• Tidak ada hasil yang ditemukan

2. TINJAUAN PUSTAKA. Tabel 1. Komposisi jenis gas dan jumlahnya pada suatu unit biogas

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "2. TINJAUAN PUSTAKA. Tabel 1. Komposisi jenis gas dan jumlahnya pada suatu unit biogas"

Copied!
18
0
0

Teks penuh

(1)

2. 1. Biogas

Biogas yang didominasi oleh gas metana, merupakan gas yang dapat dibakar. Metana secara luas diproduksi di permukaan bumi oleh bakteri pembusuk dengan cara menguraikan bahan organik. Sekurangnya 10 tipe bakteri pembusuk yang berbeda dari bakteri methanogenesis yang berperan dalam pembusukan. Biogas merupakan campuran gas yang dihasilkan dari aktivitas bakteri metanogenik pada kondisi anaerobik atau fermentasi bahan-bahan organik (Wahyuni, 2010). Komposisi jenis gas dan jumlahnaya pada suatu unit biogas disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1. Komposisi jenis gas dan jumlahnya pada suatu unit biogas

Jenis Gas Karellas, 2010 Juanga, 2005

Metana CH4 55 – 75 % 50 – 60 % Karbon Dioksida CO2 25 – 45 % 38 – 48 % Karbon Monoksida CO 0 – 0.3 % 2 % Nitrogen N2 1 – 5 % Hidrogen H2 0 – 3 % Hidrogen Sulfida H2S 0.1 – 0.5 % Oksigen O2 sedikit

Seperti terlihat pada Tabel 1 komposisi biogas berkisar antara 50 – 75% metana dan 25 – 48% karbon dioksida. Biogas mengandung gas lain seperti karbon monoksida, hidrogen, nitrogen, oksigen, hidrogen sulfida. Kandungan gas tergantung dari bahan yang masuk ke dalam bioreaktor (Karellas, 2010 dan Juanga, 2005).

Biogas merupakan produk dari pendegradasian substrat organik secara anaerobik. Karena proses ini menggunakan kinerja campuran mikroorganisme dan tergantung terhadap berbagai faktor seperti suhu, pH, hydraulic retention, rasio C:N dan sebagainya sehingga proses ini berjalan lambat (Yadvika et al, 2004).

Karakteristik dari metana murni adalah mudah terbakar, selain itu dapat mengakibatkan ledakan (Meynell, 1976). Kandungan metana dengan

(2)

udara akan menentukan pada kandungan berapa campuran yang mudah meledak dapat dibentuk. Pada LEL (lower explosive limit) 5.4% metana dan UEL (upper explosive limit) 13.9% basis volume. Dibawah 5.4% tidak cukup metana sedangkan, diatas 14% terlalu sedikit oksigen untuk menyebabkan ledakan. Temperatur yang dapat menyebabkan ledakan sekitar 650 – 750oC, percikan api dan korek api cukup panas untuk menyebabkan ledakan (Meynell, 1976).

Nilai kalori biogas tergantung pada komposisi metana dan karbondioksida, dan kandungan air di dalam gas. Biogas mengandung banyak kandungan air akibat dari temperatur pada saat proses, kandungan air pada bahan dapat menguap dan bercampur dengan metana. Pada biogas dengan kisaran normal yaitu 60-70% metana dan 30-40% karbondioksida, nilai kalori antara 20 – 26 J/cm3. Kesetaran biogas dengan sumber energi lain menurut disajikan pada Tabel 2. Nilai kalori bersih dapat dihitung dari persentase metana seperti berikut (Meynel, 1976) :

Q = k × m ………...……….…. ( 1 ) Dimana Q = Nilai kalor bersih (joule/cm3)

k = Konstanta (0.33) m = Persentase metana (%)

Tabel 2. Kesetaraan biogas dengan sumber energi lain (1 m3 biogas)

Sumber Energi Kesetaraan

Elpiji Minyak Tanah Minyak solar Bensin Gas kota Kayu bakar 0.46 Kg 0.62 l 0.52 l 0.80 l 1.50 m3 3.50 Kg Sumber : Wahyuni, 2010 2. 2. Jerami

Jerami padi adalah batang padi yang ditinggalkan termasuk daun sesudah diambil buahnya yang masak. Sekitar 30% jerami padi digunakan untuk beberapa kepentingan manusia berupa atap rumah, kandang, penutup tanah (mulsa), bahkan bahan bakar industri dan untuk pakan ternak (bila terpaksa) selebihnya dibuang atau dibakar yang tidak jarang

(3)

akibatnya mengganggu keseimbangan lingkungan. Pemanfaatan jerami padi untuk pakan ternak di Indonesia berkisar antara 31-39%, dikembalikan ketanah sebagai pupuk (36-62 %) dan sisanya berkisar 7-16% digunakan untuk industri (Komar, 1984).

Masyarakat petani pada umumnya masih rendah dalam pemanfaatan Jerami. Sebagian besar petani hanya membakar jerami padi setelah panen dimana limbah ini berfungsi sebagai pupuk organik, di samping itu adanya anggapan dari responden bahwa hijauan pakan tersedia dalam jumlah yang mencukupi dilahan pekarangan, sawah dan kebun untuk kebutuhan ternak (Febrina dan Liana, 2008). Winarno et al, (1985) menyatakan limbah pertanian pada umumnya belum mendapat perhatian dan belum banyak dimanfaatkan untuk menjadi komoditas baru yang mempunyai harga lebih baik atau nilai tambah (added value) yang setinggi mungkin sehingga dapat memberikan kontribusi terhadap pendapatan total rumah tangga petani. Potensi jerami di Indonesia sangat besar, menurut ZREU (2000), potensi jerami padi sekitar 49 juta ton per tahun. Potensi Biomassa disajikan pada Gambar 1.

(4)

Jerami padi merupakan salah satu limbah pertanian yang paling besar di Indonesia. Pemanfaatan limbah jerami padi sebagai salah satu bahan baku alternatif produksi glukosa dalam proses bioetanol mulai dikembangkan di beberapa negara termasuk di Indonesia. Hal ini disebabkan karena jerami padi harganya sangat murah dan memiliki kandungan selulosa yang cukup tinggi yaitu mencapai 25.4-35.5%. Komposisi kimia lainnya yaitu hemiselulosa 32.3-37.1%, lignin 6.4-10% dan abu (Lei at al, 2010). Jerami padi setelah panen memiliki kadar air sekitar 40%. Komposisi kimia jerami padi sangat bervariasi hal ini dipengaruhi oleh varietas padi, tempat tumbuh, serta pupuk yang digunakan. Di Indonesia rata-rata kadar hara jerami padi adalah 0.4% N, 0.02% P, 1.4% K, 5.6% Si dan mengandung 40-43% C (Makarim et al, 2007). Karakteristik jerami disajikan pada Tabel 3.

Tabel 3. Karakteristik jerami padi

Parameter Nilai Ukuran Partikel (mm) Kadar Air Total Solid (g/L) Volatile Solid (g/L) Kadar C dalam TS (bk) (%) Kadar N dalam TS (bk) (%) Kadar P dalam TS (bk) (%) 3 – 5 10.20 14.60 12.63 41.18 0.69 0.044 Sumber : Lei et al, (2010)

Menurut Kim dan Dale (2004) potensi jerami kurang lebih 1,4 kali dari hasil panen. Rata-rata produktivitas padi nasional adalah 48.95 ku/ha, sehingga jumlah jerami yang dihasilkan kurang lebih 68.53 ku/ha. Potensi jerami yang sangat besar ini sebagian besar masih disia-siakan oleh petani. Sebagian besar jerami hanya dibakar menjadi abu, sebagian kecil dimanfaatkan untuk pakan ternak.

2. 3. Sampah Pasar

Sampah mempunyai kontribusi besar terhadap meningkatnya emisi gas rumah kaca, hal ini dikarenakan penumpukan sampah tanpa diolah

(5)

akan melepaskan gas metana/methane (CH4). Setiap 1 ton sampah padat menghasilkan 50 kg gas metana. Diperkirakan pada tahun 2020, sampah yang dihasilkan oleh penduduk indonesia sekitar 500 juta kg/hari atau 190 ribu ton/tahun (Nengsih, 2002).

Pada tahun 2007 total timbulan sampah dari 170 kota yang mengikuti program Adipura mencapai 45.4 juta meter kubik. Dari jumlah tersebut, sekitar 71 persen atau sebanyak 32.5 juta meter kubik terangkut ke tempat pembuangan akhir (TPA). Menurut pedoman IPCC 2006, timbulan sampah di Indonesia adalah sebesar 0.28 ton per kapita per tahun. Dengan menggunakan asumsi tersebut dan proyeksi jumlah penduduk tahun 2001 – 2007, timbulan sampah pada tahun 2007 diperkirakan mencapai 63 ribu ton dimana 58 persen diantaranya berasal dari pulau Jawa. Hal ini sesuai dengan jumlah dan pertumbuhan penduduk di pulau Jawa yang lebih tinggi dibandingkan dengan pulau-pulau besar lainnya di Indonesia. Peta timbunan sampah domestik disajikan pada Gambar 2.

Gambar 2. Peta sebaran timbulan sampah domestik tahun 2010 (sumber: ICCSR, 2010)

Dari timbulan sampah tersebut, sekitar 80% dibuang ke tempat pembuangan akhir (TPA) sampah, 5% dibakar di insinerator, 1% dibuat kompos, dan 5% sisanya tidak teridentifikasi namun kemungkinan besar

(6)

ada yang didaur ulang. Dilihat dari komposisinya, sampah di Indonesia didominasi oleh bahan organik sebesar 65%, kertas sebesar 13%, plastik sebesar 11%, dan kayu sebesar 3%. Sisanya adalah tekstil, karet, logam, gelas, dan keramik masing-masing sebesar 1% (KLH, 2008). Komposisi sampah disajikan pada Gambar 3.

Gambar 3. Komposisi sampah (KLH, 2008)

Menurut Biswas (2007) karakteristik limbah buah dan sayuran di dominasi oleh kandungan air yang tinggi. Karakteristik limbah buah dan sayuran disajikan pada Tabel 4.

Tabel 4. Karakteristik limbah buah dan sayuran

Karakteristik Biswas et al, 2007 Alvarez & Liden, 2007

Kadar Air (%) 89.14 87.30 Kadar Abu (%) 0.98 0.80 TS (%) 10.76 12.70 VS (%) 9.78 11.90 Rasio C/N 9.5 - 2. 4. Fermentasi

Menurut Esposito et al (2011) dan Batstone et al (2002) secara garis besar proses pembentukan biogas dapat dilihat pada Gambar 4 dan dibagi dalam empat tahap yaitu: hidrolisis, asidogenesis, asetogenesis dan metanogenesis.

(7)

Limbah Pertanian (Jerami padi & Sampah Pasar)

Inert (partikel, terlarut)

Karbohidrat Protein Lemak

Gula/

Monosakarida(MS) Asam Amino (AA)

Long Chain Fatty Acids (LCFA) Propionate Acetat H2 Metana (CH4), CO2 Disintegrasi Hidrolisis Asidogenesis Asetogenesis Metanogenesis

Asam Valeric (HVa), Asam Butyric (HBu)

Acidogenesis dari 5) Asetogenesis dari butyrate dan valerate 1) Gula 3) LCFA 6) Aseticlastoc methanogenesis

2) Asam Amino 4) Propionate 7) hydrogenotrophic methanogenesis

1 2 3

4

5

6 7

Gambar 4. Skema konversi biomassa menjadi metana (Esposito et al, 2011 dan Batstone et al, 2002)

1. Tahap Hidrolisis

Pada tahap hidrolisis, bahan organik dienzimatik secara eksternal oleh enzim ekstraselular (selulose, amilase, protease dan lipase) mikroorganisme. Bakteri memutuskan rantai panjang karbohidrat komplek, protein dan lipida menjadi senyawa rantai pendek. Sebagai contoh polisakarida diubah menjadi monosakarida sedangkan protein diubah menjadi peptida dan asam amino. Menurut Deublein dan Steinhauser (2008), dalam tahapan hidrolisis terjadi pemecahan enzimatis dari bahan yang tidak mudah larut seperti lemak, polisakarida, protein, asam nukleat dan lain-lain menjadi bahan yang mudah larut. Protein dihidrolisis menjadi asam-asam amino, karbohidrat menjadi gula-gula sederhana, sedang lemak diurai menjadi asam rantai pendek.

(8)

2. Tahap Asidogenesis

Pada tahap asidogenesis, bakteri menghasilkan asam, mengubah senyawa rantai pendek hasil proses pada tahap hidrolisis menjadi asam asetat, hidrogen dan karbondioksida. Bakteri tersebut merupakan bakteri anaerobik yang dapat tumbuh dan berkembang pada keadaan asam. Untuk menghasilkan asam asetat bakteri tersebut memerlukan oksigen dan karbon yang diperoleh dari oksigen yang terlarut dalam larutan, pembentukan asam dalam kondisi anaerobik sangat penting untuk membentuk gas metan oleh mikroorganisme pada proses selanjutnya. Selain itu, bakteri tersebut juga mengubah senyawa yang bermolekul rendah menjadi alkohol, asam organik, asam amino, karbondioksida, H2S dan sedikit gas metan (Amaru, 2004).

Menurut Deublein dan Steinhauser (2008) produk terpenting dalam tahapan asidogenesis adalah asam asetat, asam propionate, asam butirat, H2 dan CO2. Selain itu dihasilkan sejumlah kecil asam formiat, asam laktat, asam valerat, methanol, etanol, butadienol dan aseton.

3. Asetogenesis

Tidak semua produk asetogenesis dapat dipergunakan secara langsung pada tahap metanogenesis, alkohol dan asam volatile rantai pendek tidak dapat langsung dipergunakan sebagai substrat pembentuk metan, tetapi harus dirombak dulu oleh bakteri asetogenik menjadi asetat, H2 dan CO2. Produk yang dihasilkan ini menjadi substrat pada pembentukan gas metan oleh bakteri metanogenik. Setelah asidogenesis dan asetogenesis, diperoleh asam asetat, hidrogen, dan karbondioksida yang merupakan hasil degradasi anaerobik bahan organik.

4. Tahap Pembentukan Gas Metana (Metanogenesis)

Pada tahap ini bakteri metanogenik mendekomposisikan senyawa dengan berat molekul rendah menjadi senyawa dengan berat molekul tinggi. Sebagai contoh bakteri ini menggunakan hidrogen, CO2 dan asam asetat untuk membentuk metana dan CO2. Bakteri penghasil asam dan gas metana bekerjasama secara simbiosis. Bakteri penghasil asam membentuk keadaan atmosfir yang ideal untuk bakteri penghasil metana. Sedangkan

(9)

bakteri pembentuk gas metana menggunakan asam yang dihasilkan bakteri penghasil asam. Tanpa adanya proses simbiotik tersebut, akan menciptakan kondisi toksik bagi mikroorganisme penghasil asam. Metana diproduksi dari asam asetat, hidrogen dan karbon dioksida (Juanga, 2005). Prinsip reaksi metanogenik disajikan pada Gambar 5.

Gambar 5. Prinsip reaksi metanogenik (Juanga, 2005)

Menurut Hoffman (2000) dan Juanga (2005) menyatakan bahwa teknologi fermentasi media padat memiliki beberapa kelebihan. Kelebihan tersebut dapat dilihat pada Tabel 5.

Tabel 5. Keuntungan teknologi fermentasi media padat

Aspek Keuntungan

Pengolahan limbah

Proses pengolahan limbah alami

Memerlukan sedikit lahan dibandingkan komposting secara aerobik dan landfill

Reduksi volume dan berat limbah buangan ke landfill

Reduksi konsentrasi leacheate

Keuntungan Energi

Proses produksi energi bersih

Menghasilkan kualitas tinggi energi terbarukan

Biogas yang terjamin

Keuntungan Lingkungan

Signifikan mengurangi emisi gas rumah kaca Menyisihkan bau

Memproduksi kompos yang kaya nutrien Keuntungan recycle maksimum

Keuntungan biaya Efektivitas Biaya Sumber : Juanga (2005)

Hidrogen 4H2 + CO2  CH4 + 2H2O

Asetat CH3COOH  CH4 + CO2

Format 4HCOOH  CH4 + 3CO2 + 2H2O

Metanol 4CH3OH  3CH4 + CO2 + 2H2O Karbon Monoksida 4CO + 2H2O  CH4 + 3H2CO3

Trimetilamin 4(CH3)2N + 6H2O  9CH4 + 3CO2 + 4NH3 Dimetilamin 2(CH3)2NH + 2H2O  3CH4 + CO2 + 2NH3 Monometilamin 4(CH3)NH2 + 2H2O  3CH4 + CO2 + 4NH3 Metil mercaptan 2(CH3)2S + 3H2O  3CH4 + CO2 + H2S Logam 4Meo + 8H + CO2  4Meo + CH4 + 2H2O

(10)

2. 5. Kinetika Pembentukan Biogas

Kinetika produksi biogas menurut Budiyono et al (2010) serta Nopharatana et al (2007) dengan asumsi laju produksi biogas dalam kondisi batch modifikasi dari model Gompertz memiliki persamaan sebagai berikut:

………..(2)

Sedangkan menurut Zweitering et al (1990) selain modifikasi model Gompertz, bisa juga digunakan persamaan modifikasi model Logistic, dengan rumus sebagai berikut :

………..(3) Dimana P adalah produksi biogas spesifik kumulatif (ml/g VS); A adalah produksi biogas potensial (ml); Rmax adalah laju produksi biogas maksimum (ml/g VS.day);  adalah periode phase lag (waktu minimum untuk produksi biogas, hari); t adalah kumulatif waktu untuk produksi biogas. A,  dan Rmax konstanta. Pada Gambar 6 dapat dilihat bahwa dalam kondisi batch, peningkatan nilai P sangat lambat pada masa kultivasi dari waktu 0 ke , dan peningkatan sangat tajam pada saat Rmax dan terakhir akan mengalami kondisi stabil pada nilai A.

Gambar 6. Kurva modifikasi model Gompertz (Wang & Wan, 2009)

Rmax 0 A Ku m u latif N il ai P

(11)

Menurut Lei et al (2010) bahwa produksi biogas dari persamaan model ordo satu dapat di bandingkan dengan hasil eksperimen, dan akurasi dihitung dengan menggunakan rumus ARD (average relative difference) sebagai berikut :

……… (4)

Dimana Xpi adalah nilai prediksi dari model sedangkan Xei adalah nilai hasil eksperimen dan n adalah jumlah sampel.

2. 6. Faktor yang Berpengaruh pada Proses Fermentasi

Proses pencernaan anaerobik merupakan dasar dari reaktor biogas yaitu proses pemecahan bahan organik oleh aktivitas bakteri metanogenik dan bakteri asidogenik pada kondisi tanpa udara. Bakteri ini secara alami terdapat dalam limbah yang mengandung bahan organik, seperti kotoran binatang, manusia dan sampah organik rumah tangga. Proses anaerobik dapat berlangsung di bawah kondisi lingkungan yang luas walaupun proses yang optimal hanya terjadi pada kondisi yang terbatas (Haryati, 2006). Kondisi pengoperasian pada proses anaerobik dapat dilihat pada Tabel 6.

Tabel 6. Kondisi pengoperasian pada proses anaerobik

Parameter Nilai

Suhu

Mesofilik 35 oC

Termofilik 54 oC

pH 7 – 8

Waktu retensi 10 – 30 hari

Laju pembebanan 0.07 – 0.16 kg.VS/m3/hari

Hasil Biogas 0.28 – 0.69 m3/kg.VS

Kandungan Metana 60 – 70 %

Sumber : Engler et al (2000)

Bakteri yang terlibat dalam proses anaerobik yaitu bakteri hidrolitik yang memecah bahan organik menjadi gula dan asam amino, bakteri fermentatif yang mengubah gula dan asam amino menjadi asam organik,

(12)

bakteri asidogenik mengubah asam organik menjadi hidrogen, karbondioksida dan asam asetat dan bakteri metanogenik yang menghasilkan metan dari asam asetat, hidrogen dan karbondioksida. Di dalam reaktor biogas, terdapat dua jenis bakteri yang sangat berperan, yakni bakteri asidogenik dan bakteri metanogenik. Kedua jenis bakteri ini perlu eksis dalam jumlah yang berimbang. Bakteri-bakteri ini memanfaatkan bahan organik dan memproduksi metan dan gas lainnya dalam siklus hidupnya pada kondisi anaerob. Mereka memerlukan kondisi tertentu dan sensitif terhadap lingkungan mikro dalam reaktor seperti temperatur, keasaman dan jumlah material organik yang akan dicerna. Terdapat beberapa spesies metanogenik dengan berbagai karateristik (Haryati, 2006).

Aktivitas metabolisme mikroorganisme penghasil metana tergantung pada faktor:

1. Temperatur

Gas metana dapat diproduksi pada tiga kisaran temperatur sesuai dengan bakteri yang hadir. Bakteri psyhrofilik 0–7oC, bakteri mesofilik pada temperatur 13–40oC sedangkan termofilik pada temperatur 55– 60oC. Temperatur yang optimal untuk reaktor adalah temperatur 32–35oC, kisaran temperatur ini mengkombinasikan kondisi terbaik untuk pertumbuhan bakteri dan produksi metana di dalam reaktor dengan lama proses yang pendek (Haryati, 2006). Bakteri metanogenik tidak aktif pada temperatur sangat tinggi atau rendah. Temperatur optimumnya yaitu sekitar 35°C. Jika temperatur turun menjadi 10°C, produksi biogas akan terhenti. Pengaruh kondisi temperatur terhadap laju proses anaerobik digestion disajikan pada Gambar 7.

(13)

Gambar 7. Representatif grafik suhu anaerobic digestion (Juanga, 2005)

Produksi biogas yang memuaskan berada pada daerah mesofilik yaitu antara 25–30°C. Biogas yang dihasilkan pada kondisi di luar temperatur tersebut mempunyai kandungan karbondioksida yang lebih tinggi. Pemilihan temperatur yang digunakan juga dipengaruhi oleh pertimbangan iklim. Untuk kestabilan proses, dipilih kisaran temperatur yang tidak terlalu lebar. Pengaruh perbedaan kondisi suhu terhadap produksi biogas dan metana disajikan pada Tabel 7.

Tabel 7. Perbedaan kondisi suhu terhadap produksi biogas dan metana

Kondisi Anaerobic Digestion (AD) Suhu Total Biogas Total

metana Laju Biogas Laju Metana o C l L l/kg TS l/kg VS l/kg TS l/kg VS AD basah Termofilik Mesofilik Ambien 48.19 41.55 31.52 23.28 20.53 15.64 225.8 194.7 147.7 282.1 243.3 184.5 109.1 96.2 73.3 136.3 120.2 91.6 AD kering Termofilik Mesofilik Ambien 40.96 51.74 39.56 16.29 26.36 19.74 153.9 194.0 148.3 191.9 123.5 185.3 61.1 98.8 74 76.3 123.5 92.5 Sumber : Lianhua et al (2010). 2. Lama Proses

Lama proses atau jumlah hari bahan terproses didalam bioreaktor. Pada reaktor tipe aliran kontinyu, bahan akan bergerak dari inlet menuju outlet selama waktu tertentu akibat terdorong bahan segar yang dimasukkan, setelah itu bahan akan keluar dengan sendirinya. Misalnya

(14)

apabila lama proses atau pengisian bahan ditetapkan selama 30 hari, maka bahan akan berada didalam bioreaktor atau menuju outlet selama 30 hari.

Setiap bahan mempunyai karakteristik lama proses tertentu, sebagai contoh untuk kotoran sapi diperlukan waktu 20–30 hari. Sebagian biogas diproduksi pada 10 sampai dengan 20 hari pertama (Wahyuni, 2010) Apabila terlalu banyak volume bahan yang dimasukkan (overload) maka akibatnya lama pengisian menjadi terlalu singkat. Bahan akan terdorong keluar sedangkan biogas masih diproduksi dalam jumlah yang cukup banyak.

3. Derajat Keasaman (pH)

Kegagalan proses pencernaan anaerobik dalam reaktor biogas bisa dikarenakan tidak seimbangnya populasi bakteri metanogenik terhadap bakteri asam yang menyebabkan lingkungan menjadi sangat asam (pH kurang dari 7) yang selanjutnya menghambat kelangsungan hidup bakteri metanogenik. Kondisi keasaman yang optimal pada pencernaan anaerobik yaitu sekitar pH 6.8 sampai 8, laju pencernaan akan menurun pada kondisi pH yang lebih tinggi atau rendah (Wahyuni, 2010), sedang menurut Nguyen (2004), kondisi optimum pH pada rentang 7.2 sampai 8.2.

4. Penghambat Nitrogen dan Ratio Carbon Nitrogen

Menurut Wahyuni (2010) dan Haryati (2006), bakteri yang terlibat dalam proses anaerobik membutuhkan beberapa elemen sesuai dengan kebutuhan organisme hidup seperti sumber makanan dan kondisi lingkungan yang optimum. Bakteri anaerob mengkonsumsi karbon sekitar 30 kali lebih cepat dibanding nitrogen. Hubungan antara jumlah karbon dan nitrogen dinyatakan dengan rasio karbon/nitrogen (C/N), rasio optimum untuk reaktor anaerobik berkisar 20 - 30. Jika C/N terlalu tinggi, nitrogen akan dikonsumsi dengan cepat oleh bakteri metanogen untuk memenuhi kebutuhan pertumbuhannya dan hanya sedikit yang bereaksi dengan karbon akibatnya biogas yang dihasilnya menjadi rendah. Sebaliknya jika C/N rendah, nitrogen akan dibebaskan dan berakumulasi dalam bentuk amonia (NH4) yang dapat meningkatkan pH. Jika pH lebih

(15)

tinggi dari 8.5 akan menunjukkan pengaruh negatif pada populasi bakteri metanogen.

2. 7. Tinjauan Penelitian Terdahulu

Penelitian pemanfaatan bahan organik untuk memproduksi biogas telah banyak dilakukan (Lei et al, 2010; Liu et al, 2009; Hartono, 2009; Arati, 2009; Biswas, 2007). Di dalam proses anaerobik tersebut, bahan organik dikonversi menjadi biogas. Biogas merupakan gas campuran dengan kandungan utama metana (55-75% volume) dan karbon diokasida (25-45% volume), serta sejumlah kecil gas kelumit seperti H2, H2S, uap H2O, dan nitrogen.

Dewasa ini ada kecenderungan yang menunjukkan adanya perhatian yang semakin meningkat pada penggunaan bahan organik untuk produksi biogas. Hasil dari berbagai penelitian menunjukkan bahwa konversi bahan organik menjadi energi menempati hierarki tertinggi dalam manajemen dan penanganan limbah organik. Hal ini karena semakin langka bahan bakar fosil. Penelitian dan praktek produksi biogas selama ini lebih banyak dilakukan dengan menggunakan bahan organik terlarut, misalnya dalam limbah cair industri minyak sawit, industri pati, atau industri peternakan. Penelitian dan penerapan teknologi konversi limbah organik padat pertanian masih terbatas, meskipun telah ada indikasi potensi tinggi untuk mengkonversi bahan organik menjadi biogas dengan fermentasi media padat (dry fermentation) (Macias-Corral et al, 2008; Juanga et al, 2007; dan Arati, 2009). Sebagaimana ditunjukkan pada Tabel 8, tingkat perolehan (yield) biogas dapat mencapai 180-940 l per kg bahan kering (TS) tergantung jenis substratnya. Sebagai contoh, jerami yang dicacah dapat dikonversi menjadi 250-350 l biogas per kg bahan kering (TS).

Selama ini pengomposan bahan organik sering dipilih untuk mereduksi beban tempat pembuangan sampah (TPA), untuk menghindari emisi metana dari tempat penimbunan sampah serta untuk menghasilkan produk kompos yang memiliki nilai ekonomi. Produk berupa kompos dapat digunakan untuk berbagai tujuan seperti untuk memperbaiki struktur

(16)

tanah, media tanaman, dan bioremediasi lahan tercemar (Indrasti dan Walmot, 2001; Indrasti et al, 2005; dan Indrasti et al, 2007). Lebih lanjut, hasil studi pengomposan sampah (Suprihatin et al, 2008) menunjukkan adanya potensi pengomposan dalam mereduksi emisi gas rumah kaca. Dengan menghasilkan satu ton kompos dari sampah, emisi 0.21-0.29 ton metana, setara 5-7 ton karbon dioksida, dapat dihindari.

Tabel 8. Produksi biogas dan waktu tinggal dari berbagai bahan

Bahan Produksi biogas (l/kg TS*) Kadar Metana dalam Biogas (%) Waktu Tinggal (hari)

Pisang (buah dan daun) Rumput

Jagung (batang secara keseluhan) Jerami (dicacah)

Tanaman rawa Kotoran ayam Kotoran domba Kotoran sapi

Sampah (fraksi organik)

940 450-530 350-500 250-350 380 300-450 180-220 190-220 380 53 55-57 50 58 56 57-70 56 68 56 15 20 20 30 20 20 20 20 25

Sumber: Arati (2009), modifikasi. *) TS= total solids / bahan kering

Pengomposan bahan organik memang dapat mereduksi emisi gas rumah kaca (metana) dan menghasilkan produk bernilai ekonomi berupa kompos dan pupuk cair (Gerardi, 2003 dan Romli, 2010). Akan tetapi sebagian besar bahan organik dikonversi menjadi karbon diokasida dan air. Untuk memanfaatkan bahan organik dalam limbah pertanian, yang produksinya di Indonesia sangat melimpah, penelitian ini akan mengembangkan suatu metode daur-ulang bahan organik melalui fermentasi media padat dengan kondisi yang terkendali.

Karellas (2010) menyatakan bahwa perombakan secara anaerobik adalah solusi yang sangat menjanjikan untuk pengolahan limbah pertanian, mencegah polusi dan menyebabkan produksi energi efisien. Sedang Hartono (2009) melakukan peningkatan nilai guna jerami dengan memfermentasikan secara anaerob untuk menghasilkan biogas. Hasil penelitian menunjukkan bahwa laju produksi biogas optimum dihasilkan pada rasio jerami dan kotoran kerbau adalah 3 : 1 yaitu 6.5 ml/jam.

(17)

Misi dan Forster (2001) menyatakan bahwa kriteria untuk menilai keberhasilan perombakan limbah pertanian secara anaerobik adalah penurunan padatan volatile (VS), produksi total biogas dan menghasilkan metana. Efek dari umpan yang berbeda pada biogas hasil dari limbah makanan, dedaunan dan campurannya dikaji menggunakan batch reaktor anaerobik. Hasil penelitian Liu et al (2009) menunjukkan adanya hubungan yang signifikan terhadap produksi biogas setelah 25 hari dari perombakan. Ringkasan penelitian terdahulu disajikan pada Tabel 9.

Tabel 9. Ringkasan review penelitian terdahulu

Peneliti Bahan baku Perlakuan Hasil

Zhang et al, 2011 Limbah makanan & limbah cair Reaktor CSTR (HRT 20 hari) Biogas dihasilkan 396 ml/g VS dengan penurunan VS sebesar 75.6 % Lei et al, 2010

Jerami Padi Efek

penambahan phosfat Produksi biogas 0.33 – 0.35 m3/kg VS; kadar metana 75.9-78.2 % Lianhua et al, 2010

Jerami Padi Efek suhu dan konsentrasi padatan

Produksi biogas tertinggi pada kondisi suhu

mesophilic dibanding suhu ambien dengan kadar metana 62%, total produksi metana 9.5 m3 (239.7 l/kg VS) Liu et al, 2009 Limbah makanan dan dedaunan Efek penambahan rasio inokulum dan suhu

Limbah makanan lebih besar dari dedauanan dan campurannya (742 -784 ml/gVS). Hasil biogas termofilik lebih besar dari mesophilic

Hartono, 2009

Jerami Rasio jerami dan kotoran kerbau

Rasio jerami & kotoran 3:1 optimum dengan produksi biogas 6.5 ml/jam Fantozzi & Buratti, 2009 Kotoran hewan & sayuran

Reaktor CSTR Campuran kotoran hewan menghasilkan produksi biogas sebesar 0.35 Nm3/kg Vs

Biswas (2007) melakukan fermentasi menggunakan limbah sayuran/makanan sebagai umpan dalam sebuah reaktor anaerobik

(18)

kapasitas 10 l beroperasi dalam mode batch pada suhu optimum 40oC dan pada pH 6.8. Sedang penelitian Lei et al (2010) pada partikel jerami padi sebagai substrat untuk pencernaan anaerobik dengan lumpur pada suhu ruang dalam berbagai tingkat asupan fosfat menghasilkan biogas atau metana 0.33-0.35 m3/kg-VS atau 0.27-0.29 m3 CH4/kg-VS dengan kandungan metana rata-rata 75.9-78.2%. Degradasi dan potensi produksi biogas dari limbah berserat dapat secara signifikan meningkat dengan perlakuan awal yaitu memperkecil ukuran partikel (Mshandete et al, 2006).

Gambar

Gambar 1. Potensi Biomassa (jerami padi) di Indonesia
Gambar 2.   Peta sebaran timbulan sampah domestik tahun 2010  (sumber: ICCSR, 2010)
Gambar 3. Komposisi sampah (KLH, 2008)
Gambar 4.  Skema  konversi  biomassa  menjadi  metana  (Esposito  et  al,  2011 dan Batstone et al, 2002)
+5

Referensi

Dokumen terkait

Dalam model atom Bohr, elektron atom hidrogen yang mengorbit di sekitar inti atom membangkitkan kuat arus listrik rata-rata sebesar 0,8 mA pada suatu titik di orbit lintasannya,

Sehubungan dengan hal tersebut, Donald Super (dalam Winkel dan Hastuti, 2013: 632) yang membaginya atas lima tahap, sedangkan pada masa remaja yaitu ketika

Pengantar oleh Pengajar tentang Penyimpulan data numeric (30%) Pembelajaran melalui diskusi dan latihan soal(50%) Klarifikasi dari Pengajar atas hasil diskusi dan latihan

Bila kemudian terbukti bahwa saya ternyata melakukan tindakan menyalin atau meniru tulisan orang lain seolah-olah hasil pemikiran saya sendiri, berarti gelar dan ijazah

Aku tidak dapati dalam apa yang telah diwahyukan kepadaku, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya melainkan kalau benda itu bangkai, atau darah

Hambatan samping ini dapat menimbulkan konflik antara kendaraan bermotor dengan kendaraan bermotor, kendaraan bermotor dengan pejalan kaki (penyeberang jalan) dan

Walaupun demikian, setiap pihak pun hendaknya memahami bahwa pembatasan terhadap sumber penyedia bahan baku dapat mengakibatkan tidak adanya kebebasan bagi licensee

Salatiga adalah kota yang unik, kas dan menyenangkan bagi sebagian besar orang. Orang datang ke Salatiga bukan karena ada “gula-gula” atau sumber ekonomi yang melimpah, namun