• Tidak ada hasil yang ditemukan

Memori Kolektif Batak Dua Puluh Tujuh Di Tanoh Gayo (Studi Tradisi Lisan)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2023

Membagikan "Memori Kolektif Batak Dua Puluh Tujuh Di Tanoh Gayo (Studi Tradisi Lisan)"

Copied!
110
0
0

Teks penuh

(1)

MEMORI KOLEKTIF BATAK DUA PULUH TUJUH DI TANOH GAYO

(Studi Tradisi Lisan)

SKRIPSI

Diajukan Oleh:

FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI AR-RANIRY

DARUSSALAM-BANDA ACEH 2022 M/1444 H

ZIKRI IWAN SEMPENA NIM. 180501006

Mahasiswa Fakultas Adab dan Humaniora Prodi Sejarah Peradaban Islam

(2)

ii

LEMBARAN PENGESAHAN PEMBIMBING SKRIPSI (S-1) PRODI SEJARAH DAN KEBUDAYAAN ISLAM

MEMORI KOLEKTIF BATAK DUA PULUH TUJUH DI TANOH GAYO (Studi Tradisi Lisan)

SKRIPSI

Diajukan Kepada Fakultas Adab dan Humaniora Universitas Islam Negeri Ar-Raniry Darussalam Banda Aceh Sebagai Salah Satu Beban Studi

Program Studi Sejarah dan Kebudayaan Islam Diajukan Oleh:

ZIKRI IWAN SEMPENA

Mahasiswa Fakultas Adab dan Humaniora Program Studi Sejarah dan Kebudayaan Islam

NIM: 180501006

Disetujui untuk Diuji/Dimunaqasyah oleh:

Pembimbing I Pembimbing II

Muhammad Thalal, Lc, M.Si, M.Ed. Muhammad Yunus Ahmad, S.Hum, M. Us.

NIP. 197810162008011011 NIP. 197704222009121002

Mengetahui

Ketua Prodi Sejarah dan Kebudayaan Islam

Hermansyah, M.Th, MA, M.Hum NIP. 197004161997031005

(3)
(4)

iv

SURAT PERNYATAAN KEASLIAN

Saya yang bertanda tangan di bawah ini:

Nama : Zikri Iwan Sempena

NIM : 180501006

Prodi/Jurusan : Sejarah dan Kebudayaan Islam

Judul Skripsi : Memori Kolektif Batak Dua Puluh Tujuh di Tanoh Gayo”

Dengan ini menyatakan bahwa sesungguhnya skripsi ini benar-benar hasil karya saya sendiri dan bukan dari hasil plagiasi dari naskah karya tulis orang lain.Pendapat atau temuan orang lain yang terdapat dalam skripsi ini dikutip dan dicantumkan dalam sumber referensi. Bila dikemudian hari ada tuntutan dari pihak lain atas karya saya, dan memang ditemukan bukti bahwa saya telah melanggar pernyataan ini, maka saya siap dikenai sanksi berdasarkan aturan yang berlaku di

Fakultas Adab dan Humaniora Universitas Islam Negeri Ar-Raniry.

Banda Aceh, 13 Desember 2022 Yang Menyatakan, S

Zikri Iwan Sempena NIM. 180501006

(5)

v ABSTRAK

Nama : Zikri Iwan Sempena

NIM : 180501006

Fakultas/prodi : Fakultas Adab dan Humaniora/Sejarah Peradaban Islam Judul : Memori Kolektif Batak Dua Puluh Tujuh di Tanoh Gayo Tanggal Sidang : Selasa. 13 Desember 2022

Tebal Skripsi :

Pembimbing I : Muhammad Thalal, Lc., M. Si., M. Ed Pembimbing II : Muhammad Yunus Ahmad, S. Hum., M. Us.

Kata Kunci: Batak Dua Puluh Tujuh, Tradisi Lisan, Cik Bebesen, Lebe Kader

Skripsi ini merupakan kajian memori kolektif tradisi lisan “Batak Dua Puluh Tujuh”

sebagai sebuah folklore yang berkembang di Tanoh Gayo, khususnya di Kabupaten Aceh Tengah. Tradisi lisan tersebut adalah tentang kedatangan 27 orang Batak Karo ke Tanoh Gayo. Hal tersebut kemudian menyebabkan masyarakat Aceh dan Gayo meyakini bahwa asal usul orang Gayo dari Batak Karo, yang disebut Batak Dua Puluh Tujuh. Pertanyaan dari skripsi ini adalah Bagaimana Gayo sebelum kedatangan Batak Dua Puluh Tujuh, Bagaimana sejarah kedatangan Batak Dua Puluh Tujuh di Gayo? Bagaimana sejarah kedatangan Batak Dua Puluh Tujuh? Bagaimana pengaruh dari dari kedatangan Batak Dua Puluh Tujuh? Oleh karena itu, studi ini dilakukan dengan menggunakan metode penelitian sejarah yakni pengumpulan data, kritik, interpretasi dan historiografi. Riset pustaka dengan meninjau 4 versi literatur cerita Batak Dua Puluh Tujuh. Sedangkan penelitian lapangan dengan pendekatan tradisi lisan ialah mewawancarai secara mendalam 4 orang informan di Aceh Tengah.

Kedatangan Batak Dua Puluh Tujuh ke Bebesen, Aceh Tengah terjadi sekitar awal abad ke-17 dengan 2 gelombang. Sebelum kedatangan Batak Dua Puluh Tujuh ke Bebesen sebelumnya juga telah berdiri kerajaan lokal yang dikenal dengan Kejurun Bukit, hal ini menunjukkan eksistensi orang Gayo sebelum datanya Batak Dua Puluh Tujuh. Setelah kedatangan mereka maka kemudian berdirilah kerajaan baru yang dikenal sebagai Kejurun Reje Cik di Bebesen dengan Lebe Kader sebagai raja pertamanya. Studi terhadap memori kolektif ini menunjukkan bahwa sebagian masyarakat berasumsi bahwa orang Gayo Bebesen sebagai keturunan Batak/Karo karena adanya stereotip tentang Batak Dua Puluh Tujuh munculnya budaya marga, sedangkan sebelum itu di Gayo sendiri tidak mengenal budaya marga. Selain itu juga, munculnya stereotip ataupun olokan-olokan tentang Batak Dua Puluh Tujuh terhadap orang Bebesen.

(6)

vi

KATA PENGANTAR

ب ميحرلا نمحرلا الله مس

Alhamdulillahirabbil’alamin. Puji syukur kami panjatkan kepada Allah SWT, karena rahmatnyalah kami diberi kesempatan dan pertolongan kepada penulis agar dapat menyelesaikan skripsi penelitian ini. Shalawat dan salam penulis gaumhkan kepada Nabi Muhammad shalla allahu alaihi wa salam yang senantiasa membimbing umat manusia menuju sebuah peradaban yang dipenuhi pengetahuan dan kedamaian, juga sebagai teladan umatnya yang atas hadirnya pula menghadirkan cahaya Islam serta cahaya pengetahuan untuk sekalian alam. Dan dengan anugrah Allah penulis pun dapat meneyelesaikan penelitian ini yang berjudul Memori Kolektif Batak Dua Puluh Tujuh di Tanoh Gayo (Studi Tradisi Lisan). Penelitiam ini dilakukan sebagai upaya penyusunan sebagai syarat-syarat untuk mendapatkan gelar sarjana di jurusan Sejarah dan Peradaban Islam fakultas Adab dan Humaniora Universitas Islam Negri Ar-Raniry Banda Aceh.

Kami mengucapkan terima kasih kepada berbagai pihak yang telah membantu penulis sehingga penelitian ini dapat diselesaikan. Oleh karena itu penulis mengucapkan terimakasih kepada :

1. Syarifuddin, M. Ag, Ph. D., selaku Dekan Fakultas Adab dan Humaniora Universitas Negri Islam Ar-Raniry, Banda Aceh.

(7)

vii

2. Hermansyah, M. Th., MA., Hum selaku Ketua Program Studi Sejarah dan Kebudayaan Islam, Fakultas Adab dan Humaniora, Universitas Islam Negri Ar- Raniry, Banda Aceh.

3. Muhammad Thalal, Lc., M. Si., M. Ed selaku pembimbing I penulis yang telah memberi ilmu dan bimbingannya dalam penyusunan skripsi ini.

4. Muhammad Yunus Ahmad, S. Hum, M. Us, selaku pembimbing II penulis yang telah memmeri banyak motivasi dan kiat-kiat dalam penulisan skripsi ini.

5. Putra Hidayatullah, S.Pd.I, M.A., selaku Penguji I selaku penguji I yang telah banyak memberi arahan dan masukan terhadap skripsi ini. Juga terimakasih atas semangat dan dukungannya pak.

6. Dr. Fauzi Ismail, M. Si., selaku penguji II yang mencurahkan pemikirannya terkait skripsi ini.

7. Seluruh dosen Prodi Sejarah Peradaban Islam yang tak dapat kami sebut namanya satu persatu, berkat merekalah penulis dan kawan-kawan lainnya mendapatkan dasar dan kerangka berfikir sehingga ide tentang skripsi ini dan skripsi laninnya pula dapat dihadirkan.

8. Kepada instansi maupun individu yang telah memberi penulis wawasan dan pengalaman akademik terkait sejarah dan budaya. Khusunya kepada Narasumber penelitian dan BPCB Aceh-Sumatra Utara.

9. Kepada kawan-kawan SPI angkatan 18, khususnya buat kawan-kawan magang di BPCB 2021 dan terkhusus lagi untuk kamu, iya kamu (gak usah sebut namalah

(8)

viii

ya). Terima kasih semangatnya, karena kalian pasca covid jadi lebih berwarna.

Untuk kawan-kawan SPI 18 dimana pun kalian berada semoga sukses.

10. Kawan Kos Jancuk Khairan, Nazar dan Selamat, hehe.

11. Keluarga besar Awan Alik (M Thaib Ibrahim), Awan Pedih (Donansyah) yang telah memberi semangat yang “sing full senyum sayang”. Berijin semangate, karena kalianlah motivasi belajar dan menuntut ilmu ini kami gencarkan.

12. Kepada ama Ikhsan dan ine Istiqamah yang yang tak bisa tersebut dan terbilang jasanya bagi penulis, yang telah banyak mngorbankan segenap tenaga membesarkan dan mendidik kami anaknya, dari kecil bertumbuh besar dan dari pendek menjadi panjang, ku ucapkan berijin yang tak terhingga.

Peneliti menyadari bahwasanya penelitian ini masih jauh dari kata sempurna, oleh karena itu kami berharap adanya saran dan pengembangan yang membangun terhadap penelitian yang telah kami lakukan agar terjalannya semangat intelektual khusunya bagi pegiat sejarah dan budaya.

Banda Aceh, 13 Desember 2022 Penulis

(9)

ix

DAFTAR LAMPIRAN

1. SK Bimbingan

2. Surat Ijin Penelitian dari Fakultas Adab dan Humaniora 3. Surat Balasan penelitian

4. Instrumen Penelitian 5. Daftar Informan 6. Transkip Data 7. Sertifikat ARICIS 8. Dokumentasi Penelitian

(10)

x DAFTAR ISI

LEMBARAN JUDUL ... i

PENGESAHAN PEMBIMBING ... ii

PENGESAHAN SIDANG ... iii

SURAT PERYATAAN KEASALIAN SKRIPSI ... iv

ABSTRAK ... v

KATA PENGANTAR ... vi

DAFTAR GAMBAR ... vii

DAFTAR TABEL... vii

DAFTAR LAMPIRAN ... ix

DAFTAR ISI ... x

BAB SATU: PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang Masalah ... 1

1.2. Rumusan Masalah ... 3

1.3. Tujuan Penulisan ... 4

1.4. Manfaat Penulisan ... 4

1.5. Penjelasan Istilah ... 4

1.6. Kajian Pustaka ... 6

1.7. Sistematika Pembahasan ... 8

BAB DUA: LANDASAN TEORI ... 10

1.1. Pengertian Sejarah ... 10

1.2. Tradisi Lisan... 11

1.3. Perbedaan Sejarah Lisan Dan Tradisi Lisan ... 16

1.4. Peranan Tradisi Lisan ... 17

BAB TIGA: METODE PENELITIAN ... 19

1.1. Lokasi Penelitian ... 19

1.1.1. Jumlah Penduduk Menurut Umur ... 20

1.1.2. Jumlah Penduduk Menurut Tingkat Pendidikan ... 21

1.1.3. Jumlah Penduduk Menurut Mata Pencaharian ... 22

1.2. Metode Penelitian... 22

1.2.1. Pengumpulan Sumber ... 23

1.2.2. Verifikasi Sumber ... 23

1.2.3. Interpretasi Data ... 24

1.2.4. Penulisan Sejarah ... 25

BAB EMPAT: PEMBAHASAN ... 29

1.1. Cerita Batak Dua Puluh Tujuh dalam tiga Literatur/Versi ... 29

1.1.1. Snouck Hourgronje ... 29

1.1.2. Mahmud Ibrahim ... 31

(11)

xi

1.1.3. Ibrahim Chalid ... 35

1.1.4. Sayyid Mubin ... 47

1.2. Ingatan Masyarakat Gayo Tentang Batak Dua Puluh Tujuh ... 38

1.2.1. Narasumber 1 (Ibnu Hajar Laut Tawar) ... 38

1.2.2. Narasumber 2 (Ratibin aman Syamsu) ... 42

1.2.3. Narasumber 3 (Banta Cut Aspala) ... 45

1.2.4. Narasumber 4 (Awan Apai) ... 47

1.3.Sebelum Kedatangan Batak Dua Puluh Tujuh... 48

1.4. Interpretasi dan Komprasi Cerita Batak Dua Puluh Tujuh ... 52

1.4.1. Kedatangan Batak Dua Puluh Tujuh... 52

1.4.2. Leube Kader dan Berdirinya Kejurun Cik Bebesen ... 54

1.4.3. Perselisihan Antara Kejurun Bukit dan Reje Cik ... 57

1.4.4. Hubungan Antara Gayo dan Karo ... 48

BAB LIMA: PENUTUP ... 61

1.1. Kesimpulan ... 61

1.2. Saran ... 62

DAFTAR PUSTAKA ... 64

GLOSARIUM ... 67 LAMPIRAN ...

RIWAYAT HIDUP PENULIS ...

(12)

1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

Indonesia merupakan salah satu negara yang mejemuk dilihat dari berbagai sudut dan perkembangan kebudayaannya. Keanekaragaman etnik ini oleh bangsa Indonesia disadari sebagai dasar nasionalisme yang diungkapkan dalam semboyan negara yakni bhineka tunggal ika artinya adalah walau berbeda namun tetap satu.

Bagi dunia pengetahuan kemajemukan Indonesia merupakan zona penelitian yang cukup menarik dan luas.1

Di sisi lain pemahaman kita tentang masyarakat dan kebudayaan di Indonesia dibuat gamblang oleh batasan regional dan administrasi yang lebih menekankan pada kebersamaan kedaerahan. Contoh D.I Aceh selalu muncul sebagai bauran suku yang tidak memiliki identitas kebangsaan asli. Padahal Provinsi Aceh sendiri memiliki suku bangsa yang memiliki identitasnya tersendiri, seperti suku Aceh, Gayo, Alas, Tamiang, Aneuk Jamek, Dewayan, Kluet dan suku bangsa minoritas lain yang orang Gumbak Cadek. Keberagaman masyarakat dan budaya seperti itu perlunya diteliti dan diketengahkan ke dalam sebuah sumber tertulis yang bersifat informatif.2

1 Zulyani Hidayah, Ensiklopedi Suku Bangsa Nusantara, (Jakarta: LP3ES, 1997), hlm. xix.

2 Ibid…, hlm. xx.

(13)

Suku Gayo mendiami bagian dataran tinggi di wilayah Aceh, yang dalam bahasa Aceh disebut Tanoh Gayo. Mereka mendiami wilayah kabupaten Aceh Tengah, Bener Meriah, Gayo Lues, sebagian Aceh Tenggara dan sebagian lain dari Aceh Timur. Suku ini mendiami pengunungan Bukit Barisan dengan ketinggian 400 – 2.600 meter dari permukaan laut. Di tenggah-tengah wilayah ini terdapat Danau Laut Tawar dengan kedalaman 200 meter dan luas 17,5 x 4,5 kilometer, ditambah dengan dinginnya dataran tinggi yang berselimut hutan tropis.3 Jika ditarik dalam garis besar geografis, mereka mendiami sela-sela perbukitan barisan, sekitran Danau Laut Tawar, Hulu Sungai Peurelak dan Sungai Jambo Aye.

Terkait dengan asal-usul orang Gayo, banyak versi cerita, mitos dan legenda tentang nenek moyang orang Gayo yang hidup dan berkembang di masyarakat Gayo itu sendiri. Cerita-cerita tersebut diwariskan secara turun-temurun melalui cerita rakyat (folklor) yang orang Gayo menyebutnya kekeberen. Salah satu cerita populer tentang asal-usul orang Gayo adalah bahwasanya mereka berasal dari Batak. Cerita ini sangat melekat di masyarakat Gayo baik di masa lalu atau masa sekarang. Orang Gayo sendiri lebih mengenalnya dengan istilah Batak Due Puluh Tujuh atau Batak Dua Puluh Tujuh.4

3 Muhammad Umar, Darah dan Jiwa Aceh, (Banda Aceh: BUSAFAT, 2002) hlm. 8.

4 Ibrahim Chalid, Mitos Asal Usul Orang Gayo, (Jurnal SUWA Universitas Malikussaleh, Vol. XIII, NO.3, Desember 2015.

(14)

3

Batak Dua Puluh Tujuh adalah sebuah sejarah (folklore) atau tradisi lisan yang berkembang di wilayah Gayo khususnya Aceh Tengah. Kisah tersebut menceritakan kedatangan 27 orang Batak/Karo, yang di dalam dalam berbagai sumber diceritakan dengan bermacam tujuan, seperti berdagang dan belajar Islam ke Aceh. Orang Gayo sendiri diyakini oleh sebagian kelompok lain merupakan keturunan dari Batak Dua Puluh Tujuh. Tidak heran stereotip dan olokan Batak Dua Puluh Tujuh kerap dilemparkan kepada orang Gayo.

Anggapan-anggapan semacam itu masih berkembang sampai sekarang.

Karena itu penelitian tentang Batak Dua Puluh Tujuh ini diangkat untuk menjelaskan kedatangan Batak Dua Puluh Tujuh dan juga sebagiannya adalah upaya rekontruksi sejarah tentang identitas orang Gayo itu sendiri. Oleh kerena itu penelitian ini membuat rumusan masalah sebagai berikut.

1.2. Rumusan Masalah

1.2.1. Bagaimana Gayo sebelum kedatangan Batak Dua Puluh Tujuh?

1.2.2. Bagaimana sejarah kedatangan Batak Dua Puluh Tujuh ke Tanoh Gayo?

1.2.3. Bagaimana pengaruh dan dampak dari kedatangan Batak Dua Puluh Tujuh di Tanoh Gayo?

1.3. Tujuan Penelitian

1.3.1. Menjelaskan Gayo sebelum kedatangan Batak Dua Puluh Tujuh.

1.3.2. Menjelaskan sejarah kedatangan Batak Dua Puluh Tujuh ke Tanoh Gayo.

(15)

1.3.3. Menjelaskan pengaruh dan dampak dari kedatangan Batak Dua Puluh Tujuh di Tanoh Gayo.

1.4. Manfaat Penelitian 1.4.1. Manfaat Akademis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah khazanah ilmu pengetahuan bagi penulis, serta dapat dijadikan rujukan bagi pengembang ilmu di bidang akademik. Dan juga berguna untuk menjadi refrensi bagi mahasiswa yang melakukan penelitian sejarah mengenai suku Gayo dan Batak Dua Puluh Tujuh. Juga sebagai upaya rekontruksi dan kritik sejarah terhadap sumber-sumber dokumen sebelumnya.

1.4.2. Manfaat Praktis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi semua orang dan menambah wawasan mengenai sejarah Batak Dua Puluh Tujuh yang berkembang pada masyarakat Aceh Tengah. Juga tulisan ini dibuat sebagai bahan bacaan yang kredibel, serta sebagai upaya meminimalisir kesalapahaman sejarah dimasa kini dan masa yang akan datang tentang Batak Dua Puluh Tujuh.

1.5. Penjelasan Istilah

1.5.1. Batak Dua Puluh Tujuh

Batak Dua Puluh Tujuh adalah sebuah kisah yang berkembang di Gayo khususnya Aceh Tengah. Kisah tersebut menceritakan kedatangan 27 orang Batak/Karo yang di dalam sumber diceritakan dengan bermacam tujuan, seperti berdagang dan belajar Islam ke Aceh. Singkatnya sempat terjadi konflik antara

(16)

5

mereka dengan penduduk lokal (Gayo) yang berujung pada terbentuknya sebuah kekuasaan Reje Cik Bebesen.

1.5.2. Kajian Sejarah (sejarah lisan dan tradisi lisan)

Sejarah dalam bahasa Inggris disebut History yang berarti suatu pristiwa, kejadian, perbuatan yang sudah lewat atau sudah lama terjadi/lampau. Kata sejarah dalam bahasa Indonesia sendiri merupakan kata serapan dari bahasa Arab

“Syajaratun” yang berarti pohon. Kata tersebut masuk ke Indonesia melalui akulturasi antara budaya Indonesia dan Islam. Dalam metode sejarah sendiri terdapat 4 tahapan, yaitu pengumpulan data, verifikasi data, interpretasi data dan penulisan sejarah.

“kiranya perlu dibedakan antara sejarah lisan dan tradisi lisan. Tradisi lisan adalah bagian dari kebudayaan lisan manusia yang berisi nilai, moral, spiritual dan unsur budaya lain, sehingga berisikan informasi penting yang berguna bagi antropolog dan sejarawan. Sedangkan sejarah lisan tidak didapatkan atau diwarisi melainkan dicari.5

1.5.3. Memori Kolektif

Berpegangan pada Halbwachs, memori kolektif adalah rekontruksi masa lalu yang mengadaptasi pristiwa masa lalu yang digunakan baik untuk kepercayaan maupun spiritual. Ada 5 karakteristik dari memori kolektif. Pertama, memori kolektif adalah produk kontruksi sosial-politik. Kedua, proses kontruksinya berlangsung terus-menerus, terjadi melalui proses multidireksional. Ketiga, bersifat fungsional.

5 Kuntowijoyo, Metodelogi Sejarah, Edisi 1, (Yogjakarta: Tiara Wacana), hlm. 21.

(17)

Keempat, dapat diwujudkan secara konkret. Kelima adalah memori kolektif bersifat narasi.6

1.6. Kajian Pustaka

Mengenai sejarah Batak Dua Puluh Tujuh ini sendiri sebenarnya merupakan trdisisi lisan yang telah dituturkan turun-temurun dari mulut ke mulut oleh para orang tua dahulu. Namun seiring berkembangnya waktu peneuturan kisah ini mulai meredup dan dihilangkan dengan berbagai alasan. Kedatipun demikian cerita atau kisah mengenai Batak Dua Puluh Tujuh ini sudah pernah ditulis baik dalam buku, jurnal dan sebagainya. Berikut merupakan tulisan atau kajian mengenai Batak Dua Puluh Tujuh.

Pertama tulisan mengenai sejarah Batak Dua Puluh Tujuh yang disusun oleh C. Snouck Hurgronje dalam karya aslinya Het Gajoland En Zijn Bewoners yang telah diterjemhakan ke dalam bahasa Indonesia oleh Hatta Hasan Aman Hasnah yang berjudul “Gayo masyarakat dan budayanya awal abad ke 20” menjabarkan tentang datang Batak Dua Puluh Tujuh yang bera. Hal tersebut mengakibatkan Reje Bukit harus berbagi wilayah dengan orang-orang Batak itu atas otoritas dari Kerajaan Aceh, yaitu wilayah Kebayakan dan Bebesen.7

6 Harry Bawono. Crowdsourcing: Arsip, Memori Kolektif, Dan Era Digital. (Jurnal Kearsipan, Vol.14, No.2, 2019, 137-154.

7 C. Snouck Hurgronye, Het Hajoland En Zijn Bewoners, (Terj. Hatta Hasan aman Asnah) (Jakarta: Balai Pustaka, 1996), hlm. 34.

(18)

7

Kedua dalam buku Drs. Mahmud Ibrahim dalam buku “Mujahid Dataran Tinggi Tanoh Gayo” menjelaskan sekilas tentang terbentuknya Kerajaan Cik Bebesen melalui penuturan Awan (kakek) Reje Neggeroi Bebesen kepada Mohd. Djadun di Mersah Bebesen menjelang Zhuhur pada tahun 1960-an. Yang mana terbentuknya Cik Bebesen tidak telepas dari kedatangan Batak Dua Puluh Tujuh yang kemudian berhasil mendirikan kedaulatan sendiri di Bebesen sekitar tahun 1607 M.8.

Kemudian tulisan ketiga yakni dalam jurnal Ibrahim Chalid, Mitos Asal Usul Orang Gayo, (Jurnal SUWA Universitas Malikussaleh, Vol. XIII, NO, Desember 2015. Menjelaskan tentang folklore Batak Dua Puluh Tujuh yang orang Aceh dan sebagian orang Gayo bahwasanya orang Gayo berasal dari Batak. Cerita tersebut memberi pengaruh besar terhadap pemahaman masyarakat Aceh dan Gayo terkait identitas orang Gayo.

Keempat, merupakan thesis dari Sayyid Mudin sayyid Mubin berjudul Cerita Rakyat Batak Dua Puluh Tujuh Tentang Migrasi Orang Batak Ke Tanah Gayo di Kecamatan Bebesen Kabupaten Aceh Tengah. Ia menjelaskan tentang migrasi orang Karo ke Gayo. Beliau banyak atau terfokus pada kajian Snouck sebelumnya tentang Gayo masyarakat dan budayanya awal abad ke 20 yang menjabarkan migrasi orang Karo ke Gayo awalnya sebagai budak atau Temuluk dan juga dengan narasi narasi Batak Dua Puluh Tujuh.

8 Mahmud Ibrahim, Mujahid Dataran Tinggi Gayo, (Takengon: Yayasan Maqammamahmuda, 2007), hlm. 69.

(19)

Oleh karena itu penelitian ini berbeda dari penelitia sebelumnya. Penelitian ini mengumpulkan data-data lain yang lebih kolektif dari tradisi lisan yang berkembang di Aceh Tengah. Kisah Batak Dua Puluh Tujuh dapat dikatakan barang sensitif di kalangan orang Gayo sendiri. Oleh sebab itu penelitian ini penting dilakukan guna memberikan jawaban yang lebih ilmiah terkait identitas Gayo dan kedatangan dari Batak 27 itu sendiri.

1.7. Sistematika Penulisan

Untuk memudahkan bagi para pembaca dalam memahami penulisan ilmiah ini, maka penulis membagi penelitian dalam 5 bab, dan masing-masing bab mempunyai hubungan tang tidak dapat dipisahkan antara satu dengan yang lain. Bab pertama merupakan pendahuluan. Di dalamnya dipaparkan mengenai latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, penjelasan istilah, kajian pustaka (library reseach) metode penelitian dan sistematika penulisan

Bab satu, berisikan latar belakang sebagai pendahuluan penelitian. Di dalamnya memaparkan objek penelitian yang akan diteliti, rumusan masalah serta tujuan dan manfaat dari penelitian tersebut.

Bab kedua, menjelaskan landarsan teori yang digunakan. Dalam penelitian ini berisikan landasan teori tentang Sejarah, Sejarah Lisan dan Tradisi Lisan

Bab ketiga, lokasi penelitian metode. Lokasi penelitian di Lakukan di Kabupaten Aceh Tengah khususnya Kampung Bebesen. menggunakan metode Sejarah yakni pengumpulan data, verifikasi, interpretasi dan historiografi.

(20)

9

Bab keempat merupakan hasil dan pembahasan, di dalamnya berisikan hasil hasil penelitian setelah melakukan pengumpulan data, verifikasi data daninterpretasi data dari 4 sumber data tulisan serta 4 sumber data lisan (Tradisi Lisan)

Bab kelima, merupakan kesimpulan dan saran dari penelitian yang telah dilakukan. Isinya merupkan jawaban dari rumusan masalah yang telah dibentuk semenjak Bab satu.

(21)

10 BAB II

LANDASAN TEORI 1.1. Pengertian Sejarah

Kata sejarah dalam bahasa Indonesia merupakan serapan kata dari bahasa Melayu yaitu syajarah. Kata syajarah terserap ke dalam bahasa Indonesia setelah proses akulturasi yang cukup panjang. Kata sejarah merupakan isim masdar atau kata benda yang menunjukkan kesatuan atau juga arti yang beragam, semisal pohon.

Sejarah yang berarti pohon dikonotasikan mengandung makna geneologi (keturunan), yaitu terkait dengan pohon yang melambangkan asal-usul atau silsilah keluarga, keluarga raja, keluarga istana dan seterusnya.9

Dalam bahasa Arab istilah sejarah lebih dikenal dengan tarikh, dari akar kata arrakha yang berarti mencatat atau menulis tentang waktu serta pristiwa. Dalam bahasa Yunani dikenal dengan sebutan historia, dalam bahasa Inggris history, bahasa Jerman geschicthe dan sebagainya. Dari berbagai bahasa di atas dapat ditegaskan bahwa sejarah menyangkut waktu dan pristiwa.10

Menurut Nourzzaman Shiddiqie, sejarah tidak hanya sekedar informasi tentang pristiwa itu sendiri, melainkan juga terdapat interpretasi sebab-akibat di dalamnya. Sejarah adalah merekontruksi masa lalu, yaitu membangun kembali yang sudah dialami, dipikirkan, dikatakan, dikerjakan dan dirasakan oleh orang di masa

9 Aam Abdillah, Pengantar Ilmu Sejarah, (Bandung: Pustaka Setia Bandung, 2012), hlm. 11.

10 Ibid .., hlm. 14.

(22)

11

lalu. Dan perlu dipertegas, bahwa membangun masa lalu bukanlah untuk kepentingan masa lalu.11 Untuk pengertian yang lebih seksama, sejarah adalah kisah dan pristiwa umat manusia di masa lalu. Memang banyak cefinisi terkait sejarah yang diberikan para ahli, dan pengertian tersebut juga tampaknya lebih representatif.12

1.2. Tradisi lisan

Istilah tradsisi sering didapat dalam berbagai literatur. Istilah ini muncul di dunia Barat setelah desakralisasi terhadap pengetahuan yang semakin menjadi jadi.

Penemuan kembali istilah tradisi merupakan ganti rugi alam terhadap pengetahuan atas lawan tandingnya yakni tradisi (Kristen, Yahudi dan Islam) di penghujung abad pertengahan, yang menjadi proses desakralisasi terhadap pengetahuan tersebut.

Bahasa-bahasa yang ada sebelum zaman modern sama sekali tidak pernah memiliki istilah yang maknanya merujuk pada pengertia tradisi, karena masyarakat sebelum era modern telah diwarnai oleh orang-orang yang berpemikiran tradisonal. Mereka terlalu tenggelam di dalam dunia yang dibangun atas tradisi untuk menerjemahkan konsep ini secara ekslusif. 13

Diibaratkan sebagai anak ikan yang bertanya pada induknya tentang air yang sering didengarnya namun tidak diketahui wejudnya. Sang induk pun menjawab dengan menjelaskan pengertian air dengan lebih dahulu menjelaskan adanya realitas

11 Aam Abdillah, Pengantar Ilmu .., hlm. 15.

12 Dudung Abdurrahman, Metode Penelitian Sejarah, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999), hlm. 1.

13 Ahmad Norma Permata (ed.), Perennialisme: Melacak Jejak Filsafat Abadi, (Yogyakarta:

Tiara Wacana Yogya, 1996), hlm. 144.

(23)

non-air. Demikian juga kehidupan manusia normal saat ini yang sepenuhnya mengandung sebuah unsur yang sekarang kita sebut sebagai tradisi, membuat manusia tidak memiliki nilai rasa atau pengertian terpisah dari tradisi. Sehingga tradisi di zaman modern ini tidak perlu di definisikan.14

Sudah saatnya konsep tentang tradisi diungkapkan, diekspresikan dan diajarkan, karena itulah yang seharusnya terjadi di saat-saat terakhir sejarah manusia.

Tetapi tampaknya tulisan tradisional masih jauh dari populer. Kata tradisi secara etimologi sebenarnya berkenaan dengan penyebaran pengetahuan, budaya, hokum dan lainnya, baik secara lisan atau tulisan. Dalam pengertian universal, tradisi juga dapat diartikan prinsip-prinsip yang mengikat manusia dan langit (spiritual). Tradisi bukanlah mitologi kekanak-kanakan dan usang, namun sebuah keilmuan yang benar nyata. Tradisi juga seperti agama yang terdiri dari dari 2 unsur utama yaitu kesejatian (truth) dan kehadiran (presence).15

Tradisi lisan adalah cerita rakyat yang diungkapkan secara lisan dan diteruskan secara beruntun yang juga melalui lisan. Pelisan sendiri titak terikat dan terkait atas cerita itu, karena ia tidak hidup di masa itu. tradisi lisan juga disebut dengan tradisi tutur atau cerita tutur. Dalam kepentingan rekontruksi sejarah yang sudah cukup lampau atau agak lalu, tradisi lisan juga masih sering digunakan sebagai

14 Ahmad Norma Permata (ed.), Perennialisme: Melacak Jejak …., hlm. 145.

15 Ibid…, hlm. 147.

(24)

13

pengisi minimnya sumber sejarah yang berasal dari dokumen ataupun sejarah lisan.

Menurut Vansina, tradisi lisan adalah bayangan dari kebenaran.16

Kemudian kita beranjak dan mempertegas apa yang dimaksud dengan tradisi lisan (oral tradition). Manusia yang hidup dalam ruang lingkup tertentu (lingkungan alam dan sosial), selalu ingin mengetahui dan menjelaskan realitas yang mereka sedang atau telah mereka alami, yang kelak menjadi kenangan atau menjadi pengalaman masa lalu mereka, baik itu berupa, bencana, tragedi, perang atau kisah yang bersifat monumental lainnya. Upaya untuk memahami dan menjelaskan realitas lingkungan tersebut tentunya harus sesuai dengan alam pikir masyarakat di masa itu (tertentu).17

Budaya oralitas tersebut biasanya berasal dari masyarakat tradsional yang umumnya tidak menghasilkan dokumen. Mereka berkomunikasi secara alami menggunakan mulut yang menghasilkan suara dalam bahasa-bahasa tertentu. Suara- suara itu akan lenyap begitu saja di udara dan menghasilkan keheningan sampai berlanjut menjadi kesenyapan. Suara itu tidaklah lagi berarti manakala tidak diingat dan diresapi oleh setiap individu dalam berkomunikasi. Suara-suara itu pastinya menjadi sia-sia jika tidak dimaknai oleh sesama manusia.18

Semisal dalam tingkat kehidupan manusia yang masih dikuasai oleh cara berfikir magis, maka tidak ada satu unsur pun yang lengkang dari dari suatu hal yang

16 Sugeng Priyadi, Sejarah Lisan, (Yogyakarta: Penerbit Ombak, 2020), hlm. 18.

17 I Gde Widja, Sejarah Lokal: Suatu Perspektif Dalam Pengajaran Sejarah, (Bandung:

Angkasa, 1991), hlm. 56

18 Sugeng Priyadi, Sejarah Lisan, (Yogyakarta: Penerbit Ombak, 2020), hlm. 4.

(25)

bersifat ajaib, absurd dan janggal. Dengan demikian perspektif semacam ini, cara mereka memahami dan menjelaskan pengalaman tersebut bukanlah sebuah kesengajaan yang mengacaukan fakta dengan khayal mereka, sehingga kelak mucullah istilah yang kita kenal dengan mite, lagenda ataupun dongeng. Dalam cara berfikir rasional, lagenda, mite atau pun dongeng dianggap sebagai penjelasan non- faktual (non-sejarah). Maka bagi kelompok pendukung budaya tersebut, mito, legenda dan kerabatnya juga merupakan sejarah itu sendiri.19

Dalam uraian sebelumnya dapat diketahui bahwa tradisi tersebut muncul sebagai upaya mengabadikan pengalaman-pengalaman masa lalu tersebut melalui cerita dan disampaikan secara turun-temurun. Vansina (1985: 27) menyebutkan unsur terpemting dari tradisi lisan (oral history) berupa pernyataan verbal dalam bentuk, peryataan-pernyataan yang diungkapkan secara lisan, ataupun dinyanyikan dengan alat musik dan lagu. Di sini dapat dilihat perbedaan tradisi lisan antara tradisi lisan dan tradisi tertulis, yang mana pesan-pesan tradisi tertulis disampaikan dengan tulisan sedangkan, tradisi lisan tidak.

Vansina membedakan tradisi lisan menjadi menjadi beberapa jenis, berikut pembagiannya.20

1. Petuah-petuah; yaitu kalimat atau kata-kata yang memiliki arti dan makna penting bagi suatu kelompok. Disampaikan secara berulangulang dari generasi

19 I Gde Widja, Sejarah Lokal: Suatu Perspektif Dalam Pengajaran Sejarah, (Bandung:

Angkasa, 1991), hlm. 56

20 I Gde Widja, Sejarah Lokal: Suatu Perspektif …., hlm. 60.

(26)

15

ke generasi dan menjadi pandangan filosofis bagi kelompok tersebut.

Rusmusan katanya atau kalimatnya seupauya mungkin tidak boleh diubah, meskipun dalam kenyataannya perubahan bisa saja terjadi. Namun karena dianggap memiliki nilai sakral, ruusan kata itu tetap dianggap tidak berubah 2. Kisah; berikutnya adalah berupa kisah, baik itu kisah perorangan ataupun

kelompok. Kisah perorangan atau keluarga dalam masyarakat biasa menyangkut tokoh pemimpin kelompok tersebut. Kemudian berkembang menjadi tradisi/kisah asal usul keturunan (geneologi) yang menjadi kisah milik kelompok dan dikeramatkan pula oleh generasi-generasi setelahnya.

3. Cerita Kepahlawanan; berisikan tindakan-tindakan berani dan ksatria yang terkesan bagi kelompok pemilik cerita tersebut. Dalam cerita semacam ini masih dapat ditemukan sisi historisnya (fakta), namun juga telah disisipi dengan unsur-unsur yang bersifat mistis dan magis. Kisah semacam ini bisa kita temukan di beberapa wilayah Nusantara, seperti kisah Jampang dan Pitung dari Betawi dan kisah Hang Tuah dan Badang dari negri Melayu.

4. Dongeng; bentuk tradisi lisan ini dapat dikatakan sepenuhnya fiksi, yang didalamnya tidak didapatkan di dalamnya sekalipun fakta. Tujuannya tidak lain adalah hanya sebagai hiburan, di dalamnya berisi sastra dan juga petuah.21

21 I Gde Widja, Sejarah Lokal: Suatu Perspektif …., hlm. 60.

(27)

1.3. Perbedaan Sejarah Lisan dan Tradisi Lisan

Tradisi lisan sangat erat hubungannya dengan sastra, sejarah, bahasa, biografi dan berbagai pengetahuan serta jenis kesenian lain, yang disampaikan dari mulut ke mulut. Tradisi lisan adalah segala wacana yang diucapkan turun-temurun. Hakikat tradisi lisan diartikan juga sebagai wacana yang bukan aksara.22 Masa lalu Aceh sendiri juga banyak dikemas dalam bentuk hikayat, oleh karena itu Soemarsaid Mortono menyebutkan bahwa, ”lagenda-lagenda lokal perlu kiranya digalakkan karena dalam sejarah kebudayaan, anggapan dan kepercayaan yang berkembang di masyarakat juga merupakan fakta sejarah yang mimiliki arti sendiri”.23

Tampaknya kita juga harus membahas tentang pembedaan sejarah lisan dan tradisi lisan. Jan Vansia memberi batasan tradisi lisan (oral tradition) sebagai kesaksian yang disampaikan secara lisan, dari satu generasi ke generasi berikutnya..

Dalam tradisi lisan tidak termasuk kesaksian yang merupakan data lisan. Tradisi lisan hanya terbatas pada kebudayaan lisan dari suatu kelompok yang belum mengenal tulisan. Tradisi lisan juga merupakan perekaman sumber sejarah masa lampau yang didalamnya mengandung nilai moral, agama, adat, cerita imajinasi, pribahasa, nyanyian dan mantra. 24

22 Sanusi Ismail dkk, Nandong: Tradisi Lisan Simeulu, Jurnal Sejarah dan Kebudayaan Islam Indonesia Vol. 1, No. 1, 2020.

23 Kamaruzzaman Bustamam, Acehnologi 2, (Banda Aceh: Bandar Publishing, 2017) hlm.

375.

24 Kuntowijoyo, Metodelogi ..., hlm. 21.

(28)

17

Oleh karena itu, tradisi lisan masih menjadi sumber penulisan bagi antropolog dan sejarawan. Sedangkan sejarah lisan tidak didapatkan, melainkan dicari dengan kesengajaan, yaitu termasuk seperti wawancara.25 Berbeda dengan tradisi lisan, sejarah lisan tidak didapatkan melalui generasi dimasa lalu, melainkan dicari dengan kesengajaan. Teknik pengambilan sumbernya adalah dengan wawancara, bahkan Herodotus di abad ke-5 SM menggunakan saksi-saksi mata dengan menanya silang.26 1.4. Peranan tradisi lisan dalam penulisan sejarah

Untuk menghubungkan tradisi lisan dan sejarah, kita perlu mengetahui peranannnya sebagai sumber sejarah untuk mewujudkan fakta sejarah tersebut.

Sebelum menunjukkan perannannya ada baiknya dijelaskan terlebih dauhulu dari tradisi lisan tersebut. Pertama, sifat dari tradisi lisan yang anakronis, dalam arti tidak menonjolkan urutan-urutan waktu secara benar. Di dalamnya tidak merincikan kapan dan rangkain pristiwa dalam susunan waktu yang benar. Kekurangan lain dari tradisi lisan ialah besarnya unsur subjektifitas yang dihadirkan, hal tersebut dikarenakan tradisi lisan mengandung pesan-pesan verbal yang disampaikan secara turun-temurun, semakin banyak generasi yang dilalui, maka akan semakin banyak unsur subjektifnya.27

25 Kuntowijoyo, Metodelogi …, 21.

26 Kuntowijoyo, Metodelogi Sejarah, Edisi 2, (Yogjakarta: Tiara Wacana, 2003), hlm. 25.

27 I Gde Widja, Sejarah Lokal: Suatu Perspektif …., hlm. 63

(29)

Hal ini terpengaruh oleh pesan verbal dan interpretasi dari penerimanya, karena suatu yang subjektif dari tradisi lisan tersebut muncul dari penutur dan penerimanya. Mungkin masih banyak lagi kekurangan tradisi lisan yang dapat diuraikan, namun disisi lain perlu diperhatikan peranan Tradisi Lisan dalam sejarah.

Pertama, perlu diketahui hal-hal positif yang dimiliki tradisi lisan, misalnya bahwa tradisi lisan memiliki informasi yang sangat luas tentang kelompok atau etnis dengan bermacam aspeknya. Dalam hal ini, sumber lain termasuk sumber tertulis tidak memiliki keluasan seperti yang dimiliki tradisi lisan. 28

28 I Gde Widja, Sejarah Lokal: Suatu Perspektif …., hlm. 60

(30)

19 BAB III

METODE PENELITIAN 1.1. Lokasi Penelitian

Secara umum, penelitian ini mengambil wilayah Aceh Tengah sebagai tempat pengambilan data penelitian, namun secara khusus penelitian mengambil kampung Bebesen sebagai lokasi penelitian. Hal tersebut dikarenakan cerita atau kehadiran Batak Dua Puluh Tujuh sangat memiliki kaitan dengan terbentuknya Kejurun Reje Cik Bebesen yang mana Lebe Kader sebagai raja pertamanya.

Kampung Bebesen merupakan kampung tertua dari 33 kampung yang berada di Kecamatan Bebesen, Kabupaten Aceh Tengah. Terletak di ketinggian 1400 sampai 1500 meter diatas permukaan laut, dengan kordinat LU: 096’.50’14.9’ BT:

04’38’06.o. Bebesen memiliki luas 247.174 m2. Memiliki kurang lebih 19 Ha pemukiman masyarakat beserta lahan perkebunan atau pertanian beserta juga fasilitas umum seperti menasah, masjid, perkantoran dan pendidikan dan lainnya dengan luas area 6 Ha. Mayoritas masyarakat bekerja sebagai petani, berdagang dan pedawai negri.29

Kampung Bebesen terdiri dari 6 dusun 1. Dusun Kemuning

2. Dusun Ujung Bebulon 3. Dusun Kabinet

4. Dusun Telege Dumen

29 Kampung Bebesen, Rencana Pembagunan Jangka Menegah (RPJM) Kampung Bebesen 2021-2027, hlm. 32.

(31)

5. Dusun Pintu Nangka 6. Dusun Bunge Pekan

Batas-batas kampung sebagai berikut 1. Utara berbatasan dengan Kampung Umah Opat 2. Selatan berbatasan dengan Kampun Kebet

3. Timur Berbatasan dengan Kampung Simpang Empat 4. Barat berbatasan dengan Kampung Empus Talu 1.1.1. Jumlah Penduduk Menurut Golongan Umur

Data berikut bermanfaat untuk mengetahui laju pertumbuhan dan jumlah angkatan kerja dan penduduk yang ada. Data penduduk menurut golongan umur di Desa Bebesen dapat dilihat pada tabel dibawah berikut.30

No Umur (Tahun) Jumlah Jiwa

1. 0 Bln – 12 Bln 42

2. 12 Bln – 5 Thn 96

3. 5 Thn – 10 Thn 223

4. 10 Thn – 25 Thn 366

5. 25 – 60 Thn 873

6. 60 tahun keatas 123

Jumlah 1.732

Sumber data : data Pengulu Kampung Bebesen 2021

30 Kampung Bebesen, Rencana Pembagunan Jangka Menegah (RPJM) Kampung Bebesen 2021-2027, hlm. 32.

(32)

21

1.1.2. Jumlah Penduduk Menurut Tingkat Pendidikan

Pendidikan merupakan factor yang mempengaruhi sumberdaya manusia dalam pembangunan desa. Pembangunan desa akan berjalan lancar apabila penduduknya memiliki mendapatkan pendidikan yang cukup dan tinggi. Bebesen sendiri memiliki kesulitan dalam sarana pendidikan SMA, dikarenakan SMA dapat dikatakan cukup jauh dari pemukiman Bebesen. Oleh karena itu pelayanan pendidikan dan pemahaman akan pendidikan oleh masyarakat dapat dikatakan masih kurang, berikut dara penduduk menurut tingkat pendudukannya.31

No. Tingkat Pendidikan Jumlah (orang)

1. Tidak Sekolah / Buta Huruf 2

2. Tidak Tamat SD / Sederajat 260

3. Tamat SD / Sedarajat 201

4. Tamat SMP / Sederajat 350

5. Tamat SMA / Sederajat 583

6. Tamat D1, D2 Dan D3 146

7. Tamat Sarajana / S-1 188

Sumber Data: Data Potensi Sosial Ekonomi Desa Tahun 2021

31 Kampung Bebesen, Rencana Pembagunan Jangka Menegah (RPJM) Kampung Bebesen 2021-2027, hlm. 34.

(33)

1.1.3. Jumlah Penduduk Menurut Mata Pencaharian

Mata pencaharian penduduk Bebesen sebagian besarnya masih terikata pada sector perkebunan dan pernanian. Hal tersebut menyebutkan bahwa sektor perkebuanan atau pertanian memiliki peranan yang cukup penting dalam pembangunan ekonomi masyarakatnya. Sebagian lain penduduknya merupakan pedagang serta sebagian lain juga termasuk dalam aparatur sipil negara. Berikut penjabarannya.32

Buruh Tani

Tani Wiraausaha Swata Pegawai Lainnya

134 262 39 42 256 692

1.2. Metode Penelitian

Metode penelitian adalah cara atau jalan yang ditempuh untuk melakukan penyelidikan yang seksama dan teliti mengenai suatu permasalahan. Oleh karena itu dalam penelitian ini juga digunakan suatu metode yang dijadikan sebagai landasan penulisan. Metode yang digunakan adalah metode penelitian sejarah penelitian sejarah lisan yang mencakup beberapa langkah sebagai berikut.33

32 Kampung Bebesen, Rencana Pembagunan Jangka Menegah (RPJM) Kampung Bebesen 2021-2027, hlm. 35.

33 Sugeng Priyadi, Sejarah Lisan, (Yogyakarta: Penerbit Ombak, 2020), hlm. 4.

(34)

23

1.1.1. Pengumpulan Sumber (Heuristik)

Pencaharian data atau bentuk sejarah data sejarah lisan ialah berupa kesaksian suara dari masa lalu. Kesaksiaan itu berupa pernyataan verbal dari narasumber langsung, bukan secara tertulis. Oleh karena itu cara yang tepat dalam penemuan data sejarah lisan adalah dengan wawancara, dan sejarawan harus juga mencari banyak data dengan memperbanyak narasumber yang terlibat. Sejarawan dalam upaya mendapatkan data mestinya tidak hanya melakukan satu kali atau 2 kali mewawancarai seorang pelaku, melainkan berkali-kali guna memancing ingatan narasumber yang perah terlupakan akibat kelemahan dari manusia sendiri yang berupa lupa, pada metode penelitian sejarah konvensional, langkah ini serupa dengan tahapan heuristik.34

1.1.2. Verifikasi Sumber

Setelah menemukan banyak persepsi dari berbagai informan, biasanya akan menimbulkan kebingungan dalam menentukan kebenaran bagi sejarawan. Sejarawan sendiri akan resah ketika menghadapi bermacam versi yang disampaiikan oleh berbagai informan. Hal tersebut tidak mengherankan, akibat lidah yang tak bertulang bisa saja berubah-ubah kesaksiannya, ditambah lagi sejarawan juga akan dihadapi dengan pemahaman subjektif yang tertanam pada informan sendiri, oleh karena itu verifikasi atau kritik sumber sangat diperlukan.35

34 Sugeng Priyadi, Sejarah…, hlm. 91.

35 Ibid…, hlm. 95.

(35)

Verifikasi sumber adalah kritik, pengujian kebenaran atau ketetapan terhadap sumber sejarah. Kritik sumber dibagi menjadi dua yaitu kritik eksternal dan kritik internal. Kritik eksternal berguna untuk menetapkan keaslian atau auntentitas data.

Apakah fakta peninggalan atau dokumen itu merupakan yang sebenarnya, bukan palsu. Kritik Internal walaupun dokumen itu asli, berupaya mengungkapkan latar belakang penyampai atau penulisnya, apakah ia jujur atau bahkan apa yang ia sampaikan terhegemoni oleh hal-hal tertentu. 36

1.1.3. Interpretasi Data

Setelah sumber sejarah lisan melewati tahapan verifikasi, maka akan menghasilkan data berbentuk mentifact. Mentifact yang dalam bahasa antropolog ini berupa ide, gagasan dan nilai ini disebut dengan sistem budaya. Pada dasarnya, ketika melakukan wawancara, otak manusia akan mengangkat memori atau ingatan yang terpendam di otaknya, dan berupaya menumpulkan ingatan atau pengalaman yang terlupa atau bahkan terhapus di kepala. Setelah melewati tahapan verifikasi, maka ia tidak disebut sebagai fakta, melainkan fakta sejarah.37

Dalam historiografi diketahui bahwa terdapat 2 unsur dalam penulisan sejarah, yaitu fakta sejarah dan penafsiran sejarah. Fakta sejarah dari sejarah lisan akan difokuskan dalam bentuk penuturan, berbeda pada umumnya yang berbentuk dokumen atau tulisan lain serta pada mentifact terdapat socifact yang berupa

36Saifuddin Azwar, Metode Penelitian, (Yogyakarta: pusaka pelajar, 1998), hlm.126.

37 Sugeng Priyadi, Sejarah…, hlm. 98.

(36)

25

penuturan. Langkah menafsirkan mentifact bagi sejarawan ialah membaca sumber lisan yang telah ditranskipkan.38

Interpretasi dapat dikatakan menafsirkan fakta sejarah dan membangun fakta tersebut dalam suatu yang dapat dikatakan masuk akal. Dari berbagai fakta yang telah ditemukan kemudian disusun secara terstruktur, agar fakta yang dihadirkan berdasarkan penfasiran yang benar, untuk menghindari salah tafsir akibat dari pemikiran yang yang sempit, proses penafsiran sejarah diharuskan agar mencapai faktor-faktor atau sebab-akibat yang menyebabkan terjadinya suatu peristiwa.39 Pada tahap ini penulis melakukan atau menganalisis peristiwa-peristiwa sejarah berdasarkan data atau fakta yang terkumpul, dengan tujuan agar penulis mampu menguasai pembahasan yang hendak dibahas nantinya

1.1.4. Penulisan (Historiografi)

Secara bahasa historiografi bermula dari bahasa Yunani, terdiri dari 2 kata yaitu historia yang berarti pengkajian tentang alam dan grafein berarti karangan atau keterangan. Historiografi memiliki beberapa pengertian, yaitu historiografi sebagai tahap akhir dari metode pengkajian sejarah, juga dapat difahami sebagai rokontruksi imajinatif terkait pristiwa masa lalu setelah melewati rangkaian pencarian data, menguji dan menganalisi secara kritis rekaman masa lalu. Historiografi juga dapat

38 Sugeng Priyadi, Sejarah…, hlm. 101.

39 Dudung Abdurrahman, Pengantar Metode Penelitian, (Yogyakarta: Kurnia Kalam

Semesta, 2003), hlm. 7.

(37)

diartikan sebagai pengkajiaan terhadap karya, atau tulisan sejarah yang telah dikaji sebelumnya.40

1.2. Teknik Pengumpulan Data 1.2.1. Observasi

Observasi adalah cara pengumpulan data yang umumnya digunakan oleh peneliti, yaitu dengan terjun langsung ke lapangan pada objek penelitian.41 Dalam penelitian ini penulis terlibat langsung di lapangan, dengan menemukan isu-isu tentang cerita Batak Dua Puluh Tujuh dan kemudian melakukan pengkajian lebih lanjut dengan menemui informan yang dikira pantas dijadikan sebagai narasumber dalam kajian tradisi lisan yang berjudul Ingatan dan Memori Masyarakat Aceh Tengah Tentang Batak Dua Puluh Tujuh ini.

1.2.2. Wawancara

Wawancara adalah usaha atau cara yang digunakan untuk mengumpulkan informasi dengan mengajukan beberapa pertanyaan secara lisan.42 Wawancara yang penulis maksudkan adalah untuk memperoleh informasi terkait Kisah Batak Dua Puluh Tujuh. Tujuan dilakukan wawancara untuk mendapatkan informasi tambahan dari kekurangan yang ada di sumber tertulis. Dan terlebih lagi dalam penelitian tradisi lisan lebih menekankan pada wawancara. Pada wawancara penelitian kali ini kami

40 Nina Herlina, Historiografi Indonesia dan Permasalahannya, (Bandung: Satya Hitorika, 2009), hlm. 9.

41 Riduan, Metode Riset, (Jakarta: Rineka cipta, 2004), hlm. 104.

42 Helius Syamsuddin, Metodologi Sejarah, (Yogyakarta: Ombak, 2007), hlm. 85

(38)

27

mewawancarai 4 narasumber, yakni Ibnu Hajat Laut Tawar sebagai tokoh adat, Banta Cut Aspala (Kepala Majlis Adat Gayo), bapak Ratibin (tokoh adat), Awan Apai (orantua di Bebesen).

1.2.3. Dokumentasi

Dokumentasi merupakan pengumpulan data yang diperoleh dari catatan- catatan atau sumber tertulis dari objek penelitian yang terpercaya atau tulisan sebelumnya.43 Bertujuan memperkuat data-data yang sebelumnya terkumpul dari hasil observasi dan wawancara, sehingga dapat diperoleh data yang akurat dan relevan. Dokumentasi yang dimaksudkan penulis disini yaitu berupa foto-foto, atau tulisan lain berupa buku, thesis, skripsi, jurnal serta dokumen dalam bentuk lainnya.

1.3. Analisis Data

Analisis data merupakan suatu pencarian pola-pola dalam data, yaitu perilaku yang muncul dan objek-objek suatu pola diidentifikasi pola itu ke dalam istilah-istilah teori sosial atau latar di mana teori sosial itu menjadi analisis data yang mencakup menguji dapat menyatakan suatu tindakan, keberadaan, pengalaman atau pengertian dinamis lainnya, memilih daya yang diperlukan dan mengeluarkan data yang tidak diperlukan dan terekam.44 Dalam hal ini penulis menggunakan metode deskriptif analisis, yaitu metode untuk memberi gambaran tentang objek yang diteliti, melalui data yang diperoleh dari hasil observasi, wawancara dan dokumentasi yang telah

43 Sugiono, Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&D, (Bandung: Alfabeta, 2011), hlm. 22.

44 Rulam Ahmadi, Metodelogi Penelitian Kualitatif, (Yogyakarta:Ar-Ruzz Media,2016), hlm.

230.

(39)

terkumpul sebagaimana adanya tanpa melakukan analisis dan membuat kesimpulan yang berlaku untuk umum.

(40)

29 BAB IV PEMBAHASAN 1.1. Kisah Batak Dua Puluh Tujuh Dalam Literatur 1.1.1. Snouck Hourgronye

Dalam bukunya yang berjudul Gayo Masyarakat dan Kebudayaannya Awal Abad 20 yang telah diterjemahkan oleh Hatta Hasan Aman Asnah, didalamnya diceritakan bahwa. Masayarat Gayo pada masa itu telah memeluk agama Islam dan berdaulat atas Kerajaan Aceh. Wilayah Gayo dibagi dalam dua kerajaan yaitu Gayo Lut yang dipimpin oleh Reje Bukit dan Patiambang di Gayo Lues (Gayo Deret.

Awalnya datanglah 7 orang Batak yang dipimpin oleh Lebe Kader melewati Alas dan Tanoh Gayo berangkat menuju Aceh dengan tujuan memeluk Islam dan belajar mengaji. Kemudian disusul kembali dengan kedatangan 20 orang Batak dengan tujuan yang sama.

Mereka yang datang menyusul ini membawa banyak perbekalan dan ditambah lagi titipan ongkos untuk ketujuh teman mereka yang telah lebih dahulu pergi menuju Aceh. Melihat pundi-pundi yang berisi penuh ini, timbul niat jahat dari salah satu Reje Gayo, yaitu Reje Bukit. Reje Bukit menantang 20 orang Batak ini untuk berjudi, dan mereka pun menerimanya. Ternyata Reje Bukit kala itu kurang beruntung, ia harus menelan kekalahan dengan sebagian hartanya diserhkan kepada orang Batak tersebut. Dibayang-bayangi kemarahan, rasa malu, kesal dan iri. Reje Bukit nekat memancung salah seorang diantara mereka dan menggantungnya disebuah pokok

(41)

bambu yang tidak jauh dari Bebesen. Oleh karena itu tempat itu disebut dengan Pegantungen.45

Kesembilan belas orang Batak lainnya merasa ketakutan dan langsung melarikan diri ke Aceh untuk menemui ketujuh temannya dan sekaligus menyampaikan kezhaliman Reje Bukit ke pada Raja Aceh. Kesultanan Aceh merestui mereka memerangi Reje Bukit dengan syarat Reje Bukit sendiri tidak boleh dibunuh.

Dalam perjalanan menuju Gayo lawan yang pertama meraka jumpai berada di Beruksah, namun dapat diusir dan orang Gayo kembali membuat pertahanan disebuah tempat dengan nama Kute Gelime, namun mereka pun terdesak lagi hingga sampai diwilayah Bebesen, tempat kedudukan Reje Bukit. Di Ujung Bebulon, sebuah tanah lapang Reje Bukit mengatur strategi.

Namun orang Batak masih terus bergerak dan membangun pertahanan di Kuta Melaka, disini diam-diam mereka berkerja sama dengan budak atau Temuluk dari Reje Bukit.46 Mereka bekerja sama dan menjalankan siasat menaikkan bendera putih di sebuah bukit dan bukit itupun diberi nama Bur Pepanyi. Tujuanya adalah memberi propaganda kepada raja bahwa musuh dengan kekuatan yang sangat besar. Perang pun tak bisa terelakkan, kedua pasukan tersebut bertemu disebuah tempat bernama Paya Tumpi. Mengingat janji pada raja Aceh bahwa Reje Bukit tidak boleh dibunuh,

45 C. Snouck Hurgronye, Het Hajoland En Zijn Bewoners, (Terj. Hatta Hasan aman Asnah) (Jakarta: Balai Pustaka, 1996), hlm. 35.

46 Biasanya raja Aceh ataupun raja yang berada di Gayo mengambil budak dari negeri luar yaitu umumnya Batak, karena apabila dibawa dari negri terdekat maka budak tersebut akan pulang ke negrinya.

(42)

31

merekapun menggunakan terong peret yang jika terkena tubuh akan terasa sangat gatal sekali.47

Sementara itu para budak yang telah bekerjasama dengan orang Batak mengatakan bahwa pasukannya telah kalah. Kabar ini membuat Reje Bukit panik dan berusaha melarikan diri, dalam pelariannya ia terjebak rawa (paya) dekat dengan wilayah Kebayakan, dan tempat itupun dinamai dengan sebutan Paya Reje. Setelah itu dibuatlah perjanjian berdasarkan keputusan Raja Aceh, orang Gayo harus berbagi kekuasaan dengan orang Batak. Reje Bukit dan anak buahnya menempati wilayah Kebayakan dan keduapuluh enam orang Batak diberi kekuasaan diwilayah Bebesen dan menjadi kampung induk Reje Cik Bebesen.48 Kedua kelompok hidup secara berdampingan walaupun sering terjadi konflik kecil antara kedua kelompok tersebut.

1.1.2. Mahmud Ibrahim

Mahmud Ibrahim sendiri mendapatkan kisah Batak Dua Puluh Tujuh ini secara lisan yang disampaikan oleh Awan (kakek) Reje Nenggeroi Bebesen kepada Tgk. Mohd Djadun di Menasah Toa, Bebesesn menjelang zhuhur bulan Syawal sekitaran tahun 1960. Beliau menceritakan tentang bagaimana terbentuknya Reje Cik Bebesen. Diceritakan ada 5 orang pemuda Karo yang kala itu bermain judi bersama pemuda Bebesen di Pejudin. Perjudian itu dimainkan dengan cara meletakkan beberapa batu kerikil di telapak tangan dan tugas pemuda lokal menebaknya. Dalam

47 C. Snouck Hurgronye, Het Hajoland En Zijn Bewoners, (Terj. Hatta Hasan aman Asnah) (Jakarta: Balai Pustaka, 1996), hlm. 36.

48 Ibud…, hlm 34.

(43)

permainan tersebut pemuda Karo dapat dikatakan menang dan pemuda Bebesen merasa bahwa mereka dicurangi.49

Pemuda Bebesen pun meminta izin untuk mengusir mereka kepada Reje Bukit, dan apabila mereka melawan mereka akan dihajar, karana telah mengalahkan pemuda Bebesen dalam perjudian. Reje Bukit tentunya tidak memberikan izin atas hal tersebut. Beberapa hari kemudian pemuda Bebesen pun mengejar ke lima pemuda Karo tersebut dan sempat tertahan di sebuah tempat yang sekarang disebut Tan Saril, tan dalam bahasa Gayo berarti menahan. Sempat beberapa hari bertahan di Tan Saril, pemuda Karo tersebut pun berlari dan akhirnya tertangkap hingga dibunuh. Dalam pristiwa itu 3 pemuda Karo terbunuh dan kepalanya digantung diatas sebuah pohon, tempat pengantungan itu saat ini dikenal dengan nama Pegantungen.

Reje Bukit yang mengetahui pristiwa itu sangat murka. Sementara 2 pemuda Karo lain yang berhasil selamat melarikan diri ke kampung mereka berasal di Karo.

Mereka pung mengadu, sehingga membuat penduduk setempat murka. Mengingat jasa Sibayak Lingga putra dari Adi Genali dari Linge yang membangun Karo, mereka bermusyawarah dan menentukan hanya beberapa orang saja yang pergi. Mereka berangkat 26 orang, namun kesulitan dalam mencari kepala rombongan, dan pada akhirnya mereka memilih dan menjembut Lebe Kader di Kala Lawit, Aceh Barat.50

49 Mahmud Ibrahim, Mujahid Dataran ..., hlm. 65.

50 Mahmud Ibrahim, Mujahid Dataran, hlm. 66.

(44)

33

Lebe Kader merupakan tokoh Karo yang telah lama tinggal di Aceh Barat, ia juga belajar Islam disana dan menjadi ulama dengan lebe atau lebai yang dia punya.

Mereka pun menyampaikan pristiwa yang telah terjadi dan juga hasil musyawarah untuk mengirim tim penuntut balas atas kejadian itu kepada Lebe Kader. Lebe Kader sendiri berkeberatan memimpin robongan jika tujuannya adalah menuntut balas, ia lebih setuju bila diselesaikan melalui jalur hukum.

Akhirnya mereka pun menyepakati apa yang dikehendaki Lebe Kader, Lebe Kader sendiri membawa seorang pemuda Kala Lawit sebagai pembawa perbekalan beliau, sehingga membuat rombongan bertambah menjadi 28 orang. Mereka melewati belantara hutan menuju Lhokseumawe, karena Lhoksewame sendiri merupakan kdudukan perwakilan Sulthan Aceh sebagai tempat pengaduan. Setibanya di Berukhsah yang merupakan tempat pengembalaan ternak orang Bebesen yang dalam bahasa Gayo disebut perueren dan beberapa hari bermalam disana, tiba-tiba pemuda Kala Lawit yang dibawa oleh Lebe Kader meninggal sehingga membuatnya murka.

Kematian tersebut dicurigai dilakukan oleh warga Bebesen (Bukit).51

Niat Lebe Kader yang semula menuju perwakilan Sulthan Aceh dibatalkan, mereka yang berjumlah 27 orang pun langsung berubah haluan ke Bebesen Melalui Balek dan Bur Pepanyi untuk menuntut balas. Dari Bur Pepanyi tampaklah keindahan Kejurun Bukit termasuk Bebesen. Namun mereka sendiri belum dapat berkomunikasi

51. Mahmud Ibrahim, Mujahid Dataran..., hlm. 67..

(45)

langsung dengan penduduk Bebesen untuk mendapatkan informasi terkait siapa 3 pembunuh warga Karo.

Suatu hari mereka pun akhirnya bertemu dengan warga Bebesen yang mencari rotan di hutan Bur Pepanyi. Mereka pun berkenalan dan bercerita hubungan persaudaraan antara Linge dengan Sibayak Lingga Karo. Kemudin diantara mereka dilakukan mufakat dan membangun sebuah strategi. Di tempat itu mereka membangun sebuah pondok dan memakan sirih, air sirih yang memerah tersebut di tuangkan di sekitar pondok yang membuatnya memerah seperti terkena bercakan darah sebagai sinyal dan tipuan, bahwa rombongan musuh yang datang sangat banyak.52

Di waktu yang bersamaan juga warga Bebesen yang mencari rotan kembali ke kampungnya untuk mengatakan kedatangan rombongan orang Karo yang cukup banyak untuk menuntut balas atas 3 kematian warga mereka yang berada di wilayah Reje Bukit. Pada akhirnya rombongan Lebe Kader dapat memasuki Bebesen atau kekuasaan Reje Bukit dengan alasan, bahwa kedatangan Lebe Kader yang seorang ulama bukanlah menuntut balas melainkan untuk menjalin persaudaraan. Informasi positif yang dibawa oleh rombongan pencari rotan pun dapat diterima oleh penduduk setempat.

Hingga rombongan Lebe Kader pun memasuki Bebesen dengan damai.

Beberapa tahun kemudian sebagian warga Bebesen pindah ke Kebayakan dan

52 Ibid…, hlm. 68.

(46)

35

mengembangkan Kejurun Bukit yang dibentuk sekitar tahun 1580 M. Kemudian Kejurun Bukit kembali dimekarkan dengan membentuk Reje Cik Bebesen yang langsung dipimpin oleh Lebe Kader sebagai raja pertama pada tahun 1607 M.53 1.1.3. Ibrahim Chalid (Jurnal)

Dahulu kala dikisahkan ketika Reje Linge memiliki beberapa orang anak, tersebutlah anak yang Sulung tidak mahu disunat dan tidak mau berislam. Hal tersebut membuat Reje Linge marah pada anaknya serta merasa malu kepada masyarakat dan kerajaan-kerajaan Aceh lainnya yang pada umumnya telah menganut agama Islam. Sehingga pada akhirnya si Sulung diusir dan melarikan diri ke arah bangian Tenggara kerajaan Linge hingga sampai ke wilayah Tanah Karo. Sampai disana ia berhasil membangun negri yang disebut Kejurun Linge atau lebih dikenal dengan Sibayak Linge.

Di masa Kejurun Bukit yang merupakan pemekaran wilayah kekuasaan dari Kerajaan Linge masa itu yang terkenal maju dalam perdagangannya, hal tersebut menjadi daya tarik dalam hubungan dagang. Pada suatu masa orang Batak yang datang sempat bermain judi dengan penduduk setempat, namun karena kelihaain pendatang penduduk setempat pun kalah. Karena kesal, di pertengahan jalan orang Batak tersebut dibunuh, pembunuhan itu terjadi di Uning Kecamatan Pegasing saat

53 Mahmud Ibrahim, Mujahid Dataran ..., hlm. 69.

(47)

ini. Mereka yang dibunuh itu akhirnya digantung disebuah batang jeruk Temantau, yang orang Gayo sendiri menyebutnya jeruk Batak.54

Setelah berita kematian mereka sampai ke Tanah Karo, maka datanglah kembali rombongan yang berjumlah 27 orang dibawah pimpinan Lebe Kader, berangkat ke Tanah Gayo bertujuan menyerang Kerajaan Bukit. Pada akhirnya Kerajan Bukit kalah, Rajanya dibunuh dan banyak penduduknya yang lari ke seberang Danau Lut Tawar. Setelah berhasil ditaklukkan, rombongan orang Batak tersebut mendirikan sebuah Kerajaan yang disebut Kerajaan Cik Bebesen yang dipimpin langsung oleh Lebe Kader.

Ketika Sultan Iskandar Muda berkuasa, keturunan Reje Bukit dikembalikan ke pesisir danau dan membentuk Kerajaan Bukit Baru di Kebayakan. Kerajaan Bebesen juga takluk atas kerajaan Aceh dan Lebe Kade pun belajar Islam ke Meulaboh. Setelah belajar Islam di Meulaboh, Lebe Kader pada akhirya juga diangkat oleh Sultan Iskandar Muda sebagai ulama yang menyebarkan Islam di Tanoh Gayo.

Dari cerita tersebut banyak orang atau suku lain meyakini bahwa orang Gayo merupakan keturunan Batak Dua Puluh Tujuh. Padahal sebenarnya keturunan Batak Dua Puluh Tujuh hanya terbatas dalam beberapa Marga, dan terlebih juga sudah dikisahkan bahwa keberadaan orang Gayo sudah lebih dulu ada daripada kedatangan

54 Ibrahim Chalid, Mitos Asal Usul Orang Gayo, (Jurnal SUWA Universitas Malikussaleh, Vol. XIII, NO.3, Desember 2015.

(48)

37

Batak Dua Puluh Tujuh. Namun beberapa antropolog membedakan Batak Dua Puluh Tujuh sebagai Bebesen sekarang dan Bukit sekarang adalah Kebayakan, hal tersbut diidentifikasikan karena perbedaan budaya. Dan peneliti merasa adanya identifikasi tersebut memerlukan upaya ilmiah atau penelitian yang lebih lanjut.

1.1.4. Sayyid Mubin (Thesis)

Sayyid Mubin menceritakan tentang migrasi orang Batak ke Gayo terjadi pada masa Sultan Alaudin Riyatsyah Al-Kahar pada abad ke XVI Masehi. Ia menarasikan migrasi dan peperangan yang terjadi di masa lalu antara Batak Karo (Batak Dua Puluh Tujuh) dengan Kejurun Bukit, pada saat Batak Karo tersebut menang dan berhasil mendirikan kerajaan Cik Bebesen. Sayyid Mubin menyebutkan awal kedatangan mereka adalah sebagai budak belian atau dalam bahasa setempat disebut temolok.55

Ia menyebutkan kedatangan mereka 27 orang yang pada mulanya diawali oleh pristiwa pembunuhan terhadap beberapa orang Karo di Gayo tepatnya wilayah kekuasaan Reje Bukit. Pristiwa tersebut berujung pada peperangan dan terbentuknya Reje Cik Bebesen. Narasi ceritanya serupa dengan apa yang ditulis oleh Mahmud Ibrahim dalam buku Mujahidin Dataran Tinggi Gayo.

Said Mubin juga menegaskan bahwa bukti atau fakta kebenaran dari cerita Batak Dua Puluh Tujuh adalah dengan adanya marga Linge, Munthe, Cibro dan

55 Sayyid Mubin (2013) Cerita Rakyat Batak Dua Puluh Tujuh Tentang Migrasi Orang Batak Ke Tanah Gayo di Kecamatan Bebesen Kabupaten Aceh Tengah. Undergraduate Thesis, Unimed.

Referensi

Dokumen terkait

Administrasi Program Magister memeriksa form permohonan surat ijin penelitian dari mahasiswa (form surat izin harus sudah ditandatangani salah satu dosen

kewajiban anggota Angkatan Perang untuk tetap dalam dinas.. ketentaraan, seperti yang dimaksud dalam Pasal 3 ayat

Analisis Pengaruh Budaya Organisasi Dan Etos Kerja Terhadap Kinerja Pegawai Fakultas Ekonomi Universitas Sumatera Utara Medan. Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera

Laporan keuangan konsolidasi mencakup laporan keuangan Perusahaan dan entitas yang dikendalikan oleh Perusahaan (Catatan 1c). Pengendalian ada apabila Perusahaan mempunyai hak

Jika belum, apa rencana atau tindakan kamu dalam rangka membentuk serta mewujudkan diri sebagai pembaharu kehidupan bagi sesama dan alam, sebagaimana telah disebutkan seblumnya,

Tujuan: Memformulasi sediaan masker wajah dalam berbagai konsentrasi Minyak Biji Bunga Matahari dan menguji efek anti-aging dari Minyak Biji Bunga Matahari selama empat

Gambar 4.5 Pengaruh Penambahan Konsentrasi Ammonium Sulfat dan Waktu 28 Perendaman Buffer Fosfat terhadap Berat Kering yang dihasilkan Gambar C.1 Sampel Daun Pepaya Diblender

Dalam Pembuktian Dan Eksekusi ”, Rineka Cipta, Jakarta..