• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perbedaan sikap terhadap kenakalan remaja ditinjau dari pola asuh

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Perbedaan sikap terhadap kenakalan remaja ditinjau dari pola asuh"

Copied!
102
0
0

Teks penuh

(1)

PERBEDAAN SIKAP TERHADAP KENAKALAN REMAJA

DITINJAU DARI POLA ASUH

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh

Gelar Sarjana Psikologi Program Studi Psikologi

Dionisius Ryan Prastantya

109114027

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA

(2)

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING

PERBEDAAN SIKAP TERHADAP KENAKALAN REMAJA DITINJAU

DARI POLA ASUH

Oleh:

Dionisius Ryan Prastantya

NIM: 109114027

Telah disetujui oleh:

Dosen Pembimbing

$s

Dra.LusiaPrastidarmastiti,M.Si

Tanggal...l.l.:19.!..?!]!

(3)

HALAMAN PENGESAHAN SKRIPSI

PERBEDAAN SIKAP TERHADAP KENAKALAN RBMAJA DITINJAU

DARI POLA ASUH

Dipersiapkan dan ditulis oleh: Prastantya

Penguji

I

: Dra

Penguji

II

: Sylvia Carolina

Penguji

III :Ratri Sunar

Astuti, M.Si

lll

"4

rim pengujt

*-f,

Len&t&.

yrqK*d

'

2

g

JUL

ZOi5 Yogyakarta

Fakultas Psikologi itas Sanata Dharma

{A

(4)

iv

HALAMAN PERSEMBAHAN

Saya mempersembahkan hasil perjuangan saya ini kepada:

“orang tua saya yang saya sayangi, kakak adik, nenek dan

dek pudji karena berkat dukungan dan doa-doa mereka, saya

berhasil menyelesaikan ini, mereka adalah orang-orang yang

(5)

v

HALAMAN MOTTO

Ayah saya pernah berkata:

ketika akan menyeberang sungai dan kamu sudah

sampai di tengah, kamu tidak perlu berbalik karena takut

semakin basah. Karena yang kamu butuhkan hanya lebih

(6)

vi

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA

Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang saya tulis ini

tidak memuat karya atau bagian karya orang lain, kecuali yang telah disebutkan

dalam daftar pustaka sebagaimana layaknya sebuah karya ilmiah.

Yogyakarta, 8 Juni 2015

Penulis

(7)

vii

PERBEDAAN SIKAP TERHADAP KENAKALAN REMAJA DITINJAU

DARI POLA ASUH

Dionisius Ryan Prastantya

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk melihat apakah ada perbedaan sikap terhadap kenakalan remaja ditinjau dari pola asuh. Pola asuh dipahami sebagai sistem atau cara dalam mendidik anak yang dilakukan oleh orang tua, sedangkan sikap terhadap kenakalan remaja adalah pola dasar dari remaja ketika memberikan respon pada kenakalan remaja. Hipotesis dalam penelitian ini adalah ada perbedaan sikap terhadap kenakalan remaja ditinjau dari pola asuh. Subjek dalam penelitian ini adalah remaja yang memiliki usia 15-18 tahun. Subjek dalam penelitian ini berjumlah 52 orang. Metode pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan skala Likert. Skala yang digunakan dalam penelitian ini adalah skala pola asuh orang tua dan skala sikap terhadap kenakalan remaja. Uji reliabilitas skala dalam penelitian ini menggunakan teknik Alpha Cronbach dengan hasil sebesar 0,859 untuk skala pola asuh dan 0,910 untuk skala sikap terhadap kenakalan remaja. Analisis data dilakukan dengan teknik statistik uji beda atau uji t. Analisis uji t menghasilkan nilai p=0,003 (p<0,05) yang berarti ada perbedaan antara pola asuh otoriter, permisif dan demokratis dalam hal sikap terhadap kenakalan remaja. Dalam tabel Post Hoc yang menggunakan teknik dari Bonferroni menunjukkan bahwa hanya pola asuh permisif dan demokratis yang tidak memiliki beda dengan nilai p=1,000 (p>0,05) sehingga hanya pola asuh otoriter yang memiliki beda diantara pola asuh yang lain. Hal ini diperkuat dengan jumlah subjek yang memiliki sikap positif atau mendukung kenakalan remaja hanya terdapat pada subjek yang diasuh menggunakan otoriter. Hal tersebut menunjukkan bahwa ada perbedaan sikap terhadap kenakalan remaja ditinjau dari pola asuh, sehingga hipotesis dalam penelitian ini diterima.

(8)

viii

THE RELATIONSHIP BETWEEN PARENTING STYLES AND

ATTITUDE TOWARD JUVENILE DELINQUENCY

Dionisius Ryan Prastantya

ABSTRACT

This research is meant to reveal the style of parenting which has positive attitude or support the juvenile delinquency, whether it is authoritarian, permissive, or democratic. Parenting style is understood to be a set of system or way to educate children which is done by parents, while attitude toward juvenile delinquency is the basic way of adoloscent to react toward juvenile delinquency. Hypothesis of this research is that authoritarian parenting has positive tendency to support the juvenile delinquency. The subject of this research is a group of 52 adoloscent under age 18. Data collection method is based on Likert scale. Scales that are used in this research are parenting style scale and attitude toward juvenile delinquency scale. The reliability scale test in this research uses Alpha Cronbach technique with result of 0,859 for parenting styles scale and 0,910 for attitude toward juvenile delinquency scale. The data analysis is done based on p value=0,003 (p<0,05) which means that there are different attitudes toward juvenile delinquency between authoritarian, permissive, and democratic parenting styles. In post hoc table which uses bonferroni technique, it is potrayed that only permissive and democratic style of parenting which do not have difference with value of p=1,000 (p>0,05) so that there is only authoritarian parenting style which has difference with other parenting styles. This is strengthen by number of subjects which have positive attitude or are being supportive toward juvenile delinquency in which they are educated under authoritarian parenting style. It shows that authoritarian parenting syle has a positive relationship with juvenile delinquency, thus, the hypothesis of this reaearch is acceptable.

(9)

ix

LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN

PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS

Yang bertanda tangan di bawah ini, saya mahasiswa Universitas Sanata Dharma

Nama : Dionisius Ryan Prastantya

Nomor Mahasiswa : 109114027

Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan kepada Perpustakaan

Universitas Sanata Dharma karya ilmiah saya yang berjudul:

Perbedaan Sikap terhadap Kenakalan Remaja

Ditinjau dari Pola Asuh

Beserta perangkat yang diperlukan (bila ada). Dengan demikian, saya memberikan

kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma hak untuk menyimpan,

mengalihkan bentuk media lain, mengelolanya di internet atau media lain untuk

kepentingan akademis tanpa perlu meminta izin dari saya sebagai penulis.

Demikian pernyataan ini yang saya buat dengan sebenarnya

Dibuat di Yogyakarta

Pada tanggal : 8 Juni 2015

Yang menyatakan,

(10)

x

KATA PENGANTAR

Ungkapan rasa syukur penulis tujukan untuk Tuhan yang Maha Esa atas

berkat rahmat kebijaksanaan yang telah Dia berikan kepada penulis. Rahmat

kebijaksanaa dariNya membuat penulis dapat menyelesaikan skripsi penulis yang

berjudul “Hubungan antara Pola Asuh dengan Sikap terhadap Kenakalan Remaja”

dengan sebaik-baiknya.

Penulis juga sangat berterima kasih kepada para dosen baik dosen

pembimbing maupun dosen penguji yang telah rela meluangkan waktunya untuk

membimbing penulis sehingga dapat melengkapi kekurangan yang terdapat pada

penulis.

Selanjutnya, ucapan terima kasih penulis tujukan pada:

1. Tuhan Yang Maha Esa karena berkat dan anugerahNya yang selalu

melimpah dan selalu mendampingi penulis dalam menyelesaikan

penelitian ini.

2. Bapak Dr. T. Priyo Widiyanto, M.Si dan Ibu Ratri Sunar Astuti, M.Si

selaku dekan dan kaprodi Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma

serta seluruh dosen, staf dan karyawan atas bantuan dan bimbingannya.

3. Dosen pembimbing akademik kelas A, Mbak Etta yang telah

mendampingi selama menjalani masa kuliah dan membantu ketika penulis

mengalami kesulitan.

4. Ibu Dra. Lusia Pratidarmanastiti, M. Si, sebagai Pembimbing skripsi

(11)

xi

bidang akademik tetapi dalam kehidupan. Terima kasih Ibu atas

bimbingan dalam proses pembelajaran ini.

5. Sr. Wina yang selalu memberikan pencerahan dan motivasi dalam hidup

dan keluarga. Terima kasih suster.

6. Orang tua penulis yang selalu mendukung penulis dalam setiap proses

penulisan skripsi dalam bentuk dukungan dan selalu mendoakan

keberhasilan penulis.

7. Bapak/Ibu dosen yang tidak dapat disebutkan satu-persatu atas bimbingan

selama proses perkuliahan dari awal semester hingga akhir semester.

8. Yang selalu menemani, mendukung dan menjadi tempat untuk bertanya,

Engger Akeng dan kekasih sekaligus asistenku Pudji.

9. Rekan-rekan mahasiswa di Fakultas Psikologi Sanata Dharma Gandring,

Albert “ucil”, Adit “plentong”, Wahyu, Indra, Galih “popo”, Yuda, Bayu,

Albert, Andang, Sondra, Vinsul, Andre dan Tari yang mendukung saya

dengan memberikan banyak masukan terkait skripsi saya.

10. Sahabat-sahabat penulis di Fakultas Psikologi Sanata Dharma yang terdiri

dari Iwan, Gustav, Erga, Vinsen, Bayu, Brandan, Yutti, Ella yang selalu

mendukung penulis dari awal semester hingga saya mencapai tahap

penulisan skripsi.

11. Sahabat-sahabat penulis di OMK St Sylvester Nanggulan yang selalu

memberikan dukungan dalam bentuk apapun sehingga membuat penulis

(12)

xii

12. Sahabat-sahabat di UNISON training team Narendra, Pelangi, Koen,

Robert, Eko, Bambang, Wina, Yatim, Dito, Keket, mas Hari dan mas

Krido yang selalu mendukung dan mengingatkan ketika penulis

melupakan tanggung jawabnya

13. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu-persatu yang telah

membantu dalam proses penyelesaian skripsi saya.

Masih banyak kekurangan dalam penulisan skripsi penulis sehingga

penulis membutuhkan kritik dan saran yang bersifat membangun demi

kesempurnaan skripsi ini.

Yogyakarta, 8 Juni 2015

(13)

xiii

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ……… i

HALAMAN PERSETUJUAN DOSEN PEMBIMBING ………. ii

HALAMAN PENGESAHAN ………. iii

HALAMAN PERSEMBAHAN ……….. iv

HALAMAN MOTTO ……….. v

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ……….. vi

ABSTRAK ……… vii

ABSTRACT ………. viii

HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH.. ix

KATA PENGANTAR ………. x

DAFTAR ISI ………. xiii

DAFTAR TABEL ……… xvi

DAFTAR GAMBAR……… xvii

DAFTAR LAMPIRAN ……… xviii

BAB I PENDAHULUAN……….... 1

A. Latar Belakang………. 1

B. Rumusan Masalah……… 6

C. Tujuan Penelitian……….. 6

D. Manfaat Penelitian……… 6

(14)

xiv

A. Sikap terhadap Kenakalan remaja ..……….. 7

1. Kenakalan Remaja ... 7

a. Kenakalan ... 7

b. Remaja ... 12

i. Definisi ... 12

ii. Perkembangan Remaja ... 14

a.) Fisik dan Kognitif ... 14

b.) Sosio-emosional ... 16

2. Sikap ... 17

3. Sikap terhadap Kenakalan Remaja ... 19

B. Pola Asuh………... 20 1. Definisi……….. 20

2. Aspek Pola Asuh ... 20

3. Jenis Pola Asuh ... 22

a. Authoritarian (Otoriter)……….... 22

b. Permissive (Permisif)……….. 23

c. Authoritative (Demokratis)………. 24

C. Hubungan antara Pola Asuh dengan Sikap …………. 26

D. Hipotesis……….. 30

BAB III METODOLOGI PENELITIAN……… 31

A. Jenis Penelitian………. 31

B. Identifikasi Variabel Penelitian……… 31

(15)

xv

1. Pola Asuh Orang Tua………. 31

2. Sikap terhadap Kenakalan Remaja………. 32

D. Subjek Penelitian……….. 33

E. Metode Pengumpulan Data……….. 33

F. Validitas dan Reliabilitas………. 36

1. Validitas………. 36

2. Seleksi Item……… 36

3. Reliabilitas……….. 40

G. Metode Analisis Data……….. 41

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN …………. 44

A. Pelaksanaan Penelitian ………. 44

B. DeskripsiSubjek Penelitian ………. 44

C. DeskripsiData Penelitian ………. 44

1. Data Sikap terhadap Kenakalan Remaja ……….... 44

2. Kategorisasi ………... 45

3. Uji Asumsi DataPenelitian ………... 47

D. Pembahasan ………. 52

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN………. 57

A. Kesimpulan……….. 57

B. Saran………. 57

DAFTAR PUSTAKA………. 58

(16)

xvi

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1: Pengaruh “parenting style” terhadap Perilaku Anak ….. 25

Tabel 3.1: Distribusi item skala pola asuhsebelum uji coba ………… 37

Tabel 3.2: Distribusi item skala pola asuhsetelah uji coba ………….. 37

Tabel 3.3: Distribusi item skala pola setelah penyusunan ulang ….. 38

Tabel 3.4: Distribusi item skala sikap terhadap kenakalan remaja sebelum uji coba ……….. 39

Tabel 3.5: Distribusi item skala sikap terhadap kenakalan remaja setelah uji coba ……… 39

Tabel 3.6: Distribusi item skala sikap terhadap kenakalan remaja setelahpenyusunan ulang ……… 40

Tabel 4.1: Tabel skor mean teoritik dan empirik……….. 45

Tabel 4.2: Tabel jumlah subjek pada masing-masing pola asuh ….. 46

Tabel 4.3: Tabel kategorisasi sikap terhadap kenakalanremaja ….. 47

Tabel 4.4: Tabel uji normalitas pola asuh otoriter ……… 48

Tabel 4.5: Tabel uji normalitaspola asuh permisif ……….. 48

Tabel 4.6: Tabel uji normalitaspola asuh demokratis ………. 49

Tabel 4.7: Tabel uji homogenitas ………. 49

Tabel 4.8: Tabel uji beda pada pola asuh ………. 50

(17)

xvii

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Skema Hubungan Pola Asuh dengan Sikap terhadap

Kenakalan Remaja ……… 29

Gambar 2 Diagram rata-rata sikap terhadap kenakalan remaja

(18)

xviii

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran A……….. 63

Reliabilitas dan item total statisticpola asuh ………. 63

Reliabilitas dan item total statistic sikap terhadapkenakalan remaja ………. 64

Lampiran B……….. 67

Skala………... 67

Lampiran C……….. 83

Uji normalitas………. 83

Uji homogenitas...……….. 83

(19)

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Pada akhir-akhir ini media masih banyak memberitakan kenakalan remaja

yang terjadi. Seperti halnya yang dilaporkan Tribun Jateng, 30 Desember 2013

bahwa kebanyakan pelaku kriminal umum yang terjadi di Semarang selama tahun

2013 adalah remaja atau pemuda yang berusia 16 sampai 25 tahun. Sama halnya

dalam tribunnews.com bahwa remaja yang melakukan tawuran antar sekolah di

Jakarta pada 15 Mei 2014 sehingga menewaskan salah satu siswa dari sekolah

tersebut, serta remaja yang membolos lalu melakukan hal-hal yang melanggar

hukum seperti mengkonsumsi dan menjual obat-obatan terlarang yang terjadi di

Kulon Progo, Yogyakarta. Hal tersebut didukung oleh Kartono (2005) yang

menyatakan bahwa mayoritas pelaku kejahatan seksual atau kenakalan adalah

anak-anak yang berusia remaja sampai menjelang dewasa.

Perilaku remaja yang menyimpang dari norma atau hukum tersebut, dapat

disebabkan oleh adanya sikap yang mereka miliki. Hal ini sesuai dengan La Pierre

dalam Azwar (1988) bahwa sikap merupakan pola perilaku awal sebelum perilaku

itu sendiri muncul. Azwar (1988) sendiri menyatakan bahwa munculnya sikap

dapat dipengaruhi oleh pengalaman masa lalu, masa sekarang dan

harapan-harapan pada masa yang akan datang.

Dalam memahami suatu perilaku, harus melihat faktor perilaku itu

(20)

halnya menurut Albert Bandura dalam Hergenhahn & Olson (2010), yang

menjelaskan tentang Determinisme Resiprokal, yaitu dalam memahami perilaku

harus dilihat dari tiga elemen yaitu perilaku itu sendiri, lingkungan dan orang atau

sikapnya. Ketiga elemen tersebut harus dipahami secara bersamaan dan tidak bisa

dipisahkan. Dengan kata lain perilaku dapat dipengaruhi sikap dan lingkungan,

lingkungan dapat dipengaruhi oleh perilaku serta sikapnya dan sikap dapat

terpengaruh oleh lingkungan serta perilaku dari orang tersebut.

Berdasarkan hal tersebut, perilaku dan sikap remaja yang melakukan

penyimpangan atau kenakalan dapat terjadi karena faktor lingkungan dan

sikapnya. Dalam hal ini faktor lingkungan dapat terlihat jelas di dalam keluarga

karena keluarga merupakan salah satu lingkungan dari remaja, sehingga apa yang

terjadi di dalam keluarga dapat mempengaruhi perilaku dari remaja. Tambunan

(1979) menyatakan bahwa sebagai orang tua seharusnya mampu menyadari

bahwa berbagai pengalaman yang didapatkan di rumah, sekolahan atau

lingkungan tempat tinggal akan mempengaruhi kematangan pribadi anak remaja

tersebut. Hal tersebut juga diperkuat oleh teori yang dikemukakan oleh

Bronfenbrenner dalam Kay (2013) bahwa perilaku anak dapat dipengaruhi salah

satunya oleh situasi di rumah dan lingkungan.

Situasi di rumah ini bisa terlihat melalui interaksi antar individu di dalam

keluarga tersebut termasuk relasi antara orang tua dan anaknya yang merupakan

pola asuh. Secara umum, pola asuh merupakan interaksi atau hubungan antara

(21)

menjadi 3 tipe berdasarkan yang dilaporkan Baumrind yaitu otoriter, permisif dan

demokratis.

Orang tua yang otoriter lebih menekankan kontrol daripada sikap

menerima atau kehangatan sehingga orang tua otoriter akan cenderung

memberikan perintah kepada anak dengan keharusan tanpa kompromi. Orang tua

permisif adalah orang tua yang lebih menekankan kehangatan atau penerimaan

tanpa kontrol dan pengawasan sehingga orang tua cenderung melepas anaknya

dan menuruti setiap permintaan dan keinginan dari anak tanpa memperhatikan

latar belakang atau motif dari keinginan tersebut, bahkan orang tua akan memilih

untuk menghindari konflik dengan anaknya. Yang terakhir adalah demokratis.

Pola asuh orang tua macam ini menekankan kehangatan atau penerimaan

sekaligus memiliki kontrol dan pengawasan yang tinggi terhadap anak. Orang tua

demokratis akan bersikap responsif terhadap keinginan atau permintaan anak.

Sikap responsif tersebut menyebabkan orang tua tidak langsung memutuskan,

tetapi anak diajak untuk membuat pertimbangan dan memikirkan konsekuensi

akan hal tersebut. Hal ini menyebabkan orang tua akan memberikan penjelasan

pada setiap perintah yang diberikannya supaya anak mengetahui alasan orang tua

memberikan perintah tersebut.

Di dalam pola asuh, anak merupakan subjek yang dikenai dan orang tua

sebagai pelakunya. Setiap pola asuh tersebut akan memberikan dampak yang

berbeda kepada anak. Seperti halnya orang tua yang mengasuh anak dengan

otoriter akan menyebabkan anak mudah tersinggung, penakut, mudah terpengaruh

(22)

stress sehingga tidak mempunyai arah hidup masa depan yang jelas. Sedangkan

pola asuh permisif akan menghasilkan anak yang impulsif dan agresif, memiliki

kecenderungan untuk memberontak, kurang percaya diri dan tidak memiliki

kontrol diri yang baik. Selain itu, anak akan cenderung mendominasi dalam

relasinya dengan orang lain dan anak cenderung rendah dalam hal prestasi. Pola

asuh demokratis akan menghasilkan anak yang memiliki relasi sosial yang baik

sehingga anak mampu bekerja sama, mempunyai kepercayaan dan pengendalian

diri yang baik serta memiliki arah masa depan yang jelas. (Yusuf, 2000).

Melalui penjelasan tersebut, dapat semakin diketahui bahwa

perkembangan anak seperti kepribadian dan sifatnya dapat dipengaruhi oleh

hal-hal yang terjadi dalam keluarga seperti relasi atau hubungan antar anggota

keluarga termasuk antara orang tua dan anak. Pola asuh orang tua akan

berpengaruh terhadap anak dalam hal kepercayaan diri, pandangannya terhadap

masa depan, relasinya dengan orang lain, agresifitas, kontrol dan konsep diri,

kecemasan dan depresi serta kebutuhan untuk berprestasi. Kay (2013)

menjelaskan bahwa pola pengasuhan yang kurang berkualitas akan berpengaruh

negatif pada perkembangan anak, sehingga dapat memunculkan masalah-masalah

dalam perilaku anak.

Kualitas pola pengasuhan yang dilakukan orang tua dapat dilihat dari

kedua aspek yang terdapat dalam pola asuh, yaitu demandingness dan

responsiveness (Baumrind, 1991). Ketika salah satu aspek saja yang memiliki

nilai tinggi, perkembangan anak akan menjadi negatif dan memunculkan masalah

(23)

perilaku yang menyimpang dari aturan norma sosial atau bahkan menyimpang

serta melanggar norma hukum yang berlaku. Hal tersebut merupakan perilaku

yang disebut delinkuen sehingga dapat pula dikatakan sebagai kenakalan anak.

Pada penelitian sebelumnya mengenai pola asuh dan perkembangan anak,

banyak yang menggunakan salah satu pola asuh saja sehingga tidak melihat pola

asuh mana yang baik, seperti yang dilakukan oleh Taganing (2008) yang

melibatkan remaja pria dan wanita yang sedang bersekolah di tingkat SMU,

menunjukkan bahwa pola asuh otoriter berhubungan positif terhadap perilaku

agresif pada remaja. Dalam penelitian yang dilaporkan oleh Taha (2013), pola

asuh demokratis memiliki hubungan yang positif terhadap rasa kepercayaan diri.

Penelitian yang lain melihat pola asuh secara umum namun berhubungan dengan

perilaku kenakalan remaja secara spesifik dan tidak melihat kenakalan remaja

secara umum. Seperti dalam penelitian Kharie (2014) yang melihat hubungan

antara pola asuh orang tua dengan perilaku merokok yang menunjukkan bahwa

terdapat hubungan yang positif antara keduanya. Sama halnya dengan penelitian

yang dilakukan Nurul (2012) yang menunjukkan bahwa pola asuh orang tua

memiliki pengaruh dan hubungan terhadap perilaku seksual pranikah. Dalam

berbagai penelitian sebelumnya yang dilihat adalah perilaku kenakalan remaja

atau kenakalan secara spesifik. Hal tersebut memiliki kecenderungan akan faking

yang dilakukan oleh subjek dalam memberikan respon terhadap perilaku

kenakalan remaja. Oleh karena itu, dalam penelitian ini akan membahas sikap

terhadap kenakalan remaja untuk menghindari faking karena sikap bukan perilaku

(24)

Hal tersebut menunjukkan bahwa adanya sikap yang sesuai atau

mendukung akan mendorong munculnya suatu perilaku, sehingga apabila

sikapnya sesuai dengan kenakalan remaja maka dapat diasumsikan bahwa

sikapnya mendukung perilaku kenakalan remaja atau bahkan akan mendorong

untuk melakukan kenakalan remaja. Adanya hal tersebut, maka peneliti ingin

melihat perbedaan sikap terhadap kenakalan remaja ditinjau dari pola asuh orang

tua.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian tersebut diatas, masalah yang ingin diteliti dalam

penelitian ini adalah apakah ada perbedaan sikap terhadap kenakalan remaja

ditinjau dari pola asuh ?

C. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk melihat perbedaan sikap terhadap kenakalan

remaja ditinjau dari pola asuh.

D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Teoritis

Penelitian ini diharapkan mampu memberikan manfaat bagi

perkembangan pada disiplin ilmu psikologi, khusunya psikologi

perkembangan dalam hal sikap terhadap kenakalan remaja.

2. Manfaat Praktis

Penelitian ini diharapkan mampu memberi masukan pada orang

tua dalam menentukan pola asuh yang tepat dalam mengasuh anaknya,

(25)

7

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Sikap terhadap Kenakalan Remaja

1. Kenakalan Remaja

a. Kenakalan

Kenakalan remaja dalam bahasa asing disebut sebagai juvenile

delinquency. Juvenile dalam bahasa latin adalah anak-anak, anak

muda atau dapat dikataan sebagai remaja. Sedangkan delinquent

dalam bahasa latin berarti terabaikan atau mengabaikan, dalam hal

ini maknanya semakin luas menjadi pelanggar aturan atau pembuat

keributan. Dalam Kartono (2005), juvenile delinquent atau kenakalan

remaja adalah perilaku jahat atau kenakalan anak muda yang dapat

disebabkan oleh karena adanya pengabaian sosial. Hal ini

menyebabkan remaja melakukan tingkah laku yang menyimpang.

Santrock (2002) menjelaskan bahwa kenakalan remaja adalah

perilaku yang tidak dapat diterima secara sosial (seperti bertindak

berlebihan di sekolah), pelanggaran (seperti melarikan diri dari

rumah) sampai tindakan kriminal (seperti mencuri).

Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa kenakalan

remaja adalah kenakalan atau kejahatan anak muda merupakan

tindakan yang melanggar atau bertentangan dengan aturan norma

(26)

Jensen dalam Sarwono (1989) membagi kenakalan ke dalam

beberapa jenis, yaitu

i. Kenakalan yang menyebabkan menimbulkan korban fisik pada

orang lain, misalnya perkelahian, pemerkosaan, perampokan

dan juga pembunuhan.

ii. Kenakalan yang menimbulkan korban materi, misalnya

perusakan, pencurian, pencopetan dan juga pemerasan.

iii. Kenakalan sosial yang tidak menyebabkan korban pada orang

lain, misalnya melakukan tindak seks bebas atau pelacuran dan

juga penyalahgunaan obat-obatan terlarang.

iv. Kenakalan yang melawan status, misalnya membolos sebagai

bentuk melawan status remaja sebagai pelajar dan juga pergi

dari rumah tanpa ijin dari orang tua atau melawan dan

membantah orang tua sebagai bentuk melawan statusnya

sebagai anak. Dari keempat uraian tersebut dapat disimpulkan

bahwa semua kenakalan remaja berdampak negatif pada

dirinya sendiri dan orang lain.

Banyak sumber yang melihat dan mencari penyebab dari

remaja melakukan kenakalan. Salah satunya dalam Kartono (2005),

remaja yang melakukan kenakalan tersebut, sebagian besar

merupakan usaha dalam rangka untuk mencapai kedewasaan dalam

hal seksualnya, dalam rangka mencari dan mendapatkan identitas

(27)

kendalikan dan mereka kontrol lalu sebagai wujud dari kurangnya

atau bahkan tidak adanya kedisiplinan diri yang dimiliki oleh remaja.

Sebagian besar penyebab atau motif dari kenakalan remaja selain

dari dirinya sendiri yang sedang mencari identitas diri adalah berasal

dari lingkungan teman sebayanya atau dari lingkungan keluarga

remaja tersebut. Kenakalan tersebut, menurut Jahja (2011) dapat

muncul akibat adanya konflik antara kebutuhan akan pengendalian

diri dan konflik antara kebutuhan kebebasan dan ketergantungan

pada orang tua, konflik antara kebutuhan seksualitas dan agama serta

nilai-nilai sosial, konflik pada prinsip dan nilai yang dipelajari

remaja serta konflik dalam menghadapi masa depan. Beberapa

konflik tersebut dapat menyebabkan remaja melakukan kenakalan

remaja apabila orang tua tidak mendampingi dengan benar. Kondisi

keluarga yang berantakan seperti adanya perselisihan orang tua atau

antar anggota keluarga, perceraian orang tua, sikap dan perilaku

orang tua yang buruk terhadap anak dan kehidupan ekonomi yang

tidak teratur dapat berpotensi menyebabkan remaja melakukan

kenakalan.

Orang tua berperan untuk menanamkan moralitas dan

keyakinan beragama pada anak-anak muda. Selain itu, orang tua juga

harus mampu menumbuhkan rasa tanggung jawab sosial pada diri

remaja tersebut, akan tetapi teman sebayanya juga berpengaruh

(28)

standar orang tua, sehingga remaja terkadang memakai standar dari

lingkungan sekolahnya yang terdapat teman sebayanya. Hal ini akan

mempengaruhi watak dan kepribadian remaja tersebut. Tambunan

(1979) menyatakan bahwa anak remaja akan menjadi mudah

terjerumus ke dalam pergaulan yang tidak diinginkan apabila tidak

mendapatkan bimbingan yang tepat dari orang tua.

Kartono (2005) menyebut bahwa remaja yang melakukan

kenakalan remaja tersebut mempunyai karakteristik kepribadian

yang berbeda, yaitu

i. Berorientasi pada kesenangan masa sekarang, sehingga mereka

tidak mampu untuk memikirkan kehidupan dirinya di masa

yang akan datang.

ii. Memiliki emosional yang agak terganggu

iii. Remaja tersebut kurang dalam sosialisasinya dengan

masyarakat. Hal ini kemudian menyebabkan remaja tidak

mengenal norma-norma yang berlaku di masyarakat dan tidak

memiliki tanggung jawab secara sosial.

iv. Remaja tersebut terkadang memilih untuk mengikuti kegiatan

yang “tanpa pikir” hanya mengarah pada kegiatan untuk

menunjukkan kejantanannya dan tidak mempertimbangkan

resiko walaupun mereka menyadari akan adanya hal tersebut.

v. Remaja tersebut impulsif dan memilih kegiatan yang lebih

(29)

vi. Hati nurani remaja tersebut kurang difungsikan dengan baik

vii. Memiliki kontrol dan disiplin diri yang buruk. Hal ini

disebabkan oleh karena tidak adanya pendidikan atau pelatihan

untuk remaja tersebut.

Santrock (2003) mengatakan bahwa jenis kelamin menjadi

salah satu pemicu munculnya kenakalan, yaitu jenis kelamin

laki-laki yang lebih banyak melakukan tindak kekerasan. Hal ini juga

didukung oleh pendapat Maccoby & Jacklin (Sears, Freedman and

Peplau, 1985) bahwa salah satu perbedaan jenis kelamin yang paling

konsisten adalah frekuensi munculnya perilaku agresif yang lebih

tinggi pada pria. Hal tersebut sama dengan yang dilaporkan Baron

and Byrne (2005) bahwa pria secara signifikan lebih cenderung

daripada wanita untuk melakukan agresi terhadap orang lain.

Hal tersebut menurut Helmi & Soedarjo (1998) dipengaruhi

oleh adanya produksi hormon testosteron pada laki-laki sehingga

dapat meningkatkan perilaku agresif, terutama pada manusia yang

berusia remaja dimana meningkatnya agresivitas disebabkan oleh

meningkatnya produksi hormon testosteron. Berdasarkan hal tersebut

dapat disimpulkan bahwa laki-laki memiliki kecenderungan perilaku

(30)

b. Remaja

i. Definisi

Remaja adalah masa peralihan dari anak-anak ke masa

dewasa. Hal ini meliputi semua aspek perkembangan yang

dialami sebagai persiapan memasuki masa dewasa (Gunarsa,

1981). Remaja atau biasa disebut dengan adolescene, berasal

dari bahasa Latin adolescere yang berarti tumbuh atau tumbuh

untuk mencapai kematangan (Ali & Asrori (2009). Menurut

Hurlock (Jahja, 2011) masa remaja dibagi menjadi 2 bagian

yaitu remaja awal (13 hingga 16 atau 17 tahun) dan remaja akhir

(16 atau 17 sampai 18 tahun). Lain halnya dengan yang

diungkapkan Jahja (2011), bahwa masa remaja bermula dari usia

awal pubertas sekitar 11–14 tahun hingga usia sekitar 18 tahun.

Batasan kronologis dari remaja memiliki perbedaan dan

sangat relatif. Setiap negara memiliki batasan masing-masing

dalam menentukan batasan seseorang disebut remaja, misalnya

menurut hukum Amerika Serikat seorang yang sudah berumur

18 tahun sudah di anggap sebagai dewasa. Menurut KUHP, di

Indonesia batasan orang disebut dewasa adalah yang memiliki

usia diatas 18 tahun. Akan tetapi kita dapat memakai batasan

bahwa remaja merupakan fase “mencari jati diri” atau fase

“topan dan badai” (Ali & Asrori, 2009) sehingga dapat

(31)

jati diri tersebut adalah remaja. Fase mencari jati diri inilah yang

kemudian disebut sebagai pencarian identitas diri. Erik Erikson

dalam Feist & Feist (2008), dalam masa remaja terjadi krisis

identity versus identity confusion atau identitas diri dan

kebingungan identitas.

Menurut Erikson, pencarian identitas ini merupakan hal

yang wajar sebagai wujud untuk memahami dirinya bukan

sebagai wujud dari rasa ketidaknyamanan remaja dalam

menghadapi masa dewasa. Proses pencarian identitas ini

merupakan konsepsi tentang diri, penentuan tujuan dan nilai

hidup serta keyakinan yang akan di pegang teguh oleh seseorang

dalam hidupnya (Papalia, et.al., 2008). Identitas diri adalah

suatu proses integrasi pengalaman individu ke dalam

kepribadian yang semakin menjadi dewasa (Ahmadi & Sholeh,

2005). Identitas diri tersebut diperoleh oleh individu melalui

berbagai pengalaman yang diperolehnya, setiap pengalaman

tersebut akan memiliki makna yang berbeda pada setiap

individu tersebut. Pada tahap pencarian identitas diri ini, remaja

mengalami masa rawan yang disebabkan karena remaja yang

memperoleh identitas diri akan sukses melampaui masa

remajanya tetapi bila tidak remaja cenderung mengalami

(32)

Kebingungan atau kekaburan identitas akan berakibat

pada terhambatnya remaja yang akan mencapai kedewasaan. Hal

tersebut menyebabkan remaja melakukan dua hal, pertama

remaja akan melakukan regresi atau kembali ke masa

kanak-kanak untuk menghindari konflik yang harus dihadapi, kedua

adalah menyebabkan remaja melibatkan diri secara impulsif ke

dalam perilaku yang buruk. Remaja yang berhasil mendapatkan

identitas diri adalah remaja yang dapat menentukan pilihan

pekerjaan, nilai yang dihidupi dan memiliki nilai identitas

seksual yang memuaskan (Erikson dalam Papalia, et.al., 2008).

Pencarian identitas tersebut merupakan bagian dari

perkembangan remaja dalam hal psikososial.

Berdasarkan penjelasan tersebut, dapat disimpulkan

bahwa remaja adalah suatu masa peralihan dari anak-anak

menuju dewasa dan berusia 13 sampai 18 tahun, suatu tahap

dimana mereka sedang mengalami pencarian identitas diri.

ii. Perkembangan Remaja

a.) Fisik dan Kognitif

Masa remaja memiliki perubahan atau peningkatan

yang signifikan, demikian halnya dengan semakin

matangnya organ-organ tubuh. Santrock (2002)

menambahkan bahwa pubertas merupakan salah satu tanda

(33)

adalah periode dimana kematangan kerangka dan seksual

terjadi secara pesat. Hal tersebut didukung oleh semakin

meningkatnya produksi hormon testosteron pada laki-laki

dan hormon estradiol pada perempuan. Perubahan fisik

tersebut membuat remaja disibukkan dengan tubuh mereka

dan mengembangkan citra individual mengenai gambaran

tubuhnya.

Rochmah (2005) menyatakan bahwa pubertas tersebut

menyebabkan remaja merasa ingin menyendiri, bosan,

inkoordinasi antara pertumbuhan yang pesat dan tidak

seimbang sehingga mempengaruhi pola koordinasi gerakan,

antagonisme sosial yaitu suka membantah dan menentang,

emosi yang meninggi sehingga mudah marah, gelisah dan

khawatir, hilangnya kepercayaan diri, terlalu sederhana

misalnya dalam penampilan karena adanya ketakutan

menjadi perhatian dan komentar buruk dari orang lain.

Selain perkembangan fisik, remaja juga akan

mengalami perkembangan kognitif atau kemampuan

berfikirnya. Santrock (2002) menambahkan bahwa remaja

sudah mampu untuk berfikir secara abstrak karena mereka

sudah memasuki tahap pemikiran operasional formal.

Perkembangan kognitif remaja berkaitan dengan

(34)

organisasi perilaku serta kontrol diri. Remaja usia 11 sampai

13 tahun cenderung menggunakan amigdala daripada

menggunakan lobus frontalis sehingga cenderung bereaksi

secara emosional dan instingtual sedangkan dalam hal

penilaian remaja belum mampu akurat dan beralasan. Hal ini

menyebabkan remaja cenderung tidak menggunakan akal

sehat karena kalah oleh perasaan dan emosi. (Papalia, Old

and Feldman. 2009).

b.) Sosio-emosi

Menurut Santrock (2002), keluarga dan teman sebaya

menjadi hal dapat mempengaruhi perkembangan remaja.

Peran keluarga terkait dalam hal otonomi dan kelekatan.

Pada masa remaja, keinginan mereka untuk kebebasan

dalam rangka mencari otonomi atau tanggung jawab

semakin meningkat (Santrock, 2003). Aspek utama dari

mencari otonomi tersebut adalah untuk menemukan batas

kontrol diri sendiri dan orang tua sehingga dapat memicu

munculnya konflik (Papalia and Feldman, 2014) bahwa

remaja sudah lepas dari pegangan orang tua. Hal tersebut

menyebabkan orang tua melakukan pengendalian yang lebih

ketat kepada anak remajanya, akan tetapi hal tersebut hanya

berlaku pada keluarga yang tidak sehat secara psikologis

(35)

2. Sikap

Azwar (1988) menyatakan bahwa munculnya sikap dipengaruhi

oleh objek yang sedang dihadapi sekaligus oleh pengalaman masa lalu,

masa sekarang beserta harapan-harapan pada masa yang akan datang. Hal

ini menyebabkan manusia tidak dapat netral atau tidak dapat merasakan

atau berfikir sesuatu ketika menemui suatu stimulus.

La Pierre dalam Azwar (1988) menjelaskan bahwa sikap

merupakan suatu pola perilaku, tendensi atau kesiapan untuk

menyesuaikan diri pada situasi sosial tertentu, atau secara sederhana

sikap merupakan respon terhadap stimulus sosial yang sudah

terkondisikan. Dengan kata lain, menurut La Pierre sikap merupakan pola

perilaku awal yang muncul sebelum perilaku itu sendiri muncul dari

manusia.

Menurut Allport dalam Azwar (1988), sikap adalah kesiapan

untuk bereaksi terhadap objek dengan suatu cara tertentu. Kesiapan

dalam hal ini adalah sesuatu yang potensial dalam diri individu ketika

bertemu dengan suatu stimulus yang mengarah pada pemberian respon

akan stimulus tersebut, sehingga dapat disimpulkan bahwa sikap

merupakan pola perilaku yang dapat berfungsi sebagai dasar untuk

bereaksi terhadap suatu objek yang dipengaruhi oleh objek yang sedang

dihadapi, pengalaman masa lalu maupun sekarang beserta harapan pada

(36)

Kuswana (2014) menyatakan bahwa sikap merupakan evaluasi

positif atau negatif dari orang, benda, peristiwa, kegiatan, ide, atau apa

saja di lingkungan kita.

Berdasarkan hal tersebut, dapat disimpulkan bahwa sikap

merupakan respon atau pola dasar pada diri manusia, yang digunakan

untuk merespon suatu objek tertentu.

Azwar (1988) menjelaskan bahwa sikap memiliki tiga komponen,

yaitu

a. Komponen Kognitif

Aspek kognitif dari sikap berisi tentang persepsi, stereotype

atau kepercayaan seseorang mengenai hal-hal yang berlaku dan yang

benar bagi objek sikap tersebut. Hal tersebut menyebabkan seseorang

merespon suatu objek stimulus berdasarkan kepercayaan atau

keyakinan yang telah dimilikinya. Kepercayaan yang dimiliki orang

tersebut dapat berasal dari sesuatu yang dilihat atau yang telah

diketahui.

b. Komponen Konatif

Sedangkan aspek konatif atau perilaku berisi mengenai apa dan

bagaimana kecenderungan berperilaku serta reaksi dari diri orang

tersebut yang berkaitan dengan objek sikap. Hal ini yang

menyebabkan sikap dari seseorang akan dapat terlihat dengan jelas

(37)

mengharapkan bahwa sikap seseorang akan dicerminkannya dalam

bentuk tendensi perilaku terhadap objek”(Azwar 1988). c. Komponen Afektif

Aspek afektif berisi mengenai masalah emosional dalam diri

seseorang terhadap objek sikap, dengan kata lain komponen afeksi ini

merupakan perasaan yang dirasakan oleh seseorang terhadap suatu

objek sikap. Menurutnya, aspek afektif ini merupakan aspek yang

dapat bertahan dari hal-hal yang dapat mengubah sikap seseorang.

Komponen sikap diatas merupakan suatu kesatuan untuk

membentuk sikap yang kemudian dapat mengarah pada perilaku,

sehingga apabila terdapat suatu komponen yang memiliki arah yang

berbeda dapat mempengaruhi atau mengubah sikap seseorang ketika

menghadapi objek sikap.

3. Sikap terhadap Kenakalan Remaja

Berdasarkan bahasan diatas, dapat disimpulkan bahwa sikap

merupakan pola dasar pada diri manusia, yang digunakan untuk

merespon suatu objek tertentu, sehingga dalam penelitian ini peneliti

ingin melihat pola dasar dari remaja ketika memberikan respon pada

kenakalan remaja. Sikap sendiri mempunyai tiga komponen yaitu

kognitif, konatif atau perilaku dan afektif atau perasaan. Komponen

kognitif terhadap kenakalan remaja merupakan suatu pemikiran atau cara

pandang seorang remaja mengenai kenakalan remaja. Komponen konatif

(38)

stimulus berupa kenakalan remaja. Sedangkan komponen afektif

merupakan perasaan yang muncul dalam diri seorang remaja ketika

menghadapi kenakalan remaja.

B. Pola Asuh

1. Definisi

Menurut Kamus Bahasa Indonesia, pola merupakan sistem, cara

kerja, bentuk atau struktur sedangkan asuh adalah menjaga, merawat,

mendidik dan membimbing sehingga dapat disimpulkan pola asuh

merupakan sistem atau cara kerja dalam mendidik atau merawat. Orang

tua dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah ayah dan ibu kandung.

Berdasarkan penjelasan tersebut, dapat disimpulkan bahwa pola asuh

orang tua merupakan sistem atau cara kerja yang digunakan orang tua

dalam mendidik atau merawat anaknya.

Yusuf (2011) mengungkapkan bahwa keluarga memiliki peran

yang sangat penting dalam perkembangan pribadi anak. Selain itu,

keluarga merupakan institusi atau lembaga yang dapat memenuhi

kebutuhan insan (manusiawi) terutama bagi perkembangan kepribadian

dan perkembangan ras manusia.

2. Aspek Pola Asuh

Baumrind (1991) melaporkan dalam penelitiannya bahwa pola asuh

(39)

a. Demandingness

Dalam Jerica, Melanie, Katie and Dianne (2010)

demandingness adalah bagaimana orang tua melakukan

kontrol dan menggambarkan kekakuan tindakan orang tua

terhadap perilaku anak. Hal ini dapat terlihat melalui orang

tua yang menerapkan kedisiplinan, berani dan mampu

untuk melarang perilaku anak yang menentang serta

mengawasi perilaku anak. Menurut Darling (1999)

demandingness merupakan perilaku kontrol kepada anak

dengan merujuk pada orang tua yang membuat anak

terintegrasi ke dalam keluarga melalui tuntutan kedewasaan

dari orang tua, pengawasan, upaya untuk mendisiplinkan

dan kesediaan untuk menghadapi anak yang tidak patuh.

Berdasarkan hal tersebut dapat disimpulkan bahwa

demandingness merupakan perilaku kontrol orang tua

terhadap perilaku anak, yang menggambarkan kekakuan

tindakan orang tua. Perilaku ini merujuk pada kedisiplinan,

berani dan mampu untuk melarang serta mengawasi

perilaku anak.

b. Responsiveness

Jerica, Melanie, Katie and Dianne (2010)

menjelaskan bahwa responsiveness adalah unsur

(40)

kepada anaknya, yang dapat dilihat dalam aspek kepedulian

dan komunikasi. Responsiveness merupakan unsur yang

merujuk pada peningkatan intensitas orang tua dalam

membantu perkembangan individu, regulasi diri, asertifitas

diri dengan penyesuaian diri, dukungan, dan menyetujui

kebutuhan dan tuntutan khusus dari anak.

Berdasarkan penjelasan tersebut dapat disimpulkan

bahwa responsiveness merupakan kehangatan dan

dukungan orang tua dalam membantu perkembangan

individu, regulasi diri, asertifitas diri melalui penyesuaian

diri, dukungan, dan menyetujui kebutuhan serta tuntutan

khusus dari anak.

3. Jenis Pola Asuh

Dalam penelitian yang dilakukan oleh Diana Baumrind (Yusuf

2010) ditemukan bahwa terdapat empat macam pola asuh yang dilakukan

oleh orang tua terhadap anaknya akan tetapi hanya tiga macam pola asuh

yang dilaporkan oleh Baumrind.

Tiga pola asuh menurut Baumrind (Yusuf, 2010) adalah

a. Authoritarian (Otoriter)

Pola asuh ini memiliki rasa demandingness yang tinggi

dan lebih tinggi daripada responsiveness. Orang tua yang

mengasuh anak menggunakan pola asuh authoritarian atau

(41)

kehendak dari orang tua dan anak harus mentaatinya sehingga

hubungan orang tua dengan anak akan kurang hangat bahkan

orang tua sering menggunakan hukuman (Hong, 2012). Orang

tua otoriter ini cenderung untuk meberikan perintah secara

langsung akan tetapi anak tidak diberi penjelasan dan terlihat

memberikan perintah tanpa dasar. Orang tua berharap dan

memiliki keinginan bahwa anaknya dapat melakukan

perintahnya tanpa ada pertanyaan lebih lanjut dari anak. Anak

yang di asuh oleh orang tua dengan tipe otoriter ini akan selalu

dikontrol dan diawasi setiap perilakunya (Baumrind, 1991).

b. Permissive (Permisif)

Orang tua dengan pola asuh permisif mengasuh

anaknya dengan lemah lembut karena memiliki rasa

responsiveness yang lebih tinggi daripada demandingness

sehingga terkadang orang tua melepas anaknya bahkan orang

tua jarang menerapkan peraturan di rumah. Hal ini

menyebabkan orang tua menempatkan posisi anaknya sebagai

anak kecil, bukan orang yang dewasa, maka dari itu

kebanyakan dari anak dengan pola asuh permisif lebih memilih

bermain daripada bekerja. (Baumrind, 1991). Rendahnya

peraturan tersebut menyebabkan anak dan orang tua akan

memiliki kehangatan dalam relasinya akan tetapi anak akan

(42)

berinteraksi dengan orang lain. Orang tua cenderung menuruti

setiap permintaan anak tanpa mengetahui alasan dan latar

belakang anak sehingga menyebabkan rendahnya kemandirian

anak. Orang tua permisif tersebut akan memilih untuk

menghindari konflik ketika terjadi perbedaan pendapat dengan

anak. (Hong, 2012)

c. Authoritative (Demokratis)

Pola asuh authoritative ini biasa disebut juga dengan

pola asuh demokratis yang memiliki rasa demandingness dan

responsiveness yang sama-sama tinggi. Orang tua yang

mengasuh anaknya menggunakan pola asuh ini akan tetap

mengawasi perilaku anak dan tetap memberikan penjelasan

ketika perilaku anak menyimpang sehingga orang tua tidak

akan membatasi setiap perilaku anak. Orang tua demokratis

akan meminta anak melakukan suatu perilaku akan tetapi

dengan standar yang jelas dan dimengerti oleh anak. Orang tua

cenderung memilih menggunakan kedisiplinan dalam

mengasuh dan tidak menggunakan hukuman untuk

memperlakukan anak. Anak yang diasuh menggunakan pola

asuh ini diharapkan akan mampu memiliki ketegasan dalam

bertindak dan memiliki kemampuan sosial yang baik serta

(43)

Tabel 2.1

Pengaruh masing-masing pola asuh terhadap anak

Pola Asuh Sikap atau perilaku orang tua Profil anak

Otoriter 1. Demandingness tinggi dan responsiveness rendah

2. Suka menghukum secara fisik

3. Bersikap mengkomando atau memberi perintah tanpa kompromi

4. Bersikap kaku/keras

5. Cenderung emosional dan bersikap menolak

1. Mudah tersinggung dan punya sikap agresif

2. Penakut

3. Pemurung, tidak bahagia

4. Mudah terpengaruh 5. Mudah stres tidak

mempunyai arah dan masa depan yang jelas

Permisif 1. Demandingness rendah dan responsiveness tinggi

2. Memberikan kebebasan ke anak untuk menyatakan dorongan atau keinginannya

3. Orang tua mementingkan kehangatan relasi

1. Bersikap impulsif dan agresif

2. Suka memberontak 3. Kurang memiliki rasa

percaya diri dan pengendalian diri 4. Suka mendominasi 5. Tidak jelas arah

hidupnya

6. Prestasinya rendah

Demokratis 1. Demandingness dan

responsiveness sama-sama tinggi

2. Bersikap responsive

terhadap kebutuhan anak 3. Mendorong anak untuk

menyatakan pendapat atau pertanyaan

4. Memberikan penjelasan tentang dampak perbuatan yang baik dan buruk

1. Bersikap bersahabat 2. Memiliki rasa percaya

diri 3. Mampu

mengendalikan diri (self control)

4. Bersikap sopan 5. Mau bekerja sama 6. Memiliki rasa ingin

tahu yang tinggi 7. Mempunyai

arah/tujuan hidup yang jelas

(44)

C. Hubungan antara Pola Asuh dengan Sikap Remaja terhadap Kenakalan

Remaja

Penelitian ini akan meneliti mengenai hubungan antara pola asuh

orang tua dengan sikap terhadap kenakalan remaja. Pola asuh merupakan

sistem atau cara kerja yang digunakan orang tua dalam mendidik atau

merawat anaknya. Menurut penelitian yang dilaporkan Baumrind dalam

Yusuf (2010) terdapat tiga macam pola asuh yang digunakan oleh orang tua.

Ketiga pola asuh tersebut adalah otoriter, permisif dan demokratis.

Pola asuh otoriter adalah orang tua yang bersikap mengkomando,

keras dan kaku dalam memperlakukan anak. Selain hal tersebut orang tua

dengan pola asuh otoriter memiliki sikap penerimaan yang rendah akan tetapi

memberikan kontrol yang tinggi terhadap perilaku anak. Orang tua akan

memilih untuk memberikan hukuman secara fisik kepada anak ketika

melakukan hal yang tidak sesuai dengan standar dari orang tua. Dalam

memperlakukan anak, orang tua cenderung emosional dan menolak. Melalui

pola asuh ini, anak akan berkembang menjadi pribadi yang mudah

tersinggung, penakut, pemurung dan di dominasi oleh perasaan tidak bahagia.

Selain hal tersebut, pola asuh otoriter akan menyebabkan anak mudah

terpengaruh atau tidak mempunyai pendirian sehingga tidak memiliki arah

masa depan yang jelas.

Pola asuh permisif merupakan sistem atau cara kerja yang

digunakan orang tua dalam mendidik anak melalui sikap penerimaan yang

(45)

selalu memberi kebabasan pada anaknya untuk menyatakan dorongan dan

keinginan sehingga cenderung menuruti setiap permintaan anak. Hal tersebut

disebabkan oleh karena orang tua yang berusaha menghindari konflik dengan

anak. Pola asuh ini akan menyebabkan anak kurang memiliki kepercayaan

diri dan kontrol diri. Selain itu, anak akan menjadi pribadi yang impulsif dan

agresif, suka memberontak dan mendominasi dalam relasi dengan orang lain

serta memiliki arah masa depan yang tidak jelas.

Pola asuh otoriter dan permisif menyebabkan anak akan

membentuk suatu sikap ketika bertemu dengan objek sikap. Dalam aspek

kognitif, kedua pola asuh tersebut menyebabkan anak tidak mempunyai arah

atau gambaran masa depan yang jelas. Sesuai dengan aspek afektif, anak akan

mudah tersinggung dalam hubungannya dengan orang lain. Selain itu, anak

akan kurang dalam memiliki kepercayaan diri. Dalam aspek konatif, pola

asuh otoriter dan permisif akan menyebabkan anak memiliki sikap agresif,

mudah terpengaruh dan tidak memiliki pengendalian diri. Selain itu, anak

akan cenderung mendominasi dan suka memberontak dalam relasi

interpersonalnya. Berdasarkan hal tersebut dapat diketahui bahwa pola asuh

otoriter dan permisif akan menyebabkan anak memiliki sikap yang positif

atau mendukung kenakalan remaja.

Pola asuh demokratis ditunjukkan melalui orang tua yang ,memiliki

sikap penerimaan dan kontrol yang seimbang sehingga setiap permintaan dari

anak akan diteliti dahulu dampak dan kebutuhannya sebelum orang tua

(46)

baik dan buruk dari suatu perbuatan. Selain itu, orang tua selalu memberikan

kesempatan pada anak untuk bertanya dan berpendapat. Pola asuh demokratis

akan membentuk anak menjadi pribadi yang bersahabat dan memiliki kontrol

diri yang baik serta senang bekerja sama dengan orang lain. Pola asuh ini juga

akan menyebabkan anak memiliki rasa kesopanan dan memiliki arah masa

depan yang jelas.

Pola asuh tersebut menyebabkan anak memiliki arah atau gambaran

masa depan yang jelas secara pemikiran atau kepercayaan. Secara afektif,

pola asuh demokratis akan menyebabkan anak memiliki rasa percaya diri

yang sesuai. Sedangkan dalam hal konatif, anak akan tumbuh dengan sikap

yang bersahabat dan sopan. Hal ini akan menyebabkan anak suka bekerja

sama dengan orang lain. Selain itu, anak akan berkembang dengan memiliki

pengendalian diri yang baik. Berdasarkan penjelasan tersebut, dapat diketahui

bahwa pola asuh demokratis akan memiliki sikap negative atau tidak

(47)

Gambar 1. Skema Hubungan Pola Asuh dengan Sikap terhadap Kenakalan Remaja Pola asuh demokratis permisif otoriter - Aspek demandingness dan responsiveness sama-sama tinggi - Aspek demandingness rendah dan responsiveness tinggi - Aspek demandingness tinggi dan responsiveness rendah

Akibat ke anak :

-Impulsif dan agresif

-Suka memberontak

-Kurang memiliki kepercayaan diri dan kontrol diri

-Suka mendominasi

-Arah hidup tidak jelas

-Prestasi rendah

-Kemampaun sosial rendah

Akibat ke anak :

- Bersahabat dan percaya diri

- Punya control diri dan rasa

kesopanan

- Mau bekerja sama

- Punya arah hidup yang jelas dan rasa ingin tahu yang tinggi

- Punya kemampuan sosial yang baik Akibat ke anak :

-Mudah tersinggung, penakut, pemurung, agresif dan tidak bahagia

-Mudah terpengaruh dan stress karena tidak mempunyai arah masadepan yang

jelas

Sikap negatif atau kurang mendukung kenakalan remaja Kognitif : mempunyai arah

masa depan yang tidak jelas Afektif : mudah

tersinggung dan tidak punya kepercayaan diri Konatif : sikap agresif, mudah terpengaruh, suka memberontak, tidak punya pengendalian diri dan suka memberontak

Kognitif : mempunyai arah masa depan yang jelas

Afektif : memiliki rasa percaya diri yang baik Konatif : bersikap bersahabat, punya control diri, senang bekerja sama dan sopan

(48)

D. Hipotesis

Hipotesis dalam penelitian ini adalah ada perbedaan sikap terhadap

(49)

31

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Penelitian ini adalah penelitian kuantitatif dengan metode

komparatif, untuk membandingkan sikap terhadap kenakalan remaja

ditinjau dari pola asuh.

B. Identifikasi Variabel Penelitian

Menurut Sarwono (2006) variabel adalah simbol atau konsep yang

diasumsikan sebagai seperangkat nilai yang berbeda atau bervariasi antar

satu dengan yang lain. Variabel terbagi dalam dua jenis, yaitu variabel

bebas dan variabel terikat. Dua variabel dalam penelitian ini adalah

sebagai berikut :

1. Variabel bebas : Pola asuh orang tua

2. Variabel terikat : Sikap terhadap Kenakalan remaja

C. Definisi Operasional Penelitian

1. Pola Asuh Orang Tua

Pola asuh orang tua merupakan sistem atau cara dalam mendidik

anak yang dilakukan oleh orang tua. Pola asuh orang tua ini akan

diukur menggunakan skala pola asuh. Di dalam pola asuh orang tua

terdapat 2 aspek, yaitu demandingness dan responsiveness. Apabila

aspek demandingness dan responsiveness yang dimiliki subjek

(50)

asuh menggunakan pola asuh demokratis. Sedangkan ketika aspek

demandingness lebih tinggi daripada responsiveness akan

menunjukkan bahwa anak diasuh menggunakan pola asuh otoriter,

namun ketika skor responsiveness lebih tinggi daripada

demandingness menunjukkan bahwa anak di asuh dengan

menggunakan pola asuh permisif.

2. Sikap terhadap Kenakalan Remaja

Sikap terhadap kenakalan remaja adalah respon atau pola dasar

yang muncul dari manusia ketika berhadapan dengan kenakalan remaja

yang terjadi.

Skala kenakalan remaja akan diukur berdasarkan aspek dari

Jansen, yaitu kenakalan yang menyebabkan korban fisik pada orang

lain, korban materi, kenakalan sosial dan kenakalan yang melawan

atau bertentangan dengan status remaja tersebut.

Sikap terhadap kenakalan remaja akan diukur menggunakan

skala sikap terhadap kenakalan remaja. Skala ini akan melihat

kenakalan remaja berdasarkan aspek kognitif, afektif dan konatif.

Semakin tinggi nilai yang diperoleh oleh subjek, maka subjek memiliki

sikap yang positif atau mendukung kenakalan remaja, demikian juga

sebaliknya, semakin rendah nilai yang diperoleh maka subjek memiliki

(51)

D. Subjek Penelitian

Subjek dalam penelitian ini adalah siswa SMA. Mereka termasuk

dalam tahap remaja atau belum dewasa diantara 15-18 tahun. Kriteria lain

adalah siswa laki-laki SMA kelas 1 atau 2. Subjek dalam penelitian ini

adalah laki-laki karena laki-laki memiliki kecenderungan tingkat

agresifitas yang lebih tinggi daripada perempuan.

E. Metode Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini

menggunakan skala Likert untuk melihat pola asuh dan sikap terhadap

kenakalan remaja. Hal tersebut menyebabkan terdapat 4 alternatif jawaban

yaitu, Sangat Sesuai (SS), Sesuai (S), Tidak Sesuai (TS) dan Sangat Tidak

Sesuai (STS). Dalam penelitian ini tidak menggunakan alternatif pilihan

netral karena peneliti ingin memperoleh nilai yang mendekati mutlak

untuk melihat suatu tingkatan tinggi atau rendah. Hadi (2004) menjelaskan

bahwa jika menginginkan jawaban yang digolongkan ke dalam “ya” dan

“tidak”, maka kemungkinan jawaban ditengah harus sedapat mungkin

dihindari.

1. Skala Pola Asuh

Pola asuh orang tua diukur menggunakan skala pola asuh.

Skala pola asuh terdiri dari aspek demandingness dan responsiveness.

Demandingness diukur melihat melalui perilaku kontrol orang tua

terhadap perilaku anak, yang menggambarkan kekakuan tindakan

(52)

untuk melarang serta mengawasi perilaku anak. Sedangkan

responsiveness merupakan kehangatan dan dukungan orang tua yang

merujuk pada intensitas orang tua dalam membantu perkembangan

individu, regulasi diri, asertifitas diri melalui penyesuaian diri,

dukungan, dan menyetujui kebutuhan serta tuntutan khusus dari anak.

Skala pola asuh ini memiliki 4 respon jawaban, yaitu Sangat

Sesuai (SS), Sesuai (S) , Tidak Sesuai (TS) dan Sangat Tidak Sesuai

(STS).

Pada item yang bersifat favourable diberikan skor sebagai

berikut,

Sangat Sesuai (SS) : 4

Sesuai (S) : 3

Tidak Sesuai (TS) : 2

Sangat Tidak Sesuai (STS) : 1

Sedangkan pada item yang bersifat unfavourable diberikan

skor sebagai berikut,

Sangat Sangat (SS) : 1

Sesuai (S) : 2

Tidak Sesuai (TS) : 3

Sangat Tidak Sesuai (STS) : 4

Skala pola asuh memiliki dua jenis penilaian, yaitu favourable

(53)

merupakan item yang mendukung hipotesis atau tema kita, sedangkan

item yang bersifat unfavourable merupakan kebalikan dari favourable.

2. Skala Sikap terhadap Kenakalan Remaja

Dalam penelitian ini, sikap terhadap kenakalan remaja diukur

menggunakan skala sikap terhadap kenakalan remaja. Sikap terbagi

dalam 3 aspek yaitu, kognitif, afektif dan konatif, sedangkan kenakalan

remaja memiliki 4 aspek, yaitu kenakalan yang menyebabkab korban

fisik pada orang lain, menyebabkan korban materi, kenakalan sosial

yang tidak menyebabkan korban pada orang lain dan dan yang

melawan status. Aspek kognitif merupakan kepercayaan seseorang

mengenai hal-hal yang berlaku dan yang benar bagi objek sikap

tersebut. Hal tersebut menyebabkan seseorang merespon suatu objek

stimulus berdasarkan kepercayaan atau keyakinan yang telah

dimilikinya. Aspek konatif merupakan kecenderungan berperilaku dari

seseorang yang berkaitan dengan objek sikap, sehingga sikap dari

seseorang akan dapat terlihat dengan jelas ketika sudah menjadi

perilaku. Aspek afektif merupakan masalah emosional dalam diri

seseorang terhadap objek sikap atau merupakan perasaan yang

dirasakan oleh seseorang terhadap suatu objek sikap.

Bentuk respon pernyataan subjek dalam pernyataan favourable

terdiri dari 4 bagian yaitu,

Sangat Sesuai (SS) : 4

(54)

Tidak Sesuai (TS) : 2

Sangat Tidak Sesuai (STS) : 1

Dalam pernyataan yang bersifat unfavourable, terdapat 4

macam nilai respon yaitu,

Sangat Sesuai (SS) : 1

Sesuai (S) : 2

Tidak Sesuai (TS) : 3

Sangat Tidak Sesuai (STS) : 4

Sikap terhadap kenakalan remaja, di ukur melalui 2 bagian

bentuk pernyataan yaitu favourable yang merupakan pernyataan

pendukung tema dan pernyataan unfavourable yang berlawanan

dengan tema.

F. Validitas dan Realibilitas

1. Validitas

Validitas merupakan indeks yang menunjukkan bahwa suatu

penelitian akan benar-benar mengukur apa yang akan diukur (Noor,

2011). Dalam penelitian ini yang digunakan adalah validitas isi.

Validitas isi merupakan validitas yang diestimasi melalui pengujian

terhadap isi tes dengan analisis rasional atau pendapat dari ahli

(Azwar, 1997), yaitu dosen pembimbing skripsi.

2. Seleksi Item

Dalam penelitian ini, digunakan batasan sebesar 0,30 untuk

(55)

korelasi lebih kecil dari 0,3 dianggap sebagai item yang memiliki daya

beda rendah.

Pengambilan data uji coba dilakukan pada beberapa siswa SMA

yang memiliki usia dibawah 18 tahun dan berasal dari berbagai macam

daerah pada tanggal 9 sampai 20 Desember 2014. Pada skala pola asuh

dan sikap terhadap kenakalan remaja, diberikan batasan sebesar 0,30

untuk seleksi item. Item yang bernilai diatas 0,30 dianggap memiliki

daya beda yang tinggi dan item yang bernilai korelasi dibawah 0,30

dianggap memiliki daya beda yang rendah sehingga harus digugurkan.

Setelah dilakukan uji coba dengan 32 item pada skala pola asuh

terdapat 11 item yang gugur, sedangkan pada skala sikap terhadap

kenakalan remaja didapatkan 12 item yang gugur karena memiliki nilai

korelasi item total dibawah 0,30.

Tabel 3.1

Distribus item skala pola asuh sebelum uji coba

Aspek

Item Jumlah Persentase

Fav Unfav

Demandingness 4, 6, 8, 12, 18, 20, 26, 30

1, 9, 11, 13, 17, 23, 27, 31

16 50%

Responsiveness 2, 10, 14, 16, 22, 24, 28, 32

3, 5, 7, 15, 19, 21, 25, 29

16 50%

(56)

Tabel 3.2

Distribusi item skala pola asuh setelah uji coba

Aspek

Item Jumlah Persentase

Fav Unfav

Demandingness 4, 6, 8, 12,

18, 20, 26, 30

1, 9, 11, 13, 17, 23, 27, 31

16 50%

Responsiveness 2, 10, 14, 16, 22, 24, 28, 32

3, 5, 7, 15, 19, 21, 25, 29

16 50%

Jumlah 32 100%

Nomer item yang di cetak tebal adalah item yang gugur setelah

dilakukan seleksi item. Selanjutnya setelah dilakukan seleksi item,

peneliti melakukan penyusunan ulang skala. Berikut adalah skala final

dari skala pola asuh setelah dilakukan seleksi item.

Tabel 3.3

Distribusi item skala pola asuh setelah penyusunan ulang

Aspek

Item Jumlah Persentase

Fav Unfav

Demandingness 4, 7, 11, 17, 19

1, 10, 12, 18 9 42,8 %

Responsiveness 2, 6, 9, 13, 15, 21

3, 5, 8, 14, 16, 20

12 57,2 %

Jumlah 21 100%

Demikian halnya pada skala sikap terhadap kenakalan remaja

digunakan batasan korelasi item total sebesar 0,30 sehingga item yang

(57)

Tabel 3.4

Distribusi item skala sikap terhadap kenakalan remaja sebelum uji coba

Kenakalan

Remaja Sikap

Item Jumlah Persentase Fav Unfav

Korban Fisik

Kognitif 24, 34 1, 13 12 24 % Afektif 2, 40 19, 29

Konatif 30, 44 3, 35 Korban

Materi

Kognitif 14, 48 9, 25 12 24 % Afektif 4, 36 21, 43

Konatif 12, 18 5, 27 Kenakalan

Sosial

Kognitif 26, 32 31, 37 12 24 % Afektif 20, 50 11, 39

Konatif 8, 42 17, 47 Melawan

Status

Kognitif 28, 38 15, 49 14 28 % Afektif 10, 22,

46

7, 41, 45

Konatif 6, 16 23, 33

Jumlah 50 100%

Tabel 3.5

Distribusi item skala sikap terhadap kenakalan remaja setelah uji coba

Kenakalan

Remaja Sikap

Item Jumlah Persentase Fav Unfav

Korban Fisik

Kognitif 24, 34 1, 13 12 24 % Afektif 2, 40 19, 29

Konatif 30, 44 3, 35 Korban

Materi

Kognitif 14, 48 9, 25 12 24 % Afektif 4, 36 21, 43

Konatif 12, 18 5, 27 Kenakalan

Sosial

Kognitif 26, 32 31, 37 12 24 % Afektif 20, 50 11, 39

Konatif 8, 42 17, 47 Melawan

Status

Kognitif 28, 38 15, 49 14 28 % Afektif 10, 22,

46

7, 41, 45

Konatif 6, 16 23, 33

(58)

Nomor item yang dicetak tebal adalah item yang gugur setelah

dilakukan seleksi item. Selanjutnya setelah dilakukan seleksi item,

peneliti melakukan penyusunan ulang skala. Berikut adalah skala final

dari skala sikap terhadap kenakaln remaja setelah dilakukan seleksi

item.

Tabel 3.6

Distribusi item skala sikap terhadap kenakalan remaja setelah penyusunan ulang

Kenakalan

Remaja Sikap

Item Jumlah Persent ase Fav Unfav

Korban Fisik

Kognitif 22, 32 1, 12 9 23,7 % Afektif 38

Konatif 28, 11 3, 33 Korban

Materi

Kognitif 13 23 8 21,1 %

Afektif 4, 34 27 Konatif 17 5, 25 Kenakalan

Sosial

Kognitif 24, 30 29 9 23,7 % Afektif 18, 37 10

Konatif 8, 2 16 Melawan

Status

Kognitif 26, 36 14, 31 12 31,5 % Afektif 9, 20, 35 7, 19

Konatif 6, 15 21

Jumlah 38 100%

3. Reliabilitas

Reliabilitas merupakan suatu indeks yang menunjukkan bahwa

suatu penelitian tersebut dapat dipercaya atau diandalkan dalam

prakteknya (Noor, 2011), sehingga dapat menunjukkan konsistensi dari

(59)

koefisien reliabilitas berada pada rentang 0,0 sampai 1,00. Semakin

mendekati 1,00, berarti hasil pengukuran semakin dapat dipercaya.

Pengujian pada kedua skala pada penelitian ini menggunakan

metode Cronbach’s Alpha. Skala pola asuh memiliki nilai reliabilitas sebesar 0,859 sedangkan skala sikap terhadap kenakalan remaja memiliki

reliabilitas sebesar 0,910. Dengan demikian penelitian tersebut dapat

dipercaya.

G. Metode Analisis Data

1. Uji Asumsi

a. Uji Normalitas

Uji normalitas dalam penelitian ini dilakukan

dengan tujuan untuk apakah sebaran data yang dimiliki

normal atau tidak. Pengujian normalitas dalam penelitian ini

menggunakan Kolmogorov-Smirnov, untuk masing-masing

pola asuh. Sebaran data dapat dikatakan normal apabila

memiliki nilai p>0,05.

b. Uji Homogenitas

Uji homogenitas dilakukan untuk melihat apakah

varians dari ketiga kelompok tersebut sama atau tidak.

Kelompok dikatakan memiliki varians yang sama apabila

(60)

Gambar

Gambar 1.Skema Hubungan Pola Asuh dengan Sikap terhadap
Tabel 2.1Pengaruh masing-masing pola asuh terhadap anak
Gambar 1. Skema Hubungan Pola Asuh dengan Sikap terhadapKenakalan Remaja
Tabel 3.1Distribus item skala pola asuh sebelum uji coba
+7

Referensi

Dokumen terkait

Adanya pengaruh negatif dari pola asuh orang tua terhadap kecenderungan kenakalan remaja dalam penelitian ini menunjukkan bahwa semakin baik penga- suhan orang tua

Bagi remaja, jika penelitian ini menunjukkan adanya perbedaan yang signifikan pada sikap asertif remaja ditinjau dari pola asuh orangtua dan. gender, maka penelitian

Skripsi berjudul “Pengaruh Pola Asuh Orang Tua Terhadap Kenakalan Remaja Di Desa Kedungrejo Kecamatan Rowokangkung Kabupaten Lumajang Tahun 2012” telah diuji

Hasil penelitian hubungan pola asuh orang tua dengan sikap remaja putrid tentang kesehatan reproduksi menunjukkan bahwa dari 170 responden, 22 orang (12,9%) yang berpola

Kondisi psychological well-being remaja yang diasuh dengan pola asuh neglectful menunjukan perbedaan signifikan daripada tiga pola asuh yang lain (authoritative,

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan dari Pola Asuh Orang tua dengan Kenakalan Remaja, adapun subjek responden pada penelitian ini adalah seluruh siswa di SMA Negeri

Judul : Hubungan antara Pola Asuh Orang Tua dengan Kenakalan Remaja ( Juvenile Delinquency ) di SMA Negeri 2 Babelan Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan dari

3 Jadi dalam penelitian ini yang akan diungkapkan adalah pola asuh orang tua dalam mendidik remaja sesuai dengan cara orang tua bersikap terhadap anak.. Berdasarkan latar belakang yang