0
LAPORAN HASIL PENELITIAN
PENELITIAN BOPTN IAIN SURAKARTA 2020 RELASI AGAMA DAN KEKUASAAN
(Studi Atas Penyeragaman Materi Khutbah di Malaysia)
Tahun Agggaran 2020 Oleh:
Peneliti:
KETUA:
Nama : Dr. H. Abdul Matin bin Salman, L.c., M. Ag.
NIP : 19690115200031001
Prodi/Jurusan : Ilmu Al Qur’an dan Tafsir ANGGOTA I:
Nama : Fuad Muhammad Zein, M. Ud.
NIP : 1989031520190301012
Prodi/Jurusan : Hukum Keluarga Islam ANGGOTA II:
Nama : Joko Roby Prasetiyo, S. Ud., M. Hum.
NIP : 198711262018011001
Prodi/Jurusan : Hukum Ekonomi Syari’ah
LEMBAGA PENELITIAN DAN PENGABDIAN PADA MASYARAKAT INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI SURAKARTA
TAHUN 2021
A 5
1 BAB I Pendahuluan A. Pendahuluan
Agama bagi masyarakat Muslim merupakan sumber legitimasi politik yang sangat penting. Penguasa seringkali menyediakan porsi penting bagi pemegang otoritas agama Islam dalam meja-meja perundingan politik. Hal ini tentu berbeda dengan yang terjadi di Eropa, di mana Gereja tidak memainkan peran yang penting dalam kekuasaan sebagaimana dalam yang terjadi dalam politik kekuasaan di negara-negara kerajaan yang mayoritas penduduknya Muslim. Di negara-negara kerajaan ini, teori-teori keagamaan selalu dikaitkan dengan ideologi penguasa, sehingga dapat dikatakan agama memiliki kekuatan yang setara dengan negara. Agama merupakan sekutu utama yang diharapkan dapat menjadi pendukung utama kebijakan penguasa. Melalui instrumen agama, budaya, tradisi dan kebijakan politik penguasa masuk begitu hangat kuat dan secara lembut.
Menurut Fred Dallmayr, agama bertujuan untuk menghubungkan
manusia dengan Tuhan-nya. Tidak ada syarat, tidak ada yang dapat
mengklaim sebagai pemiliknya yang tunggal dan juga tidak ada yang mampu
menjinakkannya (https://www.resetdoc.org/story/whither-democracy-religion-
politics-and-islam/). Cakupan agama –terutama Islam- juga sangat luas. The
Islamic worldview telah memberikan panduan, bahwa Islam mengayomi setiap
bidang kehidupan, dari urusan kehidupan sosial, politik serta ekonomi. Namun
faktanya, mayoritas masyarakat beragama justru lebih terpikat oleh pesona
2
kekuasaan dari pada aspek kehidupan lainnya. Agama –tak terkecuali Islam- sedemikian rupa telah disertifikasi menjadi milik dan identitas kelompok tertentu dan pada akhirnya adalah “barter” utama dalam negosiasi politik antara penguasa dan otoritas keagamaan. Mayoritas pemegang otoritas agama tidak sepenuhnya menyuarakan suara Tuhan, juga tidak mampu menjadi sumber moralitas di tengah tatanan masyarakat yang sedang mengalami demoralisasi. Mereka justru terjebak pada sebuah ironi yang fatal. Mereka sibuk menjadi katalisator penguasa dengan rakyatnya dari pada menjadi penghubung antara manusia dengan Tuhannya.
Sebagai salah satu agama besar di dunia, Islam menghadapi tantangan yang sama, seperti agama-agama lain di dunia. Para pemegang otoritas keagamaan Islam lebih tertarik mencari solusi permasalahan sosial dan ekonomi melalui politik dari pada melalui semangat menghidupkan worldview Islam itu sendiri. Nilai-nilai Islam yang universal sebagai agama yang benar-benar membebaskan manusia dari segala bentuk penghambaan kepada duniawi seolah berbanding terbalik dengan kenyataan bahwa, justru para otoritas agama ini membawa umatnya hadir setia kepada penguasa politiknya.
Bersamaan dengan hal tersebut, jika ditarik kepada scope yang lebih
sempit, beberapa negara di kawasan Asia merupakan negara dengan penduduk
mayoritas Muslim (muslim majority). Namun tak semua negara menjalankan
roda pemerintahan dengan sistem syariah Islam. Hal ini tentu disebabkan oleh
3
beberapa hal, di antaranya adalah dasar ideologi negara, ragam budaya dan lain sebagainya.
Negara-negara yang menerapkan syariat Islam untuk menjalankan pemerintahan, biasanya adalah negara dengan sistem otokrasi, misalnya Malaysia. Jika pun belum sepenuhnya menjalankan syariat Islam, paling tidak raja di negara tersebut masih mempunyai otoritas penting dalam menentukan kebijakan, seperti malaysia.
Ada hal menarik dari beberapa negara yang menjalankan roda pemerintahan dengan sistem kerajaan, yakni penyeragaman materi khutbah jumat. Hal ini terjadi khususnya di negara-negara muslim Asia. Khutbah jumat di satu sisi merupakan ibadah yg mempunyai hubungan horizontal (ibadah mahdhoh), namun di dalamnya tak jarang terselip nuansa-nuansa politis di dalam isi (materi) khutbah jumat. Khutbah jumat juga tak jarang menjadi sarana kritik sosial sang khatib yg menginginkan perubahan di wilayahnya.
Jika isi khutbah ditentukan negara, maka, agama yg mempunyai spirit perubahan sosial menjadi semakin sempit. Padahal, agama tidak hanya berhubungan antara manusia dengan Tuhan, tetapi pemahaman terhadap agama harus kontekstual, dan mampu menyelesaikan persoalan-persoalan umat.
Persoalan lain muncul kemudian, ketika khutbah-khutbah jumat dijadikan sarana untuk menebar kebencian, mengarahkan umat kepada salah satu kelompok tertentu yg berujung pada kepentingan politik praktis.
Sehingga, melihat negara yang menerapkan syariat Islam seperti Malaysia
4
dalam melakukan penyeragaman terhadap naskah (teks) khutbah jumat menjadi menarik & penting dilakukan, khususnya dari isi teks hingga dinamika penyeragamannya.
B. Rumusan Masalah
1. Mengapa isi khutbah jumat diseragamkan di Malaysia ? 2. Bagaimana isi materi (teks) khutbah jumat ?
3. Bagaimana Dinamika Kebijakan Penyeragaman Materi Khutbah Malaysia?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk:
1. Mengetahui alasan penyeragaman isi khutbah di Malaysia 2. Mengetahui Isi konten khutbah jum’at di Malaysia
3. Mengetahui Dinamika Kebijakan Penyeragaman Materi Khutbah di Malaysia
D. Manfaat Penelitian
Secara teoritis, penelitian diharapkan dapat bermanfaat untuk:
1. Memberikan pandangan baru dalam pengembangan khazanah keilmuan dan keislaman, khususnya dalam hal wacana keagamaan lintas negara 2. Pengembangan kajian multidisipliner khususnya dalam wacana
pengembangan bidang keagamaan dan masyarakat
5
Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat menjadi sumbangan kepada pemerintah dalam merumuskan kebijkaan, khususnya dalam bidang sosial-keagamaan, isu-isu penguatan strategis nasional.
E. Kajian Pustaka
Malaysia merupakan negara yang menerapkan syariat Islam dalam menjalankan roda pemerintahan, tidak banyak mendapatkan sorotan, sebagaimana negara-negara di Timur Tengah. Meskipun demikian, Malaysia adalah negara yang mengalami perkembangan pesat dalam melakukan Islamisasi. (Metzger, 1998) menyatakan bahwa cepatnya perkembangan yang terjadi di Malaysia tidak bisa dilepaskan dari peran Perdana Menteri pertama, Tunku Abdul Rahman yang mengusung kebijakan Islam ke dalam pembangunan fisik dan aktifitas ritual keagamaan yang secara nyata dilakukan dalam beberapa aspek, di antaranya adalah aspek pendidikan dan ekonomi.
Dalam bidang pendidikan, setelah mendapatkan hadiah kemerdekaan
dari kerajaan Inggris pada tahun 1957 (Aslan, 2019), melalui menteri
pendidikan Datuk Seri Najib Tun Abdul Razak telah melakukan transformasi
besar-besaran di dalam kurikulum, kelembagaan dan orientasi. Selain itu,
dalam bidang ekonomi, sejak tahun 50-an, Malaysia telah konsern dalam
menyoroti masalah ibadah haji dan beberapas aspek yang dapat meningkatkan
perekonomian mereka. pada dekade 1960-an pemerintah Malaysia telah
mencanangkan kebijakan Tabung Haji, yang tidak hanya menjadi lembaga
yang mengatur umat Islam yang hendak melaksanakan ibadah haji, namun
6
pada perkembangannya berkembang pada aktifitas ekonomi Islam yang bertransformasi menjadi bank, biro perjalanan, asuransi bahkan kontraktor (Nurhasanah, 2011). Hal inilah yang kemudian menurut Metzger membedakan Malaysia dengan negara-negara Muslim lainnya. Malaysia disebut-sebut sebagai pioner pengembangan sistem ekonomi Islam.
Namun yang jauh lebih penting dari kajian Metzger adalah kesimpulannya tentang keberhasilan Malaysia, yaitu pertama, pemerintah Malaysia yang sedari awal melakukan kebijakan sistematis, partisipatif dan melakukan pendekatan Islam moderat. Kedua, pemerintah Malaysia tidak membiarkan dominasi agama oleh kelompok-kelompok kecil dibawah ulama tertentu, akan tetapi membuka wacana Islam yang seluas-luasnya kepada masyarakat. (Metzger, 1998). Meskipun demikian, kajian Metzger masih melihat Malaysia secara luas dan belum secara spesfik berbicara bagaimana aspek-aspek teknis keagamaan didiskusikan secara spesifik menyoroti masalah teknis pelaksanaan ritual keagamaan.
(Saat, 2014), (Drakeley, 2008), (Shiozaki, 2015), (Nawab & Osman, 2009), (Hamid, 2009).
F. Kerangka Teori
Penelitian ini fokus melihat dinamika agama dan kekuasaan di dalam
aktifitas pelaksanaan khutbah jum’at. Agama yang seharusnya menjadi ruang
privasi harus diatur oleh negara. Kenyataan ini seringkali nampak menjadi
bentuk penghambaan politik. Para pemegang otoritas keagamaan banyak yang
7
mengarahkan ide-ide besar agama inhern dengan ide-ide politik. Dari sini muncul gagasan politik yang cukup berbahaya, karena kekuasaan adalah kebenaran, dan kebenaran adalah kekuasaan. Dalam istilah Michel Foucault kekuasaan mencipatakn realitas, kekuasaan menciptakan domain objek dan ritual kebenaran (Michel Faucault: 1997, 194). Oleh karena itu, negara dalam hal ini memiliki level absolutisme sebagaimana agama.
Satu hal patut dianalisis secara lebih mendalam, ketika kelompok penguasa menilai bahwa Islam membatasi dan menghambat laju perkembangan suatu negara. Asumsi ini seringkali muncul, terutama jika agama dipahami sebagai komitmen terhadap teks Al-Quran dan Sunnah yang parsial, tidak mengakomodir kepentingan sosial, politik dan ekonomi. Teks- teks absolut dalam Al-Quran, Sunnah, warisan intelektual, historis, dan semua muatan ideologisnya merupakan sel-sel pembentuk. Agama Islam tiba-tiba berubah menjadi filosofi politik yang terintegrasi dalam tren politik yang hanya mengekspresikan kelompok elit dan mengabaikan kelas masyarakat lain. Sehingga penelitian ini menggunakan teori analisis wacana (discourse analisis) dan relasi kuasa Michael Foucoult.
G. Metode Penelitian
Untuk menggali data dan informasi yang akurat dan komprehensif,
penelitian ini menggunakan metode kualitatif. Sedangkan untuk pengolahan
data, digunakan metode reduksi data, display data, dan conclusing drawing,
setelah data terkumpul. Beberapa hal terkait dengan metode penelitian akan
dijelaskan sebagaimana berikut:
8 1. Sumber Data
Data penelitian diambil dari wawancara, obeservasi dan analisis dokumen dari pihak-pihak yang terlibat dan terkait dengan objek penelitian. Dalam hal ini, adalah kementerian agama di Malaysia, pengurus masjid, dan juga beberapa informan kunci yang mempunyai peran dalam proses penyeragaman isi teks khutbah di Malaysia, serta beberapa hal yang terkait dengan tema penelitian.
2. Lokasi Penelitian
Penelitian ini akan dilakukan di beberapa Negeri di Malaysia, yang mempunyai peran penting dalam proses penyeragaman teks khutbah jum’at dan ritual keagamaan lainnya. Lokasi ini dipilih karena negara ini merupakan negara monarki Islam yang hingga sekarang masih memerankan penyeragaman terhadap isi teks khutbah jumat dan keagamaan lainnya, sebagaimana rumusan dan tema penelitian.
3. Teknik Pengambilan Data
Guna mendapatkan hasil yang maksimal, proses pengumpulan data dilakukan dengan cara observasi, dan interview mendalam (in-depth interview) terhadap sumber-sumber yang relevan dengan tema penelitian.
Selain itu, juga dilakukan pemetaan isu terhadap isi teks yang dinilai
mengarah kepada isu politik yang merupakan settingan negara atau
kepentingan lainnya. Interview yang akan dilakukan bersifat terbuka dan
tidak terstruktur dengan berpedoman pada interview guide. Dalam hal ini,
9
peneliti bebas mengembangkan berbagai pertanyaan dengan catatan tidak menyimpang dari tema penelitian.
Informan kunci, ditentukan berdasarkan kriteria yang dinilai mempunyai peran penting dalam proses pembuatan dan pelaksanaan kebijakan penyeragaman isi teks khutbah jum’at di Malaysia.
4. Teknik Analisis Data
Setelah data terkumpul, tahap selanjutnya adalah analisis data dengan melakukan proses reduksi data, display data, dan conclusing drawing. Data-data yang telah berhasil dikumpulkan kemudian dimasukkan ke dalam kategori isu sesuai lokasi yang telah dipetakan. Hal ini dilakukan untuk mempermudah dalam proses penarikan kesimpulan secara umum dari hasil penelitian.
Sedangkan isi pembahasan dalam penelitian ini meliputi beberapa isu penting yang telah dirumuskan, yaitu alasan mengapa teks khutbah diseragamkan, faktor yang melandasi, dinamika penyeragaman, dan bagaimana isi teks itu sendiri. Kesemua data yang sudah terkumpul, akan dianalisis dengan kerangka teori yang telah dicantumkan di muka.
H. Rencana Pembahasan
Adapun rencana pembahasan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
Bab I berisi latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian.
Bab II berisi tinjauan pustaka, yang menjelaskan kajian-kajian terdahulu yang
mempunyai kesamaan tema dengan kajian yang akan dibahas. Selain itu,
10
dalam bab ini juga akan dibahas tentang teori yang akan digunakan untuk membaca dan menganilis data riset.
Bab III berisi tentang metode yang digunakan dalam proses penggalian data, mengolah dan menganalisis data.
Bab IV berisi tentang hasil temuan data. Dalam hal ini akan diuraikan potret dan dinamika sosial-keagamaan yang ada di Malaysia, dan juga beberapa hal yang berkaitan dengan pertanyaan utama penelitian.
Bab V adalah kesimpulan dari semua pembahasan yang dilakukan. Selain itu,
agar penelitian ini berkelanjutan dan ada tidak lanjut pada penelitian-
penelitian lanjutan, maka saran-saran juga akan dicantumkan.
11 BAB II
TEORI AGAMA DAN KEKUASAAN
A. Hubungan Agama dan Kekuasaan
Tentang hubungan antara agama dan kekuasaan politik, ada baiknya bila kita merujuk pada pernyataan filosof Perancis, J.J Rousseau, dalam karyanya The Social Contract. Dalam karyanya tersebut, dia menyatakan, “….no state has ever been founded without religious basis,..”.
1Bila diartikan secara bebas, Rousseau menyatakan bahwa tidak ada Negara yang pada awalnya tidak menjadikan agama sebagai basisnya. Artinya bahwa secara historis, hubungan agama dan Negara tidak bisa dielakkan. Bahkan berdasarkan pendapat Rousseau tersebut, Negara sangat membutuhkan agama sebagai basis pendirian Negara tersebut.
Namun meski demikian, tidak selamanya pernyataan Rousseau tersebut berimplikasi positif dalam pelaksanannya. Hubungan agama dan kekuasaan telah mengalami ragam diskusi bahkan sampai pada tahap perdebatan yang tidak jarang memunculkan konflik yang berpengaruh di masyarakat. Bisa dikatakan bahwa pada awalnya memang agama berperan dalam penyatuan dan pembentukan Negara, namun pada waktu kemudian, sering terjadi kebingungan dalam memposisikan agama dan Negara. Oleh sebab itu, tema yang selalu mencuat adalah bagaimana posisi agama dalam sebuah system kekuasaan? Apakah ia sebagai basis legitimasi atau sebagai pondasi yang menjiwai setiap aspek politik?
Tema tersebut kemudian beralih menjadi diskusi tentang siapakah sosok
1 Jean Jacques Rousseau, The Social Contract; Or Principal of Political Right, terj: G. D.
H. Cole, (Virgil, 1762), hal. 106
12
pemegang kekuasaan yang bilamana agama menjadi basis bernegara dan berkuasa?
Pemahaman terhadap agama dan kekuasaan yang tidak komprehensif akan menghasilkan kesalahan dalam pengaplikasiannya karena kedua institusi tersebut sama sama memiliki kemampuan untuk menuntut ketundukan dan masing-masing memiliki aturan yang mengikat masyarakat. Semisal dalam sejarah kekuasaan di Eropa, bahwa dokumen Magna Charta merupakan bukti nyata adanya konflik tersebut.
2Piagam magna charta disusun karena terjadinya perselisihan antara pihak gereja dengan kerajaan Inggris, yang intinya bahwa kedua belah pihak dibatasi kewenangannya. Atau juga dari ulasan Nicolo Machiavelli ketika menggambarkan situasi kebingungan masyarakat Itali yang harus memberikan kepatuhan pada dua institusi, yakni gereja dan raja.
3Agama sebagai sebuah institusi dalam kehidupan manusia berisi tentang ajaran yang dianggap suci karena berasal dari wahyu Tuhan. Sifatnya absolut dan menuntut kepatuhan mutlak. Oleh sebab itu, agama seringkali dijadikan sebagai sumber kedaulatan dalam kekuasaan politik. Ajaran agama berisi tentang tata nilai yang meliputi seluruh aspek kehidupan manusia. Maka, ketika agama diaplikasikan dalam kehidupan nyata, agama menjelma dalam bentuk peraturan-
2 Magna Charta merupakan semi kontrak antara beberapa bangsawan dan Raja John dari Inggris di mana untuk pertama kalinya seorang raja yang berkuasa mengikatkan diri dari mengakui dan menjamin beberapa hak dan privilages dari bawahannya sebagai imbalan untuk penyerahan dana bagi keperluan perang dan sebagainya. Biarpun piagam ini lahir dalam suasana feudal dan tidak berlaku untuk rakyat jelata, namun dianggap sebagai tonggak dalam perkembangan gagasan demokrasi. Prof. Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, ,(Jakarta, PT Gramedia Pustaka Utama, 2009) cetakan keempat, hal. 109
3 See: Prince Nicollo Machiavelli, Discourses, (1517), p. 26
13
peraturan yang mengikat pemeluknya dalam melakukan setiap perbuatan.
Termasuk dalam hal social, agama memiliki keterkaitan yang sangat erat. Sebab, agama diturunkan untuk manusia, dan manusia merupakan makhluk social, maka agama pun dituntut memiliki ketentuan-ketentuan yang bisa dijadikan pedoman dalam kehidupan bersosial. Dari sini bisa dipahami bagaimana agama sangat berpengaruh secara positif dalam kehidupan social manusia.
Permasalahannya adalah ketika agama yang memiliki sifat kemutlakan tadi dianggap pula menjadi sumber legitimasi kekuasaan dalam politik. Agama yang direpresentasikan oleh tokoh agama atau pemuka agama, dan politik termanifestasikan pada pemimpin Negara berupa raja atau presiden dan sejenisnya, yang kemudian dipahami memiliki wilayahnya masing-masing.
Agama yang mengandung aspek spiritual dipahami menempati wilayah batin manusia yang tidak memiliki hubungan langsung terhadap kehidupan nyata. Ia mengatur moralitas seseorang yang oleh karena itu sifatnya subjektif. Sedangkan politik atau kekuasaan menempati wilayah urusan manusia dalam kehidupan nyata. Bersifat objektif karena berhubungan dengan kepentingan orang banyak.
Selain itu, dalam ajaran agama juga dianggap tidak ditemukan konsepsi politik yang utuh untuk bisa dijadikan referensi dalam diskusi kekuasaan politik.
Karenanya, agama dipersilahkan untuk menempati pada urusan personal individu
dalam masyarakat, namun tidak mencampuri urusan social politik.
14
Anggapan atau pemahaman ini lah yang kemudian memunculkan konsepsi The Double Kingdom yang diprakarsai awalnya oleh St. Agustinus.
4Dalam konsep tersebut, bahwa kekuasaan di dunia terbagi menjadi dua, yaitu Kerajaan Tuhan (The Kingdom of God) dan Kerjaan Dunia (The Earthly Kingdom).
Kerajaan Tuhan diwakili oleh Gereja, dan Kerajaan Dunia diwakili oleh Raja.
Konsepsi ini muncul dari pemahaman Agustine yang mangadopsi filsafat manusia Aristotle yang mengatakan bahwa tujuan dari setiap system politik adalah pencapaian kebahagiaan dan kesejahteraan yang itu hakikatnya hanya bisa dicapai melalui Tuhan, karena kebahagiaan dunia bersifat semu. Kebahagiaan sejati hanya diperoleh melalui kehidupan kontemplatif yang terlepas dari kepentingan duniawi.
5Maka dari itu, untuk bisa mencapai kebahagiaan tersebut, Raja harus tunduk pada titah gereja, karena hanya melalui gereja lah tujuan kekuasaannya bisa terlegitimasi secara hakiki. Namun gereja tidak ikut campur dalam urusan kerajaan Raja karena sudah merupakan dimensi luar yang tidak ada kaitannya dengan gereja. Hanya saja, penobatan raja perlu mendapatkan restu gereja untuk bisa sah.
Peristiwa yang juga berkontribusi dalam mempengaruhi hubungan antara agama dan Negara adalah pertentangan antara kerajaan dengan Paus dalam waktu yang lama dengan kejadian yang sangat kompleks. Ada dua kejadian yang dapat
4 Sharma, Western Political Thoought, (Plato to Hugo Grotius), New Delhi: Sterling Private Limited, 1982, hal 97
5 Pemahaman ini didasarkan pada ajaran politik Aristotle yang tertuang dalam karyanya Nichomacean Ethics, katanya: “the contemplative life orders seek to spend time on God alone, the active life orders seek to serve the needs of their fellows.” Lih: Anthony Kenny, An Illustration Brief History of Western Philosophy, 2nd edition, (Oxford, Blackwell Publishing, 2006), p. 159- 162
15
dirujuk, yaitu penobatan Gregory VII dan Henry IV. Begitu pula konflik antara Bonafice VIII dan Philip yang kemudian menjadi contoh dengan dua kesimpulan yang berbeda. Pertama, bisa saja ditemukan hubungan antara gereja dengan agama yang harmonis jika ada komunikasi tanpa subordinal dengan kemerdekaan masing-masing. Pendapat yang kedua menyatakan bahwa perlu otoritas tunggal yang membawahi dua organisasi. Ternyata kedua opsi tersebut tidak bisa diwujudkan. Pertama, pada pelaksanaannya Raja menjadi subordinasi Gereja berdasarkan mandate suci gereja sehingga Raja diwajibkan tunduk pada restu Gereja. Kedua, Gereja yang mengaku sebagai wakil Tuhan di Dunia memegang kekuasaan mutlak tertinggi sehingga tidak mungkin ada kekuasaan di atasnya yang lebih berkuasa daripada Tuhan. Hal inilah yang kemudian pada perkembangan berikut justrus menimbulkan masalah karena kesulitan untuk menentukan batas pembeda antara masalah agama dan masalah keduniawian.
Akhirnya, tahun 494 kemudian Paus Gelasius I yang berhasil merumuskan doktrin yang dikenal “dua pedang”.
6Pandangan itu pun belum bisa menjadi solusi dari problem dua kekuasaan tersebut. Pasalanya, batas antar kedua kekuasaan itupun tidak pernah bisa jelas.
Selain itu, salah satu di antara kedua kekuasaan itu pun berpotensi untuk menjalankan kekuasaan politik maupun spiritual, di mana yang menjadi objek kekuasaannya adalah masyarakat. Klimaks dari perseteruan ini berujung pada terjadinya perang lebih dari 30 tahun antara kerajaan yang dipimpin oleh Ferdinand II yang menerapkan nilai-nilai Katolik di penjuru kerajaan dan
6 R. W. Carcyle dan A. J., A History of Medieval Political Theory in The West, Vol. 5, (London, Blacwood, 1928), hal. 190
16
ditentang oleh bangsawan Protestan yang meberontak. Perang pada akhirnya bisa diselesaikan di atas meja perundingan antara Kaisar Romawi Suci Ferdinand II, dan kerajaan-kerajaan dari Spanyol, Prancis, Swedia, Belanda, dan sejumlah penguasa wilayah lain di Eropa. Perundingan itu dikenal dengan ‘Perjanjian Westphalia.
Perjanjian ini yang di kemudiannya akan membawa pada konsepsi baru tentang tatanan global baru berdasarkan pada “Sistem Negara”. Rumusan terpenting dari perjanjian tersebut adalah pengakuan atas wilayah-wilayah yang semula dalam bentuk kerajaan menjadi Negara nasional yang modern dan memiliki kedaulatan serta garis pembatasan yang jelas. Pada akhirnya, disebabkan perjanjian tersebut, dasar kekuasaan yang berasal dari doktrin teologis (dalam hal ini kekaisaran Katolik) berubah digantikan dengan dasar kedaulatan nasional. Dari sinilah kemudian akan muncul konsepsi Negara nasional yang akan menyebar ke seluruh dunia, dan dianggap sebagai sebuah bentuk kesepakatan Negara modern.
Perubahan ini membawa pada perkembangan cara pandang tentang Negara di era modern, di mana nilai-nilai nasionalisme dianggap melebihi dan pantas untuk lebih diunggulkan dari pada nilai-nilai dari ajaran lain termasuk doktrin agama, dan menjadikan nasionalisme sebagai doktrin dan asas loyalitas bernegara.
7Kemudian sekularisme modern muncul bersamaan dengan munculnya Negara modern.
7 Robert N. Bellah, The Broken Covenant: American Civil Religion in A Time of Trial, (New York; Seabury, 1975)
17
Sekularisme yang melahirkan pandangan baru tentang Negara modern menghasilkan pula ragam bentuk relasi agama dan Negara. Ada Negara yang berusaha untuk melepaskan diri dari pengaruh agama, ada pula yang berusaha untuk mempertahankan posisi agama, namun membatasi posisinya pada ranah etika maupun identitas keyakinan dan tidak mencampuri urusan Negara. Meski demikian, bisa disimpulkan bahwa kedua jenis hubungan tersebut tetap mempertahankan sekularisasi politik di mana Negara dikelola dan dipimpin oleh pemimpin yang membuat kebijakan dengan menghindarkan diri dengan menyebut nama Tuhan dan agama. Dengan demikian, konsep ‘secular’ telah menjelma menjadi panutan atau acuan modern untuk menunjukkan sesuatu yang lain dari
‘agama’. Sejak saat itu secularism di Eropa menjadi pilihan banyak Negara-negara yang mulai meminggirkan peran gereja dalam urusan Negara.
Fenomena ini semakin mendapatkan momentumnya setelah selesainya PD II di tahun 1945 dan juga kemenangan Amerika Serikat atas Uni Soviet, di mana gelombang demokratisasi melandang seluruh Negara di dunia.
8Bisa dikatakan bahwa hampir semua Negara di dunia menganut paham nasionalisme dan demokrasi sebagai system bernegaranya. Akhirnya dalam perspektif ini pun banyak Negara yang meski berbentuk monarki juga mangdopsi paham sekularisme politik atau ‘semi’ secular terkait hubungan agama dan negaranya.
8 Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, ,(Jakarta, PT Gramedia Pustaka Utama, 2009) cetakan keempat, hal. 105. Menurut suatu penelitian yang diselenggarakan oleh UNESCO dalam tahun 1949, disebutkan bahwa: “Mungkin untuk pertama kali dalam sejarah demokrasi dinyatakan sebagai nama yang paling baik dan wajar untuk semua system organisasi politik dan social yang diperjuangkan oleh pendukung-pendukung yang berpengaruh (Probably for the first time in history democracy is claimed as the proper ideal description of all systems of political and social organizations advocated by influential proponents), lihat: S. I. Benn dan R. S. Peters, Principles of Political Thought, (New York, Cillier Books, 1964), hal. 393
18
Berbeda dengan yang terdapat dalam konsepsi Islam tentang politik.
Sebagai sebuah ajaran yang berorientasi pada peradaban luhur, Islam menyatakan bahwa antara Islam dan politik mempunyai keterkaitan yang sangat erat. Imam Ghozali dalam bukunya al Iqtishaad fi al I’tiqaad menyebutkan bahwa agama dan kekuasaan (politik) merupakan saudara kembar. Agama merupakan pondasi dan kekuasaan adalah penjaganya, maka setiap pondasi yang tidak mempunyai penjaga akan hilang, begitu juga segala hal yang tidak mempunyai penjaga maka akan mengalami kehancuran.
9Senada dengan Imam Ghozali, Ibnu Taimiyyah juga berpendapat bahwa menyelenggarakan perpolitikan merupakan kewajiban yang utama dalam agama, bahkan beliau menambahkan bahwa tegaknya agama tergantung tegaknya perpolitikan.
10Ibnu Kholdun dalam Muqoddimah-nya juga menyatakan, bahwa politik (khilafah) sangat penting bagi manusia dan seluruh makhluk hidup sebagai tempat perlindungan dari adanya perselisihan, serta membawa seluruh makhluk hidup menuju kebahagiaan di akhirat, dengan menjadikan syari’at sebagai panduan dalam beribadah dan bermuamalah.
11Sehingga, bisa dikatakan bahwa dalam Islam tidak mengenal adanya pemisahan antara urusan perpolitikan dan urusan agama, bahkan keduanya saling terkait dan saling menjaga. Inilah yang menjadi ciri pertama dalam perpolitikan Islam, yang menjadikan ajaran agama sebagai pondasi berdirinya pemerintahan dalam Islam.
9 Abu Hamid al Ghozali, al Iqtishaad fi al I’tiqaad, (Mesir, Maktabah al Jundi, 1518), p.
197
10 Teks aslinya: "...اهب لاإ نيدلل مايق لا لب نيدلا تابجاو مظعأ نم سانلا رمأ ةيلاو نأ", lih:
Taqiyuddin Abu al ‘Abbas Ahmad Ibn Taimiyyah, as Siyaasah as Syar’iyyah Fi Ishlahi ar Raa’i wa ar Raa’iyyah, tahqiq: Lajnatu Ihnya’ at Turats al ‘Arabi fi Dar al Afaq al Jadidah, (Beirut, Dar al Afaq al Jadidah, 1983) cetakan pertama, p. 138
11 Abdurrahman Ibn Kholdun, Miqoddimatu Ibn Kholdun, (Beirut-Libanon, Darul Kutub al ‘Ilmiyyah, 2003), cetakan kedelapan, p. 150
19
Dari penjelasan di atas, satu hal yang pasti dalam pemerintahan Islam bahwa pondasi dari bangunan perpolitikannya adalah agama. Dalam hal ini, Allah SWT sebagai Sang Pemegang kedaulatan tertinggi. Sayyid Quthb menjelaskan bahwa, dengan menjadikan Allah sebagai Penguasa Tertinggi, maka kesatuan misi akan terwujud. Sikap tunduk kepada Sang Penguasa Tunggal pun akan menjadikan manusia terbebas dari sikap tunduk kepada sesuatu yang lain,
12yang belum tentu berkuasa atas manusia. Ismail Raji al Faruqi pun menambahkan, dengan kesatuan aqidah ini juga akan membebaskan manusia dari segala macam bentuk perbudakan dari sesama manusia dan bersatu dalam mengabdikan dirinya untuk beribadah kepada Allah, sehingga segala macam bentuk perbuatan dan keputusan yang terselenggara dalam masyarakat merupakan cerminan sikap tunduk dan ta’at kepada Allah SWT dan Rasul-Nya.
13Hal ini juga disampaikan oleh Abul A’la al Maududi dengan mengatakan bahwa jika kepercayaan kepada Allah SWT hilang, maka tuhan-tuhan palsu akan mengambil tempat-Nya dalam pemikiran dan kelakuan rakyat.
14Dengan kata lain, dalam sistem perpolitikan Islam, kekuasaan tertinggi dan kedaulatan tertinggi ada pada Allah SWT, sehingga segala macam hukum syari’at yang datang dari-Nya harus dijadikan landasan dalam perpolitikan. Selain itu, aspek penghambaan diri kepada Allah menyeru kepada rakyat untuk bersatu dan menjauhi perpecahan.
12 Sayyid Quthb, Keadilan Sosial dalam Islam, diterjemahkan dari al ‘Adaalh al Ijtimaa’iyyah fil Islam, pent. Afif Mohammad, (Bandung, Pustaka, 1984), p. 49-50
13 Ismail Raji Al Faruqi, Tauhid, (Bandung, Penerbit Pustaka, 1988), p. 147
14 S. Abul A’la al Maududi, Teori Politik Islam, diterjemahkan dari Pholitical Theory of Islam, pent: Salahuddin Abdullah Abbad, (Bandung, P.T al Ma’arif) p. 8-15
20
Dari sini bisa disimpulkan bahwa dalam perspektif Islam, konsep hubungan agama dan Negara terjalin dengan erat dengan adanya dasar filosofinya dan juga rangkaian ketentuan syari’at yang mengatur permasalahan social. Dasar folosofi dari aqidah memberikan semacam dasar ideology bernegara, dan kemudian syari’at sebagai dasar undang-undang dalam praktik perundang- undangannya. Sebagai wujud kongkritnya, Aqidah sebagai ideology termanifestasikan dalam wujud Al Qur’an dan Hadits sebagai pedoman politik, dan Syari’at dalam wujud syuro dan diskusi para ulama fiqh dan para pakar di bidangnya. Rasyid Ridho menjelaskan makna Ahlu Hall wal ‘Aqdi adalah para ulama dan para pakar yang memiliki kelebihan ilmu untuk bisa memberikan solusi pada permasalahan masyarakat.
15Fakta intgerasi kekuasaan agama dan politik ini terlihat dari sosok kepemimpinan Rasulullah sallallahu ‘alaihi wa sallam dan para penggantinya.
Tidak bisa dipungkiri bahwa sejak awal munculnya Islam, Rasulullah berperan sebagai pemimpin politik sekaligus pemimpin agama. Kemudian para khalifah rasyidin juga demikian, hanya saja ditambah adanya lembaga permusyawaratan dari kalangan sahabat. Bentuk ini mulai berubah ketika berdirinya dinasti dalam sejarah Islam, di mana kekuasaan politik dipegang oleh para khalifah, namun urusan agama diserahkan kepada para ulama dengan posisi strategis sebagai penasehat dan pemberi fatwa yang sangat berpengaruh pada kebijakan politik khalifah. Bentuk interaksi antara agama dan Negara semacam ini dalam Islam tidak menjadi kendala, hingga akhirnya berakhir menghilang dan berubah ketika
15 Rasyid Ridha, Tafsir al Manaar, juz 3, (Mesir, al Hai’ah al Mishriyyag lil Kitab, 1990), cetakan keempat, p. 269
21
kaum muda Turki mengadakan revolusi dan menghasilkan republic Turki sekuler di abad ke-20.
Bentuk hubungan agama dan politik di Islam bukan berarti bahwa politik Islam adalah berbentuk theokrasi seperti yang terjadi di Barat. Dalam bentuk ini, kedaulatan Tuhan dianggap diwakilkan kepada para pejabat gereja, sehingga segala keputusan gereja adalah keputusan Tuhan, dan rakyat wajib untuk menta’atinya tanpa ada kompromi. Dengan begini kedaulatan yang dipegang Paus atau pejabat gereja adalah absolut karena dianggap berasal dari Tuhan.
16Dr Yusuf Qardhawi menyatakan penolakannya bila politik Islam dianggap semisal dengan bentuk theokrasi ala Barat. Beliau menyatakan bahwa sistem pemerintahan Islam adalah sistem pemerintahan Madani atau sistem pemerintahan yang berperadaban dengan menjadikan hukum Islam sebagai landasannya. Dijalankan atas dasar perjanjian (bai’ah) dan musyawarah (syura), dan para pemimpinnya dipilih dari yang paling kuat dan dapat dipercaya, serta berilmu. Dalam Islam tidak dikenal adanya kekuasaan para pemuka agama, karena dalam agama Islam, setiap orang merupakan orang yang bertanggung jawab atas agamanya.
17Maka dalam politik Islam, keterlibatan masyarakat dalam putusan-putusan politik sangat penting. Selain untuk pengawas jalannya kekuasaan, mekanisme syuro tidak akan bisa dijalankan secara sempurna kecuali adanya keterlibatan masyarakat. Hanya kemudian, bahwa mekanisme tersebut diatur sedemikian rupa,
16 Moh. Kusnardi dan Bintan R. Saragih, Ilmu Negara, (Jakarta, Gaya Media Pratama, 2000),p. 123
17 Dr. Yusuf Qardhawi, Min Fiqh ad Daulah fi al Islam, Makanatuha, Ma’alimuha, Thobi’atuha, Mauqi’uha min ad Dimuqrathiyyah wa at Ta’addudiyyah, wa al Mar’ah wa Ghoiri al Muslimiin, (Kairo, Dar Syuruq, 1997), cetakan pertama, p. 30
22
sehingga suara masyarakat kemudian diwakilkan oleh para pemuka masyarakat dan ulama. Dalam teorinya Al Farabi menekankan bahwa bagi mereka yang tidak memiliki kapabilitas atau kualitas intelektual yang mampu membawa masyarakat pada pengembangan dan kemajuan yang positif, maka mereka hanya berhak untuk melaksanakan apa yang telah diputuskan oleh para wakilnya. Mereka tidak berhak memimpin namun berhak untuk dipimpin. Bentuk yang demikian juga bukan berarti bahwa politik Islam berbentuk aristokrasi, karena pemuka dan ulama yang menjadi wakil rakyat bukanlah selalu bangsawan ataupun ‘kaum pemodal’. Maka sebenarnya kontrak social dalam Islam lebih kongkrit dari apa yang telah dipopulerkan oleh Thomas Hobbes atau JJ Rousseau. Dr. Abdul Qadir menjelaskan dalam disertasinya bahwa adanya bai’at aqabah 1 dan 2, kemudian Piagam Madinah, ‘Ahdul Umariyyah, kemudian sampai pada Mu’tamar Al Jibaiyyah adalah bentuk kongkrit dari adanya perjanjian kontrak social dalam Islam, daripada yang dijelaskan Rousseau yang waktu itu masih dalam bentuk imajinasi.
B. Relasi Kuasa dalam Politik
Setelah dipahami tentang diskusi hubungan antara agama dan negara, dalam penelitian ini juga perlu untuk disampaikan teori tentang relasi kuasa yang akan menjelaskan fenomena penyeragaman khutbah ini dalam pespektif filosofis.
Pendekatan ini diperlukan karena untuk bisa menangkap pola yang berkembang
dalam lingkungan kekuasaan yang bernama negara dan kaitannya dengan
pembentukan wacana nasional yang bahkan menjadi cara pandang masyarakat
23
dalam menjalani perannya sebagai warga. Untuk itu, teori Michel Foucault dirasa tepat untuk digunakan sebagai perspektif ini.
Memahami Foucault tentu tidak mudah. Pemikirannya selalu berubah, namun konsisten. Teori relasi kuasanya merupakan perpaduan dari beberapa macam teori filosofis dari para ilmuwan yang ternyata mempengaruhi Foucault dan membantu dalam pembentukan teori-teorinya.
Selama masa kuliahnya, Foucault telah akrab dengan paham-paham Marxisme dan fenomenologi karena keduanya merupakan teori utama dalam kehidupan intelektual Prancis. Foucault menjadi akrab dengan Marxisme dan fenomenologi karena kedua filsafat tersebut menjadi bangunan teori yang paling berpengaruh selama tahun-tahun pasca perang. Berdasarkan fenomenologi, makna harus ditemukan dalam persepsi seseorang tentang esensi universal dari suatu objek. Filosofi eksistensial milik Jean Paul Sartre menempatkan individu sebagai, lebih atau kurang, agen bebas yang memiliki tanggung jawab dan kapasitas mengorganisir pengalaman dan memahaminya
Menurut Foucault, fenomenologi berusaha mencari kepercayaan pada sifat
mutlak kebenaran dan makna. Kebenaran dan makna membutuhkan pengetahuan
subjek manusia untuk membawa mereka ke cahaya. Foucault dipengaruhi oleh
karya bersejarah Martin Heidegger dan Georges Canguilhem. Canguilhem tertarik
dengan cara rasionalitas ilmiah dan alasan selalu berubah. Meskipun Heidegger
adalah seorang fenomenolog, dia menekankan sentralitas konteks sosial dan
budaya di mana kebenaran dan makna dihasilkan. Bagi Heidegger, ide dan
24
aktivitas orang sangat ditentukan oleh latar belakang di mana mereka tinggal. Tapi orang-orang cenderung berpikir bahwa mereka bertindak secara bebas dan independen dalam konteks mereka.
Menurut kaum strukturalis, makna adalah relasional. Acara, ide, dan kegiatan tidak berarti apa-apa dalam diri mereka sendiri tetapi mereka hanya masuk akal ketika mereka terkait dengan peristiwa, ide, dan aktivitas lain.
Strukturalisme merayakan kematian subjek. Strukturalisme memperluas wawasan Heidegger bahwa orang tidak benar-benar bebas untuk berpikir dan bertindak. Ide dan kegiatan mereka adalah dihasilkan oleh struktur (sosial, politik, budaya) di mana mereka tinggal. Menurut perspektif ini, orang tidak berpikir atau menciptakan makna. Pada sebaliknya, struktur berpikir dan berbicara melalui orang.
Teori psikoanalisis, terutama yang dikembangkan melalui karya-karya Sigmund Freud dan, kemudian, Jacques Lacan, melanjutkan kritik terhadap kebebasan subjek ini. Menurut Freud dan Lacan, subjek adalah sejenis mitos yang berasal dari keinginan seseorang yang tertekan dan keberadaan subjek didasarkan pada ketidakpedulian.
Pengaruh paling penting pada karya Foucault, terutama dari The Order of
Things dan karyanya yang lain, adalah filsuf Jerman Friedrich Nietzsche. Gagasan
Nietzsche tentang hubungan antara kebenaran, pengetahuan dan kekuasaan sangat
mempengaruhinya. Nietzsche menolak gagasan bahwa sejarah terungkap secara
rasional dengan perkembangan bertahap yang lebih tinggi dari bentuk-bentuk
25
akal. Segala bentuk pengetahuan atau kebenaran yang muncul dalam suatu budaya bukan karena berharga atau abadi, tetapi karena satu kelompok berhasil memaksakan kehendaknya kepada orang lain.
Foucault membahas masalah kekuasaan dalam karya-karya seminalnya.
Kekuasaan adalah kemampuan satu entitas untuk mempengaruhi tindakan entitas lain. Hubungan seperti itu tampaknya ada di semua skala. Dalam karyanya The History of Sexuality volume satu, Foucault mendefinisikan kekuasaan sebagai "the multiplicity of force relations immanent in the sphere in which they operate and which constitute their own organisation”, bahwa kekuasaan merupakan gabungan dari ragama hubungan kekuatan imanen dalam lingkup sosial, di mana subject dan object kekuasaan hidup bersama dan saling terhubung secara organisatoris.
18Bahkan partikel paling sederhana pun tampak tidak lebih dari pola energi dan daya yang stabil. Foucault berpendapat, dalam masyarakat abad pertengahan kekuasaan telah dikonsolidasikan sebagian besar melalui keberadaan otoritas berdaulat yang melakukan kontrol mutlak atas subjek melalui tampilan kekerasan secara terbuka. Di era modern, kekuasaan dijalankan dengan cara yang berbeda.
Pada abad ketujuh belas dan kedelapan belas ada penemuan mekanisme baru kekuasaan yang dimiliki teknik prosedural yang sangat spesifik.
Mekanisme kekuasaan baru ini lebih bergantung pada suatu badan organisasi. Ini adalah mekanisme kekuasaan yang memungkinkan waktu dan tenaga, bukan kekayaan dan komoditas. Melalui kekuasaan pengawasan terus
18 Michel Foucault, The History of Sexuality; Vol. 1: An Introduction, diterjemahkan dari Bahasa Prancis oleh: Robert Hurley, (New York, Pantheon Books, 1990), hal. 92
26
dilakukan. Konsepsi umum adalah bahwa kekuasaan disebabkan dan dijalankan oleh agen dan dilakukan pada agen. Kekuasaan adalah struktur total tindakan yang tidak bertindak secara langsung dan segera pada orang lain. Kekuasaan ala Foucault bersifat impersonal, murni relasional dan buta. Jenis kekuasaannya bukanlah kekuatan atau kapasitas atau dominasi atau otoritas. Itu tidak dapat diatribusikan kepada siapa pun atau apa pun. Kekuasaan bersifat impersonal karena tidak dimiliki atau digunakan oleh individu, kelompok, atau institusi.
Foucault menyebut kekuasaan sebagai seperangkat hubungan yang kompleks.
Kekuasaan adalah jumlah total pengaruh yang dimiliki tindakan terhadap tindakan lain. Kekuasaan ala Foucault itu buta dan tanpa tujuan.
Kekuasaan menurut Foucault muncul dari situasi strategis atau jaringan hubungan. Model magnet menyajikan gambaran grafis kekuasaan sebagai relasional. Ini menggambarkan bagaimana kekuasaan bersifat impersonal; itu bukan kekuatan siapa pun, karena ini adalah jaringan hubungan di antara tindakan dan bukan di antara agen. Model ini juga menggambarkan bagaimana kekuasaan meresap. Tidak ada yang bisa lepas dari relasi kuasa. Bertindak menentang berarti bertindak dalam kekuasaan, bukan melawannya. Untuk melepaskan diri dari kekuasaan, seseorang harus benar-benar sendirian dan bebas dari semua enkulturasi yang membuatnya menjadi makhluk social.
Seseorang tidak dapat melarikan diri dari kekuasaan tanpa mencapai
kesendirian total atau perbudakan total. Kekuasaan bukanlah sesuatu yang dapat
atau tidak dapat dihindari oleh individu. Ini adalah jaringan rumit yang membatasi
hubungan timbal balik yang ada, saat ada lebih dari satu agen. Intinya tidak boleh
27
ada interaksi antar individu di luar kekuasaan. Kekuasaan bukanlah sesuatu yang diperoleh, direbut, atau dibagikan, karena ia selalu hadir dalam lingkungan di mana manusia menjadi subjek dan agen.
Kekuasaan ala Foucault bukanlah dominasi. Ini adalah tindakan jaringan yang kompleks dari dominasi, penyerahan dan perlawanan. Kekuasaan membatasi tindakan, bukan individu. Kekuasaan adalah semua tentang orang-orang yang bertindak dengan cara yang secara membabi buta dan impersonal mengkondisikan pilihan dan tindakan orang lain. Tujuan dari teknologi kekuasaan ini bukan sekedar pengendalian yang dapat dicapai melalui penanganan atau pembatasan dan larangan, tetapi pengelolaan yang meresap. Apa yang baru dalam pertimbangan Foucault tentang manajemen pervasif adalah deskripsi tentang bagaimana hal itu dicapai tidak hanya melalui pembatasan, tetapi melalui konsepsi, definisi, dan deskripsi yang memungkinkan, menghasilkan dan mendukung perilaku yang mengatur norma.
Kekuasaan bukan hanya dominasi kejam dari yang lemah oleh yang kuat.
Ciri paling penting dari tesis Foucault adalah penekanannya pada pelaksanaan
modern dari sifat produktif kekuasaan. Tujuan utamanya adalah untuk
menggantikan konsep negatif dan menghubungkan sifat produktif dengan
kekuasaan. Ia menghasilkan realitas dan kebenaran. Foucault menunjukkan bahwa
kekuasaan dapat dipahami dalam hal teknik yang digunakannya. Berbagai bentuk
kekuasaan ada dalam masyarakat seperti hukum, administrasi, ekonomi, militer,
dan sebagainya. Kesamaan mereka adalah ketergantungan bersama pada teknik
28
atau metode penerapan tertentu, dan semuanya menarik beberapa otoritas dengan mengacu pada kebenaran ilmiah.
Kekuasaan harus dianalisa sebagai sesuatu yang beredar, atau lebih tepatnya sebagai sesuatu yang hanya berfungsi dalam bentuk rantai. Itu tidak pernah dilokalisasi di sini atau di sana, tidak pernah di tangan siapa pun, tidak pernah diambil sebagai komoditas atau bagian dari kekayaan. Kekuasaan digunakan dan dijalankan melalui organisasi seperti jaring. Individu tidak hanya beredar di antara benang-benangnya tetapi mereka selalu dalam posisi menjalani dan menjalankan kekuatan ini.
Ciri terpenting dari teori Foucault tentang kekuasaan mengungkapkan bahwa kekuasaan bukanlah suatu hal atau kapasitas yang dapat dimiliki baik oleh Negara, kelas sosial atau individu tertentu. Sebaliknya, itu adalah hubungan yang berbeda antara individu dan kelompok dan hanya ada ketika sedang dilaksanakan.
Seorang raja adalah raja hanya jika dia memiliki rakyat. Dengan demikian, istilah kekuasaan mengacu pada rangkaian hubungan yang ada antara individu, atau yang secara strategis digunakan oleh kelompok individu. Institusi dan pemerintah hanyalah pengerasan dari rangkaian hubungan kekuasaan yang sangat kompleks yang ada di setiap tingkat tubuh sosial.
Foucault membedakan ide-idenya tentang kekuasaan dengan mengkritik
model kekuasaan yang melihat kekuasaan sebagai murni terletak di negara atau
badan administratif dan eksekutif yang mengatur negara bangsa. Eksistensi
Negara sebenarnya bergantung pada pengoperasian ribuan mikro-relasi kekuasaan
29
yang kompleks di setiap tingkat badan sosial. Foucault menawarkan contoh dinas militer yang hanya dapat ditegakkan jika setiap individu terikat dalam seluruh jaringan hubungan yang mencakup keluarga, majikan, guru, dan agen pendidikan sosial lainnya. Strategi besar Negara bergantung pada kerjasama seluruh jaringan taktik kekuasaan lokal dan individual di mana setiap orang terlibat. Semua hubungan kekuasaan pada tingkat yang berbeda bekerja bersama dan melawan satu sama lain dalam kombinasi yang terus berubah. Negara hanyalah konfigurasi dari beberapa hubungan kekuasaan.
Foucault mengkritik model kekuasaan tradisional. Menurutnya kekuasaan bukan hanya tentang mengatakan tidak dan menindas individu, kelas sosial atau naluri alami, melainkan kekuasaan itu produktif. Ini membentuk suatu perilaku dan peristiwa daripada hanya membatasi kebebasan dan membatasi individu. Dia berpendapat dalam The History of Sexuality, volume satu: “if power was never anything but repressive, if it never did anything but say no, do you really believe that we should manage to obey it? “,
19atau jika kekuasaan tidak pernah menjadi apa-apa selain represif, dan jika tidak pernah melakukan apa pun kecuali mengatakan hal-hal yang bersifat larangan, maka sejatinya menurut Foucault itu bukanlah kekuasaan, karena tidak menghasilkan kepatuhan, tapi ketakutan. Pasti ada sesuatu yang lain, selain represi, yang membuat orang menyesuaikan diri.
Foucault menunjukkan bahwa kekuasaan dapat dipahami dalam hal teknik yang digunakannya. Ini menghasilkan jenis pengetahuan dan tatanan budaya tertentu.
19 Michel Foucault, The History of Sexuality, volume one, ….., hal. 36
30
Bila disederhanakan, bahwa kekuasaan menurut Foucault adalah satu rangkaian relasi antara penguasa dan yang dikuasai beserta segala elemen alami yang ada dalam kehidupan sosial manusia. Pengertian ini akhirnya bisa dipahami pula bahwa kekuasaan merupakan suatu hal yang natural dan termanifestasikan dalam bentuk ketaatan dan hukum. Namun yang menarik kemudian, bahwa kekuasaan Foucault ini tidak berupaka person, melainkan suatu yang abstrak namun memiliki kekuatan untuk bisa menghasilkan rangkaian relasi kuasa itu.
Maka, barangsiapa yang mampu mengakomodir sesuatu yang abstrak itu, ia lah yang akan memegang kekuasaan, dan dengannya kekuasaan dijalankan dengan segala instrumen integralisasinya. Sesuatu yang abstrak ini bisa berasal dari norma, adat, tradisi dan semacamnya. Di sinilah kemudian penguasa sebagai juga aktor intelektual memanfaatkan hal-hal tersebut menjadi sebuah wacana nasional yang digunakan untuk membuat realitas politiknya dan menjadi sarana kekusaannya.
Pertanyaannya, apakah hal ini salah? Tentu tidak seluruhnya salah. Namun
bila wacana kekuasaan tadi bersifat subjektif dan relatif, memang cenderung
melahirkan diktatorian atau tirani, karena penguasa memegang tafsir tunggal atas
wacana tersebut. Akan tetapi bila wacana tersebut bersifat objektif, terbuka dan
berada pada lingkungan intelektual yang baik, maka pemerintahan akan bersifat
demokratis partisipatif karena setiap warga mampu untuk memberikan
pendapatnya bahkan kritik tentang wacana tersebut, meski tidak sampai
menggantinya. Di sinilah menariknya relasi kuasa foucault ini, yang kemudian
31
bisa wacana tersebut disebarkan dalam mekanisme komunikasi politik, maka akan menghasilkan hasil yang menarik.
C. Komunikasi Politik
Pada bagian ini, peneliti mencoba untuk menggunakan teori komunikasi politik Jurgen Habermas sebagai perspektif dalam melihat fenomena penyeragaman khutbah Jum’at di Malaysia. Peneliti melihat bahwa fenomena ini juga perlu untuk dilihat melalui perspektif komunikasi politik, sebab seringkali penguasa atau lembaga otoritas tertentu menggunakan instrumen komunikasi untuk mengendalikan lingkungan kekuasaan sosialnya sehingga stabilitas sosial yang berujung pada stabilitas politik bisa terjaga. Instrumen tersebut bisa berupa tayangan televisi, siaran radio, poster-poster, bahkan sampai ceramah atau pidato serta orasi langsung dengan narasi-narasi tertentu yang berorientasi pada manifestasi politik. Teori Habermas ini seringkali dikenal dengan Theory of Communicative Action (TCA).
Dasar dari Theory of Communication Action Habermas adalah konsep tiga dunia yang penting untuk memahaminya tipologi tindakan sosial. Habermas menjelaskan “….with the choice of a specific sociological concept of action, we generally make specific ‘ontological’ assumptions."
20Habermas mendefinisikan tiga dunia konsep 'formal' daripada 'materi'.
21Ini melampaui domain yang
20 Jurgen Habermas, The Theory of Communicative Action Vol. 1; Reason and Rasinalizatin of Society, (Boston, Beacon Press, 1984), hal. 85
21 Konsep tiga dunia ini sebenarnya terinspirasi dari konsep tiga dunia dalam epistemology Karl Popper. Ia membagi kronologi pengetahuan manusia dalam tiga fase yang ia sebut tiga dunia. Dunia pertama adalah fakta fisik dari realitas yang ada di sekitar manusia, dunia kedua adalah realitas psikis yang terjadi pada diri manusia yang masih berhubungan dengan kesadarannya akan realitas fisik di sekitarnya, dan dunia ketiga adalah hipotesa, analisa dan segala
32
membedakan objek dari alam dan budaya yang berasal dari sikap dasar terhadap dunia objektif dari apa yang kasus dan sikap dasar terhadap dunia sosial tentang apa yang secara sah dapat diharapkan, apa adanya diperintahkan atau seharusnya.
22Dunia objektif didefinisikan sebagai "totalitas dari apa yang terjadi"
tentang proposisi yang benar mungkin. Seorang aktor sosial dapat menghibur persepsi dan keyakinan tentang entitas dan keadaan urusan yang setuju atau tidak setuju dengan apa yang terjadi di dunia. Dengan demikian, persepsi actor dan keyakinan mungkin benar atau salah. Seorang aktor mungkin mencoba untuk mengubah keadaan yang ada dan dapat berhasil atau gagal dalam melakukannya.
Dua hubungan rasional antara aktor dan dunia ini dinilai sesuai dengan kriteria kebenaran dan kemanjuran
Dunia sosial terdiri dari "konteks normatif yang menetapkan interaksi mana yang dimiliki" hubungan interpersonal yang sah."
23Dunia sosial mewujudkan moral pengetahuan praktis berupa norma, aturan, dan nilai.
Hubungan rasional aktor dan dunia sosial terbuka untuk evaluasi objektif menurut dua 'arah kecocokan'. Pertama, tindakan bisa sesuai atau menyimpang dari norma yang ada dan dapat dinilai menurut kebenaran normatifnya. Kedua, norma dibenarkan atau diakui sah jika mengandung nilai-nilai dan kepentingan-
gerak intelektual seseorang tersebut dalam merespon dunia pertama. Habermas menambahkan dalam dunia ketiga tersebut tidak hanya sampai pada gerak intelektual, namun sampai pada aktualisasi aksi yang memiliki dampak komunikatif terhadap realitas sosial22 Teks: “…. but as soon as we are to specify explicitly wherein things are distinct from person, causes from motives, happening from actions, and so forth, we have to go beyond differentiating object domains to differentiating between a basic attitude toward the objective world of what is the case and a basic attitude toward the social world of what can legitimately be expected, what is commanded or ought to be.” Ibid, hal. 49
23 Ibid, hal. 88
33
kepentingan para aktor sosial. Oleh karena itu, norma-norma yang ada dinilai dari segi legitimasi dan justifikasinya.
Melengkapi dunia objektif dan sosial, yang berada di luar aktor, Habermas mendefinisikan dunia internal atau subjektif, yang didefinisikan "sebagai totalitas pengalaman subjektif di mana aktor memiliki akses istimewa."
24Dengan mengucapkan pengalaman kalimat, keinginan dan perasaan, seorang aktor membuat dunia subjektifnya diketahui oleh pendengar yang dapat mempercayai atau tidak mempercayai ketulusan dan kebenaran actor
Mengenai tiga dunia, aktor mengajukan tiga klaim validitas: 1) pernyataan itu benar, yaitu, bila peryataan tersebut mengungkapkan apa yang terjadi di dunia, dan arahan berhasil mewujudkan yang diinginkan keadaan; 2) pernyataan benar dengan memperhatikan norma yang ada dan norma yang ada sah sehubungan dengan nilai-nilai dalam sebuah sistem sosial yang terbentuk; dan 3) pengalaman, keinginan, dan perasaan yang ditundukkan secara jujur menyatakan. Konsep tiga dunia membentuk sistem acuan yang dianut oleh para aktor dalam interaksi sosial.
Tiga dunia dan hubungan rasional aktor dengan dunia ini menentukan sebuah kerangka kerja di mana kelas-kelas tindakan sosial didefinisikan
Habermas memperkenalkan konsep tambahan untuk mengklasifikasikan tindakan sosial: orientasi untuk sukses dan orientasi untuk mencapai pemahaman.
Orientasi untuk sukses menyiratkan bahwa aktor adalah kepentingan utama dalam mencapai keadaan yang diinginkan di dunia objektif. Untuk mencapai tujuan yang
24 The subjective world (as the totality of the experiences of the speaker to which he has privileged access), Ibid, hal. 100
34
dipilih seorang aktor bisa berharap berhasil dalam situasi tertentu. Sebaliknya, social aktor berorientasi untuk mencapai pemahaman, mencari kesepakatan yang dicapai secara komunikatif dengan menghubungkan ke dunia objektif, sosial, dan subjektif. Penting untuk dicatat bahwa Habermas membuat secara eksplisit jelas bahwa aktor yang berorientasi pada pencapaian pemahaman juga mengejar tujuan mereka sendiri. Namun para aktor menyelaraskan rencana tindakan mereka berdasarkan kesepakatan normatif dan kesepakatan bersama definisi situasi. Di sinilah komunikasi ala Habermas bisa diaplikasikan dalam politik.
Tindakan yang berorientasi pada keberhasilan dimana aktor mengacu pada dunia objektif disebut teleologis tindakan. Ketika aktor berhubungan dengan dunia untuk mencapai tujuan mereka dengan memanipulasi dan mengendalikan objek dan arus di lingkungan mereka (yang mungkin termasuk material, keuangan atau lainnya) entitas dan keadaan, serta aktor sosial lainnya) tindakan itu disebut instrumental. Oleh menggunakan aturan teknis, aktor menghitung cara alternatif dan memilih salah satu yang memaksimalkan peluang untuk mencapai tujuan yang diinginkan
Tindakan teleologis disebut tindakan strategis ketika aktor mengejar
tujuannya dengan mempengaruhi perilaku aktor lain (lawan) mengikuti aturan
pilihan rasional. Dalam hal ini tujuannya dunia yang dirujuk aktor mencakup
aktor sosial lain yang dianggap bukan sebagai objek (seperti dalam tindakan
instrumental) tetapi sebagai lawan dan pemain rasional dalam 'permainan'. Baik
instrumental maupun tindakan strategis adalah contoh khas rasionalitas kognitif-
instrumental aktor "mampu" memperoleh pengetahuan tentang lingkungan
35
kontingen dan menggunakannya secara efektif secara cerdas beradaptasi dan memanipulasi lingkungan ini.
Dengan memperkenalkan tindakan yang berorientasi pada pencapaian pemahaman (sambil tetap bertujuan untuk mencapai tujuan) Habermas memperluas perspektif interaksi sosial. Dia mendefinisikan tindakan yang diatur secara normative sebagai tindakan di mana aktor berinteraksi sebagai anggota kelompok, dalam peran sosial mereka, di mana mereka merujuk pada dunia objektif dan sosial. Tindakan ini dinilai berdasarkan kebenaran normatifnya dan legitimasi.
Tindakan komunikatif menunjukkan interaksi aktor sosial yang
berorientasi untuk mencapai pemahaman, yang mereka hubungkan secara
simultan dengan dunia objektif, sosial dan subjektif. Mereka datang ke
pemahaman satu sama lain dengan menegosiasikan definisi situasi, argumentasi,
dan interpretasi kooperatif dari peristiwa, tujuan, nilai dan norma, dan dengan
berbagi subjektif pengalaman, keinginan dan perasaan mereka. Tindakan
komunikatif berhasil sejauh kesepakatan itu dicapai secara kooperatif dan bahwa
rencana tindakan individu dikoordinasikan. Komunikatif tindakan mencontohkan
konsep rasionalitas komunikatif yang melekat dalam ucapan manusia, yang
menunjukkan praktik komunikatif yang dicirikan oleh kewajiban aktor untuk
memberikan alasan untuk atau menentang klaim validitas yang diajukan, untuk
menantang, menerima atau menolak klaim orang lain atas dasar argumen yang
lebih baik.
36
Teori Hubermas ini bila digunakan untuk melihat praktik politik dalam dimensi komunikasinya, bisa dipahami bagaimana otoritas politik atau penguasa menciptakan semacam kreasi sosial yang akan mempengaruhi penangkapan masyarakat dan persepsi mereka terhadap realitas sosial di sekelilingnya. Artinya dengan menciptakan semacam simulasi sosial dan ditambah dengan wacana sosial yang diinginkan oleh penguasa, maka penguasa akan sangat bisa mengendalikan masyarakat dimulai dari persepsi mereka tentang realitas sosial, peran penguasa dan pemerintah, hingga akhirnya berujung pada stabilitas sosial. Skema ini semakin bisa dipahami bila merujuk pula pada teori kuasa milik Foucault yang mengatakan bahwa kekuasaan politik sangat mampu untuk menciptakan
‘konsepsi-konsepsi’ pengetahuan yang memang penguasa politik sangat mampu untuk menjadikan konsepsi-konsepsi tersebut sebagai wacana sosial. Foucault mengatakan bahwa:
“... power must be understood in the first instance as the multiplicity of force relations immanent in the sphere in which they operate and which constitute their own organization; as the process which, through ceaseless struggles and confrontations, transforms, strengthens, or reserves them; as the support which these force relations find in one another, thus forming a chain or a system, or on the contrary, the disjunctions and contradictions which isolate them from one another; and lastly, as the strategy in which they take effect, whose general design or institutional crystalization is embodied in the state apparatus, in the formulation of the law, in the various social hegemony”25
25 Michel Foucault, The History of Sexuality; Vol. 1: An Introduction, diterjemahkan dari Bahasa Prancis oleh: Robert Hurley, (New York, Pantheon Books, 1990), hal. 92-93
37
Menurutnya, bahwa kekuasaan tidak bisa hanya dilihat dari bentuk institusionalnya saja, melainkan perlu dilihat sebagai sebuah rangkaian banyak hal yang kemudian membentuk wacana kekuasaan, dan dari wacana kekuasaan tersebut lah legitimasi kekuasaan didapat. Dengan begitu, kekuasan telah menciptakan apa yang bisa disebut dengan rezim wacana, dan rezim semacam ini memang hanya bisa diciptakan oleh penguasa. Maka dari itu, banyak menyimpulkan kemudian bahwa bagi Foucault, kekuasaan tidak bisa dipisahkan dari pengetahuan, dan pengetahuan dihasilkan oleh kekuasaan. Kemudian bagaimana rezim wacana itu disebarkan kepada masyarakat adalah melalui instrumen tiga dunia milik Habermas.
D. Khutbah Jumat
Khutbah merupakan salah satu bentuk dakwah kepada masyarakat tentang ajaran Islam yang berlangsung mingguan pada Jumat siang, tepat sebelum salat Jumat berjamaah. Kepentingan adanaya khutbah jumat ini didasarkan pada fakta bahwa dakwan lisan lebih mengena dan meresap daripada dakwah tulisan. Selain itu, diwajibkannya khutbah jumat juga didasarkan pada pemahaman umat muslim bahwa hari jumat adalah salah satu hari besar Islam. Maka dari itu, diwajibkannya khutbah jumat adalah untuk menyampaikan kesyukuran dan ajaran Islam di saat hari besar Islam ini.
26Khutbah juga boleh sebagai wadah untuk bertukar dan
Saud ibn Ibrahim ibn Muhammad Syarim, As Syamil fi Fiqhi Al Khatib wa Al Khutbah, (Riyadh, Darul Wathan lin Nasyr, 2003), cet. I, hal. 11-12
38
menimba ilmu di kalangan umat Islam, selain kajian-kajian studi Islam yang biasa diadakan di masjid-masjid.
27Khutbah berisi tentang peringatan, nasehat dan teguran yang berkaitan moralitas dan nilai-nilai Islam
28dan harus berdampak langsung dan bermanfaat aspek praktis kehidupan Islam.
29Sebuah khutbah memiliki dua bagian, yaitu:
masing-masing dapat berlangsung dari 15 menit hingga satu jam (bisa bervariasi), dipisahkan oleh beberapa menit untuk memungkinkan khatib untuk duduk sebentar dan jama’ah untuk berdoa. Setiap khutbah terdiri dari bagian inti wajib, paling dasar, setidaknya harus berisi pujian kepada Allah, pembacaan satu ayat dari Al-Qur'an, pembacaan shalawat atas Nabi Muhammad sallallahu ‘alaihi wa sallam dan syafa’at bagi seluruh umat Islam pada umumnya. Sebagian besar ulama mengatakan bahwa khutbah jumat wajib terdiri dari dua khutbah, hanya mazhab Hanafiyah yang mewajibkan satu khutbah, sedangkan khutbah kedua hukumnya sunnah.
30Selama khutbah, jama’ah harus mendengarkan dengan tenang, dan segala jenis pembicaraan atau percakapan dilarang, sehingga mencerminkan tingkat otoritas yang dimiliki khutbah.
31Azodanloo dalam artikelnya yang berjudul
“Formalization of Friday Sermons and Consolidation of The Islamic Republic of
27 Richard T. Antoun, “Themes and Symbols in the Religious Lesson: A Jordanian Case Study.” International Journal of Middle East Studies, edisi; 25, Vol. 4, 1993, hal. 607 – 624
28 Ali Wardak, “The Mosque and Social Control in Edinburgh's Muslim Community.”
Culture and Religion Journal, vol. 3, issue; 2, 2002, hal. 201–219
29 Saud ibn Ibrahim ibn Muhammad Syarim, As Syamil fi Fiqhi Al Khatib wa Al Khutbah, (Riyadh, Darul Wathan lin Nasyr, 2003), cet. I, hal. 191
30 Ahmad Sarwat, Hukum-Hukum Terkait Ibadah Sholat Jumat, (Jakarta Selatan, Rumah Fiqh Publishing, 2018), cetakan kedua, hal. 34
31 Saud ibn Ibrahim ibn Muhammad Syarim, As Syamil fi Fiqhi Al Khatib wa Al Khutbah, (Riyadh, Darul Wathan lin Nasyr, 2003), cet. I, hal. 68-74