53 4.1 Hasil Penelitian
Penelitian ini dilakukan pada perusahaan manufaktur yang tercatat di Bursa Efek Indonesia. Data yang dikumpulkan selama periode 2 tahun yaitu dari tahun 2016 hingga tahun 2017. Guna menjawab permasalahan penelitian, berikut ini akan dianalisis data transfer pricing, perencanaan pajak, dan tax avoidance masing-masing perusahaan.
4.1.1 Analisis Deskriptif
Sebelum menguji pengaruh transfer pricing terhadap tax avoidance, terlebih dahulu akan disajikan statistik deskriptif masing-masing variabel penelitian. Statistik deskriptif yang akan disajikan dalam bentuk data rata-rata, nilai maksimum, nilai minimum dan hasil kategorisasi masing-masing variabel penelitian.
4.1.1.1 Analisis Deskriptif Transfer pricing
Transfer pricing adalah suatu kebijakan perusahaan dalam menentukan harga transfer suatu transaksi baik itu barang, jasa, harta tak berwujud, atau pun transaksi finansial yang dilakukan oleh perusahaan. Berikut gambaran data transfer pricing pada perusahaan manufaktur yang tercatat di Bursa Efek Indonesia selama periode tahun 2016-2017.
Berdasarkan lampiran 1 dapat dilihat dari 48 perusahaan yang menjadi sampel penelitian, sebanyak 44 perusahaan diantaranya melakukan transfer pricing, sedangkan yang tidak melakukan transfer pricing hanya ada sebanyak 4 perusahaan. Terdapat dua kelompok transaksi dalam transfer pricing, yaitu intra- company dan inter-company transfer pricing. Intra-company transfer pricing merupakan transfer pricing antar divisi dalam satu perusahaan. Sedangkan intercompany transfer pricing merupakan transfer pricing antara dua perusahaan yang mempunyai hubungan istimewa. Transaksinya sendiri bisa dilakukan dalam satu negara (domestic transfer pricing), maupun dengan negara yang berbeda (international transferpricing).
4.1.1.2 Analisis Deskriptif Tax Avoidance
Penghindaran pajak atau tax avoidance dapat diartikan sebagai upaya perusahaan memanipulasi penghasilan secara legal yang masih sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan untuk memperkecil jumlah pajak yang terutang. Pada penelitian ini tax avoidance diukur melalui book-tax differences, yaitu perbedaan besaran antara laba akuntansi atau laba komersial dengan laba fiskal atau penghasilan kena pajak. Berikut gambaran data indeks tax avoidance (book-tax differences) pada perusahaan manufaktur yang tercatat di Bursa Efek Indonesia dari tahun 2016 hingga tahun 2017.
Pada lampiran 1 dapat dilihat gambaran data tax avoidance (book-tax differences) perusahaan perbankan di Bursa Efek Indonesia selama periode tahun 2016-2017. Semakin besar nilai book-tax difference menunjukkan bahwa semakin besar kemungkinan perusahaan melakukan tax avoidance. Pada data diatas dapat
dilihat rata-rata book-tax differences mengalami penurunan pada tahun 2017, namun nilainya masih cukup tinggi yaitu masih diatas 3% dari total asset. Book- tax differences tertinggi dimiliki PT Unilever Indonesia Tbk, yaitu rata-rata sebesar 0,05669 selama periode tahun 2016-2017. Sebaliknya book-tax differences terendah dimiliki PT Pyridam Farma Tbk, yaitu rata-rata sebesar 0,01336 selama periode tahun 2016-2017.
4.1.2 Analisis Verifikatif
Bagian ini akan diuji pengaruh transfer pricing terhadap tax avoidance pada perusahaan manufaktur yang tercatat di Bursa Efek Indonesia menggunakan analisis regresi berganda. Pengujian akan dilakukan melalui tahapan sebagai berikut; (1) Chow test, (2) Hausman test, (3) LM test, (4) pengujian asumsi klasik, (5) interpretasi hasil estimasi model regresi, (6) koefisien determinasi serta (7) pengujian hipotesis. Pengolahan data dilakukan dengan bantuan software Eviews 9.0 dan hasil selengkapnya disajikan berikut ini.
4.1.2.1 Chow Test (Fixed Model vs Common Model)
Chow test dilakukan untuk menetukan jenis model yang digunakan apakah fixed model atau common/pool model. Namun pada penelitian ini tidak dapat dilakukan Chow test karena variabel independen merupakan dummy variabel yang membedakan antara perusahaan yang melakukan dan tidak melakukan transfer pricing. Dengan demikian pengujian langsung dilanjutkan menggunakan Lagrange multiplier test untuk menetukan jenis model yang digunakan dalam estimasi regresi apakah random model atau common model.
4.1.2.2 LM Test (Common vs Random)
Lagrange multiplier test (LM test) dilakukan untuk menetukan jenis model yang digunakan dalam estimasi regresi apakah random model atau common model (Gujarati & Porter, 2009:605). LM test dilakukan karena hasil dari Chow test tidak signifikan.
Tabel 4.1
Hasil LM test Untuk Menentukan Random atau Common Breusch-Pagan Probability Kesimpulan
19,65 0,000 random model
Sumber: Lampiran Output Eviews
Hasil Lagrange Multiplier test menunjukkan bahwa random model merupakan pilihan yang tepat untuk estimasi persamaan regresi, hal ini ditunjukkan oleh hasil LM test yang signifikan pada level 5% (nilai probability <
0,05). Dengan demikian dari hasil pengujian model tersebut, maka random model merupakan pilihan yang paling tepat untuk estimasi model regresi.
4.1.2.3 Pengujian Asumsi Klasik
Sebelum dilakukan pengujian hipotesis menggunakan analisis regressi linier berganda, ada beberapa asumsi yang harus terpenuhi agar kesimpulan dari regressi tersebut tidak bias, diantaranya adalah uji normalitas, uji multikolinieritas (untuk regressi linear berganda), uji heteroskedastisitas dan uji autokorelasi. Pada penelitian ini tiga dari asumsi yang disebutkan tersebut diuji karena variabel
independen yang digunakan pada penelitian ini hanya satu (berganda) jadi tidak dilakukan uji multikolinieritas.
1) Uji Asumsi Normalitas
Asumsi normalitas merupakan persyaratan yang sangat penting pada pengujian kebermaknaan (signifikansi) koefisien regressi. Pada penelitian ini digunakan uji Jarque Berra untuk menguji normalitas model regresi.
0 2 4 6 8 10 12 14
-0.02 -0.01 0.00 0.01 0.02 0.03
Series: Standardized Residuals Sample 2016 2017
Observations 96
Mean -6.07e-18 Median -0.001417 Maximum 0.029652 Minimum -0.023885 Std. Dev. 0.012472 Skewness 0.341259 Kurtosis 2.245491
Jarque-Bera 4.140455 Probability 0.126157
Sumber: Lampiran Output Eviews
Gambar 4.1
Hasil Pengujian Asumsi Normalitas
Gambar 4.1 dapat dilihat nilai probability yang diperoleh dari uji Jarque- Bera untuk data residual sebesar 0,126. Karena nilai probabilitas pada uji Jarque- Bera masih lebih besar dari tingkat kekeliruan 5% (0,05), maka disimpulkan bahwa model regressi berdistribusi normal.
2) Uji Asumsi Heteroskedastisitas
Heteroskedastisitas merupakan indikasi bahwa varian antar residual tidak homogen yang mengakibatkan nilai estimasi yang diperoleh tidak lagi efisien.
Untuk menguji apakah varian dari residual homogen atau tidak digunakan Glejser Test, yaitu dengan meregressikan nilai absolut residual terhadap variabel
independen. Apabila korfisien regresi yang signifikan mengindikasikan adanya gejala heteroskedastisitas. Pada tabel 4.4 berikut disajikan hasil regresi variabel independen terhadap nilai absolut residual.
Tabel 4.2
Hasil Uji Heteroskedastisitas Dependent Variable: ABS(RESID01)
Method: Panel Least Squares Date: 04/11/19 Time: 09:50 Sample: 2016 2017
Periods included: 2
Cross-sections included: 48
Total panel (balanced) observations: 96
Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.
C 0.005440 0.002200 2.473055 0.0152 TP 0.004207 0.002298 1.830802 0.0703 R-squared 0.034430 Mean dependent var 0.009297 Adjusted R-squared 0.024158 S.D. dependent var 0.006299 S.E. of regression 0.006222 Akaike info criterion -7.300773 Sum squared resid 0.003639 Schwarz criterion -7.247349 Log likelihood 352.4371 Hannan-Quinn criter. -7.279178 F-statistic 3.351837 Durbin-Watson stat 1.248116 Prob(F-statistic) 0.070298
Sumber: Lampiran Output Eviews
Tabel 4.2 dapat dilihat koefisien regresi variabel independen (TP) tidak signifikan pada tingkat kekeliruan 5% (prob > 0,05). Dengan demikian dapat disimpulkan tidak terdapat gejala heteroskedastisitas pada model regresi.
3) Uji Asumsi Autokorelasi
Pengujian autokorelasi menggunakan uji Durbin-Watson untuk mengetahui ada tidaknya autokorelasi pada model regressi dan berikut nilai Durbin-Watson yang diperoleh melalui hasil estimasi model regressi.
Tabel 4.3
Nilai Durbin-Watson Untuk Uji Autokorelasi Durbin-Watson Kesimpulan
2,00 Tidak Ada Autokorelasi
Sumber: Lampiran Output Eviews
Berdasarkan hasil pengolahan data diperoleh nilai statistik Durbin-Watson (D-W) = 2,00, kemudian dari tabel d untuk jumlah variabel independen = 1 dan jumlah pengamatan n = 96 diperoleh batas bawah nilai tabel (dL) = 1,645 dan batas atasnya (dU) = 1,687. Karena nilai Durbin-Watson model regressi (2,00) berada diantara dU (1,687) nilai 4-dU (2,313), yaitu berada pada daerah tidak ada autokorelasi maka dapat disimpulkan tidak terdapat gejala autokorelasi pada model regressi.
4.1.2.4 Analisis Regresi Linier Sederhana
Analisis regresi linier berganda digunakan untuk menguji pengaruh variabel independen yaitu transfer pricing terhadap tax avoidance. Estimasi
model regresi linier sederhana menggunakan software Eviews 9.0 dan diperoleh hasil output sebagai berikut :
Tabel 4.4
Hasil Analisis Regresi Linier Sederhana
Dependent Variable: BTD
Method: Panel EGLS (Cross-section random effects) Date: 04/11/19 Time: 09:35
Sample: 2016 2017 Periods included: 2 Cross-sections included: 48
Total panel (balanced) observations: 96
Swamy and Arora estimator of component variances
Cross-section weights (PCSE) standard errors & covariance (d.f. corrected)
Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.
C 0.020853 0.002623 7.950955 0.0000
TP 0.013219 0.003175 4.162931 0.0001
Effects Specification
S.D. Rho
Cross-section random 0.010184 0.6506
Idiosyncratic random 0.007463 0.3494
Weighted Statistics
R-squared 0.049257 Mean dependent var 0.015169
Adjusted R-squared 0.039143 S.D. dependent var 0.007614 S.E. of regression 0.007463 Sum squared resid 0.005236
F-statistic 4.870068 Durbin-Watson stat 2.000868
Prob(F-statistic) 0.029761
Melalui hasil pengolaan yang diperoleh seperti disajikan pada tabel 4.4 diatas maka dapat dibentuk persamaan regresi linier berganda sebagai berikut :
Y= 0,0209 + 0,0132 X Dimana :
Y = Tax avoidance (BTD) X = Transfer pricing (TP)
Koefisien yang terdapat pada persamaan diatas dapat diinterpretasikan sebagai berikut.
1) Nilai konstanta sebesar 0,0209 menunjukkan rata-rata tax avoidance (book-tax differences) pada perusahaan manufaktur yang tercatat di Bursa Efek Indonesia jika transfer pricing sama dengan nol (tidak melakukan transfer pricing). Artinya perusahaan yang tidak melakukan transfer pricingmemiliki rata-rata book-tax differences sebesar 0,0209.
2) Transfer pricing memiliki koefisien bertanda positif sebesar 0,0132, artinya perusahaan yang melakukan transfer pricing secara rata-rata memiliki book-tax differences lebih tinggi sebesar 0,0132 dibanding perusahaan yang tidak melakukan transfer pricing.
4.1.2.5 Koefisien Determinasi
Koefisien determinasi dihitung untuk mengetahui seberapa besar pengaruh variabel independen (transfer pricing) terhadap tax avoidance. Berdasarkan hasil pengolahan data menggunakan software Eviews seperti yang disajikan pada tabel 4.6 diperoleh nilai R-Squared sebesar 0,049 atau 4,9 persen. Artinya transfer pricing hanya memberikan kontribusi atau pengaruh sebesar 4,9% terhadap tax avoidance pada perusahaan manufaktur yang tercatat di Bursa Efek Indonesia.
Sisanya pengaruh faktor-faktor lain yang tidak diteliti adalah sebesar 95,1%, yaitu merupakan pengaruh faktor lain diluar transfer pricing.
4.1.2.6 Pengujian Hipotesis (Uji t)
Selanjutnya untuk menguji signifikansi pengaruh transfer pricing terhadap tax avoidance, dilakukan pengujian hipotesis menggunakan uji t, dengan hipotesis statistik sebagai berikut.
Ho.1 = 0: Transfer pricing tidak berpengaruh positif terhadap tax avoidance pada perusahaan manufaktur yang tercatat di Bursa Efek Indonesia Ha.1 ≠ 0: Transfer pricing berpengaruh positif terhadap tax avoidance pada
perusahaan manufaktur yang tercatat di Bursa Efek Indonesia Nilai tabel yang digunakan sebagai nilai kritis pada uji parsial (uji t) sebesar 1,986 yang diperoleh dari tabel t pada = 0.05 dan derajat bebas 94 untuk
pengujian dua arah. Nilai statistik uji t yang digunakan pada pengujian secara parsial dapat dilihat pada tabel 4.6. Kriteria uji yang digunakan adalah sebagai berikut.
Jika thitung> ttabel atau thitung < -ttabel maka H0 ditolak Jika -ttabel ≤ thitung ≤ ttabel, maka H0 diterima
Ringkasan hasil pengujian pengaruh transfer pricing terhadap tax avoidancedapat dilihat pada tabel 4.5 berikut.
Tabel 4.5
Hasil uji pengaruh transfer pricing terhadap tax avoidance tax avoidance Koefisien
regresi thitung Prob. ttabel Ho
0,0132 4,163 0,0001 1,986 ditolak
Tabel 4.7 dapat dilihat nilai thitung variabel transfer pricing sebesar 4,163 dengan nilai probabilitas sebesar 0,0001. Karena nilai thitung (4,163) lebih besar dari ttabel (1,986) maka pada tingkat kekeliruan 5% diputuskan untuk menolak Ho sehingga Ha diterima. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa transfer pricing berpengaruh terhadap tax avoidance pada perusahaan manufaktur yang tercatat di Bursa Efek Indonesia. Secara visual grafik daerah penolakan dan penerimaan Ho pada uji pengaruh transfer pricing terhadap tax avoidance dapat dilihat pada gambar berikut.
Gambar 4.2
Grafik Daerah Penerimaan dan Penolakan Ho Pada Uji Parsial (Pengaruh transfer pricing)
Pada grafik diatas dapat dilihat nilai thitung (4,163) jatuh pada daerah penolakan Ho, sehingga disimpulkan bahwa transfer pricing berpengaruh
Daerah Penolakan Ho Daerah
Penolakan Ho Daerah Penerimaan Ho
0
t0,025;94= 1,986
-t0,025;94= -1,986 thitung = 4,163
terhadap tax avoidance pada perusahaan manufaktur yang tercatat di Bursa Efek Indonesia. Hasil penelitian ini memberikan bukti empiris bahwa perusahaan yang melakukan transfer pricing cenderung memiliki book-tax differences lebih tinggi dibanding perusahaan yang tidak melakukan transfer pricing.
4.2 Pembahasan Penelitian
4.2.1 Pengaruh Transfer Pricing terhadap Tax Avoidance
Berdasarkan hasil uji t (parsial) pada model regresi, menunjukkan bahwa Ho ditolak dan Ha diterima, artinya transfer pricing secara parsial berpengaruh positif terhadap tax avoidance. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Gratley Taylor dan Grant Richardson (2012) yang menunjukkan adanya pengaruh signifikan antara transfer pricing dengan tax avoidance.
Jika perusahaan melakukan transfer pricing maka tingkat tax avoidance ikut meningkat. Hal ini sesuai dengan yang dijelaskan Hartati (2014) bahwa besarnya transfer pricing akan mengakibatkan pembayaran pajak menjadi lebih rendah secara global pada umumnya. Hal ini disebabkan karena perusahaan multinasional yang memperoleh keuntungan akan melakukan pergeseran pendapatan dari negara dengan tarif pajak tinggi ke negara dengan tarif pajak rendah. Sehingga semakin besar kemungkinan perusahaan melakukan praktik transfer pricing maka akan semakin tinggi perusahaan mengecilkan beban pajaknya (Jasmine, et al. 2018).