• Tidak ada hasil yang ditemukan

DAMPAK SOSIAL BUDAYA LETUSAN GUNUNG SINABUNG DI WILAYAH ZONA MERAH.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "DAMPAK SOSIAL BUDAYA LETUSAN GUNUNG SINABUNG DI WILAYAH ZONA MERAH."

Copied!
29
0
0

Teks penuh

(1)

Dampak Sosial Budaya Letusan Gunung Sinabung

Di Wilayah Zona Merah

TESIS

Disusun Oleh :

FEBRIANI NATALIA BR TARIGAN NIM : 8126152006

Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Dalam Memperoleh Gelar Magister Sains

Program Studi Antropologi Sosial

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS NEGERI MEDAN

(2)
(3)
(4)
(5)

ABSTRAK

FEBRIANI NATALIA BR TARIGAN.

Dampak Sosial Budaya Letusan Gunung Sinabung Di Wilayah Zona Merah. Program Pascasarjana Universitas Negeri Medan, 2015.

Studi ini menelaah tentang dampak sosial budaya letusan gunung sinabung pada masyarakat yang bertempat tinggal di desa-desa yang terletak di dalam radius 5 Km dari puncak gunung Sinabung pasca meletus pada tanggal 15 September 2013. Adapun perumusan masalah yang diajukan, bagaimana solidaritas dan ikatan nilai sosial budaya penduduk di wilayah zona merah sebelum terjadi bencana alam letusan gunung Sinabung, bagaimana solidaritas dan ikatan nilai sosial budaya penduduk di wilayah zona merah pada saat dan setelah terjadi bencana alam letusan gunung Sinabung di tahun 2013, dan bagaimana antisipasi solidaritas dan ikatan sosial budaya penduduk di wilayah zona merah dalam menghadapi bencana alam atau musibah pada saat yang akan datang. Metode yang dipergunakan adalah etnografi, yakni metode penelitian Antropologi yang berupaya mengetengahkan kondisi-kondisi yang ditemukan di lapangan secara apa adanya.

Hasil yang diperoleh menunjukkan, solidaritas dan ikatan nilai sosial budaya penduduk wilayah zona merah sebelum terjadi bencana alam letusan gunung Sinabung Bahwa masyarakat yang dulunya tinggal di desa-desa dalam wilayah zona merah bencana letusan gunung Sinabung masih memiliki tali ikatan persaudaraan yang intim dengan sesama warga desa, dan kondisi solidaritas dan ikatan nilai sosial pasca letusan Sinabung masyarakat mulai berubah menjadi masyarakat yang pesimis dan sering berprasangkan buruk kepada masyarakat yang lainnya, sehingga melunturkan solidaritas di antara mereka. Antisipasi masyarakat menghadapi bencana yang akan datang mereka mulai peka dan memperhatikan larangan-larangan untuk menghindari bahaya dari letusan gunung Sinabung.

(6)

ABSTRACT

FEBRIANI NATALIA BR TARIGAN. Socio-cultural impact of the eruption of Mount Sinabung in the Red Zone region. Graduate Program, State University of Medan, 2015.

This study examines the social impact of culture on Sinabung eruption on people living in villages located within a radius of 5 km from the mountain top post Sinabung erupted on 15 September 2013. As for the formulation of the problem posed, how the bonds of solidarity and social value culture of the population in the region of the red zone before a natural disaster eruption of Mount Sinabung, how solidarity and socio-cultural values ties resident in the red zone during and after natural disasters Sinabung eruption in 2013, and how the anticipation of solidarity and socio-cultural ties resident in red zone area in the face of a natural disaster or calamity at the time to come. The method used is ethnography, the anthropology research method that seeks to set forth the conditions found in the field as it is. The results obtained showed, solidarity and socio-cultural values population bonding red zone area prior to the eruption of Mount Sinabung natural disasters that people who formerly lived in villages in the region of the red zone eruption of Mount Sinabung still has rope intimate fraternity with fellow villagers , and the condition of the bond of solidarity and social value of the post-eruption of Sinabung society began to change into a society that is pessimistic and often berprasangkan bad to other people, so it erodes solidarity between them. Anticipation public face of impending disaster they begin to be sensitive and attentive to the prohibitions to avoid the danger of the eruption of Mount Sinabung.

(7)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena atas Berkat dan

Karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan Tesis dengan judul “Dampak Sosial Budaya Letusan

Gunung Sinabung Di Wilayah Zona Merah”. Tesis ini penulis susun dalam rangka memenuhi

persyaratan menyelesaikan Pendidikan Program Pascasarjana Magister Sains Antropologi Sosial

pada Program Pascasarjana Universitas Negeri Medan.

Dalam penyusunan hingga terwujudnya Tesis ini tidak terlepas dari bimbingan dan

bantuan dari berbagai pihak, untuk itu pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih

yang sebesar-besarnya, terutama kepada yang terhormat

:

1. Bapak Dr. Phil Ichwan Azhari, M.S selaku Ketua Program Studi Magister Antropologi

Sosial Universitas Negeri Medan beserta Staf yang telah memberikan ijin, kesempatan

serta dorongan yang tidak ternilai harganya kepada diri penulis.

2. Bapak Dr. Phil Ichwan Azhari, M.S selaku Pembimbing Utama yang dengan penuh

kesabaran membimbing penulis, memberikan masukan-masukan serta arahan-arahan

hingga terselesainya Tesis ini.

3. Bapak Prof. Usman Pelly, Ph.D selaku pembimbing kedua dalam penyusunan Tesis ini

yang telah banyak memberikan masukan dan arahan dalam proses pembimbingan kepada

penulis hingga Tesis ini terwujud.

4. Bapak Dr. Hidayat, M.Si selaku Penguji dalam uji sidang Tesis yang telah banyak

memberikan masukan serta arahan-arahan yang sangat besar artinya bagi penulis.

5. Bapak Prof. Dr. Robert Sibarani, M.Si selaku penguji dalam uji sidang Tesis yang telah

(8)

6. Bapak Dr. Deny Setiawan, M.Si selaku penguji dalam uji sidang Tesis yang telah banyak

memberikan masukan serta arahan-arahan yang sangat besar artinya bagi penulis.

7. Seluruh Dosen Program Studi Magister Antropologi Sosial Universitas Negeri Medan

yang telah membekali penulis untuk selangkah lebih maju hingga Tesis ini terwujud.

8. Kepada rekan-rekan guru/ pegawai SMA KATOLIK 1 KABANJAHE yang telah banyak

mendukung penulis dalam melaksanakan perkuliahan dan penyelesaian Tesis ini.

9. Ayahanda tercinta Sehu Tarigan SH, dan Ibunda tercinta Riahta Br Ginting SH, yang

penuh kasih sayang dan ketulusan mendoakan penulis agar selalu diberi kekuatan lahir

dan batin hingga dapat menyelesaikan pendidikan di Program Pascasarjana Univeristas

Negeri Medan.

10. Suami tercinta Modal Karo-karo, yang penuh kasih sayang dan rela berkorban

mendampingi penulis dalam menyelesaikan perkuliahan dan Tesis ini.

11. Sudara-saudari yang terkasih abang Firnanda Tarigan, ST, kakak Cristin Rany Br

Ginting, SE, Abang Fernando Ginting, ST, Kakak Feronika Tarigan, STP dan Adik dr,

Novita sari br Tarigan yang telah banyak memberi dorongan dan semangat bagi penulis.

Penulis menyadri sepenuhnya bahwa dalam penyusunan Tesis ini masih jaug dari

kesempurnaan, untuk itu penulis menerima segala kritik dan saran yang bersifat membangun

demi perbaikan penyusunan di masa-masa mendatang. Mohon maaf dengan segala kekurangan

dan harapan penulis semoga bermanfaat bagi semua pihak.

Medan, 30 Maret 2015

Penulis

(9)

i

Daftar Isi

KATA PENGANTAR ……… .

i

DAFTAR ISI ... iii

BAB 1 : PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah ... 1

1.2. Indentifikasi Masalah ………. 7

1.3. Perumusan Masalah ……… 8

1.4. Tujuan Penelitian ……… 8

1.5. Manfaat Penelitian ……….. 9

BAB II : KAJIAN TEORITIS 2.1. Kajian Pustaka ……… .. 10

2.2. Kerangka Teori ……… . 21

2.2.1. Solidaritas Sosial ……….. 21

2.2.2. Sistem Nilai Budaya ………. 24

2.2.3. Perubahan Sosial dan Budaya ……….. 26

2.3. Kerangka Berpikir ……….. 29

BAB III : METODE PENELITIAN 3.1. Jenis Penelitian ……… 31

3.2. Subjek Penelitian ………. 31

3.3. Lokasi Penelitian .. ... 32

3.4. Teknik Pengumpulan Data ……….. 32

3.4.1. Studi Kepustakaan ……….. 32

3.4.2. Wawancara ………. 33

(10)

ii

3.4.4. Observasi ……… 34

3.5. Teknik Analisa Data ……… 34

BAB IV : HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hasil Penelitian ……….. 36

4.1.1. Gambaran Umum Lokasi Penelitian ……… 36

4.1.1.1. Kabupaten Karo ……… 36

1. Sistem Kekerabatan ……….. 40

2. Kepercayaan dan Nilai Religi ………... 44

4.1.2. Kabupaten Karo Sebelum Kemerdekaan ……….. 46

1. Asal Usul Masyarakat Karo ……….. 46

2. Wilayah Geografis Masyarakat Karo ……… 50

3. Politik dan Pemerintahan ……….. 53

4. Kondisi Sosial Ekonomi ……… 56

4.1.3. Masyarakat Karo dan Gunung ……… 59

4.1.4. Letusan Gunung Sinabung ………. 64

4.1.5. Wilayah Zona Merah ………. 74

4.1.6. Penanganan Pengungsi Letusan Gunung Sinabung ……….. 80

4.2. Pembahasan ………. 82

4.2.1. Solidaritas dan Ikatan Nilai Sosial Budaya Masyarakat di Wilyah Zona Merah Sebelum Letusan Gunung Sinabung ……… 82

4.2.2. Solidaritas Adat ……….. 89

4.2.2.1. Solidaritas dalam Pesta Adat Perkawinan ………. 91

4.2.2.2. Solidaritas Adat dalam Kematian ………... 99

4.2.3. Solidaritas Sosial ……… 100

(11)

iii

4.2.3.2. Solidaritas Terhadap Masyarakat yang Terkena Bencana (Tanaman

Terkena Bencana dan Gagal Panen ) ……… 102

4.3.1. Solidaritas dan Ikatan Nilai Sosial Budaya Masyarakat di Wilayah Zona Merah Pasca Letusan Gunung Sinabung ………. 105

4.3.2. Solidaritas Adat ……….. 145

4.3.2.1. Solidaritas dalam Upacara Adat Perkawinan ……….. 145

4.3.2.2. Solidaritas dalam Upacara Kematian ……….. 150

4.3.3. Soldaritas Sosial ……….. 155

4.3.3.1. Soldaritas Terhadap Masyarakat Kurang Mampu ………. 161

4.4.1. Antisipasi Solidaritas dan Ikatan Sosial Budaya Masyarakat di Wilayah Zona Merah dalam Menghadapi Bencana Alam atau Musibah Pada Saat yang Akan Datang ………. 169

BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN 5.1. Kesimpulan ……….. 176

5.2. Saran ………. 177

DAFTAR GAMBAR .. ... vi

DAFTAR PUSTAKA .. ... viii

(12)

i

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1 : Peta Kabupaten Karo ………. ... 39

Gambar 2 : Peta Wilayah Zona Merah Letusan Gunung Sinabung ……….. 80

Gambar 3 : Jambur Desa Sukameriah Sebelum Letusan Gunung Sinabung ……… 84

Gambar 5 : Mata Air Desa Simacem Sebelum Letusan Gunung Sinabung ……….. 87

Gambar 6 : Jambur Desa Bekerah Sebelum Letusan Gunung Sinabung ………….. 87

Gambar 7 : Gambar Gunung Sinabung dari Simpang desa Berastepu ………. 108

Gambar 8 : Gunung Sinabung dari Perladangan Masyarakat desa Berastepu ……. . 109

Gambar 9 : Gambar Gumbur Sinabung dari desa Berastepu (Perkiraan 100 tahun yang lalu

... 110

Gambar 10 : Gunung Sinabung Terlihat dari desa Berastepu Pasca Letusan Gunung Sinabung

Tahun 2014 .. ... 111

Gambar 11 : Lorong Perkampungan desa Berastepu Pasca Letusan Sinabung . ... 112

Gambar 12 : Tempat Penampungan Air desa Berastepu Pasca Letusan Sinabung . . 113

Gambar 13 : Rumah Adat Modivikasi Siwaluh Jabu di desa Berastepu Pasca Letusan Gunung

Sinabung ... 115

Gambar 14 : Batu Berhala terlihat dari Beranda Rumah Adat Modivikasi Siwaluh Jabu Pasca

Letusan Gunung Sinabung .. ... 116

Gambar 15 : Bagian dalam Rumah Adat Modivikasi Siwaluh Jabu di desa Berastepu Pasca

Letusan Gunung Sinabung .. ... 119

Gambar 16 : Balai Pertemuan Masyarakat Berastepu (jambur) Pasca Letusan Gunung

Sinabung ... 120

Gambar 17 : Gunung Sinabung dari desa Sukanalu Teran pasca Letusan Gunung Sinabung

… ... 122

(13)

ii

… ... 123

Gambar 19 : Sekolah Dasar Negeri di desa Sigarang-garang Pasca Letusan Gunung Sinabung

.. ... 124

Gambar 20 : Rumah adat Siwaluh Jabu di desa Kutarayat Pasca Letusan Gunung Sinabung

… ... 128

Gambar 21 : Gunung Sinabung terlihat dari desa dalam radius 3 Km Pasca Letusan Gunung

Sinabung ... 136

Gambar 22 : Rumah penduduk desa Simacem .. ... 137

Gambar 23 : Desa Sukanalu Teran Pasca Letusan Gunung Sinabung ... 140

Gambar 24 : Rumah penduduk (Relokasi) rasius 3 Km di Seosar Kecamatan Merek

Kabupaten Karo .. ... 143

Gambar 25 : Posko Pengungsian 1 UKA .. ... 146

Gambar 26 : Posko Pengungsian 2 UKA .. ... 152

Gambar 27 : Dapur umum Posko Pengungsian 1 dan posko Pengungsian 2 UKA .. 160

Gambar 28 : Posko pengungsian wilayah lintasan awan panas di gereja GBKP Kota

(14)

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah

Penelitian ini berangkat dari kejadian bencana alam yang terjadi di Kabupaten Karo

pada akhir September 2013 yang lalu. Bencana alam yang terjadi yaitu bencana letusan

gunung berapi Sinabung. Bencana letusan ini memang sudah pernah terjadi di tahun 2010

yang lalu. Catatan PVMBG (Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi) dalam bahasa

Belanda (Centrum Voor Vulkanologic en Geologische Gevaren Mitigatie) menyebutkan

bahwa Gunung Sinabung sebelum tahun 2010 dikelompokkan sebagai gunung bertipe B yang

tidak berbahaya dan tidak terlalu diamati. Letusan terakhir yang dicatat sejarah, terjadi pada

tahun 1600-an. Namun tiba-tiba, Sinabung meletus pada 29 Agustus 2010 tengah malam, dan

kemudian menjadikan gunung api tipe A. Aktivitas gunung Sinabung tersebut membuat

masyarakat Karo secara terkhusus masyarakat yang bertempat tinggal di sekitar lereng

Sinabung menjadi trauma, karena kejadian tersebut merupakan kejadian yang pertama sekali

mereka hadapi (Sinabung Post, 2013).

Aktivitas gunung Sinabung yang meningkat pada tahun 2010 tersebut tidak

berlangsung cukup lama, kerugian dalam bidang materi bisa dikatakan belum ada, tetapi

aktivitas gunung tersebut menyebabkan trauma yang mendalam bagi masyarakat yang

bertempat tinggal di sekitar lereng. Tidak ada pengalaman dari masa lalu, tidak ada

kisah-kisah yang diceritakan secara turun-menurun tentang apa yang harus dilakukan ketika gunung

meletus. Beberapa waktu kemudian aktivitas gunung Sinabung mulai kembali normal, dan

masyarakat diperkenankan untuk kembali ke rumah mereka masing-masing, namun pihak

(15)

2

tetap waspada menghadapi kemungkinan meningkatnya aktivitas gunung Sinabung .

(Sinabung Post, 2014).

Pada saat itu aktivitas masyarakat yang berada di sekitar lereng gunung Sinabung

sudah kembali normal mereka sudah kembali ke desa masing-masing dan menjalankan hidup

dengan normal seperti sedia kalanya sebelum gunung Sinabung erupsi. Tetapi kehidupan

normal masyarakat di sekitar lereng Sinabung tidak berlangsung begitu lama. Pada tahun

2013, Gunung Sinabung meletus kembali, sampai 18 September 2013, telah terjadi 4 kali

letusan. Letusan pertama terjadi ada tanggal 15 September 2013 dini hari, kemudian terjadi

kembali pada sore harinya. Pada 17 September 2013, terjadi 2 letusan pada siang dan sore

hari. Peristiwa tersebut membuat spontan masyarakat yang bertempat tinggal di sekitar lereng

kembali terusik, dimana mereka langsung dibayangi rasa trauma yang sudah pernah mereka

alami di tahun 2010.

Letusan yang terjadi di tahun 2013 letusan pertama tepatnya tanggal 15 September

tersebut ternyata bukanlah letusan yang sama dengan letusan Sinabung di tahun 2010.

Dimana letusan pertama tersebut mengawali penderitaan berkelanjutan yang sebenarnya telah

menunggu masyarakat di sekitar lereng Sinabung. Letusan ini melepaskan awan panas dan

abu vulkanik. Tidak ada tanda-tanda sebelumnya akan peningkatan aktivitas gunung

Sinabung sehingga tidak ada peringatan dini sebelumnya. Hujan abu mencapai kawasan

Sibolangit dan Berastagi. Hingga saat ini awan panas sinabung telah menelan 16 orang

korban, ribuan warga pemukiman sekitar terpaksa mengungsi ke kawasan yang aman

menurut pemerintah.

Ada 17 desa di empat kecamatan dalam wilayah Kabupaten Karo yang paling parah

terkena dampak letusan ini antara lain: kecamatan Payung yaitu desa Guru Kinayan, Selandi,

Sukameriah, kecamatan Simpang Empat yaitu desa Berastepu, Sibintun, Gamber, Kuta

(16)

3

Sigarang-garang, Kebayaken, Kuta tonggal, Kuta gugung, Sukanalu, dan kecamatan

Tiganderket yaitu desa Mardinding, dan Perbaji. Beberapa desa yang terletak di empat

kecamatan ini, termasuk dalam wilayah Zona Merah (di dalam radius 5 km dari puncak

gunung Sinabung). Penduduk dari ke 17 desa ini, dari pertengahan September 2013 hingga s

Juni 2014 masih tingga di posko-posko pengungsian.

Dari ke 17 dari 4 kecamatan ini, ada beberapa desa yang harus direlokasi yaitu desa

Sukameriah yang berada di kecamatan Payung, desa Bekerah dan desa Simacem yang berada

di kecamatan Naman Teran dan ada beberapa desa yang termasuk daerah lintasan awan

panas, yaitu desa Berastepu, Sibintun, Gamber, Kuta Tengah yang berada di kecamatan

Simpang empat dan desa Kuta Tonggal yang berada di kecamatan Naman Teran. Ke 3 desa

ini merupakan daerah wilayah zona merah dalam radius 3 Km dan 4 desa merupakan daerah

lintasan awan panas.

Menurut data yang beredar jumlah pengungsi hampir pernah mencapai kurang lebih

32.355 jiwa, mereka bertempat tinggal di 32 titik posko pengungsian yang tersebar di

beberapa wilayah Kabupaten Karo yang dianggap menjadi daerah zona aman. Mereka tinggal

di tempat-tempat pengungsian seperti jambur (balai pertemuan), aula-aula Gereja,

bangunan-bangunan bekas sekolah dan mesjid-mesjid dengan fasilitas seadanya. Hingga saat ini

(2014) dari pertengahan september 2013 masyarakat yang berada di sekitar lereng Sinabung

sudah mengungsi kurang lebih 7 bulan.(Karokab.go.id).

Kejadian tersebut membuat penduduk yang berada di wilayah zona merah (dalam

radius 5 km) harus kembali merasakan penderitaan dan tinggal di posko-posko pengungsian,

dan selama berjalannya waktu sejak gunung sinabung meletus pada pertengahan Septemeber

2013 penulis banyak melihat fenomena-fenomena yang terjadi pada masyarakat yang hidup

di daerah pengungsian. Waktu yang lumayan lama sampai berbulan-bulan lamanya membuat

(17)

4

pengungsian menjadi pesimis dan khawatir akan kehidupannya selanjutnya. Waktu yang

cukup lama tinggal di posko-posko pengungsian mengakibatkan dampak yang besar bagi

kehidupan sosial maupun budaya penduduk yang berada di wilayah zona merah.

Bencana letusan gunung Sinabung adalah salah satu faktor penyebab terjadinya

perubahan sosial yang sangat besar. Lingkungan alam sangatlah mempengaruhi sendi

kehidupan suatu masyarakat sehingga bila terjadi perubahan pada lingkungan maka

dampaknya adalah terjadinya perubahan sosial terhadap masyarakat tersebut. Keadaan

masyarakat yang tadinya teratur, memiliki sistem, dan terdapat stratifikasi di dalamnya, kini

sudah tidak terlihat lagi. Saat ini mungkin sangat sulit membedakan mana penduduk kaya

dan miskin, mana penduduk yang berkedudukan tinggi dan rendah. Kini semuanya sama

tidak ada yang lebih kaya dan tidak ada yang kedudukannya lebih tinggi, semuanya hidup

bersama di posko-posko pengungsian dengan segala fasilitas seadanya dan mengharapkan

bantuan dari LSM maupun pemerintah. Pola-pola perilaku masyarakat menjadi berbeda dari

biasanya, tidak menutup kemungkinan terjadinya konflik antarwarga masyarakat sehingga

keseimbangan sosial menjadi kabur.

Masyarakat Karo yang sangat terkenal dengan sistem kekerabatan dan adat istiadat

tutur waluh rakut sitelu ras perkade-kadeen si sepuluh dua dimana yang mana sistem

kekerabatan ini terdapat solidaritas dan ikatan nilai sosial budaya yang sangat erat, dalam

sistem kekerabatan ini dikenal istilah kalimbubu (orang yang dihormati atau disegani),

sembuyak (saudara satu marga atau klan) dan anak beru (orang yang melayani kalimbubu dan

sembuyak) dimana rakut sitelu ini merupakan kekerabatan yang paling dominan dalam

kehidupan masyarakat karo, apakah kekerabatan tersebut masih bias dipertahankan walau

dalam kondisi yang begitu parah, atau malah sistem kekerabatan dan solidaritas dan nilai

sosial budaya itu semakin erat. hal tersebut menimbulkan pertanyaan penulis, bagaimana

(18)

5

daerah lintasan awan panas sebelum terjadinya bencana alam letusan gunung Sinabung, dan

bagaimana solidaritas dan ikatan nilai sosial penduduk wilayah zona merah pada saat dan

sesudah akibat bencana alam letusan gunung Sinabung.

Memang letusan gunung Sinabung di tahun 2013 ini bukan kejadian yang pertama

bagi masyarakat Karo, karena seperti yang dituliskan sebelumnya bahwa di tahun 2010 untuk

pertama kalinya gunung Sinabung menandakan adanya aktivitas vulkano nya. Dan sudah ada

penelitian tesis mengenai Adaptasi kebudayaan masyarakat karo menghadapi bencana letusan

gunung sinabung 2010 yang ditulis oleh mahasiswa Pascasarjana Unimed Khairul Ikhwan

Damanik. Di dalam peneltian yang dilakukan Khairul Ikhwan tersebut dapat di simpulkan

bahwa masyarakat yang ada di sekitar lereng gunung sinabung sejak terjadinya letusan yang

pertama tahun 2010 masyarakat sudah mulai beradaptasi khususnya dalam bidang

kebudayaan pada sistem religi dan sistem pengetahuan, dalam bidang religi bencana letusan

gunung sinabung membuat sebagian masyarakat karo kembali kepada sistem kepercayaan

pemena, dan dari sisi pengetahuan membuat masyarakat karo memiliki pengetahuan baru dari

pengalaman langsung tentang tanda-tanda gunung yang akan meletus.

Ada juga seorang mahasiswa pascasarjana Unimed Ibrahim Chalid (2011) yang

melakukan penelitian mengenai modal sosial dan reduksi kemiskinan pada masyarakat

korban gempa dan tsunami studi kasus desa Lhok Pu’uk Kec Seunedon Kab Aceh Utara, di

dalam hasil penelitianya Ibrahim menyimpulkan bahwa gempa bumi dan tsunami di desa

Lhok Pu’uk tahun 2004 telah merevitalisasi kembali modal sosial yang ada pada masyarakat

desa Lhok Pu’uk.

Selain itu bencana alam letusan gunung api yang baru-baru ini terjadi adalah letusan

gunung api kelud yang terjadi pada tanggal 13 Pebruari 2014 Pusat Vulkanologi dan Mitigasi

Bencana Geologi meminta warga mengosongkan kawasan dalam radius 10 kilometer dari

(19)

6

mereka. Tetapi berbeda dengan letusan gunung sinabung yang terjadi hingga berbulan-bulan

lamanya, letusan gunung kelud tidak membutuhkan banyak waktu untuk memuntahkan

larvanya, sehingga penduduk yang bertempat tingga di sekitar lereng gunung Kelud tidak

berlama-lama tinggal di posko pengungsian, walaupun sebenarnya penduduk desa mengalami

kerugian yang begitu besar baik dalam bidang materi maupun psikis. Tetapi penderitaan

penduduk yang berada di sekitar lereng gunung Kelud tidak lama, sehingga dalam waktu

yang singkat mereka dapat menata kembali kehidupannya.

Seperti yang dituliskan Nelly dalam artikel yang berjudulMerapi: Gejala alam, Sistem

tanda, dan Interaksi sosialLetusan Merapi juga tidak kalah hebatnya. Gunung yang

puncaknya sering tampak diliputi awan putih ini dinyatakan berubah statusnya dari aktif

normal, waspada, siaga, hingga terakhir menjadi status : awas. Gunung Merapi (2914 meter)

hingga saat ini masih dianggap sebagai gunung berapi aktif dan paling berbahaya di

Indonesia, namun menawarkan panorama alam yang indah dan menakjubkan. Secara

geografis terletak di perbatasan Kabupaten Sleman (DIY), Kabupaten Magelang (Jateng),

Kabupaten Boyolali (Jateng) dan Kabupaten Klaten (Jateng). Gunung merapi meletus lebih

dari 37 kali, terbesar pada tahun 1972 yang menewaskan 3000 jiwa.

Gunung Merapi merupakan sebuah fenomena alam yang tidak saja dapat dijelaskan

secara positif oleh para ilmuwan vulkanologi dengan segala perangkatnya seperti seismograf,

teropong inframerah, pemantau lahar elektronik, dan lain-lain. Namun, selain sebagai sebuah

gejala alam, bagi masyarakat Yogyakarta sebagai penduduk setempat, Gunung Merapi

merupakan simbol kekuatan magis yang melingkupi Jogja dimana Kraton Ngayogyakarta

Hadiningrat, Pantai Selatan, dan juga Gunung Merapi berada dalam satu garis lurus yang

dihubungkan dengan simbol Tugu Jogja di tengahnya. Artinya, Gunung Merapi adalah

sebuah fenomena alam yang tidak hanya dapat dijelaskan oleh sebuah pengetahuan

(20)

7

berbasis pada kebudayaan masyarakat setempat. Pengetahuan-pengetahuan tersebut

melibatkan berbagai sistem tanda yang kontekstual yang berimplikasi pada cara masyarakat

setempat berinteraksi dan menginterpretasikan lingkungan sekitar mereka.

Dari pernyataan di atas menumbuhkan rasa ingin tahu penulis, bagaimana kehidupan

penduduk yang berada di sekitar lereng gunung sinabung dalam menghadapi bencana yang

melanda tempat tinggal mereka, apa saja cara adaptasi yang harus mereka lakukan dalam

menjalani kehidupan ke depan harinya, dan apa saja dampak dari letusan gunung sinabung

dalam bidang sosial budaya secara terkhusus dalam sistem solidaritas dan ikatan nilai sosial

budaya penduduk yang berada di wilayah zona merah dalam radius 5 km dari puncak gunung

Sinabung.

Rasa ingin tahu tersebut membuat penulis tertarik untuk melakukan sebuah penelitian

yang bergaya naratif terhadap penduduk yang berada di sekitar lereng gunung sinabung

secara terkhusus penduduk yang berada di wilayah zona merah (dalam radius 5 km dari

puncak gunung Sinabung). Untuk itu penulis ingin meneliti sebuah penelitian yang berjudul ”

Dampak Sosial Budaya Letusan Gunung Sinabung Di Wilayah Zona Merah”.

1.2. Indentifikasi Masalah

Bencana letusan gunung sinabung yang terjadi di Kabupaten Karo pertengahan

September 2013 yang lalu membuat masyarakat di 34 desa yang bertempat tinggal di sekitar

lereng gunung Sinabung terpaksa mengungsi dan hidup di posko-posko pengungsian hingga

berbulan-bulan lamanya termasuk desa yang terletak di wilayah zona merah . Hal tersebut

menimbulkan dampak sosial budaya terhadap kehidupan penduduk desa tersebut. Oleh sebab

itu dalam penelitian ini ada tiga hal pokok yang menjadi indentifikasi masalah.

1. Solidaritas dan ikatan nilai sosial budaya penduduk di wilayah zona merah

(21)

8

2. Solidaritas dan ikatan nilai sosial budaya penduduk di wilayah zona merah pada

saat dan setelah terjadi bencana alam letusan gunung Sinabung di tahun 2013

3. Antisipasi solidaritas dan ikatan nilai sosial budaya penduduk di wilayah zona

merah dalam menghadapi bencana alam atau musibah pada saat yang akan datang

1.3. Perumusan Masalah

Adapun yang menjadi rumusan masalah dalam penelitian ini adalah :

1. Bagaimana solidaritas dan ikatan nilai sosial budaya penduduk di wilayah zona

merah sebelum terjadi bencana alam letusan gunung Sinabung?

2. Bagaimana solidaritas dan ikatan nilai sosial budaya penduduk di wilayah zona

merah pada saat dan setelah terjadi bencana alam letusan gunung Sinabung di

tahun 2013?

3. Bagaimana antisipasi solidaritas dan ikatan sosial budaya penduduk di wilayah

zona merah dalam menghadapi bencana alam atau musibah pada saat yang akan

datang?

1.4. Tujuan Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian Antropologi yang berupaya menemukan jawaban

atas pertanyaan-pertanyaan yang telah disampaikan pada perumusan masalah. Jika diuraikan,

maka tujuan-tujuan tersebut antara lain:

1. Untuk mengetahui bagaimana solidaritas dan ikatan nilai sosial budaya penduduk

di wilayah zona merah sebelum terjadinya bencana alam letusan gunung

(22)

9

2. Untuk mengetahui bagaimana solidaritas dan ikatan nilai sosial budaya penduduk

di wilayah zona merah pada saat dan setelah terjadinya bencana alam letusan

gunung Sinabung di tahun 2013.

3. Untuk mengetahui bagaimana antisipasi solidaritas dan ikatan sosial budaya

penduduk di wilayah zona merah dalam menghadapi bencana alam atau musibah

pada saat yang akan datang.

1.5. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat dalam dua kategori, yakni memberi

manfaat untuk kepentingan teoritis atau akademis, serta memberi manfaat pula secara praktis.

Secara teoritis, maka penelitian ini diharapkan dapat memperkaya kajian bidang Sosiologi,

terutama yang berkenaan dengan bencana alam, serta menambah literatur baru tentang

bencana di Sumatera Utara, maupun di Indonesia.

Sementara secara praktis, diharapkan hasil penelitian ini dapat bermanfaat bagi

masyarakat maupun pemerintah daerah Kabupaten Karo untuk mengambil kebijakan

berkenaan dengan penanganan bencana alam gunung api di daerahnya. Selain itu juga

diharapan agar masyarakat untuk dapat mengantisipasi masalah-masalah bencana alam

(23)

175 BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan

Dari uraian di atas dapat ditarik kesimpulan mengenai dampak sosial letusan gunung

Sinabung di wilayah zona merah dalam hal solidaritas sebelum terjadinya letusan gunung

Sinabung dan sesudah terjadi letusan gunung Sinabung dan antisipasi masyarakat terhadap

bencana yang akan menimpa mereka di saat yang akan datang :

1. Bahwa masyarakat yang dulunya tinggal di desa-desa dalam wilayah zona merah

bencana letusan gunung Sinabung masih memiliki tali ikatan persaudaraan yang intim

dengan sesama warga desa, Masyarakat wilayah zona merah yang pada umumnya

adalah masyarakat yang konservatif (masih tradisional) yang masih memegang adat

istiadat dan memiliki hubungan yang akrab dengan yang lainnya, yang menjadi patokan

nilai dalam kehidupan masyarakat adalah hubungan manusia dengan sesamanya

merupakan hal yang terpenting di dalam kehidupan masyarakat. Hakekat hubungan

antara manusia dengan sesamanya pada masyarakat konservatifrasa ketergantungan

kepada sesamanya (berjiwa gotong royong)”. Pandangan masyarakat yang masih

memegang adat istiadat dan tradisi tolong-menolong menciptakan solidaritas di antara

mereka sangat tinggi baik dalam solidaritas adat perkawinan, adat kematian dan

solidaritas sosial baik bagi masyarakat yang kurang mampu dan masyarakat yang

terkena bencana seperti gagal panen akibat hama.

2. Akibat bencana Sinabung ini desa yang dulu ramai, hangat dan terdapat banyak canda

tawa di dalamnya kini berubah menjadi desa yang mencekam, sepi seperti tidak

berpenguhuni. Terjadi perubahan sosial akibat bencana alam yang menyebabkan

(24)

176

berdampak kepada solidaritas dan ikatan nilai sosial budaya masyarakat. Masyarakat

desa yang dulunya masih intim dan harmonis antara satu dengan yang lainnya kini

mulai berubah pada saat mereka hidup di posko-posko pengungsian yang mana

masyarakat yang tadinya masih berpikiran tradisional dan masih menjunjung tinggi adat

istiadat dan kegotong royongan antara sesama masyarakat, tetapi pada saat hidup di

pengungsian waktu yang lama membuat mereka berubah menjadi masyarakat yang

mulai mementingkan diri sendiri dan sikap kegotong-royongan dan solidaritas yang

selama ini mereka cerminkan dalam setiap upacara adat perkawinan maupun kematian,

serta empati mereka terhadap masyarakat desa yang kurang mampu kini mulai

memudar bahkan hilang.

Pada masyarakat yang bertempat tinggal di wilyah zona merah letusan gunung

Sinabung, yang mayoritas masyarakatnya berasal dari suku Karo dan bermata

pencharian homogen yaitu petani, pada umumnya masyarakat mayoritas belum

sepenuhnya menjalankan ajaran agama yang dianutnya dengan sungguh-sungguh selalu

tunduk kepada alam hal itu diperlihatkan dari adanya batu berhala tempat dimana sering

dilakukan ritual-ritual untuk penyembahan kepada nenek moyang yang dianggap

mendiami gunung Sinabung. Sehingga pada saat bencana alam datang melanda mereka,

masyarakat langsung berpikir bahwa hidup ini buruk.

3. Bencana letusan Sinabung yang tak kunjung selesai membuat masyarakat yang berasal

dari desa-desa dalam wilayah zona merah pesimis akan nasibnya ke masa yang akan

datang. Antisipasi yang dilakukan masyarakat dalam menghadapi bencana alam atau

musibah yang kapan saja dapat muncul, masyarakat akan meninggalkan desa dan hidup

di tempat relokasi yang sudah disediakan pemerintah, karena waktu yang cukup lama

membuat mereka paham bahwa letusan gunung Sinabung membuat penderitaan mereka

(25)

177

radius 5 Km yang sudah kembali ke desanya seperti warga desa Kutarayat, mereka

sudah mulai membentuk tim untuk memperhatikan segala aktivitas gunung Sinabung,

dan segala barang-barang yang bisa di bawa sudah siap dalam tas, sehingga kapan saja

ada peringatan mereka dapat segera pergi melalui jalan yang mengarah langsung ke

kabupaten Langkat, sehingga mereka tidak perlu melewati kaki gunung Sinabung yang

berbahaya.

5.2. Saran

Adapun yang harus diperhatikan dalam mengatasi dampak letusan gunung Sinabung di

wilayah zona merah adalah :

1. Akibat bencana letusan Gunung Sinabung solidaritas yang dahulu kuat diantara

masyarakat sudah mulai pudar, waktu yang cukup lama hidup di posko-posko

pengungsian mengakibatkan masyarakat menjadi sensitif (mudah tersinggung) dan

pesimis untuk menjalani kehidupannya ke masa yang akan datang. Oleh sebab itu

penulis sangat mendukung pemerintah agar tahap perelokasian warga dapat segera

selesai sehingga masyarakat dapat kembali hidup di dalam rumah masing-masing

sehingga dapat menjalani kehidupan seperti sedia kalanya.

2. Penulis sangat mendukung kebijakan pemerintah mengenai perelokasian tahap 2 karena

selama penulis melakukan kunjungan ke desa-desa dalam wilayah zona merah dan ke

beberapa titik pengungsian tempat masyarakat wilayah zona merah tingggal penulis

banyak melihat masalah-masalah sosial dan budaya yang timbul, waktu yang cukup

lama membuat mereka semakin pesimis, sensitif sehingga mudah tersinggung yang

berakibat pada konflik yang mungkin kapan saja dapat muncul di dalam kehidupan

(26)

178

3. Hendaknya peristiwa bencana alam letusan gunung Sinabung ini menjadi pelajaran bagi

masyarakat Karo secera terkhusus, agar dalam kejadian suka maupun duka solidaritas

diantara mereka tidak boleh pudar dan tetap terjalin dengan harmonis. Hilangkan

prasangka buruk yang berakibat kepada kesalah pahaman yang menimbulkan

(27)

i

Daftar Pustaka

Bangun, Tridah, Penelitian dan Pencatatan Adat Istiadat Karo, Jakarta, PT Kesaint Blanc

Indah Corp

Durkheim, Emile, The Division of Labour in Society, Translated by George Simpson, New

York, Free Pres, 1964

Efendi, Rahmad, Penelitian Adaptasi Kultural Terhadap Potensi Bencana Longsor, Tidak

diterbitkan

J. Dwi Narwoko, Sosiologi Teks Pengantar Dan Terapan, Jakarta : Kencana, 2010.

Karo Dalam Angka 2014, Badan Pusat Statistik Kabupaten Karo/BPS-Statistics of Karo

Koentjaraningrat , Pengantar Ilmu Antroplologi, Jakarta , Rineka Cipta, 1990.

Langley, Andrew, Seri Pengetahuan Bencana Alam, Jakarta, PT Gelora Aksara Pratama,

2007.

Marlina, Lina, Buku Pintar Bencana Alam, Jogjakarta, Harmoni, 2011.

M. Setiadi Elly, Ilmu Sosial dan Budaya Dasar, Jakarta, Kencana, 2008.

Mulyana, Deddy, 2001. Metodologi Penelitian Kualitatif. Paradigma Baru Ilmu Komunikasi

dan Ilmu Sosial Lainnya. Bandung: Remaja Rosdakarya.

Nelly, Rossadha, Murni, Merapi: Gejala alam, Sistem tanda, dan Interaksi sosial, Tidak

diterbitkan

Oliver, Anthony & Smith. (1996). Anthropological Research on Hazard and Disasters.

(28)

ii

Soekanto Soerjono, Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.2006.

Spradley, James P, Metode Etnografi, Yogyakarta, Kanisius, 1992.

Surbakti, Kena Ukur, Sinabung Post Ed November-Desember, Medan, CV Sinarta, 2013.

Surbakti, Kena Ukur, Sinabung Post Ed Desember-Januari, Medan, CV Sinarta, 2014.

Tarigan, Sarjani, Kepercayaan Orang Karo (Tempoe Doeloe), Medan, Balai Adat Budaya

Karo Indonesia, 2011.

Wikipedia Bebas, www, wikipedia 5 Maret 2014, pukul 16:22

Willy hafidin http//prezi.com/do1nvgnmkyvp/pengungsi diakses :05 Maret 2014, pukul

16:22)\

www.karokab.go.id diakses 5 Maret 2014

Undang-undang No. 24 Tahun 2007 Penanggulangan Bencana diakses : 05 Maret 2014

Kreasiedukasi,blogspot.com Manusia dan Bencana Gunung Merapi, sebuah kajian

Antropologi diakses (12 April 2014)

Kompasiana, regional, kompasiana.com/2014/04/03/Alhamdulilah gunung sinabung turun

status Marufin Sudibyo diakses (12 April 2014)

Khairul Ikhwan-detiknews 34 desa berada dalam zona bahaya letusan gunung sinabung

Mountsinabung.blogspot.com Antropologi Bencana Alam diakses (12 April 2014)

Sinarharapan/co/news/Bencana dan Antropologi tanah Teuku Kemal Fasha 2014 diakases (15

(29)

iii

Skalanews.com/berita/detail/194622/pengungsi-sinabung-direlokasi-di-desa –seosar-karo

diakses (Selasa 07 Oktober 2014)

Tempo.co.Metro, kamis 03 November 2013

Tesis Mahasiswa Pascasarjana

Damanik, Ikhwan, Khairul, Adaptasi Kebudayaan Masyarakat Karo Menghadapi Bencana

Letusan Gunung Sinabung, 2012

Chalid Ibrahim, Modal Sosial dan Reduksi Kemiskinan Pada Masyarakat Korban Gempa dan

Tsunami (Studi Antropologis di desa Lhook Pu;uk Kecamatan Seunedon Kab Aceh

Gambar

Gambar 19 : Sekolah Dasar Negeri di desa Sigarang-garang Pasca Letusan Gunung Sinabung

Referensi

Dokumen terkait

bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut pada huruf a di atas, perlu ditetapkan Keputusan Komisi Pemilihan Umum Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta tentang Penetapan Tim

[r]

Universitas Negeri

Kelompok Kerja (Pokja) 3 Unit Layanan Pengadaan (ULP) Kantor Pusat Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Tahun Anggaran 2016 akan melaksanakan Pelelangan Umum dengan Pascakualifikasi

[r]

erbandingan lulusan yang jauh lebih banyak dibanding peluang kebutuhan tenaga kerja P menyebabkan lulusan bidang keahlian Bisnis dan Manajemen banyak yang menganggur atau bekerja

It was also unfortunately featured in the British newspaper The Telegraph in their travel section: “One of the world´s 30 ugliest buildings?” In late 2015 the Kosovo

(2) FPPWK Kabupaten/Kota melalui ketua dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2) melakukan konsultasi dan koordinasi kepada Gubernur