• Tidak ada hasil yang ditemukan

BIOLOGI PENGGEREK BATANG PADI KUNING (Scirpophaga incertulas) DARI TIGA LOKASI BERBEDA ABSTRACT

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "BIOLOGI PENGGEREK BATANG PADI KUNING (Scirpophaga incertulas) DARI TIGA LOKASI BERBEDA ABSTRACT"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

BIOLOGI PENGGEREK BATANG PADI KUNING (Scirpophaga incertulas) DARI TIGA LOKASI BERBEDA

A.Kartohardjono¹), M Amir²), R. Widowati³), dan Moerfiah³)

1) Balai Penelitian Tanaman Padi, Sukamandi, Puslitbangtan, Bogor

2) Balitbang Zoologi, Puslitbang Biologi-LIPI, Bogor

3) Fakultas FMIPA, Universita Pakuan, Bogor

ABSTRACT

BIOLOGY OF YELLOW RICE STEM BORER (Scirpophaga incertulas) FROM THREE DIFFERENT LOCATION. A. KARTOHARDJONO, M. AMIR, R. WIDOWATI, AND MOERFIAH. Rice Stem Borter (RSB) ordo Lepidoptera family Pyralidae are the most dominant and widest spreading. RSB is dominant and wide spread, and its infestation on wet season in 1989/1990 in Java caused heavy yield losses of around 60 billion rupiah. There are some species of RSB and the one which often found in the filed is Yellow Rice Stem Borer (YSB) Scirpophaga incertulas. As the pest has became very destructive it is necessary to observe some biological characteristic of YSB from various region s in Java. The objective of this study was to observe some biological characteristic of YSB from three different regions in West Java. The study was conducted in the green house of Research Institute for Rice at Bogor during dry season 1998 (since May–October 1998). Adult speciemns of YSB were collected from Darmaga (Bogor); Tanjung (Brebes) and Krangkeng (Indramayu). Two weeks old seedling of rice were planted in plastic pot. After one month each pot were inoculated with 15 first instar larvae from each location, the inoculations were replicated 20 times. One month later the plant were covered with plastic mylar and observations to YSB were made.

Data collected were on periods of adult emergence, numbers of adult emergence, sex ratio, age of adult, ovi position, number of eggs layed, number of egg production and percentage of egg emergence. While for larvae and pupae the inoculation were made as above. Observation were made for larvae 18 days after inoculation and pupae 28 days aft Among the six spesies of rice stem borer in Indonesia, the yellow rice stem borer (YSB er inoculation by means of disecting infested plants, the weight of the larvae and pupae were measured. The result indicates the difference of YSB biological characteristics of Darmaga, Tanjung and Krangkeng in origin, namely the difference in the adult emergence, adults age longevity, oviposition, position of egg layed and the number of egg production. Among three different YSB location of origin, it has been shown that YSB of Tanjung and Krangkeng in origin are potential in causing high destruction.

Key words: Yellow rice stem borer; rice, biology.

ABSTRAK

BIOLOGI PENGGEREK BATANG PADI KUNING (Scirpophaga incertulas) DARI TIGA LOKASI BERBEDA. A. KARTOHARDJONO, M. AMIR, R. WIDOWATI, DAN MOERFIAH. Penggerek batang padi dari ordo Lepidoptera famili Pyralidae adalah hama paling dominan dan luas sebarannya. Serangannya pada musim penghujan 1989/90 di P. Jawa

(2)

menyebabkan penurunan hasil yang sangat nyata sekitar 60 milyar rupiah. Ada beberapa jenis penggerek batang padi dan yang paling sering dijumpai yaitu penggerek batang padi kuning (PBPK) Scirpophaga incertulas. Karena serangannya yang sangat besar maka perlu diamati beberapa sifat biologi PBPK dari beberapa lokasi di P. Jawa. Tujuan dari studi ini yaitu untuk mengetahui beberapa sifat morphologi PBPK dari tiga lokasi berbeda di Jawa Barat. Studi ini dilakukan di Rumah Kaca Balai Penelitian Tanaman Padi (BALITPA) di Bogor pada musim kemarau 1998 (sejak Mei–Oktober 1998). Spesimen ngengat PBPK dikumpulkan dari Darmaga (Bogor); Tanjung (Brebes) dan Krangkeng (Indramayu). Bibit padi berumur dua minggu ditanam di pot plastik. Setelah sebulan setiap pot diinokulasi dengan 15 ekor larva yang baru menetas dari setiap lokasi, dengan diulang 20 kali. Sebulan setelah inokulasi setiap tanaman ditutup plastik milar kemudian dilakukan pengamatan terhadap PBPK. Data yang dikumpulkan mengenai periode munculnya imago, jumlah imago terjadi, nisbah kelamin, umur imago, oviposisi, jumlah kelompok telur diletakkan, jumlah telur dihasilkan dan persentase telur menetas. Sedang terhadap larva dan pupa inokulasi juga dilakukan seperti terdahulu, Pengamatan terhadap larva dilakukan 18 hari setelah inokulasi dan terhadap pupa dilakukan 28 hari setelah inokulasi, dengan mendiseksi tanaman terinfeksi. Dikumpulkan juga data berat larva dan pupa. Hasil penelitian menunjukkan adanya perbedaan beberapa sifat biologi PBPK yang berasal dari Darmaga, Tanjung, dan Krangkeng, perbedaan ditemui pada munculnya imago, umur imago, oviposisi, posisi telur diletakkan dan jumlah telur dihasilkan. Di antara tiga lokasi asal PBPK, tampaknya PBPK yang berasal dari Tanjung dan Krangkeng memiliki potensi merusak tanaman yang lebih besar.

Kata kunci : Penggerek batang padi kuning, padi, biologi.

PENDAHULUAN

Keberadaan hama padi menjadi suatu kendala dalam usaha peningkatan produksi padi. Kurang lebih ada 100 jenis serangga hama yang menyerang tanaman padi di Indonesia, tetapi hanya 20 spesies yang menyebabkan serangan tinggi sehingga menurunkan hasil panen (Soejit- no, 1991), di antara jenis-jenis tersebut yang paling merugikan adalah penggerek batang padi,. Daerah sebaran serangan hama penggerek batang padi meliputi hampir seluruh pertanaman padi di Indonesia, sedangkan luas sawah yang terserang selama tahun 1978-1987 men- capai rataan 141.000 ha dengan intensitas serangan sekitar 10,5% (Direktorat Perlindungan Tanaman Pangan, 1987).

Pada Musim Penghujan 1989/90 menyerang berbagai varietas padi dan menyebabkan ledakan di jalur Pantura

Jabar yang menyebabkan kerugian sebesar 60 miliar rupiah (Priyanto dan Soenarjo, 1992). Penggerek batang padi menyerang tanaman padi sejak di pesemaian sampai stadia lanjut, ada enam jenis penggerek bartang padi, lima di antaranya termasuk ke dalam famili Pyralidae dan satu jenis famili Noctuidae (Hattori and Siwi, 1986).

Dari kelima jenis Pyralidae tersebut satu di antaranya penggerek batang padi kuning (PBPK) (Scirpophaga incertulas) merupa- kan jenis dominan. Serangan hama ini juga terjadi di dataran tinggi dengan sistem pertanaman padi yang tidak teratur seperti di Bogor, Cianjur dan Sukabumi maupun di dataran rendah dengan sistem pertanaman teratur seperti di Pantura, Brebes, Tegal dan Sukohardjo. Umumnya PBPK menyesuaikan diri dengan keadaan iklim di daerah yang ditempatinya, apabila daerah yang ditempati memiliki iklim dan

(3)

kondisi yang berbeda maka PBPK akan memberikan respon yang berbeda pula.

Besarnya kerusakan yang ditimbul- kan oleh PBPK telah menyebabkan dilakukan beberapa penelitian. Beberapa penelitian khususnya mengenai biologi PBPK yang telah dilakukan di antaranya:

Kepekaan beberapa varietas padi terhadap larva PBPK (Soehardjan, 1976), peneli- tian mengenai larva yang diinokulasi pada beberapa umur tanaman padi dengan umur berbeda enam dan delapan minggu setelah semai (mss) (Soejitno, 1986).

Penelitian serupa juga telah dilkukan pada perbedaan sifat PBPK dari berbagai lokasi terhadap insektisida karbofuran (Soejitno et al., 1994). Dari penelitian-penelitian tersebut dapat diketahui adanya perbedaan sifat-sifat biologi PBPK yang berbeda.

Disamping itu perlu diketahui adanya perbedaan sifat biologi dari beberapa lokasi yang berbeda.

Sehubungan dengan itu dilakukan- lah penelitian yang bertujuan untuk mengetahui adanya variasi sifat biologi PBPK dari tiga lokasi berbeda, yaitu Bogor (Darmaga), Brebes (Tanjung) dan Indramayu (Krangkeng). Pengetahuan tentang sifat-sifat biologi di lokasi-lokasi yang berbeda dapat dipergunakan untuk menentukan perbedaan potensi serangan PBPK di ketiga lokasi tersebut.

BAHAN DAN METODE

Penelitian ini dilakukan pada musim kemarau 1998 (sejak bulan Mei sampai Oktober) di Laboratorium dan Rumah Kaca Balai Penelitian Tanaman Padi di Bogor. Spesimen PBPK yang dipergunakan berasal dari tiga daerah berbeda yaitu Darmaga (Bogor); Tanjung (Brebes) dan Krangkeng (Indramayu).

Tanaman padi yang dipergunakan untuk imago adalah varietas Cisadane, sedangkan untuk stadia larva dan pupa adalah varietas Cisadane dan Pelita I-1.

Setiap varietas ditanam di pot plastik

berukuran diameter 25 cm dan tinggi 15 cm. Setelah tanaman berumur 4-6 minggu diinokulasi dengan stadia larva PBPK instar pertama yang baru menetas dari setiap lokasi. Setiap pot diinokulasi dengan sejumlah 15 ekor, dan setiap lokasi digunakan 20 pot yang berfungsi sebagai ulangan.

Pengamatan terhadap imago dilakukan dengan menyungkup tanaman padi 30 hari setelah inokulasi (hsi) dengan plastik milar (berukuran diameter 15 cm dan tinggi 40 cm). Variabel yang diamati : 1. Imago mengenai

a) saat/periode imago terjadi, imago terakhir terjadi; jumlah imago terjadi, nisbah kelamin, umur imago jantan dan betina.

b) sifat sepasang imago jantan dan betina dipelihara dalam satu kurungan, berjumlah 12 pasang sebagai ulangan, yang diamati mengenai waktu praoviposi, oviposisi dan pasca oviposisi, serta jumlah kelompok telur yang dihasilkan oleh setiap pasang, jumlah telur dalam satu kelompok telur, persentase telur menetas;

letak telur pada helaian daun atas atau bawah, letak telur serta jaraknya pada daun atau batang bawah padi.

2. Stadia larva dilakukan pengamatan dengan membelah batang padi pada umur tanaman 18 hari, larva yang ditemukan dipisahkan dan ditimbang berat tubuh, diukur panjangnya serta lebar kepalanya.

3. Stadia pupa, pengamatan dilakukan pada tanaman padi berumur 28 hari, juga dengan membelah batang padi, pupa yang terkumpul ditimbang dan diukur panjang tubuhnya.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pengamatan sifat biologi PBPK yang berasal dari Dramaga, Tanjung dan

(4)

Krangkeng menunjukkan adanya perbeda- an baik pada imago, larva dan pupa. Jika diamati sejak awal inokulasi larva sampai saat terjadi imago pertama sampai imago terakhir muncul menunjukkan adanya perbedaan waktu (Tabel 1). Imago pertama terjadi untuk daerah Darmaga memerlukan waktu 31 hari, sedang untuk daerah Tanjung dan Krangkeng masing-masing memerlukan waktu 35 hari. Demikian pula sejak awal inokulasi sampai imago terakhir terjadi untuk daerah Darmaga memerlukan waktu 47 hari, sedang untuk Tanjung dan Krangkeng masing-masing memerlukan waktu 52 hari. Tetapi periode imago terjadi untuk daerah Darmaga memerlukan waktu 16 hari, sedangkan untuk daerah Tanjung dan Krangkeng masing-masing memerlukan waktu 17 hari (Tabel 1).

Rataan jumlah imago keseluruhan yaitu ngengat jantan dan betina yang muncul serta nisbah kelamin dari ketiga lokasi juga menunjukkan adanya perbedaan (Tabel 2). Jumlah imago jantan terbanyak dari daerah Tanjung (11,28 ekor), jumlah ini berbeda nyata dengan ngengat jantan yang berasal dari Krangkeng (8,97 ekor) dan Darmaga (7,86 ekor). Sebaliknya, jumlah imago betina dari ke tiga lokasi ternyata tidak berbeda nyata, berkisar antara 8,34 ekor dan 8,99 ekor. Jumlah semua imago yang muncul menunjukkan perbedaan nyata bagi Tanjung (14,68 ekor) yang lebih banyak dibanding Krangkeng (12,34 ekor) dan Darmaga (10,23 ekor). Hal tersebut berpengaruh terhadap nilai nisbah kelamin yang tampak bahwa daerah Tanjung memiliki nilai nisbah kelamin jantan lebih besar dibanding betina (1,6:1,0), sedang Krangkeng bernisbah kelamin sebanding (1,0:1,0) dan Darmaga diperoleh betina yang lebih banyak (1,0:1,25) dari pada jantan (Tabel 2). Dari jumlah imago yang diperoleh tampak bahwa umur imago jantan maupun betina dari ketiga lokasi tersebut menunjukkan perbedaan yang

nyata. Imago dari Darmaga bagi jantan maupun betina dapat hidup lebih lama (5,17 dan 6,17 hari) dibandingkan dengan imago dari Tanjung (4,67 dan 5,25 hari) dan Krangkeng (3,83 dan 4,50 hari) (Tabel 3). Perbedaan ini dapat terjadi kemungkinan karena imago yang berasal dari Dramaga sudah terbiasa dengan iklim disekitarnya sehingga berumur lebih panjang dibandingkan dengan iamgo yang berasal dari Tanjung dan Krangkeng.

Ngengat PBPK meletakkan telur pada malam hari dalam kelompok- kelompok telur yang kecil disebut koloni telur yang ditutupi dengan bulu-bulu halus merata di seluruh permukaan koloni telur (Pathak dan Khan, 1994). Perletakan telur umumnya dilakukan antara empat sampai lima malam (Kiritani dan Iwao, 1967).

Peletakan telur terdiri dari fase praoviposisi, oviposisi dan pascaoviposisi Fase praoviposisi ngengat yang berasal dari ketiga lokasi tidak berbeda nyata ialah rataan 1,17 hari untuk Darmaga, 1,10 hari untuk Tanjung, dan 1,00 hari untuk Krangkeng. Tetapi pada fase oviposisi dan pasca oviposisi berbeda nyata di antara ngengat yang dicobakan. Ngengat yang berasal dari Darmaga (3,92 dan 1,08 hari) memberikan waktu yang lebih lama dibanding Tanjung (3,75 dan 0,84 hari) dan Krangkeng (3,25 dan 0,84 hari) (Gambar 1). Dari keterangan tersebut dapat diketahui bahwa umur imago betina akan mempengaruhi oviposisi.

Berdasarkan Heinrichs (1994), kelompok telur ngengat diletakkan pada ujung helaian daun di bagian permukaan atas. Namun pada pengamatan yang telah dilakukan menunjukkan bahwa ke lompok telur tersebut diletakkan di helaian daun di permukaan atas dan bawah, serta pada bagian batang atau pelepah tanaman padi. Rarataan kelompok telur yang diletakkan pada helaian permukaan atas daun ada perbedaan nyata antara lokasi.

Di daerah Darmaga di helaian atas

(5)

Tabel 1. Munculnya imago PBPK sejak awal inokulasi sampai saat imago terakhir terjadi (hari)

Lokasi

Parameter yang diamati Masa awal inokulasi

sampai imago pertama terjadi (hari)

Masa awal inokulasi sampai imago terakhir terjadi (hari)

Masa awal sampai akhir imago terjadi (hari)

Darmaga 31 47 16

Tanjung 35 52 17

Krangkeng 35 52 17

Tabel 2. Rataan jumlah imago semua, jantan, betina dan nisbah kelamin PBPK

Lokasi Jumlah imago semua (ekor)

Jumlah imago jantan (ekor)

Jumlah imago betina (ekor)

Nisbah kelamin jantan : betina

Darmaga 10,23 a 7,86 a 8,34 a 1,00 : 1,25

Tanjung 14,68 c 11,28 b 8,99 a 1,60 : 1,00

Krangkeng 12,34 b 8,97 a 8,51 a 1,00 : 1,00

Keterangan : Angka dalam satu kolom yang diikuti oleh huruf yang sama, tidak berbeda nyata dengan uji Duncan taraf 0.05

Tabel 3. Rataan umur imago jantan dan betina PBPK Lokasi Imago jantan (hari) Imago betina (hari)

Darmaga 5,17 b 6,17 b

Tanjung 4,67 b 5,25 a

Krangkeng 3,83 a 4,50 a

Keterangan : Angka dalam satu kolom yang diikuti oleh huruf yang sama, tidak berbeda nyata dengan uji Duncan taraf 0,01

dijumpai terbanyak 7,95 kelompok telur, sedangkan di Tanjung dijumpai 7,02 kelompok telur dan Krangkeng hanya 5,42 kelompok telur (Tabel 4). Tetapi rataan kelompok telur yang diletakkan di helaian permukaan bawah daun dan pada bagian batang atau pelepah tidak menunjukkan perbedaan yang nyata. Rataan kelompok telur yang diletakkan di helaian permukaan bawah daun untuk daerah Darmaga 7,45 kelompok telur, Tanjung 8,07 kelompok telur dan Krangkeng 7,79 kelompok telur.

Demikian juga dengan rataan jumlah kelompok telur yang diletakkan pada bagian batang atau pelepah tanaman, tidak

menunjukkan perbedaan nyata, untuk daerah Darmaga 7,18 kelompok telur, Tanjung 6,88 kelompok telur dan Krangkeng 6,80 kelompok telur (Tabel 4).

Selanjutnya hasil pengamatan pada setiap bagian helaian dan batang atau pelepah tanaman tempat telur diletakkan terhadap jaraknya dari pangkal daun dan pangkal batang, ternyata tidak menunjukkan beda nyata di antara ketiga lokasi. Jarak letak kelompok PBPK dari helaian ke pangkal daun bagi daerah Darmaga 4,79 cm dan Tanjung 4,46 cm serta Krangkeng 4,27 cm. Demikian pula jarak letak kelompok PBPK dari batang

(6)

Gambar 1. Rataan peletakan telur PBPK, praoviposisi, oviposisi dan pascaoviposisi

atau pelepah tanaman ke pangkal tanaman bagi daerah Darmaga 10,15 cm dan Tanjung 9,58 cm serta Krangkeng 9,46 cm (Tabel 5).

Umur imago dari Darmaga dengan Tanjung dan Krangkeng ternyata berbeda.

Tetapi terhadap jumlah kelompok telur yang dihasilkan ngengat dari ketiga tempat tersebut ternyata tidak berbeda nyata.

Gambar 2 menunjukkan bahwa jumlah kelompok telur ngengat tersebut dari Darmaga (11,03 kelompok) setara dengan jumlah kelompok telur yang dihasilkan oleh ngengat yang berasal dari Tanjung (10,74 kelompok) dan Krangkeng (11,46 kelompok). Tetapi dari satu kelompok telur dari setiap lokasi diperoleh jumlah telur yang cukup berbeda. Satu kelompok telur dari Darmaga diperoleh telur lebih sedikit (46,57 telur) dibandingkan dengan dari Tanjung (50,79 telur) dan Krangkeng (63,68 telur). Ternyata jumlah tersebut lebih sedikit dibanding dengan jumlah telur yang telah diamati oleh Pathak dan Khan (1994) yang menyatakan bahwa jumlah telur dari satu kelompok telur berkisar antara 100-200 butir. Kritani dan

Iwao (1967) bahkan menunjukkan bahwa seekor ngengat betina mampu mengehasilkan sebanyak 100–600 butir telur. Perbedaan angka tersebut tampaknya disebabkan oleh perbedaan lokasi tempat berkembangbiak ngengat tersebut.

Meskipun ada perbedaan jumlah telur yang dihasilkan, tetapi persentase telur yang menetas dari ngengat yang berasal dari ketiga lokasi tidak menunjukkan beda nyata. Rataan jumlah telur yang menetas adalah 13,95 % untuk Tanjung; 14,02 % untuk Darmaga dan 15,12 % untuk Krangkeng (Gambar 2). Dilihat dari angka ini diduga bahwa PBPK dari Krangkeng akan menimbulkan populasi yang besar karena banyaknya jumlah telur yang dihasilkan.

Larva yang menetas dipergunakan untuk percobaan selanjutnya. Larva dipelihara pada tanaman padi menggu- nakan dua varietas padi, untuk larva yang berasal dari Darmaga diinokulasikan pada varietas padi Cisadane, sedangkan larva yang berasal dari Tanjung dan Krangkeng diinokulasikan pada padi varietas Pelita I- 1. Hal tersebut dilakukan karena varietas 0

0.5 1 1.5 2 2.5 3 3.5 4

Hari

Darmaga Tanjung Krangkeng

Praovi.

Oviposisi Pascaovi.

(7)

Tabel 4. Rataan jumlah kelompok telur PBPK yang diletakkan pada helaian daun

````````````permukaan atas, bawah dan batang

Lokasi Pada helaian daun

Pada batang Permukaan atas Permukaan bawah

Darmaga 7,95 b 7,45 a 7,18 a

Tanjung 7,02 a 8,07 a 6,88 a

Krangkeng 5,42 a 7,79 a 6,80 a

Keterangan : Angka dalam satu kolom yang diikuti oleh huruf yang sama, tidak berbeda nyata dengan uji Duncan taraf 0,05

Tabel 5. Rataan jarak telur PBPK pada helaian daun dan batang

Lokasi Pada helaian (cm) Pada batang (cm)

Darmaga 4,79 a 10,50 a

Tanjung 4,40 a 9,58 a

Krangkeng 4,27 a 9,46 a

Keterangan : Angka dalam satu kolom yang diikuti oleh huruf yang sama, tidak berbeda nyata dengan uji Duncan taraf 0,05

Cisadane yang tersedia tidak mencukupi sehingga digunakan Pelita I-1, sedang kedua varietas tersebut memiliki sifat ketahanan yang sama terhadap PBPK.

Pengamatan terhadap lebar kepala (head capsul) dari larva yang berasal dari Dramaga, Tanjung dan Krangkeng menunjukkan variasi. Larva yang berasal dari Darmaga memiliki kepala terlebar (0,58 mm) dibanding dengan yang berasal dari Tanjung (0,46 mm) dan Krangkeng (0,38 mm). Hasil pengamatan terdahulu dilaporkan bahwa ukuran lebar kepala larva PBPK berturut-turut 0,28; 0,40;

0,64; 0,80; 0,92; 1,08 dan 1,20 mm masing-masing untuk larva instar 1; 2; 3;

4; 5; 6 dan 7 (Soehardjan, 1976). Pada pengamatan ini lebar kepala larva antara 0,38–0,58 mm, dari ukuran tersebut diduga larva yang diamati berada pada kedudukan instar ke dua dan tiga (Table 6).

Pengamatan berat tubuh larva juga menunjukkan adanya variasi, larva dari Darmaga paling berat (0,0236 mg) dibanding dengan yang berasal dari Tanjung (0,0151 mg) dan Krangkeng (0,0138 mg). Larva yang memiliki berat

besar menunjukkan keadaan kesesuaian larva untuk makan. Sebaliknya larva yang memiliki berat tubuh lebih kecil kemungkinan terjadi persaingan antara larva karena pada satu rumpun yang diinokulasi dengan 15 ekor larva.

Sedangkan larva yang mempunyai bobot badan tinggi diduga karena larva telah mendapatkan makanannya yang cocok, sehingga sesuai untuk perkembangan tubuhnya. (Soejitno, 1986).

Pada pengamatan pupa hasilnya seperti pada pengamatan larva. Berat tubuh pupa yang berasal dari Dramaga, Tanjung dan krangkeng yang dipelihara di tanaman padi yang dicoba mernunjukkan hasil yang bervariasi. Pupa yang berasal dari Darmaga memiliki berat yang lebih besar (0,0503 mg) dibanding dengan populasi dari Tanjung (0,0388 mg) dan Krangkeng (0,0396 mg). Namun ukuran panjang tubuhnya tidak terlalu berbeda, yaitu populasi dari Darmaga berukuran 6,57 mm sedangkan dari Tanjung berukuran 6,04 mm dan Krangkeng berukuran 6,14 mm (Tabel 7). Stadia pupa merupakan stadia inaktif dan meru-

(8)

0 10 20 30 40 50 60 70

Jumlah dan %

Darmaga Tanjung Krangkeng

Kel. Telur Telur

% tetas

Gambar 2. Rataan kelompok telur PBPK, jumlah telur dan persentase telur menetas

Tabel 6. Rataan berat tubuh, lebar kepala dan panjang tubuh larva PBPK

Lokasi Varietas padi Berat tubuh (mg) Lebar kepala (mm)

Panjang tubuh (mm)

Darmaga Cisadane 0,0236 0,58 5,53

Tanjung Pelita I-1 0,0151 0,46 4,92

Krangkeng Pelita I-1 0,0138 0,38 3,52

Tabel 7. Rataan Berat Tubuh dan Panjang Tubuh Pupa PBPK

Lokasi Varietas padi Berat tubuh (mg) Panjang tubuh (mm)

Darmaga Cisadane 0,0503 6,57

Tanjung Pelita I-1 0,0388 6,04

Krangkeng Pelita I-1 0,0396 6,14

pakan persiapan untuk menjadi imago.

Dari hasil yang diperoleh tampak bahwa kemunculan imago dari Krangkeng dan Tanjung lebih lambat daripada daerah Darmaga. Perbedaan waktu kemunculan

imago ngengat diduga karena adanya perbedaan lingkungan. Daerah Tanjung, dan Krangkeng merupakan dataran rendah, sedang Darmaga adalah dataran tinggi yang dikelilingi oleh pegunungan.

(9)

Berdasarkan klasifikasi iklim Schmidt dan Ferguson, daerah Tanjung dan Krangkeng dikatagorikan ke dalam iklim tipe C yang memiliki karakteristik: curah hujan sedang (1000 – 2000 mm per tahun); rataan suhu harian berkisar antara 24-29C; persentase penyinaran matahari yang tinggi terutama pada musim kemarau (panas). Sedangkan iklim Darmaga bertipe A dengan karakteristik curah hujan yang lebat (lebih dari 2000 mm per tahun) suhu pada malam hari berkisar antara 21,1 –23,9C, persentase penyinaran matahari rendah.

Dengan demikian iklim daerah Darmaga lebih dingin dari Tanjung dan Krangkeng.

Pada umumnya PBPK akan melakukan tidur panjang pada saat menghadapi perubahan keadaan lingkungan, hal tersebut diisebut diapause (Pathak dan Khan, 1994). Perbedaan iklim memberi pengaruh terhadap waktu kemunculan dan jumlah imago ngengat.

Imago yang muncul dari spesimen asal Tanjung dan Krangkeng sesudah 17 hari, dengan jumlah imago masing-masing 14,68 dan 12,34 ekor, sedangkan spesimen imago yang berasal dari Darmaga muncul dalam waktu yang lebih lama, ialah 16 hari, dengan jumlah individu imago sebanyak 10,23 ekor. Perbedaan keadaan lingkungan tersebut juga berpengaruh terhadap umur imago, yang berasal dari Darmaga berumur lebih panjang dari pada yang berasal dari Tanjung dan Krangkeng.

Hal ini terjadi mungkin karena yang berasal dari Darmaga tidak memerlukan proses penyesuaian terhadap iklim disekitarnya. Sebaliknya spesimen yang berasal dari Tanjung dan Krangkeng, dalam kondisi iklim Bogor, masih harus melakukan penyesuaian dengan keadaan iklim yang ada, yang ditunjukkan dalam bentuk adaptasi umurnya yang lebih singkat. Umur imago dari Darmaga yang lebih panjang akan menyebabkan fase oviposisi dan pascaoviposis lebih lama dibanding dengan imago dari Tanjung dan Krangkeng. Pada imago yang berumur

lebih panjang akan memiliki waktu yang lebih lama untuk meletakkan telurnya (oviposisi).

Keadaan lingkungan lainnya disamping iklim yaitu keadaan musuh alami dan serangga lain serta budi daya tanaman juga tidak sama antara lokasi Darmaga, Tanjung dan Krangkeng. Pada penelitian ini aspek biologi yang lebih banyak dibahas, dari pengamatan terhadap peletakan telur dari ketiga lokasi tampak bahwa kelompok telur yang diletakkan pada bagian helaian permukaan atas daun berbeda nyata antara lokasi, sedang yang diletakkan pada bagian helaian bawah daun dan bagian batang atau pelepah tanaman antar lokasi tidak berbeda nyata.

Hal tersebut menunjukkan bahwa pada helaian bagian atas daun lebih sesuai untuk peletakan telur. Kiritani dan Iwao (1967) menyatakan bahwa secara umum imago PBPK lebih menyukai bertelur pada permukaan atas daun khususnya pada tanaman muda. Sedangkan pada tanaman tua cenderung memilih permukaan daun sebagai tempat untuk menyimpan kelompok telur. Selanjutnya Kiritani dan Iwao (1967) menambahkan bahwa iklim disekitar areal pertanaman mempengaruhi kegiatan ngengat saat meletakkan telur, sehingga ngengat yang berada di helaian daun atas atau bawah serta di batang dari lokasi yang berbeda akan mempengaruhi aktivitas ngengat dalam meletakkan telurnya. Tetapi jarak antara tempat telur diletakkan pada helaian daun dengan pangkal daun, dan jarak antara tempat telur diletakkan pada batang atau pelepah tanaman dengan pangkal tanaman tidak berbeda nyata untuk spesimen ngengat yang berasal dari ketiga daerah tersebut.berpengaruh, karena populasi dari Darmaga (yang sesuai dengan keadaan lingkungan). Meskipun umur imago berbeda tetapi tidak tampak berpengaruh terhadap jumlah kelompok telur yang diletakkan. Jumlah kelompok telur yang dihasilkan dapat digunakan sebagai

(10)

penduga fluktuasi populasi PBPK, jika jumlah kelompok telur banyak maka diduga banyak pupa populasi PBPK yang akan terjadi (Soehardjan, 1976). Demikian pula sebaliknya jika kelompok telur sedikit maka diduga sedikit pula populasi PBPK yang akan terjadi. Pada jumlah kelompok telur yang dihasilkan dari spesimen yang berasal dari ketiga lokasi yang tidak berbeda nyata, ternyata berisi telur yang jumlahnya berbeda. Keadaan lingkungan tidak selalu menghasilkan telur yang lebih sedikit (46,57 telur) dari pada spesimen yang berasal; dari Tanjung (50,79 telur) dan Krangkeng (63,68 telur).

Namun demikian terhadap persentase telur menetas tidak berbeda nyata. Sifat biologi imago PBPK dari ketiga lokasi, Darmaga; Tanjung, dan Krangkeng yang menunjukkan adanya perbedaan yang nyata yaitu periode imago terjadi; jumlah imago terjadi; umur imago; oviposisi; letak telur pada helaian atas daun dan jumlah telur yang dihasilkan. Selain faktor lingkungan lain seperti musuh alami dan adanya jenis hama lain, diantara ketiga lokasi tersebut, PBPK yang berpotensi menyebabkan serangan tinggi pada tanaman padi yaitu populasi dari Tanjung dan Krangkeng.

Larva yang terjadi akan segera mencari makan, dan tersedianya pakan yang cocok dan jumlah yang cukup akan menyebabkan peningkatan berat larva dengan cepat (Hidayat dan Natawigena, 1990). Larva yang memiliki berat tubuh terbesar menunjukkan bahwa larva tersebut telah menemukan habitat yang sesuai untuk perkembangannya (Soejitno, 1986). Stadia larva aktif makan dan tanaman inangnya dan keberhasilannya dapat dilihat dari pekembangan tubuhnya . Perkembangan larva selain dipengaruhi oleh keadaan makanan juga dipengaruhi oleh keadaan iklim disekitarnya.

Pertanaman padi di Darmaga dilakukan sepanjang tahun karena selalu tersedia pengairan. Sedang di Tanjung dan

Krangkeng pertanaman setahun dilakukan 3 kali kemudian diikuti dengan bera. Hal tersebut kemungkinan juga mempengaruhi tersedianya makanan bagi PBPK. Jika makanan dan lingkungan sesuai tampak ukuran berat tubuh, lebar kepala dan panjang tubuh stadia larva menjadi lebih besar. Keadaan seperti ini terlihat pada contoh dari Darmaga yang lebih aktif makan, sehingga ukuran bdannya lebih besar dibanding dengan spesimen dari Tanjung dan Krangkeng. Pengaruh dari stadia larva tersebut juga tampak pada stadia pupa, yang menunjukkan bahwa pupa dari spesimen Darmaga memiliki berat dan panjang tubuh yang lebih besar dari pada spesimen dari Tanjung dan Krangkeng.

KESIMPULAN

Dari hasil pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa beberapa sifat biologi PBPK dari ketiga lokasi Dramaga (Bogor), Tanjung (Brebes) dan Krangkeng (Indramayu) menunjukkan adanya perbedaan nyata mengenai periode imago, jumlah imago semua yang muncul, umur imago, oviposisi, letak telur pada helaian atas daun dan jumlah telur yang dihasilkan. Sedang beberapa sifat biologi yang sama yaitu jumlah imago betina terjadi, jumlah kelompok telur diletakkan pada helaian daun bawah dan batang, jarak telur diletakkan antara helaian daun dan pangkal daun serta antara batang dengan pangkal tanaman, persentase telur menetas. Berdasarkan pengamatan perbedaan sifat biologi tersebut tampaknya PBPK yang berasal dari Tanjung dan Krangkeng lebih berpotensi menyebabkan serangan tinggi dibanding dengan yang berasal dari Darmaga, apabila faktor-faktor biotik di lapangan cukup mendukung untuk berkembangbiaknya hama tersebut.

(11)

DAFTAR PUSTAKA

Direktorat Perlindungan Tanaman Pangan . 1987. Pestisida untuk Pertanian dan Kehutanan. Direktorat Jendral Tanaman Pangan. Jakarta.

Hattori, I. and S.S.Siwi. 1986. Rice stem- borers in Indonesia. JARQ 20 (1):

25-30

Heinrichs, E.A. 1994. Biology and Ecology of Rice Insect. The

International Rice Research Institute. Los Banos, Philippines.

Hidayat, H. dan Natawigena. 1990.

Entomologi Pertanian. Orba Sakti, Bandung.

Kiritani K dan S. Iwao. 1967. The biology and life cycle of Chilo suppressalis (Walker) and Tryporyza incertulas (Walker) in temperate climates areas. In : The Mayor Insect Pest of the Rice Plant. John Hopkins Press.

Baltimore, Maryland. p. 45 - 101 Pathak, M.D. dan Z.R. Khan. 1994. Stem

borers In. Insect Pest of Rice. ICIPE – IRRI. Los Banos, Philippines .

Prayitno, B.H. dan E. Soenarjo. 1992.

Penarikan contoh sekuensial binomial tersensor dan keputusan pengendalian penggerek batang padi.

Penelitian Pertanian 2 (12): 97–103

Soehardjan, M. 1976. Dinamika populasi penggerek batang padi kuning Tryporyza incertulas (Walker).

Disertasi S3 . ITB.

Soejitno, J. 1986. Pengaruh serangan penggerek batang padi kuning (Tryporyza incertulas Walker) pada berbagai umur tanaman terhadap kerusakan tanaman padi. Penelitian Pertanian 6 (1): 43 – 48.

---, 1991. Bionomi dan Pengendalian Hama Penggerek

Batang Padi. Di dalam : Padi Buku III. Pusat Penelitian dan

Pengembangan Tanaman Pangan.

Bogor. hlm. 713 -735

---, I.M. Samudra dan D. Kilin.

1994. Kajian ketahan penggerek batang padi kuning (Tryporyza incertulas Walker) terhadap karbofuran. Penelitain Pertanian 14 (2) : 78 – 83.

Referensi

Dokumen terkait

[r]

bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, maka Peraturan Kepala Desa Purbayan Nomor 3 Tahun 2020 tentang Daftar Penerima Manfaat Bantuan Langsung

Asas kajian ini berdasarkan konsep nafsu Al-Ghazali bahawa manusia mempunyai tiga tahap nafsu iaitu nafsu mutmainnah, nafsu lawammah dan nafsu ammarah yang digunakan

ISOBUS Class 3 toiminnallisuudet Tärkeys: melko tärkeä Aika tuotteeksi: 4-6 vuotta.. ISOBUS Class 3 toiminnallisuudet määrittelevät miten traktorin resursseja –

Tidak hanya pada siswa berkebutuhan khusus namun juga pada siswa regular, sehingga penelitian ini bertujuan untuk mengetahui peran dukungan sosial teman sebaya

Pemilukada secara langsung dimaksudkan untuk meminimalisasi terjadinya pembajakan otoritas dari rakyat oleh para wakil lembaga perwakilan. Kesadaran politik warga negara menjadi

Pemerintah Kabupaten Demak khususnya dinas Pariwisata melakukan pendampingan kepada kelompok sadar wisata di desa Bedono ini diperlukan untuk mengawal jalannya proses,

Gani Kelurahan Tungkal Muara