• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Theory of Planned Behavior (TPB) menjelaskan bahwa perilaku yang

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Theory of Planned Behavior (TPB) menjelaskan bahwa perilaku yang"

Copied!
31
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Landasan Teori

2.1.1 Theory Of Planned Behavior (TPB)

Theory of Planned Behavior (TPB) menjelaskan bahwa perilaku yang

ditimbulkan oleh individu muncul karena adanya niat untuk berperilaku (Mustikasari, 2007). Seseorang dapat bertindak berdasarkan intensi atau niatnya hanya jika ia memiliki kontrol terhadap perilakunya. Munculnya niat untuk berperilaku ditentukan oleh 3 faktor, yaitu:

a. Behavioral Beliefs

Behavioral beliefs merupakan keyakinan individu akan hasil dari suatu

perilaku dan evaluasi atas hasil tersebut.

b. Normative Beliefs

Normative beliefs yaitu keyakinan tentang harapan normatif orang lain dan

motivasi untuk memenuhi harapan tersebut.

c. Control Beliefs

Control beliefs merupakan keyakinan tentang keberadaan hal-hal yang

mendukung atau menghambat perilaku yang akan ditampilkan dan persepsinya tentang seberapa kuat hal-hal yang mendukung dan menghambat perilakunya tersebut (perceived power).

Dikaitkan dengan penelitian ini, Theory of Planned of Behavior relevan untuk menjelaskan perilaku wajib pajak dalam memenuhi kewajiban perpajakannya. Sebelum individu melakukan sesuatu, individu tersebut akan

(2)

memiliki keyakinan mengenai hasil yang akan diperoleh dari perilakunya tersebut.

Kemudian yang bersangkutan akan memutuskan bahwa akan melakukannya atau tidak. Hal tersebut berkaitan dengan kesadaran wajib pajak. wajib pajak yang sadar pajak akan memiliki keyakinan mengenai pentingnya membayar pajak untuk membantu menyelenggarakan pembangunan negara (behavioral beliefs).

Ketika akan melakukan sesuatu, individu akan memiliki keyakinan tentang harapan normatif dari orang lain dan motivasi untuk memenuhi harapan tersebut (normative beliefs). Hal ini dapat dikaitkan dengan pelayanan perpajakan, dimana adanya pelayanan yang baik dari petugas pajak, sistem perpajakan yang efisien dan efektif, serta penyuluhan-penyuluhan pajak yang memberikan motivasi kepada wajib pajak agar taat pajak, akan membuat wajib pajak memiliki keyakinan atau memilih perilaku taat pajak.

Sanksi pajak dapat dikaitkan dengan control beliefs. Sanksi pajak dibuat untuk mendukung agar wajib pajak mematuhi peraturan perpajakan. Kepatuhan wajib pajak akan ditentukan berdasarkan persepsi wajib pajak tentang seberapa kuat sanksi pajak mampu mendukung perilaku wajib pajak untuk taat pajak.

Behavioral beliefs, normative beliefs, dan control beliefs sebagai tiga faktor

yang menentukan seseorang untuk berperilaku. Setelah terdapat tiga faktor tersebut, maka seseorang akan memasuki tahap intention dan kemudian tahap terakhir adalah behavior. Tahap intention merupakan tahap dimana seseorang memiliki maksud atau niat untuk berperilaku, sedangkan behavior adalah tahap seseorang berperilaku (Mustikasari, 2007). Theory of Planned Behavior menjadi landasan bahwa kesadaran wajib pajak, pelayanan perpajakan, dan sanksi pajak dapat menjadi faktor yang menentukan kepatuhan wajib pajak.

(3)

2.1.2 Social Learning Theory (Teori Pembelajaran Sosial)

Teori Pembelajaran Sosial menyatakan bahwa seseorang dapat belajar lewat pengamatan dan pengalaman langsung. Teori ini berasumsi bahwa perilaku adalah sebuah fungsi dari konsekuensi dan mengakui pembelajaran melalui pengamatan.

Menurut Bandura (1977) dalam Robbins dan Judge (2008), Proses dalam pembelajaran sosial meliputi:

1. Proses perhatian 2. Proses penyimpanan 3. Proses reproduksi motorik 4. Proses penegasan

Proses perhatian yaitu individu belajar dari seseorang atau model ketika mereka mengenali dan menaruh perhatian pada fitur-fitur pentingnya. Proses penyimpanan adalah proses mengingat tindakan suatu model setelah model tidak lagi tersedia. Proses reproduksi motorik adalah proses mengubah pengamatan menjadi tindakan, sedangkan proses penegasan adalah proses dimana individu termotivasi menampilkan perilaku yang dicontohkan jika tersedia insentif positif.

Teori pembelajaran sosial ini relevan untuk menjelaskan perilaku wajib pajak dalam memenuhi kewajibannya membayar pajak. Seseorang akan taat membayar pajak tepat pada waktunya, jika lewat pengamatan dan pengalaman langsungnya, hasil pungutan pajak itu telah memberikan kontribusi nyata pada pembangunan di wilayahnya. Teori pembelajaran sosial ini juga relevan untuk menjelaskan bahwa adanya pengetahuan seseorang dapat meningkatkan ketaatan terhadap suatu aturan. Dari proses perhatian dan penyimpanan menjadikan seseorang memiliki pengetahuan tentang model yang diamatinya.

(4)

Penelitian dibidang perpajakan yang menggunakan dasar teori pembelajaran sosial salah satunya adalah penelitian Jatmiko (2006). Jatmiko melakukan penelitian mengenai pengaruh sikap wajib pajak pada pelaksanaan sanksi denda, pelayanan fiskus dan kesadaran perpajakan terhadap kepatuhan wajib pajak orang pribadi di kota Semarang. Hasil penelitiannya menunjukkan ketiga faktor tersebut memiliki pengaruh positif yang signifikan terhadap kepatuhan wajib pajak.

2.2 Ruang Lingkup Pajak 2.2.1 Pengertian Pajak

Definisi tentang pajak menurut para ahli (Waluyo, 2010:2), antara lain:

a. Adriani (1949)

Pajak adalah iuran kepada negara (yang dapat dipaksakan) yang terutang oleh yang wajib membayarnya menurut peraturan-peraturan, dengan tidak mendapatkan prestasi kembali, yang langsung dapat ditunjuk, dan yang gunanya adalah untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran umu berhubung dengan tugas negara yang menyelenggarakan pemerintahan.

b. Soemitro (1992)

Pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara (peralihan kekayaan dari sektor partikulir ke sektor pemerintah) berdasarkan undang-undang (dapat dipaksakan) dengan tiada mendapat jasa timbal balik, yang langsung dapat ditunjukkan dan digunakan untuk membiayai pengeluaran umum.

Pengertian pajak menurut Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa

(5)

berdasarkan undang-undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Berdasarkan beberapa pengertian tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa pajak merupakan iuran rakyat atau kontribusi wajib kepada negara yang diambil berdasarkan undang-undang yang sifatnya memaksa, tetapi tidak dapat ditunjukkan kontraprestasi individunya secara langsung oleh pemerintah. Pajak dipungut oleh pemerintah dan digunakan untuk membiayai pengeluarannya.

2.2.2 Fungsi Pajak

Pajak memiliki kegunaan dan manfaat pokok dalam meningkatkan kesejahteraan umum suatu negara. Pajak mempunyai peranan yang penting khususnya dalam pelaksanaan pembangunan karena merupakan sumber pendapatan negara yang digunakan untuk membiayai pengeluaran pembangunan.

Menurut Siahaan (2010:43-49), ada 4 fungsi pajak yaitu:

1. Fungsi Budgetair/Penerimaan

Fungsi Budgetair, disebut juga fungsi utama pajak atau fungsi fiskal, adalah suatu fungsi dimana pajak digunakan sebagai alat untuk memasukkan dana secara optimal ke kas negara berdasarkan undang-undang perpajakan yang berlaku. Pajak berfungsi sebagai sumber dana bagi pemerintah untuk membiayai berbagai kepentingannya. Fungsi budgetair disebut fungsi utama pajak, karena fungsi ini secara historis pertama kali muncul.

2. Fungsi Regulerend/ Mengatur

Fungsi Regurelerend atau disebut juga fungsi tambahan adalah suatu fungsi dimana pajak yang dipergunakan oleh pemerintah sebagai alat kebijakan

(6)

untuk mencapai tujuan tertentu. Fungsi ini disebut fungsi tambahan karena fungsi ini hanya sebagai pelengkap dari fungsi utama pajak.

3. Fungsi Redistribusi Pendapatan

Fungsi pajak sebagai alat redistribusi pendapatan berarti pajak digunakan sebagai alat untuk mengalihkan kekayaan dari sebagian masyarakat ke golongan masyarakat lain yang berpenghasilan rendah.

4. Fungsi Demokrasi

Fungsi ini dimaksudkan bahwa pajak merupakan salah satu perwujudan dari sistem kekeluargaan dan kegotongroyongan rakyat yang sadar akan baktinya kepada negara. Dengan membayar pajak, rakyat berperan serta dalam pelaksanaan kehidupan kenegaraan, termasuk kegiatan pemerintahan dan pembangunan.

2.2.3 Jenis-Jenis Pajak

Pengenaan pajak di Indonesia dapat di kelompokkan menjadi 2 bagian, yaitu Pajak Pusat dan Pajak Daerah.

1) Pajak Pusat / Pajak Negara, merupakan pajak yang dikelola oleh pemerintah pusat yang pelaksanaannya dilakukan oleh Direktorat Jendral Pajak- Kementrian Keuangan. Pajak pusat meliputi (www.pajak.go.id):

a. Pajak Penghasilan (PPh)

b. Pajak Pertambahan Nilai (PPN)

c. Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) d. Bea Materai

(7)

e. Pajak Bumi dan Bangunan (PBB). Paling lambat 1 Januari 2014, PBB Perdesaan dan Perkotaan telah menjadi Pajak Daerah, sedangkan untuk PBB Perkebunan, Perhutanan, Pertambangan masih tetap Pajak Pusat.

2) Pajak Daerah, merupakan pajak yang dikelola oleh pemerintah daerah baik ditingkat provinsi maupun ditingkat kabupaten/kota. Berdasarkan UU No.

28 Tahun 2009, pajak daerah terdiri dari:

1. Pajak Propinsi, meliputi:

a. Pajak Kendaraan Bermotor

b. Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor c. Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bemotor d. Pajak Air Permukaan

e. Pajak Rokok.

2. Pajak Kabupaten/Kota, meliputi:

a. Pajak Hotel b. Pajak Restoran c. Pajak Hiburan d. Pajak Reklame

e. Pajak Penerangan Jalan

f. Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan g. Pajak Parkir

h. Pajak Air Tanah

i. Pajak sarang Burung Walet

j. Pajak Bumi dan Bangunan perdesaan dan perkotaan k. Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan.

(8)

2.3.2 Dasar Hukum Pajak Bumi dan Bangunan

Setiap peraturan kebijakan yang dilaksanakan oleh pemerintah mempunyai suatu landasan hukum yang mengatur segala sesuatunya agar berjalan dengan semestinya. Landasan hukum yang menjadi dasar untuk mengatur mengenai Pajak Bumi dan Bangunan adalah Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Dengan undang-undang ini diharapkan dapat menjadi suatu pedoman atau acuan dalam pelaksanaan pungutan rakyat tersebut.

2.3.3 Subjek Pajak Bumi dan Bangunan

Menurut Undang-undang No.28 tahun 2009 pasal 78, yang menjadi Subyek Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan adalah orang pribadi atau badan yang secara nyata mempunyai suatu hak atas bumi, dan/atau memperoleh manfaat atas bumi, dan/atau memiliki, menguasai, dan/atau memperoleh manfaat atas bangunan. Subjek pajak Bumi dan Bangunan ini juga merupakan wajib pajak yang harus memenuhi kewajiban pajaknya atas pemilikan dan pemanfaatan bumi dan bangunan.

2.3.4 Objek Pajak Bumi dan Bangunan

Berdasarkan pasal 77 Undang-undang No.28 tahun 2009, objek PBB Perdesaan dan Perkotaan adalah Bumi dan/atau Bangunan yang dimiliki, dikuasai, dan/atau dimanfaatkan oleh orang pribadi atau badan, kecuali kawasan yang digunakan untuk kegiatan usaha perkebunan, perhutanan, dan pertambangan.

Termasuk dalam pengertian bangunan adalah:

a. Jalan lingkungan yang terletak dalam suatu kompleks bangunan seperti hotel, pabrik, dan emplasemennya, yang merupakan satu kesatuan dengan kompleks bangunan tersebut

(9)

b. Jalan TOL c. Kolam renang d. Pagar mewah e. Tempat olahraga

f. Galangan kapal, dermaga g. Taman mewah

h. Tempat penampungan/kilang minyak, pipa minyak, dan i. Menara

Objek pajak yang tidak dikenakan Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan adalah objek pajak yang :

a. Digunakan oleh pemerintah dan daerah untuk penyelenggaraan pemerintahan

b. Digunakan semata-mata untuk melayani kepentingan umum di bidang ibadah, sosial, kesehatan, pendidikan dan kebudayaan nasional, yang tidak dimaksudkan untuk memperoleh keuntungan

c. Digunakan untuk kuburan, peninggalan purbakala, atau yang sejenis dengan itu

d. Merupakan hutan lindung, hutan suaka alam, hutan wisata, taman nasional, tanah penggembalaan yang dikuasai oleh desa, dan tanah negara yang belum dibebani suatu hak

e. Digunakan oleh perwakilan diplomatik, konsulat berdasarkan asas perlakuan timbal balik

f. Digunakan oleh badan atau perwakilan lembaga internasional yang ditetapkan dengan Peraturan Menteri Keuangan.

(10)

2.3.5 Dasar Pengenaan Pajak, Tarif Pajak dan Cara Menghitung Pajak Pasal 79 UU No. 28 tahun 2009 tentang PDRD menjelaskan Dasar pengenaan Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan adalah Nilai Jual Objek Pajak (NJOP). Besarnya Nilai Jual Objek Pajak ditetapkan setiap 3 tahun, kecuali untuk objek pajak tertentu dapat ditetapkan setiap tahun sesuai perkembangan wilayahnya. Penetapan besarnya NJOP ini dilakukan oleh Kepala Daerah masing-masing wilayah.

Besarnya Nilai Jual Objek Pajak Tidak Kena Pajak ditetapkan paling rendah sebesar Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) untuk setiap Wajib Pajak, dimana ketentuan ini ditetapkan dengan Peraturan Daerah. Berdasarkan Pasal 2 Perda Kota Padangsidimpuan No. 4 Tahun 2013, NJOPTKP di Kota Padangsidimpuan juga ditetapkan sebesar Rp 10.0000.000,00.

Pasal 80 UU No. 28 tahun 2009 kemudian menjelaskan mengenai besarnya tarif pajak. Tarif Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan ditetapkan paling tinggi sebesar 0,3% (nol koma tiga persen), dimana penetapan tarif ini berdasarkan Peraturan Daerah. Besarnya tarif PBB Perdesaan Perkotaan di Kota Padangsidimpuan berdasarkan pasal 4 Perda No. 4 Tahun 2013 adalah sebesar 0,1% (nol koma satu persen).

Besaran pokok Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan yang terutang dapat dihitung dengan rumus berikut:

PBB = Tarif x (NJOP-NJOPTKP)

= Maks. 0,3% x (NJOP – NJOPTKP)

(11)

Contoh:

Wajib Pajak A mempunyai sebidang tanah dan bangunan di Kota Padangsidimpuan dengan NJOP sebesar Rp 20.000.000,00 dan NJOPTKP untuk daerah tersebut Rp 10.000.000,00, maka besarnya pajak terutang adalah:

= 0,1% x (Rp 20.000.000,00 - Rp 10.000.000,00)

= Rp 10.000,00

2.3.6 Surat Pemberitahuan Objek Pajak (SPOP), Surat Pemberitahuan Pajak Terutang (SPPT), dan Surat Ketetapan Pajak Daerah (SKPD) Penjelasan mengenai SPOP, SPPT, dan SKPD ini terdapat dalam pasal 83 dan pasal 84 UU No. 28 Tahun 2009 tentang PDRD, sebagai berikut:

a) Pasal 83

1. Pendataan dilakukan dengan menggunakan SPOP (Surat Pemberitahuan Objek Pajak).

2. SPOP sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus diisi dengan jelas, benar dan lengkap serta ditandatangani dan disampaikan kepada Kepala Daerah yang wilayah kerjanya meliputi letak objek pajak, selambatlambatnya 30 hari setelah tanggal diterimanya Surat Pemberitahuan Objek Pajak oleh Subyek Pajak.

b) Pasal 84

1. Berdasarkan SPOP, Kepala Daerah menerbitkan SPPT (Surat Pemberitahuan Pajak Terhutang).

2. Kepala Daerah dapat mengeluarkan SKPD (Surat Ketetapan Pajak Daerah) dalam hal-hal sebagai berikut:

(12)

a. SPOP sebagaimana dimaksud dalam pasal 83 ayat (2) tidak disampaikan dan setelah Wajib Pajak ditegur secara tertulis oleh Kepala Daerah sebagaimana ditentukan dalam Surat Teguran.

b. Berdasarkan hasil pemeriksaan atau keterangan lain ternyata jumlah pajak yeng terhutang lebih besar dari jumlah pajak yang dihitung berdasarkan SPOP (Surat Pemberitahuan Objek Pajak) yang disampaikan oleh Wajib Pajak.

2.3.7 Tata Cara Pembayaran dan Penagihan Pajak Bumi dan Bangunan Tata cara pembayaran Pajak Bumi dan Bangunan adalah sebagai berikut (Mardiasmo, 2009:319):

1. Pajak yang terutang berdasarkan Surat Pemberitahuan Pajak Terhutang (SPPT) harus dilunasi selambat-lambatnya 6 bulan sejak tanggal diterimanya Surat Pemberitahuan Pajak Terhutang oleh wajib pajak.

2. Pajak yang terhutang berdasarkan Surat Ketetapan Pajak (SKP) harus dilunasi selambat-lambatnya 1 bulan sejak tanggal diterimanya SKP oleh wajib pajak.

3. Pajak yang terhutang yang pada saat jatuh tempo pembayaran tidak dibayar atau kurang dibayar dikenakan denda administrasi sebesar 2%

sebulan, yang dihitung dari saat jatuh tempo sampai dengan hari pembayaran untuk jangka waktu paling lama 24 bulan.

4. Denda administrasi sebagaimana dimaksud dalam No. 3 ditambah dengan utang pajak yang belum atau kurang dibayar ditagih dengan Surat Tagihan Pajak (STP) yang harus dilunasi selambat-lambatnya 1 bulan sejak tanggal diterimanya STP oleh wajib pajak.

(13)

5. Pajak yang terutang dapat dibayar di bank, kantor pos dan giro dan tempat lain yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan.

6. Tata cara pembayaran dan penagihan diatur oleh Menteri Keuangan.

7. Surat Pemberitahuan Pajak Terutang (SPPT), Surat Ketetapan Pajak dan Surat Tagihan Pajak (STP) merupakan dasar penagihan pajak.

8. Jumlah pajak yang terutang berdasarkan STP yang tidak dibayarkan pada waktunya dapat ditagih dengan surat paksa.

2.4 Penjelasan Variabel-Variabel Penelitian 2.4.1 Kepatuhan Perpajakan

Kepatuhan berarti tunduk atau taat pada ajaran atau aturan. Dalam hal pajak, aturan yang berlaku adalah aturan perpajakan. Kepatuhan perpajakan berarti tunduk atau taat terhadap aturan perpajakan. Kepatuhan wajib pajak menurut Kiryanto (2000) dalam Jatmiko (2006) merupakan suatu ketaatan untuk melakukan ketentuan-ketentuan atau aturan-aturan perpajakan yang diwajibkan atau diharuskan untuk dilaksanakan.

Kepatuhan perpajakan merupakan suatu keadaan dimana masyarakat atau wajib pajak dapat memenuhi kewajiban perpajakannya dan melaksanakan hak perpajakannya sesuai dengan undang-undang yang berlaku. Adapun jenis-jenis kepatuhan wajib pajak adalah:

1. Kepatuhan formal adalah suatu keadaan dimana wajib pajak memenuhi kewajiban secara formal sesuai dengan ketentuan dalam undang – undang perpajakan.

(14)

2. Kepatuhan material adalah suatu keadaan dimana wajib pajak secara subtantif atau hakikatnya memenuhi semua ketentuan material perpajakan, yakni sesuai isi dan jiwa undang – undang perpajakan. Kepatuhan material dapat juga meliputi kepatuhan formal.

Pada umumnya tidak seorangpun yang senang membayar pajak. Namun, kepatuhan membayar pajak harus tetap ditegakkan apabila ingin dipelihara oleh efektifitas pelayanan pemerintah. Menurut Kusumawati (2006:40) dalam Utomo (2011), faktor-faktor yang mempengaruhi kepatuhan wajib pajak dalam membayar pajak adalah:

1. Faktor pendidikan wajib pajak, yang meliputi pendidikan formal dan pengetahuan wajib pajak.

2. Faktor pendapatan wajib pajak, yang meliputi besarnya pendapatan bersih wajib pajak dari pekerjaan pokok dan sampingannya, serta jumlah anggota keluarga yang masih harus dibiayai.

3. Faktor pelayanan aparatur pajak, pelayanan penyampaian informasi, pelayanan pembayaran, maupun pelayanan keberatan dan penyaranan.

4. Faktor penegakan hukum pajak, yang terdiri dari sanksi-sanksi, keadilan dalam penentuan jumlah pajak yang dipungut, pengawasan dan pemeriksaan.

5. Faktor sosialisasi, diantaranya pelaksanaan sosialisasi dan media sosialisasi.

Kepatuhan membayar pajak adalah masalah kesadaran yang mempengaruhi kemauan membayar pajak. Wajib pajak yang memiliki kepatuhan akan membayar pajaknya dengan tepat waktu dan tidak menunggak pembayaran, sedangkan dalam diri wajib pajak yang tidak patuh akan timbul keinginan untuk melakukan

(15)

tindakan penghindaran, penyelundupan, dan pelalaian pajak, yang pada akhirnya menyebabkan penerimaan pajak negara akan berkurang. Menurut Siahaan (2010:116), kepatuhan masyarakat membayar pajak dapat diukur dari beberapa keadaan berikut:

1. Wajib pajak paham atau berusaha untuk memahami undang-undang pajak 2. Wajib pajak mengisi formulir pajak dengan benar, lengkap, jelas, dan

mengembalikannya tepat waktu

3. Wajib pajak menghitung pajak dengan jumlah yang benar 4. Wajib pajak membayar pajak dengan benar, dan

5. Wajib pajak menyampaikan laporan tepat waktu dengan disertai dokumen yang dibutuhkan.

Dalam penelitian ini kepatuhan wajib pajak dapat dilihat dari perilaku wajib pajak seperti, membayar dengan tepat waktu, wajib pajak tidak mempunyai tunggakan, wajib pajak membayar PBB sesuai dengan jumlah yang tertera pada SPPT, dan kesediaan wajib pajak memberikan infromasi tentang objek pajaknya.

2.4.2 Pelayanan Perpajakan

Pelayanan adalah suatu cara yang dilakukan untuk membantu atau mengurus segala keperluan yang dibutuhkan seseorang. Menurut Boediono (2003), pelayanan adalah suatu proses bantuan kepada orang lain dengan cara-cara tertentu yang memerlukan kepekaan dan hubungan interpersonal agar tercipta kepuasan dan keberhasilan. Pelayanan perpajakan dapat diartikan sebagai cara atau tindakan yang dilakukan untuk membantu atau memenuhi kebutuhan wajib pajak dalam hal perpajakan.

(16)

Salah satu faktor yang dapat mempengaruhi kepatuhan masyarakat dalam membayar kewajiban pajaknya adalah kualitas pelayanan yang diterimanya.

Pelayanan yang berkualitas harus dapat memberikan 4K, yaitu keamanan, kenyamanan, kelancaran, dan kepastian hukum. Kualitas pelayanan dapat diukur dengan kemampuan memberikan pelayanan yang memuaskan, dapat memberikan pelayanan dengan tanggapan, kemampuan, kesopanan, dan sikap dapat dipercaya yang dimiliki oleh aparat pajak (Supadmi, 2009).

Ada lima dimensi pelayanan yang sering digunakan untuk menilai kualitas pelayanan menurut Parasuraman (1998), yaitu:

a. Tangibles (bukti fisik) yaitu kemampuan suatu perusahaan dalam menunjukkan eksisitensinya kepada pihak eksternal meliputi fasilitas fisik, perlengkapan dan peralatan yang dipergunakan (teknologi), serta penampilan pegawainya

b. Reliability (Keandalan) yaitu kemampuan perusahaan untuk memberikan pelayanan sesuai yang dijanjikan secara akurat dan terpercaya.

c. Responsiveness (ketanggapan) yaitu kemauan untuk membantu dan memberikan pelayanan yang cepat dan tepat kepada pelanggan, dengan penyampaian informasi yang jelas

d. Assurance (jaminan) yaitu pengetahuan, kesopanan, dan kemampuan para pegawai perusahaan untuk menumbuhkan rasa percaya para pelanggan kepada perusahaan

e. Emphaty (perhatian) yaitu memberikan perhatian yang tulus dan bersifat individual kepada para pelanggan dengan berupaya memahami keinginannya.

(17)

Petugas pajak (fiskus) memiliki peranan yang sangat penting sebagai penyedia pelayanan perpajakan. Kepatuhan wajib pajak dalam memenuhi kewajibannya membayar pajak tergantung bagaimana petugas pajak memberikan mutu pelayanan yang terbaik kepada wajib pajak. Terkait dimensi pelayanan yang dikemukakan oleh Parasuraman, pelayanan perpajakan dalam hal ini dapat berupa kemudahan dalam akses pembayaran, penetapan SPPT yang adil, ketanggapan fiskus terhadap keberatan wajib pajak, adanya penyuluhan yang diberikan kepada wajib pajak, dan pelayanan perpajakan yang baik dan cepat.

Dengan memberikan pelayanan yang berkualitas maka wajib pajak akan senang dan patuh dalam membayar pajak. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Suyatmin (2004), Fraternesi (2002) dan Kahono (2003) yang mengungkapkan bahwa sikap wajib pajak terhadap pelayanan fiskus berpengaruh positif terhadap kepatuhan wajip pajak dalam membayar pajak. Oleh karena itu, variabel pelayanan perpajakan relevan untuk digunakan sebagai variabel bebas dalam penelitian ini.

2.4.3 Sanksi Pajak

Sanksi merupakan hukuman negatif kepada orang yang melanggar peraturan. Sanksi pajak adalah suatu tindakan yang diberikan kepada wajib pajak ataupun pejabat karena melakukan pelanggaran baik secara sengaja maupun tidak.

Sanksi perpajakan menurut Mardiasmo (2009:57) merupakan jaminan bahwa ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan (norma perpajakan) akan dituruti/ditaati/dipatuhi atau dengan kata lain sanksi perpajakan merupakan alat pencegah (preventif) agar wajib pajak tidak melanggar norma perpajakan.

(18)

Pengenaan sanksi perpajakan diberlakukan untuk menciptakan kepatuhan wajib pajak dalam melaksanakan kewajiban perpajakannya. Ada 2 jenis sanksi pajak yang dikenakan kepada wajib pajak, yaitu sanksi administrasi dan sanksi pidana. Sanksi administrasi merupakan pembayaran kerugian kepada negara, khususnya berupa bunga dan kenaikan. Sanksi pidana merupakan siksaan atau penderitaan dan merupakan suatu alat terakhir atau benteng hukum yang digunakan fiskus agar norma perpajakan dipatuhi (Mardiasmo, 2009:57).

Sanksi administrasi yang paling banyak diterapkan adalah dengan denda, yaitu sebesar 2% dari pokok ketetapan pajak terutangnya pada tahun yang bersangkutan. Denda PBB ini diberlakukan jika wajib pajak tidak membayar pajak terutang pada saat jatuh tempo atau kurang dibayar, terhitung dari saat jatuh tempo sampai dengan hari pembayaran untuk jangka waktu paling lama 24 bulan.

Menurut Undang-undang No 28 Tahun 2009 pasal 174, sanksi pidana dapat dikenakan pada wajib pajak dengan ketentuan sebagai berikut:

1. Wajib pajak yang karena kealpaannya tidak menyampaikan SPTPD atau mengisi dengan tidak benar atau tidak lengkap atau melampirkan keterangan yang tidak benar sehingga merugikan keuangan daerah dapat dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun atau pidana denda paling banyak 2 (dua) kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar.

2. Wajib pajak yang dengan sengaja tidak menyampaikan SPTPD atau mengisi dengan tidak benar atau tidak lengkap atau melampirkan keterangan yang tidak benar sehingga merugikan keuangan Daerah dapat dipidana dengan

(19)

pidana penjara paling 2 (dua) tahun atau pidana denda paling banyak 4 (empat) kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar.

Pengenaan sanksi perpajakan kepada wajib pajak dapat menyebabkan terpenuhinya kewajiban perpajakan oleh wajib pajak sehingga dapat meningkatkan kepatuhan wajib pajak itu sendiri. Menurut Suyatmin (2004) masyarakat akan mematuhi pembayaran PBB bila memandang sanksi denda akan lebih banyak merugikannya. Semakin banyak sisa tunggakan PBB yang harus dibayar oleh WP, maka akan semakin berat bagi wajib pajak PBB untuk melunasinya. Oleh sebab itu, sanksi pajak diduga akan berpengaruh terhadap tingginya tingkat kepatuhan wajib pajak dalam membayar PBB. Semakin tinggi sanksi pajak yang diberikan maka semakin tinggi tingkat kepatuhan wajib pajak dalam membayar PBB.

2.4.4 Nilai Jual Objek Pajak (NJOP)

Nilai Jual Objek Pajak adalah harga rata-rata yang diperoleh dari transaksi jual beli yang terjadi secara wajar, dan bilamana tidak terdapat transaksi jual beli, NJOP ditentukan melalui perbandingan harga dengan objek lain yang sejenis, atau nilai perolehan baru, atau NJOP pengganti (Mardiasmo, 2009:312).

Penentuan luas tanah, luas bangunan, dan jenis bangunan adalah hak wajib pajak PBB. Namun fiskus dapat mengoreksinya berdasarkan bukti-bukti sahih yang diperoleh fiskus dari sumber lain. Fiskus berhak menetapkan Nilai jual Objek Pajaknya. Penetapan NJOP ini berdasarkan informasi yang didapat dari Pejabat Pembuat Akte Tanah (PPAT), aparat pemerintah daerah setempat, dan dari kegiatan fiskus untuk mencari data tersebut ke lapangan.

(20)

Penetapan NJOP harus penuh keadilan karena semakin tinggi NJOP maka semakin tinggi pula jumlah pajak PBB yang harus dibayarkan. Hal ini dapat mempengaruhi kepatuhan wajib pajak karena ada kecenderungan wajib pajak tidak sanggup membayar pajaknya. Selain itu, dalam penelitian Fraternesi (2002), apabila tanah dan rumah yang dianggap wajib pajak sama ukuran dan konstruksinya, tetapi penetapan pajaknya berbeda maka mereka merasa keberatan.

Perbedaan perhitungan NJOP antara fiskus dan wajib pajak ini dapat menyebabkan penundaan pembayaran pajak oleh wajib pajak. Oleh karena itu, variabel NJOP dianggap perlu untuk digunakan dalam penelitian ini.

2.4.5 Kesadaran Perpajakan

Kesadaran adalah keadaan mengetahui atau mengerti. Kesadaran dapat diartikan pula sebagai rasa rela untuk melakukan sesuatu yang sebagai kewajiban dalam kehidupan bermasyarakat. Kesadaran perpajakan dapat diartikan sebagai rasa yang timbul dari dalam diri wajib pajak atas kewajibannya membayar pajak dengan ikhlas tanpa adanya unsur paksaan.

Menurut Muliari (2011), kesadaran perpajakan adalah suatu kondisi dimana seorang mengetahui, mengakui, menghargai dan menaati ketentuan perpajakan yang berlaku serta memiliki kesungguhan dan keinginan untuk memenuhi kewajiban perpajakannya. Tingkat kesadaran perpajakan menunjukkan seberapa besar tingkat pemahaman seseorang tentang arti, fungsi dan peranan pajak.

Semakin tinggi tingkat kesadaran wajib pajak maka pemahaman dan pelaksanaan kewajiban perpajakan semakin baik sehingga dapat meningkatkan kepatuhan.

(21)

Kesadaran perpajakan masyarakat yang rendah seringkali menjadi salah satu sebab banyaknya potensi pajak yang tidak dapat dijaring. Indikasi tingginya tingkat kesadaran dan kepedulian wajib pajak menurut Susanto (2012), adalah:

1. Realisasi penerimaan pajak terpenuhi sesuai dengan target yang telah ditetapkan.

2. Tingginya tingkat kepatuhan penyampaian SPT Tahunan dan SPT Masa.

3. Tingginya Tax Ratio.

4. Semakin Bertambahnya jumlah wajib pajak baru.

5. Rendahnya jumlah tunggakan / tagihan wajib pajak.

6. Tertib, patuh dan disiplin membayar pajak atau minimnya jumlah pelanggaran pemenuhan kewajiban perpajakan.

Wajib pajak yang memiliki kesadaran yang tinggi akan melaksanakan kewajiban perpajakannya sesuai dengan peraturan perpajakan yang berlaku.

Sedangkan wajib pajak yang memiliki kesadaran yang rendah akan cendrung untuk tidak melaksanakan kewajiban perpajakannya atau melanggar peraturan perpajakan yang berlaku. Semakin tinggi tingkat kesadaran wajib pajak maka semakin tinggi tingkat kepatuhan wajib pajak dalam membayar Pajak Bumi dan Bangunan. Penelitian Utomo (2011) telah membuktikan bahwa kesadaran wajib pajak berpengaruh signifikan terhadap kepatuhan wajib pajak dalam membayar Pajak Bumi dan Bangunan. Penelitian Suyatmin (2004) juga membuktikan bahwa sikap wajib pajak terhadap kesadaran perpajakan berpengaruh positif terhadap pembayaran Pajak Bumi dan Bangunan. Untuk itu variabel kesadaran perpajakan relevan untuk digunakan dalam penelitian ini.

(22)

Dalam penelitian ini, indikator yang digunakan untuk melihat kesadaran wajib pajak adalah berdasarkan replikasi penelitian Utomo (2011), antara lain:

1. Kesadaran wajib pajak terhadap kewajiban membayar pajak 2. Kesadaran wajib pajak terhadap tujuan pemungutan pajak

3. Kesadaran wajib pajak untuk melaporkan perubahan objek pajaknya 4. Wajib pajak membayar pajak dengan benar dan sukarela.

2.4.6 Pengetahuan Perpajakan

Pengetahuan adalah hasil tahu manusia terhadap sesuatu atau segala perbuatan masusia untuk memahami suatu objek tertentu yang dapat berwujud barang-barang baik lewat indera maupun lewat akal, dapat pula objek yang dipahami oleh manusia berbentuk ideal atau yang bersangkutan dengan masalah kejiwaan. Pengetahuan perpajakan adalah kemampuan seseorang wajib pajak dalam mengetahui peraturan perpajakan baik itu soal tarif pajak berdasarkan undang-undanga yang akan mereka bayar maupun manfaat pajak yang akan berguna bagi kehidupan mereka.

Menurut Noormala (2008) dalam Utomo (2011), semua wajib pajak tanpa tergantung dengan latar belakang pendidikan, mereka setuju bahwa pendidikan pajak membantu meningkatkan kepatuhan pajak. Seseorang yang berpendidikan pajak akan mempunyai pengetahuan tentang perpajakan. Adanya pengetahuan perpajakan akan membantu kepatuhan wajib pajak dalam membayar pajak, tanpa harus dipaksakan dan diancam oleh sanksi dan hukuman. Wajib pajak yang berpengetahuan tentang pajak, secara sadar akan patuh karena mengetahui manfaat membayar pajak tersebut yang pada akhirnya akan mereka nikmati.

(23)

Penelitian Utomo (2011) menunjukkan bahwa pengetahuan perpajakan berpengaruh positif dan signifikan terhadap kepatuhan wajib pajak dalam membayar Pajak Bumi dan Bangunan. Untuk itu, pengetahuan perpajakan relevan untuk digunakan sebagai variabel bebas dalam penelitian ini.

2.4.7 Pendapatan Wajib Pajak

Pendapatan merupakan total dari penerimaan (uang dan bukan uang) seseorang atau suatu rumah tangga selama periode tertentu (Rahardja dan Manurung, 2006:292). Pendapatan berupa uang merupakan penghasilan yang diterima biasanya sebagai balas jasa, sumber utama gaji atau upah serta lain-lain balas jasa, misalnya dari majikan, pendapatan bersih dari usaha sendiri dan dari pekerjaan bebas. Pendapatan dari penjualan barang yang dipelihara dari halaman rumah, hasil investasi seperti modal tanah, uang pensiun, jaminan sosial serta keuntungan sosial berupa barang merupakan segala penghasilan yang diterimakan dalam bentuk barang dan jasa.

Pendapatan wajib pajak merupakan jumlah penghasilan Rupiah yang dihasilkan wajib pajak yang diperoleh dari pekerjaan utama maupun sampingan (Imtikhanah dan Sulistyowati, 2010). Pendapatan adalah salah satu faktor yang mempengaruhi dalam pembayaran Pajak Bumi dan Bangunan. Namun, pendapatan wajib pajak tidaklah mempengaruhi pengenaan besar atau kecilnya PBB. Pajak Bumi dan Bangunan merupakan pajak objektif yang tidak melihat kondisi dari wajib pajak. Pendapatan yang merupakan penghasilan dapat dikelompokkan sebagai berikut (Munawir, 2003:48):

(24)

1. Penghasilan dari pekerjaan dalam hubungan kerja, seperti gaji, honorarium, penghasilan dari pekerjaan bebas, seperti praktek dokter, notaris, akuntan, aktuaris, pengacara dan sebagainya.

2. Penghasilan dari usaha dan kegiatan lain

3. Penghasilan dari modal yang berupa harta gerak maupun tak gerak seperti bunga, dividen, royalti, sewa, keuntungan penjualan harta atau hak yang tidak dipergunakan untuk usaha dan lain sebagainya.

4. Penghasilan lain-lain, seperti pembebasan utang, hadiah, hadiah undian atau lotre, pengembalian pajak yang sudah diperhitungkan sebagai biaya, keuntungan dari pengalihan harta, dan lain sebagainya yang tidak termasuk dalam kelompok tersebut diatas.

Pada umumnya seseorang yang bekerja dan kemudian menghasilkan uang, secara naluriah akan mempergunakan penghasilannya untuk memenuhi kebutuhan dirinya sendiri dan keluarganya. Kepentingan untuk pribadi akan dimenangkan oleh masyarakat jika dihadapkan dengan kepentingan negara (misalnya, pembayaran pajak). Keadaan seperti ini menjadi salah satu penyebab terhalangnya kepatuhan masyarakat, sehingga faktor pendapatan dianggap akan berpengaruh terhadap kepatuhan masyarakat membayar pajak, baik positif maupun negatif.

Fraternesi (2002) dalam penelitiannya telah membuktikan bahwa faktor pendapatan mempengaruhi tingkat ketaatan wajib pajak dalam membayar pajak.

Hal itu terjadi karena apa yang dibayarkan oleh wajib pajak untuk PBB bersumber dari penghasilan wajib pajak itu sendiri, sehingga besar-kecilnya pendapatan wajib pajak akan mempengaruhi ketaatannya dalam membayar PBB dan juga akan berpengaruh pada keberhasilan penerimaan PBB itu sendiri. Fraternesi

(25)

mengartikan pendapatan wajib pajak sebagai disposable income rata-rata perbulan, yang berelemen belanja untuk pangan, papan/rumah, transportasi, pendidikan, listrik, PDAM (air bersih), telpon dan tabungan.

Masyarakat yang memiliki tingkat pendapatan tinggi seharusnya tidak akan memiliki masalah dalam membayar PBB setiap tahunnya, namun berbeda untuk masyarakat yang memiliki pendapatan rendah. Masyarakat yang pendapatannya rendah bisa mengalami kesulitan dalam membayar pajak karena masih banyaknya kebutuhan ekonomi lain yang harus didahulukan, dibandingkan dengan membayar kewajibannya. Oleh karena itu, faktor pendapatan wajib pajak diduga akan berpengaruh terhadap kepatuhan wajib pajak dalam membayar PBB.

2.5 Karakteristik Desa dan Kota

Menurut Bintarto (1989), desa adalah perwujudan geografis yang ditimbulkan oleh unsur-unsur fisiografis, sosial, ekonomis politik, kultural setempat dalam hubungan dan pengaruh timbal balik dengan daerah lain, sedangkan kota adalah suatu sistim jaringan kehidupan yang ditandai dengan kepadatan penduduk yang tinggi dan diwarnai dengan strata ekonomi yang heterogen dan bercorak materialistis atau dapat pula diartikan sebagai bentang budaya yang ditimbulkan oleh unsur-unsur alami dan non-alami dengan gejala- gejala pemusatan penduduk yang cukup besar dengan corak kehidupan yang bersifat heterogen dan materialistis dibandingkan dengan daerah dibelakangnya.

Roucek dan Warren (1962) dalam Indrizal (2013) menjelaskan pengertian tentang desa dan kota melalui cara membandingkan karakteristik desa yang kontras dengan karakteristik kota, sebagaimana dikemukakan dalam tabel berikut.

(26)

Tabel 2.1. Perbandingan Karekteristik Daerah Desa dan Kota (Roucek dan Warren, 1962)

Karakteristik Desa Karakteristik Kota 1. Besarnya peranan kelompok

primer.

2. Faktor geografik yang menentukan sebagai dasar pembentukan kelompok/asosiasi.

3. Hubungan lebih bersifat intim dan awet.

4. Homogen.

5. Mobilitas sosial rendah.

6. Keluarga lebih ditekankan fungsinya sebagai unit ekonomi.

7. Populasi anak dalam proporsi yang lebih besar.

1. Besarnya peranan kelompok sekunder.

2. Anonimitas merupakan ciri kehidupan masyarakatnya.

3. Heterogen.

4. Mobilitas sosial tinggi.

5. Tergantung pada spesialisasi.

6. Hubungan antara orang satu dengan yang lebih di dasarkan atas kepentingan dari pada kedaerahan.

7. Lebih banyak tersedia lembaga atau fasilitas untuk mendapatkan barang dan pelayanan.

8. Lebih banyak mengubah lingkungan.

Sumber: Indrizal, 2013

Desa dan kota, masing-masing mempunyai sistem yang mandiri, dengan fungsi-fungsi sosial, struktur serta proses-proses sosial yang sangat berbeda.

Namun, masyarakat desa dan masyarakat kota bukanlah dua komunitas yang terpisah satu sama lain. Dalam keadaan yang wajar diantara keduanya terdapat hubungan yang erat, bersifat ketergantungan, dan saling membutuhkan.

Dalam menetapkan apakah suatu konsentrasi permukiman itu sudah dapat dikategorikan sebagai desa atau kota, maka perlu ada kriteria yang jelas untuk membedakannya. Salah satu kriteria yang umum digunakan adalah jumlah dan kepadatan penduduk. Badan Pusat Statistik (BPS) dalam pelaksanaan survey status desa/kelurahan menggunakan beberapa kriteria untuk mendapatkan apakah suatu wilayah dikategorikan sebagai desa atau kota (Tarigan, 2005:124). Kriteria yang digunakan adalah:

(27)

1. Kepadatan penduduk per kilometer persegi

2. Persentase rumah tangga yang mata pencaharian utamanya adalah pertanian atau non pertanian

3. Persentase rumah tangga yang memiliki telepon

4. Persentase rumah tangga yang menjadi pelanggan listrik

5. Fasilitas umum yang ada di desa/kelurahan, seperti fasilitas pendidikan, pasar, tempat hiburan, komplek pertokoan, dan fasilitas lain.

2.6 Penelitian Terdahulu

Sebagai tolak ukur penelitian ini, penulis menggunakan beberapa penelitian yang telah dilakukan sebelumnya. Penelitian terdahulu yang digunakan sebagai referensi antara lain, penelitian Fraternesi (2002) tentang faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan penerimaan PBB di kota Bengkulu. Variabel bebas yang digunakan adalah kesadaran perpajakan, rasio beban PBB dibandingkan pendapatan WP, sikap WP terhadap pembangunan daerah, sikap WP terhadap sanksi denda PBB, pendapat WP terhadap penghindaran PBB, pendidikan WP, status tanah atau rumah WP, pendapat WP terhadap pelayanan fiskus, rasio beda hitung difference, pendapat WP tentang PBB dan lama tinggal WP. Variabel terikat yang digunakan adalah collection rate. Penelitian ini menggunakan teknik analisis regresi berganda. Hasil penelitiannya menunjukkan kesadaran perpajakan, rasio beban PBB dibandingkan pendapatan WP, sikap WP terhadap pembangunan daerah, sikap WP terhadap sanksi denda PBB, pendapat WP terhadap penghindaran PBB, pendidikan WP, status tanah atau rumah WP, dan pendapat WP terhadap pelayanan fiskus berpengaruh signifikan terhadap collection rate.

(28)

Kahono (2003) melakukan penelitian tentang pengaruh sikap wajib pajak terhadap kepatuhan wajib pajak dalam pembayaran PBB di wilayah KP PBB Semarang. Variabel bebas dalam penelitian ini adalah sikap WP terhadap prioritas pembangunan daerah, sikap WP terhadap sanksi denda PBB, sikap WP terhadap pelayanan fiskus dan sikap WP terhadap penghindaran PBB telah umum. Analisis data dilakukan dengan menggunakan teknik analisis regresi berganda. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa seluruh variabel bebas yang diuji berpengaruh positif yang signifikan terhadap kepatuhan WP dalam pembayaran PBB di Kota Semarang baik secara parsial maupun bersama-sama.

Suyatmin (2004) melakukan penelitian tentang pengaruh sikap wajib pajak terhadap kepatuhan wajib pajak dalam pembayaran PBB di Wilayah KP PBB Surakarta. Variabel bebas dalam penelitian ini adalah sikap WP terhadap prioritas pembangunan daerah, sikap WP terhadap sanksi denda PBB, sikap WP terhadap pelayanan fiskus, sikap WP terhadap kesadaran bernegara dan sikap WP terhadap kesadaran perpajakan. Teknik analisa data yang digunakan adalah analisis regresi berganda. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa hanya variabel sikap WP terhadap pembangunan daerah yang tidak berpengaruh signifikan terhadap kepatuhan WP dalam pembayaran PBB di Surakarta, sedangkan variabel lainnya berpengaruh positif dan signifikan.

Jatmiko (2006) melakukan penelitian tentang pengaruh sikap wajib pajak terhadap kepatuhan Wajib Pajak Orang Pribadi di Kota Semarang. Penelitian ini menggunakan tiga variabel bebas yaitu sikap wajib pajak terhadap pelaksanaan sanksi denda, sikap wajib pajak terhadap pelayanan fiskus dan sikap wajib pajak terhadap kesadaran Perpajakan. Metode analisis yang digunakan adalah analisis

(29)

regresi berganda. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sikap WP terhadap pelaksanaan sanksi denda, sikap WP terhadap pelayanan fiskus dan sikap WP terhadap kesadaran perpajakan secara parsial mempunyai pengaruh positif yang signifikan terhadap kepatuhan Wajib Pajak Orang Pribadi di Kota Semarang.

Utomo (2011) melakukan penelitian tentang pengaruh sikap, kesadaran wajib pajak, dan pengetahuan perpajakan terhadap kepatuhan wajib pajak membayar PBB di Kecamatan Pamulang Kota Tangerang Selatan. Variabel bebas dalam pnelitian ini adalah sikap wajib pajak, kesadaran wajib pajak dan pengetahuan perpajakan. Teknik analisa data yang digunakan adalah analisis regresi berganda. Hasil penelitiannya menunjukkan hanya variabel sikap WP yang tidak berpengaruh signifikan terhadap kepatuhan WP, sedangkan variabel kesadaran WP dan pengetahuan perpajakan berpengaruh signifikan kepatuhan WP dalam membayar PBB di Kecamatan Pamulang Kota Tangerang Selatan.

Putri (2013) melakukan penelitian tentang pengaruh pengetahuan umum, tingkat ekonomi, dan pengetahuan pajak terhadap kepatuhan PBB masyarakat desa dan kota dengan variabel moderating kontrol petugas desa/kelurahan di Kabupaten Demak. Teknik analisa data yang digunakan adalah analisis regresi berganda. Hasil penelitian menunjukkan pengetahuan umum, tingkat ekonomi, dan pengetahuan pajak apabila disertai moderasi dari Kontrol Petugas desa/kelurahan berpengaruh besar terhadap kepatuhan WP. Selain itu, hasil penelitian menunjukkan tidak ada perbedaan kepatuhan WP desa dan WP kota.

Namun, terdapat perbedaan pengetahuan umum, tingkat ekonomi, dan pengetahuan pajak antara WP desa dan WP kota.

(30)

2.7 Kerangka Konseptual

Berdasarkan perumusan masalah, landasan teori dan berbagai penelitian terdahulu yang mendukung, maka dibentuk suatu kerangka konseptual penelitian yang menunjukkan bahwa ada beberapa faktor yang berpengaruh terhadap kepatuhan masyarakat dalam membayar Pajak Bumi dan Bangunan di Kota Padangsidimpuan. Faktor-faktor tersebut antara lain pelayanan perpajakan, sanksi pajak, Nilai Jual Objek Pajak, kesadaran perpajakan, pengetahuan perpajakan, dan pendapatan wajib pajak. Selain itu, adanya perbedaan karakteristik WP desa dan WP kota, baik dari segi kultur, cara berpikir, tingkat pendidikan maupun jenis pekerjaannya, dapat meyebabkan terjadinya perbedaan kepatuhan antara kedua masyarakat dalam membayar PBB, sehingga kerangka konseptual dalam tesis ini digambarkan sebagai berikut:

Gambar 2.1. Kerangka Konseptual NJOP

(X3)

Pengetahuan Perpajakan (X5)

Sanksi Pajak (X2) Pelayanan Perpajakan (X1)

Pendapatan WP (X6)

Kepatuhan Masyarakat Desa dan Kota Membayar PBB Kesadaran (Y)

Perpajakan (X4)

(31)

2.8 Hipotesis

Hipotesis merupakan jawaban sementara terhadap rumusan masalah penelitian (Sugiyono, 2006:10), dimana kebenarannya harus diuji secara empiris.

Hipotesis menyatakan hubungan tentang yang ingin dicari atau dipelajari.

Berdasarkan teori dan kerangka pemikiran yang telah diuraikan sebelumnya, maka hipotesis yang dirumuskan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Pelayanan perpajakan berpengaruh positif terhadap kepatuhan masyarakat desa dan kota dalam membayar PBB di Kota Padangsidimpuan.

2. Sanksi pajak berpengaruh positif terhadap kepatuhan masyarakat desa dan kota dalam membayar PBB di Kota Padangsidimpuan.

3. Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) berpengaruh negatif terhadap kepatuhan masyarakat desa dan kota dalam membayar PBB di Kota Padangsidimpuan.

4. Kesadaran perpajakan berpengaruh positif terhadap kepatuhan masyarakat desa dan kota dalam membayar PBB di Kota Padangsidimpuan.

5. Pengetahuan perpajakan berpengaruh positif terhadap kepatuhan masyarakat desa dan kota dalam membayar PBB di Kota Padangsidimpuan.

6. Pendapatan wajib pajak berpengaruh positif terhadap kepatuhan masyarakat desa dan kota dalam membayar PBB di Kota Padangsidimpuan.

7. Pelayanan perpajakan, sanksi pajak, Nilai Jual Objek Pajak, kesadaran perpajakan, pengetahuan perpajakan dan pendapatan wajib pajak secara simultan berpengaruh signifikan terhadap kepatuhan masyarakat desa dan kota dalam membayar PBB di Kota Padangsidimpuan.

8. Terdapat perbedaan kepatuhan antara masyarakat desa dan masyarakat kota desa dan kota dalam membayar PBB di Kota Padangsidimpuan.

Gambar

Gambar 2.1. Kerangka Konseptual NJOP  (X3) Pengetahuan Perpajakan (X5) Sanksi Pajak  (X2) Pelayanan Perpajakan (X1) Pendapatan WP (X6)  Kepatuhan Masyarakat Desa dan Kota Membayar PBB Kesadaran (Y)

Referensi

Dokumen terkait

Pada gambar tersebut merepresentasi bakti Kartini yang memiliki sikap setia dan ada kasih pada orang tua, ditandai dengan Kartini yang saat kecil menolak untuk dipisah

Model virtual di atas akan semakin memberikan manfaat yang tinggi ketika model ini bersifat reflektif sehingga mampu mengulang proses pemikiran, reflective thought

• Dukung dan antarkan temanmu untuk menceritakan perilaku bully yang telah ia terima pada orang tua, guru atau pihak lain. •

Pengujian dilakukan pada 5 spesimen dan setiap spesimen di tekan pada 5 titik yang berbeda, yaitu pada bagian atas, tengah, bawah. Pada uji kekerasan kali ini menggunakan gaya

terhadap Tim Kerja, Lingkungan, Wilayah, Kelompok Kategorial, Unit Kerja Paroki KEUSKUPAN dan

Untuk menemukan bagaimana hasil penelitian tentang Efektivitas Pelayanan Penanganan Pasien di Instalasi Gawat Darurat (IGD) Rumah Sakit Umum Daerah Petala Bumi Kota

Hasil pengembangan dalam penelitian ini adalah model program bimbingan dan konseling komprehensif, yang dimulai dari penyusunan standart kompetensi, penyusunan assesment ke-

Dari hasil data analisis sidik ragam menunjukkan bahwa interaksi dosis pupuk dan lebar piringan berpengaruh tidak nyata terhadap seluruh parameter pengamatan yaitu