45 A. Karakteristik Dasar Subyek Penelitian
Studi cross sectional telah dilakukan di Ruang PICU dan HCU Pediatri RS dr.
Moewardi Surakarta. Selama observasi yang dilakukan pada Agustus – Mei 2021 telah diperoleh sampel sebanyak 25 pasien anak, sehingga telah memenuhi jumlah sampel minimal yang telah ditentukan. Berikut adalah karakteristik dasar sampel yang diperoleh dalam penelitian ini.
Tabel 1. Karakteristik Dasar Subyek Penelitian
Variabel Nilai Statistik Deskriptif
Jenis Kelamin, n (%) Laki-laki Perempuan
10 (40,0) 15 (60,0) Usia (tahun), median (min – max)1 1 (0,25 – 17,17) Berat Badan (kg), median (min – max) 1 8,8 (3,7 – 55,0) Suhu >38°C / <36°C, n (%)
Ya Tidak
22 (88,0) 3 (12,0) Takikardi, n (%)
Ya Tidak
18 (72,0) 7 (28,0) Takipneu, n (%)
Ya Tidak
16 (64,0) 9 (36,0) Leukosit >12000/mm³ / <4000/mm³ / Sel darah
putih >10%, n (%) Ya Tidak
18 (72,0) 7 (28,0) Prokalsitonin (ng/ml), median (min – max) 1 0,878 (0,036 – 1052) Skor PELOD-2, median (min – max) 1 4 (0 – 23) Derajat Disfungsi Organ, n (%)
Ringan Sedang Berat
12 (48,0) 12 (48,0) 1 (4,0)
Keterangan: 1 Semua variabel numerik tidak berdistribusi normal menurut uji shapiro-wilk. 2 Nilai ini diasumsikan untuk memenuhi sifat numerik, nilai aslinya adalah > 100 yaitu batas maksimal pengukuran alat.
Berdasarkan tabel 6 diketahui bahwa pembagian sampel menurut jenis kelamin tidak menunjukkan dominasi dengan proporsi yang signifikan baik laki-laki (40%) maupun perempuan (60%). Median usia pada penelitian ini adalah 1 tahun, mengindikasikan sample pasien yang didominasi oleh balita. Meskipun begitu penelitian ini berhasil mencakup variasi usia yang cukup besar (mewakili kategori usia anak) dengan usia terendah 3 bulan dan usia tertinggi 17 tahun 2 bulan. Dari empat kondisi yang menjadi kriteria kecurigaan infeksi, ketidaknormalan suhu (baik > 38°C atau < 36°C) menjadi kondisi yang paling banyak terjadi yaitu pada 88% pasien. Median nilai serum prokalsitonin pada penelitian ini adalah 0,878 ng/ml dengan nilai terendah 0,036 ng/ml dan nilai tertinggi lebih dari 100 ng/ml (dalam perhitungan diasumsikan menjadi 105 ng/ml agar dapat dianalisis). Median skor PELOD-2 pada penelitian ini adalah 4 dengan skor terendah 0 dan skor tertinggi 23. Hasil pengkategorian skor PELOD-2 menunjukkan bahwa mayoritas sampel mengalami disfungsi organ pada derajat ringan atau sedang (masing-masing 48%).
Tabel 2. Karakteristik Subyek Penelitian Berdasarkan Kategori Derajat Disfungsi Organ
Variabel Ringan Sedang Berat
Jenis Kelamin, n (%) Laki-laki Perempuan
7 (58,3) 5 (41,7)
2 (16,7) 10 (83,3)
1 (100,0) 0 (0,0) Usia (tahun), median (min –
max)1
1,08 (0,25 – 13,00)
1,42 (0,25 – 17,17)
0,67 (-) Suhu >38°C / <36°C, n (%) 10 (83,3) 11 (91,7) 1 (100,0)
Takikardi, n (%) 7 (58,3) 10 (83,3) 1 (100,0)
Takipneu, n (%) 7 (58,3) 8 (66,7) 1 (100,0)
Leukosit >12000/mm³ /
<4000/mm³ / Sel darah putih
>10%, n (%)
9 (75,0) 8 (66,7) 1 (100,0)
Prokalsitonin (ng/ml), median (min – max) 1
0,37 (0,04 – 105,00)
2,99 (0,09 – 76,55)
105 (-)
Karakteristik subyek pada tiap-tiap kelompok kategori derajat disfungsi organ disajikan pada tabel 7. Proporsi kemunculan keempat tanda kecurigaan infeksi pada umumnya cenderung semakin besar seiring dengan semakin beratnya derajat disfungsi organ. Perbedaan yang cukup jelas terutama terlihat antara sampel yang memiliki derajat disfungsi organ berat dengan sampel yang memiliki derajat disfungsi organ ringan dan sedang. Median kadar serum prokalsitonin juga cenderung meningkat seiring dengan semakin beratnya derajat disfungsi organ.
B. Hubungan antara Serum Prokalsitonin dengan Derajat Disfungsi Organ Telah diketahui bahwa seluruh variabel numerik dalam penelitian ini, terutama skor PELOD-2, dinyatakan tidak berdistribusi normal (lihat tabel 6). Dengan demikian hubungan antara serum prokalsitonin dan variabel lainnya dengan skor PELOD-2, secara bivariat dianalisis dengan korelasi non parametrik spearman’s rank. Berikut adalah hasil perhitungan korelasi antara karakteristik demografis, tanda kecurigaan infeksi, dan serum prokalsitonin, dengan skor PELOD-2.
Tabel 3. Korelasi Bivariat Karakteristik Demografis, Tanda Kecurigaan Infeksi, dan Prokalsitonin dengan Skor PELOD-2
Skor PELOD-2
rs p
Jenis Kelamin1 –0,138 0,511
Usia (tahun) 0,042 0,841
Suhu >38°C / <36°C 2 0,156 0,457
Takikardi2 0,320 0,119
Takipneu2 0,029 0,889
Leukosit >12000/mm³ / <4000/mm³ / Sel darah putih >10% 2
0,113 0,591
Prokalsitonin (ng/ml) 0,388 0,055
Keterangan: 1 Laki-laki = 1, perempuan = 0; 2 Ya = 1, tidak = 0.
Berdasarkan tabel 8 diketahui bahwa kedua karakteristik demografis yaitu jenis kelamin (p = 0,511 > 0,05) dan usia (p = 0,841 > 0,05) tidak berkorelasi signifikan dengan skor PELOD-2, begitu pula dengan keempat tanda kecurigaan infeksi, pada penelitian ini juga tidak ada satupun yang berkorelasi signifikan dengan skor PELOD-2. Adapun prokalsitonin berkorelasi marjinal (p
= 0,055 > 0,05 dan < 0,1) dengan skor PELOD-2. Hal ini mengindikasikan potensi adanya hubungan signifikan antara kedua variabel apabila dilakukan analisis lebih lanjut dengan mengontrol variabel-variabel lain atau apabila dilakukan penelitian selanjutnya dengan ukuran sampel yang lebih besar.
Tabel 4. Korelasi Bivariat Karakteristik Demografis, Tanda Kecurigaan Infeksi, dan Prokalsitonin dengan Derajat Disfungsi Organ
Derajat Disfungsi Organ
rs p
Jenis Kelamin1 –0,288 0,162
Usia (tahun) –0,033 0,875
Suhu >38°C / <36°C 2 0,145 0,489
Takikardi2 0,301 0,144
Takipneu2 0,137 0,513
Leukosit >12000/mm³ / <4000/mm³ / Sel darah putih >10% 2
–0,035 0,868
Prokalsitonin (ng/ml) 0,394 0,051
Keterangan: 1 Laki-laki = 1, perempuan = 0; 2 Ya = 1, tidak = 0.
Tabel 9 memperlihatkan hasil perhitungan korelasi antara karakteristik demografis, tanda kecurigaan infeksi, dan serum prokalsitonin, dengan derajat disfungsi organ. Hasil yang diperoleh senada dengan korelasi variabel-variabel tersebut dengan skor PELOD-2. Tidak ditemukan adanya korelasi yang signifikan namun ada korelasi marjinal antara prokalsitonin dengan derajat disfungsi organ (p = 0,051 > 0,05 dan < 0,1).
Berikut adalah hasil analisis multivariat hubungan antara prokalsitonin dan skor PELOD-2 dengan mengontrol variabel demografis dan tanda kecurigaan infeksi.
Tabel 5. Analisis Multivariat Hubungan Prokalsitonin dan Skor PELOD-2 dengan Mengontrol Variabel Demografis dan Tanda Kecurigaan Infeksi
Model Regresi Linier Ganda
B β p
Jenis Kelamin 0,393 0,040 0,846
Usia (tahun) 0,201 0,219 0,362
Suhu >38°C / <36°C 2,655 0,180 0,469
Takikardi 3,569 0,334 0,192
Takipneu -0,469 -0,047 0,836
Leukosit >12000/mm³ / <4000/mm³ / Sel darah putih >10%
2,722 0,255 0,254
Prokalsitonin (ng/ml) 0,069 0,465 0,029
Berdasarkan tabel 10 diketahui bahwa setelah variabel demografis dan tanda kecurigaan infeksi dikontrol dalam model regresi linier ganda, serum prokalsitonin ditemukan berhubungan signifikan (p = 0,029 < 0,05) dengan skor PELOD-2. Dalam model, prokalsitonin memiliki koefisien beta (β) atau korelasi sebesar 0,465. Nilai positif menunjukkan bahwa hubungan tersebut bersifat sebanding dimana semakin tinggi serum prokalsitonin maka semakin tinggi pula skor PELOD-2. Besarnya nilai korelasi menunjukkan bahwa derajat hubungan termasuk dalam kriteria derajat sedang (0,400 < 0,465 < 0,599).
Tabel 6. Analisis Multivariat Hubungan Prokalsitonin dan Derajat Disfungsi Organ dengan Mengontrol Variabel Demografis dan Tanda Kecurigaan Infeksi
Model Regresi Linier Ganda1
B β p
Jenis Kelamin2 –0,356 –0,306 0,145
Usia (tahun) 0,033 0,301 0,207
Suhu >38°C / <36°C 3 0,174 0,099 0,683
Takikardi3 0,515 0,405 0,112
Takipneu3 –0,062 –0,052 0,816
Leukosit >12000/mm³ / <4000/mm³ / Sel darah putih >10% 3
0,099 0,078 0,719
Prokalsitonin (ng/ml) 0,007 0,418 0,043
Keterangan: 1 Variabel dependen (derajat disfungsi organ) dinyatakan dengan skor: ringan = 1, sedang = 2, berat = 3; 2 Laki-laki = 1, perempuan = 0; 3 Ya = 1, tidak = 0.
Tabel 11 memperlihatkan hasil analisis multivariat hubungan antara prokalsitonin dan derajat disfungsi organ dengan mengontrol variabel demografis dan tanda kecurigaan infeksi. Sebagaimana untuk skor PELOD-2, diperoleh bahwa setelah variabel demografis dan tanda kecurigaan infeksi dikontrol dalam model regresi linier ganda, serum prokalsitonin ditemukan berhubungan signifikan (p = 0,043 < 0,05) dengan derajat disfungsi organ.
Dalam model, prokalsitonin memiliki koefisien beta (β) atau korelasi sebesar 0,418. Nilai positif menunjukkan bahwa hubungan tersebut bersifat sebanding artinya semakin tinggi serum prokalsitonin maka semakin tinggi pula derajat disfungsi organ. Besarnya nilai korelasi menunjukkan bahwa derajat hubungan termasuk sedang (0,400 < 0,418 < 0,599).
Sebagaimana dalam studi diagnostik, sifat hubungan dapat dinyatakan dalam angka risiko relatif (relative risk / RR). Dalam hal ini angka RR menyatakan berapa kali risiko terjadinya disfungsi organ dengan derajat tertentu pada pasien dengan kadar serum prokalsitonin tertentu dibandingkan pada pasien dengan kadar serum prokalsitonin selain itu. Kategori spesifik kadar serum prokalsitonin tersebut dapat diperoleh dengan menentukan nilai cutoff yang secara statistik dapat dihitung dengan menggunakan kurva ROC. Berikut adalah
hasil penyusunan kurva ROC kadar serum prokalsitonin berdasarkan derajat disfungsi organ.
(i) (ii)
Gambar 6. Kurva ROC Kadar Serum Prokalsitonin untuk Pasien Anak Kritis dengan Derajat Disfungsi Organ (i) Berat dan (ii) Berat atau Sedang
Derajat disfungsi organ dibagi ke dalam tiga tingkatan yaitu ringan, sedang, dan berat. Oleh karena itu penyusunan kurva ROC untuk menentukan cutoff kadar serum prokalsitonin dilakukan dalam dua kondisi perbandingan, yaitu antara derajat disfungsi organ berat dengan derajat sedang atau ringan dan antara derajat disfungsi organ berat atau sedang dengan derajat ringan. Nilai cutoff yang dipilih adalah yang memberikan kombinasi sensitivitas dan spesifisitas terbaik. Dalam kurva ROC, nilai ini merupakan titik atau koordinat kurva yang paling jauh jaraknya dengan garis lurus diagonal. Berdasarkan kriteria ini maka dipilih cutoff untuk kedua kondisi perbandingan masing-masing sebesar 90 ng/mL dan 11 ng/mL. Berikut adalah hasil uji statistik dan perhitungan RR untuk perbandingan antara derajat disfungsi organ berat dengan derajat sedang atau ringan.
Tabel 7 Hasil Uji Statistik dan Perhitungan RR Derajat Disfungsi Organ Berat Menurut Kadar Serum Prokalsitonin
Prokalsitonin
Derajat Disfungsi Organ
Total
Chi Square Berat Sedang / RR
Ringan p
> 90 ng/mL 1 1 2
0,001 ∞
≤ 90 ng/mL 0 23 23
Total 1 24 25
Berdasarkan tabel 12 diketahui bahwa apabila perbandingan derajat disfungsi organ dilakukan antara derajat berat dengan derajat sedang atau ringan, maka diperoleh distribusi silang (tabel 2 × 2) dengan frekuensi yang tidak seimbang antar sel dan bahkan sebuah sel dengan frekuensi 0. Uji statistik dengan chi square menunjukkan hubungan signifikan (p = 0,001 < 0,05) antara kadar serum prokalsitonin dan derajat disfungsi organ dalam format ini. Meskipun begitu adanya sel dengan frekuensi 0 menyebabkan angka RR tidak dapat dihitung (diperoleh angka tak terhingga). Dengan demikian format ini tidak dapat digunakan untuk menunjukkan hubungan antara kadar serum prokalsitonin dengan derajat disfungsi organ.
Tabel 8 Hasil Uji Statistik dan Perhitungan RR Derajat Disfungsi Organ Berat atau Sedang Menurut Kadar Serum Prokalsitonin
Prokalsitonin
Derajat Disfungsi Organ
Total
Chi Square Berat / RR
Sedang Ringan p
> 11 ng/mL 6 1 7
0,035 2,204
≤ 11 ng/mL 7 11 18
Total 13 12 25
Tabel 13 memperlihatkan hasil uji statistik dan perhitungan RR untuk perbandingan antara derajat disfungsi organ berat atau sedang dengan derajat ringan. Distribusi silang yang diperoleh memiliki frekuensi yang lebih seimbang dan tidak ada frekuensi nol sehingga angka RR dapat dihitung. Uji statistik menunjukkan bahwa dalam format ini hubungan antara kadar serum
prokalsitonin dan derajat disfungsi organ signifikan (p = 0,035 < 0,05). Angka RR yang diperoleh adalah 2,204. Secara umum nilai RR > 1 menunjukkan bahwa kadar serum prokalsitonin yang lebih tinggi berhubungan dengan derajat disfungsi organ yang lebih berat. Interpretasi spesifiknya adalah pasien anak kritis dengan kadar serum prokalsitonin > 11 ng/mL berisiko mengalami derajat disfungsi organ berat atau sedang sebanyak 2,204 kali lebih besar dibandingkan pasien anak kritis dengan kadar serum prokalsitonin ≤ 11 ng/mL.
C. Pembahasan
Studi patologi maupun prognostik terkait dengan kegagalan organ multipel atau MODS (Multiple Organ Disfunctional Syndrome) sangat penting dalam ilmu kedokteran pediatri. Hal ini dikarenakan keeratannya dengan mortalitas dimana 97% pasien yang meninggal di ruang rawat intensif anak memenuhi kriteria MODS.18 Penelitian ini dilakukan untuk mengidentifikasi ada tidaknya hubungan antara sebuah biomarker dengan derajat disfungsi organ untuk menambah informasi yang dapat menunjang prognosis pasien anak kritis.
Biomarker yang diteliti adalah serum prokalsitonin dan derajat disfungsi organ dinilai dengan skor PELOD-2.
Karakteristik sampel pada penelitian ini dirasa cukup mewakili kategori pasien anak dimana rentang usia sampel mulai dari 3 bulan hingga 17 tahun 2 bulan.
Dua kategori jenis kelamin juga cukup terwakili dimana perbandingan proporsi pasien laki-laki dan perempuan tidak terlalu berbeda signifikan yaitu 40% pada jenis kelamin laki-laki banding 60% pada jenis kelamin perempuan. Kedua karakteristik demografis tersebut tidak ditemukan berhubungan dengan derajat disfungsi organ pada pasien anak kritis.
Kriteria utama sampel yaitu pasien anak dengan penyakit kritis, ditentukan dengan keberadaan minimal 2 dari 4 tanda kecurigaan infeksi yaitu suhu di atas 38°C atau di bawah 36°C, takikardi, takipneu, dan kelainan leukosit (>12000/mm³ atau <4000/mm³ atau sel darah putih >10%). Kriteria ini dipilih didasarkan pada kejadian infeksi merupakan penyebab yang paling sering ditemukan yang mengarah pada MODS anak sakit kritis.17 Keempat tanda
kecurigaan infeksi tersebut masing-masing ditemukan pada lebih dari 60%
sampel. Kondisi yang paling banyak ditemukan adalah suhu di atas 38°C atau di bawah 36°C (88%). Pada penelitian ini, tidak ada satu pun tanda kecurigaan infeksi yang berhubungan signifikan dengan derajat disfungsi organ. Tanda kecurigaan infeksi tidak selalu pasti menunjukkan adanya infeksi. Kepastian ada tidaknya infeksi dapat diketahui dengan melakukan kultur spesimen.
Dalam konteks perjalanan penyakit, MODS tidak hanya terjadi dimulai dengan adanya infeksi. Beberapa penyebab lain seperti luka bakar22, trauma berat23,24, pembedahan25, dan keganasan26, ditetapkan sebagai kriteria eksklusi untuk mengontrol efek dari faktor-faktor non infeksi tersebut. Pankreatitis akut juga dapat menjadi penyebab MODS27, namun kondisi ini tidak ditemukan dalam semua sampel sehingga tidak menjadi variabel perancu dalam penelitian ini.
Hasil penilaian skor PELOD-2 menunjukkan nilai tengah sebesar 4 dengan rentang skor antara 0 hingga 23. Apabila melihat sebaran data secara rinci, sebenarnya hampir semua sampel memiliki skor PELOD-2 di bawah 10. Hanya satu sampel yang memiliki skor di atas 10 yaitu 23. Hasil pengkategorian menegaskan bahwa satu sampel tersebut dikategorikan memiliki derajat disfungsi organ berat. Mayoritas sampel yang lain terbagi sama antara yang memiliki derajat disfungsi organ ringan dan sedang. Berdasarkan hasil pengukuran derajat disfungsi organ dengan skor PELOD-2 ini pula diperkirakan pasien anak sakit kritis yang menjadi sampel dalam penelitian ini secara umum memiliki risiko mortalitas rendah. Hal ini dikarenakan skor PELOD-2 berbanding lurus dengan derajat disfungsi organ, dan apabila jumlah organ yang mengalami disfungsi semakin banyak dan derajatnya makin berat maka risiko mortalitas juga akan semakin tinggi.10,39 Sebagai perbandingan, pada sebuah studi yang dilakukan oleh Bramantyo pada tahun 2018, mendapatkan bahwa pada anak sakit kritis dengan skor PELOD 2 diatas 20 berisiko terjadi mortalitas sebesar 7,75 kali lipat dibandingkan anak sakit kritis dengan skor PELOD 2 <20.28
Hasil pengukuran serum prokalsitonin memberikan nilai tengah sebesar 0,878 ng/ml dengan rentang 0,036 ng/ml hingga 105 ng/ml. Nilai tengah prokalsitonin
berada di atas batas kadar normal yaitu < 0,1 ng/ml12,48,49 namun pada penelitian ini memiliki variasi yang cukup besar. Nilai terendahnya berada pada rentang normal sedangkan nilai tertingginya lebih dari batas maksimal nilai yang dapat diukur instrumen dalam penelitian ini yaitu 100 ng/ml. Nilai prokalsitonin hingga melebihi 100 ng/ml mengindikasikan adanya infeksi yang berat dan bermanifestasi secara sistemik. Ada dua sampel yang memiliki nilai serum prokalsitonin melebihi batas tersebut dan diasumsikan memiliki nilai 105 ng/ml. Penentuan nilai tertentu dilakukan agar sifat numerik variabel prokalsitonin terpenuhi.
Hasil analisis penelitian ini mendukung hipotesis yang diajukan. Ditemukan adanya hubungan signifikan antara serum prokalsitonin dengan derajat disfungsi organ (baik secara numerik dalam bentuk skor PELOD-2 atau secara kategorik dalam bentuk tingkatan atau derajat). Temuan ini membuktikan bahwa serum prokalsitonin merupakan penanda (marker) yang baik untuk mengidentifikasi dan memperkirakan derajat disfungsi organ pada pasien anak sakit kritis. Semakin tinggi kadar serum prokalsitonin maka semakin berat disfungsi organ multipel pada anak. Hasil penelitian ini berbeda dengan hasil penelitian sebelumnya yang sama yang pernah dilakukan pada tahun 2015 di Indonesia, dimana Ismy dkk menganalisis dari 32 anak dengan sakit kritis, tidak didapatkan korelasi yang signifikan secara statistic antara tingkat prokalsitonin dengan skor PELOD79, namun hasil penelitian ini mendukung hasil penelitian pada tahun yang sama di Kazakhstan.78 Zurek, dalam penelitiannya mendapati bahwa, nilai prokalsitonin yang lebih tinggi diidentifikasi pada pasien dengan skor PELOD ≥ 12, dibandingkan dengan mereka dengan skor PELOD yang lebih rendah, demikian juga. Nilai prokalsitonin yang lebih tinggi didapatkan pada pasien yang mengalami MODS, dibandingkan dengan mereka yang tidak mengalami MODS. Hasil penelitian ini juga didukung banyak penelitian lain yang menemukan hubungan kadar prokalsitonin dengan disfungsi organ yang diukur dengan metode lain seperti SOFA.73,75-77
Terdapat beberapa keterbatasan dalam penelitian ini yang dirasa dapat mempengaruhi tingkat generalisasi kesimpulan. Adanya kadar prokalsitonin
pada sampel yang tidak diperoleh nilai tepatnya karena melebihi batas maksimal pengukuran sehingga nilai tersebut perlu diasumsikan, selain itu jumlah dan variasi kondisi sampel relatif sedikit.