungai di mana abu akan ditenggelamkan, kaki jenazah diarahkan ke dunia Yama (dewa kematian) ke selatan, dan kepala ke dunia Kubera (dewa kemakmuran) ke arah utara. Pot dipecahkan di samping kepala jenazah, yang melambangkan pelepasan jiwa.

yang paling berbahaya. Antara tiga belas hari dan satu tahun sesudah kematian, persembahan terakhir berupa nasi yang dibentuk seperti bola (pinda) dilakukan dalam ritus sapindikarana.” (Flood dalam Holm dan Bowker (Ed.) (2007:84)

2.5.5 Agama Yahudi

Unterman, dalam Holm dan Bowker (Ed.) (2007:139), menjelaskan konsep Yahudi tentang kematian bahwa orang yang sudah meninggal harus dikuburkan sesegera mungkin setelah kematian, lebih baik pada hari yang sama. Selanjutnya, Unterman menjelaskan dengan seksama bahwa konsep kemasyarakatan Yahudi didasarkan pada paguyuban chevra kaddisha (‘persahabatan suci’) yang terdiri dari para relawan pria dan wanita yang memandikan jenazah dan mendandaninya dengan kain kafan sebelum dimasukkan ke dalam peti.

Sejumlah tanah dari bumi Israel dimasukkan ke dalam peti yang sudah berisi jenazah sehingga, setidaknya secara simbolis, orang yang meninggal tersebut dikebumikan di Tanah yang Suci. Saat penguburan, saudara dekat adalah yang pertama kali melemparkan tanah ke dalam liang kubur dan anak-anak lelaki mengucapkan ayat khusus dari doa kaddish di sisi makam. Setelah penguburan,62 keluarga pulang ke rumah untuk acara pesta tradisional orang yang berduka, yang

62 Unterman, dalam Holm dan Bowker (Ed.) (2007:140-141), menambahkan bahwa semua anggota keluarga dekat berduka selama seminggu pertama setelah penguburan, dikenal sebagai shiva (‘tujuh’). Mereka tinggal di dalam rumah, duduk di kursi yang rendah, mengenakan pakaian sobek dan sepatu nonkulit, tidak mencukur rambut maupun mandi, dan menutup seluruh cermin di rumah.

Lilin peringatan tetap dinyalakan di rumah duka selama tujuh hari dan perayaan doa dilakukan di sana. Doa peringatan untuk orang yang meninggal disampaikan dan para anggota komunitas datang untuk menghibur orang-orang yang berduka. Dari hari ketujuh hingga ke tiga puluh, yang disebut sheloshim (‘tigapuluh’), anggota keluarga kembali ke kehidupan normal namun tetap menghindari pesta-pesta yang terdapat irama musik; sementara itu, orang tua dan saudara sekandung mengakhiri duka mereka setelah sheloshim sedangkan anak-anak lelaki meneruskan semi kedukaan mereka selama sebelas bulan pertama setelah kematian.

terdiri dari makan-makanan berbentuk bulat seperti telur rebus yang keras dan biji sayuran semacam buncis.

2.5.6 Agama Sikh

Kalsi, dalam Holm dan Bowker (Ed.) (2007:143-156), mengungkapkan bahwa agama Sikh memiliki istilah awagaun yang bermakna ‘siklus kelahiran dan kematian’ dan mencatat beberapa istilah yang digunakan oleh umat Sikh untuk mengungkapkan kematian seseorang: puraho giya (menyelesaikan rentang hidupnya), surgwas ho giya (telah berdiam di surga), sansar yatra poori kar giya (telah menyelesaikan peziarahan dunia ini), dan rab da bhana (keinginan ilahi).

Dengan demikian, konsep kematian dipahami oleh umat Sikh sebagai ‘akhir kehidupan namun dipandang sebagai transisi bertahap dari keberadaan duniawi ke keberadaan di surga.’ Begitu seseorang dinyatakan meninggal dunia, ada beberapa tahapan pemakaman63 yang harus dijalankan.

63 Kalsi, dalam Holm dan Bowker (Ed.) (2007:155-156), melaporkan hasil penelitiannya bahwa tahapan-tahapan setelah seseorang meninggal dunia adalah: pertama, mengangkat jenazah dari tempat tidur ke atas tanah (dharti te pauna); kedua, jenazah dimandikan secara ritual sebelum diberikan pakaian baru dan siap ditempatkan pada tandu jenazah (pemandian jenazah disebut antam ishnan ‘mandi terakhir’; ketiga, mengkafani dan pada kematian seorang suhagan (wanita yang telah menikah), kain kafannya disediakan oleh keluarga kelahirannya dan ia didandani seperti pengantin perempuan dan hal ini melambangkan pemenuhan keinginannya untuk meninggal sebelum suaminya; keempat, membawa tandu jenazah oleh anak laki-laki dan kakak laki-laki dari orang yang meninggal dan prosesi ini dipimpin oleh anak laki-laki tertua yang dijadikan sebagai kepala rumah tangga yang berduka (wanita dilarang mengambil bagian dalam prosesi ini); kelima, begitu tiba di tempat kremasi, tandu jenazah diturunkan ke tanah. Semua peziarah pria membentuk lingkaran tanpa putus di sekitar tandu jenazah (terdapat ritual kecil di sini, yaitu memecahkan pot tanah sekuatnya sebagai simbol pelepasan jiwa; keenam, tandu jenazah dibawa ke tempat kremasi dan diadakan upacara doa dan setelah upacara ini terdapat ritual agni-bhaint (agni berarti ‘dewa api’dan bhaint

63 Kalsi, dalam Holm dan Bowker (Ed.) (2007:155-156), melaporkan hasil penelitiannya bahwa tahapan-tahapan setelah seseorang meninggal dunia adalah: pertama, mengangkat jenazah dari tempat tidur ke atas tanah (dharti te pauna); kedua, jenazah dimandikan secara ritual sebelum diberikan pakaian baru dan siap ditempatkan pada tandu jenazah (pemandian jenazah disebut antam ishnan ‘mandi terakhir’; ketiga, mengkafani dan pada kematian seorang suhagan (wanita yang telah menikah), kain kafannya disediakan oleh keluarga kelahirannya dan ia didandani seperti pengantin perempuan dan hal ini melambangkan pemenuhan keinginannya untuk meninggal sebelum suaminya; keempat, membawa tandu jenazah oleh anak laki-laki dan kakak laki-laki dari orang yang meninggal dan prosesi ini dipimpin oleh anak laki-laki tertua yang dijadikan sebagai kepala rumah tangga yang berduka (wanita dilarang mengambil bagian dalam prosesi ini); kelima, begitu tiba di tempat kremasi, tandu jenazah diturunkan ke tanah. Semua peziarah pria membentuk lingkaran tanpa putus di sekitar tandu jenazah (terdapat ritual kecil di sini, yaitu memecahkan pot tanah sekuatnya sebagai simbol pelepasan jiwa; keenam, tandu jenazah dibawa ke tempat kremasi dan diadakan upacara doa dan setelah upacara ini terdapat ritual agni-bhaint (agni berarti ‘dewa api’dan bhaint