SKRIPSI
LEGALITAS PENJUALAN MINUMAN BERALKOHOL
GOLONGAN A BAGI PELAKU USAHA TOKO
MODERN MINIMARKET BERDASARKAN
PERATURAN PRESIDEN NOMOR 74 TAHUN 2013
DIKAITKAN DENGAN PERATURAN MENTERI
PERDANGAN NOMOR 6 TAHUN 2015
ANAK AGUNG NGURAH YADNYA WIRYA RAHMADI PUTRA NIM. 1116051008
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS UDAYANA
ii
SKRIPSI
LEGALITAS PENJUALAN MINUMAN BERALKOHOL
GOLONGAN A BAGI PELAKU USAHA TOKO
MODERN MINIMARKET BERDASARKAN
PERATURAN PRESIDEN NOMOR 74 TAHUN 2013
DIKAITKAN DENGAN PERATURAN MENTERI
PERDANGAN NOMOR 6 TAHUN 2015
ANAK AGUNG NGURAH YADNYA WIRYA RAHMADI PUTRA NIM. 1116051008
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS UDAYANA
iii
LEGALITAS PENJUALAN MINUMAN BERALKOHOL
GOLONGAN A BAGI PELAKU USAHA TOKO
MODERN MINIMARKET BERDASARKAN
PERATURAN PRESIDEN NOMOR 74 TAHUN 2013
DIKAITKAN DENGAN PERATURAN MENTERI
PERDANGAN NOMOR 6 TAHUN 2015
Skripsi ini dibuat untuk memperoleh Gelar Sarjana Hukum
Pada Fakultas Hukum Universitas Udayana
ANAK AGUNG NGURAH YADNYA WIRYA RAHMADI PUTRA
NIM. 1116051008
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS UDAYANA
iv
Lembar Persetujuan Pembimbing
SKRIPSI INI TELAH DISETUJUI
PADA TANGGAL 12 JANUARI 2016
PEMBIMBING I
Dr. I WAYAN WIRYAWAN SH.,M.H. NIP. 19550306 198403 1 003
PEMBIMBING II
v
SKRIPSI TELAH DIUJI
PADA TANGGAL 3 MARET 2016
Panitia Penguji Skripsi
Berdasarkan Surat Keputusan Dekan Fakultas Hukum Universitas Udayana
Nomor : 0186/UN14.4E/IV/PP?2016 Tanggal 18 Februari 2016
Ketua : Dr. I Wayan Wiryawan, SH.,MH ( )
19550306 198403 1 003
Sekretaris : A.A. Sri Indrawati, SH.,MH ( )
19571014 198601 2 001
Anggota : Dr. I Made Sarjana, SH.,MH ( )
19611231 198601 1 001
I Ketut Markeling, SH.,MH ( )
19541231 198403 1 001
A.A. Gde Agung Darma Kusuma. SH.,MH ( )
19561115 198602 1 001
vi
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, atas berkat dan
karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Penulisan skripsi ini
dimaksudkan untuk memenuhi kewajiban terakhir sebagai mahasiswa guna
melengkapi persyaratan dalam menyelesaikan studi Program Sarjana (S1) pada
Fakultas Hukum Universias Udayana. Adapun judul skripsi ini adalah ‘Legalitas Penjualan Minuman Beralkohol Golongan A Bagi Pelaku Usaha Toko Modern Minimarket Berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 74 Tahun 2013 Dikaitkan Dengan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 6 Tahun 2015”
Penulis menyadari bahwa apa yang tersusun dalam skripsi ini jauh dari apa
yang diharapkan secara ilmiah. Hal ini disebabkan karena keterbatasan kemampuan,
pengetahuan dan pengalaman yang penulis miliki. Maka dari itu kritik, saran,
bimbingan serta petunjuk-petunjuk dari semua pihak sangat diharapkan guna
kelengkapan dan penyempurnaan skripsi ini.
Penulisan skripsi ini tidak akan berhasil dengan baik tanpa adanya bantuan
dan dukungan dari berbagai pihak baik secara langsung maupun tidak langsung. Oleh
karena itu pada kesempatan yang sangat berbahagia ini dengan segala hormat penulis
ingin menyampaikan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada yang
vii
1. Bapak Prof. Dr. I. Gusti Ngurah Wairocana, S.H.,M.H, Dekan Fakultas
Hukum Universitas Udayana.
2. Bapak I Ketut Sudiartha, S.H.,M.H, Pembantu Dekan I Fakultas Hukum
Universitas Udayana.
3. Bapak I Wayan Bela Siki Layang, S.H.,M.H, Pembantu Dekan II Fakultas
Hukum Universitas Udayana.
4. Bapak I Wayan Suardana, S.H.,M.H, Pembantu Dekan III Fakultas
Hukum Universitas Udayana.
5. Bapak Anak Agung Gede Oka Parwata, S.H.,MSi, Ketua Program Non
Reguler Fakultas Hukum Universitas Udayana.
6. Bapak Dr. Gede Marhaendra Wija Atmaja, S.H.,M.Hun, Pembimbing
Akademis yang telah membimbing dari awal kuliah di Fakultas Hukum
Universitas Udayana
7. Bapak Dr. I Wayan Wiryawan, S.H.,M.H. Ketua bagian Hukum Perdata
Fakultas Hukum Universitas Udayana, sekaligus sebagai Dosen
Pembimbing I yang dengan kesabaran dan meluangkan waktunya untuk
memberi arahan dalam menyelesaikan skripsi ini.
8. Ibu Anak Agung Sri Indrawati, S.H.,M.H, Dosen Pembimbing II yang
dengan penuh perhatian dan berkenan meluangkan waktu serta tenaganya
viii
9. Bapak dan Ibu Dosen Fakultas Hukum Universitas Udayana yang telah
membimbing dan mendidik penulis selama mengikuti perkuliahan di
Fakultas Hukum Universitas Udayana.
10.Bapak Ida Bagus Wedha Kusumajaya, S.H., dan Bapak I Gusti Ngurah
Darmayuda Pegawai Administrasi Fakultas Hukum Universitas Udayana
yang telah membantu selama masa perkuliahan.
11.Bapak dan Ibu Pegawai Administrasi Fakultas Hukum Universitas
Udayana yang telah cukup banyak membantu dalam pengurusan proses
administrasi.
12.Bapak dan Ibu Pegawai Perpustakaan Universitas Udayana dan
Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Udayana yang telah membantu
penulis dalam memperoleh literature yang diperlukan dalam penyusunan
skripsi ini.
13.Kepada seluruh keluarga besar Fakultas Hukum Universitas Udayana
Program Non Reguler.
14.Orang tua penulis Anak Agung Suka Wirya dan Anak Agung Rusmeteri
yang tiada hentinya memberikan dukungan, doa dan kasih sayang kepada
penulis sehingga dapat terselesaikannya skripsi ini.
15.Seluruh keluarga Jero Gelogor yang telah memberikan semangat dalam
menjalankan perkuliahan dari awal sampai dengan terselesainya tugas
ix
16.Sahabat tercinta Wisnu Wisesa, Gusten Keniten, Agung Atut, Agung
Santo, Deva Reditya, Arya Pramanta, Ade Friska, Richard Draco, Mathias
Hotma, Koming Anantha, Niko Cahyadi, Bennydiktus, Adis Sutha,
Riandika, Gung Darma, Surya Radika, seluruh sahabat DKB dan Leak
Barak yang selalu memberikan dorongan dan semangat dalam membuat
skripsi ini.
17.Teman – teman Fakultas Hukum angkatan 2011 pada khususnya dan
seluruh civitas akademis yang telah banyak memberikan dorongan mental
dan semangat dalam membuat skripsi.
Akhir kata penulis harapkan skripsi ini dapat berguna dan bermanfaat bagi
semua pihak pada umumnya dan bagi perkembangan ilmu hukum pada khususnya.
Denpasar, 12 Januari 2016
x
DAFTAR ISI
HALAMAN COVER ... ii
HALAMAN PRASYARAT GELAR SARJANA HUKUM ... iii
HALAMAN PENGESAHAN DOSEN PEMBIMBING ... iv
HALAMAN PENGESAHAN PANITIA PENGUJI SKRIPSI………… .. v
KATA PENGANTAR ... vi
DAFTAR ISI ... x
HALAMAN SURAT PERNYATAAN KEASLIAN ... xiii
ABSTRAK ... xiv
ABSTRACT ... xv
BAB I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah ... 1
1.2 Rumusan Masalah ... 13
1.3 Ruang Lingkup Masalah ... 13
1.4 Orisinalitas ... 14
1.5 Tujuan Penelitian ... 15
1.5.1 Tujuan umum ... 16
1.5.2 Tujuan khusus ... 16
1.6 Manfaat Penelitian ... 16
xi
1.6.2 Manfaat praktis ... 17
1.7 Landasan Teoritis ... 17
1.8 Metode Penelitian ... 23
1.8.1 Jenis penelitian ... 23
1.8.2 Jenis pendekatan ... 24
1.8.3 Sumber bahan hukum... 24
1.8.4 Teknik pengumpulan bahan hukum ... 25
1.8.5 Teknik pengolahan dan analisis bahan hukum ... 25
BAB II. TINJAUAN UMUM TENTANG LEGALITAS TOKO MODERN DAN MINUMAN BERALKOHOL 2.1. Pengertian Toko Modern ... 26
2.1.1 Regulasi Bagi Toko Modern ... 28
2.1.2 Jenis dan Perbedaan Toko Modern ... 33
2.2. Pengertian Minuman Beralkohol ... 36
2.2.1 Pengadaan, Pengedaran dan Penjualan ... 38
2.2.2 Pengendalian Dan Pengawasan ... 40
BAB III. PENGATURAN PERIJINAN PENJUALAN MINUMAN BERALKOHOL 3.1. Perusahaan Yang Dapat Melakukan Pengadaan dari Luar Negeri ... 42
3.1.1 Ketentuan Sebagai Distributor . ... 44
xii
3.1.3 Tata Cara Permohonan Surat Izin Usaha Perdagangan. ... 48
BAB IV. KEPASTIAN HUKUM PERDAGANGAN MINUMAN
BERALKOHOL GOLONGAN A DI MINIMARKET
4.1. Persyaratan Sebagai Pengecer ... 51 4.2. Kewajiban Dan Larangan Bagi Pengecer ... 53
4.3. Tempat Penjualan Sesuai Dengan Peraturan Presiden. ... 54
BAB V. PENUTUP
5.1. Kesimpulan ... 57
5.2. Saran……… 58
DAFTAR PUSTAKA RINGKASAN
xiii
SURAT PERNYATAAN KEASLIAN
Dengan ini penulis menyatakan bahwa Karya Ilmiah/Penulisan
Hukum/Skripsi ini merupakan hasil karya asli penulis, tidak terdapat karya yang
pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi
manapun, dan sepanjang pengetahuan penulis juga tidak terdapat karya atau pendapat
yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh penulis lain, kecuali yang secara tertulis
diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.
Apabila Karya Ilmiah/Penulisan Hukum/Skripsi ini terbukti merupakan
duplikasi ataupun plagiasi dari hasil karya penulis lain dan/atau dengan sengaja
mengajukan karya atau pendapat yang merupakan hasil karya penulis lain, maka
penulis bersedia menerima sanksi akademik dan/atau sanksi hukum yang berlaku.
Demikian Surat Pernyataan ini saya buat sebagai pertanggungjawaban ilmiah
tanpa ada paksaan maupun tekanan dari pihak manapun juga.
Denpasar, 12 Januari 2016
Yang menyatakan
( A.A. Ngr. Yadnya Wirya R. P.)
xiv
ABSTRAK
Tulisan ini berjudullegalitas penjualan minuman beralkohol golongan A bagi pelaku usaha toko modern minimarket berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 74 Tahun 2013 dikaitkan dengan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 6 Tahun 2015. Penghapusan minimarket sebagai pengecer minuman beralkohol menimbulkan ketidakpastian hukum dalam melakukan kegiatan usaha. Tujuan dari penulisan ini, untuk menganalisa adanya konflik norma dalam Peraturan Presiden Nomor 74 Tahun 2013 tentang Pengendalian dan Pengawasan Minuman Beralkohol (Perpres No.74 Th.2013) yang mengijinkan minimarket menjual minuman beralkohol golongan A dengan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 06/M-DAG/PER/1/2015 tentang
Perubahan kedua atas Peraturan Menteri Perdagangan Nomor
20/M-DAG/PER/4/2014 tentang Pengendalian dan Pengawasan terhadap Pengadaan, Peredaran, dan Penjualan Minuman Beralkohol (Permendag No.06 Th.2015) yang menghapuskan minimarket sebagai penjual minuman beralkohol golongan A. Metode yang digunakan dalam tulisan ini metode penelitian normatif dengan menganalisa Perpres No.74 Th.2013 dengan Permendag No.06 Th.2015. Sehingga menimbulkan ketidakpastian hukum terhadap penjualan minuman beralkohol golongan A di minimarket. Kesimpulan tulisan ini peraturan menteri tidak boleh bertentangan dengan peraturan presiden, sehingga menimbulkan ketidakpastian hukum terhadap diperbolehkan atau dilarangnya minimarket sebagai penjual minuman beralkohol golongan A.
xv
ABSTRACT
This article entitled legality alcoholic beverages of class A for businesses modern store minimarket based on the Presidential Decree Number 74 Year 2013 tied with the Minister Of Trade Regulation Number 6 Year 2015 . To eliminated of the minimarket as retailers of alcoholic beverages to legal uncertainty in conducting business activities. The purpose of this paper, to analyze the existence of a conflict of norms in Presidential Decree Number 74 Year 2013 regarding the Control and Supervision of Alcoholic Beverages (Regulation 74 Year 2013) which allows minimarket selling alcoholic beverages group A with the Minister of Trade Regulation Number 06/M-DAG/PER/1/2015 on Second Amendment to the Regulation of the Minister of Trade Number 20 /M-DAG/PER/4/2014 on Control and Supervision of Procurement, Distribution, and Sale of Alcoholic Beverages (Regulation Number 06 Year 2015) which abolished minimarket as sellers of alcoholic beverages group A. The method used in this paper by analyzing normative research methods Presidential Regulation 74 Year 2013 with Minister of Trade Regulation Number 06 Year 2015. Giving rise to legal uncertainty for the sale of alcoholic beverages in class A minimarket. Conclusion of this article that ministerial regulations must not conflict with the presidential decree, cause giving rise to legal uncertainty allowed or prohibiting minimarket as a seller of alcoholic beverages class A.
1 BAB I
PENDAHULUAN
1.1.Latar Belakang Masalah
Pembangunan mempunyai banyak aspek dan dimensi, seperti politik,
ekonomi, sosial, budaya dan hukum. Suatu bangsa memasuki tahap negara
kesejahteraan ditandai dengan berkembangnya hukum yang melindungi pihak
yang lemah. Diantara aspek tersebut, pembangunan ekonomi merupakan aspek
yang memiliki dimensi yang lebih menonjol dan konkrit karena dampaknya
dirasakan secara langsung oleh masyarakat. Pertumbuhan ekonomi yang demikian
cepat dan maju, menyebabkan banyak regulasi oleh pemerintah pusat maupun
pemerintah daerah menerbitkan kebijakan – kebijakan yang belum dapat
dilaksanakan dan berakibat tidak adanya jaminan kepastian hukum yang
berkeadilan bagi masyarakat. Kebijakan – kebijakan yang dituangkan dalam
peraturan perundang – undangan yang berkenaan untuk perlindungan berbagai
pihak tersebut, dengan mengoreksi industrialisasi yang tidak selalu memberikan
kebaikan kepada semua golongan masyarakat. Sektor informal telah banyak
menerima tenaga kerja yang pindah dari sektor agraris tetapi tidak dapat
ditampung oleh sektor industri dan merupakan salah satu motor penggerak
ekonomi rakyat.
Melalui bidang hukum, sektor ini bisa menjadi formal dalam bentuk usaha
– usaha kecil. Berbagai usaha kecil ini dalam tahap berikutnya terkait dengan
usaha – usaha besar, yang mengharapkan adanya kerjasama yang saling
2
bentuk perizinan khusus untuk sektor informal, fasilitas hukum dalam
hubungannya dengan hak milik, kontrak, dan sebagainya. Keterkaitan usaha besar
dengan usaha kecil, bukan berdasarkan atas belas kasihan, tetapi menjadi suatu
keharusan dalam negara demokrasi Pancasila berasaskan kekeluargaan. Sektor
informal yang paling banyak diminati untuk menunjang perekonomian dengan
melakukan jual beli, karena mendapatkan keuntungan yang dapat dimanfaatkan
secara langsung. Kegiatan jual beli dalam sejarah suatu bangsa dilakukan pada
pasar. Dalam kegiatan jual beli, keberadaan pasar merupakan salah satu hal yang
paling penting karena menjadi tempat untuk melakukan kegiatan tersebut selain
menjadi salah satu indikator utama kegiatan ekonomi masyarakat di suatu
wilayah. Di Indonesia telah lama mengenal pasar sama halnya dengan bangsa –
bangsa lain di dunia, yang dikenal lebih dulu dengan nama pasar tradisional.
Berdasarkan Kamus Bahasa Indonesia pasar berarti tempat orang berjual beli,
sedangkan tradisional dimaknai sikap dan cara berpikir serta bertindak yang selalu
berpegang kepada norma dan adat kebiasaan yang ada secara turun temurun.
Berdasarkan arti diatas, maka pasar tradisional adalah tempat orang berjual beli
yang berlangsung di suatu tempat berdasarkan kebiasaan.
Di Indonesia, keberadaan pasar tradisional bukan melakukan urusan
ekonomi tetapi lebih jauh kepada norma, ranah budaya, sekaligus peradaban yang
berlangsung sejak lama di berbagai wilayah di Indonesia. Sebagai pusat kegiatan
sosial ekonomi kerakyatan, pola hubungan ekonomi yang terjadi di pasar
tradisional menghasilkan terjalinnya interaksi sosial yang akrab antara pedagang –
3
warisan sosial representasi kebutuhan bersosialisasi antar individu. Dengan luas
wilayah masing – masing daerah di Indonesia yang sangat luas, pasar tradisional,
hanya dapat dilakukan pada satu tempat tertentu untuk melayani satu daerah
pedesaan dengan waktu yang terbatas. Akibat jarak dan waktu yang terbatas,
menyebabkan timbulnya warung – warung kecil untuk memenuhi kebutuhan
masyarakat setiap saat di wilayah lingkungannya masing – masing. Warung –
warung kecil tersebut masih tetap keberadaanya pada beberapa wilayah di
Indonesia sampai sekarang, yang sudah semakin berkurang perkembangannya
setiap tahun akibat modernisasi di bidang perekonomian. Pasar dan warung
tradisional mempunyai fungsi dan peranan yang tidak hanya sebagai tempat
perdagangan tetapi juga sebagai peninggalan kebudayaan yang telah ada sejak
masa lalu. Tanpa disadari bahwa pasar dan warung tradisional bukan satu –
satunya menjadi tempat bertemunya penjual dan pembeli sebagai pusat
perdagangan di masa sekarang, dengan adanya kegiatan usaha konsep asal yang
sama dengan pelayanan dan memberikan pilihan yang lebih banyak kepada
masyarakat.
Semakin banyaknya pusat perdagangan lain seperti pasar modern yang
berupa toko modern, supermarket dan pusat perbelanjaan, membuat pasar dan
warung tradisional ini terpinggirkan oleh arus modernisasi. Pemenuhan kebutuhan
hidup itu merupakan tujuan dari kegiatan untuk memenuhi kebutuhan sandang,
pangan dan papan yang dapat memberikan perlindungan kepada keluarga atau
dirinya bersamaan dengan pemenuhan kebutuhan yang sama dari masyarakat
4
antara lain kemajuan hal meningkatnya kesejahteraan rakyat. Tidak menutup
kemungkinan bahwa kesejahteraan rakyat yang dimaksud hanya dapat dirasakan
oleh kelompok atau golongan tertentu, akibat banyaknya rakyat golongan
ekonomi lemah yang merupakan hambatan dan permasalahan tersendiri dalam
usaha negara untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat secara merata. Kemajuan
suatu negara atau masyarakat dapat disebabkan oleh kemajuan negara lain. Dalam
konteks yang lebih luas dapat dikatakan bahwa perkembangan ekonomi dunia saat
ini bergerak sangat cepat dan dinamis. Arus globalisasi merupakan faktor
penggerak kemajuan karena negara – negara saling berhubungan antara satu
dengan yang lain yang secara bersama – sama pula meningkatkan pembangunan
ekonomi. Menurut William Irwin Thomson,1 bahwa dengan dukungan teknologi
dan informasi kecepatan perubahan tidak lagi menghitung abad, tahun, atau bulan,
tetapi dapat terjadi setiap hari.
Pada dasa warsa terakhir ini atau sering disebut sebagai era globalisasi, batas
nonfisik antarnegara semakin sulit untuk membedakannya dan bahkan cenderung
tanpa batas atau borderless state. Dampak yang sangat terasa dengan terjadinya
globalisasi yakni arus informasi begitu cepat sampai ke masyarakat, yang
merupakan pengaruh terhadap cara hidup untuk memenuhi kebutuhan sehari –
hari. Adanya kesenjangan antara total jumlah penduduk Indonesia yang cukup
besar, menjadikan pasar modern melihat peluang untuk membuka kegiatan usaha
yang langsung berhadapan dengan masyarakat melakukan kegiatan jual beli dalam
bentuk yang lebih kecil melalui jenis toko modern. Kegiatan yang dilakukan
5
dengan menjual eceran kepada masyarakat langsung disebut dengan kegiatan
usaha retail. Perbedaan antara konsep tradisional dan modern dalam melakukan
transaksi jual beli terletak pada penawaran dan harga. Pada pasar atau warung
yang bersifat tradisional tempat bertemunya penjual dan pembeli, terjadinya
kesepakatan harga dan terjadinya transaksi setelah melalui proses tawar menawar
harga, akan tetapi kenyamanan terhadap konsumen tidak menjadi perhatian pada
konsep ini. Sedangkan pada pasar atau toko modern, penjual dan konsumen tidak
melakukan transaksi secara langsung melainkan konsumen telah disediakan harga
yang tertera pada barang – barang yang telah tersedia dan melayani diri sendiri
tanpa adanya penawaran yang berakhir dengan transaksi di ruangan yang bersih
dengan mengutamakan kenyamanan dalam pelayanan. Kompleksitas ini semakin
bertambah manakala dihubungkan dengan pola interaksi kegiatan usaha yang
terjalin di masyarakat modern. Implikasi ini telah mengubah wajah perdagangan
dan perekonomian dunia menjadi bentuk kegiatan usaha dalam perkampungan
global atau business in global village. Kondisi ini dengan tepat digambarkan oleh
Daniel Davidson,2 “We are so economically interdependent on one another that
so we live in global village”. Globalisasi ekonomi berarti terintegrasinya ekonomi
berbagai negara menjadi seolah – olah tanpa dibatasi oleh kedaulatan negara.
Salah satu ciri kegiatan usaha yang paling dominan pada globalisasi ekonomi
adalah sifatnya bergerak cepat, baik dalam transaksi maupun pergerakan arus
barang dan modal. Hal ini mempengaruhi pula terhadap berbagai peraturan di
bidang kegiatan usaha ekonomi yang dengan cepat pula mengalami perubahan.
6
Globalisasi ekonomi yang ditandai dengan adanya keterbukaan perekonomian
dialami hampir semua negara di dunia saat ini, telah membuat sistem
perekonomian menjadi terbuka bebas. Apabila perekonomian didasarkan pada
mekanisme pasar, maka akan tercipta suatu keseimbangan atau equilibrium.
Di tengah arus globalisasi, kita tidak dapat melupakan kehidupan kenegaraan
dimana tiga bidang yang saling terkait dan tidak dapat dipisahkan. Ketiga bidang
itu ialah hukum, ekonomi dan politik. Ekonomi dipengaruhi oleh hukum, hukum
dipengaruhi oleh politik, politik dipengaruhi oleh ekonomi, dan begitu pula
sebaliknya. Kebutuhan akan sistem hukum, sistem ekonomi, dan sistem politik
yang stabil merupakan syarat utama dalam membangun suatu negara yang
memiliki perekonomian yang kuat, terlebih lagi bagi negara yang sedang
berkembang seperti halnya Indonesia. Konsep hukum menurut Abdulkadir
Muhammad,3 “Hukum adalah segala aturan yang menjadi pedoman perilaku
setiap orang dalam hubungan hidup bermasyarakat atau bernegara disertai sanksi
yang tegas apabila dilanggar”. Peraturan hukum meliputi dari tingkat yang
tertinggi, yaitu undang – undang dasar sampai tingkat yang terendah, yaitu
peraturan daerah tingkat kabupaten/ kota, yang menjadi pedoman perilaku setiap
orang maupun pelaku usaha. Kebutuhan akan suatu sistem yang sistematis
merupakan kebutuhan yang mendasar bagi suatu negara. Hukum tanpa berjalan di
jalur yang berfungsi sebagai pondasi, tidak akan berfungsi dengan baik.
Begitupun halnya dengan ekonomi, tanpa adanya dukungan oleh suatu sistem
tidak akan dapat mencapai tujuan sesuai dengan harapan. Walaupun bidang
7
hukum dan ekonomi merupakan bidang kehidupan yang bersifat mandiri, namun
di dalam kenyataannya hukum dan ekonomi terkait sangat erat dan saling
mempengaruhi. Hubungan saling terkait ini selalu dapat kita temukan di dalam
kehidupan sehari – hari, dalam pergaulan bermasyarakat, berbangsa, dan
bernegara. Hukum berfungsi sebagai pedoman mengatur perilaku dan perbuatan
orang atau badan hukum dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Secara
umum tujuan hukum untuk:4
a. Menciptakan keamanan, ketertiban, dan keteraturan;
b. Mewujudkan keadilan dan kesejahteraan masyarakat;
c. Menegakkan hukum secara konsisten dan tanpa diskriminasi; serta
d. Menghargai dan menghormati hak – hak asasi manusia.
Dalam rangka pembangunan ekonomi suatu negara berkembang, hukum harus
berperan secara optimal. Agar hukum dapat berjalan dengan optimal, maka
diperlukan hukum dalam bentuk yang sistematik. Ini berarti negara berkembang
memerlukan suatu sistem hukum yang sistematis. Aspek kelembagaan bagi
eksistensi pelaku ekonomi juga memerlukan landasan hukum. Hukum yang
memberi landasan kelembagaan usaha sesuai dengan Undang – Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang selanjutnya akan disingkat UUD
1945 yaitu pelaku usaha swasta, koperasi, Badan Usaha Milik Negara atau
BUMN, dan Badan Usaha Milik Daerah atau BUMD, yang telah ditetapkan dalam
peraturan perundang – undangan. Bahwa diperlukan peraturan perundang –
undangan yang mengatur bentuk konglomerasi pelaku ekonomi, seperti pelaku
8
usaha swasta dalam bentuk organisasi jaringan, multinasional dan sebagainya.
Aspek kelembagaan pelaku usaha memerlukan landasan hukum yang menegaskan
hak dan kewajibannya sebagai entitas bisnis serta ketentuan hukum yang memberi
pengaturan pada pengelolaannya.
Perkembangan pasar modern dalam negeri bertambah sangat pesat, yang
diawali dengan diterbitkannya Keputusan Presiden Nomor 96 Tahun 2000 tentang
bidang usaha tertutup dan terbuka bagi penanaman modal asing yang selanjutnya
akan disingkat dengan Keppres Nomor 96 Tahun 2000. Dalam kebijakan tersebut,
usaha perdagangan eceran merupakan salah satu bidang usaha yang terbuka bagi
pihak asing. Bagi pedagang besar internasional, kebijakan tersebut jelas
merupakan peluang yang sangat menjanjikan, karena Indonesia mempunyai pasar
yang sangat potensial. Oleh sebab itulah maka peraturan perundang – undangan
mengenai pasar modern dan pasar tradisional yang memberikan landasan hukum
bagi pelaku usaha tersebut diatas dengan semakin berkembangnya usaha
perdagangan, diterbitkan Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 112
Tahun 2007 tentang Penataan dan Pembinaan Pasar Tradisional, Pusat
Perbelanjaan, dan Toko Modern yang selanjutnya akan disingkat dengan Perpres
Nomor 112 Tahun 2007. Perpres Nomor 112 Tahun 2007 merupakan pengganti
ketentuan mengenai Penataan dan Pembinaan Pasar dan Pertokoan dalam
Keputusan Bersama Menteri Perindustrian dan Perdagangan dan Menteri Dalam
Negeri Nomor 145/ MPP/ 1997 dan Nomor 57 Tahun 1997 yang merupakan
peraturan pelaksana terhadap kegiatan pelaku usaha toko modern di Indonesia.
9
usaha perdagangan eceran dalam skala kecil dan menengah, usaha perdagangan
eceran modern dalam skala besar, maka perlu dikembangkan secara serasi
pertumbuhan ekonomi pelaku usaha tersebut diatas, dengan saling memerlukan,
saling memperkuat dan saling menguntungkan.
Pasal 1 angka 1 Perpres Nomor 112 Tahun 2007 mencantumkan bahwa,
“Pasar adalah area tempat jual beli barang dengan jumlah penjual lebih dari satu
baik yang disebut pusat perbelanjaan, pasar tradisional, pertokoan, mall, plasa,
pusat perdagangan maupun sebutan lainnya”. Sudah ada perubahan pengertian
terhadap pasar, yang dikenal sejak jaman dahulu secara normatif dengan
diterbitkannya Perpres Nomor 112 Tahun 2007. Mengenai pasar modern
dijelaskan pada Pasal 1 angka 5 yaitu, “Toko modern adalah toko dengan sistem
pelayanan mandiri, menjual berbagai jenis barang secara eceran yang berbentuk
Minimarket, Supermarket, Department Store, Hypermarket ataupun grosir yang
berbentuk perkulakan”. Jadi pasar modern disamakan melalui pengertian toko
modern yang dikenal dengan sebutan seperti diatas.
Perpres Nomor 112 Tahun 2007, ini untuk mengatur toko modern secara
nasional termasuk mengenai kebijakan sistem penjualan dan jenis barang
dagangan. Pasal 3 ayat (3) Perpres Nomor 112 Tahun 2007 menegaskan bahwa,
Sistem penjualan dan jenis barang dagangan toko modern adalah sebagai berikut:
a. Minimarket, Supermarket dan Hypermarket menjual secara eceran barang konsumsi terutama produk makanan dan produk rumah tangga lainnya; b. Department Store menjual secara eceran barang konsumsi utamanya
produk sandang dan perlengkapannya dengan penataan barang berdasarkan jenis kelamin dan/ atau tingkat usia konsumen; dan
10
Untuk memberikan kepastian hukum terhadap pasar tradisional, pusat
perbelanjaan dan toko modern, Pasal 14 Perpres Nomor 112 tahun 2007
mencantumkan, “ Menteri membuat pedoman tata cara perizinan untuk
melakukan usaha pasar tradisional, pusat perbelanjaan dan toko modern”. Dengan
ketentuan Pasal 14 Perpres Nomor 112 Tahun 2007, menteri perdagangan
menerbitkan Peraturan Menteri Perdagangan yang selanjutnya akan disingkat
dengan Permendag Nomor 53/ M-DAG/ PER/ 12/ 2008 tentang Pedoman
Penataan dan Pembinaan Pasar Tradisional, Pusat Perbelanjaan dan Toko Modern,
yang telah diganti dengan Permendag Nomor 70/ M-DAG/ PER/ 12/ 2013.
Dengan adanya peraturan perundang – undangan mengenai toko modern,
jenis barang dagangan minuman beralkohol sebagai salah satu jenis barang
dagangan yang dapat diperjual belikan secara eceran pada toko modern, perlu
dibuatkan suatu kebijakan baru setelah adanya Putusan Mahkamah Agung Nomor
42 P/ HUM/ 2012 yang menyatakan Keputusan Presiden yang selanjutnya akan
disingkat dengan Keppres Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengawasan dan
Pengendalian Minuman Beralkohol, tidak sah dan tidak mempunyai kekuatan
hukum. Maka dipandang perlu untuk mengatur kembali pengendalian dan
pengawasan terhadap pengadaan, peredaran, dan penjualan minuman beralkohol
sehingga dapat memberikan perlindungan serta menjaga kesehatan, ketertiban dan
ketentraman masyarakat dari dampak buruk terhadap penyalahgunaan minuman
beralkohol. Untuk itu diterbitkanlah Perpres Nomor 74 Tahun 2013 tentang
11
Minimarket sebagai salah satu jenis toko modern merupakan salah satu
tempat yang diperbolehkan untuk menjual minuman beralkohol golongan A
sebagai toko pengecer yang dicantumkan pada Pasal 7 ayat (3) Perpres Nomor 74
Tahun 2013 yaitu minuman berallkohol golongan A juga dapat dijual di toko
pengecer dalam bentuk kemasan. Sama halnya dengan Perpres Nomor 112 Tahun
2007 tentang Penataan dan Pembinaan Pasar Tradisional Pusat Perbelanjaan dan
Toko Modern, menteri perdagangan diberikan mandat untuk membuat kebijakan
mengenai pengendalian dan pengawasan minuman beralkohol yang tercantum
pada Pasal 9 Perpres Nomor 74 Tahun 2013. Untuk melaksanakan ketentuan Pasal
9 Perpres Nomor 74 Tahun 2013 tersebut, maka diterbitkan Permendag Nomor
20/ M-DAG/ PER/ 4/ 2014 Tentang Pengendalian dan Pengawasan terhadap
Pengadaan, Peredaran, dan Penjualan Minuman beralkohol. Permendag Nomor
20/ M-DAG/ PER/ 4/ 2014 mencantumkan pada Pasal 1 angka 3 bahwa,
”Perusahaan adalah setiap bentuk usaha perseorangan atau badan usaha yang
dimiliki oleh Warga Negara Indonesia dan berkedudukan di wilayah Negara
Republik Indonesia, baik yang berbentuk badan hukum atau bukan badan hukum
yang melakukan kegiatan usaha perdagangan Minuman Beralkohol”. Sangat jelas
diatur bahwa yang dapat melakukan kegiatan usaha perdagangan minuman
beralkohol dengan bentuk usaha perseorangan atau badan usaha baik yang
berbadan hukum maupun yang bukan berbadan hukum. Untuk toko modern jenis
minimarket agar dapat melakukan penjualan minuman beralkohol secara eceran
12
yang disingkat SKPL – A yang disebutkan pada Pasal 1 angka 19 Permendag
Nomor 20/ M-DAG/ PER/ 4/ 2014.
Adanya penghapusan bagi minimarket sebagai penjual langsung minuman
beralkohol golongan A melalui Permendag Nomor 06/ M-DAG/ PER/ 1/ 2015
Tentang Perubahan Kedua Atas Permendag Nomor 20/ M-DAG/ PER/ 4/ 2014,
dapat mengganggu perkembangan toko modern jenis minimarket yang semakin
berkembang dengan kemandirian bagi pelaku usaha mikro, kecil dan menengah
mengikuti kegiatan usaha perdagangan yang dikuasai oleh pihak asing melalui
jaringan toko modern yang dapat membuat persaingan tidak sehat dan ketidak
adilan bagi pelaku usaha minimarket secara mandiri. Perubahan terhadap Pasal 14
ayat (3) Permendag Nomor 20/ M-DAG/ PER/ 4/ 2014 yang mencantumkan
minimarket, supermarket, hypermarket, toko pengecer lainnya dapat menjual
minuman beralkohol golongan A, menjadi hanya dapat dijual di supermarket dan
hypermarket pada Permendag Nomor 06/ M-DAG/ PER/ 1/ 2015 Tentang
Perubahan Kedua Atas Permendag Nomor 20/ M-DAG/ PER/ 4/ 2014.
Berdasarkan hal tersebut diatas mengingat arti penting UMKM terhadap
pertumbuhan ekonomi di Indonesia khususnya dalam menjalankan kegiatan usaha
untuk mendapatkan keuntungan dengan berasaskan kemandirian dan perlindungan
hukum terhadap UMKM maka diperlukannya suatu penelitian hukum yang
bersifat normatif untuk mengkaji Permendag Nomor 06 Tahun 2015 dan Perpres
Nomor 74 Tahun 2013 dengan menuangkan hasilnya dalam bentuk skripsi dengan
13
“Legalitas Penjualan Minuman Beralkohol Golongan A Bagi Pelaku
Usaha Toko Modern Minimarket Berdasarkan Peraturan Presiden Nomor
74 Tahun 2013 Dikaitkan Dengan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 6
Tahun 2015”
1.2.Rumusan Masalah
1. Apakah pengaturan perijinan usaha perdagangan minuman beralkohol
golongan A bagi minimarket sesuai dengan Perpres Nomor 74 Tahun
2013 dapat dihapuskan menurut Permendag Nomor 06 Tahun 2015 ?
2. Apakah minimarket yang masih menjual minuman beralkohol golongan A
dapat dikenakan sanksi menurut Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 6
Tahun 2015?
1.3.Ruang Lingkup Masalah
Dengan melihat rumusan permasalahan diatas, untuk memperoleh hasil
yang lebih mendalam pembahasan hanya pada ruang lingkup dari regulasi
toko modern jenis minimarket terhadap pengendalian dan pengadaan
minuman beralkohol golongan A. Maka dalam penulisan ini terbatas pada
kebijakan yang diberikan kepada pelaku usaha besar dalam negeri maupun
asing dengan peraturan yang ditetapkan oleh kementerian Perdagangan
sebagai penjual eceran minuman beralkohol golongan A.
Berkaitan dengan permasalahan yang kedua mengenai perlindungan
hukum bagi pelaku usaha, yang masih melakukan kegiatan usaha sebagai
pengecer minuman beralkohol golongan A oleh pelaku usaha toko modern
14
1.4.Orisinalitas
Berdasarkan penelusuran terhadap judul penelitian adapun dalam
penelitian kali ini, peneliti akan menampilkan 1 (satu) skripsi dan 1 (satu)
thesis terdahulu yang pembahasannya berkaitan dengan “Legalitas Penjualan
Minuman Beralkohol Golongan A Bagi Pelaku Usaha Toko Modern
Minimarket Berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 74 Tahun 2013
Dikaitkan Dengan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 6 Tahun 2015”.
Dalam rangka menumbuhkan semangat anti plagiat didalam dunia pendidikan
di Indonesia, maka mahasiswa diwajibkan untuk mampu mewujudkan
orisinalitas dari penelitian yang sedang ditulis dengan menampilkan beberapa
judul penelitian skripsi dan thesis atau disertasi terdahulu sebagai
15
dengan menggunakan kaidah dan metode ilmiah dalam pengembangan ilmu
16
gejala hukum tertentu.5 Adapun yang menjadi tujuan dalam penelitian ini
adalah:
1.5.1 Tujuan umum
1. Untuk mengetahui secara umum surat izin usaha minuman beralkohol
golongan A bagi minimarket sesuai dengan peraturan presiden.
2. Untuk mengetahui secara umum perlindungan hukum terhadap pelaku
usaha toko modern jenis minimarket yang masih menjual jenis barang
minuman beralkohol golongan A.
1.5.2 Tujuan khusus
1. Untuk lebih memahami secara mendalam mengenai surat izin usaha
minuman beralkohol golongan A bagi minimarket sesuai dengan
peraturan presiden.
2. Untuk lebih memahami secra mendalam mengenai perlindungan
hukum terhadap pelaku usaha toko modern jenis minimarket yang
masih menjual jenis barang minuman beralkohol golongan A.
1.6.Manfaat Penelitian
Oleh karena penelitian merupakan suatu sarana ilmiah bagi
pengembangan ilmu pengetahuan, sudah tentu manfaat yang diharapkan dari
penelitian ini adalah:
17
1.6.1. Manfaat Teoritis
Penelitian ini diharapakan dapat dijadikan bahan kajian atau bahan
penelitian lebih lanjut serta sebagai tambahan pengetahuan mengenai
pelaku usaha toko modern jenis minimarket.
1.6.2. Manfaat Praktis
Penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai pedoman dan dasar
pelaksanaan pengendalian dan pengawasan minuman beralkohol golongan
A bagi pengecer, agar mengetahui hak dan kewajiban pemasok maupun
pengecer berdasarkan ketentuan – ketentuan dan asas – asas yang berlaku
terhadap pengendalian dan pengawasan minuman beralkohol golongan A.
1.7.Landasan Teoritis
Hukum mengatur dan menguasai kehidupan didalam berbangsa dan
bernegara. Ilmu hukum mempunyai hakikat interdisipliner. Hakikat ini kita
ketahui dari digunakannya berbagai disiplin ilmu pengetahuan untuk membantu
menerangkan berbagai aspek yang berhubungan dengan kehadiran hukum di
masyarakat.6 Adanya landasan teoritis sangat diperlukan dalam suatu penulisan
karya ilmiah yang bertujuan untuk membantu penelitian dalam menentukan tujuan
dan arah penelitian, memilih konsep yang tepat dalam pokok permasalahan yang
dikaji.
Untuk dapat menjual minuman beralkohol, pelaku usaha wajib memiliki
Surat Izin Usaha Perdagangan Minuman Beralkohol yang selanjutnya disingkat
disingkat SIUP-MB adalah surat izin untuk dapat melaksanakan kegiatan usaha
18
perdagangan khusus minuman beralkohol. Pelaku usaha yang memperdagangkan
minuman beralkohol golongan A wajib memiliki SIUP-MB, dan apabila sekaligus
sebagai pengecer juga wajib memiliki Surat Keterangan Penjual Langsung
Minuman Beralkohol golongan A yang selanjutnya disebut SKPL-A. Bahwa
minimarket sebagai pengecer minuman beralkohol golongan A wajib memiliki
kedua izin tersebut.
Menurut ahli hukum Belanda N.M. Spelt dan J.B.J.M. ten Berge,7 izin
merupakan suatu persetujuan dari penguasa berdasarkan undang – undang atau
peraturan pemerintah untuk keadaan tertentu menyimpang dari ketentuan larangan
perundang – undangan, pengertian izin dalam arti sempit. Berdasarkan pendapat
ini, izin tidak dapat melakukan usaha kecuali diizinkan. Jadi, kegiatan terhadap
suatu objek tertentu pada dasarnya dilarang. Seseorang atau badan hukum dapat
melakukan usaha atau kegiatan atas objek tersebut jika mendapat dari pemerintah
pusat atau pemerintah daerah yang mengikatkan perannya dalam kegiatan yang
dilakukan oleh orang atau pihak yang bersangkutan. Menurut Prajudi
Atmosudirdjo,8 izin atau vergunning adalah suatu penetapan yang merupakan
dispensasi pada suatu larangan oleh undang – undang. Selanjutnya larangan
tersebut diikuti dengan perincian syarat – syarat, kriteria, dan sebagainya yang
perlu dipenuhi oleh pemohon untuk mendapat izin, disertai dengan penetapan
prosedur dan petunjuk pelaksanaan kepada pejabat – pejabat administrasi negara
yang bersangkutan. Ketentuan tentang perizinan mempunyai fungsi, yaitu sebagai
19
penertib dan sebagai pengatur. Penertib maksudnya agar usaha atau kegiatan tidak
bertentangan satu sama lain, sehingga ketertiban dapat terwujud.
Adrian Sutedi menyatakan, sebagai pengatur dimaksudkan agar usaha atau
kegiatan yang dapat dilaksanakan sesuai dengan peruntukkan.9 Perizinan adalah
intsrumen yang manfaatnya ditentukan oleh tujuan dan prosedur yang ditetapkan
oleh pemerintah. Jika perizinan hanya dimaksudkan sebagai sumber pendapatan,
akan memberikan dapat negatif atau disinsentif bagi pembangunan. Secara
teoretis, perizinan memiliki beberapa fungsi;10
Pertama, sebagai instrumen rekayasa pembangunan. Pemerintah dapat membuat regulasi dan keputusan yang memberikan insentif bagi pertumbuhan sosial ekonomi.
Kedua, fungsi keuangan atau budgetering, yaitu menjadi sumber pendapatan bagi negara. Pemberian izin dilakukan dengan kontraprestasi berupa retribusi perizinan.
Ketiga, fungsi pengaturan atau reguleren, yaitu menjadi instrumen pengaturan tindakan dan perilaku masyarakat.
Adanya penghapusan bagi toko modern jenis minimarket sebagai pengecer
jenis barang minuman beralkohol golongan A, dapat menimbulkan kerugian bagi
pelaku usaha minimarket yang tidak memiliki perjanjian distribusi terhadap
pengembalian barang yang tidak dapat diperjual belikan. Bagi pelaku usaha toko
modern jenis minimarket untuk menjadi pengecer dapat ditunjuk langsung oleh
distributor atau pemasok hanya dengan menandatangani pakta integritas penjualan
minuman beralkohol golongan A, tanpa membuat perjanjian yang memberikan
perlindungan hukum bagi kedua belah pihak. Pakta integritas penjualan minuman
beralkohol golongan A tersebut merupakan kebijakan dari pemerintah, yang
9 Adrian Sutedi, 2010, Hukum Perizinan dalam Sektor Pelayanan Publik, Sinar Grafika, Jakarta, h. 193.
20
formatnya sudah diatur melalui lampiran Permendag mengatur tentang sanksi
yang akan diberikan kepada pengecer apabila melanggar ketentuan di dalam
melakukan penjualan minuman beralkohol golongan A. Pakta integritas tidak
mengatur mengenai hak yang bagi pelaku usaha minimarket, hanya kewajiban
yang harus dijalankan dalam melakukan penjualan minuman beralkohol golongan
A. Jadi, sangat jelas bahwa Pakta integritas bukan perikatan atau perjanjian yang
dibuat oleh distributor sebagai pemasok dan pelaku usaha minimarket sebagai
penjual eceran minuman beralkohol golongan A.
Dalam teori hukum, perjanjian dengan perikatan adalah dua hal yang
berbeda, meskipun keduanya memiliki ciri yang hampir sama. Perbedaannya
tersebut sebagai berikut:11
1. Perjanjian
a. menimbulkan perikatan atau melahirkan perikatan
b. perjanjian lebih konkret daripada perikatan, artinya perjanjian itu dapat
dilihat dan didengar
c. pada umumnya perjanjian merupakan hubungan hukum bersegi dua,
artinya akibat hukum dikehendaki oleh kedua belah pihak. Hal ini
bermakna bahwa hak dan kewajiban dapat dipaksakan. Pihak – pihak
berjumlah lebih dari atau sama dengan 2 sehingga bukan pernyataan
sepihak, dan merupakan perbuatan hukum.
sedangkan,
2. Perikatan
21
a. perikatan adalah isi perjanjian
b. perikatan merupakan pengertian yang abstrak
c. bersegi satu, hal ini berarti belum tentu menimbulkan akibat hukum
karena hak salah satu pihak tidak dapat dituntut, tidak dapat dipaksa
pemenuhannya dan merupakan perbuatan hukum biasa.
Dalam mengkaji lebih lanjut mengenai fakta integritas dengan menggolongkannya
sebagai perjanjian sepihak dalam tulisan ini, bahwa terdapat beberapa asas – asas
yang penting dalam hukum perjanjian yaitu:12
a. Asas kebebasan berkontrak
Setiap orang bebas mengadakan perjanjian apa saja, baik yang sudah diatur maupun yang belum diatur dalam undang – undang. Akan tetapi, kebebasan tersebut dibatsai oleh tiga hal, yaitu tidak dilarang undang – undang, tidak bertentangan dengan ketertiban umum, dan tidak bertentangan dengan kesusilaan.
b. Asas pelengkap
Asas ini mempunyai arti bahwa ketentuan undang – undang boleh tidak diikuti apabila pihak – pihak menghendaki dan membuat ketentuan sendiri yang menyimpang dari ketentuan undang – undang. Asas ini hanya mengenai rumusan hak dan kewajiban para pihak.
c. Asas konsensual
Asas ini mempunyai arti bahwa perjanjian itu terjadi sejak saat tercapai kata sepakat (konsensus) antara pihak – pihak mengenai pokok perjanjian. Sejak saat itu perjanjian mengikat dan mempunyai akibat hukum.
d. Asas obligatoir
Asas ini mempunyai arti bahwa perjanjian yang dibuat oleh pihak – pihak itu baru dalam taraf menimbulkan hak dan kewajiban saja, belum mengalihkan hak milik. Hak milik baru beralih apabila dilakukan dengan perjanjian yang bersifat kebendaan (zakelijke overeenkomst), yaitu melalui penyerahan (levering).
Dengan pengertian perusahaan yang tercantum pada Permendag Nomor 20/
M-DAG/ PER/ 4/ 2014, bahwa perusahaan adalah setiap bentuk usaha perseorangan
22
atau badan usaha yang dimiliki oleh warga negara Indonesia dan berkedudukan di
wilayah Negara Republik Indonesia, baik yang berbentuk badan hukum atau
bukan badan hukum yang melakukan kegiatan usaha perdagangan minuman
beralkohol, dalam penelitian ini penulis menggunakan teori – teori badan hukum
untuk mengetahui hakikat badan hukum yang mempunyai hak – hak dan
kewajiban – kewajiban. Menurut Titik Triwulan Tutik, teori – teori badan hukum
sebagai berikut:13
• Teori Fictie
Menurut teori ini badan hukum itu semata – semata buatan negara saja. Hanyalah fictie yakni sesuatu yang sesungguhnya tidak ada, tetapi orang menghidupkannya dalam bayangan sebagai subjek hukum yang dapat melakukan perbuatan hukum seperti orang.
• Teori Harta Kekayaan Bertujuan (doel vermogenstheorie)
Menurut teori ini hanya manusia saja yang dapat menjadi subjek hukum. Namun teori ini, ada kekayaan (vermogen) yang bukan merupakan kekayaan seseorang, tetapi kekayaan itu terikat pada tujuan tertentu.
• Teori Organ (Organnen Theory) dari Otto’van Gierke
Badan hukum menurut teori ini bukan abstrak (fiksi) dan bukan kekayaan (hak) yang tidak bersubjek. Tetapi badan hukum adalah suatu organisme yang riil, yang menjelma sungguh – sungguh dalam pergaulan hukum, yang dapat membentuk kemauan sendiri dengan perantaraan alat – alat yang ada padanya.
• Teori Pemilikan Bersama (Propriete Collectief Theory)
Propriete Collectief Theory disebut juga Gezammenlijke Eigendoms Theori. Menurut teori ini hak dan kewajiban badan hukum pada hakikatnya adalah hak dan kewajiban orang – orang didalam badan tersebut secara bersama – sama. Kekayaan badan hukum adalah kepunyaan bersama – sama anggotanya.
• Teori Kenyataan Yuridis (Juridische Realiteitsleer Theorie)
Teori ini menyatakan bahwa badan hukum itu merupakan suatu realiteit, konkret, riil, walaupun tidak bisa diraba, bukan khayal, tetapi merupakan kenyataan yuridis. Teori ini mengutamakan bahwa hendaknya dalam mempersamakan badan hukum dengan manusia terbatas sampai pada bidang hukum saja.
23
1.8.Metode Penelitian
Penelitian hukum adalah segala aktifitas seseorang untuk menjawab
permasalahan hukum yang bersifat akademik dan praktis, baik yang bersifat
asas- asas hukum, norma – norma hukum yang hidup dan berkembang dalam
masyarakat yang berkenaan dengan kenyataan hukum dalam masyarakat.14
Untuk Penelitian ini menggunakan metode yaitu melalui:
1.8.1 Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian
hukum normatif, berawal dari adanya ketidakselarasan dalam norma
peraturan perundang – undangan yang menyebabkan peraturan perundang
– undangan tersebut menjadi konflik norma. Menurut Peter Mahmud
Marzuki,15
“Penelitian hukum normatif adalah suatu proses untuk menemukan suatu aturan hukum, prinsip – prinsip hukum, maupun doktrin – doktrin hukum untuk menjawab permasalahan hukum yang dihadapi. ...penelitian hukum normatif dilakukan untuk menghasilkan argumentasi, teori atau konsep baru sebagai preskripsi dalam menyelesaikan masalah yang dihadapi...”.
Penelitian hukum normatif dilakukan dengan cara meneliti bahan hukum
yang diperoleh dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan
bahan hukum tersier yang akan menunjang penelitian ini sebagai karya
tulis ilmiah yaitu skripsi.
24
1.8.2 Jenis Pendekatan
Dalam penulisan karya tulis ilmiah untuk skripsi ini, dirasakan perlu
untuk menggunakan pendekatan masalah agar tercermin sebagai karya ilmiah.
Pendekatan masalah yang dipergunakan dalam penulisan ini adalah
pendekatan analisis konsep hukum (analitical & conceptual approach) dan
pendekatan perundang – undangan (the statute approach). Pendekatan
Konseptual dengan menelaah aturan – aturan hukum yang ada terhadap
permasalahan toko modern jenis minimarket dalam melakukan kegiatan
penjualan minuman beralkoohol golongan A.
Pendekatan undang – undang (statute approach) dilakukan dengan
menelaah semua undang – undang dan regulasi yang bersangkut paut dengan
isu hukum yang sedang ditangani.16 Pendekatan analisa konsep hukum
digunakan untuk meneliti mengenai konsep daripada perlindungan hukum
terhadap pelaku usaha minimarket sedangkan pendekatan perundang –
undangan digunakan untuk meneliti ketentuan – ketentuan yang mengatur
mengenai toko modern dan minuman beralkohol.
1.8.3 Sumber bahan hukum
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji menyatakan bahwa dalam
penelitian hukum normatif bahan – bahan hukum yang dapat digunakan
yaitu bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum
tersier.17 Peter Mahmud Marzuki menjelaskan sebagai berikut:18
16 Peter Mahmud Marzuki, 2010, op.cit, h. 93.
17 Soerjono Soekanto & Sri Mamudji, 2011, Penelitian Hukum Normatif (Suatu Tinjauan Singkat), Raja Grafindo Persada, Jakarta, h. 13
25
1. Sumber bahan hukum primer adalah bahan hukum yang bersifat
autoritatif artinya memiliki otoritas, yang terdiri dari perundang –
undangan, catatan – catatan resmi atau risalah dalam pembuatan
perundang – undangan.
2. Sumber bahan hukum sekunder adalah berupa semua publikasi
tentang hukum yang bukan merupakan dokumen – dokumen resmi
meliputi buku – buku teks, kamus – kamus hukum, dan jurnal – jurnal
hukum.
3. Sumber bahan hukum tersier adalah merupakan bahan yang
memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum
primer dan sekunder; contohnya adalah ensiklopediam indeks
kumulatif dan seterusnya.
1.8.4 Teknik Pengumpulan Bahan Hukum
Untuk menunjang penelitian penulisan skripsi ini, maka teknik
pengumpulan data yang dilakukan dengan cara studi kepustakaan dan studi
dokumentasi yang difokuskan terhadap bahan – bahan hukum primer
maupun bahan – bahan hukum sekunder yang berkaitan dengan toko
modern dan minuman beralkohol.
1.8.5 Teknik Pengolahan dan Analisa Bahan Hukum
Sebelum melakukan pengolahan dan menganalisa, mengumpulkan
bahan – bahan hukum yang telah berhasil dikumpulkan selanjutnya
melalui metode deskriptif kualitatif, pengolahan data dilakukan dengan
26
kepustakaan dan studi ketentuan – ketentuan yang mengatur toko modern
dan jenis barang yang dapat diperjualbelikan termasuk minuman
beralkohol, untuk selanjutnya dibahas dan disajikan secara kualitatif dalam
uraian yang mendalam dan sistematis sebagai suatu karya tulis ilmiah yang
26
BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG LEGALITAS TOKO MODERN DAN
MINUMAN BERALKOHOL
2.1.Pengertian Toko Modern
Pembangunan nasional di bidang ekonomi disusun dan dilaksanakan
untuk memajukan kesejahteraan umum melalui pelaksanaan demokrasi ekonomi
dengan prinsip kebersamaan dan efisiensi keadilan, serta dengan menjadi
keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional.Pada pasar modern tidak
ditemukan penawaran barang, tidak ada percakapan antara pembeli dengan
penjual akan harga yang diinginkan. Harga telah ditentukan dan tidak ada tawar
menawar, maka oleh sebab itu tempat jual beli bentuk ini dikatakan sebagai toko
modern karena mekanisme penawaran dan pembelian telah ditentukan dengan
label – label harga sepihak dari pemilik toko. Hadirnya toko modern masih
menimbulkan kontroversial di kalangan masyarakat, ada yang menganggap
mengganggu kepentingan masyarakat tertentu dan kalangan pengusaha kecil
namun ada yang mendukungnya. Hukum merupakan kunci keberhasilan
pembangunan ekonomi, memberikan kepastian terhadap subyek dan obyek hukum
dalam setiap kegiatan ekonomi. Dengan berubahnya sistem ekonomi Indonesia
dari sistem ekonomi tertutup menjadi sistem ekonomi terbuka, maka pasar sebagai
tempat transaksi para penjual dan pembeli barang atau jasa tidak lagi terbatas pada
lokasi dan teritorialnya, tetapi sudah merupakan jaringan. Bagi pelaku usaha besar
yang mempunyai jaringan yang luas, mempunyai modal besar bersaing dipasar
27
Pengaturan pasar modern di Indonesia diatur pada Perpres Nomor 112
Tahun 2007. Perpres tersebut diterbitkan karena semakin berkembangnya toko
modern yang merambah daerah perdesaan, dan merubah peran dan fungsi pasar
tradisional. Perpres ini dilatarbelakangi bahwa semakin berkembangnya usaha
perdagangan eceran dalam skala kecil dan menengah, usaha perdagangan eceran
modern dalam skala besar, maka pasar tradisional perlu diberdayakan agar dapat
tumbuh dan berkembang serasi, saling memerlukan, saling memperkuat serta
saling menguntungkan dan untuk membina pengembangan industri dan
perdagangan barang dalam negeri serta kelancaran distribusi barang, perlu
memberikan pedoman bagi penyelenggaraan pasar tradisional dan toko modern.
Pengertian toko modern menurut Pasal 1 angka 5 Perpres Nomor 112 Tahun 2007
adalah “toko dengan sistem pelayanan mandiri, menjual berbagai jenis barang
secara eceran yang berbentuk minimarket, supermarket, department store,
hypermarket ataupun grosir yang berbentuk perkulakan”. Setiap toko modern
wajib memperhitungkan kondisi sosial ekonomi masyarakat sekitar serta jarak
antara toko modern dengan pasar tradisional yang telah ada, serta mewujudkan
norma – norma keadilan, saling menguntungkan dan tanpa tekanan dalam
hubungan antara pemasok barang dengan toko modern serta pengembangan
kemitraan dengan usaha kecil, sehingga tercipta tertib kegiatan usaha dan
keseimbangan kepentingan produsen, pemasok, toko modern dan konsumen. Di
luar itu perkembangan toko modern di Indonesia, terutama pedagang pengecer
telah merambah wilayah – wilayah perdesaan. Tidak sedikit wilayah perdesaan di
28
modern. Realitas yang terjadi di wilayah perdesaan ini memiliki pola yang agak
berbeda dengan kenyataan yang ada di wilayah perkotaan. Pada wilayah
perkotaan, pilihan rasional konsumen dalam berbelanja di toko modern lebih
dikarenakan faktor harga, kenyamanan tempat berbelanja dan jaminan atas
kualitas barang yang dibeli, tetapi di jika di perdesaan juga disebabkan oleh
preferensi lainnya, terutama keinginan masyarakat turut merasakan dampak
modernisasi.
Untuk menindaklanjuti ketentuan Perpres Nomor 112 Tahun 2007,
diterbitkan Permendag Nomor 53 Tahun 2008 yang telah digantikan oleh
Permendag Nomor 70 Tahun 2013 tentang Pedoman Penataan Dan Pembinaan
Pasar Tradisional, Pusat Perbelanjaan dan Toko Modern.
2.1.1 Regulasi Bagi Toko Modern
Persaingan toko modern saat ini bisa dikatakan sebagai persaingan
global, dimana toko modern dihadapkan dengan perusahaan asing yang membuka
cabang toko modern di Indonesia. Apalagi perkembangan toko modern
mendorong pertumbuhan sub sektor perdagangan dalam sektor perdagangan,
hotel, dan restoran, sehingga dapat mendorong pertumbuhan Produk Domestik
Regional Bruto atau PDRB suatu wilayah. Dorongan pertama dari terbitnya
kebijakan yang cenderung berpihak pada pelaku usaha besar dibandingkan
29
saat ini berada pada taraf yang memprihatinkan, yaitu ketika hukum bukan saja
tidak efektif, melainkan juga sering menimbulkan permasalahan baru.19
Toko modern berkembang menjadi industri dan tidak hanya dilakukan oleh
pelaku usaha di satu lokasi. Pelaku usaha toko modern bermunculan dengan
menawarkan tidak hanya ketersediaan barang, tetapi juga menyangkut berbagai
hal yang terkait dengan aspek psikologis konsumen. Misalnya menyangkut aspek
kebersihan, kenyamanan, bahkan juga menyangkut nama toko modern dicoba
ditanamkan di kalangan konsumen, seperti tempat barang murah dengan kualitas
bagus, bergengsi dan sebagainya. Kecenderungan ini merupakan sebuah hal yang
tidak dapat dihindari lagi dalam perkembangan toko modern pada saat ini.
Peningkatan pendapatan masyarakat serta munculnya kemajuan di berbagai
bidang menjadi salah satu penyebabnya, yang menjadikan segmen konsumen toko
modern tumbuh beraneka ragam. Kebijakan menjalankan perekonomian serta
sektor – sektor usaha tertentu pemerintah berkepentingan untuk memperhatikan
apa yang dibutuhkan oleh masyarakat maupun pelaku usaha dalam melakukan
kegiatan ekonomi. Pemerintah berkepentingan untuk mengatur kehidupan
ekonomi berlandaskan Pancasila, yang memiliki kewajiban dengan mengatur
kegiatan – kegiatan usaha yang berpotensi merugikan masyarakat dalam suatu
peraturan perundang – undangan.
Perkembangan toko modern yang sangat pesat, diawali dengan kebijakan
yang mendukung liberalisasi ritel, antara lain diwujudkan dalam bentuk
mengeluarkan kegiatan usaha ritel dari daftar negatif bagi penanaman modal di
30
Indonesia. Kebijakan ini dengan diterbitkan Keputusan Presiden Nomor 96 Tahun
2000 tentang Bidang Usaha Yang Tertutup dan Bidang Usaha Yang Terbuka
Dengan Persyaratan Tertentu Bagi Penanaman Modal dan Keputusan Presiden
Nomor 118 Tahun 2000 tentang Bidang Usaha Yang Tertutup Dan Bidang Usaha
Yang Terbuka Dengan Persyaratan Tertentu Bagi Penanaman Modal. Kebijakan
tersebut telah menyebabkan tidak adanya lagi pembatasan kepemilikan dalam
industri ritel. Setiap pelaku usaha yang memiliki modal cukup untuk mendirikan
perusahaan ritel di Indonesia, maka dapat segera melakukannya. Akibatnya,
pelaku usaha di industri ini terus bermunculan. Hal ini yang kemudian menjadi
bertentangan dengan asas kebijakan perdagangan berdasarkan kepentingan
nasional. Regulasi mengenai toko modern berdasarkan ketentuan Pasal 3 ayat (1)
Perpres Nomor 112 Tahun 2007 yaitu; “Lokasi pendirian Pusat Perbelanjaan dan
Toko Modern wajib mengacu pada Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten/
Kota, termasuk Peraturan zonasinya”.
Pada Pasal 4 ayat (1) Perpres Nomor 112 Tahun 2007 mengatur ketentuan
pendirian Pusat Perbelanjaan dan Toko Modern wajib:
a. Memperhitungkan kondisi sosial ekonomi masyarakat, keberadaan Pasar Tradisional, Usaha Kecil dan Usaha Menengah yang ada di wilayah yang bersangkutan;
b. Memperhatikan jarak antara Hypermarket dengan Pasar Tradisional yang telah ada sebelumnya;
31
d. Menyediakan fasilitas yang menjamin Pusat Perbelanjaan dan Toko Modern yang bersih, sehat (hygienis), aman, tertib dan ruang publik yang nyaman.
Untuk menindaklanjuti Pasal 4 ayat (1) Perpres Nomor 112 Tahun 2007,
pedoman mengenai pendirian Pusat Perbelanjaan dan Toko Modern diatur melalui
Permendag Nomor 53/ M-DAG/ PER/ 12/ 2008 tentang Pedoman Penataan dan
Pembinaan Pasar Tradisional, Pusat Perbelanjaan dan Toko Modern. Pada Pasal 3
Permendag Nomor 53/ M-DAG/ PER/ 12/ 2008 mengatur ketentuan pendirian
Toko Modern sebagai berikut:
(1) Pendirian Pasar Tradisional atau Pusat Perbelanjaan atau Toko Modern selain Minimarket harus memenuhi persyaratan ketentuan peraturan perundang – undangan dan harus melakukan analisa kondisi ekonomi masyarakat, keberadaan Pasar Tradisional dan UMKM yang berada di wilayah bersangkutan.
(2) Analisa kondisi sosial ekonomi masyarakat dan keberadaan Pasar Tradisional dan UMKM sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. Struktur penduduk menurut mata pencaharian dan pendidikan;
b. Tingkat pendapatan ekonomi rumah tangga;
c. Kepadatan penduduk;
d. Pertumbuhan penduduk;
e. Kemitraan dengan UMKM lokal;
f. Penyerapan tenaga kerja lokal;
g. Ketahanan dan pertumbuhan Pasar Tradisional sebagai sarana UMKM lokal;
h. Keberadaan fasilitas sosial dan fasilitas umum yang sudah ada;
i. Dampak positif dan negatif yang diakibatkan oleh jarak antara
Hypermarket dengan Pasar Tradisional yang telah ada sebelumnya;
dan
32
Pada Pasal 3 ayat (10) memberikan ketentuan pendirian Minimarket diutamakan
untuk diberikan kepada pelaku usaha yang domisilinya sesuai dengan lokasi
Minimarket tersebut.
Dengan pertumbuhan usaha Pasar Tradisional, Pusat Perbelanjaan dan Toko
Modern yang semakin meningkat perlu diikuti dengan peningkatan kepastian
usaha dan tertib usaha, untuk mengoptimalkan penataan dan pembinaannya perlu
mengatur kembali ketentuan Permendag Nomor 53/ M-DAG/ PER/ 12/ 2008
dengan mencabut dan digantikan Permendag Nomor 70/ M-DAG/ PER/ 12/ 2013.
Dalam Permendag Nomor 70/ M-DAG/ PER/ 12/ 2013 dicantumkan pada Pasal 1
angka 1 bahwa;
“Pelaku Usaha adalah setiap orang perseorangan atau badan usaha, baik berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama – sama melalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi”.
Dalam hal pendirian Toko Modern terdapat perubahan regulasi yang mendasar
pada Pasal 3 Permendag Nomor 70/ M-DAG/ PER/ 12/ 2013 yaitu sebagai
berikut:
(1) Jumlah Pasar Tradisional, Pusat Perbelanjaan dan Toko Modern, serta jarak antara Pusat Perbelanjaan dan Toko Modern dengan Pasar Tradisional atau toko eceran tradisional ditetapkan oleh Pemerintah Daerah setempat.
(2) Pendirian Pasar Tradisional, Pusat Perbelanjaan dan Toko Modern wajib mematuhi ketentuan yang ditetapkan oleh Pemerintah Daerah setempat sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
33
a. tingkat kepadatan dan pertumbuhan penduduk dimasing – masing daerah sesuai data sensus Badan Pusat Statistik tahun terakhir;
b. potensi ekonomi daerah setempat;
c. aksesibilitas wilayah (arus lalu lintas);
d. dukungan keamanan dan ketersediaan infrastruktur;
e. perkembangan pemukiman baru;
f. pola kehidupan masyarakat setempat; dan/ atau
g. jam kerja Toko Modern yang sinergi dan tidak mematikan usaha toko eceran tradisional di sekitarnya.
Permendag Nomor 70/ M-DAG/ PER/ 12/ 2013, sangat mendukung
liberalisasi ritel dengan memberikan peluang kepada pelaku usaha yang bermodal
besar melalui Pasal 4 bahwa Pelaku Usaha dapat mendirikan Pusat Perbelanjaan
dan Toko Modern yang berdiri sendiri dan/ atau Toko Modern yang terintegrasi
dengan Pasar Tradisional, Pusat Perbelanjaan atau bangunan/ kawasan lain. Selain
mengintegrasikan dengan Pasar Tradisional, Pelaku Usaha dapat mendirikan
outlet/ gerai Toko Modern yang dimiliki dan dikelola sendiri (company owned
outlet) paling banyak 150 (seratus lima puluh) outlet/ gerai. Dalam hal Pelaku
Usaha telah memiliki Toko Modern sebanyak batas maksimal kepemilikan gerai
dan akan melakukan penambahan wajib melakukan kemitraan dengan Usaha
Mikro Kecil dan Menengah dengan pola perdagangan umum dan/ atau Waralaba.
2.1.2 Jenis dan Perbedaan Toko Modern.
Dilihat dari bentuk hukumnya, beberapa toko modern diklasifikasikan
menjadi perusahaan badan hukum dan perusahaan bukan badan hukum.