14
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA, HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS
A. Kajian Pustaka 1. Konsep Hak Cipta
Hak cipta pada dasarnya dikatikan dengan hak intelektual manusia.
Dimana didalamnya terdiri atas dua kata, yaitu hak dan cipta. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata “hak” diartikan sebagai suatu kewenangan yang diberikan kepada pihak tertentu yang mempunyai sifat bebas untuk digunakan atau tidak. Sedangkan kata “cipta” atau “ciptaan” bermakna sebagai sebuah hasil karya manusia dengan menggunakan akal pikiran, perasaan, pengetahuan, imajinasi dan pengalaman.
Hak Cipta mengenal dua jenis hak yang terkandung dalam suatu ciptaan, yaitu hak cipta (copy rights) dan hak terkait (neighboring rights). kedua jenis hak ini merupakan hak eksklusif yang bersifat ekonomis industrialis bagi pemilik suatu ciptaan1.Istilah Copyright (Hak Cipta) pertama kali dikemukakan dalam Berne Convention yang diadakan tahun 1886. Dalam Berne Convention, pengertian Hak Cipta tidak dirumuskan dalam Pasal tersendiri namun tersirat dalam Article 2, Article 3, Article 11 dan Article 13 yang isinya diserap dalam Pasal 2 jo Pasal 10
1 Elyta Ras Ginting, Hukum Hak Cipta Indonesia Analisis Teori dan Praktik, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2012, hlm. 61.
Auteurswet 19122. Dimana dalam Auteurswet 1912 Pasal 1 diatur bahwa: “Hak Cipta adalah hak tunggal dari Pencipta atau hak dari yang mendapat hak tersebut, atas hasil Ciptaannya dalarn lapangan kesusastraan, pengetahuan dan kesenian, untuk mengumumkan dan memperbanyak dengan mengingat pembatasan- pembatasan yang ditentukan oleh Undang-Undang.”
WIPO (World Intellectual Property Organization) menyatakan bahwa copyright is legal from describing right given to creator for their literary and artistic works. Artinya hak cipta diproyeksikan sebagai sebuah terminologi hukum yang menggambarkan pemberian hak-hak kepada pencipta untuk karya-karya mereka dalam bidang seni dan sastra. Maka dari itu satu benda, karya, maupun gagasan untuk dapat dikualifikasi sebagai sebuah ciptaan, harus benar-benar merupakan buah dari kreativitas pencipta yang dihasilkan dari pengorbanan waktu, tenaga berikut keterampilannya, biaya serta pemikiran intelektualnya. Seluruh kontribusi tadi memberi ciri yang bersifat khas dalam bentuk ciptaan.3 Jadi untuk dikategorikan menjadi suatu ciptaan, maka karya dari seorang pencipta harus memiliki suatu ciri khas tertentu dari karyanya yang membedakan karya tersebut dari karya lainnya, dan juga karya tersebut harus timbul dari pemikiran atau kreativitas dari pencipta itu sendiri.4
Pengaturan yang tertuang dalam undang-undang Hak Cipta pada dasarnya merupakan hasil dari ratifikasi kesepakatan konveksi maupun persetujuan
2 Ok.Saidin, 2004, Aspek Hukum Hak Kekayaan Intelektual (Intelectual Property Rights), Jakarta: Raja Grafindo Persada, hlm. 61.
3 Syafrinaldi H, Hak Milik Intelektual dan Globalisasi, UIR Press, Pekanbaru, 2006, hlm.68.
4 Henry Soelistyo, Hak Cipta tanpa Hak Moral, Rajagrafindo Persada, Jakarta, 2011, hlm.
55-59.
Internasional yang diikuti dan sifatnya mengikat Indonesia. Dimana berarti Indonesia harus membuat atau memberlakukan agar hukum Indonesia khususnya Hak Kekayaan Intelektual sesuai dengan konvensi-konvensi yang telah diratifikasinya5
Di Indonesia sendiri, pengaturan mengenai Hak Cipta sudah disinggung dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1982 tentang Hak Cipta. Undang-undang ini dibuat untuk mencabut Auteurswet 1912 Staatblaad Nomor 600 Tahun 1912.
Auteurswet diterapkan pada masa pemerintahan Belanda. Dimana legislasi itu menjadi hukum positif yang mengatur tentang Hak Cipta yang berlaku secara formal di Indonesia pada masa itu. Kemudian diubah dan diganti dengan Undang Undang Nomor 6 Tahun 1982 tentang Hak Cipta (Lembaran Negara RI Tahun 1982 Nomor 15, Tambahan Lembaran Negara RI Nomor 3217), kemudian diubah dengan Undang Undang Nomor 7 Tahun 1987 (Lembaran Negara RI Tahun 1987 Nomor 42, Tambahan Lembaran Negara RI Nomor 3362), yang diubah lagi dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1997 Tentang Hak Cipta (Lembaran Negara RI Tahun 1997 Nomor 29, Tambahan Lembaran Negara RI Nomor 2679), selanjutnya disebut Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 dan dirubah kembali untuk terahkir kalinya sampai saat ini oleh Undang Undang No 28 Tahun 2014.
2. Subjek dan Objek Hak Cipta a) Subjek Hak Cipta
Subjek Hak cipta merupakan Pencipta dan si pemegang hak cipta atas ciptaannya. Berdasarkan Pasal 1 angka (2) Undang-Undang Hak Cipta, yang
5 Suyud Margono, Hukum dan Perlindungan Hak Cipta, Novindo Pustaka Mandiri, Jakarta, 2003, hlm. 17.
dimaksud kan sebagai pencipta adalah seseorang atau beberapa orang yang secara sendiri-sendiri atau bersama-sama menghasilkan suatu ciptaan yang bersifat khas dan pribadi. Pencipta dapat juga diartikan sebagai seseorang atau beberapa orang yang secara sendiri-sendiri atau bersama-sama yang atas inspirasinya lahir suatu ciptaan berdasarkan kemampuan pikiran, imajinasi, kecekatan, keterampilan atau keahlian yang dituangkan dalam bentuk yang khas dan bersifat pribadi.6
Berdasarkan Undang-Undang Hak Cipta terdapat dua macam pencipta atau subjek hukum yang memperoleh perlindungan hukum oleh Hak Cipta, yaitu:7 1. Perorangan
Seperti yang tercantum dalam Pasal 31 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta, kecuali terbukti sebaliknya yang dianggap sebagai pencipta, yaitu orang yang namanya dicatat dalam ciptaan, dinyatakan sebagai pencipta pada suatu ciptaan, disebutkan dalam surat pencatatan ciptaan, dan/atau, dan tercantum dalam daftar umum sebagai pencipta.
Lalu dijelaskan lebih lanjut pada Pasal 32 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta, kecuali terbukti sebaliknya, orang yang melakukan ceramah yang tidak menggunakan bahan tertulis dan tidak ada pemberitahuan siapa pencipta ceramah tersebut di anggap sebagai pencipta.
Sedangkan apabila sebuah ciptaan diciptakan oleh beberapa orang (Join Works). Dimana dirancang oleh seseorang dan diwujudkan serta dikerjakan oleh orang lain di bawah pimpinan dan pengawasan orang yang merancang, maka
6 Rahmi Janed Parinduri Nasution, Interface Hukum Kekayaan Intelektual dan Hukum Persaingan, Rajagrafindo Persada, Jakarta, 2013, hlm. 92.
7 Khoirul Hidayah, Hukum HKI (Hak Kekayaan Intelektual), Setara Press, 2017, hlm.34.
menurut Pasal 34 Undang-Undang Hak Cipta yang diakui sebagai Pencipta adalah orang yang merancang ciptaan tersebut. Selain itu menurut WIPO hasil ciptaan melalui joint works harus diakui oleh semua pihak (joint owners of entire work) yang menyumbangkan karyanya.
2. Badan Hukum
Sebuah karya cipta bisa dimungkinkan dimiliki oleh badan usaha, baik dalam bentuk badan hukum privat dan badan hukum publik. Kepemilikan hak cipta oleh badan hukum privat diatur dalam Pasal 37 Undang-Undang Hak Cipta, apabila badan hukum melakukan pengumuman, pendistribusian, atau komunikasi atas ciptaan yang berasal dari badan hukum tersebut, dengan tanpa menyebut seseorang sebagai pencipta, maka badan hukum itu dianggap sebaggai pemcipta. Sedangkan kepemilikan hak cipta oleh badan hukum publik, diatur di dalam Pasal 35 Ayat (1) yang menjelaskan bahwa pemegang hak cipta atas ciptaan dibuat oleh pencipta dalam hubungan dinas, maka yang dianggap sebagai pencipta adalah instansi pemerintahan.
Sedangkan berdasarkan Pasal 1 angka (4) Undang-Undang Hak Cipta yang dianggap sebagai seorang Pemegang Hak cipta adalah pencipta sebagai pemilik hak cipta atau orang lain yang menerima lebih lanjut hak dari orang yang termasuk sebagai pencipta.
b) Objek Hak Cipta
Konsepsi yang mendasar dalam rezim hukum hak cipta adalah bahwa hak cipta tidak melindungi ide-ide, informasi atau fakta-fakta, tetapi lebih melindungi
bentuk dari pengungkapan ide-ide, informasi atau fakta-fakta tersebut (expression of ideas).
”Copyright is form of intellectual property protection for a variaty of creative works. It is not ideas but their expression which are subject to copyright.”8
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa Hak Cipta adalah ada (exist) dalam bentuk nyata (real), dan bukan ide-ide itu sendiri. Sehingga Hak Cipta tidak melindungi ide-ide atau informasi sampai ide atau informasi tersebut dituangkan dalam bentuk yang dapat dihitung dalam bentuk materi, dan dapat diproduksi ulang.
Hal tersebut di sebutkan pula dalam Pasal 9 ayat 2 TRIP’s yang menyatakan bahwa perlindungan terhadap hak cipta hanya diberikan pada perwujudan suatu ciptaan dan bukan pada ide, prosedur, metode pelaksanaan atau konsep-konsep matematis semacamnya.9
Begitu juga dengan yang dikatakan oleh L.J. Taylor dalam bukunya Copyright for Librarians bahwa yang dilindungi hak cipta adalah ekspresinya dari sebuah ide, jadi bukan melindungi idenya itu sendiri. Artinya, yang dilindungi hak cipta adalah sudah dalam bentuk nyata sebagai sebuah ciptaan, bukan masih merupakan gagasan.10
Sedangkan apabila mengacu pada Pasal 40 ayat (1) Undang-Undang Hak Cipta, maka ciptaan yang mendapat perlindungan hukum ada dalam lingkup seni, sastra, dan ilmu pengetahuan. Dari tiga lingkup tersebut Undang-Undang Hak Cipta
8 CAL (Copyright Agency Ltd), Copyright Information Sheet, Copyright Agency Ltd, 2nd Edition, Sydney: 2000, hlm. 12.
9 Tim Lindsley,dkk, Hak Kekayaan Intelektual Suatu Pengantar, Alumni, Bandung, 2006, hlm. 105.
10 Rachmadi Usman, Op.Cit., hlm. 121.
merinci lagi, meliputi bidang ilmu pengetahuan, seni, dan sastra, yang terdiri atas sembilan belas jenis.
Adapun kesembilan belas jenis tersebut, yaitu buku, pamflet, perwajahan karya tulis yang diterbitkan, dan semua hasil karya tulis lainnya. Adapun jenis lainnya seperti ceramah, kuliah, pidato, dan ciptaan sejenis lainnya, alat peraga yang dibuat untuk kepentingan pendidikan dan ilmu pengetahuan, Lagu dan atau musik dengan atau tanpa teks, drama, drama musikal, tari, koreografi, pewayangan, dan pantomime. Sedangkan karya seni rupa yang termasuk dalam segala bentuk seperti lukisan, gambar, ukiran, kaligrafi, seni pahat, patung, atau kolase, karya seni terapan, karya arsitektur, peta, karya seni batik atau seni motif lain, karya fotografi, potret, karya sinematografi juga dilindungi dengan Hak Cipta. Terjemahan, tafsir, saduran, bunga rampai, basis data, adaptasi, aransemen, modifikasi dan karya lain dari hasil transformasi, Terjemahan, adaptasi, aransemen, transformasi, atau modifikasi ekspresi budaya tradisional, Kompilasi ciptaan atau data, baik dalam format yang dapat dibaca dengan program komputer maupun media lainnya, Kompilasi ekspresi budaya tradisional selama kompilasi tersebut merupakan karya yang asli, Permainan video dan Program komputer pun tak luput sebagai objek perlindungan Hak Cipta.
3. Karakteristik dan Prinsip Hak Cipta
Dalam tulisannya Imam Trijono berpendapat bahwa Hak Cipta tidak hanya mempunyai arti bahwa si pencipta dan hasil ciptaannya yang mendapat perlindungan hukum, namun termasuk juga perluasan ini memberikan perlindungan kepada yang diberi kepada yang diberi kuasa pun kepada pihak yang
menerbitkan terjemah daripada karya yang dilindungi oleh perjanjian ini.
Sedangkan berdasarkan Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 Tentang Hak Cipta disebutkan bahwa Hak cipta adalah hak eksklusif pencipta yang timbul secara otomatis berdasarkan prinsip deklaratif setelah suatu ciptaan diwujudkan dalam bentuk nyata tanpa mengurangi pembatasan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Maka dari konsep-konsep dasar tersebut dapat disimpulkan bahwa Hak Cipta memiliki sifat-sifat sebagai berikut:11
a) Hak Cipta adalah hak eksklusif
Dari definisi Hak Cipta dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 disebutkan bahwa Hak Cipta adalah hak eksklusif, dianggap sebagai sebuah hak eksklusif karena hak cipta hanya diberikan kepada pencipta atau pemilik, termasuk juga pemegang hak. Dan orang lain tidak dapat memanfaatkannya atau dilarang menggunakannya kecuali atas izin pencipta selaku pemilik hak, atau orang yang menerima hak dari pencipta tersebut (pemegang hak). Namun, bagi pemegang Hak Cipta yang bukan pencipta hanya memiliki sebagian dari hak eksklusif tersebut yang hanya berupa hak ekonominya saja.
b) Hak Cipta berkaitan dengan kepentingan umum
Meski Hak cipta diberikan sebagai sebuah hak eksklusif, namun tetap dalam penggunaannya terdapat batasan-batasan tertentu. Dimana Hak Cipta juga harus memperhatikan kepentingan masyarakat atau umum yang juga turut memanfaatkan ciptaan seseorang. Secara umum, Hak Cipta atas suatu ciptaan tertentu yang dinilai penting demi kepentingan umum dibatasi penggunaannya
11 Suyud Margono, Aspek Hukum Komersialisasi Aset Intelektual, Nuansa Aulia, Bandung, 2010, hlm 14-15.
sehingga terdapat keseimbangan yang serasi antara kepentingan individu dan kepentingan masyarakat (kepentingan umum). Yang dimaksud sebagai kepentingan umum disini, yaitu kepentingan pendidikan, ilmu pengetahuan, dan kegiatan penelitian dan pengembangan. Apabila negara memandang perlu, maka negara dapat mewajibkan pemegang hak cipta untuk menerjemahkan atau memperbanyaknya atau pemegang hak cipta dapat memberi izin kepada pihak lain untuk melakukannya.
c) Hak Cipta dapat beralih maupun dialihkan
Seperti halnya bentuk-bentuk benda bergerak lainnya, Hak Cipta juga dapat beralih maupun dialihkan, baik sebagian maupun dalam keseluruhannya.
Pengalihan dalam Hak Cipta ini dikenal dengan dua macam cara, yaitu dalam bentuk ‘transfer’ yang merupakan pengalihan Hak Cipta yang berupa pelepasan hak kepada pihak/ orang lain, misalnya karena pewarisan, hibah, wasiat, perjanjian tertulis, dan sebab-sebab lain yang dibenarkan oleh peraturan perundang- undangan. Dan ‘assignment’ yaitu sebuah pengalihan Hak Cipta dari suatu pihak kepada pihak lain berupa pemberian izin/ persetujuan untuk pemanfaatan Hak Cipta dalam jangka waktu tertentu, misalnya perjanjian lisensi.
4. Sifat Kebendaan Hak Cipta
Menurut Pasal 499 BW yang termasuk dalam kategori kebendaan adalah tiap-tiap barang maupun tiap-tiap hak yang dapat dikuasai oleh hak milik.
Sedangkan berdasarkan Pasal 504 BW, penggolongan benda dapat dibedakan menjadi dua, yaitu benda bergerak dan benda tidak bergerak. Lalu benda bergerak dikategorikan lagi menjadi dua golongan, yaitu benda bergerak karena sifatnya dan benda bergerak karena ketentuan undang-undang. Salah satu bagian dari hak
absolut adalah hak kebendaan. Sedangkan hak absolut lainnya yang tidak disebutkan dalam BW, antara lain Hak Cipta, Hak Merek, dan Paten.
Dalam bahasa Belanda hak kebendaan disebut dengan zakelijk recht. Prof.
Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, memberikan rumusan tentang hak kebendaan sebagai hak mutlak atas suatu benda di mana hak itu memberikan kekuasaan langsung atas suatu benda dan dapat dipertahankan terhadap siapa pun juga. Hak kebendaan diartikan sebagai hak mutlak maksudnya adalah absolut yang dapat dipertentangkan atau dihadapkan dengan hak relatif, hak nisbi atau biasanya disebut juga persoonlijk atau hak perorangan. Hak yang disebut terakhir ini hanya dapat dipertahankan terhadap orang tertentu, tidak terhadap semua orang seperti pada hak kebendaan12
Ada beberapa ciri pokok yang membedakan hak kebendaan ini dengan hak relatif atau perorangan, yaitu13: Hak kebendaan bersifat mutlak, artinya dapat dipertahankan terhadap siapapun juga. Sedangkan hak perorangan hanya dapat dipertahankan kepada pihak yang terlibat dalam perjanjian.
Hak kebendaan memiliki hak yang mengikuti (droit de suit). Berarti hak tersebut akan terus mengikuti bendanya di tangan siapapun benda tersebut berada.
Sedangkan pada hak perorangan, hak tersebut adalah terhadap seseorang. Dengan berpindahnya hak atas benda, maka hak perorangan menjadi berhenti. Hak kebendaan yang terjadi lebih dulu memiliki kedudukan yang lebih tinggi dibanding hak kebendaan yang terjadi setelahnya. Sedangkan pada hak perorangan, hak
12 OK. Saidin, Op.Cit, 2004, hlm. 49.
13 Komariah, Hukum Perdata, UMM Press, Malang, 2002, hlm. 92-93.
perorangan yang lebih dulu maupun terjadi belakangan memiliki kedudukan yang sama.
Dalam Hak kebendaan dikenal juga hak untuk didahulukan (droit de preference), yaitu seseorang yang memiliki hak kebendaan berhak untuk memperoleh pemenuhan haknya lebih dulu dibanding pihak lain. Sedangkan pada hak perorangan, pemenuhannya dilakukan secara proporsional. Selain itu seseorang yang memiliki hak kebendaan berhak untuk mengajukan gugatan terhadap siapapun yang mengganggu haknya. Gugatan ini disebut gugat kebendaan. Sedangkan pada hak perorangan gugatan hanya dapat diajukan terhadap pihak lawannya. Gugatan ini disebut gugat perorangan. Pemilik hak kebendaan bebas untuk memindahkan hak kebendaannya. Sedangkan pada hak perorangan upaya untuk memindahkan hak perorangan dibatasi. Mariam Darus Badrulzaman berpendapat, yang dimaksud dengan hak kebendaan yang sempurna itu adalah hanya hak milik, sedangkan selebihnya termasuk dalam kategori hak kebendaan yng terbatas.14
Maka kaitannya dengan Hak Cipta, dapat dikatakan bahwa sesuai dengan ketentuan Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Hak Cipta. Sebuah Hak Cipta mempunyai sifat kebendaan. Hal ini didasarkan atas kesimpulan dari pengertian Hak Cipta. Dimana Hak Cipta adalah hak eksklusif pencipta yang timbul secara otomatis berdasarkan prinsip deklaratif setelah suatu ciptaan diwujudkan dalam bentuk nyata tanpa mengurangi pembatasan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Dalam Hak Cipta terkandung ide dan pengertian hak milik.
Apabila dibandingkan dengan “hak milik” maka hak cipta berlaku sesuai dengan
14 OK. Saidin, Op.Cit, 1996, hlm.25.
jenis ciptaan diatur dalam Pasal 57 sampai dengan Pasal 61 Undang-Undang Hak Cipta.
Berdasarkan sifat kebendaanya, Hak Cipta merupakan hak milik immaterial, yaitu suatu hak milik yang objek haknya adalah benda tidak berwujud (benda tidak bertubuh). Hak cipta memberikan hak untuk menyita benda yang diumumkan bertentangan dengan Hak Cipta itu, serta perbanyakan yang tidak diperbolehkan dengan cara dan dengan memerhatikan ketentuan yang ditetapkan untuk penyitaan barang bergerak, baik untuk penyerahan benda tersebut menjadi miliknya, ataupun menuntut supaya benda itu dimusnahkan atau dirusak sehingga tidak dapat dipakai lagi dan sebagainya.15
Dengan demikian, dalam Hak Cipta terdapat konsep hak milik, dengan artian hak itu dapat dipertahankan terhadap siapa saja yang mengganggu, dan di negara-negara lain pun hak cipta dipandang sebagai property (hak milik). Pemilik dari Hak Cipta adalah Pencipta. Hal ini sesuai dengan Pasal 1 angka 4 Undang- Undang Hak Cipta yaitu Pemegang Hak Cipta adalah Pencipta sebagai pemilik Hak Cipta, pihak yang menerima hak tersebut secara sah dari Pencipta, atau pihak lain yang menerima lebih lanjut hak dari pihak yang menerima hak tersebut secara sah.
Apabila pencipta tidak dapat melaksanakan sendiri haknya tersebut, maka dapat dilakukan pengalihan kepada orang lain melalui suatu perjanjian.
5. Hak Ekonomi dan Hak Moral yang Terkandung dalam Hak Cipta
15 Sophar Maru Hutagalung, Hak Cipta Kedudukan & Peranannya dalam Pembangunan, Sinar Grafika, Jakarta, 2012, hlm.17.
Menurut Hutahuruk terdapat dua unsur penting yang ada dalam rumusan pengertian Hak Cipta dalam Undang-undang Hak Cipta di Indonesia, yakni16 sebuah Hak Ekonomi yang dapat dipindahkan, dialihkan kepada pihak lain. Dan juga Hak Moral yang dalam keadaan bagaimanapun, dan dengan jalan apapun tidak dapat ditinggalkan daripadanya (mengumumkan karyanya, menetapkan judulnya, mencantumkan nama sebenarnya atau nama samarannya dan mempertahankan keutuhan atau integritas ceritanya.
Yang dimaksud sebagai Hak ekonomi dalam Hak Cipta adalah sebuah hak untuk mengeksploitasi karya cipta yang dilindungi tersebut, termasuk juga hak untuk mengumumkan dan memperbanyak suatu Ciptaan, sedangkan hak moral merupakan hak yang berisi larangan untuk melakukan perubahan terhadap isi ciptaan, judul ciptaan, nama pencipta, dan ciptaan itu sendiri.17
Hak Moral yang terkandung dalam Hak Cipta adalah hak pencipta mengklaim sebagai pencipta untuk mengajukan keberatan terhadap setiap perbuatan yang bermaksud mengubah, mengurangi, atau menambah keaslian ciptaannya (any mutilation or deformation or other modification or other derogatory action) yang dapat meragukan kehormatan dan reputasi pencipta (author’s honor or reputations).
Sedangkan dalam bukunya Le Droit d’auteur, Debois berpendapat bahwa sebagai suatu doktrin hak moral seorang pencipta mengandung empat makna, yaitu Droit de publication hak untuk melakukan atau tidak melakukan pengumuman
16 OK Saidin, Op.Cit, 2006, hlm. 60.
17 Budi Agus Riswandi, Hak cipta di internet: aspek hukum dan permasalahannya di Indonesia, FH UII Press, Yogyakarta, 2009, hlm. 187.
ciptaanya, Droit de repentier hak untuk melakukan perubahan-perubahan yang dianggap perlu atas ciptaannya dan hak untuk menarik dari peredaran ciptaan yang telah diumumkan, Droit au respect hak untuk tidak menyetujui dilakukannya perubahan-perubahan atas ciptaannya oleh pihak lain dan yang terahkir adalah Droit a la paternite hak untuk mencantumkan nama pencipta, hak untuk tidak menyetujui perubahan atas nama pencipta yang akan dicantumkan, dan hak untuk mengumumkan sebagai pencipta setiap waktu yang diinginkan.18
Pengertian lain dari Hak Moral diatur dalam Article 6 bis Berne Convention, yang secara garis besar menyatakan bahwa pencipta mempunyai hak untuk menuntut hasil ciptaannya dan dapat mengajukan keberatan atas segala penyimpangan, pemotongan atau perubahan lain atau tindakan-tindakan yang dapat menurunkan kualitas dari suatu karya sehingga dapat merusak reputasi dari pencipta.19
Tardapat dua prinsip utama dalam Hak Moral, yaitu20 sebuah hak untuk diakui dari karya dimana pencipta memiliki hak untuk dipublikasikan sebagai pencipta atas karyanya,hal ini bertujuan untuk mencegah pihak lain mengaku sebagai pencipta atas karya tersebut. Yang kedua adalah hak keutuhan yaitu, hak untuk mengajukan keberatan atas penyimpangan atas karyanya atau perubahan lain atau tindakan-tidakan lain yang dapat menurunkan kualitas ciptaannya.
6. Pendaftaran Hak Cipta
18 A. Komen, et al compendium van het Auterrsrecht. Kluwer Deventer, 1970, hlm 7.
19 H. OK. Saidin, Op. Cit, 2004, hlm. 210.
20 Suyud Margono, 2003, hlm. 49.
Menurut Prof. Kollewijn ada dua jenis cara atau stelsel pendaftaran Hak Cipta, yaitu:21 melalui Stelsel konstitutif, berarti bahwa hak atas ciptaan baru terbit karena pendaftaran yang telah mempunyai kekuatan. Dan Stelsel deklaratif, berarti bahwa pendaftaran itu bukanlah menerbitkan hak, melainkan hanya memberikan dugaan atau sangkaan saja menurut undang-undang bahwa orang yang hak ciptanya terdaftar itu adalah si pemegang hak atas ciptaan tersebut.
Pada dasarnya sebuah Hak Cipta didapatkan secara deklaratif dimana dalam mendapatkan perlindungan terhadap Hak Cipta tidak ada keharusan dalam untuk mendaftarkan untuk di diakui haknya, namun pendaftaran tersebut hanya sebagai keperluan belaka, ada kriteria perolehan hak (Criteria of egibility) yang diakui tetap berlaku berdasarkan Article 1 (3) bis TRIPs yang pemberlakuannya harus tetap berlandaskan Article 3 (1) TRIPs yang menentukan, selanjutnya Articles 3 BIS menetapkan bahwa perlindungan Hak Cipta diberikan berdasarkan :22
a) Nationality of author (Kewarganegaraan pencipta);
b) Place of publication work (Tempat penerbitan) c) Residence of author (Domisili pencipta) d) Publised work (ciptaan yang diterbitkan)
e) Simoltaneously published works (Ciptaan yang diterbitkan secara simoltan)
Stelsel konstitutif dikenal juga sebagai proses pendaftaran Hak Cipta pada pihak atau lembaga yang sudah ditentukan berdasarkan undang-undang. Jika
21 OK Saidin, Op.Cit, 2004, hlm. 89.
22 Rahmi jened, Hak Kekayaan intelektual Penyalahgunaan Hak Eklusif/ Rahmi Jened-cet, 2, Airlangga University Press, Surabaya, 2010, Hlm72.
didaftarkan, hak cipta tersebut diakui keberadaannya secara de jure dan de facto.
Namun, sekalipun hak cipta tersebut telah didaftarkan, Undang-Undang hanya mengakui solah-olah yang bersangkutan sebagai pemiliknya, secara de jure harus dibuktikan lagi, jika ada orang lain yang menyangkal hal tersebut. Sedangkan seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya untuk stelsel deklaratif menititik berat kan pengakuan hak pada ciptaan tersebut pada anggapan sebagai pencipta terhadap hak yang didaftarkan itu, sampai orang lain dapat membuktikan sebaliknya.23 Berikut proses skema pendaftaran Hak cipta
7. Jangka Waktu Perlindungan Hak Cipta
Masa perlindungan hak cipta diatur lebih lanjut dalam Undang-Undang No 28 Tahun 2014 Tentang Hak Cipta. Dimana lama dan cepatnya periode pengaturnya cenderung bersifat variatif. Masa perlindungan tersebut dibagi kedalam beberapa
23 OK Saidin, Op.Cit, 2004, hlm. 90.
Pasal, sedangkan yang berhubungan dengan masa berlaku Hak moral suatu ciptaan diatur dalam Pasal 57 ayat (1) yang berisi : “hak moral pencipta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf a, huruf b, dan huruf e berlaku tanpa batas waktu.” Lalu lebih lanjut dijelaskan pada Pasal 57 ayat (2) dimana “hak moral pencipta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf c dan huruf d berlaku selama berlangsungnya jangka waktu Hak Cipta atas ciptaan yang bersangkutan.”
Masa berlaku hak ekonomi terdapat dalam beberapa pasal, yaitu Pasal 58 ayat (1), (2), (3), Pasal 59 Ayat (1), (2), Pasal 60 Ayat (1), (2), (3) dan Pasal 63 Ayat (1), (2). Dan dapat dibedakan menjadi 3 bagian bila dilihat dari objeknya : a) Pasal 58 ayat (1) yang berisi “perlindungan hak cipta atas ciptaan : a. Buku,
pamflet, dan semua hasil karya tulis lainnya; b. Ceramah, kuliah, pidato, dan ciptaan sejenis lainnya; c. Alat peraga yang dibuat untuk kepentingan pendidikan dan ilmu pengetahuan; d. Lagu atau musik dengan atau tanpa teks; e. Drama, drama musikal, tari, koreografi, pewayangan, dan pantomim; f. Karya seni rupa dalam segala bentuk seperti lukisan, gambar, ukiran, kalifrafi, seni pahat, patung atau kolase; g. Karya arsitektur; h.
Peta; dan i. Karya seni batik atau seni motif lain, berlaku selama hidup pencipta dan terus berlangsung selama tujuh puluh tahun sesudahnya, terhitung mulai tanggal 1 Januari tahun berikutnya.”
b) Pasal 59 Ayat (1) yang berisi: “perlindungan hak cipta atas ciptaan: a.
Karya fotografi; b. Potret; c. Karya sinematografi; d. Permainan video; e.
Program komputer; f. Perwajahan karya tulis; g. Terjemahan, tafsir, saduran, bunga rampai, basis data, adaptasi, aransemen, modifikasi dan
kaya lain dari hasil transformasi; h. Terjemahan, adaptasi,aransemen, transformasi, atau modifikasi ekspresi budaya tradisional; i. Kompilasi ciptaan, atau data, baik dalam format yang dapat dibaca dengan program komputer atau media lannya; dan j. Kompilasi ekspresi budaya tradisional selama kompilasi tersebut merupakan karya yang asli, berlaku selama lima puluh tahun sejak pertama kali dilakukan pengumuman.”
c) Pasal 60 Ayat (1) yang berisi: “Hak Cipta atas ekspresi budaya tradisional yang dipegang oleh negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 ayat (1) berlaku tanpa batas waktu.
8. Pengalihan Hak Cipta
Dengan status Hak Cipta dipandang sebagai benda bergerak maka menimbulkan konsekuensi layaknya sifat benda bergerak lainnya. Vollmar menuliskan untuk diadakannya penyerahan benda bergerak dapat dilakukan pemberian secara nyata, sedangkan untuk benda tidak bergerak penyerahannya dilakukan dengan akte pendaftaran.24
Berkaitan dengan Hak Cipta pengalihannya tidak dapat dilakukan secara nyata karena sifat manunggalnya dengan pencipta dan bersifat tidak berwujud, sehingga penyerahannya hanya dapat dilakukan melalui surat pencatatan.25 Hal ini juga berhubungan dengan mengapa Hak Cipta tidak dapat di jaminkan melalui gadai. Menurut Salim, sifat manunggal dari Hak Cipta yang menyebabkan Hak Cipta tidak dapat digadaikan, karena apabila digadaikan itu berarti si pencipta harus pula ikut beralih ke tangan kreditor. Sesuai dengan peraturan gadai yang
24 Ibid, 2013, hlm. 66.
25 Lihat Pasal 16 ayat (1) UU Hak Cipta Tahun 2014.
mengalihkan objeknya ke tangan pihak kreditor. Sedangkan hipotek hanya dapat dilakukan terhadap objek benda tidak bergerak, dimana bendanya tetap berada ditangan debitor.26
Pada Hak Cipta pengalihan hak nya dapat beralih baik sebagian maupun seluruhnya. Pasal 16 ayat (2) Undang-Undang Hak Cipta menyebutkan bahwa Hak Cipta dapat beralih atau dialihkan, baik seluruh maupun sebagian melalui pewarisan, hibah, wakaf, wasiat, perjanjian tertulis, atau sebab lain yang dibenarkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Sedangkan pada penjelasan Pasal l6 ayat (2) dijabarkan kembali bahwa yang dimaksud dengan
"dapat beralih atau dialihkan" hanyalah hak ekonomi, sedangkan hak moral tetap melekat pada diri pencipta. Selain itu pengalihan Hak Cipta harus dilakukan secara jelas dan tertulis baik dengan atau tanpa akte notaris.
Pada Pasal 17 ayat (1) Undang-Undang Hak Cipta Tahun 2014 juga disebutkan bahwa, “Hak ekonomi atas suatu Ciptaan tetap berada di tangan Pencipta atau Pemegang Hak Cipta selama Pencipta atau Pemegang Hak Cipta tidak mengalihkan seluruh hak ekonomi dari Pencipta atau Pemegang Hak Cipta tersebut kepada penerima pengalihan hak atas Ciptaan.” Sedangkan pada Pasal 17 ayat (2), diatur ketentuan bahwa Hak ekonomi yang dialihkan Pencipta atau Pemegang Hak Cipta untuk seluruh atau sebagian tidak dapat dialihkan untuk kedua kalinya oleh Pencipta atau Pemegang Hak Cipta yang sama.
Pasal 18 Undang-Undang Hak Cipta Tahun 2014 mengatur mengenai jangka waktu pengalihan kembali Hak Cipta atas ciptaan buku, dan/atau semua
26 Ibid, hlm. 66.
hasil karya tulis lainnya, lagu dan/atau musik dengan atau tanpa teks yang dialihkan dalam perjanjian jual putus dan/atau pengalihan tanpa batas waktu. Hak Ciptanya beralih kembali kepada Pencipta pada saat perjanjian tersebut mencapai jangka waktu 25 tahun. Maka dapat dikatakan bahwa Hak Cipta dapat diperjual-belikan.
Namun Pasal tersebut melindungi pencipta dari sistem jual putus (sold flat). Jual putus disebutkan pada Pasal 18 Undang-Undang Hak Cipta Tahun 2014, Yang kemudian dijelaskan lebih lanjut pada penjelasan Pasal tersebut sebagai sebuah perjanjian yang mengharuskan Pencipta menyerahkan Ciptaannya melalui pembayaran lunas oleh pihak pembeli sehingga hak ekonomi atas Ciptaan tersebut beralih seluruhnya kepada pembeli tanpa batas waktu, atau dalam praktik dikenal dengan istilah sold flat.
9. Lisensi
Perjanjian lisensi merupakan salah satu cara peralihan Hak Cipta yang tergolong dalam peralihan sebagian dan bukan peralihan seluruhnya. Hal ini didasarkan pada bunyi Pasal 82 ayat (3) Undang-Undang Hak Cipta Tahun 2014 dimana perjanjian lisensi dilarang menjadi sarana untuk menghilangkan atau mengambil alih seluruh hak Pencipta atas ciptaannya.
Lisensi adalah izin tertulis yang diberikan oleh Pemegang Hak Cipta atau Pemilik Hak Terkait kepada pihak lain untuk melaksanakan hak ekonomi atas ciptaannya atau produk Hak Terkait dengan syarat tertentu. Seorang Pencipta bisa memberikan lisensi atas lagunya kepada pihak lain. Dengan memberikan lisensi, Pencipta lagu mendapatkan royalti. Yang dimaksud dengan Royalti dalam Pasal 1 angka 21 Undang-Undang No 28 tahun 2014 tentang Hak Cipta adalah imbalan atas
pemanfaatan Hak Ekonomi suatu Ciptaan atau Produk Hak Terkait yang diterima oleh Pencipta atau pemilik hak terkait.
10. Jaminan Fidusia di Indonesia
Lembaga fidusia pertama kali lahir di Indonesia setelah mendapat pengakuan oleh Belanda. Lembaga Jaminan Fidusia sesungguhnya sudah dikenal dan digunakan oleh masyarakat hukum Romawi, dimana dalam hukum Romawi lembaga jaminan ini dikenal dengan nama Fiducia cum creditore contracta (janji kepercayaan yang dibuat dengan kreditor). Dalam perjanjian itu disebutkan bahwa debitor akan mengalihkan kepemilikan atas suatu benda kepada kreditornya sebagai jaminan untuk utangnya dengan kesepakatan bahwa debitor tetap akan menguasai secara fisik benda tersebut dan bahwa kreditor akan mengalihkan kembali kepemilikan tersebut kepada debitor apabila utangnya sudah dibayar lunas. Selain itu dikenal juga suatu lembaga titipan yang dikenal dengan nama fiducua cum amico contracta (artinya, janji kepercayaan yang dibuat dengan teman). Lembaga ini dikenal dalam sistem hukum Anglo-Amerika (Common Law)
Lembaga jaminan fidusia sebagaimana yang dikenal sekarang dalam bentuk ‘fiduciaire eigendomsoverdracht’ atau ‘FEO’ (pengalihan hak milik secara kepercayaan) timbul atas dasar ketentuan dalam pasal 1152 ayat 2 KUH Perdata tentang gadai yang mensyaratkan bahwa kekuasaan atas benda yang digadaikan tidak boleh berada pada pemberi gadai. Larangan tersebut membuat pemberi gadai tidak dapat mempergunakan lembaga FEO, yang kemudian diakui oleh jurisprudensi Belanda dalam Arrest Hoge Raad tanggal 25 Januari 1929 yang dikenal dengan nama ‘Bierbrouwerij-arrest’, di Indonesia lembaga FEO tersebut
diakui oleh Jurisprudensi berdasarkan Arrest Hooggerechtshof tanggal 18 Agustus 1932 (BPM vs Clynett).
11. Konsep Jaminan Fidusia
Prinsip utama dan Jaminan Fidusia adalah sebagai berikut, yaitu bahwa secara riil, pemegang fidusia hanya berfungsi sebagai pemegang jaminan saja, bukan sebagai pemilik yang sebenarnya. Hak pemegang fidusia untuk mengeksekusi barang jaminan baru ada apabila ada wanprestasi dari pihak debitor.
Apabila hutang sudah dilunasi, maka objek Jaminan Fidusia harus dikembalikan kepada pihak pemberi fidusia. Dan yang terahkir apabila hasil penjualan (eksekusi) barang fidusia melebihi jumlah hutangnya, maka sisa hasil penjualan harus dikembalikan kepada pemberi fidusia. 27
Dalam perjanjian fidusia, berpiutang melalui penyerahan secara constituutm possessorium tetap menguasai barang jaminan, artinya pengalihan hak kepemilikan atas suatu benda dengan melanjutkan penguasaan atas benda tersebut yang berakibat bahwa pemberi fidusia seterusnya akan menguasai benda dimaksud untuk kepentingan penerima jaminan fidusia. Namun, pengalihan hak kepemilikan yang dimaksud disini berbeda dari pengalihan hak milik sebagaimana dimaksud dalam pasal 584 jo pasal 612 ayat 1 KUHPerdata, dalam hal jaminan fidusia pengalihan hak kepemilikan dimaksud semata-mata sebagai jaminan/agunan bagi pelunasan utang28, bukan untuk seterusnya dimiliki oleh Penerima Fidusia.
27 Sri Soedewi Maschjoen Sofwan, Hukum Jaminan Di Indonesia Pokok-Pokok Hukum Jaminan Dan Jaminan Perorangan, Liberty Yogyakarta, Yogyakarta, 1997, hlm. 27.
28 Lihat Pasal 1 butir 2 dan Pasal 33 UU Fidusia.
Berbeda dengan pignus (gadai) yang mengharuskan penyerahan secara fisik benda yang digadaikan, dalam hal fiducua cum creditore pemberi fidusia tetap menguasai benda yang menjadi objek fidusia, dengan tetap menguasai benda tersebut pemberi fidusia dapat menggunakan benda dimaksud dalam menjalankan usahanya. Penguasaan yang dimaksud dalam perjanjian ini dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu yang pertama apabila yang difidusiakan adalah barang-barang inventaris maka berpiutang menguasai barang jaminan atas dasar perjanjian pinjam pakai dengan kreditur. Sedangkan yang kedua kalau yang difidusiakan adalah barang-barang dagangan maka debitur menguasai barang jaminan atas dasar konsinyasi (consignatie) atau penitipan. Apabila pada bentuk yang pertama (pinjam pakai) debitur tidak diberi kekuasaan untuk mengalihkan atau menjual barang jaminan sedangkan pada bentuk yang kedua ia diberi kekuasaan untuk itu akan tetapi hasil penjualan sebagian atau seluruhnya (menurut yang diperjanjikan) harus disetorkan kepada kreditur.
Kreditur dalam suatu perjanjian utang-piutang dengan jaminan fidusia dalam melakukan perjanjian tidak mungkin untuk menyelidiki terlebih dahulu apakah debitur benar-benar pemilik dari barang tersebut. Yaitu, orang yang dapat bertindak bebas atas barang-barang yang dijaminkan itu, terutama karena barang- barang yang dijaminkan itu berupa barang bergerak. Kreditur dalam hal ini hanya dapat meminta kepada debitur untuk berjanji bahwa ia adalah benar-benar orang yang berhak untuk berbut bebas atas barang yang dijaminkan itu. Dan selaku peminjam pakai suatu barang debitur secara umum berkewajiban memelihara barangnya sendiri. Kewajiban lain ialah bahwa pada barang-barang inventaris ia
harus menjaga agar jumlahnya tidak berkurang, sedangkan pada barang-barang perdagangan ia harus menjaga agar sisa barang tersebut melebihi nilai kredit yang masih tersesi, sampai jumlah tertentu sesuai dengan apa yang diperjanjikan.
Hak pemegang fidusia untuk mengeksekusi barang jaminan baru ada apabila ada wanprestasi dari pihak debitor. Apabila hutang sudah dilunasi, maka objek jaminan fidusia harus dikembalikan kepada pihak pemberi fidusia. Dan yang terahkir apabila hasil penjualan (eksekusi) barang fidusia melebihi jumlah hutangnya, maka sisa hasil penjualan harus dikembalikan kepada pemberi fidusia.29
12. Objek dan Subjek Jaminan Fidusia
Pada Undang-undang Fidusia telah disebutkan bahwa yang dapat dikategorikan sebagai obyek jaminan fidusia adalah segala benda yang dapat dimiliki dan hak kepemilikan atasnya dapat dialihkan, baik benda itu berwujud maupun tidak berwujud, terdaftar maupun tidak terdaftar, bergerak maupun tidak bergerak namun dengan syarat bahwa benda tersebut tidak dibebani dengan hak tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan atau hipotek sebagaimana dimaksud dalam Pasal 314 ayat 3 KUH Dagang Jis Pasal 1162 dst KUH Perdata30.
Selain itu dalam Undang-Undang Jaminan Fidusia juga diatur bahwa tidak hanya benda yang dimiliki pada saat dibuatnya Jaminan Fidusia saja yang dapat dijadikan jaminan, namun yang diperoleh kemudian dapat dibebani dengan jaminan fidusia31, yang berarti bahwa benda tersebut demi hukum akan menjadi milik
29 Sri Soedewi Maschjoen Sofwan, Op.Cit.
30 Lihat Pasal 1 butir 2 dan 4 dan Pasal 3 UU Fidusia.
31 Lihat Pasal 9 ayat (1) UU Fidusia.
Pemberi fidusia, berkenaan dengan pembebanan Jaminan Fidusia atas benda, termasuk piutang yang diperoleh kemudian. Diaman dalam Undang-Undang Fidusia juga ditetapkan bahwa tidak perlu dibuat perjanjian jaminan fidusia tersendiri.32
Berkaitan dengan sudah dilakukannya pengalihan hak kepemilikan
“sekarang untuk nantinya” atas benda tersebut dimungkinkan pembebanan jaminan fidusia atas benda yang diperoleh kemudian sangat membantu dan menunjang pembiayaan pengadaan/pembelian persediaan (stock) bahan baku dan bahan penolong, khusus mengenai hasil dari benda yang menjadi obyek jaminan fidusia, UU Fidusia mengatur bahwa jaminan fidusia meliputi hasil tersebut, demikian pula Jaminan Fiduisa meliputi klaim asuransi33, sehingga klaim asuransi tersebut akan menggantikan benda yang menjadi obyek Jaminan Fidusia bilamana benda tersebut musnah.34 Ketentuan serupa juga terdapat dalam Pasal 11 ayat (2) i Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan dan Pasal 297 KUH Dagang berkenaan dengan hipotek.
Sedangkan yang dimaksud subjek dalam perjanjian fidusia adalah orang perorang atau korporasi pemilik benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia, sedangkan penerima fidusia adalah orang atau perorangan yang mempunyai piutang yang pembayarannya dijamin dengan Jaminan Fidusia.
13. Pengikatan Objek Jaminan Fidusia
32 Lihat Pasal 9 ayat (2) UU Fidusia.
33 Lihat Pasal 10 UU Fidusia.
34 Lihat Pasal 25 ayat (2) UU Fidusia.
Sifat sebuah Jaminan Fidusia merupakan perjanjian ikutan dari suatu perjanjian pokok yang memberikan kewajiban bagi para pihak yang terikat didalamnya untuk memenuhi suatu prestasi. Berdasarkan Pasal 11 sampai dengan Pasal 18 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia disebutkan bahwa dalam proses pembebanannya benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia wajib didaftarkan. Pendaftaran dilakukan pada Kantor Pendaftaran fidusia. yang berada dalam lingkup tugas Departemen Kehakiman.35 Pendaftaran tersebut dilakukan melalui pembuatan akta notaris dalam bahasa Indonesia. Dimana berupa akta Jaminan Fidusia yang di dalamnya sekurang-kurangnya memuat, identitas pihak pemberi dan penerima fidusia, data perjanjian pokok yang dijamin fidusia, uraian mengenai benda yang menjadi obyek Jaminan Fidusia, nilai penjaminan, dan nilai benda yang menjadi jaminan.36
14. Konten Pada Laman Youtube
Seperti yang telah dijelaskan dalam Undang-Undang Hak Cipta sebelumnya, yang menjadi salah-satu objek ciptaan yang dilindungi Hak Cipta adalah karya sinematografi. Menurut penjelasan Pasal 40 ayat (1) huruf m UU Hak Cipta, karya sinematografi adalah salah satu contoh bentuk audiovisual, yaitu ciptaan yang berupa gambar bergerak (moving images) antara lain film dokumenter, film iklan, reportase atau film cerita yang dibuat dengan skenario, dan film kartun.
Sebuah karya sinematografi dapat dibuat dalam bentuk pita seluloid, pita video,
35 Lihat Pasal 5,11 dan 12 Undang-Undang Jaminan Fidusia.
36 Salim HS, Pengantar Hukum Perdata Tertulis (BW), Cetakan ketujuh, Sinar Grafika, Jakarta, 2011, hlm. 128-129.
piringan video, cakram optik dan/atau media lain yang memungkinkan untuk dipertunjukkan di bioskop, layar lebar, televisi, atau media lainnya.
Jangka waktu perlindungan hak cipta atas sebuah ciptaan berupa karya sinematografi berlaku selama lima puluh tahun sejak pertama kali dilakukan pengumuman. Yang dimaksud sebagai pengumuman disini adalah pembacaan, penyiaran, pameran, suatu ciptaan dengan menggunakan alat apapun baik elektronik atau non elektronik atau melakukan dengan cara apapun sehingga suatu ciptaan dapat dibaca, didengar, atau dilihat orang lain.
Plaform Youtube menyediakan tempat pada pencipta (creator) untuk mengunggah karyanya salah satunya dalam bentuk konten sinematogafi untuk nantinya dipublikasikan secara daring. Dalam melindungi konten tersebut Youtube telah mengadopsi Digital Millenium Copyright Act yang berfungsi untuk menghindari adanya pelanggaran Hak Cipta, baik berupa plagiarism ataupun penyalah gunaan pemanfaatan konten seorang pencipta Menurut ketentuan pengguna pada laman Youtube setiap pencipta yang mengunggah karyanya dalam situs laman Youtube akan diberikan conten ID sebagai sebuah identitas bahwa ialah pemilik hak cipta atas karya tersebut. Content ID disediakan bagi pemegang Hak Cipta untuk mengidentifikasi dan mengelola kontennya dengan mudah di YouTube.
Platform online tersebut menjaga setiap karya yang diunggah dengan bantuan program database yang menganalisis keautentikasian setiap karya yang di unggah didalamnya. Lalu melaporkan pada sang pemilik Hak Cipta apabila terdapat kesamaan ataupun pelanggaran atas karya ciptanya. Maka secara tidak langsung berdasarkan prinsip deklaratif dan perlindungan hukum pada Undang-Undang Hak
Cipta, sebuah karya sinematografis yang diunggah pada laman Youtube untuk dinikmati secara publik akan dilindungi oleh Hak Cipta.
Seperti yang telah disebutkan dalam ketentuan Pasal 16 ayat (1) Undang- Undang Hak Cipta Tahun 2014 bahwa Hak Cipta merupakan benda bergerak tidak berwujud. Hak Cipta juga termasuk dalam kategori benda bergerak seperti yang telah dinyatakan dalam Undang-Undang seperti yang termuat dalam Pasal 511 KUHPerdata.Sehingga kaitanya dengan jaminan fidusia, sesuai dengan yang telah dijelaskan salam Pasal 1 ayat (4) UndangUndang Fidusia Tahun 1999 bahwa benda yang menjadi objek jaminan fidusia adalah segala sesuatu yang dapat dimiliki dan dialihkan, baik yang berwujud maupun yang tidak berwujud, yang terdaftar maupun yang tidak terdaftar, yang bergerak maupun yang tak bergerak yang tidak dapat dibebani hak tanggungan atau hipotek. Maka dapat dikatakan bahwa Hak Cipta pada suatu karya termasuk dalam benda yang dapat dijadikan objek jaminan fidusia karena sifatnya termasuk kedalam kategori benda bergerak tidak berwujud sesuai yang telah ditentukan oleh Undang-Undang. (Pasal 16 ayat (1) UU Hak Cipta Tahun 2014)
B. Temuan Benda Tidak Berwujud sebagai Objek Jaminan Fidusia
Harus diakui bahwa uraian temuan di bawah ini adalah menyangkut obyek fidusia berupa benda berwujud, dalam hal ini mobil. Hanya saja, seperti telah dikemukakan dalam gambaran studi kepustakaan di atas, yang menjadi pusat perhatian dalam hukum jaminan fidusia adalah hak atas benda. Sehingga tidak ada kesulitan untuk mengemukaan di sini bahwa obyek yang menjadi jaminan fidusia di dalam temuana dalah benda tidak berwujud, dalam hal ini, hak atas mobil.
1. Para Pihak
Putusan 78/Pdt.G/2016/PN.Rap merupakan pertimbangan hakim dalam menyelesaikan perkara cidera jani (wanprestasi) atas perjanjian pembiyayaan konsumen yang didaftarkan di Kepaniteraan Pengadilan Antara PT. Oto Multiartha Cq. PT. Oto Multiartha Cabang Rantauprapat, yang bertempat di Summitmas II Lt.
7 Jl. Jend. Sudirman Kav. 61-62 Jakarta, dan berkantor Cabang di Jalan SM. Raja No. 22 Kel. Bakaran Batu Kec. Rantau Selatan Kab. Labuhan Batu, Yang diwakilkan oleh Kuasanya Yoseph W. Panggabean, SH., Dkk, sebagai Ligitation Officer PT. Oto Multiartha Cabang Rantauprapat yang beralamat di Jalan SM. Raja No. 22 Kel. Bakaran Batu Kec. Rantau Selatan Kab. Labuhan Batu, berdasarkan Surat Kuasa tanggal 02 Agustus 2016.Yang pada putusan ini disebut sebagai Penggugat.
Disisi lain Habibullah Harahap, merupakan pihak tergugat. Yang bertempat tinggal di Desa Panyanggar Kecamatan Padang Sidempuan Utara Kabupaten Kotamadya Padang Sidempuan. Yang pada perkara ini diwakilikan oleh Kuasanya yaitu Pdt. Doritz Bidould Tampubolon, SH., selaku Advokat/ Penasihat Hukum yang berkantor di Komplek Perumahan Puri Kampung Baru Blok C No. 108 Kelurahan Kartini Kec. Rantau Utara Kab. Labuhan Batu, berdasarkan Surat Kuasa Khusus tertanggal 28 September 2016. Perkara ini diajukan atas dasarPutusan No.
12/Pdt.SusBPSK/2016/PN-RAP tanggal 11 April 2016 tanggal 09 Mei 2016 antara PT Oto Multiartha Cq. PT Oto Multiartha Cabang Rantau Prapat Melawan Rahayu dan Putusan Putusan No. 29/Pdt.Sus-BPSK/PN-RAP tanggal 19 Mei 2016 tanggal 6 Juni 2016 antara PT Oto Multiartha Cq. PT Oto Multiartha Cabang Rantau Prapat
Melawan Erwin Ritonga yang menyatakan bahwa permasalahan Hutang Kredit dan/ atau Cidera Janji (wanprestasi) bukan merupakan kewenangan lembaga – lembaga lain selain Pengadilan Negeri.
2. Dasar Gugatan
Putusan ini dibuat berdasarkan gugatan yang didaftarkan di Kepaniteraan Pengadilan Negeri Rantauprapat pada tanggal 04 Agustus 2016 dengan Register Nomor 65/Pdt.G/2016/PN-Rap. Dimana menyatakan bahwa Penggugat (Kreditur) merupakan Perusahaan Pembiayaan Konsumen yang diminta untuk memberikan Pembiayaan kepada Tergugat (Debitur) berdasarkan Perjanjian Pembiayaan Konsumen No. 10-411-13-00278 tanggal 16 Agustus 2013, atas 1 (satu) unit kendaraan dengan merk/type Toyota Kijang Innova Type E STD DIESEL 2,5 M/T keluaran tahun 2015, dengan no mesin/rangka 2KD9537264/
MHFXS41G351501112, no BPKB D8373883H dan no polisi F 1597 BO, atas nama Hernita Langga Sari, SH.
Perjanjian ini disertai pula dengan Akta Jaminan Fidusia No. 157 tanggal 26 Agustus 2013 yang dibuat oleh Notaris Dessy Aryany, S.H., M. Kn., Notaris Labuhan Batu yang bertempat di Sumatera Utara, dan disertai pula dengan adanya Sertifikat Jaminan Fidusia No. W2.151776.AH.05.01 Tahun 2013 yang dikeluarkan oleh Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Kantor Wilayah Sumatera Utara, sesuai dengan Undang-Undang No. 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia. Berdasarkan perjanjian pembiayaan konsumen yang telah ditandatangani dan disepakati langsung oleh Penggugat dengan Tergugat tersebut, maka Tergugat memiliki kewajiban berupa uang yang harus dibayarkan
setiap bulannya sebesar tiga juta tujuh ratus lima puluh ribu rupiah selama tiha puluh enam bulan, dengan jatuh tempo pembayaran tanggal tiga belas setiap bulannya.
Pada tanggal 06 Agustus 2013 penggugat mengeluarkan Surat Persetujuan Pembiayaan dan Pemesanan Barang dan melakukan pembayaran atas satu unit kendaraan yang diajukan oleh Tergugat, kepada Queenza Mobil selaku Showroom Mobil yang ditunjuk oleh Tergugat dengan nilai yang dibayarkan sebanyak delapan puluh sembilan juta tiga belas ribu rupiah setelah Tergugat memenuhi syarat pembayaran ke Showroom Mobil tersebut, termasuk persetujuan penandatanganan dokumen perjanjian pembiayaan No. 10-411-13-00278 Tanggal 06 Agustus 2013.
Perjanjian tersebut didalamnya berisi mengenai hak dan kewajibannya yang harus dibayarkan setiap bulannya oleh Debitor. Sehingga pada hari itu juga unit kendaraan tersebut telah diserahkan oleh Queenza mobil kepada tergugat dalam keadaan baik berdasarkan berita acara serah terima. Atas dasar perjanjian pembiayaan konsumen tersebut, dan sebagai bentuk jaminan atas hutang Tergugat, maka Penggugat mendaftarkan unit kendaraan tersebut sebagai objek Jaminan Fidusia pada Departemen Hukum Dan Hak Asasi Manusia Kantor Wilayah Sumatera Utara berdasarkan Akta Jaminan Fidusia No. 157 tanggal 26 Agustus 2013 yang dibuat oleh Notaris Dessy Aryany, S.H., M. Kn., selaku Notaris Labuhan Batu. Yang dicatatkan pada Sertifikat Jaminan Fidusia No. W2.151776.AH.05.01 Tahun 2013.
Pendaftaran objek Jaminan Fidusia tersebut diberikan oleh Tergugat kepada Penggugat berdasarkan surat kuasa membebankan jaminan secara fidusia
pertanggal 06 Agustus 2013 dimana Tergugat memberikan kewenangan kepada Penggugat berdasarkan point dua yang pada pokoknya menyatakan Penggugat diberikan kewenangan untuk membuat dan menandatangani Akta Jaminan Fidusia berikut penambahan dan/atau perubahannya menurut syarat-syarat dan ketentuan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 42 tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia berikut peraturan peraturan pelaksanaannya yang telah ada/atau akan ada dikemudian hari.
Namun seiring berjalannya waktu Tergugat dianggap memiliki itikad buruk dalam melakasanakan perjanjian pembiyayaan tersebut dengan selalu membayar kewajibannya lewat dari jatuh tempo, hingga akhirnya berhenti membayar angsuran tersebut kepada Penggugat sejak angsuran ke 23 tertanggal 13 Juni 2015 hingga tenor yang diperjanjikan telah habis sampai dengan tanggal 13 Juli 2016 berdasarkan Payment Schedule Paid dan membawa Unit yang menjadi Objek Jaminan Fidusia tersebut tanpa sepengetahuan Penggugat. Sehingga dalam perkara ini Penggugat menyatakan bahwa Tergugat telah melakukan cidera janji (Wanprestasi) seperti yang diatur dalam Pasal 1238 KUHPerdata.
3. Kerugiaan yang Ditimbulkan
Sampai perkara tersebut di daftarkan Penggugat telah mengalami kerugian Materiil atas Kewajiban yang sampai dengan saat ini belum dipenuhi dan/ atau dibayarkan oleh Termohon Keberatan senilai seratus sembilan belas juta dua ratus tiga ribu dua ratus rupiah dari total hutang, denda yang belum dibayar, dan bunga berjalan sebesar 6% pada setiap keterlambatannya oleh Tergugat. Kerugian Immateriil atas adanya kerugian besar bagi kegiatan usaha dan kepentingan usaha
Penggugat dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat dan dunia usaha dalam rangka mencapai target yang ditetapkan serta hilangnya kredibilitas Penggugat dikalangan berbagai dunia usaha, maka kerugian Immateriil yang patut dan layak untuk dikabulkan adalah sebesar satu milyar rupiah.
Selain kedua kerugiaan tersebut Tergugat belum juga juga menyerahkan unit kendaraan yang menjadi objek Jaminan Fidusia atas hutang tersebut. Maka berdasarkan Pasal 29 Ayat 1 huruf a Undang-Undang No. 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia. Apabila Debitor atau Pemberi Fidusia cidera janji, eksekusi terhadap benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia dapat dilakukan dengan pelaksanaan titel eksekutorial sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 Ayat (2) Undang-Undang No. 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia.
Sertifikat Jaminan Fidusia mempunyai kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap oleh Penerima Fidusia. Yang dijelaskan lagi pada pejelasan Pasal 15 Ayat 2 Undang – Undang No. 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia mengenai "kekuatan eksekutorial" yaitu kekuatan yang langsung dapat dilaksanakan tanpa melalui pengadilan dan bersifat final serta mengikat para pihak untuk melaksanakan putusan tersebut.
Penggugat memiliki hak penuh untuk melakukan penjualan atas objek Jaminan Fidusia tersebut dan jika hasil dari penjualannya terdapat kelebihan yang telah diperhitungkan dari total angsuran Tergugat dikurangkan dengan total penjualan unit kendaraan tersebut, maka Penggugat akan mengembalikan sisa dari kelebihan perhitungan tersebut. Namun sebaliknya, jika setelah dilakukan
Penjualan dan diperhitungkan dengan total angsuran Tergugat dikurangkan dengan total penjualan unit kendaraan ternyata masih ada kekurangan yang harus dibayarkan oleh Tergugat senilai lima puluh enam juta empat ratus enam puluh tiga ribu dua ratus sembilan puluh empat rupiah. Maka, Penggugat mempunyai hak penuh untuk menuntut sisa kewajiban yang harus dibayarkan oleh Tergugat.
4. Isi Gugatan
Maka dari itu atas seluruh kerugian yang terjadi, Penggugat mengajukan tuntutan berupa pembayaran ganti rugi materiil sebesar seratus sembilan belas juta dua ratus tiga ribu dua ratus rupiah dan kerugian Imateriil kepada Penggugat senilai satu milyar rupiah selambat-lambatnya tujuh hari sejak putusan diucapkan dan telah berkekuatan hukum tetap.
Dilakukan peletakan sita jaminan (conservatoir beslag) atas tanah dan bangunan diatasnya yang dimiliki oleh Tergugat yang beralamat di Desa Penyanggar, Kecamatan Padang Sidempuan Utara, Kota Padang Sidempuan. Dan sita revindikasi (revindicatoir beslag) atas objek benda bergerak yang telah dibebankan Hak Jaminan Fidusia berupa satu unit mobil type/merk Toyota Kijang Innova TYPE E STD DIESEL2.5 M/T, warna silver metalik, No. Mesin : 2KD9537264, No. Rangka : MHFXS41G351501112, No. BPKB : D8373883H, No. Polisi : F 1597 BO atas nama Hernita Langga Sari, SH.
Permohonan sita ini didasarkan atas pasal 10 huruf a Perjanjian Pembiayaan Konsumen No. 10-411-13-00278 tanggal 06 Agustus 2013 yang menyatakan bahwa perstiwa dimana debitor tidak membayar angsuran, denda dan/atau biaya-biaya lain atas suatu jumlah uang yang telah jatuh tempo sesuai
dengan perjanjian yang dalam hal lewatnya waktu saja telah memberi bukti yang cukup bahwa debitor telah melalaikan kewajibannya menurut perjanjian yang telah disepakati maka dianggap sebagai cidera janji debitor. Sehingga peringatan dengan juru sita atau surat-surat lain serupa itu tidak diperlukan lagi.
Berdasarkan Pasal 11 ayat 3 huruf b Perjanjian Pembiayaan Konsumen No. 10-411-1300278, menyebutkan bahwa apabila Debitor tidak melunasi hutang, Kreditur dapat menuntut pengembalian atau mengambil kembali kendaraan dari Debitor atau Pemilik Jaminan atau Pihak Lain dengan cara langsung mengambil dari tempat dimana kendaraan berada tanpa melalui suatu putusan atau penetapan pengadilan maupun juru sita pengadilan atau peringatan lainnya. Dan dalam jangka waktu empat belas hari sejak kendaraan dikembalikan atau diambil, Debitor berkewajiban untuk melunasi hutang.
Diatur pula pada Pasal 11 ayat 4 Perjanjian Pembiayaan Konsumen No.
10-411-1300278 bahwa Kreditor diperkenankan untuk menjual objek jaminan tersebut kepada pihak manapun dan dengan harga yang dipandang baik guna melunasi hutang Tergugat kepada Penggugat. Selain itu juga membebankan Tergugat untuk membayar Uang Paksa (dwangsom) sebesar satu juta rupiah untuk setiap hari keterlambatan apabila lalai menjalankan Putusan aquo sampai dengan Tergugat melaksanakan Putusan aquo. Dan yang paling ahkir membebankan semua biaya yang timbul dalam perkara ini.
5. Eksepsi Tergugat
Dalam Eksepsi yang diajukan oleh Tergugat atas gugatan berisi tangkisan atas dasar pernyataan perkara yang dipertentangkan pada gugatan No.
78/Pdt.G/2016/PN-Rap tertanggal 04 Agustus 2016 merupakan perkara nebis in idem dikarenakan sudah pernah digugat dalam objek perkara yang sama, dengan Tergugat (Habibullah Harahap) selaku konsumen yang mengajukan gugatan konsumen ke Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) Kabupaten Batu Bara tertanggal 04 Maret 2016, terhadap Penggugat yang merupakan pelaku usaha PT. Oto Multiartha Cabang Rantauprapat, dengan putusan Arbitrase Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen Kabupaten Batu Bara No. 36/PTS- ARB/BPSK/BB/V/2016 tertanggal 17 Mei 2016, yang pada ahkirnya memutuskan untuk menerima Eksepsi Termohon Keberatan (Tergugat), menyatakan bahwa Pengadilan Negeri Rantauprapat tidak berwenang mengadili perkara tersebut dan menghukum Termohon Keberatan membayar ongkos perkara nya. Karena tak puas dengan putusan tersebut Pelaku Usaha PT. Oto Multiartha Cabang Rantauprapat mengajukan permohonan keberatan tertanggal 31 Mei 2016 di Pengadilan Negeri Rantauprapat dengan terdaftar dalam register perkara No. 53/Pdt- Sus/BPSK/2016/PN-Rap. Maka dari itu Tergugat beranggapan bahwa Pengadilan Negeri Rantauprapat tidak berwenang mengadili perkara ini, Sehingga seboknua ditunggu inkrachtnya putusan kasasi tersebut sebelum diajukannya gugatan perdata ke Pengadilan Negeri Rantauprapa.
Pada jawaban pokoknya Tergugat tetap bersikukuh bahwa menurut hukum pernyataan Penggugat yang menyebut Tergugat telah melakukan cidera janji (wanprestasi) karena tidak memenuhi kewajibannya tentang perjanjian pembiayaan konsumen No. 10-411-13-00278 tanggal 06 Agustus 2013 adalah tidak benar, justru sebaliknya Tergugat menganggap bahwa dirinya sudah memenuhi kewajibannya
secara etikad baik, sebagaimana tertuang dalam Putusan Arbitrase Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen Batubara No. 36/PTS-ARB/BPSK-BB/V/2016 tertanggal 17 Mei 2016 dengan mengabulkan gugatan konsumen (Tergugat) untuk seluruhnya.
Tergugat merasa bahwa sudah jelas menurut hukum tidak ada yang dirugikan diantara keduabelah pihak berdasarkan ketentuan pasal 1238 KUHPerdata, dan menganggap bahwa Penggugat lah yang beretikaad buruk dengan menolak hasil penyelesaian awal di Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen Batubara, termasuk pada saat diadakan mediasi di Pengadilan Negeri Rantauprapat sebelum masuk dalam pokok perkara ini, dipimpin oleh Hakim Mediator T.
Almadyan, SH.MH bahwa hingga sekarang dalam perkara ini masih tahap bersidang di Pengadilan Negeri Rantauprapat.
Tergugat juga mengajukan gugatan balik berupa penolakan gugatan Penggugat perihal gugatan cidera janji (wanprestasi) sebagaimana tercantum dalam pasal 1328 KUHPerdata yang diajukan Penggugat tertanggal 04 Agustus 2016 No.
78/Pdt.G/2016/PN-Rap di Pengadilan Negeri Rantauprapat. Tergugat berharap Hakim menyatakan sah dan berharga putusan Arbitrase Badan Penyelesaian Konsumen Batubara No. 36/PTS-ARB/BPSK-BB/V/2016 tertanggal 17 Mei 2016 yang mengabulkan gugatan konsumen untuk seluruhnya. Dan juga pada putusan Pengadilan Negeri Rantauprapat No. 53/Pdt-Sus/BPSK/2016/PN-Rap tertanggal 02 Agustus 2016.
Ditambah menyatakan dan berharga mohon bantuan pemberitahuan pernyataan kasasi dari Pemohon Keberatan (PT. Oto Multiartha Cabang
Rantauprapat) dalam perkara perdata No. 53/Pdt.Sus/BPSK/2016/PNRap dari Panitera Pengadilan Negeri Rantauprapat Megawati Simbolon, SH, kepada Ketua Pengadilan Negeri Padang Sidempuan tertanggal 23 Agustus 2016 untuk dapat disampaikan dan dimohonkan sekaligus menghunjuk salah seorang Juru Sita/ Juru Sita Pengganti kepada Termohon Keberatan (Habibullah Harahap) itu. Dan menuntut pengakuan atas pelunasan hutang sebesar delapan puluh dua juta lima ratus ribu rupiah) dari hutang pokok senilaiDelapan puluh juta rupiah dari Tergugat kepada Penggugat.
6. Pertimbangan Hakim
Dari isi pengajuan gugatan oleh Penggugat dan jawaban oleh Tergugat, beserta pemeriksaan bukti-bukti yang dilampirkan pemeriksaan terhadap bukti- bukti surat baik yang diajukan oleh Penggugat, berupa surat bertanda P-1 sampai dengan P-13. Maupun yang diajukan oleh Tergugat, berdasarkan ketentuan pasal 1866 KUHPerdata dan pasal 284 RBg yang menyebutkan bahawa yang termasuk sebagai bukti salah satunya adalah bukti surat. Setelah diperiksa pada bukti surat bertanda P-1 sampai dengan P-8 yang diajukan Penggugat telah ditemukan adanya hubungan antara Penggugat sebagai kreditur dengan Tergugat sebagai debitur berdasarkan Perjanjian Pembiayaan Konsumen No. 10-411-1300278 tanggal 06 Agustus 2013. Dimana dalam perjanjian itu telah dinyatakan bahwa apabila Debitur tidak membayar Angsuran, denda dan/atau biaya-biaya lain atas suatu jumlah uang yang telah jatuh tempo sesuai dengan perjanjian yang dalam hal lewatnya waktu saja dapat menjadi suatu bukti yang cukup bahwa debitur telah melalaikan
kewajibannya menurut perjanjian ini, sehingga peringatan dengan juru sita atau surat-surat lain serupa itu tidak diperlukan lagi.
Semua hak dan kewajiban dalam perjanjian pembiyayan konsumen tersebut telah dibuktikan oleh Penggugat melalui bukti surat Penggugat bertanda P- 1, P-2, P3 dan P-4 yang memiliki kekuatan hukum karena dianggap sebagai sebuah akta dibawah tangan yang mempunyai kekuatan nilai pembuktian, hal ini didasarkan pada ketentuan Pasal 1874 KUHPerdata dan Pasal 286 RBg yang menyatakan apabila suatu surat yang dibuat dalam bentuk tertulis tidak dihadapan oleh pejabat umum, namun surat tersebut dengan mencantumkan tanggal dan tempat penandatanganan maka surat tersebut adalah merupakan akta dibawah tangan yang mempunyai nilai kekuatan pembuktian formil maupun materil, sehingga apabila isi dan tandatangan tersebut diakui oleh pembuatnya maka akta dibawah tangan tersebut sama nilainya dengan akta authentic yang mempunyai nilai pembuktian sempurna dan berdiri sendiri tanpa memerlukan bantuan alat bukti lain.
Dalam bukti surat bertanda P-1 telah disebutkan bahwa Tergugat mempunyai kewajiban untuk membayar angsuran kepada Penggugat yang harus dibayarkan setiap bulannya senilai tiga juta tujuh ratus lima puluh ribu rupiah selama tiga puluh enam bulan, dengan jatuh tempo pembayaran tanggal tiga belas setiap bulannya. Namun, berdasarkan bukti surat bertanda P-7 dan P-8, ternyata Tergugat tidak dapat memenuhi kewajibannya dengan berhenti membayar angsuran sejak angsuran ke 23 tertanggal 13 Juni 2015 hingga tenor yang diperjanjikan telah
habis sampai dengan tanggal 13 Juli 2016. Sehingga akibat dari perbuatan Tergugat yang cidera janji tersebut, telah menimbulkan kerugian bagi Penggugat
Sedangkan berhubungan dengan materi eksepsi tentang Nebis in idem yang diajukan tergugat, menurut penilaian Majelis Hakim tidak memiliki landasan hukum yang kuat karena setelah ditinjau kembali ternyata objek yang disengketakan dalam perkara Nomor 53/Pdt.Sus/BPSK/2016/PN-Rap tidak sama dengan objek yang disengketakan dalam perkara perdata Nomor 78/Pdt.G/2016/PN-Rap, dan kemudian antara posita dan petitum gugatan sudah saling bersesuaian sehingga jelas bagi Majelis Hakim akan dalil-dalil gugatan Penggugat dan apa yang dituntutnya dalam gugatannya tersebut, dengan demikian Eksepsi Tergugat tersebut haruslah dinyatakan tidak beralasan hukum dan ditolak.
Selain itu materi eksepsi Tergugat yang menyatakan Pengadilan Negeri Rantauprapat tidak berwenang, menurut penilaian Majelis Hakim tidak berlandaskan hukum karena dalam kasus ini hubungan hukum antara Penggugat dengan Tergugat adalah hubungan hukum perikatan dalam Perjanjian Pembiayaan yang dalam pasal 14 tentang Hukum Yang Dipakai dan Yurisdiksi Pengadilan pada pokoknya menyebutkan ”Apabila terjadi perselisihan akibat pelaksanaan perjanjian ini, maka para pihak akan menyelesaikan secara musyawarah namun jika tidak tercapai penyelesaian maka para pihak sepakat untuk memilih tempat kediaman hukum yang tetap dan tidak berubah di kantor Kepaniteraan Pengadilan Negeri Rantauprapat dengan tidak mengurangi hak kreditur untuk mengajukan tuntutan- tuntutan hukum terhadap debitur dihadapan pengadilan-pengadilan lain dimanapun juga yang dianggap baik oleh kreditur sesuai dengan ketentuan hukum yang
berlaku”, sehingga jelas bagi Majelis Hakim tentang yurisdiksi Penggugat dan Tergugat dalam perkara a quo. Dan Majelis Hakim berpendapat bahwa eksepsi tersebut sama sekali tidak beralasan karena eksepsi tersebut sudah memasuki pokok perkara yang membutuhkan pembuktian nantinya dipersidangan.
7. Amar Putusan
Berdasarkan semua pertimbangannya Majelis Hakim memutuskan melalui rapat permusyawaratan Majelis Hakim Pengadilan Negeri Rantau Prapat, pada hari Rabu tanggal 29 Maret 2017 oleh Dharma P. Simbolon, S.H., sebagai Hakim Ketua Majelis, Deni Albar, S.H., dan Rinaldi, S.H., masing-masing sebagai Hakim Anggota, dan putusannya diucapkan dalam persidangan yang terbuka untuk umum pada hari Rabu tanggal 05 April 2017 oleh Hakim Ketua Majelis tersebut dengan didampingi Hakim-Hakim Anggota tersebut, dibantu oleh Burhanuddin, SH, Panitera Pengganti pada Pengadilan Negeri Rantau Prapat, dengan dihadiri oleh Kuasa Penggugat dan Kuasa Tergugat. Bahwa Majelis Hakim menolak Eksepsi Tergugat untuk seluruhnya. Sedangkan dalam konspensi mengabulkan gugatan Penggugat untuk sebagian, menyatakan Tergugat telah melakukan tindakaningkar janji atas Perjanjian Pembiayaan Konsumen Nomor 10-411-13-00278 tanggal 06 Agustus 2013.
Menyatakan bahwa Penggugat adalah Kreditur yang baik sesuai dengan Perjanjian Pembiayaan Konsumen Nomor 10-411-13-00278 tanggal 06 Agustus 2013, dan berdasarkan Sertifikat Jaminan Fidusia No. W2.151776.AH.05.01 Tahun 2013 yang dikeluarkan oleh Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Kantor Wilayah Sumatera Pengugat mempunyai hak untuk mengambil