PERBEDAAN SIKAP TERHADAP KENAKALAN REMAJA
DITINJAU DARI POLA ASUH
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh
Gelar Sarjana Psikologi Program Studi Psikologi
Dionisius Ryan Prastantya
109114027
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS SANATA DHARMA
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING
PERBEDAAN SIKAP TERHADAP KENAKALAN REMAJA DITINJAU
DARI POLA ASUH
Oleh:
Dionisius Ryan Prastantya
NIM: 109114027
Telah disetujui oleh:
Dosen Pembimbing
$s
Dra.LusiaPrastidarmastiti,M.Si
Tanggal...l.l.:19.!..?!]!
HALAMAN PENGESAHAN SKRIPSI
PERBEDAAN SIKAP TERHADAP KENAKALAN RBMAJA DITINJAU
DARI POLA ASUH
Dipersiapkan dan ditulis oleh: Prastantya
Penguji
I
: DraPenguji
II
: Sylvia CarolinaPenguji
III :Ratri Sunar
Astuti, M.Silll
"4
rim pengujt
*-f,
Len&t&.
yrqK*d
'
2
g
JUL
ZOi5 YogyakartaFakultas Psikologi itas Sanata Dharma
{A
iv
HALAMAN PERSEMBAHAN
Saya mempersembahkan hasil perjuangan saya ini kepada:
“orang tua saya yang saya sayangi, kakak adik, nenek dan
dek pudji karena berkat dukungan dan doa-doa mereka, saya
berhasil menyelesaikan ini, mereka adalah orang-orang yang
v
HALAMAN MOTTO
Ayah saya pernah berkata:
ketika akan menyeberang sungai dan kamu sudah
sampai di tengah, kamu tidak perlu berbalik karena takut
semakin basah. Karena yang kamu butuhkan hanya lebih
vi
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA
Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang saya tulis ini
tidak memuat karya atau bagian karya orang lain, kecuali yang telah disebutkan
dalam daftar pustaka sebagaimana layaknya sebuah karya ilmiah.
Yogyakarta, 8 Juni 2015
Penulis
vii
PERBEDAAN SIKAP TERHADAP KENAKALAN REMAJA DITINJAU
DARI POLA ASUH
Dionisius Ryan Prastantya
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk melihat apakah ada perbedaan sikap terhadap kenakalan remaja ditinjau dari pola asuh. Pola asuh dipahami sebagai sistem atau cara dalam mendidik anak yang dilakukan oleh orang tua, sedangkan sikap terhadap kenakalan remaja adalah pola dasar dari remaja ketika memberikan respon pada kenakalan remaja. Hipotesis dalam penelitian ini adalah ada perbedaan sikap terhadap kenakalan remaja ditinjau dari pola asuh. Subjek dalam penelitian ini adalah remaja yang memiliki usia 15-18 tahun. Subjek dalam penelitian ini berjumlah 52 orang. Metode pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan skala Likert. Skala yang digunakan dalam penelitian ini adalah skala pola asuh orang tua dan skala sikap terhadap kenakalan remaja. Uji reliabilitas skala dalam penelitian ini menggunakan teknik Alpha Cronbach dengan hasil sebesar 0,859 untuk skala pola asuh dan 0,910 untuk skala sikap terhadap kenakalan remaja. Analisis data dilakukan dengan teknik statistik uji beda atau uji t. Analisis uji t menghasilkan nilai p=0,003 (p<0,05) yang berarti ada perbedaan antara pola asuh otoriter, permisif dan demokratis dalam hal sikap terhadap kenakalan remaja. Dalam tabel Post Hoc yang menggunakan teknik dari Bonferroni menunjukkan bahwa hanya pola asuh permisif dan demokratis yang tidak memiliki beda dengan nilai p=1,000 (p>0,05) sehingga hanya pola asuh otoriter yang memiliki beda diantara pola asuh yang lain. Hal ini diperkuat dengan jumlah subjek yang memiliki sikap positif atau mendukung kenakalan remaja hanya terdapat pada subjek yang diasuh menggunakan otoriter. Hal tersebut menunjukkan bahwa ada perbedaan sikap terhadap kenakalan remaja ditinjau dari pola asuh, sehingga hipotesis dalam penelitian ini diterima.
viii
THE RELATIONSHIP BETWEEN PARENTING STYLES AND
ATTITUDE TOWARD JUVENILE DELINQUENCY
Dionisius Ryan Prastantya
ABSTRACT
This research is meant to reveal the style of parenting which has positive attitude or support the juvenile delinquency, whether it is authoritarian, permissive, or democratic. Parenting style is understood to be a set of system or way to educate children which is done by parents, while attitude toward juvenile delinquency is the basic way of adoloscent to react toward juvenile delinquency. Hypothesis of this research is that authoritarian parenting has positive tendency to support the juvenile delinquency. The subject of this research is a group of 52 adoloscent under age 18. Data collection method is based on Likert scale. Scales that are used in this research are parenting style scale and attitude toward juvenile delinquency scale. The reliability scale test in this research uses Alpha Cronbach technique with result of 0,859 for parenting styles scale and 0,910 for attitude toward juvenile delinquency scale. The data analysis is done based on p value=0,003 (p<0,05) which means that there are different attitudes toward juvenile delinquency between authoritarian, permissive, and democratic parenting styles. In post hoc table which uses bonferroni technique, it is potrayed that only permissive and democratic style of parenting which do not have difference with value of p=1,000 (p>0,05) so that there is only authoritarian parenting style which has difference with other parenting styles. This is strengthen by number of subjects which have positive attitude or are being supportive toward juvenile delinquency in which they are educated under authoritarian parenting style. It shows that authoritarian parenting syle has a positive relationship with juvenile delinquency, thus, the hypothesis of this reaearch is acceptable.
ix
LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN
PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS
Yang bertanda tangan di bawah ini, saya mahasiswa Universitas Sanata Dharma
Nama : Dionisius Ryan Prastantya
Nomor Mahasiswa : 109114027
Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan kepada Perpustakaan
Universitas Sanata Dharma karya ilmiah saya yang berjudul:
Perbedaan Sikap terhadap Kenakalan Remaja
Ditinjau dari Pola Asuh
Beserta perangkat yang diperlukan (bila ada). Dengan demikian, saya memberikan
kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma hak untuk menyimpan,
mengalihkan bentuk media lain, mengelolanya di internet atau media lain untuk
kepentingan akademis tanpa perlu meminta izin dari saya sebagai penulis.
Demikian pernyataan ini yang saya buat dengan sebenarnya
Dibuat di Yogyakarta
Pada tanggal : 8 Juni 2015
Yang menyatakan,
x
KATA PENGANTAR
Ungkapan rasa syukur penulis tujukan untuk Tuhan yang Maha Esa atas
berkat rahmat kebijaksanaan yang telah Dia berikan kepada penulis. Rahmat
kebijaksanaa dariNya membuat penulis dapat menyelesaikan skripsi penulis yang
berjudul “Hubungan antara Pola Asuh dengan Sikap terhadap Kenakalan Remaja”
dengan sebaik-baiknya.
Penulis juga sangat berterima kasih kepada para dosen baik dosen
pembimbing maupun dosen penguji yang telah rela meluangkan waktunya untuk
membimbing penulis sehingga dapat melengkapi kekurangan yang terdapat pada
penulis.
Selanjutnya, ucapan terima kasih penulis tujukan pada:
1. Tuhan Yang Maha Esa karena berkat dan anugerahNya yang selalu
melimpah dan selalu mendampingi penulis dalam menyelesaikan
penelitian ini.
2. Bapak Dr. T. Priyo Widiyanto, M.Si dan Ibu Ratri Sunar Astuti, M.Si
selaku dekan dan kaprodi Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma
serta seluruh dosen, staf dan karyawan atas bantuan dan bimbingannya.
3. Dosen pembimbing akademik kelas A, Mbak Etta yang telah
mendampingi selama menjalani masa kuliah dan membantu ketika penulis
mengalami kesulitan.
4. Ibu Dra. Lusia Pratidarmanastiti, M. Si, sebagai Pembimbing skripsi
xi
bidang akademik tetapi dalam kehidupan. Terima kasih Ibu atas
bimbingan dalam proses pembelajaran ini.
5. Sr. Wina yang selalu memberikan pencerahan dan motivasi dalam hidup
dan keluarga. Terima kasih suster.
6. Orang tua penulis yang selalu mendukung penulis dalam setiap proses
penulisan skripsi dalam bentuk dukungan dan selalu mendoakan
keberhasilan penulis.
7. Bapak/Ibu dosen yang tidak dapat disebutkan satu-persatu atas bimbingan
selama proses perkuliahan dari awal semester hingga akhir semester.
8. Yang selalu menemani, mendukung dan menjadi tempat untuk bertanya,
Engger Akeng dan kekasih sekaligus asistenku Pudji.
9. Rekan-rekan mahasiswa di Fakultas Psikologi Sanata Dharma Gandring,
Albert “ucil”, Adit “plentong”, Wahyu, Indra, Galih “popo”, Yuda, Bayu,
Albert, Andang, Sondra, Vinsul, Andre dan Tari yang mendukung saya
dengan memberikan banyak masukan terkait skripsi saya.
10. Sahabat-sahabat penulis di Fakultas Psikologi Sanata Dharma yang terdiri
dari Iwan, Gustav, Erga, Vinsen, Bayu, Brandan, Yutti, Ella yang selalu
mendukung penulis dari awal semester hingga saya mencapai tahap
penulisan skripsi.
11. Sahabat-sahabat penulis di OMK St Sylvester Nanggulan yang selalu
memberikan dukungan dalam bentuk apapun sehingga membuat penulis
xii
12. Sahabat-sahabat di UNISON training team Narendra, Pelangi, Koen,
Robert, Eko, Bambang, Wina, Yatim, Dito, Keket, mas Hari dan mas
Krido yang selalu mendukung dan mengingatkan ketika penulis
melupakan tanggung jawabnya
13. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu-persatu yang telah
membantu dalam proses penyelesaian skripsi saya.
Masih banyak kekurangan dalam penulisan skripsi penulis sehingga
penulis membutuhkan kritik dan saran yang bersifat membangun demi
kesempurnaan skripsi ini.
Yogyakarta, 8 Juni 2015
xiii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ……… i
HALAMAN PERSETUJUAN DOSEN PEMBIMBING ………. ii
HALAMAN PENGESAHAN ………. iii
HALAMAN PERSEMBAHAN ……….. iv
HALAMAN MOTTO ……….. v
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ……….. vi
ABSTRAK ……… vii
ABSTRACT ………. viii
HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH.. ix
KATA PENGANTAR ………. x
DAFTAR ISI ………. xiii
DAFTAR TABEL ……… xvi
DAFTAR GAMBAR……… xvii
DAFTAR LAMPIRAN ……… xviii
BAB I PENDAHULUAN……….... 1
A. Latar Belakang………. 1
B. Rumusan Masalah……… 6
C. Tujuan Penelitian……….. 6
D. Manfaat Penelitian……… 6
xiv
A. Sikap terhadap Kenakalan remaja ..……….. 7
1. Kenakalan Remaja ... 7
a. Kenakalan ... 7
b. Remaja ... 12
i. Definisi ... 12
ii. Perkembangan Remaja ... 14
a.) Fisik dan Kognitif ... 14
b.) Sosio-emosional ... 16
2. Sikap ... 17
3. Sikap terhadap Kenakalan Remaja ... 19
B. Pola Asuh………... 20 1. Definisi……….. 20
2. Aspek Pola Asuh ... 20
3. Jenis Pola Asuh ... 22
a. Authoritarian (Otoriter)……….... 22
b. Permissive (Permisif)……….. 23
c. Authoritative (Demokratis)………. 24
C. Hubungan antara Pola Asuh dengan Sikap …………. 26
D. Hipotesis……….. 30
BAB III METODOLOGI PENELITIAN……… 31
A. Jenis Penelitian………. 31
B. Identifikasi Variabel Penelitian……… 31
xv
1. Pola Asuh Orang Tua………. 31
2. Sikap terhadap Kenakalan Remaja………. 32
D. Subjek Penelitian……….. 33
E. Metode Pengumpulan Data……….. 33
F. Validitas dan Reliabilitas………. 36
1. Validitas………. 36
2. Seleksi Item……… 36
3. Reliabilitas……….. 40
G. Metode Analisis Data……….. 41
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN …………. 44
A. Pelaksanaan Penelitian ………. 44
B. DeskripsiSubjek Penelitian ………. 44
C. DeskripsiData Penelitian ………. 44
1. Data Sikap terhadap Kenakalan Remaja ……….... 44
2. Kategorisasi ………... 45
3. Uji Asumsi DataPenelitian ………... 47
D. Pembahasan ………. 52
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN………. 57
A. Kesimpulan……….. 57
B. Saran………. 57
DAFTAR PUSTAKA………. 58
xvi
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1: Pengaruh “parenting style” terhadap Perilaku Anak ….. 25
Tabel 3.1: Distribusi item skala pola asuhsebelum uji coba ………… 37
Tabel 3.2: Distribusi item skala pola asuhsetelah uji coba ………….. 37
Tabel 3.3: Distribusi item skala pola setelah penyusunan ulang ….. 38
Tabel 3.4: Distribusi item skala sikap terhadap kenakalan remaja sebelum uji coba ……….. 39
Tabel 3.5: Distribusi item skala sikap terhadap kenakalan remaja setelah uji coba ……… 39
Tabel 3.6: Distribusi item skala sikap terhadap kenakalan remaja setelahpenyusunan ulang ……… 40
Tabel 4.1: Tabel skor mean teoritik dan empirik……….. 45
Tabel 4.2: Tabel jumlah subjek pada masing-masing pola asuh ….. 46
Tabel 4.3: Tabel kategorisasi sikap terhadap kenakalanremaja ….. 47
Tabel 4.4: Tabel uji normalitas pola asuh otoriter ……… 48
Tabel 4.5: Tabel uji normalitaspola asuh permisif ……….. 48
Tabel 4.6: Tabel uji normalitaspola asuh demokratis ………. 49
Tabel 4.7: Tabel uji homogenitas ………. 49
Tabel 4.8: Tabel uji beda pada pola asuh ………. 50
xvii
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. Skema Hubungan Pola Asuh dengan Sikap terhadap
Kenakalan Remaja ……… 29
Gambar 2 Diagram rata-rata sikap terhadap kenakalan remaja
xviii
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran A……….. 63
Reliabilitas dan item total statisticpola asuh ………. 63
Reliabilitas dan item total statistic sikap terhadapkenakalan remaja ………. 64
Lampiran B……….. 67
Skala………... 67
Lampiran C……….. 83
Uji normalitas………. 83
Uji homogenitas...……….. 83
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pada akhir-akhir ini media masih banyak memberitakan kenakalan remaja
yang terjadi. Seperti halnya yang dilaporkan Tribun Jateng, 30 Desember 2013
bahwa kebanyakan pelaku kriminal umum yang terjadi di Semarang selama tahun
2013 adalah remaja atau pemuda yang berusia 16 sampai 25 tahun. Sama halnya
dalam tribunnews.com bahwa remaja yang melakukan tawuran antar sekolah di
Jakarta pada 15 Mei 2014 sehingga menewaskan salah satu siswa dari sekolah
tersebut, serta remaja yang membolos lalu melakukan hal-hal yang melanggar
hukum seperti mengkonsumsi dan menjual obat-obatan terlarang yang terjadi di
Kulon Progo, Yogyakarta. Hal tersebut didukung oleh Kartono (2005) yang
menyatakan bahwa mayoritas pelaku kejahatan seksual atau kenakalan adalah
anak-anak yang berusia remaja sampai menjelang dewasa.
Perilaku remaja yang menyimpang dari norma atau hukum tersebut, dapat
disebabkan oleh adanya sikap yang mereka miliki. Hal ini sesuai dengan La Pierre
dalam Azwar (1988) bahwa sikap merupakan pola perilaku awal sebelum perilaku
itu sendiri muncul. Azwar (1988) sendiri menyatakan bahwa munculnya sikap
dapat dipengaruhi oleh pengalaman masa lalu, masa sekarang dan
harapan-harapan pada masa yang akan datang.
Dalam memahami suatu perilaku, harus melihat faktor perilaku itu
halnya menurut Albert Bandura dalam Hergenhahn & Olson (2010), yang
menjelaskan tentang Determinisme Resiprokal, yaitu dalam memahami perilaku
harus dilihat dari tiga elemen yaitu perilaku itu sendiri, lingkungan dan orang atau
sikapnya. Ketiga elemen tersebut harus dipahami secara bersamaan dan tidak bisa
dipisahkan. Dengan kata lain perilaku dapat dipengaruhi sikap dan lingkungan,
lingkungan dapat dipengaruhi oleh perilaku serta sikapnya dan sikap dapat
terpengaruh oleh lingkungan serta perilaku dari orang tersebut.
Berdasarkan hal tersebut, perilaku dan sikap remaja yang melakukan
penyimpangan atau kenakalan dapat terjadi karena faktor lingkungan dan
sikapnya. Dalam hal ini faktor lingkungan dapat terlihat jelas di dalam keluarga
karena keluarga merupakan salah satu lingkungan dari remaja, sehingga apa yang
terjadi di dalam keluarga dapat mempengaruhi perilaku dari remaja. Tambunan
(1979) menyatakan bahwa sebagai orang tua seharusnya mampu menyadari
bahwa berbagai pengalaman yang didapatkan di rumah, sekolahan atau
lingkungan tempat tinggal akan mempengaruhi kematangan pribadi anak remaja
tersebut. Hal tersebut juga diperkuat oleh teori yang dikemukakan oleh
Bronfenbrenner dalam Kay (2013) bahwa perilaku anak dapat dipengaruhi salah
satunya oleh situasi di rumah dan lingkungan.
Situasi di rumah ini bisa terlihat melalui interaksi antar individu di dalam
keluarga tersebut termasuk relasi antara orang tua dan anaknya yang merupakan
pola asuh. Secara umum, pola asuh merupakan interaksi atau hubungan antara
menjadi 3 tipe berdasarkan yang dilaporkan Baumrind yaitu otoriter, permisif dan
demokratis.
Orang tua yang otoriter lebih menekankan kontrol daripada sikap
menerima atau kehangatan sehingga orang tua otoriter akan cenderung
memberikan perintah kepada anak dengan keharusan tanpa kompromi. Orang tua
permisif adalah orang tua yang lebih menekankan kehangatan atau penerimaan
tanpa kontrol dan pengawasan sehingga orang tua cenderung melepas anaknya
dan menuruti setiap permintaan dan keinginan dari anak tanpa memperhatikan
latar belakang atau motif dari keinginan tersebut, bahkan orang tua akan memilih
untuk menghindari konflik dengan anaknya. Yang terakhir adalah demokratis.
Pola asuh orang tua macam ini menekankan kehangatan atau penerimaan
sekaligus memiliki kontrol dan pengawasan yang tinggi terhadap anak. Orang tua
demokratis akan bersikap responsif terhadap keinginan atau permintaan anak.
Sikap responsif tersebut menyebabkan orang tua tidak langsung memutuskan,
tetapi anak diajak untuk membuat pertimbangan dan memikirkan konsekuensi
akan hal tersebut. Hal ini menyebabkan orang tua akan memberikan penjelasan
pada setiap perintah yang diberikannya supaya anak mengetahui alasan orang tua
memberikan perintah tersebut.
Di dalam pola asuh, anak merupakan subjek yang dikenai dan orang tua
sebagai pelakunya. Setiap pola asuh tersebut akan memberikan dampak yang
berbeda kepada anak. Seperti halnya orang tua yang mengasuh anak dengan
otoriter akan menyebabkan anak mudah tersinggung, penakut, mudah terpengaruh
stress sehingga tidak mempunyai arah hidup masa depan yang jelas. Sedangkan
pola asuh permisif akan menghasilkan anak yang impulsif dan agresif, memiliki
kecenderungan untuk memberontak, kurang percaya diri dan tidak memiliki
kontrol diri yang baik. Selain itu, anak akan cenderung mendominasi dalam
relasinya dengan orang lain dan anak cenderung rendah dalam hal prestasi. Pola
asuh demokratis akan menghasilkan anak yang memiliki relasi sosial yang baik
sehingga anak mampu bekerja sama, mempunyai kepercayaan dan pengendalian
diri yang baik serta memiliki arah masa depan yang jelas. (Yusuf, 2000).
Melalui penjelasan tersebut, dapat semakin diketahui bahwa
perkembangan anak seperti kepribadian dan sifatnya dapat dipengaruhi oleh
hal-hal yang terjadi dalam keluarga seperti relasi atau hubungan antar anggota
keluarga termasuk antara orang tua dan anak. Pola asuh orang tua akan
berpengaruh terhadap anak dalam hal kepercayaan diri, pandangannya terhadap
masa depan, relasinya dengan orang lain, agresifitas, kontrol dan konsep diri,
kecemasan dan depresi serta kebutuhan untuk berprestasi. Kay (2013)
menjelaskan bahwa pola pengasuhan yang kurang berkualitas akan berpengaruh
negatif pada perkembangan anak, sehingga dapat memunculkan masalah-masalah
dalam perilaku anak.
Kualitas pola pengasuhan yang dilakukan orang tua dapat dilihat dari
kedua aspek yang terdapat dalam pola asuh, yaitu demandingness dan
responsiveness (Baumrind, 1991). Ketika salah satu aspek saja yang memiliki
nilai tinggi, perkembangan anak akan menjadi negatif dan memunculkan masalah
perilaku yang menyimpang dari aturan norma sosial atau bahkan menyimpang
serta melanggar norma hukum yang berlaku. Hal tersebut merupakan perilaku
yang disebut delinkuen sehingga dapat pula dikatakan sebagai kenakalan anak.
Pada penelitian sebelumnya mengenai pola asuh dan perkembangan anak,
banyak yang menggunakan salah satu pola asuh saja sehingga tidak melihat pola
asuh mana yang baik, seperti yang dilakukan oleh Taganing (2008) yang
melibatkan remaja pria dan wanita yang sedang bersekolah di tingkat SMU,
menunjukkan bahwa pola asuh otoriter berhubungan positif terhadap perilaku
agresif pada remaja. Dalam penelitian yang dilaporkan oleh Taha (2013), pola
asuh demokratis memiliki hubungan yang positif terhadap rasa kepercayaan diri.
Penelitian yang lain melihat pola asuh secara umum namun berhubungan dengan
perilaku kenakalan remaja secara spesifik dan tidak melihat kenakalan remaja
secara umum. Seperti dalam penelitian Kharie (2014) yang melihat hubungan
antara pola asuh orang tua dengan perilaku merokok yang menunjukkan bahwa
terdapat hubungan yang positif antara keduanya. Sama halnya dengan penelitian
yang dilakukan Nurul (2012) yang menunjukkan bahwa pola asuh orang tua
memiliki pengaruh dan hubungan terhadap perilaku seksual pranikah. Dalam
berbagai penelitian sebelumnya yang dilihat adalah perilaku kenakalan remaja
atau kenakalan secara spesifik. Hal tersebut memiliki kecenderungan akan faking
yang dilakukan oleh subjek dalam memberikan respon terhadap perilaku
kenakalan remaja. Oleh karena itu, dalam penelitian ini akan membahas sikap
terhadap kenakalan remaja untuk menghindari faking karena sikap bukan perilaku
Hal tersebut menunjukkan bahwa adanya sikap yang sesuai atau
mendukung akan mendorong munculnya suatu perilaku, sehingga apabila
sikapnya sesuai dengan kenakalan remaja maka dapat diasumsikan bahwa
sikapnya mendukung perilaku kenakalan remaja atau bahkan akan mendorong
untuk melakukan kenakalan remaja. Adanya hal tersebut, maka peneliti ingin
melihat perbedaan sikap terhadap kenakalan remaja ditinjau dari pola asuh orang
tua.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian tersebut diatas, masalah yang ingin diteliti dalam
penelitian ini adalah apakah ada perbedaan sikap terhadap kenakalan remaja
ditinjau dari pola asuh ?
C. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk melihat perbedaan sikap terhadap kenakalan
remaja ditinjau dari pola asuh.
D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoritis
Penelitian ini diharapkan mampu memberikan manfaat bagi
perkembangan pada disiplin ilmu psikologi, khusunya psikologi
perkembangan dalam hal sikap terhadap kenakalan remaja.
2. Manfaat Praktis
Penelitian ini diharapkan mampu memberi masukan pada orang
tua dalam menentukan pola asuh yang tepat dalam mengasuh anaknya,
7
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Sikap terhadap Kenakalan Remaja
1. Kenakalan Remaja
a. Kenakalan
Kenakalan remaja dalam bahasa asing disebut sebagai juvenile
delinquency. Juvenile dalam bahasa latin adalah anak-anak, anak
muda atau dapat dikataan sebagai remaja. Sedangkan delinquent
dalam bahasa latin berarti terabaikan atau mengabaikan, dalam hal
ini maknanya semakin luas menjadi pelanggar aturan atau pembuat
keributan. Dalam Kartono (2005), juvenile delinquent atau kenakalan
remaja adalah perilaku jahat atau kenakalan anak muda yang dapat
disebabkan oleh karena adanya pengabaian sosial. Hal ini
menyebabkan remaja melakukan tingkah laku yang menyimpang.
Santrock (2002) menjelaskan bahwa kenakalan remaja adalah
perilaku yang tidak dapat diterima secara sosial (seperti bertindak
berlebihan di sekolah), pelanggaran (seperti melarikan diri dari
rumah) sampai tindakan kriminal (seperti mencuri).
Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa kenakalan
remaja adalah kenakalan atau kejahatan anak muda merupakan
tindakan yang melanggar atau bertentangan dengan aturan norma
Jensen dalam Sarwono (1989) membagi kenakalan ke dalam
beberapa jenis, yaitu
i. Kenakalan yang menyebabkan menimbulkan korban fisik pada
orang lain, misalnya perkelahian, pemerkosaan, perampokan
dan juga pembunuhan.
ii. Kenakalan yang menimbulkan korban materi, misalnya
perusakan, pencurian, pencopetan dan juga pemerasan.
iii. Kenakalan sosial yang tidak menyebabkan korban pada orang
lain, misalnya melakukan tindak seks bebas atau pelacuran dan
juga penyalahgunaan obat-obatan terlarang.
iv. Kenakalan yang melawan status, misalnya membolos sebagai
bentuk melawan status remaja sebagai pelajar dan juga pergi
dari rumah tanpa ijin dari orang tua atau melawan dan
membantah orang tua sebagai bentuk melawan statusnya
sebagai anak. Dari keempat uraian tersebut dapat disimpulkan
bahwa semua kenakalan remaja berdampak negatif pada
dirinya sendiri dan orang lain.
Banyak sumber yang melihat dan mencari penyebab dari
remaja melakukan kenakalan. Salah satunya dalam Kartono (2005),
remaja yang melakukan kenakalan tersebut, sebagian besar
merupakan usaha dalam rangka untuk mencapai kedewasaan dalam
hal seksualnya, dalam rangka mencari dan mendapatkan identitas
kendalikan dan mereka kontrol lalu sebagai wujud dari kurangnya
atau bahkan tidak adanya kedisiplinan diri yang dimiliki oleh remaja.
Sebagian besar penyebab atau motif dari kenakalan remaja selain
dari dirinya sendiri yang sedang mencari identitas diri adalah berasal
dari lingkungan teman sebayanya atau dari lingkungan keluarga
remaja tersebut. Kenakalan tersebut, menurut Jahja (2011) dapat
muncul akibat adanya konflik antara kebutuhan akan pengendalian
diri dan konflik antara kebutuhan kebebasan dan ketergantungan
pada orang tua, konflik antara kebutuhan seksualitas dan agama serta
nilai-nilai sosial, konflik pada prinsip dan nilai yang dipelajari
remaja serta konflik dalam menghadapi masa depan. Beberapa
konflik tersebut dapat menyebabkan remaja melakukan kenakalan
remaja apabila orang tua tidak mendampingi dengan benar. Kondisi
keluarga yang berantakan seperti adanya perselisihan orang tua atau
antar anggota keluarga, perceraian orang tua, sikap dan perilaku
orang tua yang buruk terhadap anak dan kehidupan ekonomi yang
tidak teratur dapat berpotensi menyebabkan remaja melakukan
kenakalan.
Orang tua berperan untuk menanamkan moralitas dan
keyakinan beragama pada anak-anak muda. Selain itu, orang tua juga
harus mampu menumbuhkan rasa tanggung jawab sosial pada diri
remaja tersebut, akan tetapi teman sebayanya juga berpengaruh
standar orang tua, sehingga remaja terkadang memakai standar dari
lingkungan sekolahnya yang terdapat teman sebayanya. Hal ini akan
mempengaruhi watak dan kepribadian remaja tersebut. Tambunan
(1979) menyatakan bahwa anak remaja akan menjadi mudah
terjerumus ke dalam pergaulan yang tidak diinginkan apabila tidak
mendapatkan bimbingan yang tepat dari orang tua.
Kartono (2005) menyebut bahwa remaja yang melakukan
kenakalan remaja tersebut mempunyai karakteristik kepribadian
yang berbeda, yaitu
i. Berorientasi pada kesenangan masa sekarang, sehingga mereka
tidak mampu untuk memikirkan kehidupan dirinya di masa
yang akan datang.
ii. Memiliki emosional yang agak terganggu
iii. Remaja tersebut kurang dalam sosialisasinya dengan
masyarakat. Hal ini kemudian menyebabkan remaja tidak
mengenal norma-norma yang berlaku di masyarakat dan tidak
memiliki tanggung jawab secara sosial.
iv. Remaja tersebut terkadang memilih untuk mengikuti kegiatan
yang “tanpa pikir” hanya mengarah pada kegiatan untuk
menunjukkan kejantanannya dan tidak mempertimbangkan
resiko walaupun mereka menyadari akan adanya hal tersebut.
v. Remaja tersebut impulsif dan memilih kegiatan yang lebih
vi. Hati nurani remaja tersebut kurang difungsikan dengan baik
vii. Memiliki kontrol dan disiplin diri yang buruk. Hal ini
disebabkan oleh karena tidak adanya pendidikan atau pelatihan
untuk remaja tersebut.
Santrock (2003) mengatakan bahwa jenis kelamin menjadi
salah satu pemicu munculnya kenakalan, yaitu jenis kelamin
laki-laki yang lebih banyak melakukan tindak kekerasan. Hal ini juga
didukung oleh pendapat Maccoby & Jacklin (Sears, Freedman and
Peplau, 1985) bahwa salah satu perbedaan jenis kelamin yang paling
konsisten adalah frekuensi munculnya perilaku agresif yang lebih
tinggi pada pria. Hal tersebut sama dengan yang dilaporkan Baron
and Byrne (2005) bahwa pria secara signifikan lebih cenderung
daripada wanita untuk melakukan agresi terhadap orang lain.
Hal tersebut menurut Helmi & Soedarjo (1998) dipengaruhi
oleh adanya produksi hormon testosteron pada laki-laki sehingga
dapat meningkatkan perilaku agresif, terutama pada manusia yang
berusia remaja dimana meningkatnya agresivitas disebabkan oleh
meningkatnya produksi hormon testosteron. Berdasarkan hal tersebut
dapat disimpulkan bahwa laki-laki memiliki kecenderungan perilaku
b. Remaja
i. Definisi
Remaja adalah masa peralihan dari anak-anak ke masa
dewasa. Hal ini meliputi semua aspek perkembangan yang
dialami sebagai persiapan memasuki masa dewasa (Gunarsa,
1981). Remaja atau biasa disebut dengan adolescene, berasal
dari bahasa Latin adolescere yang berarti tumbuh atau tumbuh
untuk mencapai kematangan (Ali & Asrori (2009). Menurut
Hurlock (Jahja, 2011) masa remaja dibagi menjadi 2 bagian
yaitu remaja awal (13 hingga 16 atau 17 tahun) dan remaja akhir
(16 atau 17 sampai 18 tahun). Lain halnya dengan yang
diungkapkan Jahja (2011), bahwa masa remaja bermula dari usia
awal pubertas sekitar 11–14 tahun hingga usia sekitar 18 tahun.
Batasan kronologis dari remaja memiliki perbedaan dan
sangat relatif. Setiap negara memiliki batasan masing-masing
dalam menentukan batasan seseorang disebut remaja, misalnya
menurut hukum Amerika Serikat seorang yang sudah berumur
18 tahun sudah di anggap sebagai dewasa. Menurut KUHP, di
Indonesia batasan orang disebut dewasa adalah yang memiliki
usia diatas 18 tahun. Akan tetapi kita dapat memakai batasan
bahwa remaja merupakan fase “mencari jati diri” atau fase
“topan dan badai” (Ali & Asrori, 2009) sehingga dapat
jati diri tersebut adalah remaja. Fase mencari jati diri inilah yang
kemudian disebut sebagai pencarian identitas diri. Erik Erikson
dalam Feist & Feist (2008), dalam masa remaja terjadi krisis
identity versus identity confusion atau identitas diri dan
kebingungan identitas.
Menurut Erikson, pencarian identitas ini merupakan hal
yang wajar sebagai wujud untuk memahami dirinya bukan
sebagai wujud dari rasa ketidaknyamanan remaja dalam
menghadapi masa dewasa. Proses pencarian identitas ini
merupakan konsepsi tentang diri, penentuan tujuan dan nilai
hidup serta keyakinan yang akan di pegang teguh oleh seseorang
dalam hidupnya (Papalia, et.al., 2008). Identitas diri adalah
suatu proses integrasi pengalaman individu ke dalam
kepribadian yang semakin menjadi dewasa (Ahmadi & Sholeh,
2005). Identitas diri tersebut diperoleh oleh individu melalui
berbagai pengalaman yang diperolehnya, setiap pengalaman
tersebut akan memiliki makna yang berbeda pada setiap
individu tersebut. Pada tahap pencarian identitas diri ini, remaja
mengalami masa rawan yang disebabkan karena remaja yang
memperoleh identitas diri akan sukses melampaui masa
remajanya tetapi bila tidak remaja cenderung mengalami
Kebingungan atau kekaburan identitas akan berakibat
pada terhambatnya remaja yang akan mencapai kedewasaan. Hal
tersebut menyebabkan remaja melakukan dua hal, pertama
remaja akan melakukan regresi atau kembali ke masa
kanak-kanak untuk menghindari konflik yang harus dihadapi, kedua
adalah menyebabkan remaja melibatkan diri secara impulsif ke
dalam perilaku yang buruk. Remaja yang berhasil mendapatkan
identitas diri adalah remaja yang dapat menentukan pilihan
pekerjaan, nilai yang dihidupi dan memiliki nilai identitas
seksual yang memuaskan (Erikson dalam Papalia, et.al., 2008).
Pencarian identitas tersebut merupakan bagian dari
perkembangan remaja dalam hal psikososial.
Berdasarkan penjelasan tersebut, dapat disimpulkan
bahwa remaja adalah suatu masa peralihan dari anak-anak
menuju dewasa dan berusia 13 sampai 18 tahun, suatu tahap
dimana mereka sedang mengalami pencarian identitas diri.
ii. Perkembangan Remaja
a.) Fisik dan Kognitif
Masa remaja memiliki perubahan atau peningkatan
yang signifikan, demikian halnya dengan semakin
matangnya organ-organ tubuh. Santrock (2002)
menambahkan bahwa pubertas merupakan salah satu tanda
adalah periode dimana kematangan kerangka dan seksual
terjadi secara pesat. Hal tersebut didukung oleh semakin
meningkatnya produksi hormon testosteron pada laki-laki
dan hormon estradiol pada perempuan. Perubahan fisik
tersebut membuat remaja disibukkan dengan tubuh mereka
dan mengembangkan citra individual mengenai gambaran
tubuhnya.
Rochmah (2005) menyatakan bahwa pubertas tersebut
menyebabkan remaja merasa ingin menyendiri, bosan,
inkoordinasi antara pertumbuhan yang pesat dan tidak
seimbang sehingga mempengaruhi pola koordinasi gerakan,
antagonisme sosial yaitu suka membantah dan menentang,
emosi yang meninggi sehingga mudah marah, gelisah dan
khawatir, hilangnya kepercayaan diri, terlalu sederhana
misalnya dalam penampilan karena adanya ketakutan
menjadi perhatian dan komentar buruk dari orang lain.
Selain perkembangan fisik, remaja juga akan
mengalami perkembangan kognitif atau kemampuan
berfikirnya. Santrock (2002) menambahkan bahwa remaja
sudah mampu untuk berfikir secara abstrak karena mereka
sudah memasuki tahap pemikiran operasional formal.
Perkembangan kognitif remaja berkaitan dengan
organisasi perilaku serta kontrol diri. Remaja usia 11 sampai
13 tahun cenderung menggunakan amigdala daripada
menggunakan lobus frontalis sehingga cenderung bereaksi
secara emosional dan instingtual sedangkan dalam hal
penilaian remaja belum mampu akurat dan beralasan. Hal ini
menyebabkan remaja cenderung tidak menggunakan akal
sehat karena kalah oleh perasaan dan emosi. (Papalia, Old
and Feldman. 2009).
b.) Sosio-emosi
Menurut Santrock (2002), keluarga dan teman sebaya
menjadi hal dapat mempengaruhi perkembangan remaja.
Peran keluarga terkait dalam hal otonomi dan kelekatan.
Pada masa remaja, keinginan mereka untuk kebebasan
dalam rangka mencari otonomi atau tanggung jawab
semakin meningkat (Santrock, 2003). Aspek utama dari
mencari otonomi tersebut adalah untuk menemukan batas
kontrol diri sendiri dan orang tua sehingga dapat memicu
munculnya konflik (Papalia and Feldman, 2014) bahwa
remaja sudah lepas dari pegangan orang tua. Hal tersebut
menyebabkan orang tua melakukan pengendalian yang lebih
ketat kepada anak remajanya, akan tetapi hal tersebut hanya
berlaku pada keluarga yang tidak sehat secara psikologis
2. Sikap
Azwar (1988) menyatakan bahwa munculnya sikap dipengaruhi
oleh objek yang sedang dihadapi sekaligus oleh pengalaman masa lalu,
masa sekarang beserta harapan-harapan pada masa yang akan datang. Hal
ini menyebabkan manusia tidak dapat netral atau tidak dapat merasakan
atau berfikir sesuatu ketika menemui suatu stimulus.
La Pierre dalam Azwar (1988) menjelaskan bahwa sikap
merupakan suatu pola perilaku, tendensi atau kesiapan untuk
menyesuaikan diri pada situasi sosial tertentu, atau secara sederhana
sikap merupakan respon terhadap stimulus sosial yang sudah
terkondisikan. Dengan kata lain, menurut La Pierre sikap merupakan pola
perilaku awal yang muncul sebelum perilaku itu sendiri muncul dari
manusia.
Menurut Allport dalam Azwar (1988), sikap adalah kesiapan
untuk bereaksi terhadap objek dengan suatu cara tertentu. Kesiapan
dalam hal ini adalah sesuatu yang potensial dalam diri individu ketika
bertemu dengan suatu stimulus yang mengarah pada pemberian respon
akan stimulus tersebut, sehingga dapat disimpulkan bahwa sikap
merupakan pola perilaku yang dapat berfungsi sebagai dasar untuk
bereaksi terhadap suatu objek yang dipengaruhi oleh objek yang sedang
dihadapi, pengalaman masa lalu maupun sekarang beserta harapan pada
Kuswana (2014) menyatakan bahwa sikap merupakan evaluasi
positif atau negatif dari orang, benda, peristiwa, kegiatan, ide, atau apa
saja di lingkungan kita.
Berdasarkan hal tersebut, dapat disimpulkan bahwa sikap
merupakan respon atau pola dasar pada diri manusia, yang digunakan
untuk merespon suatu objek tertentu.
Azwar (1988) menjelaskan bahwa sikap memiliki tiga komponen,
yaitu
a. Komponen Kognitif
Aspek kognitif dari sikap berisi tentang persepsi, stereotype
atau kepercayaan seseorang mengenai hal-hal yang berlaku dan yang
benar bagi objek sikap tersebut. Hal tersebut menyebabkan seseorang
merespon suatu objek stimulus berdasarkan kepercayaan atau
keyakinan yang telah dimilikinya. Kepercayaan yang dimiliki orang
tersebut dapat berasal dari sesuatu yang dilihat atau yang telah
diketahui.
b. Komponen Konatif
Sedangkan aspek konatif atau perilaku berisi mengenai apa dan
bagaimana kecenderungan berperilaku serta reaksi dari diri orang
tersebut yang berkaitan dengan objek sikap. Hal ini yang
menyebabkan sikap dari seseorang akan dapat terlihat dengan jelas
mengharapkan bahwa sikap seseorang akan dicerminkannya dalam
bentuk tendensi perilaku terhadap objek”(Azwar 1988). c. Komponen Afektif
Aspek afektif berisi mengenai masalah emosional dalam diri
seseorang terhadap objek sikap, dengan kata lain komponen afeksi ini
merupakan perasaan yang dirasakan oleh seseorang terhadap suatu
objek sikap. Menurutnya, aspek afektif ini merupakan aspek yang
dapat bertahan dari hal-hal yang dapat mengubah sikap seseorang.
Komponen sikap diatas merupakan suatu kesatuan untuk
membentuk sikap yang kemudian dapat mengarah pada perilaku,
sehingga apabila terdapat suatu komponen yang memiliki arah yang
berbeda dapat mempengaruhi atau mengubah sikap seseorang ketika
menghadapi objek sikap.
3. Sikap terhadap Kenakalan Remaja
Berdasarkan bahasan diatas, dapat disimpulkan bahwa sikap
merupakan pola dasar pada diri manusia, yang digunakan untuk
merespon suatu objek tertentu, sehingga dalam penelitian ini peneliti
ingin melihat pola dasar dari remaja ketika memberikan respon pada
kenakalan remaja. Sikap sendiri mempunyai tiga komponen yaitu
kognitif, konatif atau perilaku dan afektif atau perasaan. Komponen
kognitif terhadap kenakalan remaja merupakan suatu pemikiran atau cara
pandang seorang remaja mengenai kenakalan remaja. Komponen konatif
stimulus berupa kenakalan remaja. Sedangkan komponen afektif
merupakan perasaan yang muncul dalam diri seorang remaja ketika
menghadapi kenakalan remaja.
B. Pola Asuh
1. Definisi
Menurut Kamus Bahasa Indonesia, pola merupakan sistem, cara
kerja, bentuk atau struktur sedangkan asuh adalah menjaga, merawat,
mendidik dan membimbing sehingga dapat disimpulkan pola asuh
merupakan sistem atau cara kerja dalam mendidik atau merawat. Orang
tua dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah ayah dan ibu kandung.
Berdasarkan penjelasan tersebut, dapat disimpulkan bahwa pola asuh
orang tua merupakan sistem atau cara kerja yang digunakan orang tua
dalam mendidik atau merawat anaknya.
Yusuf (2011) mengungkapkan bahwa keluarga memiliki peran
yang sangat penting dalam perkembangan pribadi anak. Selain itu,
keluarga merupakan institusi atau lembaga yang dapat memenuhi
kebutuhan insan (manusiawi) terutama bagi perkembangan kepribadian
dan perkembangan ras manusia.
2. Aspek Pola Asuh
Baumrind (1991) melaporkan dalam penelitiannya bahwa pola asuh
a. Demandingness
Dalam Jerica, Melanie, Katie and Dianne (2010)
demandingness adalah bagaimana orang tua melakukan
kontrol dan menggambarkan kekakuan tindakan orang tua
terhadap perilaku anak. Hal ini dapat terlihat melalui orang
tua yang menerapkan kedisiplinan, berani dan mampu
untuk melarang perilaku anak yang menentang serta
mengawasi perilaku anak. Menurut Darling (1999)
demandingness merupakan perilaku kontrol kepada anak
dengan merujuk pada orang tua yang membuat anak
terintegrasi ke dalam keluarga melalui tuntutan kedewasaan
dari orang tua, pengawasan, upaya untuk mendisiplinkan
dan kesediaan untuk menghadapi anak yang tidak patuh.
Berdasarkan hal tersebut dapat disimpulkan bahwa
demandingness merupakan perilaku kontrol orang tua
terhadap perilaku anak, yang menggambarkan kekakuan
tindakan orang tua. Perilaku ini merujuk pada kedisiplinan,
berani dan mampu untuk melarang serta mengawasi
perilaku anak.
b. Responsiveness
Jerica, Melanie, Katie and Dianne (2010)
menjelaskan bahwa responsiveness adalah unsur
kepada anaknya, yang dapat dilihat dalam aspek kepedulian
dan komunikasi. Responsiveness merupakan unsur yang
merujuk pada peningkatan intensitas orang tua dalam
membantu perkembangan individu, regulasi diri, asertifitas
diri dengan penyesuaian diri, dukungan, dan menyetujui
kebutuhan dan tuntutan khusus dari anak.
Berdasarkan penjelasan tersebut dapat disimpulkan
bahwa responsiveness merupakan kehangatan dan
dukungan orang tua dalam membantu perkembangan
individu, regulasi diri, asertifitas diri melalui penyesuaian
diri, dukungan, dan menyetujui kebutuhan serta tuntutan
khusus dari anak.
3. Jenis Pola Asuh
Dalam penelitian yang dilakukan oleh Diana Baumrind (Yusuf
2010) ditemukan bahwa terdapat empat macam pola asuh yang dilakukan
oleh orang tua terhadap anaknya akan tetapi hanya tiga macam pola asuh
yang dilaporkan oleh Baumrind.
Tiga pola asuh menurut Baumrind (Yusuf, 2010) adalah
a. Authoritarian (Otoriter)
Pola asuh ini memiliki rasa demandingness yang tinggi
dan lebih tinggi daripada responsiveness. Orang tua yang
mengasuh anak menggunakan pola asuh authoritarian atau
kehendak dari orang tua dan anak harus mentaatinya sehingga
hubungan orang tua dengan anak akan kurang hangat bahkan
orang tua sering menggunakan hukuman (Hong, 2012). Orang
tua otoriter ini cenderung untuk meberikan perintah secara
langsung akan tetapi anak tidak diberi penjelasan dan terlihat
memberikan perintah tanpa dasar. Orang tua berharap dan
memiliki keinginan bahwa anaknya dapat melakukan
perintahnya tanpa ada pertanyaan lebih lanjut dari anak. Anak
yang di asuh oleh orang tua dengan tipe otoriter ini akan selalu
dikontrol dan diawasi setiap perilakunya (Baumrind, 1991).
b. Permissive (Permisif)
Orang tua dengan pola asuh permisif mengasuh
anaknya dengan lemah lembut karena memiliki rasa
responsiveness yang lebih tinggi daripada demandingness
sehingga terkadang orang tua melepas anaknya bahkan orang
tua jarang menerapkan peraturan di rumah. Hal ini
menyebabkan orang tua menempatkan posisi anaknya sebagai
anak kecil, bukan orang yang dewasa, maka dari itu
kebanyakan dari anak dengan pola asuh permisif lebih memilih
bermain daripada bekerja. (Baumrind, 1991). Rendahnya
peraturan tersebut menyebabkan anak dan orang tua akan
memiliki kehangatan dalam relasinya akan tetapi anak akan
berinteraksi dengan orang lain. Orang tua cenderung menuruti
setiap permintaan anak tanpa mengetahui alasan dan latar
belakang anak sehingga menyebabkan rendahnya kemandirian
anak. Orang tua permisif tersebut akan memilih untuk
menghindari konflik ketika terjadi perbedaan pendapat dengan
anak. (Hong, 2012)
c. Authoritative (Demokratis)
Pola asuh authoritative ini biasa disebut juga dengan
pola asuh demokratis yang memiliki rasa demandingness dan
responsiveness yang sama-sama tinggi. Orang tua yang
mengasuh anaknya menggunakan pola asuh ini akan tetap
mengawasi perilaku anak dan tetap memberikan penjelasan
ketika perilaku anak menyimpang sehingga orang tua tidak
akan membatasi setiap perilaku anak. Orang tua demokratis
akan meminta anak melakukan suatu perilaku akan tetapi
dengan standar yang jelas dan dimengerti oleh anak. Orang tua
cenderung memilih menggunakan kedisiplinan dalam
mengasuh dan tidak menggunakan hukuman untuk
memperlakukan anak. Anak yang diasuh menggunakan pola
asuh ini diharapkan akan mampu memiliki ketegasan dalam
bertindak dan memiliki kemampuan sosial yang baik serta
Tabel 2.1
Pengaruh masing-masing pola asuh terhadap anak
Pola Asuh Sikap atau perilaku orang tua Profil anak
Otoriter 1. Demandingness tinggi dan responsiveness rendah
2. Suka menghukum secara fisik
3. Bersikap mengkomando atau memberi perintah tanpa kompromi
4. Bersikap kaku/keras
5. Cenderung emosional dan bersikap menolak
1. Mudah tersinggung dan punya sikap agresif
2. Penakut
3. Pemurung, tidak bahagia
4. Mudah terpengaruh 5. Mudah stres tidak
mempunyai arah dan masa depan yang jelas
Permisif 1. Demandingness rendah dan responsiveness tinggi
2. Memberikan kebebasan ke anak untuk menyatakan dorongan atau keinginannya
3. Orang tua mementingkan kehangatan relasi
1. Bersikap impulsif dan agresif
2. Suka memberontak 3. Kurang memiliki rasa
percaya diri dan pengendalian diri 4. Suka mendominasi 5. Tidak jelas arah
hidupnya
6. Prestasinya rendah
Demokratis 1. Demandingness dan
responsiveness sama-sama tinggi
2. Bersikap responsive
terhadap kebutuhan anak 3. Mendorong anak untuk
menyatakan pendapat atau pertanyaan
4. Memberikan penjelasan tentang dampak perbuatan yang baik dan buruk
1. Bersikap bersahabat 2. Memiliki rasa percaya
diri 3. Mampu
mengendalikan diri (self control)
4. Bersikap sopan 5. Mau bekerja sama 6. Memiliki rasa ingin
tahu yang tinggi 7. Mempunyai
arah/tujuan hidup yang jelas
C. Hubungan antara Pola Asuh dengan Sikap Remaja terhadap Kenakalan
Remaja
Penelitian ini akan meneliti mengenai hubungan antara pola asuh
orang tua dengan sikap terhadap kenakalan remaja. Pola asuh merupakan
sistem atau cara kerja yang digunakan orang tua dalam mendidik atau
merawat anaknya. Menurut penelitian yang dilaporkan Baumrind dalam
Yusuf (2010) terdapat tiga macam pola asuh yang digunakan oleh orang tua.
Ketiga pola asuh tersebut adalah otoriter, permisif dan demokratis.
Pola asuh otoriter adalah orang tua yang bersikap mengkomando,
keras dan kaku dalam memperlakukan anak. Selain hal tersebut orang tua
dengan pola asuh otoriter memiliki sikap penerimaan yang rendah akan tetapi
memberikan kontrol yang tinggi terhadap perilaku anak. Orang tua akan
memilih untuk memberikan hukuman secara fisik kepada anak ketika
melakukan hal yang tidak sesuai dengan standar dari orang tua. Dalam
memperlakukan anak, orang tua cenderung emosional dan menolak. Melalui
pola asuh ini, anak akan berkembang menjadi pribadi yang mudah
tersinggung, penakut, pemurung dan di dominasi oleh perasaan tidak bahagia.
Selain hal tersebut, pola asuh otoriter akan menyebabkan anak mudah
terpengaruh atau tidak mempunyai pendirian sehingga tidak memiliki arah
masa depan yang jelas.
Pola asuh permisif merupakan sistem atau cara kerja yang
digunakan orang tua dalam mendidik anak melalui sikap penerimaan yang
selalu memberi kebabasan pada anaknya untuk menyatakan dorongan dan
keinginan sehingga cenderung menuruti setiap permintaan anak. Hal tersebut
disebabkan oleh karena orang tua yang berusaha menghindari konflik dengan
anak. Pola asuh ini akan menyebabkan anak kurang memiliki kepercayaan
diri dan kontrol diri. Selain itu, anak akan menjadi pribadi yang impulsif dan
agresif, suka memberontak dan mendominasi dalam relasi dengan orang lain
serta memiliki arah masa depan yang tidak jelas.
Pola asuh otoriter dan permisif menyebabkan anak akan
membentuk suatu sikap ketika bertemu dengan objek sikap. Dalam aspek
kognitif, kedua pola asuh tersebut menyebabkan anak tidak mempunyai arah
atau gambaran masa depan yang jelas. Sesuai dengan aspek afektif, anak akan
mudah tersinggung dalam hubungannya dengan orang lain. Selain itu, anak
akan kurang dalam memiliki kepercayaan diri. Dalam aspek konatif, pola
asuh otoriter dan permisif akan menyebabkan anak memiliki sikap agresif,
mudah terpengaruh dan tidak memiliki pengendalian diri. Selain itu, anak
akan cenderung mendominasi dan suka memberontak dalam relasi
interpersonalnya. Berdasarkan hal tersebut dapat diketahui bahwa pola asuh
otoriter dan permisif akan menyebabkan anak memiliki sikap yang positif
atau mendukung kenakalan remaja.
Pola asuh demokratis ditunjukkan melalui orang tua yang ,memiliki
sikap penerimaan dan kontrol yang seimbang sehingga setiap permintaan dari
anak akan diteliti dahulu dampak dan kebutuhannya sebelum orang tua
baik dan buruk dari suatu perbuatan. Selain itu, orang tua selalu memberikan
kesempatan pada anak untuk bertanya dan berpendapat. Pola asuh demokratis
akan membentuk anak menjadi pribadi yang bersahabat dan memiliki kontrol
diri yang baik serta senang bekerja sama dengan orang lain. Pola asuh ini juga
akan menyebabkan anak memiliki rasa kesopanan dan memiliki arah masa
depan yang jelas.
Pola asuh tersebut menyebabkan anak memiliki arah atau gambaran
masa depan yang jelas secara pemikiran atau kepercayaan. Secara afektif,
pola asuh demokratis akan menyebabkan anak memiliki rasa percaya diri
yang sesuai. Sedangkan dalam hal konatif, anak akan tumbuh dengan sikap
yang bersahabat dan sopan. Hal ini akan menyebabkan anak suka bekerja
sama dengan orang lain. Selain itu, anak akan berkembang dengan memiliki
pengendalian diri yang baik. Berdasarkan penjelasan tersebut, dapat diketahui
bahwa pola asuh demokratis akan memiliki sikap negative atau tidak
Gambar 1. Skema Hubungan Pola Asuh dengan Sikap terhadap Kenakalan Remaja Pola asuh demokratis permisif otoriter - Aspek demandingness dan responsiveness sama-sama tinggi - Aspek demandingness rendah dan responsiveness tinggi - Aspek demandingness tinggi dan responsiveness rendah
Akibat ke anak :
-Impulsif dan agresif
-Suka memberontak
-Kurang memiliki kepercayaan diri dan kontrol diri
-Suka mendominasi
-Arah hidup tidak jelas
-Prestasi rendah
-Kemampaun sosial rendah
Akibat ke anak :
- Bersahabat dan percaya diri
- Punya control diri dan rasa
kesopanan
- Mau bekerja sama
- Punya arah hidup yang jelas dan rasa ingin tahu yang tinggi
- Punya kemampuan sosial yang baik Akibat ke anak :
-Mudah tersinggung, penakut, pemurung, agresif dan tidak bahagia
-Mudah terpengaruh dan stress karena tidak mempunyai arah masadepan yang
jelas
Sikap negatif atau kurang mendukung kenakalan remaja Kognitif : mempunyai arah
masa depan yang tidak jelas Afektif : mudah
tersinggung dan tidak punya kepercayaan diri Konatif : sikap agresif, mudah terpengaruh, suka memberontak, tidak punya pengendalian diri dan suka memberontak
Kognitif : mempunyai arah masa depan yang jelas
Afektif : memiliki rasa percaya diri yang baik Konatif : bersikap bersahabat, punya control diri, senang bekerja sama dan sopan
D. Hipotesis
Hipotesis dalam penelitian ini adalah ada perbedaan sikap terhadap
31
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
A. Jenis Penelitian
Penelitian ini adalah penelitian kuantitatif dengan metode
komparatif, untuk membandingkan sikap terhadap kenakalan remaja
ditinjau dari pola asuh.
B. Identifikasi Variabel Penelitian
Menurut Sarwono (2006) variabel adalah simbol atau konsep yang
diasumsikan sebagai seperangkat nilai yang berbeda atau bervariasi antar
satu dengan yang lain. Variabel terbagi dalam dua jenis, yaitu variabel
bebas dan variabel terikat. Dua variabel dalam penelitian ini adalah
sebagai berikut :
1. Variabel bebas : Pola asuh orang tua
2. Variabel terikat : Sikap terhadap Kenakalan remaja
C. Definisi Operasional Penelitian
1. Pola Asuh Orang Tua
Pola asuh orang tua merupakan sistem atau cara dalam mendidik
anak yang dilakukan oleh orang tua. Pola asuh orang tua ini akan
diukur menggunakan skala pola asuh. Di dalam pola asuh orang tua
terdapat 2 aspek, yaitu demandingness dan responsiveness. Apabila
aspek demandingness dan responsiveness yang dimiliki subjek
asuh menggunakan pola asuh demokratis. Sedangkan ketika aspek
demandingness lebih tinggi daripada responsiveness akan
menunjukkan bahwa anak diasuh menggunakan pola asuh otoriter,
namun ketika skor responsiveness lebih tinggi daripada
demandingness menunjukkan bahwa anak di asuh dengan
menggunakan pola asuh permisif.
2. Sikap terhadap Kenakalan Remaja
Sikap terhadap kenakalan remaja adalah respon atau pola dasar
yang muncul dari manusia ketika berhadapan dengan kenakalan remaja
yang terjadi.
Skala kenakalan remaja akan diukur berdasarkan aspek dari
Jansen, yaitu kenakalan yang menyebabkan korban fisik pada orang
lain, korban materi, kenakalan sosial dan kenakalan yang melawan
atau bertentangan dengan status remaja tersebut.
Sikap terhadap kenakalan remaja akan diukur menggunakan
skala sikap terhadap kenakalan remaja. Skala ini akan melihat
kenakalan remaja berdasarkan aspek kognitif, afektif dan konatif.
Semakin tinggi nilai yang diperoleh oleh subjek, maka subjek memiliki
sikap yang positif atau mendukung kenakalan remaja, demikian juga
sebaliknya, semakin rendah nilai yang diperoleh maka subjek memiliki
D. Subjek Penelitian
Subjek dalam penelitian ini adalah siswa SMA. Mereka termasuk
dalam tahap remaja atau belum dewasa diantara 15-18 tahun. Kriteria lain
adalah siswa laki-laki SMA kelas 1 atau 2. Subjek dalam penelitian ini
adalah laki-laki karena laki-laki memiliki kecenderungan tingkat
agresifitas yang lebih tinggi daripada perempuan.
E. Metode Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini
menggunakan skala Likert untuk melihat pola asuh dan sikap terhadap
kenakalan remaja. Hal tersebut menyebabkan terdapat 4 alternatif jawaban
yaitu, Sangat Sesuai (SS), Sesuai (S), Tidak Sesuai (TS) dan Sangat Tidak
Sesuai (STS). Dalam penelitian ini tidak menggunakan alternatif pilihan
netral karena peneliti ingin memperoleh nilai yang mendekati mutlak
untuk melihat suatu tingkatan tinggi atau rendah. Hadi (2004) menjelaskan
bahwa jika menginginkan jawaban yang digolongkan ke dalam “ya” dan
“tidak”, maka kemungkinan jawaban ditengah harus sedapat mungkin
dihindari.
1. Skala Pola Asuh
Pola asuh orang tua diukur menggunakan skala pola asuh.
Skala pola asuh terdiri dari aspek demandingness dan responsiveness.
Demandingness diukur melihat melalui perilaku kontrol orang tua
terhadap perilaku anak, yang menggambarkan kekakuan tindakan
untuk melarang serta mengawasi perilaku anak. Sedangkan
responsiveness merupakan kehangatan dan dukungan orang tua yang
merujuk pada intensitas orang tua dalam membantu perkembangan
individu, regulasi diri, asertifitas diri melalui penyesuaian diri,
dukungan, dan menyetujui kebutuhan serta tuntutan khusus dari anak.
Skala pola asuh ini memiliki 4 respon jawaban, yaitu Sangat
Sesuai (SS), Sesuai (S) , Tidak Sesuai (TS) dan Sangat Tidak Sesuai
(STS).
Pada item yang bersifat favourable diberikan skor sebagai
berikut,
Sangat Sesuai (SS) : 4
Sesuai (S) : 3
Tidak Sesuai (TS) : 2
Sangat Tidak Sesuai (STS) : 1
Sedangkan pada item yang bersifat unfavourable diberikan
skor sebagai berikut,
Sangat Sangat (SS) : 1
Sesuai (S) : 2
Tidak Sesuai (TS) : 3
Sangat Tidak Sesuai (STS) : 4
Skala pola asuh memiliki dua jenis penilaian, yaitu favourable
merupakan item yang mendukung hipotesis atau tema kita, sedangkan
item yang bersifat unfavourable merupakan kebalikan dari favourable.
2. Skala Sikap terhadap Kenakalan Remaja
Dalam penelitian ini, sikap terhadap kenakalan remaja diukur
menggunakan skala sikap terhadap kenakalan remaja. Sikap terbagi
dalam 3 aspek yaitu, kognitif, afektif dan konatif, sedangkan kenakalan
remaja memiliki 4 aspek, yaitu kenakalan yang menyebabkab korban
fisik pada orang lain, menyebabkan korban materi, kenakalan sosial
yang tidak menyebabkan korban pada orang lain dan dan yang
melawan status. Aspek kognitif merupakan kepercayaan seseorang
mengenai hal-hal yang berlaku dan yang benar bagi objek sikap
tersebut. Hal tersebut menyebabkan seseorang merespon suatu objek
stimulus berdasarkan kepercayaan atau keyakinan yang telah
dimilikinya. Aspek konatif merupakan kecenderungan berperilaku dari
seseorang yang berkaitan dengan objek sikap, sehingga sikap dari
seseorang akan dapat terlihat dengan jelas ketika sudah menjadi
perilaku. Aspek afektif merupakan masalah emosional dalam diri
seseorang terhadap objek sikap atau merupakan perasaan yang
dirasakan oleh seseorang terhadap suatu objek sikap.
Bentuk respon pernyataan subjek dalam pernyataan favourable
terdiri dari 4 bagian yaitu,
Sangat Sesuai (SS) : 4
Tidak Sesuai (TS) : 2
Sangat Tidak Sesuai (STS) : 1
Dalam pernyataan yang bersifat unfavourable, terdapat 4
macam nilai respon yaitu,
Sangat Sesuai (SS) : 1
Sesuai (S) : 2
Tidak Sesuai (TS) : 3
Sangat Tidak Sesuai (STS) : 4
Sikap terhadap kenakalan remaja, di ukur melalui 2 bagian
bentuk pernyataan yaitu favourable yang merupakan pernyataan
pendukung tema dan pernyataan unfavourable yang berlawanan
dengan tema.
F. Validitas dan Realibilitas
1. Validitas
Validitas merupakan indeks yang menunjukkan bahwa suatu
penelitian akan benar-benar mengukur apa yang akan diukur (Noor,
2011). Dalam penelitian ini yang digunakan adalah validitas isi.
Validitas isi merupakan validitas yang diestimasi melalui pengujian
terhadap isi tes dengan analisis rasional atau pendapat dari ahli
(Azwar, 1997), yaitu dosen pembimbing skripsi.
2. Seleksi Item
Dalam penelitian ini, digunakan batasan sebesar 0,30 untuk
korelasi lebih kecil dari 0,3 dianggap sebagai item yang memiliki daya
beda rendah.
Pengambilan data uji coba dilakukan pada beberapa siswa SMA
yang memiliki usia dibawah 18 tahun dan berasal dari berbagai macam
daerah pada tanggal 9 sampai 20 Desember 2014. Pada skala pola asuh
dan sikap terhadap kenakalan remaja, diberikan batasan sebesar 0,30
untuk seleksi item. Item yang bernilai diatas 0,30 dianggap memiliki
daya beda yang tinggi dan item yang bernilai korelasi dibawah 0,30
dianggap memiliki daya beda yang rendah sehingga harus digugurkan.
Setelah dilakukan uji coba dengan 32 item pada skala pola asuh
terdapat 11 item yang gugur, sedangkan pada skala sikap terhadap
kenakalan remaja didapatkan 12 item yang gugur karena memiliki nilai
korelasi item total dibawah 0,30.
Tabel 3.1
Distribus item skala pola asuh sebelum uji coba
Aspek
Item Jumlah Persentase
Fav Unfav
Demandingness 4, 6, 8, 12, 18, 20, 26, 30
1, 9, 11, 13, 17, 23, 27, 31
16 50%
Responsiveness 2, 10, 14, 16, 22, 24, 28, 32
3, 5, 7, 15, 19, 21, 25, 29
16 50%
Tabel 3.2
Distribusi item skala pola asuh setelah uji coba
Aspek
Item Jumlah Persentase
Fav Unfav
Demandingness 4, 6, 8, 12,
18, 20, 26, 30
1, 9, 11, 13, 17, 23, 27, 31
16 50%
Responsiveness 2, 10, 14, 16, 22, 24, 28, 32
3, 5, 7, 15, 19, 21, 25, 29
16 50%
Jumlah 32 100%
Nomer item yang di cetak tebal adalah item yang gugur setelah
dilakukan seleksi item. Selanjutnya setelah dilakukan seleksi item,
peneliti melakukan penyusunan ulang skala. Berikut adalah skala final
dari skala pola asuh setelah dilakukan seleksi item.
Tabel 3.3
Distribusi item skala pola asuh setelah penyusunan ulang
Aspek
Item Jumlah Persentase
Fav Unfav
Demandingness 4, 7, 11, 17, 19
1, 10, 12, 18 9 42,8 %
Responsiveness 2, 6, 9, 13, 15, 21
3, 5, 8, 14, 16, 20
12 57,2 %
Jumlah 21 100%
Demikian halnya pada skala sikap terhadap kenakalan remaja
digunakan batasan korelasi item total sebesar 0,30 sehingga item yang
Tabel 3.4
Distribusi item skala sikap terhadap kenakalan remaja sebelum uji coba
Kenakalan
Remaja Sikap
Item Jumlah Persentase Fav Unfav
Korban Fisik
Kognitif 24, 34 1, 13 12 24 % Afektif 2, 40 19, 29
Konatif 30, 44 3, 35 Korban
Materi
Kognitif 14, 48 9, 25 12 24 % Afektif 4, 36 21, 43
Konatif 12, 18 5, 27 Kenakalan
Sosial
Kognitif 26, 32 31, 37 12 24 % Afektif 20, 50 11, 39
Konatif 8, 42 17, 47 Melawan
Status
Kognitif 28, 38 15, 49 14 28 % Afektif 10, 22,
46
7, 41, 45
Konatif 6, 16 23, 33
Jumlah 50 100%
Tabel 3.5
Distribusi item skala sikap terhadap kenakalan remaja setelah uji coba
Kenakalan
Remaja Sikap
Item Jumlah Persentase Fav Unfav
Korban Fisik
Kognitif 24, 34 1, 13 12 24 % Afektif 2, 40 19, 29
Konatif 30, 44 3, 35 Korban
Materi
Kognitif 14, 48 9, 25 12 24 % Afektif 4, 36 21, 43
Konatif 12, 18 5, 27 Kenakalan
Sosial
Kognitif 26, 32 31, 37 12 24 % Afektif 20, 50 11, 39
Konatif 8, 42 17, 47 Melawan
Status
Kognitif 28, 38 15, 49 14 28 % Afektif 10, 22,
46
7, 41, 45
Konatif 6, 16 23, 33
Nomor item yang dicetak tebal adalah item yang gugur setelah
dilakukan seleksi item. Selanjutnya setelah dilakukan seleksi item,
peneliti melakukan penyusunan ulang skala. Berikut adalah skala final
dari skala sikap terhadap kenakaln remaja setelah dilakukan seleksi
item.
Tabel 3.6
Distribusi item skala sikap terhadap kenakalan remaja setelah penyusunan ulang
Kenakalan
Remaja Sikap
Item Jumlah Persent ase Fav Unfav
Korban Fisik
Kognitif 22, 32 1, 12 9 23,7 % Afektif 38
Konatif 28, 11 3, 33 Korban
Materi
Kognitif 13 23 8 21,1 %
Afektif 4, 34 27 Konatif 17 5, 25 Kenakalan
Sosial
Kognitif 24, 30 29 9 23,7 % Afektif 18, 37 10
Konatif 8, 2 16 Melawan
Status
Kognitif 26, 36 14, 31 12 31,5 % Afektif 9, 20, 35 7, 19
Konatif 6, 15 21
Jumlah 38 100%
3. Reliabilitas
Reliabilitas merupakan suatu indeks yang menunjukkan bahwa
suatu penelitian tersebut dapat dipercaya atau diandalkan dalam
prakteknya (Noor, 2011), sehingga dapat menunjukkan konsistensi dari
koefisien reliabilitas berada pada rentang 0,0 sampai 1,00. Semakin
mendekati 1,00, berarti hasil pengukuran semakin dapat dipercaya.
Pengujian pada kedua skala pada penelitian ini menggunakan
metode Cronbach’s Alpha. Skala pola asuh memiliki nilai reliabilitas sebesar 0,859 sedangkan skala sikap terhadap kenakalan remaja memiliki
reliabilitas sebesar 0,910. Dengan demikian penelitian tersebut dapat
dipercaya.
G. Metode Analisis Data
1. Uji Asumsi
a. Uji Normalitas
Uji normalitas dalam penelitian ini dilakukan
dengan tujuan untuk apakah sebaran data yang dimiliki
normal atau tidak. Pengujian normalitas dalam penelitian ini
menggunakan Kolmogorov-Smirnov, untuk masing-masing
pola asuh. Sebaran data dapat dikatakan normal apabila
memiliki nilai p>0,05.
b. Uji Homogenitas
Uji homogenitas dilakukan untuk melihat apakah
varians dari ketiga kelompok tersebut sama atau tidak.
Kelompok dikatakan memiliki varians yang sama apabila
Gambar
Dokumen terkait
Adanya pengaruh negatif dari pola asuh orang tua terhadap kecenderungan kenakalan remaja dalam penelitian ini menunjukkan bahwa semakin baik penga- suhan orang tua
Bagi remaja, jika penelitian ini menunjukkan adanya perbedaan yang signifikan pada sikap asertif remaja ditinjau dari pola asuh orangtua dan. gender, maka penelitian
Skripsi berjudul “Pengaruh Pola Asuh Orang Tua Terhadap Kenakalan Remaja Di Desa Kedungrejo Kecamatan Rowokangkung Kabupaten Lumajang Tahun 2012” telah diuji
Hasil penelitian hubungan pola asuh orang tua dengan sikap remaja putrid tentang kesehatan reproduksi menunjukkan bahwa dari 170 responden, 22 orang (12,9%) yang berpola
Kondisi psychological well-being remaja yang diasuh dengan pola asuh neglectful menunjukan perbedaan signifikan daripada tiga pola asuh yang lain (authoritative,
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan dari Pola Asuh Orang tua dengan Kenakalan Remaja, adapun subjek responden pada penelitian ini adalah seluruh siswa di SMA Negeri
Judul : Hubungan antara Pola Asuh Orang Tua dengan Kenakalan Remaja ( Juvenile Delinquency ) di SMA Negeri 2 Babelan Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan dari
3 Jadi dalam penelitian ini yang akan diungkapkan adalah pola asuh orang tua dalam mendidik remaja sesuai dengan cara orang tua bersikap terhadap anak.. Berdasarkan latar belakang yang