PENDAHULUAN
Berdasarkan ketentuan Undang
Nomor 49 Prp. Tahun 1960 tentang PUPN pengurusan piutang
Negara/Lembaga Pemerintah Non Kementerian Negara/Lembaga Negara, piutang
Daerah, piutang BUMN, piutang BUMD, dan piutang badan usaha yang modalnya sebagian atau seluruhnya dimiliki oleh BUMN/BUMD dilakukan oleh Panitia Urusan Piutang Negara (PUPN)/Direktorat Jenderal Kekayaan Negara (DJKN)1). Sesuai dengan amanat yang terdapat dalam pasal 8 dan pasal 12
Nomor 49 Prp. Tahun 1960, p
pemerintah dan badan-badan tersebut di atas instansi wajib diserahkan
piutangnya kepada PUPN.
Penyerahan pengurusan PUPN/DJKN dilakukan setelah i pemerintah dan badan-badan tersebut di atas yang memiliki piutang melakukan upaya penagihan akan tetapi debitor belu
hutangnya, dan instansi pemerintah dan badan badan tersebut di atas yang memili
dapat menyampaikan dokumen yang menunjukkan adanya dan besarnya piutang.
1Semula, Undang-Undang Nomor 49 Pengganti Undang-Undang Nomor 49 IndonesiaTahun 1960 Nomor 156, Tambah Undang-Undang tersebut ditetapkan menja
Semua Undang-Undang Darurat Dan Semua Peraturan Pe Januari 1961 Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara R Republik Indonesia Nomor 2124).
erdasarkan ketentuan Undang-Undang Nomor 49 Prp. Tahun 1960 tentang PUPN, Kementerian Negara/Lembaga Pemerintah Non Kementerian , piutang Pemerintah , piutang BUMN, piutang BUMD, dan piutang badan usaha yang modalnya sebagian atau seluruhnya dimiliki oleh BUMN/BUMD ia Urusan Piutang Negara (PUPN)/Direktorat Jenderal Kekayaan Negara Sesuai dengan amanat yang terdapat dalam pasal 8 dan pasal 12 Undang-undang , piutang instansi badan tersebut di atas diserahkan pengurusan
nyerahan pengurusan kepada dilakukan setelah instansi tersebut di atas melakukan upaya bitor belum melunasi instansi pemerintah dan badan- badan tersebut di atas yang memiliki piutang dapat menyampaikan dokumen yang menunjukkan adanya dan besarnya piutang.
Tugas PUPN berdasarkan Pasal 4 Undang-Undang Nomor 49 Prp. Tahun 1960 adalah melakukan pengurusan piutang negara yang pengurusannya telah diserahkan kepada PUPN. Piutang negara yang dimaksud dalam undang-undang tersebut, sesuai Pasal 8 (berikut penjelasannya) adalah hutang yang:
a. langsung terhutang kepada negara dan oleh karena itu harus dibayar kepada
Pusat, Pemerintah Daerah; dan b. terhutang kepada badan
secara langsung atau tidak dikuasai oleh negara.
Bila dicermati, pengertian piutang negara sesuai ketentuan
Nomor 49 Prp. Tahun 1960 tentang PUPN tersebut di atas berbeda dengan pengertian piutang negara sebagaimana yang diatur di dalam Undang-Undang
tentang Perbendaharaa Pasal 1 angka 6 Undang
Tahun 2004 disebutkan bahwa Piutang Negara adalah jumlah uang yang wajib dibayar kepada Pemerintah Pusat dan/atau hak Pemerintah Pusat yang dapat dinilai dengan uang sebagai akibat perjanjian atau akibat lainnya Undang Nomor 49 Prp. Tahun 1960 tentang Panitia Urusan Piutang Negara merupakan Peraturan Pemerintah Undang Nomor 49 Tahun 1960 tentang Panitya Urusan Piutang Negara (Lembaran Negara Republik ambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2104). Peraturan Pemerintah Pengganti Undang tersebut ditetapkan menjadi undang-undang berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1961 tentang Penetapan Dan Semua Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Yang Sudah Ada Sebelum Tanggal 1 Lembaran Negara Republik IndonesiaTahun 1961 Nomor 3, Tambahan Lembaran Negara
Oleh Oktavia Ester Pangaribuan Widyaiswara Muda
ugas PUPN berdasarkan Pasal 4 Nomor 49 Prp. Tahun 1960 adalah melakukan pengurusan piutang negara yang pengurusannya telah diserahkan kepada PUPN. Piutang negara yang dimaksud dalam undang tersebut, sesuai Pasal 8 (berikut
hutang yang:
g terhutang kepada negara dan oleh karena itu harus dibayar kepada Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah; dan
badan-badan yang baik secara langsung atau tidak langsung
sai oleh negara.
Bila dicermati, pengertian piutang negara sesuai ketentuan Undang-Undang Nomor 49 Prp. Tahun 1960 tentang PUPN tersebut di atas berbeda dengan pengertian piutang negara sebagaimana yang diatur di Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara. Di dalam Undang-Undang Nomor 1 disebutkan bahwa Piutang Negara adalah jumlah uang yang wajib dibayar kepada Pemerintah Pusat dan/atau hak Pemerintah Pusat yang dapat dinilai dengan uang sebagai rjanjian atau akibat lainnya erupakan Peraturan Pemerintah tentang Panitya Urusan Piutang Negara (Lembaran Negara Republik Negara Republik Indonesia Nomor 2104). Peraturan Pemerintah Pengganti Undang Nomor 1 Tahun 1961 tentang Penetapan Undang Yang Sudah Ada Sebelum Tanggal 1 blik IndonesiaTahun 1961 Nomor 3, Tambahan Lembaran Negara
Oleh Oktavia Ester Pangaribuan, Muda Pusdiklat KNPK
berdasarkan peraturan perundang
yang berlaku atau akibat lainnya yang sah.
Artinya piutang negara didefinisikan hanya sebagai piutang instansi Pemerintah Pusat saja.
Dengan terbitnya Undang Nomor 1 Tahun 2004 tersebut,
pergeseran politik, hukum mengenai pengurusan piutang negara, dari
piutang BUMN dan piutang BUMD termasuk ke dalam lingkup pengurusan piutang negara menjadi terpisahnya pengurusan piutang BUMN dan piutang BUMD dari pengurusan piutang negara. Pergeseran tersebut ditandai dengan terbitnya Peraturan Pemerintah No
Tahun 2006 tentang Perubahan Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 2005 tentang Penghapusan Piutang Negara/Daerah.
Di dalam Peraturan Pemerintah Nomor 33 Tahun 2006 tersebut diatur bahwa:
a. Pengurusan Piutang Perusahaan Negara/Daerah untuk selanjutnya d
sesuai ketentuan peraturan perundang undangan yang berlaku di bidang Perseroan Terbatas dan Badan Usaha Milik Negara beserta peraturan pelaksanaannya
angka 1. Huruf a.).
b. Pengurusan Piutang Perusahaan Negara/Daerah yang telah diserahkan kepada Panitia Urusan Piutang Negara c.q.
Direktorat Jenderal Piutang dan Lelang Negara (sekarang DJKN)
penghapusan Piutang Negara/Daerah
berdasarkan peraturan perundang-undangan tau akibat lainnya yang sah.
piutang negara didefinisikan hanya sebagai piutang instansi Pemerintah Pusat saja.
Dengan terbitnya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tersebut, terjadi hukum mengenai pengurusan piutang negara, dari yang semula piutang BUMN dan piutang BUMD termasuk ke dalam lingkup pengurusan piutang negara nya pengurusan piutang BUMN dan piutang BUMD dari pengurusan piutang . Pergeseran tersebut ditandai dengan terbitnya Peraturan Pemerintah Nomor 33 Tahun 2006 tentang Perubahan Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 2005 tentang Penghapusan Piutang Negara/Daerah.
Di dalam Peraturan Pemerintah Nomor 33 Tahun 2006 tersebut diatur bahwa:
Pengurusan Piutang Perusahaan Negara/Daerah untuk selanjutnya dilakukan sesuai ketentuan peraturan perundang- undangan yang berlaku di bidang Perseroan Terbatas dan Badan Usaha Milik Negara beserta peraturan pelaksanaannya (Pasal II
Pengurusan Piutang Perusahaan Negara/Daerah yang telah diserahkan epada Panitia Urusan Piutang Negara c.q.
Direktorat Jenderal Piutang dan Lelang (sekarang DJKN) dan usul
penghapusan Piutang Perusahaan yang telah
diajukan kepada Menteri
Keuangan melalui Direktur Jenderal Piutang dan Lelang Negara tet
berdasarkan Undang
Prp Tahun 1960 tentang Panitia
Piutang Negara dan Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 2005 tentang Tata Cara Penghapusan Piutang Negara/Daerah beserta peraturan pelaksanaannya
angka 1. Huruf b.).
Untuk memberikan kepastian hukum dalam pelaksanaan Ketentuan Pasal II angka 1.
Huruf a Peraturan Pemerintah Nomor 33 Tahun 2006 tersebut di atas, Pemerintah bersama dengan DPR selama tiga tahun berturut telah sepakat untuk merumuskan ketentuan pengurusan piutang sendiri oleh BUMN di bidang usaha perbankan di dalam undang undang tentang APBN, yaitu Undang
Nomor 47 Tahun 2009 tentang APBN 2010, Undang-Undang Nomor
APBN 2011, dan Undang
Tahun 2011 tentang APBN 2012.
Pasal 4 ayat (5) pada tersebut telah diatur
mengoptimalkan penerimaan bagian Pemerintah atas laba BUMN di bidang usaha perbankan, penyelesaian piutang bermasalah pada BUMN di bidang usaha perbankan dilakukan sesuai dengan Undang-undang
Terbatas dan Undang-
Usaha Milik Negara beserta peraturan pelaksanaannya.
Perubahan politik hukum dalam pengurusan piutang negara tersebut semakin jelas dengan dirumuskannya ketentuan di dalam Rancangan Undang
Pengurusan Piutang Negara dan Piutang
Keuangan melalui Direktur Jenderal Piutang
Negara tetap dilaksanakan berdasarkan Undang-Undang Nomor 49 Prp Tahun 1960 tentang Panitia Urusan Piutang Negara dan Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 2005 tentang Tata Cara Penghapusan Piutang Negara/Daerah beserta peraturan pelaksanaannya (Pasal II
memberikan kepastian hukum dalam pelaksanaan Ketentuan Pasal II angka 1.
Peraturan Pemerintah Nomor 33 Tahun 2006 tersebut di atas, Pemerintah bersama dengan DPR selama tiga tahun berturut-turut uk merumuskan ketentuan pengurusan piutang sendiri oleh BUMN di bidang usaha perbankan di dalam undang-
, yaitu Undang-Undang hun 2009 tentang APBN 2010, Undang Nomor 10 Tahun 2010 tentang APBN 2011, dan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2011 tentang APBN 2012. Di dalam Pasal 4 ayat (5) pada setiap undang-undang telah diatur bahwa dalam rangka mengoptimalkan penerimaan bagian Pemerintah atas laba BUMN di bidang usaha perbankan, penyelesaian piutang bermasalah pada BUMN di bidang usaha perbankan dilakukan sesuai undang tentang Perseroan -undang tentang Badan Usaha Milik Negara beserta peraturan
Perubahan politik hukum dalam pengurusan piutang negara tersebut semakin engan dirumuskannya ketentuan di dalam Undang-Undang tentang gurusan Piutang Negara dan Piutang
Daerah yang mengeluarkan piutang BUMN/BUMD dari ruang lingkup pengurusan piutang negara (Saat ini Rancangan undang undang tersebut sedang dalam
oleh Panja RUU Pengurusan Piutang Negara dan Piutang Daerah di DPR).
Politik hukum yang dibangun oleh Pemerintah tersebut dimaksudkan agar BUMN dan BUMD dapat melakukan sendiri pengelolaan dan pengurusan piutangnya sesuai mekanisme korporasi yang didasarkan pada ketentuan Undang-undang tentang Perseroan Terbatas dan Undang-undang tentang BUMN.
Tujuan dari pergeseran paradigma pengurusan piutang negara tersebut adalah agar BUMN dan BUMD memiliki level of playing field
dengan badan usaha swasta dalam pengelolaan dan penagihan piutang.
Namun demikian, ketentuan
pemisahan pengurusan piutang BUMN, piutang BUMD, dan piutang badan usaha yang modalnya sebagian atau seluruhnya dimiliki oleh BUMN/BUMD dari mekanisme
piutang negara tersebut hanya berlaku bagi piutang yang pengurusannya belum diserahkan kepada PUPN/DJKN. Masing
usaha tersebut mengelola dan menagih sendiri piutangnya yang pengurusannya belum diserahkan kepada PUPN/DJKN
menggunakan mekanisme korporasi sesuai ketentuan Undang-undang tentang Perseroan Terbatas dan Undang-undang tentang B
Sementara itu, piutang badan usaha tersebut yang pengurusannya telah diserahkan kepada PUPN/DJKN
terbitnya Peraturan Pemerint
Tahun 2006, sesuai ketentuan Pasal II angka 1 yang mengeluarkan piutang ngkup pengurusan Rancangan undang- undang tersebut sedang dalam pembahasan oleh Panja RUU Pengurusan Piutang Negara
Politik hukum yang dibangun oleh dimaksudkan agar BUMN dan BUMD dapat melakukan sendiri pengelolaan dan pengurusan piutangnya sesuai g didasarkan pada undang tentang Perseroan undang tentang BUMN.
Tujuan dari pergeseran paradigma pengurusan piutang negara tersebut adalah agar BUMN dan level of playing field yang sama wasta dalam pengelolaan
Namun demikian, ketentuan mengenai pemisahan pengurusan piutang BUMN, piutang BUMD, dan piutang badan usaha yang modalnya sebagian atau seluruhnya dimiliki oleh mekanisme pengurusan tersebut hanya berlaku bagi belum diserahkan . Masing-masing badan usaha tersebut mengelola dan menagih sendiri yang pengurusannya belum /DJKN dengan unakan mekanisme korporasi sesuai undang tentang Perseroan
undang tentang BUMN.
Sementara itu, piutang badan-badan pengurusannya telah /DJKN sebelum terbitnya Peraturan Pemerintah Nomor 33 Tahun 2006, sesuai ketentuan Pasal II angka 1
huruf a peraturan pemerintah tersebut, tetap dilaksanakan oleh PUPN/DJKN
Undang-Undang Nomor 49 Prp Tahun 1960 tentang PUPN.
PERMASALAHAN YANG TIMBUL
Dalam perjalanan waktu, ketentuan tentang pengurusan piutang BUMN/BUMD berdasarkan Undang Nomor 49 Prp Tahun 1960 dimintakan kepada Mahkamah Konstitusi untuk diuji terhadap Undang-
Republik Indonesia Tahun 1945. Pihak yang mengajukan permohonan perkara konstitusi kepada Mahkamah Konstitusi tersebut adalah debitor salah satu Bank BUMN yang pengurusan hutangnya belum diserahkan kepada PUPN/DJKN namun oleh bank BUMN yang bersangkutan tidak diberikan restrukturisasi dengan alasan pengurusan piutang bank BUMN masih harus didas pada ketentuan Undang
Tahun 1960 tentang PUPN. Dalam pokok perkara, pemohon meminta agar Pasal 4, Pasal 8, Pasal 10 dan Pasal 12 ayat (1) Undang Undang Nomor 49 Prp Tahun 1960 tentang PUPN dinyatakan tidak berlaku, karena bertentangan dengan Undang
1945, khususnya Pasal 28D ayat (1) berbunyi “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan
dan kepastian hukum yang adil serta perlakukan yang sama dihadapan hukum”, dan Pasal 33 ayat (4)
pemerintah tersebut, tetap oleh PUPN/DJKN berdasarkan Undang Nomor 49 Prp Tahun 1960
PERMASALAHAN YANG TIMBUL
Dalam perjalanan waktu, ketentuan tentang pengurusan piutang BUMN/BUMD berdasarkan Undang Nomor 49 Prp Tahun 1960 dimintakan kepada Mahkamah Konstitusi untuk -Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Pihak yang mengajukan permohonan perkara konstitusi Mahkamah Konstitusi tersebut adalah debitor salah satu Bank BUMN yang pengurusan hutangnya belum diserahkan kepada PUPN/DJKN namun oleh bank BUMN yang bersangkutan tidak diberikan restrukturisasi dengan alasan pengurusan piutang bank BUMN masih harus didasarkan pada ketentuan Undang-Undang Nomor 49 Prp Tahun 1960 tentang PUPN. Dalam pokok perkara, pemohon meminta agar Pasal 4, Pasal 8, Pasal 10 dan Pasal 12 ayat (1) Undang- Undang Nomor 49 Prp Tahun 1960 tentang PUPN dinyatakan tidak berlaku, karena ngan dengan Undang-Undang Dasar 1945, khususnya Pasal 28D ayat (1) yang berbunyi “Setiap orang berhak atas pengakuan,
yang berbunyi “Perekonomian Nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi, berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional”, dan karenanya
kekuatan hukum mengikat.
Pada tanggal 25 Septemb
Majelis Hakim Mahkamah Konsitusi membacakan putusan Mahkamah Konstitusi atas perkara Nomor 77/PUU-IX/2011.
amar putusan, MK menyatakan mengabulkan permohonan para pemohon untuk se sehingga:
a. Frasa “Badan-badan yang dimaksudkan dalam Pasal 8 Peraturan ini” dalam Pasal 4 ayat (1) UU 49 Tahun 1960 tentang
PUPN adalah
bertentangan dengan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
b. Frasa “atau Badan-
dimaksudkan dalam Pasal 8 Peraturan ini”
dalam Pasal 4 ayat (1) UU 49 Tahun 1960 tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
c. Frasa “/Badan-badan Negara” dalam Pasal 4 ayat (4) Undang-Undang Nomor 49 Tahun 1960, tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
d. Frasa “atau Badan-badan yang baik secara langsung atau tidak langsung dikuasai oleh negara” bertentangan dengan UUD 1945.
onomian Nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi, berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi tidak memiliki
Pada tanggal 25 September 2012, Majelis Hakim Mahkamah Konsitusi membacakan putusan Mahkamah Konstitusi IX/2011. Dalam amar putusan, MK menyatakan mengabulkan permohonan para pemohon untuk sebagian
bertentangan dengan
Dasar Negara Republik
-badan yang dimaksudkan dalam Pasal 8 Peraturan ini”
dalam Pasal 4 ayat (1) UU 49 Tahun 1960 tidak mempunyai kekuatan hukum
badan Negara” dalam Pasal Undang Nomor 49 Tahun 1960, tidak mempunyai kekuatan
badan yang baik secara langsung atau tidak langsung dikuasai oleh negara” bertentangan dengan UUD 1945.
e. Frasa “atau Badan-
langsung atau tidak langsung dikuasai oleh negara” dalam Pasal 8, UU No.49/1960, tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
f. Frasa “dan Badan
Pasal 12 ayat (1) UU 49/1960, bertentangan dengan UUD 1
g. Frasa “dan Badan
Pasal 12 ayat (1) UU 49/1960 tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi perkara Nomor 77/PUU-
maka:
a.
lagi melaksanakan tugas pengurusan piutang BUMN, piutang BUMD, dan piutang badan usaha yang modalnya
sebagian atau
seluruhnya dimiliki oleh BUMN/BUMD; dan
b. Karena sudah tidak kewenangan untuk mengurus seharusnya:
1) tidak lagi menerima pengurusan piutang BUMN
piutang badan usaha yang modalnya sebagian atau seluruhnya dimiliki oleh BUMN/BUMD;
2) mengembalikan pengurusan piutang BUMN, piutang BUMD, dan piutang badan usaha yang modalnya sebagian atau seluruhnya dimiliki oleh BUMN/BUMD yang tel
kepada PUPN
-badan yang baik secara langsung atau tidak langsung dikuasai oleh negara” dalam Pasal 8, UU No.49/1960, tidak mempunyai kekuatan hukum
Frasa “dan Badan-badan Negara” dalam Pasal 12 ayat (1) UU 49/1960, bertentangan dengan UUD 1945.
Frasa “dan Badan-badan Negara” dalam Pasal 12 ayat (1) UU 49/1960 tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Mahkamah Konstitusi atas -IX/2011 tersebut di atas
PUPN tidak berwenang lagi melaksanakan tugas pengurusan piutang BUMN, piutang BUMD, dan piutang badan usaha yang modalnya
sebagian atau
seluruhnya dimiliki oleh BUMN/BUMD; dan
Karena sudah tidak lagi memiliki untuk mengurus, maka PUPN
tidak lagi menerima pengurusan piutang BUMN, piutang BUMD, dan piutang badan usaha yang modalnya sebagian atau seluruhnya dimiliki oleh
; dan
mengembalikan pengurusan piutang BUMN, piutang BUMD, dan piutang badan usaha yang modalnya sebagian atau seluruhnya dimiliki oleh BUMN/BUMD yang telah diserahkan kepada PUPN.Pengembalian
pengurusan piutang tersebut ditujukan agar badan-badan usaha sebagai pemilik piutang tersebut tetap dapat melanjutkan upaya penagihan atas piutangnya.
TINDAK LANJUT PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI
Pemerintah, dalam hal ini Kementerian Keuangan, telah berkomitmen untuk menghormati dan melaksanakan putusan Mahkamah Konstitusi atas perkara Nomor 77/PUU-IX/2011. Pasca terbitnya putusan Mahkamah Konsitusi tersebut
pekerjaan rumah yang harus seg diselesaikan DJKN terkait dengan bidang tugas pengurusan piutang negara.
utama yang perlu segera dilakukan
menyiapkan dan melaksanakan pengembalian pengurusan piutang BUMN, piutang BUMD, dan piutang badan usaha yang modalnya sebagia atau seluruhnya dimiliki oleh BUMN/BUMD kepada masing-masing badan usaha sang pemilik piutang.
Konsekuensi dari pengembalian pengurusan piutang kepada BUMN, BUMD, dan badan-badan usaha yang modalnya sebagian atau seluruhnya dimiliki oleh BUMN/BUMD, DJKN perlu melakukan kajianatas
tugas dan intensifikasi pembinaan pengelolaan dan pengurusan piutang Kementerian Negara/Lembaga Pemerintah Non Kementerian Negara/Lembaga Negara, piutang Pemerintah Daerah. Kajian ini perlu segera dilakukan mengingat pasca pengembalian pengurusan tersebut, beban kerja DJKN di bidang pengurusan piutang tersebut ditujukan badan usaha sebagai pemilik piutang tersebut tetap dapat melanjutkan upaya penagihan atas
TINDAK LANJUT PUTUSAN MAHKAMAH
Pemerintah, dalam hal ini Kementerian Keuangan, telah berkomitmen untuk menghormati dan melaksanakan putusan atas perkara Nomor Pasca terbitnya putusan tersebut, terdapat pekerjaan rumah yang harus segera diselesaikan DJKN terkait dengan bidang tugas Permasalahan utama yang perlu segera dilakukan adalah menyiapkan dan melaksanakan pengembalian pengurusan piutang BUMN, piutang BUMD, dan piutang badan usaha yang modalnya sebagian atau seluruhnya dimiliki oleh BUMN/BUMD masing badan usaha sang
Konsekuensi dari pengembalian pengurusan piutang kepada BUMN, BUMD, dan badan usaha yang modalnya sebagian atau seluruhnya dimiliki oleh BUMN/BUMD, DJKN perlu melakukan kajianatas jumlah beban intensifikasi pembinaan pengelolaan pengurusan piutang Kementerian Negara/Lembaga Pemerintah Non Kementerian Negara/Lembaga Negara, piutang Pemerintah Kajian ini perlu segera dilakukan mengingat pasca pengembalian pengurusan tersebut, beban kerja DJKN di bidang
pengurusan piutang neg secara signifikan.
Dengan adanya putusan Mahkamah Konstitusi tersebut, maka
pengurusan piutang negara
DJKN pasca putusan Mahkamah Konstitusi akan mengalami pergeseran
adalah pengurusan (pe
paksa) menjadi pembina dalam pengelolaan piutang.
Lalu timbul beberapa pertanyaan di benak penulis. Bagaimana nasib
Pengurusan Piutang Negara dan Piutang Daerah (PPNPD) yang saat ini sedang dalam proses pembahasan dengan Panja RUU PPPNPD di DPR? Bagaimana dengan piutang macet pada setiap kementerian/lembaga?
Akankah terdapat peningkatan atas jumlah piutang macet
kementerian/lembaga? Mari kita tunggu langkah selanjutnya dari DJKN terkait pengurusan piutang negara ini.
pengurusan piutang negara menjadi berkurang
Dengan adanya putusan Mahkamah Konstitusi tersebut, maka Bidang tugas pengurusan piutang negara yang dilakukan oleh pasca putusan Mahkamah Konstitusi galami pergeseran, yang semula pengurusan (penagihan dengan surat paksa) menjadi pembina dalam pengelolaan
beberapa pertanyaan di enulis. Bagaimana nasib RUU Pengurusan Piutang Negara dan Piutang yang saat ini sedang dalam proses pembahasan dengan Panja RUU agaimana dengan piutang pada setiap kementerian/lembaga?
kankah terdapat peningkatan atas jumlah pada setiap Mari kita tunggu langkah selanjutnya dari DJKN terkait pengurusan