474 PENGARUH INFORMASI HOAX TERHADAP KONFLIK PADA REMAJA DI SOSIAL MEDIA
Mira Herlina, Rocky Prasetyo Jati Fakultas Ilmu Komunikasi
Universitas Budi Luhur Jakarta, Indonesia
Email : [email protected], [email protected]
Abstract
This research is motivated because lately Indonesia hoax information is very developed in Indonesia so that hoaxes can trigger conflict in people who are active in using Social Media, especially teenagers, Teenagers are very active using social media such as Instagram, Tweeter, Facebook, and Whatsaap Group and Other social media This study aims to determine how much influence hoax information has on the level of conflict in adolescents on social media. This study uses an explanatory quantitative method using a population of adolescents in West Jakarta totaling 97 Respondents of Variable X this study uses concepts related to information Hoax and the concept of conflict is used to measure the variable Y. This study found that there was a significant effect on variable X namely Hoax information on Y variable is conflict in adolescents on social media. The hoax information variable contains more fanaticism and the spread of ideology because this indicator is in a very high category, while the variebles of conflict between personal and intra-personal conflict indicators are higher, and fanaticism and ideological conflict variables are the causes of conflict which are in the high category , so that this study concludes the need for a legal arrangement that regulates content spread in social media and the need for literacy for adolescents as a strategy to reduce adolescent conflict on social media because of hoaxes that cause conflict in adolescents.
Keywords: Hoax, Social Media, Conflict, Youth Abstrak
Penelitian ini dilatar belakangi karena akhir-akhir ini informasi hoax sangat berkembang di Indonesia. Hoax dapat memicu konflik pada masyarakat yang aktif dalam menggunakan media sosial terutama remaja. Remaja sangat aktif menggunakan media sosial seperti Instagram, Tweeter, Facebook, dan Whatsaap Group serta media sosial lainnya. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui seberapa besar pengaruh informasi hoax terhadap tingkat konflik pada remaja di media sosial. Penelitian ini menggunakan metode kuantitatif eksplanatif dengan menggunakan populasi remaja di Jakarta Barat berjumlah 97 Responden. Variabel X penelitian ini menggunakan konsep yang berkaitan dengan informasi hoax dan konsep konflik digunakan untuk mengukur variabel Y.
Penelitian ini menemukan bahwa terdapat pengaruh yang signifikan pada variabel X yaitu informasi hoax terhadap variabel Y yaitu konflik pada remaja. Di media sosial, variabel informasi hoax lebih banyak berisi konten fanatisme dan penyebaran idiologi karena indikator ini berada pada kategori sangat tinggi. Sedangkan pada variabel konflik, indikator konflik personal dan intra-personal berada pada kategori lebih tinggi, dan variabel konflik fanatisme dan idiologi merupakan penyebab konflik yang berada pada kategori tinggi. Penelitian ini menyimpulkan perlu adanya pengaturan hukum yang mengatur tentang konten yang tersebar di media sosial dan perlunya literasi untuk remaja
475 sebagai strategi mengurangi konflik remaja di media sosial karena adanya hoax yang menyebabkan konflik pada remaja.
Kata Kunci: Hoax, Sosial Media, Konflik, Remaja
PENDAHULUAN
Teknologi internet yang semakin berkembang menandai lahirnya era cyberspace dianggap sebagai penyelesaian masalah terhadap segala keterbatasan manusia untuk mengembara dalam berbagai bentuk realitas tanpa batas. Oleh sebab itu, muncul berbagai harapan ketika datang abad baru yang tidak lagi terbungkus sekat-sekat geografis, ideologis, batasan-batasan normatif-etis, ketika ruang dan waktu tidak lagi menjadi penghalang bagi masyarakat global yang menjalajahi dunia ”realitas”.
Internet yang mulai menggantikan peran media massa lama seperti TV, radio dan media cetak memiliki peran signifikan dalam merangkuh seluruh fasilitas yang ada pada media sebelumnya. Gabungan seluruh isi media termasuk teks, gambar bergerak, citra audiovisual dan realitas virtual bisa hadir sekaligus dalam internet.
Menurut Lynda Walsh dalam bukunya yang berjudul “Sins Against Science”, mengatakan bahwa istilah Hoax sudah ada sejak tahun 1800 awal
pada era revolusi industri di Inggris.
Bahkan jauh sebelum itu, Alexander Boese dalam bukunya “Museum of Hoaxes” menuliskan bahwa istilah hoax pertama kali terpublikasi melalui penanggalan palsu yang dibuat oleh Isaac Bickerstaff pada tahun 1709 untuk meramalkan kematian astrolog John Partridge. Istilah hoax menggambarkan suatu berita bohong, fitnah, atau sejenisnya.
Pada mulanya istilah ini lebih identik dengan golongan selebriti yang lekat oleh berita-berita bohong nan simpang siur. Di Indonesia apabila menengok 4 sampai 5 tahun yang lalu, istilah hoax sudah banyak digunakan oleh media-media infotainment pada berita-berita selebriti sehinga pada era digital. Istilah hoax semakin dikenal dengan semakin mudahnya mengakses informasi pada media sosial maupun
situs-situs berita
(http://www.kompasiana.com/ibar- alaqsha/hoax).
Data Kepolisian menunjukkan maraknya penyebaran isu atau berita bohong melalui media sosial. Berita hoax itu dinilai sering meresahkan
Jurnal Ilmu Komunikasi
AKRAB.
476 VOLUME 3, NOMOR 2, Oktober 2018: 474-488
masyarakat, tapi banyak yang menyebarluaskannya (https://nasional.
tempo.co/read/ 821644). Semakin maraknya hoax di media sosial membuktikan bahwa tingginya konflik- konflik yang dibangun dalam media sosial, sehingga diperlukan kemampuan untuk meningkatkan pengetahuan tentang perbedaan hoax atau informasi yang benar
Selain konflik-konflik yang berkembang di masyarakat sebagai pengguna media sosial yang aktif.
Informasi hoax juga populer di kalangan remaja karena remaja merupakan pangsa pasar berpotensi dalam penyebaran informasi bohong atau hoax.
Berkembanganya hoax di media sosial tentunya akan banyak berdampak pada remaja sebagai pengguna media sosial sehingga banyak remaja yang terlibat sebagai konsumen atau penyebar hoax di media sosial. Selain itu, remaja juga mempercayai hoax yang tersebar di media sosial.
Berdasarkan survey data sygmainnovation.com menyebutkan bahwa aktifitas remaja di media sosial:
60% remaja senang dengan eksploitasi diri melaui foto selfie, 71% remaja ternyata memiliki lebih dari satu akun di
media sosial, 85 % remaja setiap saat beraktifitas mengupload atau mendownload media youtube dan 90%
remaja setiap saat melakukan pembaharuan pada media sosial termasuk pembaharuan dalam penyebaran informasi yang bersifat hoax.
Selain itu, banyak penelitan yang membahas tentang hoax dan konflik seperti yang pernah dilakukan oleh Errissya Rasywir Institut Teknologi Bandung pada tahun 2015 dalam Jurnal Cybermatika Vol. 3 No 2 Desember 2015 Artikel 1. Penelitian ini berfokus pada bagaimana menemukan fitur penciri pada proses klasifikasi dokumen berita hoax dalam bahasa Indonesia.
Fitur penciri hoax pada email dan pesan teks dapat ditemukan dan diekstraksi dengan pola penulisan.
Dalam email dan pesan teks (SMS) hoax, pola kata hoax dapat dikenali sebagai peringatan virus palsu, pesan berantai, permintaan bantuan palsu, pesan mengancam atau menakut-nakuti, petisi palsu, dan pernyataan bahwa pesan itu bukan hoax.
Biasanya isi email dan pesan hoax bersifat overstatements, berlebihan dan bertujuan untuk menjual suatu produk.
477 Pada penelitian ini, eksperimen
dilakukan untuk memilih teknik terbaik pada setiap sub proses dengan menggunakan 220 artikel berbahasa Indonesia dalam 22 topik (89 artikel hoax dan 131 artikel bukan hoax). Untuk praproses, hasil eksperimen terbaik dicapai oleh praproses tanpa penghapusan, untuk ekstraksi fitur, fitur unigram memiliki akurasi terbaik dibandingkan dengan bigram dan unigram+bigram. Untuk seleksi fitur, teknik terbaik adalah penggunaan operasi union pada mutual informasi.
Sedangkan untuk algoritma klasifikasi, dengan berbagai kombinasi di atas, algoritma navy bayes menunjukkan hasil akurasi yang terbaik dibandingkan dengan SVM dan C4.5 dengan nilai akurasi 91.36%.
Selain itu, penelitian yang sama dilakukan oleh Clara Novita Anggraini dalam Thesis pada Program Pasca Sarjana Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada pada Tahun 2016 dengan Studi Fenomenologi pada pengguna Whatsapp dalam Penyebaran Informasi Hoax periode Januari-Maret 2015.
Penelitian ini bertujuan melihat kemampuan literasi media baru mahasiswa penyebar informasi hoax,
serta pengetahuan dan motivasi menyebarkan informasi hoax tersebut.
Metode fenomenologi digunakan untuk menggali kesadaran aktivitas bermedia para mahasiswa saat menyebarkan informasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kemampuan literasi media baru dua mahasiswa penyebar informasi hoax dalam penelitian ini sangat rendah dan satu orang belum memiliki kemampuan literasi media apapun faktor penyebab yang ditemukan adalah kurangnya pengetahuan mengenai literasi media dan informasi hoax, tidak kritis saat menghadapi pesan media, tingkat kebutuhan berinformasi, dan kurangnya tanggung jawab sosial dalam berinteraksi. Perilaku bermedia para mahasiswa pascasarjana dalam penelitian ini menggagalkan fungsi pencerdasan teknologi informasi seperti aplikasi pesan instan Whatsapp.
Demikian juga peneliti sebelumnya pernah melakukan penelitian tentang pengaruh tingkat pengetahuan terhadap perilaku penyebaran hoax di media sosial pada remaja di Jakarta Indonesia. Hasil penelitian ini juga dipublikasikan pada Jurnal Internasional JESOC pada tahun 2017 dimana hasil penelitian ini
Jurnal Ilmu Komunikasi
AKRAB.
478 VOLUME 3, NOMOR 2, Oktober 2018: 474-488
menjawab tujuan penelitian yaitu seberapa besar pengaruh tingkat pengetahuan remaja terhadap perilaku penyabaran hoax di media sosial.
Hasil penelitian ini menemukan bahwa tingkat pengetahuan berdampak rendah terhadap penyebaran hoax di media sosial karena responden menjawab bahwa akan menyebarkan informasi hoax walaupun responden memiliki pengetahuan pada informasi yang real pada informasi hoax yang disebarkan. Akan tetapi, peneliti menemukan bahwa kecerdasan lebih mempengaruhi kuatnya penyebaran informasi hoax di media sosial. Tingkat kecerdasan yang dimiliki dapat menghentikan penyebaran hoax di media sosial.
Kecerdasan itu dapat diperoleh remaja dengan peningkatan literasi internet pada remaja. Hoax yang tersebar di media sosial seringkali menimbulkan kesalahpahaman bagi masyarakat pengguna sosial media dan kelirunya pengetahuan akibat informasi hoax, terutama pengetahuan yang keliru tentang suatu informasi pada remaja.
Untuk itu penelitian ini mengambil remaja sebagai responden dalam penelitian yang bertujuan untuk
mengetahui seberapa besar pengaruh informasi hoax terhadap konflik remaja di media sosial terutama remaja usia 15 sampai 18 tahun di Jakarta Indonesia (Mira Dan Rocky, 2017)
METODE PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan metodologi kuantitatif dengan metode eksplanatif. Sementara populasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah remaja yang berusia 15 sampai 18 tahun yang berada di Jakarta Selatan.
Penelitian ini menggunakan teknik quota sampling yang merupakan bagian dari Non- Probablity sampling dengan menetapkan sampel sebanyak 97 responden.
Ketentuan dalam pemilihan responden yaitu responden pernah mengetahui informasi hoax, pernah mengetahui konflik yang diakibatkan hoax, berusia 15 sampai 18 tahun dan berada di Jakarta Selatan dengan jenis kelamin laki-laki maupun perempuan.
Kriteria lainnya yaitu responden juga harus memiliki akun sosial media yaitu Facebook, Instagram, Tweeter, Line, WhatsAap. Analisis data yang digunakan adalah analisis regresi sederhana.
479 HASIL DAN PEMBAHASAN
Informasi Hoax
Penelitian ini menggunakan konsep informasi hoax sebagai variabel X dimana konsep hoax ini diambil dari ciri-ciri hoax yang pernah dikembangkan oleh Dewan Press Indonesia yang terdiri dari lima indikator yaitu (1) Indikator Hoax Resulted In Anxiety, Hostility And Hatred, (2) Indikator The Source Hoax Is Not Clear, (3) Indikator Hoax Corner Certain Parties (4) Indikator Hoax Has
Fanaticism In The Name Of Ideology, (5) Indikator Hoax The Spread Also Asks What It Shares To Be Redistributed.
Berdasarkan penyebaran kuesioner yang dilakukan kepada responden maka penelitian ini dianalisis dengan menggunakan analisis regresi sederhana dengan bantuan Software SPSS 22. Maka hasil dan pembahasan penelitian dapat dijelaskan pada tabel- tabel berikut:
Pada Tabel. 1 menunjukan bahwa deskriptif statistik indikator variabel X yaitu variabel informasi hoax dengan lima indikator yaitu (1) indikator hoax result in anxiety hostility menunjukkan bahwa indikator berada pada interprestasi pada kategori rendah berdasarkan pendapat 97 responden remaja dengan nilai tengah 24.42 setuju bahwa hoax mengakibatkan kecemasan, permusuhan dan kebencian. Hal ini
dapat dilihat dari beberapa hoax yang tersebar di sosial media yang berkaitan dengan informasi hoax pemerintahan indonesia seperti melalui sosial media facebook maupun sosial media Whatsaap group maupun whatsaap personal menyebarkan “isu bahwa pilkada 2018 yang diadakan serentak di Indonesia akan memicu unsur SARA maupun idologi yang akan menyebabkan rusuhnya pilkada 2018”.
Jurnal Ilmu Komunikasi
AKRAB.
480 VOLUME 3, NOMOR 2, Oktober 2018: 474-488
Isu ini memicu kecemasan pada masyarakat terutama remaja yang menjadi responden. Selain itu hoax yang menyebarkan “isu rezim-rezim komunis telah runtuh sejak awal dekade 1990-an.
Komunisme masih dimunculkan sebagai
"hantu" di mana-mana”. Responden setuju bahwa dapat menimbulkan kebencian dan permusuhan pada idiologi tertentu.
Adapun isu tentang idiologi pemahaman fashion wanita bercadar dan laki-laki yang berjengot dan celana pendek diisukan sebagai pemahaman yang melegalkan teroris sehingga responden setuju bahwa hoax tersebut akan menimbulkan kebencian terhadap orang lain pada pemahaman tertentu.
(2) Indikator The Source Hoax Is Not Clear menunjukan bahwa indikator ini berada pada mean 1.978 dengan kategori sangat rendah. Hal ini menunjukan bahwa 97 responden tidak setuju bahwa informasi hoax tidak memiliki sumber yang jelas karena hoax yang tersebar merupakan sumber yang mereka kenal.
Hoax dengan mudah dipercayai responden karena sumber informasinya sebenarnya mereka ketahui dan hoax yang tersebar di sosial media merupakan hoax yang berasal dari sumber yang
mereka kenal. Hoax ini sering terebar melalui jejaring sosial dan whatsapp group responden.
(3) Indikator Hoax Corner Certain Parties dengan nilai tengah 1.261 dengan kategori score sangat rendah.
Hal ini disebabkan karena indikator ini menjelaskan bahwa responden tidak setuju bahawa hoax yang tersebar menyudutkan orang popular dan pemerintah. Namun, responden juga ada yang setuju bahwa hoax juga sering menyudutkan suatu idiologi atau pemahaman suatu agama tertentu.
(4) Indikator Hoax Has Fanaticism In The Name Of Ideology, indikator ini menghasilkan mean 9.08 dari 97 responden remaja yang diteliti menilai indikator ini pada kategori sangat tinggi.
Hal ini karena responden berpendapat sangat setuju dengan Indikator hoax has fanaticism in the name of ideology karena responden sering menerima hoax yang berisikan pemahaman dan fanatisme tertentu sehingga responden terkadang mempercayai hal tersebut.
Selain itu, hoax yang berisikan fanatisme dapat terjangkiti virus ini dan akan terus terpatri dalam pikiran seseorang.
Sebagaimana arti dari fanatisme sempit itu sendiri adalah sebuah keadaan di mana seseorang atau kelompok yang
481 menganut sebuah paham, baik politik,
agama, kebudayaan atau apapun saja secara berlebihan (membabi buta) sehingga berakibat kurang baik, bahkan cenderung menimbulkan perseteruan dan konflik serius. Hal itu seperti paham teroris, penyebaran paham komunis, penyebaran paham suatu partai dan fanatisme terhadap seseorang yang popular dan lainnya. Contohnya, kasus Ahok sebagai terduga penista agama.
Kasus ini sangat rawan untuk dibicarakan. Pada hoax fanatisme tertentu, akan mempertahankan bahwa Ahok itu bersalah karena dia sangat menghargai pendapat salah satu habib.
Korban hoax akan mempertahankan argumennya, bahkan ada beberapa situs yang notabene situs hoax diajukan dalam argumennya.
Kabar hoax yang viral di media Facebook yaitu hoax tentang rush money. Dalam berita itu, ada ajakan kepada umat Islam untuk menarik uang mereka di bank, jika Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok tak jadi tersangka dalam kasus dugaan penistaan agama.
(5) Indikator hoax the spread also asks what it shares to be redistributed menghasilkan nilai mean 1.162 dari 97 responden pada kategori sangat rendah.
Ini disebabkan karena responden setuju
bahwa informasi hoax di media sosial yang terima responden selalu minta disebarkan sebanyak-banyaknya melalui kontak dan link responden di media sosial. Selain itu, responden juga setuju jika pesan dan informasi hoax di media sosial yang diterima responden selalu mengancam keselamatan responden jika tidak disebarkan, meskipun responden tidak menyebarkannya.
Hasil analisis deskriptif variabel X atau variabel informasi hoax dengan indikator yang digunakan menunjukkan bahwa indikator yang digunakan layak dalam penelitian ini.
Dari indikator yang digunakan pada variabel X yaitu informasi hoax penelitian ini cenderung pada indikator fanatisme dan idiologi karena menurut responden, informasi hoax yang banyak tersebar di Indonesia berisikan tentang fanatisme dan idiologi tertentu.
Sehingga dapat disimpulkan hoax yang berisikan fanatisme dan idiologi lebih cendrung diperhatikan dan mempengaruhi responden dalam menerima dan menyebarkan hoax di media sosial.
Konflik Pada Remaja
Sementara konsep konflik yang digunakan dalam penelitian ini adalah
Jurnal Ilmu Komunikasi
AKRAB.
482 VOLUME 3, NOMOR 2, Oktober 2018: 474-488
jenis-jenis konsep konflik yang dikembangkan oleh Hunt dan Metcalf (1996) dalam (Suhardono,2015:5) sebagai variabel Y dengan terdiri dari empat indikator yaitu (1) indikator personal anxieties and interpersonal (2) Conflict Of Interst Indikator (3) Indikators Of Non-Reality Reality Conflict (4) Indikator Kontruktif Conflict and Deskontruktif.
Analisis Deskriptif statistik untuk variabel Y yaitu konflik remaja di media sosial yang disebabkan oleh informasi hoax melalaui media sosial dengan indikator yaitu (1) Indikator personal dan Indikator Inter-personal conflict (2) Indikator Conflict Of Interst (3) Indikators Of Non-Reality Reality Conflict (4) Indikator construktif and Dekonstruktif Conflict, maka hasil penelitian dapat dilihat pada Tabel 2 berikut:
Pada tabel 2 dapat dijelaskan bahwa variabel Y yaitu konflik remaja di media sosial diukur dengan indikator (1) indikator personal and interpersonal conflict berada pada nilai mean 37.92 berada pada kategori high category. Ini dikarenakan responden setuju bahwa konflik interpersonal dan personal disebabkan karena responden terkadang membaca bahkan mempercayai hoax yang tersebar melalui media sosial
seperti media facebook, line, instagram dan whatsaap.
Disamping itu, responden memberikan respon bahwa konflik personal juga terjadi karena responden tidak dapat menghindari informasi hoax yang ada di media sosial karena responden sering menggunakan media sosial. Konflik personal dan interpersonal juga terjadi pada responden karena responden setuju bahwa responden mengetahui
483 hukuman penyebar hoax di media sosial.
Akan tetapi, responden menyatakan bahwa responden menyebarkannya karena hoax sering disebarkan oleh teman-teman dan link responden di media sosial.
(2) Indikators of conflict of interest dengan nilai mean 17,92 berada pada kategori rendah pada indikator konflik interest terjadi karena responden setuju bahwa hoax tersebar dalam bentuk undian berhadiah dan hoax tentang seseorang yang popular.
Walaupun responden informasi itu memahami bahwa informasi tersebut adalah hoax tetapi responden mempercayai hoax tersebut sehingga hal ini menyebabkan konflik pada responden.
(3) The reality of conflict indicators of non-reality dengan mean 17, 29 berada pada kategori rendah.
Indikator ini banyak disebabkan karena responden setuju bahwa konflik terjadi karena responden pernah menerima hoax untuk menjadi simpatisan partai tertentu, hoax lowongan pekerjaan yang tidak ada perusahaannya dan responden juga setuju bahwa pernah berkonflik dengan hoax yang tersebar tentang simpatisan penanggulangan dana untuk bantuan sosial. Responden setuju bahwa
hoax yang tersebar di media sosial akan menyebabkan the reality of conflict indikators of non-reality.
(4) Indikator kontruktif conflict and dekontruktif dengan nilai mean 16.70 berada pada kategori rendah.
Pada indikator ini responden setuju bahwa konstruktif conflict indicator and deskontruktif terjadi karena informasi hoax dan pembuat hoax dihukum secara pidana.
Seperti pernah diberitakan bahwa Kepala Biro Penerangan Masyarakat Markas Besar Kepolisian Negara Republik Indonesia (Mabes Polri) Komisaris Besar Rikwanto melalui pesan pendek kepada wartawan Minggu, 20 November 2016 mengatakan bahwa bagi masyarakat yang suka mengirimkan kabar bohong (hoax), atau bahkan cuma sekedar iseng mendistribusikan (forward) harap berhati-hati karena ancaman pembuat dan penyebar hoax akan dipidana penjara enam tahun dan didenda Rp 1 miliar. Selain itu, responden juga setuju bahwa pembuat hoax dihukum secara sosial. Sementara, responden tidak setuju jika hoax di media sosial susah ditangani.
Menurut persepsi responden, hoax bisa diberantas dengan
Jurnal Ilmu Komunikasi
AKRAB.
484 VOLUME 3, NOMOR 2, Oktober 2018: 474-488
meningkatkan kesadaran masyarakat untuk tidak menyebarkan berita bohong sehingga konflik dapat diatasi sedini mungkin.
Untuk mengetahui bagaimana pengaruh vaiabel X yaitu informasi hoax terhadap variabel Y yaitu konflik remaja di media sosial maka dapat dijelaskan pada Tabel berikut:
Dari Tabel 3 melalui Model Summary diketahui bahwa nilai R adalah 0,308 ini berarti bahwa korelasi antara variabel X yaitu informasi hoax dan Y yaitu konflik remaja yang terjadi melalui media sosial adalah 0,976 sehingga terdapat hubungan antara variabel X yaitu informasi hoax di media sosial dengan variabel Y yaitu konflik pada remaja.
Tabel. 3 Model Summary juga menunjukan nilai R-Square atau nilai determinasi sebesar 0,095 atau 9,5%
dapat disimpulkan bahwa variabel pengaruh atau variabel X yaitu informasi
hoax di media sosial terhadap konflik pada remaja sebesar 9,5% dan sisanya 90,5% dipengaruhi oleh faktor lain yang tidak terdapat dalam penelitian ini. Akan tetapi, peneliti berasumsi bahwa konflik yang terjadi pada remaja tidak hanya karena hoax di media sosial tetapi bisa disebabkan beberapa hal seperti bully cyber media, perang komentar di media sosial, postingan yang menyakiti orang lain atau kelompok tertentu dan lain-lain sehingga faktor-faktor tersebut dapat menjadi indikator untuk penelitian selanjutnya.
485 Berdasarkan Tabel 4 yaitu Tabel
Analisis Anova maka dapat dilihat bahwa nilai F pada Tabel tersebut sebesar 9.930 dapat diketahui bahwa nilai Sig. 0.002 ini dapat dijelaskan bahwa nilai Sig < 0.005
sehingga model regresi dapat digunakan konflik pada remaja, sementara untuk melihat persamaan regresi dapat dilihat pada tabel coeffisien di bawah ini.
Berdasarkan Tabel 5 Coeffisien di atas terlihat bahwa nilai coeffisien constant adalah 64.976 dan uji-t nilai koefesien variabel X yaitu informasi hoax di media sosial adalah 0.469 dengan nilai uji-t sebesar 3.151 yang berarti nilai uji-t lebih besar dibandingkan dengan nilai tabel yaitu 1.984 dengan standar error 0,05 atau sebesar 95% dengan persamaan uji-t > uji-tabel atau 3.151 >
1.984 dengan Sig.0.000. Artinya terdapat pengaruh yang signifikan antara informasi hoax di media sosial terhadap konflik pada remaja sehingga hipotesis Ha diterima dan H0 diterima yaitu terdapat pengaruh antara informasi hoax di media sosial terhadap konflik pada remaja, dengan tingkat kepercayaan 95%.
KESIMPULAN
Kesimpulan yang dapat diambil dalam penelitian ini adalah terdapat hubungan yang signifikan antara informasi hoax di media sosial terhadap konflik pada remaja, tetapi terdapat besaran pengaruh variabel X yaitu informasi hoax di media sosial terhadap variabel Y yaitu konflik pada remaja sebesar 9,5%.
Pengaruh ini lebih kecil dibandingkan pengaruh faktor lain yang menyebabkan konflik pada remaja di media sosial. Artinya, 9,5 % terdapat pengaruh yang sangat rendah, sehingga penelitian lanjut dirasa perlu dilakukan untuk mengetahui apakah faktor-faktor lain yang mempengaruhi konflik pada remaja di media sosial sebesar 90,5
Jurnal Ilmu Komunikasi
AKRAB.
486 VOLUME 3, NOMOR 2, Oktober 2018: 474-488
seperti faktor perundungan dan pencemaran nama baik di media sosial.
Selain itu, variabel X informasi hoax dengan indikator-indikator (1) Indikator Hoax Resulted In Anxiety, Hostility And Hatred (2) Indikator The Source Hoax Is Not Clear(3) Indikator Hoax Corner Certain Parties (4) Indikator Hoax Has Fanaticism In The Name Of Ideology (5) Indikator Hoax The Spread Also Asks What It Shares To Be Redistributed.
Dari penelitian yang dilakukan kategori tertinggi dari indikator variabel X informasi hoax adalah indikator Hoax Has Fanaticism In The Name Of Ideology artinya informasi hoax lebih sering dan dapat mempengaruhi remaja bila berisi konten fanatisme dan idiologi sehingga perlu berhati-hati jika ada konten hoax yang tersebar di media sosial yang berisi fanatisme dan idiologi dapat mempengaruhi terjadinya konflik personal dan interpersonal pada remaja.
Untuk itu perlu adanya pengaturan pada konten di media sosial. Pemerintah dapat membuat dan menerapkan regulasi konten informasi di media sosial sehingga konflik remaja di media sosial dapat dihindari.
Disamping itu variabel Y dengan indikator 1) Indikator personal dan
Indikator Inter-personal conflict (2) Indikator Conflict Of Interst (3) Indikators Of Non-Reality Reality Conflict (4) Indikator construktif and Deskontruktif Conflict dapat digunakan dalam penelitian ini.
Dari penelitian ditemukan bahwa indikator personal dan indikator Inter- personal conflict memiliki nilai tinggi sehingga berada pada kategori sangat tinggi pada variabel Y. Sehingga dapat disarankan bahwa perlu adanya literasi media sosial pada remaja sehingga peningkatan pengetahuan dan pengalaman serta kecerdasan remaja pada penggunaan media sosial secara sehat dapat diberikan langsung kepada remaja untuk mengantisipasi konflik pada remaja di media sosial.
DAFTAR PUSTAKA
Clara Novita Anggraini. 2016. Studi Fenomenologi pada pengguna Whatsapp dalam Penyebaran Informasi Hoax periode Januari-Maret 2015. Thesis pada Program Pasca Sarjana Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada Errissya Rasywir Institut Teknologi. 2015.
Jurnal Cybermatika Vol. 3 No.
2 Desember 2015 Artikel 1.
Bandung
487 Mira dan Rocky. 2017. Pengaruh
Tingkat Pengetahuan
Terhadap Perilaku
Penyebaran Hoax Dimedia Sosial Pada Remaja di Jakarta Indonesia. Jurnal JESOC KLICELS kuala lumpur Malaysia
Redaksi Tempo Online 2017. Media Online.
https://nasional.tempo.co/rea d/821644
Redaksi Kompasiana Online 2017.
Media Online.
http://www.kompasiana.com /ibar alaqsha/hoax
Redaksi BNPT. 2017. Media Online.
https://www.bnpt.go.id/ini- ciri-ciri-hoax-menurut-ketua- dewan-pers.html
Sudarsono. 2005. Etika Islam Tentang Kenakalan Remaja. Jakarta:
Rineka Cipta.
Jurnal Ilmu Komunikasi
AKRAB.
488 VOLUME 3, NOMOR 2, Oktober 2018: 474-488