• Tidak ada hasil yang ditemukan

Evaluasi penggunaan antibiotika pada penyakit infeksi saluran pernafasan akut kelompok pediatri di instalasi rawat inap Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta periode Juli-September 2013.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Evaluasi penggunaan antibiotika pada penyakit infeksi saluran pernafasan akut kelompok pediatri di instalasi rawat inap Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta periode Juli-September 2013."

Copied!
90
0
0

Teks penuh

(1)

INTISARI

Jumlah penderita infeksi saluran pernafasan akut (ISPA) pada pediatri sangat tinggi dan menempati urutan pertama penyebab kematian di Indonesia. Penelitian di Jawa Timur dan Jawa Tengah menunjukkan penggunaan antibiotika kurang rasional mencapai 80%. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk melakukan evaluasi penggunaan antibiotika pasien ISPA periode Juli-September 2013.

Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif evaluatif non-eksperimental, dengan pengambilan data secara retrospektif. Kriteria inklusi meliputi umur ≤14 tahun yang menerima terapi antibiotika dan menjalani rawat inap di RSPR Yogyakarta yang mendapat diagnosis utama keluar ISPA tanpa penyakit penyerta. Kriteria eksklusi meliputi pasien pediatri yang mendapatkan diagnosis akhir ISPA dengan penyakit penyerta dan data rekam medis tidak lengkap. Dari 69 pasien ISPA, yang memenuhi kriteria inklusi adalah 16 pasien. Data dianalisis dengan metode kualitatif secara deskriptif dan dibandingkan dengan Pharmaceutical Care untuk Penyakit Infeksi Saluran Pernafasan.

Hasil penelitian menunjukkan pasien ISPA terbanyak pada laki-laki 11 pasien (68,75%), usia terbanyak ≤4 tahun 14 pasien (87,5%). Pasien dengan diagnosis akhir ISPA tanpa penyakit penyerta 16 pasien (42,11%), dan lama hari perawatan 3 hari sebanyak 6 pasien (37,5%). Pola penggunaan antibiotika untuk sub golongan terbanyak yaitu golongan sefalosporin generasi III sebanyak 13 jumlah antibiotika (68,42%) dengan jenis antibiotika tertinggi yaitu sefiksim sebanyak jumlah 7 antibiotika (36,84%). Durasi penggunaan antibiotika tertinggi adalah sefiksim selama 3 hari sebanyak 3 jumlah antibiotika (15,80%). Evaluasi antibiotika menunjukan adanya ketidaktepatan dosis, dosis kurang sebanyak 6 jumlah antibiotika (33,33%) dan dosis lebih sebanyak 3 jumlah antibiotika (16,67%). Tidak ditemukan ketidaktepatan rute pemberian, dan dapat dilihat rute pemberian peroral sebanyak 12 jumlah antibiotika (63,16%) dan parenteral sebanyak 7 jumlah antibiotika (36,84%). Tidak ditemukan ketidaktepatan frekuensi/interval waktu.

Kesimpulannya yaitu dosis dan frekuensi/interval waktu penggunaan antibiotika masih belum sesuai dengan Pharmaceutical Care untuk Penyakit Infeksi Saluran Pernafasan yang disarankan.

(2)

ABSTRACT

The number of patients with Acute Respiratory tract Infection (ARI) in pediatric very high and ranks first cause of death in Indonesia. Research in East Java and Central Java showed less rational antibiotic use reached 80%. The aim of this study was to evaluate the use of antibiotics patients ISPA period from July to September, 2013.

This study is a descriptive non-experimental evaluative, with retrospective data collection. Inclusion criteria included age ≤14 years who received antibiotic therapy and hospitalized in RSPR Yogyakarta that got out primary diagnosis of ISPA without concomitant diseases. Exclusion criteria included pediatric patients who receive a late diagnosis of ISPA with concomitant diseases and incomplete medical records. From 69 patients with ISPA, which meet the criteria for inclusion is 16 patients. Data were analyzed with descriptive qualitative method and compared with the Pharmaceutical Care for Respiratory Infection Diseases.

Results showed ISPA patients most is in men with 11 patients (68.75%), the age of majority ≤4 years 14 patients (87.5%). Patients with a final diagnosis of ISPA without concomitant diseases 16 patients (42.11%), and duration of treatment days is 3 days as many as six patients (37.5%). The pattern of use of antibiotics for most sub-groups, namely third-generation cephalosporins as much as 13 number of antibiotics (68.42%) with the highest type of antibiotic cefixime as number 7 antibiotics (36.84%). The duration of antibiotic use is highest cefixime for 3 days as much as 3 number of antibiotics (15.80%). Evaluation of antibiotics showed the presence of imprecision dose, dose less as 6 number of antibiotics (33.33%) and as much as 3 doses over the amount of antibiotics (16.67%). Not found inaccuracies route of administration, and the oral route of administration can be seen by 12 the amount of antibiotics (63.16%) and parenteral antibiotics were 7 number (36.84%). Not found inaccuracies frequency/interval.

In conclusion, namely dosage and frequency / interval of antibiotic use is still not in accordance with the Pharmaceutical Care for Respiratory Infection Diseases suggested.

(3)

i

EVALUASI PENGGUNAAN ANTIBIOTIKA PADA PENYAKIT INFEKSI SALURAN PERNAFASAN AKUT KELOMPOK PEDIATRI

DI INSTALASI RAWAT INAP

RUMAH SAKIT PANTI RAPIH YOGYAKARTA PERIODE JULI-SEPTEMBER 2013

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S. Farm.)

Program Studi Ilmu Farmasi

Diajukan oleh : Anastasia Hilda Fajarwati

NIM : 108114156

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA

(4)
(5)
(6)

iv

HALAMAN PERSEMBAHAN

Karena MASA DEPAN sungguh ada

dan HARAPANMU tidak akan hilang – Amsal 23:18 -

TUHAN akan menuntun engkau senantiasa dan akan memuaskan hatimu

di tanah yang kering, dan akan membaharui kekuatanmu;

Engkau akan seperti taman yang diairi dengan baik dan seperti mata air

yang tidak pernah mengecewakan – Yesaya 58:11-

Karya kecil ini ku persembahkan untuk :

Tuhan Yesus Kristus, Bunda Maria, dan St. Yoseph

Bapak dan Ibu

Kakak dan Adiku

Sahabat-sahabatku

Teman-teman FKK B 2010

Teman-teman angkatan 2010

Serta

(7)
(8)
(9)

vii

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala limpahan berkat dan rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “ Evaluasi Penggunaan Antibiotika pada Penyakit Infeksi Saluran Pernafasan Akut Kelompok Pediatri di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta Periode Juli-September 2013” dengan lancar sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Farmasi (S.Farm) Program Studi Farmasi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

Pada kesempatan ini penulis juga ingin mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang turut membantu penulisan skripsi ini, antara lain :

1. Dra. Th.B. Titien Siwi Hartayu, M.Kes., Ph.D., Apt selaku Dosen Pembimbing atas bimbingan, kesabaran, perhatian, dukungan, serta saran-saran yang telah diberikan selama proses penyusunan skripsi ini.

2. Direktur Rumah Sakit, Unit Personalia, Unit Rekam Medik serta seluruh staff Rumah Sakit Panti Rapih yang telah memberikan ijin penelitian.

3. Ipang Djunarko, M.Sc., Apt. dan Ibu Dita Maria Virginia, M. Sc., Apt. selaku Dosen Penguji atas bimbingan dan saran-saran dalam penulisan skripsi. 4. Dekan Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma beserta seluruh staff.

Semoga skripsi ini bermanfaat bagi banyak pihak.

(10)

viii DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii

HALAMAN PENGESAHAN ... iii

HALAMAN PERSEMBAHAN... iv

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... v

LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI... vi

PRAKATA ... vii

DAFTAR ISI ... viii

DAFTAR TABEL ... xii

DAFTAR GAMBAR ... xiii

DAFTAR LAMPIRAN ... xv

INTISARI ... xvi

ABSTRACT ... xvii

BAB I. PENGANTAR ... 1

A. Latar Belakang ... 1

1. Perumusan masalah ... 3

(11)

ix

3. Manfaat penelitian ... 8

B. Tujuan Penelitian ... 8

1. Tujuan umum ... 8

2. Tujuan khusus ... 8

BAB II. PENELAAHAN PUSTAKA... 10

A. Antibiotika... 10

B. Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA)... 14

1. Infeksi Saluran Pernafasan Akut bagian atas ... 15

a. Otitis media ... 16

b. Faringitis ... 17

c. Sinusitis ... 18

2. Infeksi Saluran Pernafasan Akut bagian bawah ... 19

a. Pneumonia ... 19

b. Bronkiolitis ... 21

c. Bronkitis akut ... 21

C. Penggunaan Obat yang Rasional ... 24

D. Keterangan Empiris ... 25

BAB III. METODE PENELITIAN... 27

A. Jenis dan Rancangan Penelitian ... 27

B. Definisi Operasional... 27

C. Subjek Penelitian ... 29

(12)

x

E. Instrumen Penelitian... 30

F. Tata Cara Penelitian ... 31

1. Tahap perencanaan ... 31

2. Tahap analisis situasi ... 31

3. Tahap pengumpulan data ... 31

4. Tahap pengolahan data ... 32

G. Analisis Hasil ... 32

H. Keterbatasan Penelitian ... 34

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 36

A. Karakteristik Demografi Pasien ... 36

1. Jumlah pasien ISPA berdasarkan jenis kelamin ... 36

2. Jumlah pasien ISPA berdasarkan usia ... 37

3. Jumlah pasien ISPA berdasarkan diagnosis ... 39

4. Jumlah pasien ISPA berdasarkan lama perawatan ... 41

B. Pola Penggunaan Antibiotika ... 42

1. Penggunaan antibiotika berdasarkan sub golongan dan jenis antibiotika ... 42

2. Gambaran durasi penggunaan antibiotika ... 45

C. Gambaran Ketidaktepatan Penggunaan Antibiotika ... 47

1. Gambaran ketidaktepatan penggunaan antibiotika berdasarkan dosis ... 47

(13)

xi

3. Gambaran ketidaktepatan penggunaan antibiotika

berdasarkan interval/frekuensi waktu ... 50

4. Rangkuman evaluasi antibiotika ... 51

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 53

A. Kesimpulan ... 53

B. Saran ... 54

DAFTAR PUSTAKA ... 55

LAMPIRAN ... 59

(14)

xii

DAFTAR TABEL

Tabel I. Guideline Dosis Antimikroba pada Faringitis ... 18

Tabel II. Terapi Antibiotika pada Sinusitis Akut ... 19

Tabel III. Persentase Distribusi diagnosis akhir pasien ISPA kelompok pediatri di Instalasi Rawat Inap RS Panti

Rapih Yogyakarta periode Juli- September 2013 ... 40

Tabel IV. Persentase Distribusi Golongan Antibiotika yang digunakan oleh pasien ISPA Kelompok Pediati di Instalasi Rawat Inap RS. Panti Rapih Yogyakarta

Periode Juli-September 2013 ... 45

Tabel V. Persentase Durasi penggunan Antibiotika pada Pasien ISPA Kelompok Pediatri di Instalasi Rawat Inap RS.

Panti Rapih Yogyakarta Periode Juli-September 2013 ... 46

Tabel VI. Persentase Distribusi Jumlah Ketidaktepatan Dosis Antibiotika berdasarkan Pharmaceutical Care untuk Penyakit Infeksi Saluran Pernafasan pada Pasien ISPA kelompok umur Pediatri di Instalasi Rawat Inap RS

(15)

xiii

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Anatomi Saluran Pernafasan ... 15

Gambar 2. Terapi Antibiotika Pneumonia pada Pediatri ... 20

Gambar 3. Persentase Distribusi Jumlah Pasien ISPA Kelompok Pediatri di Instalasi Rawat Inap RS Panti Rapih Yogyakarta Periode Juli-September 2013 Berdasarkan

Jenis Kelamin ... 37

Gambar 4. Persentase Distribusi Jumlah Pasien ISPA Kelompok Pediatri di Instalasi Rawat Inap RS Panti Rapih Yogyakarta Periode Juli- September 2013 Berdasarkan

Usia ... 39

Gambar 5. Persentase Distribusi Jumlah Pasien ISPA Kelompok Pediatri di Instalasi Rawat Inap RS Panti Rapih Yogyakarta Periode Juli- September 2013 Berdasarkan

Lama Perawatan ... 41

Gambar 6. Persentase Distribusi jenis antibiotika untuk pengobatan ISPA Kelompok Pediatri di Instalasi Rawat Inap RS. Panti Rapih Yogyakarta periode

Juli-September 2013 ... 43

(16)

xiv

ISPA Kelompok Pediatri di Instalasi Rawat Inap RS.

Panti Rapih Yogyakarta periode Juli-September 2013 ... 44

Gambar 8. Persentase Distribusi rute pemberian antibiotika pada pasien ISPA kelompok pediatri di Instalasi Rawat Inap

(17)

xv DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Data Demografi dan Data Pemeriksaan Pasien ... 60

Lampiran 2. Data Perawatan Pasien dan Penggunaan Antibiotika ... 62

Lampiran 3. Dosis dan Interval Waktu Antibiotika yang Diberikan

pada Pasien ISPA ... 67

(18)

xvi INTISARI

Jumlah penderita infeksi saluran pernafasan akut (ISPA) pada pediatri sangat tinggi dan menempati urutan pertama penyebab kematian di Indonesia. Penelitian di Jawa Timur dan Jawa Tengah menunjukkan penggunaan antibiotika kurang rasional mencapai 80%. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk melakukan evaluasi penggunaan antibiotika pasien ISPA periode Juli-September 2013.

Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif evaluatif non-eksperimental, dengan pengambilan data secara retrospektif. Kriteria inklusi meliputi umur ≤14 tahun yang menerima terapi antibiotika dan menjalani rawat inap di RSPR Yogyakarta yang mendapat diagnosis utama keluar ISPA tanpa penyakit penyerta. Kriteria eksklusi meliputi pasien pediatri yang mendapatkan diagnosis akhir ISPA dengan penyakit penyerta dan data rekam medis tidak lengkap. Dari 69 pasien ISPA, yang memenuhi kriteria inklusi adalah 16 pasien. Data dianalisis dengan metode kualitatif secara deskriptif dan dibandingkan dengan Pharmaceutical Care untuk Penyakit Infeksi Saluran Pernafasan.

Hasil penelitian menunjukkan pasien ISPA terbanyak pada laki-laki 11 pasien (68,75%), usia terbanyak ≤4 tahun 14 pasien (87,5%). Pasien dengan diagnosis akhir ISPA tanpa penyakit penyerta 16 pasien (42,11%), dan lama hari perawatan 3 hari sebanyak 6 pasien (37,5%). Pola penggunaan antibiotika untuk sub golongan terbanyak yaitu golongan sefalosporin generasi III sebanyak 13 jumlah antibiotika (68,42%) dengan jenis antibiotika tertinggi yaitu sefiksim sebanyak jumlah 7 antibiotika (36,84%). Durasi penggunaan antibiotika tertinggi adalah sefiksim selama 3 hari sebanyak 3 jumlah antibiotika (15,80%). Evaluasi antibiotika menunjukan adanya ketidaktepatan dosis, dosis kurang sebanyak 6 jumlah antibiotika (33,33%) dan dosis lebih sebanyak 3 jumlah antibiotika (16,67%). Tidak ditemukan ketidaktepatan rute pemberian, dan dapat dilihat rute pemberian peroral sebanyak 12 jumlah antibiotika (63,16%) dan parenteral sebanyak 7 jumlah antibiotika (36,84%). Tidak ditemukan ketidaktepatan frekuensi/interval waktu.

Kesimpulannya yaitu dosis dan frekuensi/interval waktu penggunaan antibiotika masih belum sesuai dengan Pharmaceutical Care untuk Penyakit Infeksi Saluran Pernafasan yang disarankan.

(19)

xvii ABSTRACT

The number of patients with Acute Respiratory tract Infection (ARI) in pediatric very high and ranks first cause of death in Indonesia. Research in East Java and Central Java showed less rational antibiotic use reached 80%. The aim of this study was to evaluate the use of antibiotics patients ISPA period from July to September, 2013.

This study is a descriptive non-experimental evaluative, with retrospective data collection. Inclusion criteria included age ≤14 years who received antibiotic therapy and hospitalized in RSPR Yogyakarta that got out primary diagnosis of ISPA without concomitant diseases. Exclusion criteria included pediatric patients who receive a late diagnosis of ISPA with concomitant diseases and incomplete medical records. From 69 patients with ISPA, which meet the criteria for inclusion is 16 patients. Data were analyzed with descriptive qualitative method and compared with the Pharmaceutical Care for Respiratory Infection Diseases.

Results showed ISPA patients most is in men with 11 patients (68.75%), the age of majority ≤4 years 14 patients (87.5%). Patients with a final diagnosis of ISPA without concomitant diseases 16 patients (42.11%), and duration of treatment days is 3 days as many as six patients (37.5%). The pattern of use of antibiotics for most sub-groups, namely third-generation cephalosporins as much as 13 number of antibiotics (68.42%) with the highest type of antibiotic cefixime as number 7 antibiotics (36.84%). The duration of antibiotic use is highest cefixime for 3 days as much as 3 number of antibiotics (15.80%). Evaluation of antibiotics showed the presence of imprecision dose, dose less as 6 number of antibiotics (33.33%) and as much as 3 doses over the amount of antibiotics (16.67%). Not found inaccuracies route of administration, and the oral route of administration can be seen by 12 the amount of antibiotics (63.16%) and parenteral antibiotics were 7 number (36.84%). Not found inaccuracies frequency/interval.

In conclusion, namely dosage and frequency / interval of antibiotic use is still not in accordance with the Pharmaceutical Care for Respiratory Infection Diseases suggested.

(20)

1 BAB I PENGANTAR A. Latar Belakang

Penyakit infeksi saluran pernafasan akut (ISPA) dapat menyerang semua umur, baik orang dewasa, remaja, atau balita. ISPA pun tidak mengenal tempat baik di negara maju maupun negara yang kurang berkembang. Oleh karena itu, penderita ISPA didunia sangat tinggi. Banyak faktor yang mempengaruhi tingginya kejadian ISPA yakni faktor intrinsik (umur, status gizi, status imunisasi, jenis kelamin) dan faktor ekstrinsik (perumahan, sosial ekonomi dan pendidikan). Di Indonesia, ISPA selalu menempati urutan pertama penyebab kematian. Survei mortalitas yang dilakukan oleh Subdit ISPA tahun 2005 menempatkan ISPA/Pneumonia sebagai penyebab kematian terbesar di Indonesia dengan persentase 22,30% (Rasmaliah, 2004). Kunjungan ISPA pada anak balita meningkat pada tahun 2008 - 2011 (25,94%-27,13%), sedangkan 15%-20% merupakan kematian anak balita yang disebabkan oleh ISPA ( Ernawati, 2012).

(21)

sebetulnya tidak bisa dicegah. Dampak dari semua ini adalah meningkatnya resistensi bakteri maupun peningkatan efek samping yang tidak diinginkan (Depkes RI, 2005).

Resistensi bakteri terhadap antibiotika sudah menjadi masalah kesehatan di seluruh dunia. Penelitian di dua rumah sakit besar di Jawa Timur dan Jawa Tengah pada tahun 2001 menunjukkan bahwa penggunaan antibiotika secara tidak bijak mencapai 80%. Kasus di RSU Dr. Soetomo, angka resisten terhadap antibiotika lini pertama (penyakit infeksi ringan) bisa mencapai 90% dan lini kedua (infeksi sedang) mendekati 50% (Bisht, 2009). Salah satu cara mengatasi penggunaan antibiotika secara kurang rasional yaitu melakukan monitoring dan evaluasi penggunaan antibiotika di rumah sakit secara sistematis di pusat-pusat kesehatan masyarakat, bila perlu melakukan intervensi untuk mengoptimalkan penggunaan antibiotika (Sadikin,2011).

Penggunaan secara tidak rasional merupakan fenomena yang terjadi di seluruh dunia terutama di negara-negara berkembang (Gaash, 2008). Tahun 2004, WHO melaporkan tingkat penggunaan antibiotika yang tidak perlu mencapai 50%. Studi lain menunjukan penggunaan antibiotika secara berlebihan di Indonesia sebesar 43% (WHO, 2010). Hal ini menjadi penyebab utama terjadinya resistensi antibiotika (Gaash, 2008).

(22)

dosis yang sesuai (tepat dosis) dan cara pemberian, tepat pasien, serta waspada efek samping dan alergi obat.

Penelitian dilakukan di Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta karena rumah sakit ini termasuk salah satu rumah sakit swasta kelas B dengan 370 tempat tidur yang mampu memberikan pelayanan kedokteran spesialis dan subspesialis terbatas. RS Panti Rapih Yogyakarta menerima rujukan dari puskesmas dan beberapa kabupaten di wilayah Yogyakarta. Selain itu, RS Panti Rapih Yogyakarta melayani pasien yang menggunakan asuransi kesehatan sosial. Sehingga diperkirakan banyak pasien yang berobat di rumah sakit ini. Dengan jumlah pasien yang cukup banyak, khususnya pasien pediatri, dapat memberikan gambaran yang cukup lengkap dan jelas mengenai penggunaan antibiotika untuk diagnosis ISPA. Kemudian menurut penelitian yang dilakukan oleh Marthinie (2004), dapat diketahui bahwa dari 85 pasien ditemukan 122 antibiotika masih terdapat masalah yang berkaitan dengan ketidaktepatan antibiotika yaitu kurang tepat indikasi, kurang tepat obat, kurang tepat aturan pakai, kurang tepat pasien, dan adanya interaksi dengan obat lain. Berdasarkan uraian tersebut, peneliti ingin mengetahui apakah di RS Panti Rapih (RSPR) Yogyakarta pada periode Juli-September 2013 masih terdapat adanya ketidaktepatan antibiotika pada pasien pediatri dengan diagnosis ISPA.

1. Perumusan masalah

(23)

a. Seperti apa karakteristik demografi pasien pediatri dengan diagnosis Infeksi Saluran Pernafasan Akut di RSPR Yogyakarta berdasarkan usia, jenis kelamin, diagnosis, dan lama perawatan?

b. Seperti apa pola penggunaan antibiotika pasien pediatri dengan diagnosis Infeksi Saluran Pernafasan Akut di RSPR Yogyakarta meliputi sub golongan dan jenis antibiotika, serta durasi antibiotika?

c. Seperti apa kesesuaian pola penggunaan antibiotika dengan Pharmaceutical Care untuk Penyakit Infeksi Saluran Pernafasan (Depkes RI, 2005) pada pasien pediatri dengan diagnosis Infeksi Saluran Pernafasan Akut di RSPR Yogyakarta berdasarkan dosis, rute pemberian, dan frekuensi/interval waktu?

2. Keaslian penelitian

Berdasarkan penelusuran pustaka yang dilakukan penulis, beberapa penelitian yang terkait “Evaluasi Penggunaan Antibiotika Pada Penyakit Infeksi Saluran Pernafasan Akut Kelompok Pediatri di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta Periode Juli-September 2013” antara lain :

(24)

penelitian, tempat penelitian, dan metode penelitian yaitu penelitian non eksperimental dengan rancangan penelitian deskriptif evaluatif yang menggunakan data retrospektif. Pada penelitian ini dilakukan evaluasi antibiotika untuk melihat kerasionalan penggunaan antibiotika pada pasien pediatri dengan diagnosis Infeksi Saluran Pernafasan Akut.

b. Gambaran Pengetahuan Ibu Balita Tentang Penyakit ISPA di Puskesmas Pembantu Sidomulyo Wilayah Kerja Puskesmas Deket Kecamatan Deket Kabupaten Lamongan oleh Fitrianingrum, dkk (2011). Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif. Pemilihan sampel dilakukan dengan tehnik sampling non probability sampling tipe purposive sampling. Pengumpulan data dengan lembar kuesioner tertutup, kemudian data dilakukan editing, coding, tabulating, scoring, prosentase dan dinarasikan. Perbedaan penelitian ini dengan penelitian yang dilakukan oleh Fitrianingrum, dkk terletak pada tahun penelitian, tempat penelitian, dan metode penelitian yaitu penelitian non eksperimental dengan rancangan penelitian deskriptif evaluatif yang menggunakan data retrospektif. Pada penelitian ini dilakukan evaluasi antibiotika untuk melihat kerasionalan penggunaan antibiotika pada pasien pediatri dengan diagnosis Infeksi Saluran Pernafasan Akut.

(25)

Desa Labuhan Kecamatan Labuhan Badas Kabupaten Sumbawa. Besar sampel dihitung memakai rumus simple random sampling dari Cochran, sedangkan pengambilan sampel dilakukan secara acak sistematis. Penelitian ini dilaksanakan mulai bulan April sampai Juli 2006. Analisis data menggunakan uji statistik Chi Square untuk menganalisis hubungan antara tingkat kesehatan rumah terhadap kejadian ISPA pada anak Balita. Selanjutnya terhadap variable penyusun komponen rumah, sarana sanitasi dan perilaku yang berhubungan dengan ISPA secara signifikan, dilanjutkan analisisnya dengan uji Regresi Logistik untuk mengetahui variabel kesehatan rumah manakah yang berpengaruh secara signifikan terhadap kejadian ISPA pada anak Balita. Perbedaan penelitian ini dengan penelitian yang dilakukan oleh Safitri dan Keman terletak pada tahun penelitian, tempat penelitian, dan metode penelitian yaitu penelitian non eksperimental dengan rancangan penelitian deskriptif evaluatif yang menggunakan data retrospektif. Pada penelitian ini dilakukan evaluasi antibiotika untuk melihat kerasionalan penggunaan antibiotika pada pasien pediatri dengan diagnosis Infeksi Saluran Pernafasan Akut.

(26)

terpilih sebagai kasus dan kontrol. Besar sample yang diperlukan untuk kasus dan kontrol masing-masing sebanyak 36 subjek dan pengambilan sample secara simple random sampling. Data primer dikumpulkan dengan melakukan wawancara langsung kepada responden (ibu bayi) dengan menggunakan kuesioner. Data sekunder didapatkan dari buku KIA atau KMS. Analisis data terdiri dari analisis univariat, bivariat menggunakan uji chi square. Hasil yang diperoleh pada analisis bivariat ini adalah nilai chi square, nilai p value, nilai OR dan confidence interval (CI) 95%. Tingkat kemaknaan pada penelitian ini dengan nilai α<0,05. Analisis multivariate menggunakan uji regresi logistic

(back ward stepwise logistic regression). Perbedaan penelitian ini dengan penelitian yang dilakukan oleh Widarini dan Sumasari, yaitu penelitian ini dilakukan pada bulan Juli-September 2013 di Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta dan penelitian ini merupakan penelitian non eksperimental dengan rancangan penelitian deskriptif evaluatif yang menggunakan data retrospektif. Pada penelitian ini dilakukan evaluasi antibiotika untuk melihat kerasionalan penggunaan antibiotika pada pasien pediatri dengan diagnosis Infeksi Saluran Pernafasan Akut.

(27)

3. Manfaat penelitian

a. Manfaat teoritis. Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan oleh tenaga kesehatan sebagai sumber informasi dan untuk menambah referensi pengetahuan mengenai gambaran penggunaan antibiotika pada pasien ISPA, serta dapat digunakan sebagai data-data acuan untuk penelitian tentang penggunaan antibiotika berikutnya.

b. Manfaat praktis. Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan untuk melihat karakteristik demografi dan pola penggunaan antibiotika pada pasien ISPA serta evaluasi penggunaan antibiotika pada pasien ISPA terkait dengan ketidaktepatan penggunaan antibiotika yang dilihat berdasarkan dosis, rute pemberian, dan frekuensi/interval waktu.

B. Tujuan penelitian

1. Tujuan umum

Penelitian ini bertujuan mengidentifikasi penggunaan antibiotika pada pasien dengan diagnosis Infeksi Saluran Pernafasan Akut Kelompok Pediatri di Instalasi Rawat Inap RS Panti Rapih Yogyakarta.

2. Tujuan khusus

Penelitian ini memiliki tujuan khusus sebagai berikut:

(28)

b. Mengidentifikasi pola penggunaan antibiotika pasien pediatri dengan diagnosis Infeksi Saluran Pernafasan Akut di RSPR Yogyakarta meliputi sub golongan dan jenis antibiotika, serta durasi antibiotika.

(29)

10 BAB II

PENELAAHAN PUSTAKA A. Antibiotika

Antibiotika adalah suatu zat atau senyawa obat alami maupun sintesis yang dihasilkan oleh mikroorganisme dan jamur yang memiliki khasiat untuk menghambat perkembangbiakan atau membunuh mikroorganisme (Sutedjo,2008). Obat yang digunakan untuk membunuh mikroba harus memiliki sifat toksisitas selektif, yang artinya obat tersebut harus bersifat sangat toksik bagi mikroba namun tidak menimbulkan efek toksik pada manusia. Berdasarkan sifat toksisitas selektif, antabiotika yang bersifat menghambat pertumbuhan mikroba dikenal sebagai bakteriostatik dan antibiotika yang bersifat membunuh mikroba dikenal sebagai bakterisid (Setiabudy, 2008).

(30)

berikatan pada ribosom subunit 30S sehingga terjadi kesalahan pembacaan mRNA dan tidak terjadi sintesis protein, contohnya golongan aminoglikosida; dan menghambat sintesis asam nukleat (DNA/RNA) pada fase transkripsi dan replikasi bakteri, contohnya rifampin dan golongan kuinolon (Schmitz, 2009).

Berdasarkan luas aktivitasnya, jenis antibiotika dapat dibagi dalam dua golongan yaitu antibiotika berspektrum luas (Broad Spectrum) dan antibiotika yang berspektrum sempit (Narrow Spectrum). Antibiotika berspektrum luas bekerja terhadap lebih banyak jenis kuman, baik jenis kuman Gram negatif maupun jenis kuman Gram positif. Contoh antibiotika spektrum luas adalah turunan tetrasiklin, turunan aminoglikosida, beberapa turunan penisilin, dan sebagian besar turunan sefalosporin. Antibiotika yang berspektrum sempit adalah antibiotika yang hanya mampu menghambat atau membunuh bakteri gram negatif saja atau gram positif saja. Contoh antibiotika spektrum sempit adalah streptomisin, gentamisin, polimiksin-B, dan asam nalidiksat hanya aktif terhadap kuman Gram negatif (Tan dan Rahardja, 2003).

(31)

perkembangan bakteri. Penyebab resistensi antibiotika adalah penggunaannya yang meluas dan irasional. Lebih dari separuh pasien dalam perawatan rumah sakit menerima antibiotik sebagai pengobatan ataupun profilaksis (Utami, 2012).

(32)

umum dan penyembuhan yang semakin sulit. Perlu diperhatikan bahwa resistensi antimikroba tidak hanya ditemukan pada bakteri tetapi juga pada patogen lain seperti virus (yang menyebabkan hepatitis B kronis atau influenza), parasit (penyebab malaria), dan jamur (infeksi Candida) yang resisten terhadap agen antimikroba (Phoenix, Harris, dan Dennison, 2013).

Resistensi antimikroba bagi kesehatan dapat berdampak pada kondisi

ekonomi pasien, penyedia kesehatan, dan kondisi ekonomi masyarakat secara

umum akibat meningkatnya biaya pengeluaran untuk kesehatan. Resistensi juga

dapat menyebabkan kegagalan respon terapi sehingga penyembuhan semakin

lama dan resiko kematian semakin besar. Selain itu, resistensi dapat meningkatkan

waktu rawat pasien di rumah sakit, meningkatkan angka kesakitan, kematian dan

kebutuhan pembedahan (Deshpande dan Mohini, 2011).

Penggunaan antibiotika yang tidak tepat dalam hal indikasi, maupun cara pemberian dapat merugikan penderita dan dapat memudahkan terjadinya resistensi terhadap antibiotika serta dapat menimbulkan efek samping. Hal-hal yang perlu diperhatikan adalah dosis obat yang tepat bagi anak-anak, cara pemberian, indikasi, kepatuhan, jangka waktu yang tepat dan dengan memperhatikan keadaan patofisiologi pasien secara tepat, diharapkan dapat memperkecil efek samping yang akan terjadi (Bueno dan Stull, 2009).

(33)

banyak berisiko terpapar bakteri, dan ketiga, karena beberapa antibiotika yang cocok digunakan pada dewasa belum tentu tepat jika diberikan kepada anak karena absorbs, distribusi, metabolisme dan ekskresi obat termasuk antibiotika pada anak berbeda dengan dewasa, serta tingkat maturasi organ yang berbeda sehingga dapat terjadi perbedaan respon terapetik atau efek sampingnya (Shea, Florini, dan Barlam, 2011).

B. Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA)

(34)

Gambar 1. Anatomi Saluran Pernafasan (Depkes RI, 2012).

Penyakit saluran pernafasan akut disebabkan oleh agen infeksius. Meskipun spektrum gejala infeksi saluran pernapasan akut sangat bervariasi, timbulnya gejala biasanya cepat, mulai dari jam ke hari setelah timbulnya infeksi. Gejalanya meliputi demam, batuk, dan sering sakit tenggorokan, pilek, sesak napas, mengi, atau kesulitan bernapas. Patogen yang menyebabkan penyakit ini termasuk virus influenza, virus parainfluenza, rhinovirus, respiratory syncytial virus (RSV) dan severe acute respiratory syndrome coronavirus (SARS-CoV) (WHO, 2014).

a. Infeksi Saluran Pernafasan Akut Bagian Atas

(35)

demam rematik akut (Sukandar, Andrajati, Sigit, Adnyana, Setiadi, dan Kusnandar, 2009).

1) Otitis Media

Otitis Media adalah peradangan dan/atau infeksi telinga tengah dimana adanya ketidaknormalan fungsi tuba eustakius sehingga menyebabkan refluks cairan transudat di bagian telinga tengah dan menjadi tempat perkembangan bakteri yang secara umum dapat dibedakan menjadi dua, yaitu otitis media akut dan otitis media efusi. Otitis media akut dapat terjadi bila ada infeksi bakteri atau virus di cairan telinga tengah yang menyebabkan produksi cairan/nanah. Gejala dan tandanya lebih dari satu serta muncul secara cepat seperti demam, otalgia, gangguan pendengaran, gelisah, lemah, anoreksia, muntah. Pada otitis media efusi, terjadi penumpukan cairan di bagian ruang tengah telinga. Hal ini terjadi karena adanya perubahan membran timpani seperti kemerahan, keruh, cahaya yang tidak dapat direfleksi, menonjol, dan tidak bergerak saat dilakukan otoskopi pneumatik (Betz dan Sowden, 2009).

Bakteri yang dapat menyebabkan terjadinya otitis media antara lain Streptococcus pnemoniae (35%), Haemophilus influnzae (25%), Moxarella catarrhalis (10%), dan sekitar 20-30% diduga etiologi oleh virus. Antimikroba oral amoksisilin menjadi pilihan pertama untuk mengatasi otitis media (Sukandar dkk, 2009).

(36)

alergi penisilin dapat menggunakan sefdinir, sefuroksim, sefpodoksim, azitromisin, dan klaritromisin. Jika gejalanya parah, misalnya suhu tubuh di atas 390C dan terjadi otalgia yang parah maka pilihan pertamanya adalah amoksisilin-klavulanat dan antimikroba alternatifnya klindamisin (Dipiro, Talbert, Yee. Matzke, Wells, dan Posey, 2008).

2) Faringitis

Faringitis adalah peradangan pada mukosa faring dan jaringan limfoid di sekitarnya akibat infeksi bakteri atau virus. Faringitis biasanya timbul bersama-sama dengan rhinitis, tonsillitis, dan laryngitis. Faringitis dapat disebabkan oleh virus seperti rhinovirus, adenovirus, parainfluenza, coxsackievirus dan oleh bakteri seperti grup A β-hemolytic Streptococcus (paling sering), Chlamydia, Corynebacterium diphtheria, Hemophilus influenza, Neisseria gonorrhoeae. Gejala yang timbul akibat bakteri seperti demam yang muncul secara tiba-tiba, disfagia (kesulitan menelan), sakit tenggorokan, dan mual. Jika infeksi yang terjadi akibat bakteri Group A streptococcus/GAS maka ditandai dengan adanya pembengkakan kelenjar limfa, tidak batuk, demam dengan suhu tubuh > 380C. Gejala yang timbul akibat virus seperti demam, nyeri menelan, batuk, kongesti nasal, faring posterior hiperemis atau bengkak, onset radang tenggorokannya lambat dan progresif (Sukandar dkk, 2009).

(37)

Jika terjadi resistensi terhadap makrolida, dapat digunakan klindamisin. Guideline dosis antimikroba untuk faringitis dapat dilihan pada table I (Dipiro et al, 2008).

Tabel I. Guideline Dosis Antimikroba pada Faringitis

Antibiotika Dosis Pediatri Durasi

Penisilin VK Penisilin benzatin Penisilin G prokain dan campuran benzatin

50 mg/kg/hari terbagi dalam 3 dosis

0,6 juta unit untuk BB<27 kg (50.000 unit/ kg)

1,2 juta unit (benzatin 0,9 juta unit, prokain 0,3 juta unit)

40-50 mg/kg/hari terbagi dalam 3 dosis

20-40 mg/kg/hari terbagi dalam 2-4 kali sehari ( maksimal 1 gram/hari)

Tidak direkomendasikan

40 mg/kg/hari terbagi dalam 2-4 kali sehari (maksimal 1

gram/hari)

25-50 mg/kg/hari terbagi dalam 4 dosis

(38)

digunakan azitrimisin, klaritromisin, sefuroksim, sefiksim, sefaklor, dan fluorokuinolon (Sukandar dkk, 2009). Pemilihan antimikroba terapi sinusitis akut karena bakteri dapat dilihat pada table II (Dipiro et al, 2008).

Tabel II. Terapi Antibiotika pada Sinusitis Akut

Kondisi Klinis Antibiotika

Sinusitis Tanpa Komplikasi Tanpa Komplikasi dan alergi terhadap penisilin

Terapi gagal

Resisten terhadap

Streptococcus pneumoniae

Amoksisilin

Non immediate type hypersensitivity: beta laktamase-stable Sefalosporin

Immediate-type hypersensitivity: Klaritromisin atau Azitromisin atau Trimetoprim-Sulfametoksazol atau Doksisiklin atau Fluorokuinolon

Pilihan pertama: Amoksisilin-klavulanat dosis tinggi atau beta laktamase-stable Sefalosporin

Pilihan kedua: Fluorokuinolon Pilihan pertama: Amoksisilin atau Klindamisin

Pilihan kedua: Fluorokuinolon

b. Infeksi Saluran Pernafasan Akut Bagian Bawah

Penyebab yang paling sering adalah virus RSVs dan virus parainfluenza. Infeksi Saluran Pernafasan bagian bawah meliputi pneumonia, bronkiolitis, dan bronkitis.

1) Pneumonia

(39)

1-2 minggu pada 20% pasien. (2). Pneumonia mikoplasma, gejalanya adalah demam bertahap, sakit kepala, malaise, batuk yang awalnya nonproduktif, sakit leher, sakit telinga, rhinorrhea dan ronkhi. Gejala ekstrapulmonal bisa terjadi yaitu mual, muntah, diare, myalgia, atralgia, arthritis, poliarticular rash, miokarditis, pericarditis, dan anemia hemolitik. (3). Pneumonia virus, gambaran klinis bervariasi, diagnosis dilakukan dengan tes serologi. (4). Pneumonia nosokomial, faktor utamanya adalah pengguna ventilator, yang meningkatkan pengguna antibiotika, pengguna antagonis reseptor H2, dan penyakit berat (Sukandar dkk, 2009).

Bakteri yang sering menyebabkan pneumonia adalah Streptococcus pneumonia (pneumococcus) atau Haemophilus influenza, dan Staphylococcus aureus atau Streptococcus lainnya. Mycoplasma pneumoniae dan Chlamydia pneumonia menyebabkan pneumonia atipikal (Dipiro et al, 2008).

(40)

2) Bronkiolitis

Bronkiolitis adalah infeksi virus akut pada saluran pernafasan bawah bayi yang menunjukan pola musiman yang tetap, puncaknya selama musim dingin dan menetap sampai awal musim semi. Penyakit tersebut umumnya memengaruhi bayi yang berusia 2-10 bulan. Penyebab utamanya adalah virus Respiratory syncytial, penyebab kedua adalah virus parainfluenzae. Bakteri sebagai patogen sekunder hanya terjadi pada sedikit kasus. Gejalanya adalah gelisah, nafas cepat, demam, batuk, wheezing (mengi), muntah, diare, dan hidung memerah. Bronkiolitis dapat sembuh sendiri dan umumnya tidak memerlukan terapi, selain menghilangkan kecemasan dan sebagai antipiretik, kecuali bila bayi hipoksia atau dehidrasi (Sukandar dkk, 2009).

Antibiotika yang digunakan untuk mengatasi bronkiolitis adalah ribavirin, namun bentuk sediaannya aerosol sehingga membutuhkan peralatan khusus. Akademi Pediatrik Amerika merekomendasikan untuk mempertimbangkan penggunaan ribavirin karena kesalahan terapi dengan ribavirin akan menyebabkan pasien lebih lama dirawat di rumah sakit, semakin lama di ICU, dan semakin lama menggunakan ventilasi mekanik (Dipiro et al, 2008).

3) Bronkitis akut

(41)

Gejalanya adalah batuk lebih dari 5 hari dengan sputum purulen, sakit tenggorokan, sakit kepala, dan demam dengan suhu tubuh >390C. Antibiotika pilihan pertama yang digunakan untuk terapi bronkitis akut adalah azitromisin, sedangkan antibiotika alternatif yaitu golongan fluorokuinolon seperti levofloxacin. Jika penyebabnya virus influenza A dapat digunakan amantadin, rimantadin, zanamivir, oseltamivir (Dipiro et al, 2008).

Penyebab infeksi saluran pernafasan akut meliputi virus, bakteri, maupun senyawa renik lainnya. Bakteri yang dapat menyebabkan infeksi saluran pernafasan akut termasuk Gram-positif yaitu Staphylococcus aureus, Streptococcus pnemoniae, sedangkan yang termasuk Gram-negatif adalah Haemophillus influenza, Pseudomonas aeruginosa, dan Pnemonia aureus (Misnadiarly, 2008).

(42)

sehingga bakteri yang biasanya ditemukan dalam saluran pernafasan atas, sesudah terjadinya infeksi virus dapat menginfeksi paru-paru sehingga menyebabkan pneumonia bakteri. Penanganan penyakit saluran pernafasan pada anak harus diperhatikan aspek imunologis saluran pernafasan terutama dalam hal sistem imun di saluran pernafasan yang sebagian besar terdiri dari mukosa. Sistem imun saluran pernafasan yang terdiri dari folikel dan jaringan limfoid yang tersebar, merupakan ciri khas sistem imun mukosa. Ciri khas berikutnya adalah bahwa imunoglobulin A (IgA) memegang peranan pada saluran pernafasan atas sedangkan imunoglobulin G (IgG) pada saluran pernafasan bawah. Sekretori IgA sangat berperan dalam mempertahankan integritas mukosa saluran pernafasan (Sheffy,2009).

(43)

kontak langsung antarpermukaan tubuh dan perpindahan mikroorganisme antara orang yang terinfeksi dengan orang yang rentan terinfeksi. Penularan secara tidak langsung meliputi kontak dari orang yang rentan terinfeksi dengan objek perantara yang terkontaminasi (misalnya tangan yang terkontaminasi) yang membawa mikroorganisme (WHO, 2014).

Infeksi Saluran Pernafasan Akut berdasarkan derajat keparahan penyakit dapat dibagi menjadi 3 bagian yaitu ISPA ringan dengan satu atau lebih gejala seperti batuk, pilek dengan atau tanpa demam; ISPA sedang meliputi gejala ISPA ringan ditambah satu atau lebih gejala pernafasan cepat, mengi (sakit dan keluar cairan lewat telinga), bercak kemerahan, dan panas 390C atau lebih; ISPA berat meliputi gejala ISPA ringan/sedang ditambah satu atau lebih gejala seperti penarikan dada ke dalam pada saat menarik nafas (Merson, 2012).

C. Penggunaan Obat yang Rasional

(44)

efek terapi tidak tercapai. Tepat jumlah yaitu jumlah obat yang diberikan harus dalam jumlah yang cukup. Tepat cara pemberian, misalkan antibiotika tidak boleh dicampur dengan susu karena akan membentuk ikatan sehingga menurunkan efektifitasnya. Tepat interval waktu pemberian hendaknya dibuat sesederhana mungkin dan praktis agar mudah ditaati oleh pasien. Tepat lama pemberian harus tepat sesuai penyakitnya masing-masing; tepat penilaian kondisi pasien yaitu penggunaan obat disesuaikan dengan kondisi pasien dan harus memperhatikan kontraindikasi obat, komplikasi, kehamilan, menyusui, lanjut usia atau bayi; waspada terhadap efek samping yaitu obat dapat menimbulkan efek samping yang merupakan efek tidak diinginkan yang timbul pada pemberian obat dengan dosis terapi, seperti timbulnya mual, muntah, gatal-gatal, dan lain sebagainya; efektif, aman, mutu terjamin, tersedia setiap saat, dan harga terjangkau, untuk mencapai kriteria ini obat dibeli melalui jalur resmi; tepat tindak lanjut (follow up) yaitu apabila pengobatan sendiri telah dilakukan, bila sakit berlanjut konsultasikan ke dokter; tepat penyerahan obat (dispensing) yaitu resep yang dibawa ke apotek atau tempat penyerahan obat akan dipersiapkan obatnya dan diserahkan kepada pasien dengan informasi yang tepat; pasien patuh terhadap perintah pengobatan yang diberikan (Depkes RI, 2008).

D. Keterangan Empiris

(45)
(46)

27 BAB III

METODE PENELITIAN

A. Jenis dan Rancangan Penelitian

Penelitian ini termasuk dalam jenis penelitian non-eksperimental dan menggunakan rancangan penelitian deskriptif evaluatif dengan pengambilan data dilakukan secara retrospektif. Jenis penelitian non-eksperimental karena observasinya dilakukan secara apa adanya, tanpa ada intervensi serta perlakuan dari peneliti terhadap subjek yang akan diteliti (Notoatmodjo, 2010). Rancangan penelitian yang digunakan adalah deskriptif evaluatif karena bertujuan untuk mengumpulkan informasi aktual secara rinci sehingga dapat menggambarkan fakta atau karakteristik populasi yang ada, mengidentifikasi masalah yang terjadi, kemudian melakukan evaluasi atau penilaian dari data yang telah dikumpulkan berdasarkan pedoman/standar yang ada (Hasan, 2002). Pengambilan data dilakukan secara retrospektif yaitu dengan melakukan penelusuran dokumen terdahulu yang diambil dari rekam medis pasien pada periode tertentu (Notoatmodjo, 2010).

B. Definisi Operational

1. Pasien pediatri adalah pasien anak yang berusia ≤14 tahun sesuai dengan klasifikasi RS Panti Rapih dan mendapatkan diagnosis utama keluar ISPA. 2. Pembagian klasifikasi umur menjadi ≤4 tahun, 5-11 tahun, 12-14 tahun

(47)

3. Infeksi Saluran Pernafasan Akut yaitu Infeksi Saluran Pernafasan Akut bagian atas meliputi otitis media, faringitis, dan sinusitis sedangkan untuk Infeksi Saluran Pernafasan Akut bagian bawah meliputi pneumonia, bronkiolitis, dan bronkitis.

4. Total kasus merupakan total semua kasus ISPA kelompok pediatri yang ada di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta pada periode Juli- September 2013.

5. Diagnosis yang digunakan adalah diagnosis keluar pasien yaitu ISPA dan ISPA dengan penyakit penyerta.

6. Durasi antibiotika adalah jumlah hari dimana pasien ISPA mendapatkan antibiotika selama perawatan di rumah sakit.

7. Lama perawatan pasien adalah jumlah hari yang menunjukan bahwa pasien ISPA dirawat, dihitung mulai dari pasien masuk menginap di rumah sakit hingga pasien keluar/ pulang dari rumah sakit.

8. Kriteria penggunaan obat yang rasional adalah:

1) Dosis yaitu banyaknya antibiotika yang diberikan dalam satu hari pemakaian yang dinyatakan dalam satuan mg/ml. Berdasarkan Pharmaceutical Care untuk Penyakit Infeksi Saluran Pernafasan (Depkes RI, 2005) dan berdasarkan terapi antibiotika yang diberikan untuk pasien pada data rekam medik. Contoh: pemberian Sporetik (Sefiksim 100 mg/5 ml) sebanyak 2,5 ml.

(48)

diberikan untuk pasien pada data rekam medik. Contoh: Sporetik (Sefiksim 100 mg/5 ml) diberikan secara per oral (p.o).

3) Frekuensi/Interval waktu pemberian antibiotika adalah berapa kali pasien menggunakan antibiotika dalam sehari. Berdasarkan Pharmaceutical Care untuk Penyakit Infeksi Saluran Pernafasan (Depkes RI, 2005) dan berdasarkan terapi antibiotika yang diberikan untuk pasien pada data rekam medik. Contoh: Sporetik (Sefiksim 100 mg/5 ml) diberikan 2 kali dalam sehari.

9. Rekam medis adalah catatan yang berisi data pasien meliputi nomor rekam medis, nama pasien, usia, jenis kelamin, tanggal masuk dan tanggal keluar pasien, lama perawatan, keluhan, diagnosis masuk, diagnosis keluar, data non laboratorium dan data laboratorium, nama obat yang digunakan, dosis, frekuensi, serta cara pemberian terhadap antibiotika.

C. Subjek Penelitian

Subyek penelitian meliputi pasien anak yang mendapatkan diagnosis ISPA di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta periode Juli-September 2013.

(49)

2. Kriteria eksklusi subyek adalah pasien pediatri yang mendapatkan diagnosis akhir ISPA dengan penyakit penyerta dan pasien pediatri yang data rekam medisnya tidak lengkap.

D. Bahan Penelitian

Bahan penelitian yang digunakan pada penelitian ini adalah data rekam medis pasien pediatri yang mendapat diagnosis utama keluar ISPA tanpa penyakit penyerta yang terdapat di Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta periode Juli-September 2013.

E. Instrumen Penelitian

(50)

F. Tata Cara Penelitian

Penelitian ini dilakukan dalam beberapa tahap berikut : 1. Tahap perencanaan

Proses yang dilakukan pada tahap ini adalah mencari informasi mengenai prevalensi penyakit ISPA melalui media cetak maupun media internet seperti buku, penelitian, dan jurnal, kemudian mengajukan proposal dan surat ijin penelitian untuk dapat melakukan penelitian di Rumah Sakit Panti Rapih. Setelah permohonan penelitian disetujui oleh pihak rumah sakit, maka penelitian dapat dilakukan pada bagian rekam medik rumah sakit tersebut.

2. Tahap analisis situasi

Tahap analisis situasi dilakukan untuk mendapatkan informasi mengenai jumlah pasien ISPA yang sedang menjalani rawat inap pada tahun 2013. Berdasarkan hasil printout nomor rekam medis dan jumlah pasien ISPA tersebut, didapatkan jumlah pasien pediatri yang mendapatkan diagnosis ISPA baik diagnosis utama keluar dan diagnosis lain/komplikasi sebanyak 69 kasus. Sebanyak 69 pasien, hanya 16 pasien yang memenuhi kriteria penelitian inklusi. Terdapat 53 pasien tidak memenuhi kriteria inklusi karena 11 pasien berumur diatas 14 tahun, 18 pasien tidak mendapatkan terapi antibiotika, 22 pasien mendapatkan diagnosis akhir ISPA dengan penyakit penyerta, dan 2 pasien yang rekam medisnya tidak lengkap.

3. Tahap pengumpulan data

(51)

medis, nama pasien, jenis kelamin, umur, berat badan, tanggal masuk dan keluar rumah sakit, diagnosis (meliputi diagnosis awal dan akhir), lama rawat inap, keluhan, hasil pemeriksaan non laboratorium dan data laboratorium, nama obat yang diberikan, dosis obat yang diberikan, frekuensi pemberian, serta lama pemberian.

4. Tahap pengolahan data

Dalam tahap ini, data yang sudah ada kemudian dikelompokan dan dijelaskan secara deskriptif, sebagai berikut:

a. Gambaran karakteristik demografi pasien ISPA yang meliputi jenis kelamin, usia, diagnosis, dan lama perawatan.

b. Gambaran pola peresepan antibiotika pada pasien ISPA meliputi sub golongan dan jenis antibiotika, dan durasi pemberian antibiotika.

c. Identifikasi jumlah ketidaktepatan pemberian antibiotika berdasarkan dosis, rute pemberian, serta frekuensi/interval waktu.

G. Analisis Hasil

Analisis data dilakukan secara deskriptif evaluatif sebagai berikut : a. Karakteristik demografi pasien

Karakteristik pasien ISPA diidentifikasi dengan mengelompokkan data yang diperoleh berdasarkan jenis kelamin, umur, diagnosis dan lama perawatan.

(52)

setiap kelompok jenis kelamin dengan jumlah pasien secara kesluruhan dikali 100 %.

2.) Distribusi jumlah pasien berdasarkan kelompok umur yang dibagi menjadi umur ≤4 tahun, umur 5-11 tahun, dan umur 12-≤14 tahun. Persentase dihitung dengan cara membagi jumlah pasien pada setiap kelompok umur dengan jumlah pasien secara keseluruhan dikali 100%.

3.) Distribusi diagnosis dikelompokkan berdasarkan diagnosis akhir yaitu ISPA tanpa penyakit penyerta dan ISPA dengan penyakit penyerta. Kemudian persentase dihitung dengan membagi jumlah pasien pada setiap banyaknya diagnosis dengan jumlah pasien secara keseluruhan dikali 100%.

4.) Distribusi lama hari rawat dikelompokkan berdasarkan lamanya hari rawat pasien. Kemudian persentase dihitung dengan membagi jumlah pasien pada setiap banyaknya lama hari rawat dengan jumlah pasien secara keseluruhan dikali 100%.

b. Pola Penggunaan Antibiotika Pada Pasien ISPA

1) Penggunaan antibiotika pada pasien ISPA berdasarkan sub golongan dan jenis antibiotika. Persentase masing-masing sub golongan dan jenis antibiotika dihitung dengan cara menghitung jumlah kasus pada tiap golongan dan jenis antibiotika dibagi dengan jumlah total kasus dan dikalikan dengan 100%

(53)

cara menghitung jumlah kasus pada tiap kelompok dibagi dengan jumlah total kasus dan dikalikan dengan 100%.

c. Gambaran Ketidaktepatan Penggunaan Antibiotika

1) Ketidaktepatan dosis yaitu dosis kurang dan dosis lebih. Persentase dosis kurang dan dosis lebih dihitung dengan cara menghitung jumlah antibiotika yang dosisnya rendah/ dosisnya lebih dibagi dengan jumlah total antibiotika dan dikalikan 100%

2) Ketidaktepatan rute pemberian yaitu cara pemberian antibiotika harus yang tidak sesuai. Persentase ketidaktepatan rute pemberian dihitung dengan cara menghitung jumlah antibiotika yang tidak tepat rute pemberiannya dibagi dengan jumlah total antibiotika dan dikalikan 100%. Cara pemberian antibiotika terdiri dari peroral (PO) dan intravena (IV). Persentase masing-masing kelompok cara pemberian antibiotika dihitung dengan cara menghitung jumlah antibiotika pada tiap jenis antibiotika dibagi dengan jumlah total antibiotika dan dikalikan dengan 100%.

3) Ketidaktepatan interval waktu pemberian dibuat sesederhana mungkin dan praktis agar dapat ditaati oleh pasien. Persentase ketidaktepatan interval waktu dihitung dengan cara menghitung jumlah antibiotika yang tidak tepat interval waktunya dibagi dengan jumlah total antibiotika dan dikalikan 100%.

H. Keterbatasan Penelitian

(54)

kesulitan dalam pembacaan data rekam medis dengan tulisan perawat atau dokter yang kurang jelas.

(55)

36 BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil penelitian disajikan secara sistematis, mulai dari karakteristik demografi pasien, pola peresepan antibiotika, hingga gambaran ketidaktepatan pemberian antibiotika.

A. Karakteristik Demografi Pasien ISPA

Karakteristik demografi pasien yang akan dibahas meliputi jenis kelamin, usia, dan diagnosis. Hasil penelitian adalah sebagai berikut:

1. Jumlah pasien ISPA berdasarkan jenis kelamin

Berdasarkan kriteria inklusi dan eksklusi, jumlah pasien yang didapatkan sebagai subyek penelitian sebanyak 16 pasien. Dari total pasien ISPA sejumlah 16 pasien, 11 diantaranya adalah laki-laki sebesar 68,75%. Hal ini dikarenakan anak laki-laki lebih suka bermain di tempat yang kotor, berdebu, dan banyak bermain diluar rumah, sehingga kontak dengan penderita ISPA lain yang memudahkan penularan dan anak terkena ISPA (Suyami dan Sunyoto, 2004). Proses penularan penyakit ISPA ternyata tidak merata untuk jenis kelamin laki-laki dan perempuan. Hal ini berkaitan dengan faktor penularan ISPA yang tidak hanya akibat terpapar lingkungan. ISPA dapat juga ditularkan melalui kontak langsung dengan anggota keluarga penderita ISPA.

(56)

banyak daripada pasien ISPA yang berjenis kelamin perempuan, dimana penderita dengan jenis kelamin laki-laki (55,8%) jumlahnya lebih banyak daripada penderita dengan jenis kelamin perempuan (44,2%). Hal ini diperkuat dengan pendapat Hapsari (2004) bahwa pneumonia lebih sering terkena pada laki-laki berusia kurang dari 6 tahun, hal ini berkaitan dengan respon pada anak, karena secara biologis sistem pertahanan tubuh laki-laki berbeda dengan anak perempuan.

Secara ringkas hasil penelitian ini akan disajikan pada gambar 3 sebagai berikut:

Gambar 3. Persentase Distribusi Jumlah Pasien ISPA Kelompok Pediatri di Instalasi Rawat Inap RS Panti Rapih Yogyakarta Periode Juli-September

2013 Berdasarkan Jenis Kelamin (n=16)

2. Jumlah pasien ISPA berdasarkan usia

Subyek penelitian ini adalah pasien pada kelompok pediatri yang menderita ISPA. Pembagian klasifikasi umur menjadi ≤ 4 tahun, 5-11 tahun, 12-14 tahun. Hasil penelitian mendapatkan bahwa kasus ISPA di RS Panti Rapih

68.75

(57)

Yogyakarta paling banyak terjadi pada kelompok usia anak-anak yaitu umur ≤ 4 tahun sebesar 87,5% dengan banyak pasien yaitu 14 pasien (n=16). Hasil penelitian ini mendukung beberapa hasil penelitian yang pernah dilakukan sebelumnya.

Penelitian Berawi (2013) menunjukkan bahwa selama periode Januari-Oktober 2013 di Puskesmas Kemiling Kota Bandar Lampung terdapat 184 kasus infeksi saluran pernafasan akut pada balita dan semuanya 100% didiagnosis sebagai penderita pneumonia. Data yang tercatat berdasarkan umur menunjukkan bahwa penderita kelompok umur 12 - 35 bulan paling banyak yakni 52,2%. Usia merupakan salah satu faktor risiko utama pada beberapa penyakit. Hal ini disebabkan karena usia dapat memperlihatkan kondisi kesehatan seseorang. Anak-anak yang berusia 0-24 bulan lebih rentan terhadap penyakit pneumonia dibanding anak-anak yang berusia diatas 2 tahun. Hal ini disebabkan oleh imunitas yang belum sempurna dan saluran pernafasan yang relatif sempit. Selain itu, pada pediatri kondisi tubuh anak masih lemah, dimana fungsi hampir seluruh sistem organ masih dalam perkembangan sehingga kelompok pasien ini mempunyai kemungkinan lebih besar terinfeksi oleh agen infektan ISPA.

(58)

itu, lingkungan keluarga harus mendukung agar balita dapat tumbuh dan berkembang secara optimal (Ngastiyah, 2002).

Secara ringkas hasil penelitian ini akan disajikan pada gambar 4 sebagai berikut:

Gambar 4. Persentase Distribusi Jumlah Pasien ISPA Kelompok Pediatri di Instalasi Rawat Inap RS Panti Rapih Yogyakarta Periode Juli- September

2013 Berdasarkan Usia (n=16)

3. Jumlah pasien ISPA berdasarkan diagnosis

Pengelompokan ISPA di rumah sakit Panti Rapih didasarkan pada diagnosis awal, maupun diagnosis akhir. Diagnosis akhir berbeda dengan diagnosis awal, karena selain berdasarkan pemeriksaan fisik, juga dilakukan pemeriksaan laboratorium, sehingga pada penelitian ini digunakan diagnosis akhir.

Berdasarkan hasil penelitian yang ditinjau dari diagnosis akhir, pasien ISPA dapat dikelompokkan menjadi 2 bagian, yaitu pasien ISPA tanpa penyakit

0

12.5

87.5

(59)

penyerta dan pasien ISPA dengan penyakit penyerta. Hasil penelitian menunjukan bahwa pasien ISPA dengan penyakit penyerta paling banyak terjadi yaitu sebesar 57,89% sebanyak 22 pasien, sedangkan pasien ISPA tanpa penyakit penyerta yaitu sebesar 42,11% sebanyak 16 pasien.

Secara ringkas hasil penelitian ini disajikan pada tabel III sebagai berikut:

Tabel III. Persentase Distribusi diagnosis akhir pasien ISPA kelompok pediatri di Instalasi Rawat Inap RS Panti Rapih Yogyakarta

periode Juli- September 2013 No Diagnosis

1 ISPA tanpa penyakit

penyerta 16 42,11

Amoksisilin, sefiksim, seftriakson, sefotaksim, eritomisin, paromomisin sulfat

2 ISPA dengan penyakit

penyerta 22

a. Dengue Hemoragic

Fever (DHF) 3 7,89 Kloramfenikol, sefiksim b. Gastroenteritis Akut

(GEA) 6 15,80

Sefiksim, seftriakson, eritromisin, paromomisin sulfat

c. Asma Bronkial 1 2,63 Sefotaksim

d. Epilepsi 1 2,63 Eritromisin

e. Kejang Demam (KD) 5 13,16 Eritromisin, sefiksim, sefotaksim

f. Stomatitis 1 2,63 Sefiksim

g. Rhinitis Alergika 1 2,63 Sefotaksim

h. GEA+KD 2 5,26 Sefotaksim, sefiksim,

sefadroksil, metronidasol i. Infeksi Saluran

Kemih (ISK)+KD 1 2,63

Amoksisilin, seftriakson, gentamisin

j. Asma Bronkial+KD 1 2,63 Sefiksim

(60)

4. Jumlah pasien ISPA berdasarkan lama perawatan

Lama perawatan berkisar 1-7 hari, dengan paling banyak selama 3 hari. Lama perawatan yang tidak panjang dan pemulangan yang lebih awal membuat pasien dapat segera kembali melakukan aktifitas normalnya. Selain itu, dapat pula mencegah terjadinya infeksi nosokomial dan mengurangi biaya rumah sakit. Menurut Penelitian Puteri (2012), lama rawat inap pasien ISPA kelompok umur pediatri yang dirawat di instalasi rawat inap IRNA Anak RSUP DR. M. Djamil Padang dikelompokkan menjadi dua kategori yaitu kategori efektif yaitu dengan lama rawat inap ≤ 9 hari dan kategori tidak efektif dengan lama rawat inap ≥ 10 hari. Penelitian ini termasuk dalam kategori efektif karena lama perawatan berkisar 1-7 hari dan paling banyak selama 3 hari terdapat 6 pasien (37,5%) yang berarti lama perawatan ≤ 9 hari.

Secara ringkas hasil penelitian ini akan disajikan pada gambar 5 sebagai berikut:

Gambar 5. Persentase Distribusi Jumlah Pasien ISPA Kelompok Pediatri di Instalasi Rawat Inap RS Panti Rapih Yogyakarta Periode Juli-September

(61)

B. Pola Penggunaan Antibiotika Pada Pasien ISPA

1. Penggunaan antibiotika pada pasien ISPA berdasarkan sub golongan dan jenis antibiotika

Semua pasien di dalam penelitian ini menggunakan antibiotika sebagai terapi. Hasil penelitian berkaitan dengan persentase jenis antibiotika yang diresepkan dalam penatalaksanaan terapi ISPA. Hal ini bertujuan untuk mengetahui jenis dan golongan antibiotika apa saja yang diresepkan dokter kepada pasien ISPA di RS. Panti Rapih Yogyakarta.

Berdasarkan data dari rekam medis, antibiotika yang digunakan dari total 16 pasien ISPA terdiri dari 6 jenis yaitu sefiksim, amoksisilin, seftriakson, sefotaksim, eritromisin, dan paromomisin sulfat. Penggunaan jenis antibiotika yang paling tinggi adalah jenis sefiksim yaitu sebanyak 36,84%.

Sefiksim dipercaya sebagai antibiotik spektrum luas dengan berbagai indikasi. Sefiksim memiliki keberhasilan yang sangat baik (92%) dalam pemberantasan mikroorganisme dan efek samping yang terjadi sama dengan sefalosporin lainnya (Dreshaj et al, 2011). Sefiksim bersifat bakterisid dan berspektrum luar terhadap mikroorganisme gram positif dan gram negatif, seperti golongan sefalosporin oral yang lain, sefiksim mempunyai aktivitas yang poten terhadap mikroorganisme gram positif seperti Streptococcus sp., Streptococcus pneumoniae, dan gram negatif seperti Branhamella catarrahalis, Escherichia coli, Proteus sp., Haemophilus influenza (Dexa, 2009).

(62)

1c) dan 3, dengan tempat aktivitas yang bervariasi tergantung jenis organismenya. Sefiksim stabil terhadap β-laktamase yang dihasilkan oleh beberapa organisme, dan mempunyai aktivitas yang baik terhadap organisme penghasil β-laktamase, yang berikatan dengan PBP yang terletak di dalam maupun permukaan membran sel sehingga dinding sel bakteri tidak terbentuk yang berdampak pada kematian bakteri (Depkes, 2005).

Paromomisin sulfat digunakan untuk terapi amubiasis intestinal ringan sampai sedang (akut maupun kronik) yang disebabkan Entamoeba histolytica dan sebagai terapi penunjang untuk koma hepatikum. Dosis pada amubiasis adalah 25-35 mg/kgBB/hari, terbagi dalam 3 dosis, selama 5-10 hari dan pada koma hepatikum adalah 4g sehari dalam dosis terbagi, 5-6 hari (BPOM Republik Indonesia dan Ikatan Apoteker Indonesia, 2013). Pada penelitian ini, antibiotika paromomisin sulfat tidak direkomendasikan untuk pengobatan ISPA, sehingga tidak dapat dievaluasi penggunaan antibiotikanya.

Secara ringkas hasil penelitian ini disajikan pada gambar 6 sebagai berikut:

Gambar 6. Persentase Distribusi jenis antibiotika untuk pengobatan ISPA Kelompok Pediatri di Instalasi Rawat Inap RS. Panti Rapih Yogyakarta

periode Juli-September 2013 (n=19) 10.53

10.53 15.79

21.05

36.84

5.26

(63)

Pada beberapa kejadian, pasien menerima terapi lebih dari 1 (satu) jenis antibiotika. Tujuan pemberian antibiotika lebih dari satu jenis ini dimaksudkan sebagai terapi kombinasi (sefiksim dengan paromomisin sulfat) maupun sebagai antibiotika pengganti (sefiksim diganti dengan seftriakson). Terapi antibiotika kombinasi digunakan pada kasus khusus dan untuk beberapa tujuan tertentu seperti mencegah adanya resistensi bakteri terhadap antibiotika yang sifatnya mendadak, mendapatkan manfaat dari dua atau lebih antibiotika yang mekanisme kerjanya saling bersinergi, menangani kemungkinan adanya infeksi yang disebabkan oleh lebih dari satu jenis bakteri, dan untuk menangani suatu kasus antibiotika yang berat (Murray et al., 2009). Hasil penelitian menunjukan sebanyak 13 pasien (81,25%) menerima terapi antibiotika tunggal yaitu amoksisilin dan seftriakson masing-masing 2 pasien (12,5%) dan sefotaksim, sefiksim, dan eritromisin masing-masing 3 pasien (18,75%) dan sebanyak 3 pasien (18,75%) menerima terapi antibiotika kombinasi yaitu sefiksim dengan sefotaksim, sefiksim dengan paromomisin sulfat, sefiksim dengan seftriakson masing-masing 1 pasien (6,25%). Secara ringkas hasil penelitian ini disajikan pada gambar 7 sebagai berikut:

Gambar 7. Persentase Distribusi profil penggunaan terapi Antibiotika Tunggal dan Kombinasi untuk pengobatan ISPA Kelompok Pediatri di

Instalasi Rawat Inap RS. Panti Rapih Yogyakarta periode Juli-September 2013 (n=16)

81.25 18.75

(64)

Penggunaan antibiotika pada pasien ISPA yang tertinggi yaitu antibiotika dengan sub golongan sefalosporin generasi III sebanyak 13 jumlah antibiotika (68,42%) yang terdiri dari sefiksim sebanyak 7 jumlah antibiotika sefiksim, sefotaksim sebanyak 4 jumlah antibiotika sefotaksim, dan seftriakson sebanyak 2 jumlah antibiotika seftriakson, sub golongan makrolida yaitu eritromisin sebanyak 3 jumlah antibiotika eritomisin (15,79%), sub golongan penisilin yaitu amoksisilin sebanyak 2 jumlah antibiotika amoksisilin (10,53%), dan sub golongan aminoglikosida yaitu paromomisin sulfat sebanyak 1 antibiotika paromomisin sulfat (5,26%). Sefalosporin generasi III banyak digunakan karena memiliki aktivitas spektrum yang luas serta aktif terhadap bakteri gram negatif.

Secara ringkas hasil penelitian ini disajikan pada tabel IV sebagai berikut:

Tabel IV. Persentase Distribusi Golongan Antibiotika yang digunakan oleh pasien ISPA Kelompok Pediati di Instalasi Rawat Inap RS. Panti Rapih

Yogyakarta Periode Juli-September 2013 No Nama Golongan Jenis

4 Aminoglikosida Paromomisin sulfat

1 5,26

Jumlah 19 100

2. Gambaran durasi penggunaan antibiotika pada pasien ISPA

(65)

pengobatan ISPA apabila digunakan selama kurang lebih 5-10 hari. Sefotaksim diasumsikan dapat membunuh bakteri penyebab ISPA dalam waktu kurang lebih 5-10 hari. Apabila durasi pengobatan ditambah, efek yang akan dihasilkan tidak jauh berbeda dengan durasi optimal bahkan bisa meningkatkan resiko resistensi bakteri apabila penggunaan antibiotika melebihi waktu optimal (Anonim, 2012).

Durasi ataupun lama penggunaan antibiotika untuk pasien ISPA tidak sama untuk setiap golongan antibiotika. Menurut Departemen kesehatan (2005), durasi pengobatan ISPA menggunakan amoksisilin adalah 10-14 hari, durasi pengobatan ISPA menggunakan antibiotika eritromisin adalah paling sedikit 3 minggu, sedangkan durasi pengobatan ISPA menggunakan antibiotika golongan sefalosporin generasi ketiga seperti seftriakson selama 4-14 hari dan sefiksim selama 10 hari.

Hasil penelitian menunjukan bahwa durasi penggunaan antibiotika pada pasien ISPA paling sering digunakan adalah sefiksim selama 3 hari yaitu sebanyak 3 jumlah antibiotika sefiksim (15,80%).

Secara ringkas hasil penelitian ini disajikan pada tabel V sebagai berikut:

Tabel V. Persentase durasi penggunan Antibiotika pada Pasien ISPA Kelompok Pediatri di Instalasi Rawat Inap RS. Panti Rapih Yogyakarta

Periode Juli-September 2013

No. Antibiotika Durasi

(66)

Lanjutan Tabel V. Persentase durasi penggunan Antibiotika pada Pasien ISPA Kelompok Pediatri di Instalasi Rawat Inap RS. Panti Rapih

Yogyakarta Periode Juli-September 2013

No. Antibiotika Durasi

(hari)

C. Gambaran Ketidaktepatan Penggunaan Antibiotika 1. Gambaran ketidaktepatan penggunaan antibiotika berdasakan dosis

Ketidaktepatan dosis diklasifikasikan menjadi dua yaitu dosis lebih adalah dosis pemberian obat yang lebih besar dari dosis yang diperhitungkan berdasarkan pustaka dan dosis kurang yaitu dosis pemberian obat yang lebih kecil dari dosis yang diperhitungkan berdasarkan pustaka. Pemberian dengan dosis kurang dapat dilakukan dengan maksud untuk mengurangi risiko pada pasien yang mengalami gangguan fungsi ginjal (Anggriani dkk, 2012). Pustaka yang digunakan pada penelitian ini adalah Pharmaceutical Care untuk Penyakit Infeksi Saluran Pernafasan (Depkes RI, 2005).

(67)

terjadi penyakit yang merupakan ulangan dan menjadi sulit disembuhkan. Penetapan dosis pada pasien kelompok umur pediatri haruslah diperhatikan. Organ-organ yang digunakan untuk melakukan metabolisme obat (ginjal dan hati) belum sempurna pada anak-anak. Apabila pemberian dosis pada anak tidak tepat, bisa jadi obat tersebut akan menjadi racun di dalam tubuh anak. Penggunaan antibiotik yang tidak sesuai atau tidak tepat dapat mengakibatkan hal-hal yang dapat merugikan pasien seperti meningkatnya jumlah bakteri yang resisten, timbulnya peningkatan efek samping dan toksisitas antibiotik, terjadinya pemborosan biaya, dan tidak tercapainya manfaat klinik optimal dalam pencegahan maupun pengobatan infeksi (Nugroho dkk, 2011).

Hasil penelitian pada lampiran 3, didapatkan antibiotika yang tidak tepat dosis yaitu dosis kurang sebanyak 6 jumlah antibiotika (33,33%) yaitu sefotaksim sebanyak 3 jumlah antibiotika sefotaksim dan sefiksim sebanyak 3 jumlah antibiotika sefiksim, dan dosis lebih sebanyak 3 jumlah antibiotika (16,67%) yaitu sefiksim sebanyak 3 jumlah antibiotika sefiksim. Secara ringkas hasil penelitian ini disajikan pada tabel VI berikut ini:

Tabel VI. Persentase Distribusi Jumlah Ketidaktepatan Dosis Antibiotika berdasarkan Pharmaceutical Care untuk Penyakit Infeksi Saluran Pernafasan pada Pasien ISPA kelompok umur Pediatri di Instalasi Rawat

Inap RS Panti Rapih Yogyakarta periode Juli-September 2013 No. Pasien Ketidaktepatan

dosis

Jumlah Antibiotika

(n=18) Persentase 3, 4, 6, 10, 12, 14 Dosis kurang 6 antibiotika 33,33%

(68)

2. Gambaran ketidaktepatan penggunaan antibiotika berdasakan rute pemberian

Rute pemberian antibiotika yang banyak digunakan dalam pengobatan ISPA kelompok umur pediatri di Instalasi Rawat Inap RS Panti Rapih Yogyakarta yaitu oral dan parenteral. Penggunaan oral lebih banyak dibandingkan penggunaan parenteral dan penggunaan sirup dan tablet masing-masing 6 jumlah antibiotika (50%). Hal ini disebabkan karena penggunaan oral yang lebih nyaman, mudah, ekonomis, dan aman bila dibandingkan dengan penggunaan parenteral. Dari 19 jumlah antibiotika yang diresepkan untuk 16 pasien anak, sebanyak 7 jumlah antibiotika (36,84%) diberikan secara parenteral dan sebanyak 12 jumlah antibiotika (63,16%) diberikan kepada pasien secara peroral. Untuk tujuan terapi serta efek sistematik yang dikehendaki, penggunaan oral adalah yang paling menyenangkan dan murah, serta umumnya paling aman. Hanya beberapa obat yang mengalami perusakan oleh cairan lambung atau usus. Pada keadaan pasien muntah-muntah, koma, atau dikehendaki onset yang cepat, penggunaan obat melalui oral tidak dapat dipakai (Wulandari,2014).

Gambar

Tabel I. Guideline Dosis Antimikroba pada Faringitis .....................
Gambar 1. Anatomi Saluran Pernafasan ...............................................
Gambar 8. Persentase Distribusi rute pemberian antibiotika pada
Gambar 1. Anatomi Saluran Pernafasan (Depkes RI, 2012).
+7

Referensi

Dokumen terkait

68/MPP/Kep/2/2003 Penjualan local produk tissue yang dilakukan antar pulau tidak termasuk dalam kelompok produk yang wajib PKAPT. Tidak

Hal inilah yang melatarbelakangi Penulis untuk melakukan Penulisan Hukum dengan judul “ Pelaksanaan Kewenangan atas Penggunaan Spektrum Frekuensi Radio bagi

Laba akuntansi didasarkan pada transaksi aktual yang dilakukan oleh perusahaan (terutama pendapatan yang timbul dari penjualan barang atau jasa dikurangi biaya yang diperlukan

Sejalan dengan hal di atas, Arikunto (1993) menyatakan bahwa “tes diagnostik adalah tes yang digunakan untuk mengetahui kelemahan-kelemahan siswa, sehingga

Parsons dan Trussel (2008) menyimpulkan bahwa salah satu ukuran yang dapat mewakili kemampuan sebuah organisasi nirlaba untuk berhasil dalam misinya (untuk program) dan

Seleksi massa (dalam pemuliaan tanaman) atau seleksi individu (dalam pemuliaan hewan) adalah salah satu metode seleksi yang tertua untuk memilih bahan tanam yang

[r]

— Cannabis — Sandalwood ... ' — Gaharu wood chips ­ ­ ­ Other ­ Provitamins, unmixed