• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. padanan dari tindak pidana, yakni ada straafbaar feit (Peristiwa pidana),

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA. padanan dari tindak pidana, yakni ada straafbaar feit (Peristiwa pidana),"

Copied!
34
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA 2.1 TINJAUAN UMUM TENTANG TINDAK PIDANA

Tindak pidana ialah istilah dalam ilmu hukum yang memuat pengertian yang abstarak, karena istilah tindak pidana mempunyai banyak tafsiran. Para pakar asing hukum pidana menggunakan berbagai istilah untuk padanan dari tindak pidana, yakni ada straafbaar feit (Peristiwa pidana), Strafbare handlung (Perbuatan Pidana), crminal act (perbatan kriminal). Istilah Strafbaar feit terdiri dari Straf diartikan sebagai pidana dan hukum, Baar diartikan sbagai dapat dan boleh, Feit diartikan sebagai tindak, peristiwa, pelanggaran dan perbuatan. Sehingga, strafbaar feit adalah peristiwa yang dapat dipidana, sendangkan delik (delict) artinya perbuatan yang pelakunya dapat dipidana.1 Berikut keterangan para ahli hukum pidana dan sumber lain terkait pengertian dari strafbaar feit :

Menurut Simons, strafbaar feit dapat diartikan sebagai kelakuan yang diancam dengan pidana, yang bersifat melawan hukum, yang berhubungan dengan kesalahan yang dilakukan oleh orang yang mampu bertanggungjawab.2 Menurut Van Hammel, strafbaar feit adalah suatu serangan atau ancaman terhadap hak-hak orang lain.3 Menurut Prof E.

1 Amir Ilyas, Asas-Asas Hukum Pidana Memahami Tindak Pidana dan

Pertanggungjawaban Pidana Sebagai Syarat Pemidanaan (Disertai teori-teori pengantar dan beberapa komentar), Mahakarya Rangkang Offset Yogyakarta. Hlm. 18-19

2 Tongat, 2012, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia dalam Perspektif Pembaharuan,

Universitas Muhammadiyah Malang, Malang, Hlm. 95

3

Lamintang, 1997, Dasar-dasar hukum pidana yang berlaku di Indonesia, Bandung: Citra Aditya Bakti, hlm. 188

(2)

Mezger, Tindak Pidana adalah keselurahan syarat untuk adanya pidana.4 Dalam hal Moeljatno mendefinisikan Tindak pidana adalah berbeda sama sekali karena beliau menyebut dengan perbuatan pidana yang terpisah dari pertanggungjawaban pidana, sehingga pengertian perbuatan pidana adalah gabungan antara criminal act dan criminal responsibility.5

Dalam tradisi hukum pidana dikenal dua pandangan yang menjelaskan tentang unsur tindak pidana, yaitu: pandangan monistis dan pandangan dualistis.6 Pandangan monisme menjelaskan tentang penggabungan unsur criminal act dan criminal responsibility. Prinsip pandangan ini bahwa disetiap perbuatan/tindak pidana sudah termasuk di dalamnya ada perbuatan yang dilarang dan juga ada kemampuan bertanggungjawab.7 Lain hal nya dengan pandangan Dualistis yang memisahkan antara criminal act dan criminal responsibility, yang pada prinsipnya tidak cukup hanya terpenuhi rumusan delik untuk seseorang dapat dipidana, melainkan harus mempunyai kemampuan bertanggungjawab.8

Unsur tindak pidana dibagi menjadi unsur subjektif dan objektif. Unsur subjektif adalah yang melekat pada diri pelaku atau yang berhubungan dengan diri pelaku yaitu segala sesuatu yang terkandung di dalam hatinya.9 Lebih mudahnya yaitu kesalahan dari orang yang melanggar norma pidana,

4

Masruchin Ruba’i, dkk, 2015, Buku Ajar Hukum Pidana, Media Nusa Creative, Malang. 80

5 Tongat, 2012, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia dalam Perspektif Pembaharuan,

Universitas Muhammadiyah Malang, Malang. hlm. 96-98

6 Ibid. Tongat, Hlm. 94 7 Ibid. Tongat, Hlm. 94 8 Ibid. Tongat, Hlm. 96 9

Lamintang, Dasar-dasar hukum pidana yang berlaku di Indonesia, Bandung: Citra Aditya Bakti, 1997, hlm. 193

(3)

artinya pelanggaran itu harus dapat dipertanggungjawabkan kepada pelanggar. Dalam pengertian hukum pidana kesalahan itu dapat berupa dengan sengaja ataupun kelalaian, kurang hati-hati.10 Sedangkan unsur objektif adalah yang ada hubungannya dengan keadaan yaitu dalam keadaan mana tindakan pelaku harus dilakukan11, seperti:

a. Perbuatan manusia,

b. Akibat perbuatan manusia,

c. Keadaan-keadaannya sekitar perbuatan itu, dan d. Sifat melawan hukum dan sifat dapat dipidana.12

Seperti yang sudah disebutkan di atas bahwa yang di muat pada unsur objektf salah satunya adalah Perbuatan manusia yang mana tidak bisa berdiri sendiri melainkan mengharuskan adanya Subjek Hukum, seperti yang disebutkan dalam KUHP pasal 2 yang berbunyi:

Ketentuan pidana dalam perundang-undangan Indonesia diterapkan bagi setiap orang yang melakukan sesuatu tindak pidana di Indonesia. Kata “setiap orang” menunjukkan arti dari Subjek hukum dalam hukum pidana lebih tendensius terhadap orang (naturlijkpersoon). Tetapi seiring perkembangan zaman, badan hukum (rechtpersoon) dapat dianggap sebagai subjek hukum pidana karena ketidakjujuran, pemalsuan produk, penyelundupan, dst tidak hanya merugikan negara, melainkan juga merugikan orang lain. Sehingga tidak cukup hanya dengan pertanggungjawaban dari

10

Septiani Herlinda, 2012, Skripsi: “Kekuatan Pembuktian Keterangan Saksi Korban

Anak dalam Vonis Bebas Untuk Tindak Pidana Asusila di Persidangan (Studi Kasus Putusan Kasasi Mahkamah Agung No. 1668 K/Pid.Sus/2010)”, Program Sarjana Universitas Indonesia, Jakarta.

hlm. 16

11

Lamintang, Op.cit, hlm. 193

12

(4)

pengurus saja, melainkan perlu dipertanggungjawabkan sebagai subjek hukum pidana.13

Dalam Pertanggungjawaban pidana, menurut Memorie van Toelichting (MvT), tidak ada kemempuan bertanggungjawab bila pembuat tidak ada kebebasan untuk memilih antara berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang dilarang oleh peraturan perundang-undangan. Dan tidak kemampuan bertanggungjawab bila si pembuat berada dalam suatu keadaan yang sedemikian rupa sehingga tidak dapat menyadari bahwa perbuatannya bertentangan dengan hukum dan tidak dapat menentukan akibat dari perbuatannya.14 Dasar hukum kemampuan bertanggungjawab di tulis pada Pasal 44 ayat (1) KUHP yang berbunyi:

(1) Barang siapa melakukan perbuatan yang tidak dapat dipertanggungkan kepadanya karena jiwanya cacat dalam pertumbuhan atau terganggu karena penyakit, tidak dipidana.

Dua hal penting yang dapat diperoleh dalam isi pasal 44 secara keseluruhan, yakni deskriptif-normatif, yang mana deskriptif adalah penjelasan yang diberikan oleh ahli jiwa terhadap jiwa si pelaku pada saat melakukan tindak pidana. Hasil yang diberikan oleh psikiatri kemudaian disebut alat bukti surat. Selanjutnya adalah penentuan mengenai kausalitas antara keadaan jiwa pelaku yang diuraikan oleh psikiatri dengan perbuatan yang telah dilakukan. Hal ini dilakukan oleh hakim yang kemudian

13 Masruchin Ruba’i, dkk, 2015, Buku Ajar Hukum Pidana, Media Nusa Creative, Malang,

hlm. 52

14

Widnyana, i made, S.H. Asas-Asas Hukum Pidana: Buku Panduan Mahasiswa. Cet.1 Jakarta: PT. Fikahati Aneska, 2010, hlm. 68

(5)

mengambil kesimpulan tehadap kemampuan bertanggungjawab dari pelaku.15

2.2 TINJAUAN UMUM TENTANG SAKSI

Dengan putusan yang dikeluarkan oleh Mahkamah Konstitusi terkait tentang saksi yang telah menimbulkan norma baru di bidang hukum maka makna dari saksi tidak lagi terletak pada apakah dia melihat, mendengar, atau mengalami sendiri suatu peristiwa pidana, tetapi pada kesesuaian kesaksiannya dengan perkara pidana yang sedang diproses. Ketidakjelasan batasan kesesuaian kesaksian dengan perkara pidana yang sedang diproses mengakibatkan perluasan makna yang berdampak pada perbedaan interpretasi aparat penegak hukum, sedangkan disisi lain, kesaksian yang diutarakan oleh saksi tentang perkara pidana yang sedang diproses sangat berguna guna memperoleh kebenaran materiil.16 Uraian tentang saksi tersebut kemudian akan dikomparasikan dengan berbagai Pengertian saksi dari berbagai sumber. Menurut KUHAP, Pasal 1 angka 26, Saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan dan peradilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri.

Menurut Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban, Pasal 1 angka 1. Saksi adalah orang yang dapat memberikan

15 Masruchin Ruba’i, dkk, Op.cit., hlm. 98 16

Frans Sayogie, 2017, Pemaknaan Saksi dan Keterangan Saksi dalam Teks Hukum

Analisis Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 65/PUUVIII/2010, Buletin Al-Turas, Vol. XXIII No.1,

(6)

keterangan guna kepentingan penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan tentang suatu tindak pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan/atau ia alami sendiri.

Menurut Sudikno Mertokusumo, saksi adalah kepastian yang diberikan kepada hakim di persidangan tentang peristiwa yang disengketakan dengan jalan pemberitahuan secara lisan dan pribadi oleh orang yang bukan salah satu pihak dalam perkara yang dipanggil di persidangan.17

Menurut Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 65/PUU-VIII/2010 tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, Menyatakan Pasal 1 angka 26 dan angka 27; Pasal 65; Pasal 116 ayat (3) dan ayat (4); serta Pasal 184 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 76 dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209) adalah bertentangan dengan UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang pengertian saksi dalam Pasal 1 angka 26 dan angka 27; Pasal 65; Pasal 116 ayat (3) dan ayat (4); Pasal 184 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 76 dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209), tidak dimaknai termasuk pula “orang yang dapat memberikan keterangan dalam rangka penyidikan, penuntutan, dan

17

Erwin Asmadi, 2020, Perlindungan Hukum Bagi Anak Sebagai Saksi dalam

(7)

peradilan suatu tindak pidana yang tidak selalu ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri”.

Menurut KBBI Saksi/sak·si/n 1 orang yg melihat atau mengetahui sendiri suatu peristiwa (kejadian):siapa -- nya bahwa saya berbuat begitu; langit dan bumi yang menjadi --; 2 orang yg dimintai hadir pada suatu peristiwa yang dianggap mengetahui kejadian tersebut agar pada suatu ketika, apabila diperlukan, dapat memberikan keterangan yang membenarkan bahwa peristiwa itu sungguh-sungguh terjadi: dua orang itu ikut menandatangani kontrak sbg --; 3 orang yg memberikan keterangan di muka hakim untuk kepentingan pendakwa atau terdakwa: --yang kedua itu oleh hakim dianggap tidak sah; 4 keterangan (bukti pernyataan) yg diberikan oleh orang yg melihat atau mengetahui; 5 bukti kebenaran:ia berani memberi -- dng sumpah; 6 orang yg dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan penuntutan dan peradilan tentang suatu perkara pidana yg didengarnya, dilihatnya, atau dialaminya sendiri.18

Tidak semua subjek hukum dapat menjadi saksi di persidangan terkait suatu tindak pidana tertentu, melainkan harus memenuhi syarat formil dan syarat materiil. Syarat formil menjadi saksi diantaranya adalah

1) Saksi harus mengucapkan sumpah atau janji sesuai dengan Pasal 160 Ayat (3) KUHAP yang menyebutkan: “Sebelum memberi keterangan, saksi wajib mengucapkan sumpah atau janji menurut cara agamanya

18

(8)

masing-masing, bahwa ia akan memberi keterengan yang sebenarnya dan tidak lain dari yang sebenarnya.”

2) Saksi tidak sakit ingatan atau sakit jiwa sebagaimana disebutkan dalam Pasal 171 KUHAP butir b mengingat mereka tidak dapat mengingat ingatanya dan kadang-kadang ingatannya baik kembali. Jadi tidak dapat diambil sumpah atau janji dalam memberi keterangan, keterangan mereka hanya dapat dipakai sebagai petunjuk saja, sebagaimana juga berlaku bagi orang yang belum dewasa. 19

Sedangkan syarat materil menjadi saksi diantaranya adalah

KUHAP Pasal 1 angka 27 berbunyi: “Keterangan saksi adalah salah satu alat bukti dalam perkara pidana yang berupa keterangan dari saksi mengenai suatu peristiwa pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri dengan menyebut alasan dari pengetahuannya itu.” Isi pasal tersebut kemudian diperluas dengan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 65/PUU-VIII/2010 tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana yang berbunyi: Pasal 1 angka 26 dan angka 27; Pasal 65; Pasal 116 ayat (3) dan ayat (4); serta Pasal 184 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 76 dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209) adalah bertentangan dengan UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang pengertian saksi dalam Pasal 1 angka 26 dan angka 27; Pasal 65;

19

Penjelasan Pasal 171 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana

(9)

Pasal 116 ayat (3) dan ayat (4); Pasal 184 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 76 dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209), tidak dimaknai termasuk pula “orang yang dapat memberikan keterangan dalam rangka penyidikan, penuntutan, dan peradilan suatu tindak pidana yang tidak selalu ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri”.

Selanjutnya adalah macam-macam saksi yang diatur secara eksplisit maupun implisit, yakni:

1) Saksi Korban

Seseorang dapat disebut sebagai saksi korban apabila ia menjadi korban dalam suatu tindak pidana. Saksi korban adalah saksi yang sekaligus menjadi korban dari suatu tindak pidana, yang berarti ia secara langsung mengalami sendiri atau mendapatkan penderitaan atau kerugian disebabkan perbuatan tindak pidana.20 Dalam KUHAP Saksi Korban adalah jenis saksi dalam urutan pemeriksaan yang harus diutamakan. Hal ini didasarkan pada KUHAP Pasal 160 ayat (1) huruf b, yang berbunyi: “Yang pertama-tama didengar keterangannya adalah korban yang menjadi saksi.”

2) Saksi biasa

20 Septiani Herlinda, 2012, Skripsi: “Kekuatan Pembuktian Keterangan Saksi Korban

Anak dalam Vonis Bebas Untuk Tindak Pidana Asusila di Persidangan (Studi Kasus Putusan Kasasi Mahkamah Agung No. 1668 K/Pid.Sus/2010)”, Program Sarjana Universitas Indonesia, Jakarta.

(10)

Saksi biasa yaitu kesaksian yang diberikan oleh orang umum yaitu orang yang melihat, mendengar dan mengalami sendiri peristiwa.21 3) Saksi ahli

Saksi ahli yaitu seorang yang mempunyai pengetahuan dan keahlian khusus mengenai sesuatu yang menjadi sengketa yang membeikan penjelasan dan bahan baru bagi hakim dalam memutuskan perkara.22

4) Saksi Pelaku

Dalam undang-undang nomor 31 tahun 2014 tentang perlindungan saksi dan korban Pasal 1 angka 2, yang berbunyi: “Saksi Pelaku adalah tersangka, terdakwa, atau terpidana yang bekerja sama dengan penegak hukum untuk mengungkap suatu tindak pidana dalam kasus yang sama.”

5) Saksi Pelapor

Laporan adalah pemberitahuan yang disampaikan seorang karena hak atau kewajiban berdasarkan undang-undang kepada pejabat yang berwenang tentang telah atau sedang atau diduga akan terjadinya peristiwa pidana23, dan setiap orang berhak mengajukan laporan tentang suatu tindak pidana24, sehingga seseorang yang melaporkan adanya delik yang dilihat

21

Remincel, 2019, KEDUDUKAN SAKSI DALAM HUKUM PIDANA, Ensiklopedia of Journal, Vol. 1 No.2 Edisi 2 Januari, hlm. 271-272

22 Ibid. Remicel, hlm. 272 23

Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana Pasal 1 butir 24

24

(11)

dan dialaminya sendiri secara langsung tetapi ia bukanlah korban dari suatu tindak pidana dapat digolongkan sebagai saksi pelapor.25

6) Saksi a de charge

Dasar hukum saksi a de charge diatur dalam Pasal 116 ayat (3) KUHAP jo. Putusan MK 65/PUU-VIII/2010, yang berbunyi: Dalam pemeriksaan tersangka ditanya apakah ia menghendaki saksi yang dapat menguntungkan baginya dan bilamana ada maka hal itu dicatat dalam berita acara. Sehingga saksi a de charge adalah saksi yang keterangannya meringankan terdakwa.

7) Saksi yang memberatkan (a charge)

Saksi a charge adalah kebalikan dari saksi a de charge yakni saksi yang keterangannya memberatkan terdakwa. Hal tersebut disebutkan dalam KUHAP Pasal 160 huruf c.

8) Saksi Mahkota

Dalam Surat Edaran Kejaksaan Agung Nomor B-69/E/02/1997 Tahun 1997 tentang Hukum Pembuktian Dalam Perkara Pidana (“SE Kejagung B-69/1997”) dijelaskan mengenai saksi mahkota sebagai berikut:

Dalam KUHAP tidak terdapat istilah saksi mahkota, namun sejak sebelum berlakunya KUHAP, istilah saksi mahkota sudah dikenal dan lazim diajukan sebagai alat bukti, namun dalam Berita Acara Pemeriksaan

25 Septiani Herlinda, 2012, Skripsi: “Kekuatan Pembuktian Keterangan Saksi Korban

Anak dalam Vonis Bebas Untuk Tindak Pidana Asusila di Persidangan (Studi Kasus Putusan Kasasi Mahkamah Agung No. 1668 K/Pid.Sus/2010)”, Program Sarjana Universitas Indonesia, Jakarta.

(12)

istilah tersebut tidak pernah dicantumkan. Dalam Praktek, saksi mahkota digunakan dalam hal terjadi penyertaan (deelneming), dimana terdakwa yang satu dijadikan saksi terhadap terdakwa lainnya oleh karena alat bukti yang lain tidak ada atau sangat minim.

9) Saksi testimonium de auditu

Keterangan seorang saksi yang bersumber dari cerita atau keterangan yang disampaikan orang lain kepadanya adalah berkualitas sebagai testimonium de auditu yaitu kesaksian atau keterangan karena mendengar dari orang lain, disebut juga kesaksian tidak langsung atau bukan saksi mata yang mengalami.26

10) Saksi Yang Berdiri Sendiri

Bahwa penilaian terhadap beberapa saksi itu masing–masing berdiri sendiri dan terpisah, satu sama lain tentang berbagai peristiwa untuk membuktikan untuk membuktikan suatu peristiawa diserahkan kepada kebijaksanaan hakim.27

11) Anak Saksi

Pengertian dari anak saksi telah dijelaskan dalam undang-udnang No. 11 tahun 2012 tentang sistem peradilan pidana anak pasal 1 angka 5 bahwa Anak yang Menjadi Saksi Tindak Pidana yang selanjutnya disebut Anak Saksi adalah anak yang belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang dapat memberikan keterangan guna

26

Ramdani Wahyu Sururie, 2014, KEKUATAN PEMBUKTIAN TESTIMONIUM DE AUDITU

DALAM PERKARA PERCERAIAN (Kajian Putusan Nomor 0141/Pdt.G/2011/PA.Krw dan Nomor 16/Pdt.G/2012/PTA.Bdg), Jurnal Yudisial, Vol. 7 No. 2, hlm. 139

27

Ali Imron dan Muhamad Iqbal, 2019, Hukum Pembuktian, UNPAM PRESS: Tangerang Selatan, hlm. 56

(13)

kepentingan penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan tentang suatu perkara pidana yang didengar, dilihat, dan/atau dialaminya sendiri.

2.3 TINJAUAN UMUM TENTANG ANAK SEBAGAI SAKSI

Menurut KUHAP Pasal 1 angka 29, keterangan anak adalah keterangan yang diberikan oleh seorang anak tentang hal yang diperlukan untuk membuat terang suatu perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini. dan kemudian dijustifikasi oleh bunyi undang-undang sistem peradilan pidana anak Pasal 1 angka 5 yang mengatur bahwa anak yang menjadi saksi tindak pidana yang selanjutnya disebut Anak Saksi adalah anak yang belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan tentang suatu perkara pidana yang didengar, dilihat, dan/atau dialaminya sendiri.

Menurut hemat penulis, anak sebagai saksi juga memilik syarat bila ditinjau berdasarakan undang hukum acara pidana dan undang-undang sistem peradilan pidana anak. Unsur dari saksi anak dibagi menjadi unsur absolute dan relatif. Unsur absolute dari saksi anak adalah saksi yang berumur kurang dari 18 (delapan belas) tahun. Hal itu didasari oleh undang-undang sistem peradilan pidana anak Pasal 1 angka 5 bahwa Anak yang Menjadi Saksi Tindak Pidana yang selanjutnya disebut Anak Saksi adalah anak yang belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang dapat memberikan

(14)

keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan tentang suatu perkara pidana yang didengar, dilihat, dan/atau dialaminya sendiri.

Sedangkan unsur relatif nya adalah memberikan keterangan tanpa sumpah bagi anak yang belum berusia 15 (lima belas) tahun. Unsur tersebut dapat ditemui pada undang-undang hukum acara pidana pasal 171 poin a, yang berbunyi: Yang boleh diperiksa untuk memberi keterangan tanpa sumpah ialah anak yang umurnya belum cukup lima belas tahun dan belum pernah kawin. Sehingga anak yang lebih dari 15 (lima belas) tahun tetap disumpah sebelum memberikan keterangan di persidangan dan tetap dianggap menjadi saksi anak karena ia belum mencapai 18 (delapan belas) tahun yang sesuai dengan ketentuan undang-undang sistem peradilan pidana anak Pasal 1 angka 5.

Bentuk Perlindungan Hukum terhadap Anak sebagai Saksi menurut Undang- Undang No. 11 Tahun 2012 tentang sistem peradilan pidana anak 1. Jaminan Keselamatan, baik fisik, mental maupun sosial.

Undang-undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak mengatur perlindungan mengenai jaminan keselamatan anak yang menjadi saksi dalam Pasal 90 Ayat (1) butir b yang menyebutkan “jaminan keselamatan, baik fisik, mental, maupun sosial”. Sebagai saksi yang keterangannya dipertimbangkan, keterangan anak saksi memiliki kecenderungan akan merugikan pelaku atau menguntungkan korban. Oleh

(15)

karena itu, keberadaan saksi anak bisa saja terancam oleh pihak yang merasa dirugikan.

2. Hak Mendapatkan Pendampingan

Hal ini berkaitan dengan keamanan dan kenyamanan saksi anak yang kemudian diatur dalam undang-undang sistem peradilan pidana anak Pasal 23 ayat (2) yang berbunyi: “Dalam setiap tingkat pemeriksaan, Anak Korban atau Anak Saksi wajib didampingi oleh orang tua dan/atau orang yang dipercaya oleh Anak Korban dan/atau Anak Saksi, atau Pekerja Sosial.” 3. Rehabilitasi

Undang-undang sistem peradilan pidana anak Pasal 90 ayat (1) berbunyi:

(1) Selain hak yang telah diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 89, Anak Korban dan Anak Saksi berhak atas:

a. upaya rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial, baik di dalam lembaga maupun di luar lembaga;

b. jaminan keselamatan, baik fisik, mental, maupun sosial; dan

c. kemudahan dalam mendapatkan informasi mengenai perkembangan perkara.28

Perbedaan saksi anak dan saksi orang dewasa 1. Usia

28

Wiwik Afifah dan Gusrin Lessy, 2014, Perlindungan Hukum Terhadap Anak Sebagai

(16)

Anak yang Menjadi Saksi Tindak Pidana yang selanjutnya disebut Anak Saksi adalah anak yang belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan tentang suatu perkara pidana yang didengar, dilihat, dan/atau dialaminya sendiri.29 Menurut penulis, berdasarkan keterangan di atas memiliki konsekuensi logis bahwa yang disebut dewasa adalah yang berumur 18 (delapan belas) tahun atau lebih.

2. Sumpah

Bagi saksi anak terikat dengan Pasal 171 huruf a KUHAP bahwa yang boleh diperiksa untuk memberi.keterangan tanpa sumpah ialah:

a. anak yang umurnya belum cukup lima belas tahun dan belum pernah kawin;30

Bagi orang dewasa berlaku ketentuan bahwa Sebelum memberi keterangan, saksi wajib mengucapkan sumpah atau janji menurut cara agamanya masing-masing, bahwa ia akan memberikan keterangan yang sebenarnya dan tidak lain daripada yang sebenarnya.31

3. Acara di pengadilan

Secara yuridis disampaikan bahwa Penyidik, Penuntut Umum, Hakim, Pembimbing Kemasyarakatan, Advokat atau pemberi bantuan hukum lainnya, dan petugas lain dalam memeriksa perkara Anak, Anak Korban,

29

Pasal 1 angka 5 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak

30 Dheny Wahyudi, 2015, Perlindungan Terhadap Anak Yang Berhadapan Dengan Hukum

Melalui Pendekatan Restorative Justice, Jurnal Ilmu Hukum Jambi, Hal.156-157

31

Pasal 160 ayat (3) Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana

(17)

dan/atau Anak Saksi tidak memakai toga atau atribut kedinasan.32 Sehingga menurut penulis, hal yang berlaku bagi selain anak adalah semua penegak hukum memakai toga atau atribut kedinasan.

2.4 TINJAUAN UMUM TENTANG PEMBUKTIAN

Secara umum, pembuktian/pem·buk·ti·an/ n 1 proses, cara, perbuatan membuktikan; 2 usaha menunjukkan benar atau salahnya si terdakwa dalam sidang pengadilan.33 Sedangkan dalam pengertin yuridis, pembuktian adalah suatu proses bagaimana alat bukti tersebut dipergunakanm diajukan maupun dipertahankan, sesuai hukum acara yang berlaku.34

Menurut Para Ahli, M. Yahya Harahap menerangkan pembuktian sebagai ketentuan yang berisi penggarisan dan pedoman tentang tata cara yang dibenarkan undang-undang membuktikan kesalaahan yang didakwakan kepada terdakwa. Pembuktian juga merupakan ketentuan yang mengatur alat bukti yang dibenarkan oleh undang-undang dan mengatur mengenai alat buktiyang boleh digunakan hakim guna membuktikan kesalahan terdakwa. Bambang Poernomo, hukum pembuktian sebagai keseluruhan aturan hukum atau peraturan perundang-undangan mengenai kegiatan untuk suatu rekonstrukti suatu kenyataan yang benar pada kejadian masa lalu yang relevan dengan persangkaan terhadap orang diduga melakukan tindak pidana dan pengeshan setiap sarana bukti menurut ketentuan hukum yang berlaku untuk kepentingan peradilan dalam perkara pidana. Eddy O.S Hiariej, Hukum

32 Pasal 22 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak 33

https://kbbi.web.id/bukti

34

Bambang Waluyo, 1996, Sistem pembuktian dalam peradilan indonesia, Sinar grafika offset: Jakarta, hlm. 3

(18)

pembuktian adalah ketentuan mengenai pembuktian yang meliputi alat bukti, barang bukti, cara mengumpulkan dan memperoleh bukti sampai pada sampai pada penyampaian bukti di pengadilan serta kekuatan pembuktian dan beban pembuktian.35 Pengertian mengenai pembuktian ditinjau dari hukum acara pidana yang antara lain berarti ketentuan yang membatasi sidang pengadilan dalam usahanya mencari kebenaran baik hakim, penuntut umum, penasehat hukum maupun terdakwa, masing-masing terikat pada ketentuan tata cara dan penilaian atas bukti yang ditemukan undang-undang dan tidak boleh bertindak leluasa dengan caranya sendiri dalam penilaian pembuktian.36 Menurut kamus “Ichtiar Baru - van Hoeve, PT, 1989); pembuktian ialah penyajian alatalat bukti yang sah menurut hukum kepada hakim yang memeriksa suatu perkara guna memberikan kepastian tentang kebenaran peristiwa yang dikemukakan.37

Selain ditinjau dari pengertian, pembuktian juga harus diperkuat dengan adanya asas sebagai pembenar atas suatu tindakan Pembuktian. Ada beberapa asas dalam pembuktian, yakni:

Notoire Feiten

Notoire Feiten memiliki arti yang secara umum sudah diketahui tidak perlu dibuktikan. Prinsip ini diatur pada Pasal 184 ayat (2) KUHAP dengan maksud bahwa suatu keadaan, kejadiaan atau peristiwa yang sudah

35

Eddy O.S Hiariej, 2012, Teori dan Hukum Pembuktian, Penerbit Erlangga: Jakarta. hlm. 4-5

36

Bastianto Nugroho, 2017, Peranan Alat Bukti dalam Perkara Pidana dalam Putusan

Hakim Menurut KUHAP, Yuridika, Volume 32 No. 1, hlm. 21

37

(19)

merupakan pengetahuan umum bahwa kejadian, keadaan atau peristiwa itu selalu akan terjadi demikian dan selalu berakibat demikian.38

Presumption of innocent

Presumption of innocent artinya praduga tak bersalah yang bermakna seseorang dianggap tidak bersalah sebelum ada putusan inkracht dari pengadilan yang menyatakan bersalah.39

Actori Incumbit Onus Probandi

Asas ini memiliki arti siapa yang menuntut, dia yang membuktikan. Dalam konteks hukum perdata penggugat adalah orang yang menggugat atau menuntu dalam bahasa hukum pidana. Sedangkan dalam konteks hukum pidana, yang menuntut adalah jaksa penuntut umum, sehingga jaksa lah yang wajib membuktikan kesalahan terdakwa. Apabila kesalahan terdakwa tidak dapat dibuktikan (actore non probante), terdakawa harus dibebaskan (reus

absolvitur).40

Unus Testis Nullus Testis

Secara harfiah memiliki arti Satu saksi bukanlah saksi. Hal ini ditegaskan pada KUHAP pasal 185 ayat (2) yang berbunyi:

“Keterangan seorang saksi saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa terdakwa bersalah terhadap perbuatan yang didakwakan kepadanya”.

Dan dipertegas di dalam Al-Quran Q.S Al-Baqarah (2): 282, yang berbunyi: “... Dan periksalah dengan dua orang saksi dair orang-orang lelaki

38 Ibid. Modul diklat Kejaksaan RI, hlm. 14 39

Eddy O.S Hiariej, 2012, Teori dan Hukum Pembuktian, Penerbit Erlangga: Jakarta, hlm. 33

40

(20)

diantaramu jika tidak ada dua orang saksi, maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika orang lupa, seorang lagi mengingatkannya. Janganlah saksi-saksi itu enggak

(memeberi keterangan) apabila mereka dipanggil”.41

Audi Et Alteram Partem

Asas ini diperlukan sebagai sebagai upaya mewujudkan peradilan yang objektif. Hakim dalah hal ini diwajibkan mendengar kedua belah pihak. Bila dalam konteks pidana maka hakim mendengarkan jaksa penuntut umum dan juga mendengarkan terdakwa.42

Selain daripada itu, pembuktian juga memiliki fungsi ketentuan yang membatasi sidang pengadilan dalam usahanya untuk mencari dan mempertahankan kebenaran. Sehingga kata lain, para pihak yang terlihat dalam persidangan perkara pidana, baik itu hakim, penuntut umum, maupun penasehat hukum tidak bisa leluasa mempergunakan subyektivitas masing-masing dalam mencari kebenaran. Semua harus sesuai dengan ketentuan yang telah digariskan. fungsi dari pembuktian merupakan penegasan tentang tindak pidana yang dilakukan terdakwa, serta sekaligus membebaskan dirinya dari dakwaan yang tidak terbukti dan menghukumnya berdasarkan dakwaan tindak pidana yang telah terbukti.43

Bahwa ketika membicarakan tentang pembuktian, hal itu tidak lepas dari barang bukti. Dalam KUHAP tidak dijelaskan secara eksplisit tentang

41 Ibid. Eddy O.S Hiariej, hlm. 45 42

Ibid. Eddy O.S Hiariej, hlm. 47

43

Bastianto Nugroho, 2017, Peranan Alat Bukti dalam Perkara Pidana dalam Putusan

(21)

barang bukti yang disebut juga “Benda Sitaan”. Pada KUHAP BAB 1 tentang ketentuan umum pasal 1 angka 16 dijelaskan bahwa “Penyitaan adalah serangkaian tindakan penyidik untuk mengambil alih dan atau menyimpan di bawah penguasaannya benda bergerak atau tidak bergerak, berwujud atau tidak berwujud untuk kepentingan pembuktian dalam penyidikan, penuntutan dan peradilan”. Dari uraian pasal tersebut, dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud barang bukti adalah benda atau barang yang diperlukan atau dibutuhkan atau digunakan untuk kepentingan pembuktian dalam proses hukum.44

Secara yuridis, barang bukti tidak termasuk alat bukti yang sah, akan tetapi pada praktiknya barang bukti mempunyai fungsi dalam pembuktian antara lain secara tidak langsung melalui proses pemeriksaan ilmiah oleh ahli kedokteran forensik atau laboratorium forensik, barang bukti dapat menghasilkan alat bukti yang sah dalam bentuk surat yaitu Visum et Repertum atau keterangan laboratorium forensik.45 Dasarnya adalah Undang-undang Nomor 48 tahun 2009 tentang kekuasaan kehakiman pasal 6 ayat 2, berbunyi:

Tidak seorang pun dapat dijatuhi pidana, kecuali apabila pengadilan karena alat pembuktian yang sah menurut undang-undang, mendapat keyakinan bahwa seseorang yang dianggap dapat bertanggung jawab, telah bersalah atas perbuatan yang didakwakan atas dirinya. HIR Pasal 294 ayat (1), berbunyi:

Tidak akan dijatuhkan hukuman kepada seorangpun jika hakim tidak mendapat keyakinan dengan upaya bukti menurut

44

HMA. Kuffal, 2013, Barang bukti bukan alat bukti yang sah, UMM PRESS: Malang, hlm. 26

45

(22)

undang bahwa benar telah terjadi perbuatan pidana dan bahwa pesakitan salah melakukan perbuatan itu.

HIR Pasal 298, berbunyi:

Upaya bukti sebuahpun tidak mewajibkan akan menghukum pesakitan, jika hakim tidak yakin benar-benar bahwa perbuatan-perbuatan yang dapat dihukum ini, yang dituduhkan kepada pesakitan betul-betul dilakukannya, atau bahwa ia membantu melakukan perbuatan itu.

Setelah membicarakan alat bukti, beralih kepada alat bukti. Alat bukti adalah sebagai segala hal yang dapat digunakan untuk membuktikan perihal kebenaran suatu peristiwadi pengadilan.46 Alat bukti ialah upaya pembuktian melalui alat-alat yang diperkenankan untuk dipakai membuktikan dalil-dalil atau dalam perkara pidana dakwaan disidang pengadilan, misalnya keterangan terdakwa, kesaksian, keterangan ahli, surat, petunjuk, dan termasuk persangkaan dan sumpah. Menurut Bambang Waluyo mendefinisikan alat bukti sebagai suatu hal yang ditentukan oleh undang-undang yang dapat dipergunakan untuk memperkuatdakwaan, tuntutan atau gugatan maupun guna menolak dakwaan tuntutan atau gugatan. Alat bukti adalah segala sesuatu yang ada hubungannya dengan suatu perbuatan, dimana dengan alat-alat bukti tersebut dapat dipergunakan sebagai bahan pembuktian guna menimbulkan keyakinan hakim atas kebenaran adanya suatu tindak pidana yang telah dilakukan oleh terdakwa.47

Alat bukti yang sah merupakan alat bukti yang diperoleh dengan cara cara yang ditulis dalam peraturan perundang-undangan dan yang

46 Eddy O.S Hiariej, 2012, Teori dan Hukum Pembuktian, Penerbit Erlangga: Jakarta, hlm.

52

47

Bastianto Nugroho, 2017, Peranan Alat Bukti dalam Perkara Pidana dalam Putusan

(23)

disebutkan dalam peraturan perundang-undangan. Dengan berkorelasi dengan judul yang ditulis oleh penulis, maka hal yang akan diterangkan adalah terkait bukti yang diatur oleh KUHAP. Berikut macam-macam alat bukti yang sah menurut Pasal 184 ayat (1) :

1. Keterangan saksi

Alat bukti keterangan saksi merupakan alat bukti yang paling utama dalam perkara pidana. Hampir semua pembuktian perkara pidana selalu bersandar kepada pemeriksaan keterangan saksi. Sekurang-kurangnya di samping pembuktian dengan alat bukti yang lain, masih selalu diperlukan pembuktian dengan alat bukti keterangan saksi. Ditinjau dari segi nilai dan kekuatan pembuktian atau “the degree of evidence” keterangan saksi, agar keterangan saksi atau kesaksian mempunyai nilai serta kekuatan pembuktian, perlu diperhatikan beberapa pokok ketentuan yang harus dipenuhi oleh seorang saksi, yakni: Pertama, harus mengucapkan sumpah atau janji. Hal ini diatur dalam Pasal 160 ayat 3. Kedua, keterangan saksi yang bernilai sebagai bukti, maksudnya adalah keterangan yang dilihat sendiri, di dengar sendiri, dan di alami sendiri. Ketiga, keterangan saksi yang bernilai alat bukti adalah keterangan yang disampaikan di persidangan. Hal tersebut sesuai dengan bunyi pasal 185 ayat (1) KUHAP. Keempat, keterangan seorang saksi saja dianggap tidak cukup. Hal ini mengarah keapda asas unus testis nullus testis. Kelima, adanya hubungan antara kesaksian satu orang dengan orang yang lain yang masing-masing kesaksiannya berdiri sendiri. Hal ini tertulis dalam pasal

(24)

185 ayat (4) KUHAP.48 Tetapi kemudian nilai keterangan saksi pada poin kedua diperluas oleh Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 65/PUU-VIII/2010 tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, Menyatakan Pasal 1 angka 26 dan angka 27; Pasal 65; Pasal 116 ayat (3) dan ayat (4); serta Pasal 184 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 76 dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209) adalah bertentangan dengan UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang pengertian saksi dalam Pasal 1 angka 26 dan angka 27; Pasal 65; Pasal 116 ayat (3) dan ayat (4); Pasal 184 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 76 dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209), tidak dimaknai termasuk pula “orang yang dapat memberikan keterangan dalam rangka penyidikan, penuntutan, dan peradilan suatu tindak pidana yang tidak selalu ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri”. 2. Keterangan Ahli

Ahli (deskundige) adalah orang yang mengemukakan pendapatnya tentang suatu persoalan yang dinyatakan kepadanaya tanpa melakukan suatu pemeriksaan. Saksi ahli (getuige deskundige) adalah orang yang menyaksikan tentang suatu materi pokok perkara, kemudian

48

(25)

memeriksa serta mengemukakan pendapatnya berdasarkan keahliannya itu dan menarik kesimpulan dari padanya.49 Sedangkan secara umum keterangan ahli adalah keterangan yang diberikan oleh seorang yang memiliki keahlian khusus tentang hal yang diperlukan untuk membuat terang suatu perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan.50 Keterangan ahli ini dapat diberikan pada waktu pemeriksaan oleh penyidik atau penuntut umum yang dituangkan dalam bentuk laporan dan dibuat dengan mengingat sumpah di waktu ia menerima jabatan.51 Jika hal itu tidak dilakukan makapada waktu pemeriksaan di pengadilan, diminta untuk memberikan keterangan (ahli) dan dicatat dalam berita acara pemeriksaan.52 Keterangan ahli dapat diambil dari pendapatnya yang menerangkan suatu hal dari perkara yang bersangkutan dan dapat pula keterangan ahli diambil dari pengalamannya53, tetapi ahli tidak boleh mengomentari kasus konkret yang sedang disidangkan dan tidak boleh mengomentari salah atau benar tindakan yang dilakukan oleh terdakwa.54 Setelah ahli mengemukakan pendapat, hakim dapat menyetujui atau menolak keterangan yang telah disampaikan dan kemudian mengambil

49

R. Soeparmono,2002, Keterangan ahli dan visum et repertum dalam aspek hukum

acara pidana, Penerbit Mandar Maju: Semarang, hlm. 65-66

50

Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana Pasal 1 angka 28.

51 Ibid. Penjelasan pasal 186 52

Ali Imron dan Muhamad Iqbal, 2019, Hukum Pembuktian, UNPAM PRESS: Tangerang Selatan, hlm. 24

53 R. Soeparmono,2002, Keterangan ahli dan visum et repertum dalam aspek hukum

acara pidana, Penerbit Mandar Maju: Semarang, hlm. 90

54

Eddy O.S Hiariej, 2012, Teori dan Hukum Pembuktian, Penerbit Erlangga: Jakarta, hlm. 107

(26)

kesimpulan sendiri.55 Selain dengan oleh apa yang telah disebutkan, hal yang juga perlu diperhatikan adalah kekuatan alat bukti saksi ahli tidak lepas dari ketentuan Pasal 161 ayat (1) KUHAP, saksi ahli harus disumpah dalam memberikan keterangannya, karena tanpa disumpah maka dalam keterangannya dianggap sebagai bentuk tambahan hakim dalam keyakinannya untuk menjadi pertimbangan suatu kekuatan pembuktian.56 3. Surat

Menurut ketentuan itu, surat yang dapat dinilai sebagai alat bukti yang sah menurut undang-undang adalah surat yang dibuat atas sumpah jabatan, atau surat yang dikuatkan dengan sumpah.57 Bentuk-bentuk surat yang dapat dianggap mempunyai nilai sebagai alat bukti:

a. “Berita acara” dan surat lain dalam bentuk resmi yaitu yang dibuat oleh pejabat yang berwewenang atau yang dibuat dihadapannya, dengan syarat, isi berita acara dan harus berisi memuat keterangan tentang kejadian atau keadaan yang didengar, dilihat atau yang dialami pejabat itu sendiri, dan disertai dengan alasan yang jelas dan tegas tentang keterangannya itu.

b. Surat “keterangan dari seorang ahli” yang memuat pendapat berdasar keahliannya mengenai suatu hal atau sesuatu keadaan yang diminta secara resmi dari padanya.

55

R. Soeparmono, Op.cit., hlm. 92

56 Ali Imron dan Muhamad Iqbal, 2019, Hukum Pembuktian, UNPAM PRESS: Tangerang

Selatan, hlm. 25

57

Bastianto Nugroho, 2017, Peranan Alat Bukti dalam Perkara Pidana dalam Putusan

(27)

c. Surat yang dibuat menurut ketentuang perundang-undangan atau surat yang dibuat oleh pejabat mengenai apa yang termasuk dalam tanggungjawabnya.

d. Surat lain yang hanya berlaku jika ada hubungannya dengan isi dari alat bukti yang lain. 58

Selain daripada itu, kekuatan dalam alat bukti surat tentu harus diartikan surat sebagai bentuk kekuatan dalam pembuktian yang dengan kriteria surat yang dimaksudkan dalam ketentuan KUHAP yaitu disebut surat dalam proses perdata juga berlaku bagi proses pidana yaitu dengan pengertian sebagai berikut. “Surat-surat adalah semua benda yang berisi tanda-tanda baca yang dapat dimengerti yang dipergunakan untuk mengemukakan isi pikiran”.59

4. Petunjuk (aawijzing)

Petunjuk adalah perbuatan, kejadian atau keadaan, yang karena persesuaiannya, baik antara yang satu dengan yang lain, maupun dengan tindak pidana itu sendiri, menandakan bahwa telah terjadi suatu tindak pidana dan siapa pelakunya.60 Dalam teori pembuktian, petunjuk merupakan circumtantial evidence atau bukti tidak langsung yang berarti

58

HMA. Kuffal, 2013, Barang bukti bukan alat bukti yang sah, UMM PRESS: Malang, hlm. 32-33

59 Ali Imron dan Muhamad Iqbal, 2019, Hukum Pembuktian, UNPAM PRESS: Tangerang

Selatan, hlm. 80

60

Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana Pasal 188 ayat (1)

(28)

bahwa petunjuk merupakan alat bukti yang tidak berdiri sendiri atau sekunder dan harus diperoleh dari alat bukti primer.61

Alat bukti primer sebagaimana dimaksud hanya dapat diperoleh dari : a. keterangan saksi;

b. surat;

c. keterangan terdakwa;

Penilaian atas kekuatan pembuktian dari suatu petunjuk dalam setiap keadaan tertentu dilakukan oleh hakim dengan arif lagi bidjaksana setelah ia mengadakan pemeriksaan dengan penuh kecermatan dan kesaksamaan berdasarkan hati nuraninya.62

Syarat –syarat alat bukti petunjuk adalah: a) mempunyai persesuaian satu sama lain atas perbuatan yang terjadi, b) keadaan-keadaan perbuatan itu berhubungan satu sama lain dengan kejahatan yang terjadi, dan c) berdasarkan pengamatan hakim baik dari keterangan terdakwa maupun saksi dipersidangan.63 Penilaian atas kekuatan pembuktian dari suatu petunjuk dalam setiap keadaan tertentu dilakukan oleh hakim dengan arif lagi bijaksana setelah ia mengadakan pemeriksaan dengan penuh kecermatan dan kesaksamaan berdasarkan hati nuraninya.64 Uraian tersebut menunjukkan bahwa subjektifitas hakim sangat berperan dalam menentukan kekuatan alat bukti petunjuk, sehingga memiliki konsekuensi

61

Eddy O.S Hiariej, 2012, Teori dan Hukum Pembuktian, Penerbit Erlangga: Jakarta, hlm. 110

62 Op.Cit., Pasal 188 ayat (2) dan (3) 63

Kadi Sukarna, 2014, Alat Bukti Petunjuk dalam Proses Peradilan Pidana, Prosiding Seminar Nasional 2014, hlm. 357

64

(29)

bahwa antara hakim satu dengan yang lain mempunyai keyakinan yang berbeda.65

5. Keterangan Terdakwa

Keterangan terdakwa ialah apa yang terdakwa nyatakan di sidang tentang perbuatan yang ia lakukan atau yang ia ketahui sendiri atau alami sendiri.66 Untuk menentukan nilai dari keterangan terdakwa sebagai alat bukti yang sah, diperlukan beberapa asas, yakni yang pertama adalah keterangan itu dinyatakan disidang pengadilan, baik pernyataan berupa penjelasan “ yang diutarakan sendiri” oleh terdakwa maupun pernyataan yang berupa “penjelasan” atau “jawaban” terdakwa atas pertanyaan yang diajukan kepadanya oleh ketua sidang, hakim anggota, penuntut umum atau penasehat hukum termasuk penjelasan “pengingkaran” yang dikemukakannya. Kedua, tentang perbuatan yang ia lakukan atau yang ia ketahui sendiri atau alami sendiri.67 Ketiga, bahwa keterangan terdakwa hanya dapat digunakan untuk dirinya sendiri.68

Sedangkan dalam HIR Pasal 295, yang merupakan bukti yang sah adalah

1. kesaksian-kesaksian 2. surat-surat

3. pengakuan

65 HMA. Kuffal, 2013, Barang bukti bukan alat bukti yang sah, UMM PRESS: Malang, hlm.

36-37

66

Op.Cit., Pasal 189 ayat (1)

67 Bastianto Nugroho, 2017, Peranan Alat Bukti dalam Perkara Pidana dalam Putusan

Hakim Menurut KUHAP, Yuridika, Volume 32 No. 1, hlm. 32

68

HMA. Kuffal, 2013, Barang bukti bukan alat bukti yang sah, UMM PRESS: Malang, hlm. 39

(30)

4. Petunjuk-petunjuk

Terhadap apa yang tertulis pada HIR Pasal 295 terdapat istilah yang dikelompokkan secara umum dan istilah yang bebeda. Dalam hal yang dikelompokkan secara umum adalah kesaksian-kesaksian, yaitu keterangan lisan seorang, di muka sidang pengadilan, dengan disumpah lebih dahulu, tentang peristiwa tertentu yang didengar, dilihat dan dialami sendiri. Kesaksian yang tidak dilihat sendiri, akan tetapi mengenai hal-hal yang dikatakan oleh orang lain bukanlah merupakan kesaksian yang sah. Kesaksian seperti ini biasa disebut saksi "de auditu".69 Sedangkan yang berbeda adalah pengakuan, yakni mengucapkan makna yang berisi pembenaran terhadapa apa yang didakwakan kepadanya.70 Pengakuan ini haruslah memenuhi tiga syarat, pertama, diberikan atas kehendak sendiri. Kedua, diberikan di muka persidangan. Ketiga, disertai dengan pemberitahuan tentang sesuatu yang diketahui, baik dari ketrangan orang lain maupun dari alat bukti lain yag relevan dengan pengakuan tersebut.71

Pembuktian berfungsi sebagai penegasan tentang tindak pidana yang dilakukan terdakwa, serta sekaligus membebaskan dirinya dari dakwaan yang tidak terbukti dan menghukumnya berdasarkan dakwaan tindak pidana yang telah terbukti. fungsi dari alat bukti adalah untuk membantu jalannya suatu pembuktian dalam suatu persidangan, apabila dalam pembuktian tanpa disertai adanya alat bukti maka acara pembuktian

69

HIR Pasal 295

70

Op.cit. HMA. Kuffal, hlm. 39

71

(31)

tersebut batal demi hukum. Fungsi dari alat juga ditentukan dari kekuatan pembuktian dari masing-masing alat bukti tersebut.72

Dalam tahap pembuktian di persidangan, terdapat beberapa teori yang disediakan oleh ilmu hukum sebagai upaya untuk menciptakan keadilan bagi segala asepk. Teroi pembuktian ini terdri dari:

1. Teori pembuktian berdasarkan undang-undang secara positif (positif wettelijke Bewijstheorie)

Teori ini menegaskan bahwa kebenaran diperoleh hanya dari alat bukti yang sah. Kebenaran semacam ini disebut juga kebenaran formal yang kebanyakan digunakan dalam acara perdata yang substansinya ialah mencari kebenaran formal. Sehingga konsekuensinya bahwa hakim akan memutus perkara berdasarkan alat bukti yang dihadirkan di persidangan73 yang mana keyakinan hakim menjadi tidak berguna dan menjadi tidak penting dalam penarikan kesimpulan terhadap kesalahan terdakwa .74 2. Sistem pembuktian berdasarkan undang-undang secara negatif (negatief

wettelijke)

Dasar hukum toeri ini adalah pada HIR pasal 294 ayat (1) yang berbunyi:

Tidak akan dijatuhkan hukuman kepada seorangpun jika hakim tidak mendapat keyakinan dengan upaya bukti menurut undang-undang bahwa benar telah terjadi perbuatan pidana dan bahwa pesakitan salah melakukan perbuatan itu.

72

Bastianto Nugroho, 2017, Peranan Alat Bukti dalam Perkara Pidana dalam Putusan

Hakim Menurut KUHAP, Yuridika, Volume 32 No. 1, hlm. 26

73 Eddy O.S Hiariej, 2012, Teori dan Hukum Pembuktian, Penerbit Erlangga: Jakarta, hlm.

16

74

Adami Chazawi, 2008, Hukum pembuktian tindak pidana korupsi, PT. ALUMNI: Bandung, hlm. 27

(32)

Kemudian disempurnakan pada KUHAP pasal 183 yang berbunyi:

Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya. Sehingga dalam sistem pembuktian ini, untuk membuktikan kesalahan terdakwa, hakim tidak sepenuhnya mengandalkan alat bukti serta cara yang ditentukan oleh undang-undang. Tetapi hal tersebut harus disertai dengan keyakinan hakim. Keyakinan yang dimaksud adalah yang dibentuk berdasarakan fakta yang diperoleh dari alat bukti yang sah yang diatur dalam undang-undang.75 Sehingga Menurut teori ini, hakim baru boleh menyatakan terdakwa bersalah dan melanggar ketentuan dalam hukum pidana bila telah dipenuhinya syarat-syarat bukti sesuai ketentuan KUHAP serta keyakinan hakim terhadap perkara tersebut. Menurut Wirjono Projodikoro, sebagaimana dikutip oleh Andi Hamzah, ada dua manfaat dalam pembuktian negatif ini. Pertama, memang sudah selayaknya seorang hakim mempidana seseorang dengan keyakinan. Kedua, akan berfaedah jika ada aturan yang mengikat hakim dalam menyusun keyakinannya, agar ada patokan-patokan tertentu yang harus diturut oleh hakim dalam melakukan peradilan.76

3. Sistem pembuktian berdasarkan keyakinan hakim (conviction in time) Berdasarkan teori ini, hakim sebagai pengadil dapat memutuskan suatu perkara dengan tidak mempertimbangkan hal formal dalam hukum

75

Ibid. Adami Chazawi, hlm. 29

76

Bastianto Nugroho, 2017, Peranan Alat Bukti dalam Perkara Pidana dalam Putusan

(33)

acara pidana seperti keharusan memutus dengan minimal dua alat bukti, termasuk tidak mempertimbangkan juga bagaimana kelogisan alasan yang dipakai oleh hakim untuk memutuskan suatu perkara. Dalam kata lain, sistem pembuktian ini adalah berdasarkan keyakinan hakim semata.77 Tetapi keyakinan hati nurani ini dibarengi dengan kebijaksanaan hakim78 yang yakin bahwa terdakwa telah melakukan tindak pidana.79 Kekurangan sistem ini adalah kebebasan yang terlalu luas kepada Hakim, sehingga sulit diawasi, selain itu, membuka kemungkinan besar untuk terjadi kesewenang-wenangan yang dilakukan oleh Hakim akibat besarnya kekuasaan yang dimilikinya.80

4. Sistem pembuktian berdasarkan keyakinan hakim dengan alasan yang logis (La conviction raisonee)

Teori ini merupakan kebalikan dari conviction in time, bahwa dalam teori conviction in time hakim memutus perkara tanpa memikirkan alasan-alasan logis putusan yang ia gunakan, tetapi pada La conviction raisonee hakim memutus dengan keyakinannya yang didasarkan pada alasan-alasan yang logis. Meskipun dalam undang-undang telah disediakan alat bukti yang sah, tetapi dalam implementasinya terserah pada pertimbangan hakim, asalkan apa yang dipertimbangkan adalah logis.

77

Op.cit. Adami Chazawi, hlm. 25

78

Eddy O.S Hiariej, 2012, Teori dan Hukum Pembuktian, Penerbit Erlangga: Jakarta, hlm. 16

79

Bambang Waluyo, 1996, Sistem pembuktian dalam peradilan indonesia, Sinar grafika offset: Jakarta, hlm. 6

80 Septiani Herlinda, 2012, Skripsi: “Kekuatan Pembuktian Keterangan Saksi Korban

Anak dalam Vonis Bebas Untuk Tindak Pidana Asusila di Persidangan (Studi Kasus Putusan Kasasi Mahkamah Agung No. 1668 K/Pid.Sus/2010)”, Program Sarjana Universitas Indonesia, Jakarta.

(34)

Logis dalam hal ini adalah dapat diterima oleh akal orang pada umumnya.81 Dalam teori ini, hakim tetap menggunakan alat bukti tetapi alat bukti dalam sistem ini tidak diatur secara limitatif oleh undang-undang82 sehingga hakim bebas menggunakan alat bukti tentunya disertai dengan alasan yang logis.83

81

Adami Chazawi, 2008, Hukum pembuktian tindak pidana korupsi, PT. ALUMNI: Bandung, hlm. 26-27

82

Op.cit. Septian Herlinda, Hlm. 59-60

83

Eddy O.S Hiariej, 2012, Teori dan Hukum Pembuktian, Penerbit Erlangga: Jakarta, hlm. 17

Referensi

Dokumen terkait

Karakteristik substrat maupun sedimennya pada Kawasan Pantai Ujong Pancu sendiri memiliki karateristik sedimen yang didominasi oleh pasir halus dimana pada

Dengan demikian, salah satu situasi yang ada adalah, tuntutan peningkatan daya saing untuk pasar internasional yang berusaha dipenuhi oleh perusahaan di Indonesia

tidak mendapat asupan gizi yang baik. Namun ada sisi positif yang bisa dilihat dimana adanya jaminan kesehatan dan penambahan rumah sakit dan tenaga medis meskipun belum

Segala puji syukur Kehadirat Allah SWT atas kasih karunia yang telah dilimpahkan sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan tesis yang berjudul “Karakterisasi

Dari hasil temuan itu kemudian dilakukan autopsi oleh tim forensik RS Bhayangkara Semarang dan hasilnya disebutkan ditemukan tanda-tanda kekerasan pada tubuh korban

Tindak pidana pada umumnya sering didefinisiakan sebagai suatu perbuatan atau tindakan yang melanggar peraturan hukum pidana sebagaimana tertuang dalam Kitab Undang-Undang

Sebaiknya Perbankan Syariah terus meningkatkan kualitas pelayanan melalui variabel (tangible) bukti fisik hal-hal yang menyangkut penerangan ruangan di

Penurunan luas panen yang cukup signifikan terjadi di daerah sentra jagung seperti Kabupaten Pesisir Selatan dan Pasaman Barat.. Penurunan luas panen terjadi karena