• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENGARUH WAKTU PELAYUAN PADA SUHU 40C SECARA VAKUM TERHADAP BEBERAPA SIFAT FISIK DAGING SAPI AUSTRALIAN COMMERCIAL CROSS BAGIAN PEREMPAT DEPAN - The Effect Of Aging Time At 40c In Vacuum Packed On Some Physical Characteristics Of Forequarter Australian Co

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "PENGARUH WAKTU PELAYUAN PADA SUHU 40C SECARA VAKUM TERHADAP BEBERAPA SIFAT FISIK DAGING SAPI AUSTRALIAN COMMERCIAL CROSS BAGIAN PEREMPAT DEPAN - The Effect Of Aging Time At 40c In Vacuum Packed On Some Physical Characteristics Of Forequarter Australian Co"

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

PENGARUH WAKTU PELAYUAN PADA SUHU 40C SECARA VAKUM TERHADAP BEBERAPA SIFAT FISIK DAGING

SAPI AUSTRALIAN COMMERCIAL CROSS BAGIAN PEREMPAT DEPAN

Obin Rachmawan, Muhammad Ali Akbar, Jajang Gumilar

Fakultas Peternakan Unpad.

Abstrak

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh waktu pelayuan dan waktu pelayuan terbaik pada suhu 40C secara vakum terhadap beberapa sifat fisik daging sapi Australian Commercial Cross bagian perempat depan. Penelitian ini menggunakan metode experimental dengan Rancangan Acak Kelompok. Terdapat empat jenis perlakuan (P1 = 4 hari, P2 = 8 hari, P3 = 12 hari, dan P4 = 16

hari) dengan enam kelompok (K1 = Sengkel depan, K2 = Sandung Lamur, K3 =

Paha Depan, K4 = Iga, K5 = Lamusir, dan K6 = Punuk). Berdasarkan hasil analisis

statistik menunjukkan bahwa waktu pelayuan berpengaruh nyata (p<0,05) terhadap pH, daya ikat air, dan keempukan, tetapi tidak berpengaruh nyata (p>0,05) terhadap susut masak. Disamping itu sifat fisik terbaik dihasilkan selama 11-12 hari.

Kata Kunci: Waktu pelayuan, sifat fisik daging, bagian perempat depan, kemasan vakum

THE EFFECT OF AGING TIME AT 40C IN VACUUM PACKED ON SOME PHYSICAL CHARACTERISTICS OF FOREQUARTER

AUSTRALIAN COMMERCIAL CROSS BEEF Obin Rachmawan, Muhammad Ali Akbar, Jajang Gumilar

Faculty of Animal Husbandry - Unpad

Abstract

The objective of this research was to identify the effect of aging time and the the best aging time at 40C in vacuum packed on some physical characteristics of forequarter Australian Commercial Cross beef. The research used experimental method with Randomized Block Design. There were four treatments (T1 = 4 days,

T2 = 8 days, T3 = 12 days, and T4 = 16 days) with six blocks (B1 = Shank, B2 =

Brisket, B3 = Chuck, B4 = Rib, B5 = Cube Roll, and B6 = Blade). The result

indicated that aging time has a significant effect (p<0,05) on pH, water holding capacity and tenderness, but it has not have a significant effect (p>0,05) on cooking loss. In addition, the best physical characteristics produced at 11th-12th day.

(2)

Pendahuluan

Sapi potong merupakan ternak yang memberikan kontribusi besar dalam

pemenuhan kebutuhan daging. Kebutuhan daging sapi di Indonesia cukup besar.

Tahun 2007 konsumsi daging sapi di Indonesia sebesar 1,7 kg/perkapita dan

kebutuhan daging sapi di dalam negeri mencapai 370,8 ribu ton, sedangkan

kapasitas produksi dalam negeri sebanyak 245,2 ribu ton. Kekurangan 125,6 ribu

ton atau 33,9 persen dipenuhi lewat impor. Impor daging sebesar 28 persen

berasal dari Australia yang terdiri dari 10.000 ton daging beku dan 500 ribu ekor

sapi bakalan (APFINDO, 2008). Sapi yang banyak diimport dari Australia adalah

jenis Australian Commercial Cross, karena mudah beradaptasi terhadap

lingkungan tropis dan memiliki pertumbuhan yang cepat.

Kualitas daging ditentukan oleh beberapa sifat fisik, seperti pH, DIA (daya

ikat air), susut masak, dan keempukan. Keempukan merupakan faktor utama dari

sifat fisik yang menentukan kualitas daging. Kualitas daging yang rendah ditandai

dengan rendahnya nilai keempukan. Nilai keempukan yang rendah akan

membuat daging menjadi alot. Kealotan salah satunya dipengaruhi oleh otot dan

kadar jaringan ikat pada daging.

Daging bagian perempat depan atau forequarter yang di pasaran pada

umumnya lebih alot dibandingkan dengan bagian perempat belakang atau

hindquarter, karena daging bagian perempat depan mempunyai otot dan

jaringan ikat yang lebih kompak daripada bagian perempat belakang, salah satu

penyebabnya adalah pengaruh dari gelombang pertumbuhan. Prinsip gelombang

pertumbuhan dimulai dari kepala lalu menyebar ke arah badan (dari cranial ke

caudal) dan dimulai dari ujung-ujung anggota badan ke arah bagian atas (dari

distal ke proximal) (Lawrie, 2003). Gelombang pertumbuhan yang dimulai dari

kepala membuat komponen-komponen penyusun forequarter ini lebih dulu

tumbuh dan berkembang, sehingga daging menjadi alot. Gelombang

(3)

membuat kadar jaringan ikat yang berbeda diantara potongan-potongan daging

bagian forequarter, seperti pada sengkel depan, sandung lamur, paha depan,

dan punuk.

Jaringan ikat juga dipengaruhi oleh aktivitas otot. Aktivitas otot yang tinggi

dapat meningkatkan protein jaringan ikat (kolagen) (Lawrie, 2003). Bagian

potongan-potongan daging perempat depan mempunyai aktivitas otot yang

berbeda-beda, sehingga membuat kadar kolagen jaringan ikat yang berbeda

diantara tiap potongan daging.

Kealotan daging perempat depan dapat diatasi dengan cara menyimpan

daging segar postmortem selama waktu dan suhu tertentu diatas titik beku daging

yang secara relatif belum mengalami kerusakan oleh mikroorganisme atau

disebut dengan pelayuan. Pelayuan dapat dilakukan dengan menggunakan suhu

rendah (0-50C) atau suhu lebih tinggi (6-430C) (Soeparno, 2005).

Pelayuan dengan suhu lebih tinggi dapat mempercepat proses glikolisis,

tetapi tidak dapat menghambat pertumbuhan mikroorganisme. Pelayuan dengan

menggunakan suhu rendah dapat memperlambat proses glikolisis dan

pertumbuhan mikroorganisme (Soeparno, 2005).

Selama proses glikolisis anareob berlangsung, enzim mempunyai peranan

yang penting di dalam merubah glikogen menjadi asam laktat. Enzim aktif atau

bekerja optimum pada suhu tinggi (30-500C), sedangkan pada suhu rendah kerja

enzim akan diperlambat (Pelczar dan Chan, 1986). Oleh karena itu pelayuan

dengan suhu rendah dapat memperlambat proses glikolisis.

Suhu di bawah 50C dapat menghambat pertumbuhan mikroorganisme

perusak atau pembusuk dan mencegah hampir semua mikroorganisme patogen.

Pelayuan daging dengan suhu rendah pada suhu 40C merupakan suhu aman

untuk menyimpan daging pada saat dilayukan, karena dapat menghambat

(4)

Daging selama dilayukan pada suhu 40C akan lebih baik bila dilakukan

pengemasan secara vakum, karena dapat mencegah kontaminasi

mikroorganisme, penguapan, oksidasi lemak, dan memperlambat proses glikolisis

anaerob. Selain itu, kondisi vakum dapat mempertahankan warna daging tetap

merah keunguan dan mencegah proses oksidasi yang dapat menyebabkan

daging berubah menjadi berwarna coklat (Lawrie, 2003).

Proses glikolisis anaerob yang diperlambat selama pelayuan vakum

berpengaruh terhadap sifat fisik daging. Beberapa sifat fisik daging, seperti pH

dan susut masak akan diperlambat penurunannya, sedangkan pada daya ikat air

dan keempukan akan terjadi peningkatan. Proses glikolisis anaerob berlangsung

setelah hewan dipotong atau pada kondisi daging posmortem. Proses glikolisis

anaerob yang diperlambat selama pelayuan vakum menyebabkan diperlambatnya

pembentukan asam laktat. Asam laktat yang diperlambat pembentukannya

menyebabkan penurunan pH juga diperlambat. pH ultimat atau pH akhir daging

normal adalah 5,4-5,8 (Soeparno, 2005).

Penurunan pH yang diperlambat selama pelayuan akan memberikan

kesempatan untuk enzim proteolitik postmortem, yaitu CANP (Calcium Activated

Neutral Proteinase) dan katepsin lebih lama bekerja atau aktif. Enzim CANP akan

aktif pada permulaan proses pelayuan sekitar pH 6,5-8,0 yang berfungsi

mendegradasi miofibril (aktin dan miosin). Setelah enzim CANP bekerja, lalu

enzim katepsin yang aktif dan bekerja pada kisaran pH 3,0-7,0 yang berfungsi

mendegradasi miofibril dan kolagen (Soeparno, 2005). Protein miofibril dan

kolagen yang didegradasi menyebabkan daging menjadi lebih empuk.

Keempukan daging sapi yang dihasilkan dengan menggunakan sari nenas

berkisar antara 2,49-3,54 mm/gram/detik (Obin Rachmawan, 1991), sedangkan

pada daging kerbau berkisar antara 9,66-10,27 mm/gram/detik (Wina Juniarti,

1992). Keempukan yang umumnya dapat diterima oleh konsumen berkisar antara

(5)

Miofibril yang melemah akibat kerja dari enzim proteolitik tersebut

menyebabkan DIA meningkat, karena masuknya molekul air ke dalam

ruang-ruang di dalam miofibril. Selain itu, peningkatan DIA selama pelayuan disebabkan

oleh proses steric effect atau terjadi pertukaran ion Ca++ dan Mg++ dengan air

(Forrest, 1975). Sebaliknya, penyimpanan yang terlalu lama juga akan

menurunkan DIA dan terjadinya perubahan struktur protein daging. (Soeparno,

2005). DIA daging sapi Australian Commercial Cross ketika mencapai pH ultimat

berkisar antara 21,11-23,07% (Nono Ngadiyono, 1988).

DIA berpengaruh terhadap susut masak. DIA yang tinggi menyebabkan

susut masak yang rendah. DIA yang tinggi selama pemasakan mempunyai peran

sebagai penahan sejumlah air bebas oleh protein otot, sehingga tidak banyak jus

daging yang keluar. Susut masak bervariasi antara 1,5%-54,5% dengan kisaran

15%-40% (Soeparno, 2005).

Pelayuan daging paha depan dan belakang pada suhu 2°C selama 28 hari

(7, 14, 21, dan 28) secara vakum menghasilkan keempukan yang optimal pada

hari ke-14 (Bratcher, 2004). Keempukan daging yang disimpan pada suhu 20C

tidak akan bertambah baik setelah disimpan selama 14 hari (Palupi, 1986). Hal ini

disebabkan pada hari ke-14 enzim katepsin menjadi kurang aktif, karena daging

telah mencapai pH ultimat. Enzim katepsin yang kurang aktif menyebabkan tidak

terjadi peningkatan keempukan, sehingga keempukan optimal terdapat pada hari

ke-14.

Pelayuan daging sapi postmortem bagian paha depan, iga dan has luar

menghasilkan keempukan maksimal pada hari ke-14 (Lorenzen, dkk., 1998).

Pelayuan daging sapi selama 14 hari dapat memperbaiki keempukan daging sapi.

Potongan daging yang dilayukan selama 7 hari mengalami peningkatan nilai WBS

(Warner Bratzler Shear) dari awalnya, yaitu untuk daging choice menjadi sebesar

66 kg/cm2 dan untuk daging sapi select sebesar 61 kg/cm2. Pelayuan selama 14

(6)

kg/cm2 untuk daging select (Miller, 1997). Peningkatan keempukan berkaitan erat

dengan pH. pH yang diperlambat penurunannya selama pelayuan menyebabkan

enzim katepsin lebih lama aktif atau bekerja, sehingga pelayuan selama 14 hari

menghasilkan tingkat keempukan yang lebih tinggi daripada pelayuan selama 7

hari.

Daging yang alot jika dilakukan pelayuan membutuhkan waktu yang lebih

lama. Daging forequarter bila disimpan pada suhu 40C secara vakum selama 16

hari (dengan interval 4, 8, 12, dan 16 hari) menghasilkan sifat fisik terbaik pada

hari ke-16. Berdasarkan uraian tersebut maka dapat diambil hipotesis, bahwa

pelayuan daging perempat depan pada suhu 40C secara vakum selama 16 hari

menghasilkan sifat fisik terbaik (meningkatkan keempukan, daya ikat air, dan

menurunkan susut masak serta memperlambat penurunan pH). Adapun tujuan

dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh waktu pelayuan dan waktu

pelayuan terbaik pada suhu 40C secara vakum terhadap beberapa sifat fisik

daging sapi Australian Commercial Cross bagian perempat depan.

Metode

Metode Penelitian yang digunakan adalah metode eksperimental dengan

pengamatan langsung terhadap daging bagian perempat depan pada fase

prerigor. Jenis sapi yang digunakan dalam penelitian ini adalah seekor sapi

jantan steer dengan jenis Australian Commercial Cross berumur 2 tahun atau

lebih dengan berat 500 kilogram berasal dari Lampung Feedlot (Desa Bumiaji

Kec. Anak Tuha Kab. Lampung). Sapi tersebut dipotong di Abattoir PT. Santosa

Agrindo.yang beralamat di Jl. Andini Sakti KM. 44, Desa Gandasari

Cibitung-Bekasi, Jawa Barat.

Rancangan yag digunakan dalam penelitian ini adalah Rancangan Acak

Kelompok (Randomized Block Design) dengan 4 perlakuan dan 6 kelompok.

(7)

P1 : waktu pelayuan daging pada hari ke-4

P2 : waktu pelayuan daging pada hari ke-8

P3 : waktu pelayuan daging pada hari ke-12

P4 : waktu pelayuan daging pada hari ke-16

Kelompoknya adalah sebagai berikut :

K1 : potongan daging sengkel depan

K2 : potongan daging sandung lamur

K3 : potongan daging paha depan

K4 : potongan daging iga

K5 : potongan daging lamusir

K6 : potongan daging punuk

Analisis yang digunakan untuk mengetahui adanya pengaruh perlakuan

menggunakan analisis ragam dan untuk menduga waktu pelayuan yang

menghasilkan sifat fisik terbaik digunakan analisis Polinomial Ortogonal

(Gasperz, 1995).

Sampel diperoleh dari perwakilan otot dari potongan sandung lamur, paha

depan, iga, lamusir, dan punuk, yaitu otot pectoralis superficialis, infraspinatus,

serratus ventralis, rhomboideus, dan trapezius (Soeparno, 2005). Daging

sengkel depan diwakili oleh deep digital flexor-thoraric (Jones, dkk., 2004).

Sampel diambil masing-masing sebanyak 75 gram sebanyak 4 kali atau untuk 4

perlakuan. Sampel yang diperoleh kemudian dikemas menggunakan plastik

cryovac. Setelah itu kemudian dilakukan pengemasan vakum menggunakan

mesin vakum ultravac. Sampel yang sudah dikemas vakum lalu dilakukan

pelayuan dengan disimpan pada ante room dengan suhu 40C selama 16 hari

dengan interval 4, 8, 12, dan 16 hari.

Masing-masing sampel pada interval-interval tersebut kemudian diuji sifat

fisiknya, meliputi: pengukuran pH, uji daya ikat air, uji susut masak, dan uji

keempukan. Pengukuran pH menggunakan metode yang dikemukakan oleh

(8)

Hamm (1972) didalam Kusmajadi (2002). Susut masak diuji dengan

menggunakan metode yang dikemukakan oleh Soeparno, 2005. Metode yang

digunakan untuk menguji keempukan menggunakan metode yang dikemukakan

oleh Tien dkk, 1992.

Hasil Dan Pembahasan

Pengaruh Perlakuan Terhadap (pH) Daging Bagian Perempat Depan

Hasil penelitian menunjukkan bahwa perlakuan berpengaruh nyata

terhadap pH daging (P < 0,05), untuk mengetahui sejauh mana terjadinya

perubahan pH sebagai akibat perlakuan yang diberikan, maka dilakukan uji lanjut.

Berdasarkan hasil analisis Polinomial Ortogonal menunjukkan pengaruh nyata

pada regresi kuadratik dengan persamaan 2

01 , 0 19 , 0 68 ,

6 x x

Y    .

5.40 5.60 5.80 6.00 6.20 6.40

0 2 4 6 8 10 12 14 16

Waktu Pelayuan (hari)

pH

Ilustrasi 1. Kurva Pengaruh Waktu Pelayuan Terhadap pH Daging Bagian Perempat Depan

Berdasarkan persamaan Ilustrasi 1, pengaruh waktu pelayuan terhadap pH

minimum diperoleh pada turunan pertama sama dengan nol, yaitu

0 02 , 0 19 ,

0  x  . Dari turunan pertama tersebut diperoleh x = 13 dan y = 5,52 atau

dengan artian bahwa waktu pelayuan selama 13 hari menghasilkan pH minimum.

Selama pelayuan pada suhu 40C secara vakum, penurunan pH menuju pH

akhir berlangsung selama 13 hari, hal ini lebih lama daripada yang dikemukakan

Soeparno (2005) bahwa penurunan pH menuju pH akhir pada suhu 70C

(9)

40C secara vakum menyebabkan laju penurunan pH lebih diperlambat, pendapat

ini sejalan dengan pendapat Soeparno (2005) yang menyatakan bahwa

penurunan pH daging postmortem mempunyai hubungan yang erat dengan suhu

penyimpanannya, suhu tinggi dapat mempercepat penurunan pH sedangkan suhu

rendah dapat memperlambat laju penurunan pH. Laju penurunan pH dipengaruhi

oleh enzim-enzim glikolitik di dalam proses glikolisis anaerob sebagaimana

dikemukakan oleh Soeparno (2005) bahwa proses glikolisis melibatkan banyak

reaksi dan enzim (glikoltik) yang mengkatalis reaksi. Kerja dari enzim ini akan

diperlambat pada suhu rendah, seperti pendapat Pelczar dan Chan (1986)

bahwa pada suhu rendah kerja enzim akan diperlambat.

Selain dengan suhu 40C, kondisi vakum juga dapat memperlambat laju

penurunan pH. Soeparno (2005) mengemukakan bahwa terjadi reaksi-reaksi

pada proses glikolisis anaerob, seperti fosforilasi, enolasi, dan dehidrogenasi.

Rekasi-reaksi ini akan diperlambat pada kondisi vakum.

Daging perempat depan mempunyai aktivitas otot yang lebih tinggi daripada

bagian perempat belakang, sehingga dapat menyebabkan meningkatnya

simpanan glikogen otot. Hal ini sejalan dengan pendapat Lawrie (2003) bahwa

aktivitas otot dapat meningkatkan simpanan glikogen otot daging dan

menyebabkan pH akhir posmortem yang tinggi. Pelayuan pada suhu 40C secara

vakum menghasilkan pH akhir sebesar 5,52. Hal ini sejalan dengan pendapat

Soeparno (2005) bahwa pH daging akhir normal berkisar antara 5,4-5,8. pH akhir

daging ini terjadi karena telah berhentinya pembentukan asam laktat yang

diperoleh dari proses glikolisis anaerob. Hal ini sejalan dengan pendapat

Soeparno (2005), bahwa penimbunan asam laktat akan berhenti setelah

cadangan glikogen menjadi habis atau setelah pH cukup rendah untuk

menghentikan aktivitas enzim-enzim glikolitik di dalam proses glikolisis anaerob.

Pendapat ini ditunjang pula oleh pendapat Wheeler, dkk (2003) bahwa pada

(10)

menjadi asam laktat, sehingga cadangan glikogen otot akan semakin menurun

dan diikuti dengan penurunan pH menuju titik isoelektrik 5,5-5,6.

Pengaruh Perlakuan Terhadap Daya Ikat Air Daging Bagian Perempat Depan

Perlakuan yang diberikan pada penelitian ini menunjukkan pengaruh nyata

(P < 0,05) terhadap daya ikat air. Guna mengetahui terjadinya peningkatan atau

penurunan daya ikat air sebagai akibat perlakuan yang diberikan, maka dilakukan

analisis lanjut. Berdasarkan hasil analisis Polinomial Ortogonal menunjukkan hasil

berpengaruh nyata pada regresi kubik dengan persamaan:

3 2 01 , 0 24 , 0 73 , 1 59 ,

5 x x x

Y     .

-1.00 2.00 3.00 4.00 5.00 6.00

0 2 4 6 8 10 12 14 16

Waktu Pelayuan (hari)

d a y a i k a t a ir

Ilustrasi 2. Kurva Pengaruh Waktu Pelayuan Terhadap Daya Ikat Air

Berdasarkan persamaan Ilustrasi 2, pengaruh waktu pelayuan terhadap

daya ikat air (DIA) maksimum diperoleh pada turunan pertama sama dengan nol,

yaitu 1,730,47x0,02x2 0. Dari turunan pertama tersebut diperoleh x1 = 5

dan x2 = 14, berdasarkan nilai x terbesar diperoleh y = 5,16 atau dengan artian

bahwa waktu pelayuan selama 14 hari menghasilkan daya ikat air maksimum.

Soeparno (2005) mengemukakan bahwa pada pelayuan terjadi peningkatan

DIA karena terjadi perubahan hubungan antara air dan protein, yaitu peningkatan

muatan melalui abrbsorpsi ion K+ dan pembebasan Ca++. Daya ikat air maksimum

dicapai pada waktu pelayuan vakum selama 14 hari. Hal ini hampir sejalan

(11)

natrium dan kalsium secara kontinyu oleh protein otot, sementara itu ion kalium

diserap setelah 24 jam periode postmortem dan akan berlangsung antara 5-13

hari yang diikuti dengan turunnya ion magnesium. Pelayuan vakum dapat

memperlambat penurunan pH, sehingga abrbsorpsi ion K+ dan pembebasan Ca++

akan berlangsung lebih lama lagi, sehingga daya ikat air lebih meningkat.

Daya ikat air daging perempat depan dapat ditingkatkan dengan dilakukan

pelayuan vakum, karena pada pelayuan terjadi perpindahan antara ion Ca++ dan

Mg++ dengan air. Hal ini sejalan dengan pendapat Forrest (1975) bahwa selama

pelayuan terjadi proses steric effect atau terjadi pertukaran antara ion Ca++

dengan Mg++, sehingga menyebabkan air masuk. Sutardi (1987) mengemukakan

bahwa lintasan kation menuju dan dari protein otot memberikan kesempatan

berlangsungnya perpindahan kation pada protein otot di dalam daging. Hal ini

akan menaikkan muatan listrik protein otot dan menyebabkan terhentinya

pembentukkan H3O+. Fenomena ini membuktikan adanya kemampuan mengikat

air yang berlangsung selama pelayuan.

Pengaruh Perlakuan Terhadap Susut Masak Daging Bagian Perempat Depan

Berdasarkan hasil pengamatan, nilai susut masak daging bagian perempat

depan sebagai akibat dari pengaruh perlakuan dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Pengaruh Perlakuan Terhadap Susut Masak

Kelompok Perlakuan Jumlah

Kelompok

P1 P2 P3 P4

……….%...

K1 50 42 40 35 167

K2 43 41 45 43 172

K3 40 40 32 39 151

K4 38 43 42 37 160

K5 41 38 38 33 150

K6 40 41 37 50 168

Jumlah 252 245 234 237 968

(12)

Berdasarkan data pada Tabel 1 menunjukkan bahwa terjadi penurunan

rataan susut masak dimulai dari waktu pelayuan hari ke-4 (P1) sebesar 42,00%

sampai waktu pelayuan hari ke-12 (P3) sebesar 39,00%. Setelah itu terjadi

peningkatatan rataan susut masak kembali pada waktu pelayuan hari ke-16 (P4)

sebesar 39,50%.

Guna mengetahui pengaruh perlakuan terhadap susut masak dilakukan

analisis sidik ragam. Hasil sidik ragam diketahui bahwa perlakuan tidak

berpengaruh nyata terhadap susut masak. Hal ini berhubungan dengan DIA yang

dihasilkan oleh perlakuan, bahwa nilai DIA mempengaruhi susut masak yang

tidak berbeda pada setiap perlakuan. Susut masak yang dihasilkan pada waktu

pelayuan hari ke-4 sampai ke-16 berkisar antara 39,00%-42,00%. Hal ini sejalan

dengan pendapat Soeparno (2005) bahwa susut masak berkisar antara 15%-

40%. Penyusutan terkecil dihasilkan pada waktu pelayuan hari ke-12 (P3)

sebesar 39,00%, yaitu sebagai akibat dari pengaruh DIA terbesar yang dihasilkan

pada waktu pelayuan hari ke-12 (P3) sebesar 23,36%. Hal ini sejalan dengan

pendapat Soeparno (2005) bahwa susut masak daging mempunyai hubungan

yang erat atau dipengaruhi oleh DIA. DIA yang tinggi menyebabkan susut masak

rendah.

Pengaruh Perlakuan Terhadap Keempukan Daging Bagian Perempat Depan

Perlakuan yang diberikan pada penelitian ini memberikan berpengaruh

nyata ( P < 0,05) terhadap keempukan, untuk mengetahui terjadinya penurunan

atau peningkatan keempukan sebagai akibat perlakuan yang diberikan, maka

dilakukan uji lanjut. Berdasarkan hasil analisis Polinomial Ortogonal menunjukkan

pengaruh nyata pada regresi kuadratik dengan persamaan sebagai berikut:

2

12 , 0 83 , 2 80 ,

10 x x

(13)

-5.00 10.00 15.00 20.00 25.00 30.00

0 2 4 6 8 10 12 14 16

Waktu Pelayuan (hari)

K e e m p u k a n (m m /g /1 0 d e ti k )

Ilustrasi 4. Kurva Pengaruh Waktu Pelayuan Terhadap Keempukan

Berdasarkan persamaan Ilustrasi 4, pengaruh waktu pelayuan terhadap

keempukan maksimum diperoleh pada turunan pertama sama dengan nol, yaitu

0 24 , 0 83 ,

2  x . Dari turunan pertama tersebut diperoleh x = 12 dan y = 28,03

atau dengan artian bahwa waktu pelayuan selama 12 hari menghasilkan

keempukan maksimum.

Keempukan maksimum dicapai pada waktu pelayuan selama 12 hari. Hal

ini sejalan dengan pendapat Sutardi (1987) bahwa daging mencapai tingkat

keempukan yang optimum setelah periode pelayuan, yaitu antara 10-18 hari pada

suhu 0-50C. Keempukan daging dipengaruhi oleh kerja enzim proteolitik.

Soeparno (2005) mengemukakan bahwa selama penurunan pH mencapai pH

akhir, terdapat aktivitas enzim proteolitik sehingga ketika mencapai pH akhir maka

keempukan akan maksimum. Soeparno (2005) mengemukakan bahwa enzim ini

dapat mendegradasi kolagen dan miofibril. pH yang diperlambat penurunannya

selama pelayuan vakum menyebabkan enzim proteolitik lebih lama aktif atau

bekerja, sehingga keempukan akan meningkat. Hal ini sejalan dengan pendapat

Soeparno (2005) bahwa penurunan pH yang diperlambat menyebabkan enzim

proteolitik akan lebih aktf atau bekerja.

Daging perempat depan mempunyai tingkat kealotan yang lebih tinggi

(14)

pendapat Soeparno (2005) bahwa kolagen jaringan ikat yang lebih banyak pada

daging bagian perempat depan menyebabkan daging bagian perempat depan

lebih alot daripada daging bagian perempat belakang. Kealotan ini dapat diatasi

dengan cara pelayuan vakum, karena enzim proteolitik akan lebih lama

mendegradasi kolagen dan miofibril sehingga daging akan menjadi lebih empuk.

Hal ini sejalan dengan pendapat Abustam, (2008) bahwa selama pelayuan akan

terjadi pemecahan protein miofibril oleh enzim alami (CANP dan katepsin)

sehingga menghasilkan perbaikan keempukan daging.

Kesimpulan

Berdasarkan hasil analisis dan pembahasan maka dapat disimpulkan

bahwa:

1. Waktu pelayuan berpengaruh terhadap pH, daya ikat air, dan keempukan,

tetapi tidak berpengaruh terhadap susut masak.

2. Sifat fisik terbaik dihasilkan pada waktu pelayuan selama 11-12 hari

Daftar Pustaka

Abustam. 2008. Konversi Otot Menjadi Daging. http://cinnatalemien-eabustam.blogspot.com, diakses 12 September 2008.

APFINDO (Asosiasi Produsen Daging Sapid dan Feedlot Indonesia). 2008. Konsumsi Daging Sapi di Indonesia. http://cjfeed.co.id, diakses 18 Mei 2008.

Apriyantono, dkk. 1989. Analisis Pangan. IPB Press. Bogor. 33-34

Bratcher. 2004. The Effects Of Quality Grade, Aging And Location On Selected Muscles Of Locomotion Of The Beef Chuck And Round. M.Sc. Thesis, University Of Florida.

Forrest, dkk. 1975. Principles of Meat Science. Fourth Edition. W.H. Freeman and Company. San Francisco, United States of America. 177-178

(15)

. 1995. Teknik Analisis Dalam Penelitian Percobaan 2. Tarsito. Bandung. 107-122.

Jones, dkk. 2004. Bovine Myology and Muscle. http://bovine.unl.edu. diakses 1 Juni 2008

Kusmajadi, S. 2002. Petunjuk Laboratorium : Ilmu Daging. Jurusan Teknologi Hasil Ternak Fakultas Peternakan Universitas Padjadjaran. Jatinangor.

Lawrie. 2003. Ilmu Daging. Diterjemahkan oleh Aminuddin Parakkasi. Universitas Indonesia (UI-Press). Jakarta. 12; 66 ;102-103; 146; 245-250; 277; 278; 300.

Lorenzen, dkk. 1998. Determination Of An Aging Index. A Final Report To The Texas Beef Council, Austin, From The Meat Science Section, Department Of Animal Science, Texas A&M University, College Station.

Miller, dkk. 1997. Slaughter Plant Location, Usda Quality Grade, External Fat Thickness, and Aging Time Effects on Sensory Characteristics of Beef Loin Strip Steak. Journal of Animal Science. 75:662.

Nono Ngadiyono. 1988. Studi Perbandingan Beberapa Sifat Produksi Peranankan Ongole, Shorthorn Cross, dan Brahman Cross.. Tesis. Program Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Obin Rachmawan. 1991. Pengaruh Berbagai Dosis Sari Nenas Matang dan Lama Pencampuran Terhadap Keempukan Daging Paha Depan Sapi Peranakan Ongole Jantan. Lembaga Penelitian Universitas Padjadjaran Fakultas Peternakan. Sumedang.

Palupi. 1986. Tinjauan Literatur Pengolahan Daging. Pusat Dokumentasi Ilmiah Nasional LIPI. Jakarta. 6.

Pelczar dan Chan. 1986. Dasar-Dasar Mikrobiologi. Diterjemahkan oleh Ratna Siri Hadioetomo, dkk. Universitas Indonesia (UI-Press). Jakarta. 140; 326-327.

Riley, R.R., G.C. Smith, H.R. Cross, J.W. Savell, C.R. Long and T.C. Cartwright, 1986. Choronological Age and Breed Type Effect on carcass Characterictics and Palatability of Bull Beef. J. Meat Sci. 17: 187-198.

Soeparno. 2005. Ilmu dan Teknologi Daging Cetakan ke-4. Gadjah Mada Press: Yogyakarta. 1; 2-3; 28; 136; 137-138; 139-145; 147; 148-152; 153; 155; 204; 213; 266; 289-290; 291; 293; 296; 300; 301; 303-305

.

(16)

Tien dan Sugiyono. 1992. Petunjuk Laboratorium Ilmu Pengetahuan Bahan Pangan. PAU IPB dan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Jakarta. 15; 17; 18; 19; 35.

Wina Juniarti. 1992. Pengaruh Berbagai Dosis Sari Nenas Matang Dari Bagian Boggol dan Daging Buah Terhadap Keempukan Daging Round Kerbau. Skripsi. Fakultas Peternakan Universitas Padjadjaran. Sumedang.

Gambar

Tabel 1. Pengaruh Perlakuan Terhadap Susut Masak

Referensi

Dokumen terkait

Begitu juga dengan sifat-sifat yang telah disepakati atau kesesuaian produk untuk aplikasi tertentu tidak dapat disimpulkan dari data yang ada dalam Lembaran Data Keselamatan

Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan YME atas segala rahmat yang dilimpahkan kepada peneliti, sehingga penyusunan skripsi yang berjudul “ Pengaruh Return on Total

Berdasarkan analisa dan pembahasan yang telah dilakukan dapat diambil kesimpulan bahwa Emisi gas buang dari 38 kapal dalam katagori 21-25 gross tonnage dan 5 kapal dalam

untuk dimana. Selanjutnya, dalam tulisan ini bilangan tersebut akan dituliskan sebagai matriks kolom. Kecuali dikatakan lain, matriks kolom yang digunakan dalam tulisan

- Common Control Channel (CCCH) merupakan kanal bi-directional untuk mentransmisikan informasi kontrol antar jaringan dan ketika UE tidak ada koneksi ke elemen

Sumber daya batubara tertunjuk adalah jumlah batubara di daerah penyelidikan atau bagian dari daerah penyelidikan, yang dihitung berdasarkan data

mengakibatkan penurunan permukaan air di bagian atas permukaan tangki tunda tersebut,[2] Namun demikian, asal usul udara terjebak terse but belum dapat diungkapkan dengan pasti.

Dadosnyane, Parindikan campur kode mawentuk kruna dwi lingga sane kapolihang ring novel Sentana Cucu Marep puniki satinut sareng panampen saking Tinggen (1993: