• Tidak ada hasil yang ditemukan

KEGIATAN BELAJAR 1: INDIKATOR KOMPETENSI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "KEGIATAN BELAJAR 1: INDIKATOR KOMPETENSI"

Copied!
44
0
0

Teks penuh

(1)

1

1. Menjelaskan Konsep Tafsir, takwil, tarjamah, ayat-ayat muhkamat dan mutasyabihat.

2. Menganalisis Penerapan Tafsir, takwil, terjamah, ayat-ayat muhkamat dan mutasyabihat

URAIAN MATERI 1. Tafsir

Menurut bahasa kata tafsir diambil dari kata fassara-yufassiru- tafsiir yang berarti menjelaskan. Pengertian tafsir menurut bahasa juga bermakna al-idhah (menjelaskan),al- bayan(menerangkan), al-kasyf (mengungkapkan). Sedangkan secara terminology terdapat beberapa pendapat, salah satunya menurut Dr. Shubhis Shaleh yang mendifinisikan tafsir sebagai berikut :

ِهِب ُف َرْعُي ٌمْلِع ِجا َرْخِتْسا َو ِهيِناَعَم ِناَيَب َو ملس و هيلع الله ىلص ٍدَّمَحُم ِهِ يِبَن َىلَع ِل َّزَنُملا ِالله ِباتِك ُمْهَف

ِهِمَك ِح َو ِهِماَكْحأ

Artinya:

Sebuah disiplin yang digunakan untuk memahami kitabullah yang diturunkan kepada Nabi Saw dan menerangkan makna-maknanya serta menggali hukum-hukum dan hikmah- hikmahnya.

Definisi lain tentang tafsir dikemukakan oleh Ali al-Shabuniy bahwa tafsir adalah ilmu yang membahas tentang al-Qur’an dari segi pengertiannya terhadap maksud Allah sesuai

KEGIATAN BELAJAR 1:

INDIKATOR KOMPETENSI

(2)

2 dengan kemampuan manusia. Pendapat lain senada disampaikan oleh al-Kilabi bahwa tafsir adalah menjelaskan al-Qur’an, menerangkan maknanya dan menjelaskan apa yang dikehendaki dengan nashnya atau dengan isyaratnya atau tujuannya. Demikian juga menurut Syekh al-Jazairi tafsir pada hakikatnya adalah menjelaskan lafadz yang sukar dipahami oleh pendengar dengan mengemukakan lafadz sinonimnya atau makna yang mendekatinya, atau dengan jalan mengemukakan salah satu dilalah lafadz tersebut.

Al Qur’an diturunkan adalah sebagai petunjuk dari Allah Swt sebagai pencipta bagi segenap manusia; petunjuk hidup di dunia dan petunjuk untuk mendapat keselamatan dan kebahagiaan di akherat. Petunjuk tersebut penting dipahami dan dijelaskan kepada manusia.

Untuk menjelaskan isi kandungan al Qur’an dibutuhkan sebuah alat yang disebut ilmu tafsir, di mana merupakan perangkat yang diperlukan dalam memahami ayat-ayat pada setiap surat dalam al-Qur’an.

Dalam melakukan penafsiran al Qur’an seorang mufassir dituntut untuk menjelaskan maksud yang terkandung dari suatu ayat atau beberapa ayat atau surat di dalam al Qur’an.

Maksud dari suatu ayat atau surat tersebut dapat dipahami dari susunan bahasanya dan lafadz- lafadz yang digunakannya serta seluk beluk yang berhubungan dengan ayat atau surat tersebut, yaitu; kapan, di mana, ada peristiwa apa ketika ayat itu turun, berkenaan dengan apa dan siapa, kondisi masyarakatnya bagaimana, dan bagaimana penjelasan Nabi Saw terhadap ayat tersebut. Seluk beluk yang dimaksud adalah terkait dengan ulumu al Qur’an, di dalamnya membahas tentang asbabun nuzul, makiyah dan madaniyah, ilmu qiraat, nasikh wa mansukh, dst.

Asbabun nuzul yang menjadi latarbelakang turunnya ayat menjadi salah satu komponen yang sangat penting bagi siapapun yang ingin memahami Al-Qur’an. Belum dianggap cukup untuk memahami al Qur’an hanya berbekal bahasa arab saja, apalagi hanya membaca terjemahnya saja. Di sini artinya memperhatikan asbabun nuzul menjadi suatu hal yang penting, yang dikuatirkan akan terjadi kesalahan jika memahami al Qur’an tanpa memperhatikan asbabun nuzul. Al Syathibi menegaskan bahwa seorang tidak diperkenankan memahami al Qur’an hanya dari sisi teksnya saja tanpa memperhatikan konteks ayat ketika turun. Namun Demikian perlu diketahui bahwa tidak seluruh ayat al Qur’an diketemukan asbabun nuzulnya melalui riwayat.

Memahami makiyah dan madaniyah juga akan membatu seseorang ketika akan memahami al Qur’an. Terdapat beberapa manfaat dalam memahami makiyah dan madaniyah, apabila seseorang berupaya memahami ayat al Qur’an : a) Dapat membantu mempermudah dalam menjelaskan ayat al-Qur’an, dikarenakan makiyah dan madaniyah terkait dengan

(3)

3

situasi dan kondisi masyarakat saat itu ketika ayat-ayat al Qur’an diturunkan. b) Melalui gaya bahasa yang berbeda pada ayat makiyah dan madaniyah akan membatu dalam memahami ayat al Qur’an, sekaligus memberikan indikasi perbedaan karakteristik masyarakat. c) Dengan memahami makiyah dan madaniyah akan lebih mudah mengkaitkan dengan aspek sejarah hidup Nabi Muhammad Saw .

Demikian juga penting memahami seluk beluk ilmu qiraat, di mana dimulai sejak para sahabat membaca qiraat tersebut. Sebagaimana dalam hadist shohih diceritakan bahwa suatu ketika di masa hidup Rasulullah saw , Umar bin Khattab sholat menjadi makmum dan mendengar bacaan Hisyam bin Hakim membaca Surat al-Furqan dengan bacaan qira’ah yang bermacam-macam yang tidak sama dengan bacaan Umar yang diajarkan Rasulullah Saw, sehingga hampir saja Umar menyeretnya ketika dia sedang salat. Namun Umar berusaha bersabar menunggunya hingga selesai salam. Setelah Hisyam selesai salat, Umar menarik selendangnya seraya berkata padanya, siapa yang membacakan surat kepadamu denga bacaan seperti itu, kata Umar. Dia menjawab; Rasulullah Saw yang membacakan kepadaku seperti itu. Bohong kamu, kata Umar” Sungguh Rasulullah Saw membacakan padaku Tidak seperti apa yang kamu baca. Kemudian Umar membawanya untuk menghadap Rasul, di mana setelah keduanya membaca surat al Furqan kemudian Rasulullah Swt membenarkan bacaan keduanya, sambil bersabda “ Seperti itulah bacaan al Qur’an diturunkan.

Dalam hal qiraat tersebut tidak hanya berkutat dalam perbedaan bacaan al qur’an dari segi dialek saja, namun terdapat juga perbedaan-perbedaan qira’at yang mempengaruhi terhadap perbedaan makna lafadz , sehingga menjadi penting memahaminya bagi seorang mufassir. Di antara manfaat memahami perbedaan qira’at yang mempengaruhi terhadap makna adalah ; a) Dapat mengetahui adanya dua hukum yang berbeda. Misalnya pada surat Al-Baqarah: 222.

َن ْرُهْطَي ٰىَّتَح َّنُهوُب َرْقَت َلَ َو

“Dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci.”

Ayat ini oleh oleh beberapa imam qira’at dibaca َن ْرَّهَّطي . Kata َن ْرُهْطَي berarti wanita haid boleh didekati apabila berhenti haidnya. Sedangkan bacaan َن ْرَّهَّطي menunjukkan makna bahwa wanita haid baru boleh didekati setelah mereka mandi. Dari dua qira’at ini dapat dipahami bahwa wanita haid boleh didekati setelah berhenti haidnya dan telah mandi.

Demikian juga dalam memahami qira’at yang memiliki dua wajah seperti pada surat Al Maidah: 6 dalam kaitannya dengan wudhu:

ِإ ْمُكَلُج ْرَأ َو ْمُكِسوُء ُرِب ۟اوُحَسْمٱ َو ِقِفا َرَمْلٱ ىَلِإ ْمُكَيِدْيَأ َو ْمُكَهوُج ُو ۟اوُلِسْغٱَف

ۚ ِنْيَبْعَكْلٱ ىَل

“Maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan usaplah kepalamu dan (basuhlah) kakimu sampai dengan kedua mata kaki”

(4)

4 Kata ْمُكَلُج ْرَأ َو(wa arjulakum) yang dibaca fathah lamnya sebagian imam lain membaca dengan mengasrah lam ْمُكِلُج ْرَأ َو (wa arjulikum) yang dari dua qira’at ini dapat dipahami bahwa salah satu rukun wudhu adalah membasuh kaki, tetapi membasuh kaki dapat dirubah dengan mengusapnya bagi orang yang memakai khufah (semacam sepatu pada zaman dahulu) bagi orang yang sedang safar.

Pengetahuan seperti itu, tidak mungkin diketahui oleh seseorang yang tidak mengenal tentang ilmu qira’at. Demikian juga pada sebagaian lafadz-lafadz lain yang memiliki beberapa qira’at. Karena itu pengetahuan Ulumu al Qur’an tersebut digunakan seorang mufassir dalam menjelaskan ayat-ayat al Qur’an agar di dalam penafsirannya dapat terhindar dari kemungkinan terjadi kesalahan. Karena itu seseorang mufassir dalam menafsirkan al Qur’an disyaratkan memiliki penguasaan di bidang ulumu al-Qur’an sebagaimana dijelaskan oleh para ulama’ tentang syarat-syarat mufassir, yaitu penguasaan bahasa arab beserta cabang-cabangnya dan penguasaan terhadap ulumu al Qur’an.

2. Takwil

Ta’wil menurut bahasa berasal dari kata awwala-yuauwilu-takwiil yang memiliki makna al-ruju’ atau al’aud yang berarti kembali. Berkaitan dengan kata ini al Qur’an beberapa kali menggunakan kata takwil dalam menjelaskan maksud dari sebuah pristiwa atau kisah, misalnya pada kisah Nabi Yusuf as (QS:12;100) dalam menjelaskan pristiwa tunduknya keluarga dan saudara-saudaranya kepadanya dinyatakan dengan kalimat haadzaa takwiilu rukyaaya min qobl qod ja’ala robbii haqqo…( ini adalah takwil mimpiku sebelumnya, sungguh Tuhan telah menjadikan mimpiku menjadi kenyataan).

Demikian juga pada surat al Kahfi (78) tentang kisah seorang hamba Allah yang diberi ilmu dari sisi-Nya mengatakan kepada Nabi Musa as dengan kalimat sa unabbi uka bitakwiili maalam tastathi’ alaihi sobro (aku akan menjelaskan takwil sesuatu yang engkau tidak dapat bersikap sabar terhadapnya).

Memperhatikan penggunaan kata takwil di dalam al Qur’an, maka secara terminologi al Jurjani dalam kitab al Ta’rifatnya memberikan definisi takwil sebagai berikut:

َص ُف ْر ِظْفَّللا َع َم ْن ْع ُها َن ِهاظلا َىلإ ِر َم ْع َي ىًن ْح ِم َت ُل ُه َناك ا َذإ ُملا ِم َتح ُل ِذ َلا َي ي ُم هار َو ِفا ِل اًق ِبات ِكل ةَّنُّسلاو

Memalingkan lafadz dari maknanya yang lahir kepada makna yang dikandung oleh lafadz tersebut selama makna yang dimaksud tersebut dipandang sesuai dengan al qur’an dan al sunnah.

(5)

5

Misalnya dalam memahami kalimat تيملا نم يحلا جرخي (mengeluarkan kehidupan dari yang mati) misalnya, bisa dipahami dalam pengertian ―mengeluarkan seekor ayam yang menetas dari telur. Makna tersebut adalah tafsir. Tetapi, ia bisa juga dipahami dengan jalan takwil, yakni ―mengeluarkan seorang Mukmin dari kekafiran atau mengeluarkan yang pandai dari kebodohan.1

Melihat penjelasan di atas dapat dipahami bahwa pada hakekatnya takwil dilakukan dalam rangka memahami ayat yang berarti juga disebut tafsir. Makna takwil dalam teks Alquran dan hadis sejak lama telah diperdebatkan di kalangan para ulama. Dalam tradisi tafsir memahami Alquran bisa dilakukan dengan menggunakan tafsir dan juga dengan takwil yang benar.

3. Terjemah

Terjemah diambil dari bahasa arab dari kata tarjamah. Bahasa arab sendiri memungut kata tersebut dari bahasa Armenia yaitu turjuman2. Kata turjuman sebentuk dengan kata tarjaman dan tarjuman yang berarti mengalihkan tuturan dari satu bahasa ke bahasa lain.3 Terjemah menurut bahasa juga berarti salinan dari satu bahasa ke bahasa lain, atau mengganti, menyalin, memindahkan kalimat dari suatu bahasa ke bahasa lain.

Secara etimologi berarti juga ‚memindahkan lafal dari suatu bahasa kedalam bahasa lain.

Dalam hal ini seperti memindahkan atau mengartikan ayat-ayat al-Qur’an yang berbahasa Arab diartikan kedalam bahasa Indonesia.

Adapun secara terminologi didefinisikan sebagai berikut;

ٍةَغُل ْن ِم ٍرَخا ٍملََكِب ٍةَغُل ىِف ٍم َلََك َىنْعَم ْنَع ُريِبْعَتلا َو ِهيِناَعَم ِعيِمَجِب ِءاَف َولا َعَم ى َرْخُا

هِد ِصاقَم

Mengungkapkan makna tuturan suatu bahasa di dalam bahasa lain dengan memenuhi seluruh makna dan maksud tuturan tersebut.

Ash-Shabuni mendefinisikan terjemah al Qur’an adalah memindahkan bahasa al- Qur’an ke bahasa lain yang bukan bahasa ‘Arab kemudian mencetak terjemah ini ke beberapa naskah agar dapat dibaca orang yang tidak mengerti bahasa ‘Arab, sehingga dapat memahami

1 . M. Quraish Shihab, Membumikan Al Qur‟an, Jilid 2, (Jakarta: Lentera Hati, 2011), 554.

2 . Didawi, M (1992). Ilmut Tarjamah bainan Nazhariyah wa al Tathbiq. Tunis: Darul Maarif li ath Thabaah wa al Nasyr.

Hal;37

3 . Manzhur, I.( 1300 H) Lisanul Arab. Beirut: Dar Shadir :66

(6)

6 kitab Allah SWt, dengan perantaraan terjemahan.

Penerjemahan dibagi menjadi dua; terjemah lafdziyah dan terjemah tafsiriyah.

Terjemah harfiyah, yaitu mengalihkan lafaz-lafaz dari satu bahasa ke dalam lafaz- lafaz yang serupa dari bahasa lain sedemikian rupa sehingga susunan dan tertib bahasa kedua sesuai dengan susunan dan tertib bahasa pertama. Terjemah tafsiriyah atau terjemah maknawiyah, yaitu menjelaskan makna pembicaraan dengan bahasa lain tanpa terikat dengan tertib kata- kata bahasa asal atau memperhatikan susunan kalimatnya.

Membaca terjemah sebuah ayat al Qur’an dapat membantu pembaca untuk memahami maksud ayat tersebut, namun demikian membaca terjemah saja tanpa memahami seluk beluk bahasa al Qur’an yakni bahasa arab seringkali menjadikan pemahaman terhadap ayat tersebut kurang sempurna, atau bahkan dikuatirkan terjadi kesalahpahaman. Kesalahpahaman terhadap pembacaan terjemah secara umum dapat disebabkan beberapa hal;

a. Tidak semua kata dalam suatu bahasa dapat diterjemah secara tepat atau utuh ke dalam bahasa lain. Ini dikarenakan setiap bahasa memiliki batas-batas makna masing-masing.

Contoh kata; anta dan anti( mudzakkar dan muannats) tidak dapat diterjemah secara utuh dengan kata kamu, anda atau engkau. Demikian juga misalnya kata insanun dan basyarun tidak dapat secara utuh diwakili oleh terjemah kata manusia.

b. Keterbatasan seorang penerjemah dalam melakukan pilihan kata yang tepat dan keterbatasan penerjemah dalam penguasaan struktur bahasa yang digunakan.

c. Latarbelakang budaya yang berbeda pada setiap bangsa akan membentuk karakteristik bahasa yang berbeda, misalnya pada bahasa arab memiliki jumlah ismiyah dan jumlah fi’liyah. Pola memiliki dua jumlah tersebut tidak dimiliki oleh bahasa Indonesia.

Karena itu apabila melihat berbagai kelemahan tersebut di atas, maka dalam penterjemahan al Qur’an belum dapat dikatakan mampu mewakili seluruh maksud ayat- ayatnya. Apalagi bahwa al Qur’an itu adalah kalamullah yang memiliki keagungan dalam bahasa dan kandungannya, maka terasa tidak mungkin sebuah terjemahan al Qur’an mampu menggambarkan secara utuh maksud-maksudnya. Namun demikian bukan berarti terjemah al Qur’an tidak penting, akan tetapi adanya terjemah al-Qur’an sekedar membantu untuk melakukan tadabbur (renungan) khususnya bagi bangsa ‘ajam (non arab) yang tidak memiliki kemampuan bahasa arab secara baik. Selain itu, untuk mengurangi keterbatasan bahasa maka dilakukan terjemah tafsiriyah atau maknawiyah sebagaimana telah dijelaskan di atas.

(7)

7

4. Muhkamat dan Mutasyabihat.

Kata Muhkam dari segi etimologi berasal dari akar kata hakama-yahkamu-hukman berarti menetapkan, memutuskan, memisahkan. Kemudian dijadikan wazan af’ala menjadi ahkama-yuhkimu-ihkaam yang berarti mencegah. Al-Hukmu artinya memisahkan antara dua hal. Jika seseorang dikatakan hakim maka karena ia mencegah kezaliman dan memisahkan antara dua orang yang berselisih, membedakan antara yang hak dan yang batil, antara benar dan salah. Sedangakan kata mutasyabih berasal dari kata tasyabuh yang secara bahasa berarti keserupaan dan kesamaan yang biasanya membawa kepada kesamaan antara dua hal.

Menurut Manna’ Al-Qaththan secara terminologi muhkam adalah ayat yang mudah diketahui maksudnya, mengandung satu makna, dapat diketahui secara langsung tanpa memerlukan keterangan lain. Sedang mutashâbih adalah ayat yang pada hakekatnya hanya diketahui maksudnya oleh Allah sendiri, mengandung banyak makna, dan membutuhkan penjelasan dengan merujuk pada ayat-ayat lain.4

Ayat al-Qur’an yang seringkali digunakan sebagai rujukan dalam pembahasan muhkamat dan mutasyabihat tercantum pada surat ali Imran (QS 3:7) :

اَّمَأَف ۖ ٌتاَهِباَشَتُم ُرَخُأ َو ِباَتِكْلا ُّمُأ َّنُه ٌتاَمَكْحُم ٌتاَيآ ُهْنِم َباَتِكْلا َكْيَلَع َل َزْنَأ يِذَّلا َوُه َنيِذَّلا

ِتْبا ُهْنِم َهَباَشَت اَم َنوُعِبَّتَيَف ٌغْي َز ْمِهِبوُلُق يِف ِإ ُهَليِوْأَت ُمَلْعَي اَم َو ۗ ِهِليِوْأَت َءاَغِتْبا َو ِةَنْتِفْلا َءاَغ

ۗ ُ َّللَّ َّلَ

ِباَبْلَ ْلْا وُلوُأ َّلَِإ ُرَّكَّذَي اَم َو ۗ اَنِ ب َر ِدْنِع ْنِم ٌّلُك ِهِب اَّنَمآ َنوُلوُقَي ِمْلِعْلا يِف َنوُخِسا َّرلا َو

Artinya:

Dialah yang menurunkan Al Kitab (Al Quran) kepada kamu. Di antara (isi)nya ada ayat- ayat yang muhkamaat, itulah pokok-pokok isi Al qur’an dan yang lain (ayat-ayat) mutasyaabihaat. Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, maka mereka mengikuti sebahagian ayat-ayat yang mutasyaabihaat daripadanya untuk menimbulkan fitnah untuk mencari-cari ta’wilnya, padahal tidak ada yang mengetahui ta’wilnya melainkan Allah. Dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata: “Kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyaabihaat, semuanya itu dari sisi Tuhan kami”.

Dan tidak dapat mengambil pelajaran (daripadanya) melainkan orang-orang yang berakal.

Ayat Alquran tersebut menimbulkan perbedaan pemahaman tentang boleh tidaknya takwil atas ayat-ayat mutasyabihaat itu5. Sebagian pendapat menyatakan bahwa semua ayat

4 . Manna’ Al-Qattan, Mabahith fi ‘Ulum ..., 208

5 . Nashr Hamid Abu Zaid, Menalar Firman Tuhan; Wacana Majas dalam Al-Qur‟an Menurut Mutazilah,

(8)

8 mutasyabihaat bisa ditakwil seluruhnya, tetapi sebagian lagi berpendapat bahwa sebagian

saja yang boleh ditakwil itu pun bila memenuhi persyaratan takwil termasuk siapa saja yang berhak melakukannya. Karena takwil itu sesuatu yang sulit, maka diperlukan syarat keahlian tertentu, antara lain pengetahuan mendalam tentang ilmu-ilmu keislaman termasuk kaidah bahasa Arab.

Takwil dapat dilakukan dengan syarat tetap memperhatikan kaidah kebahasaan dan tidak hanya mengandalkan akal (ra’yu) saja. Karena dengan takwil akan memudahkan dalam mencerna dan mengamalkan ajaran Alquran sesuai dengan perkembangan zaman sekarang dan akan datang. Menurut Al-Raghib al-Isfahani dalam kitab Mufrad fii alfaadzi al Qur’an mengemukakan bahwa tafsir lebih umum dari pada takwil. Tafsir lebih banyak digunakan dalam kata dan kosa katanya. Sedang takwil banyak digunakan dalam makna dan susunan kalimatnya. Takwil lebih banyak digunakan dalam Alquran, sedang tafsir tidak saja digunakan dalam Alquran tetapi juga dalam kitab-kitab lainnya.6

Penggunaan takwil bukan berarti tanpa kaidah dan dasar-dasar keilmuan dan juga hanya diterapkan teks-teks ayat yang pernah ditakwilkan oleh ahli tafsir terdahulu. Takwil bisa diterima selama kandungan yang ditentukan untuk memaknai susunan kata dalam suatu ayat telah dikenal secara luas dalam masyarakat pengguna bahasa Arab pada masa turunnya Alquran. Walaupun pada periode berikutnya, maksud kata ―dikenal secara luas bisa dimaknai lain, yakni selama pesan yang digunakan untuk ayat yang ditakwil itu dipahami dari akar kata redaksi bahasa ayat itu.

Muhammad ‘Abduh dalam tafsir Juz Amma-nya memahami kata Thayran (اريط) pada surat al-Fiil (QS 105:3) yang berarti burung yang terambil dari kata thaara – yathiiru berarti terbang kemudian beliau memahami kata tersebut dengan sejenis virus atau bakteri yang beterbangan.

Pada ayat yang berbicara tentang dzat Allah yang tercantum pada surat al Nuur الله ضرلَاو تاوامسلارون (Allah adalah cahaya langit dan bumi) dengan tujuan agar dzat Allah itu bisa diketahui. Pemahaman seperti ini merupakan takwil yang terlarang, karena tidak sesuai dengan ayat: ئيش هلثمك سيل... (tidak ada sesuatu apapun yang menyerupainya) (QS. Asy-Syura [42]: 11.

Pada penerapan takwil terhadap ayat mutasyabihat lainnya yang dilakukan Prof.

Quraish Shihab dalam menafsirkan kata kursi pada Q.S. Al-Baqarah/2: 225. Ia menakwilkan kalimat kursi Allah meliputi langit dan bumi sebagaimana Al-Thabathaba’i dalam Tafsir

diterjemahkan oleh Abdurrahman dan Hamka Hasan (Bandung: Mizan, 2003), 209.

6 . M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur‟an (Bandung: Mizan, 1995), 91

(9)

9

Al - Mizan menakwilkannya sebagai kedudukan Ilahiyah untuk mengendalikan semua makhluk-Nya. Luasnya kursi Allah memiliki makna ketakterhinggaan kekuasaan-Nya.

Karena itu makna kursi pada ayat tersebut adalah kedudukan ketuhanan yang mengendalikan langit dan bumi beserta isinya. Juga mengisyaratkan bahwa semua benda itu terkontrol dengan baik.Demikian juga makna keluasan yang dimaksud bahwa pengetahuan Allah meliputi segala sesuatu di langit dan bumi.

(10)

1

1. Menjelaskan Konsep Tafsir bi al Ma’tsur, tafsir bi al ra’yi, tafsir isyari 2. Menganalisis Klasifiksi dan penerapan Tafsir bi al Ma’tsur, tafsir bi al

ra’yi, tafsir isyari.

3. Menjelaskan konsep Metode Tahlili, Ijmali, Muqaran, Maudhu’i.

4. Menganalisis Penerapan Metode Tahlili, Ijmali, Muqaran, Maudhu’i.

URAIAN MATERI

Pada zaman Nabi Saw para sahabat tidak membutuhkan suatu pendekatan atau metode khusus dalam memahami ayat-ayat al Qur’an, karena segala permasalahan langsung disampaikan kepada Nabi Saw dan beliau sendiri yang memberikan penjelasan.

Demikian juga pada masa sahabat, mereka adalah orang-orang yang mengetahui bagaimana al Qur’an diturunkan dan bagaimana Nabi Saw menjelaskan.

Ketika zaman sudah semakin jauh dengan Nabi Saw dan para sahabat, sementara penjelasan terhadap petunjuk-petunjuk al Qur’an semakin dibutuhkan, maka para ulama’

di bidang tafsir melakukan ijtihadnya masing-masing untuk melakukan penafsiran al Qur’an. Adapun sumber informasi yang digunakan untuk menjelaskan ayat-ayat al Qur’an adalah riwayat-riwayat yang dianggap dapat dipercaya baik dari hadist Nabi Saw maupun atsar. Dalam melakukan ijtihadnya, sebagaian ulama’ menggunakan riwayat-riwayat tersebut sebagai sumber utama penafsirannya dan sebagaian ulama’ mufassir yang lain menggunakan riwayat-riwayat tersebut sebagai landasan berfikir yang kemudian dilakukan ijtihad sesuai dengan pendapatnya masing-masing. Karena itu ditinjau dari sumbernya, penafsirannya dibagi menjadi tiga pendekatan, yaitu: Tafsir bi al-Ma’tsur , Tafsir bi al- Ra’yi dan Tafsir al Isyari.

KEGIATAN BELAJAR 2:

INDIKATOR KOMPETENSI

(11)

2 1. Pendekatan Penafsiran Al Qur’an

a. Tafsir bi al-Ma’tsur

Tafsir bi al-Ma’tsur adalah menafsirkan al-Qur’an didasarkan penjelasan- penjelasan al Qur’an yang diperoleh melalui riwayat-riwayat pada sunnah, hadist maupun atsar, bahkan sebuah ayat al Qur’an dapat dijelaskan dengan ayat-ayat al Qur’an yang lain. Karena itu Tafsir bi al-Matsur disebut juga tafsir bi al-Riwayah, karena didasarkan juga pada periwayatan-periwayatan. Selain hadist Nabi Saw, atsar sahabat dianggap mampu menjelaskan ayat al Qur’an karena sahabat Nabi Saw dipandang sebagai orang yang banyak mengetahui al-Qur’an dan bergaul bersama Nabi Saw, demikian juga para ulama’ di masa tabi’in yang dianggap juga sebagai orang yang bertemu langsung dan berguru kepada para sahabat. Karena itu sumber penafsiran bi-al- Riwayah ini dipandang sebagai penafsiran terbaik terhadap al-Qur’an, karena dianggap lebih terjaga dari kekeliruan dan penyimpangan dalam menafsirkan al Qur’an.

Pada pendekatan tafsir bi al-ma’sur terdapat beberapa cara untuk menafsirkan ayat al- Qur’an, yaitu;

a) Penafsiran ayat dengan ayat al-Quran yang lain

Suatu ayat dapat ditafsirkan dengan ayat yang lain, baik ayat itu kelanjutan dari ayat yang ditafsirkan ataupun ayat yang menafsirkan berada di surat yang lain.

Misalnya pada surat al ikhlas ayat pertama yang menjelaskan tentang ketauhidan Allah Swt, ditafsirkan oleh ayat berikutnya, yaitu ayat kedua, ketiga dan keempat.

Namun ayat pertama surat al Ikhlas tentang ketauhidan ini dapat ditafsirkan (dijelaskan) lagi oleh ayat yang lain yang berada di surat yang lain. Misalnya surat al Hasyr ( QS 59;22-24) yang menjelaskan sifat-sifat Allah Swt:

ا َو ِبْيَغْلا ُمِلاَع ۖ َوُه هلَِإ َهََٰلِإ َلَ يِذهلا ُ هاللَّ َوُه ( ُمي ِح هرلا ُن ََٰمْح هرلا َوُه ۖ ِةَداَههشل

ُكِلَمْلا َوُه هلَِإ َهََٰلِإ َلَ يِذهلا ُ هاللَّ َوُه)22

َنوُك ِرْشُي اهمَع ِ هاللَّ َناَحْبُس ۚ ُرِ بَكَتُمْلا ُراهبَجْلا ُزي ِزَعْلا ُنِمْيَهُمْلا ُنِمْؤُمْلا ُم َلَهسلا ُسوُّدُقْلا (

23 ُقِلاَخْلا ُ هاللَّ َوُه )

ُزي ِزَعْلا َوُه َو ۖ ِض ْرَ ْلْا َو ِتا َواَمهسلا يِف اَم ُهَل ُحِ بَسُي ۚ َٰىَنْسُحْلا ُءاَمْسَ ْلْا ُهَل ۖ ُرِ وَصُمْلا ُئ ِراَبْلا ( ُميِكَحْلا

24 ) Artinya :

Dialah Allah Yang tiada Tuhan selain Dia, Yang Mengetahui yang ghaib dan yang nyata, Dialah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang(22) Dialah Allah Yang tiada Tuhan selain Dia, Raja, Yang Maha Suci, Yang Maha Sejahtera, Yang Mengaruniakan Keamanan, Yang Maha Memelihara, Yang Maha Perkasa, Yang Maha Kuasa, Yang Memiliki segala Keagungan,

(12)

3

Maha Suci Allah dari apa yang mereka persekutukan(23)Dialah Allah Yang Menciptakan, Yang Mengadakan, Yang Membentuk Rupa, Yang Mempunyai Asmaaul Husna. Bertasbih kepada-Nya apa yang di langit dan bumi. Dan Dialah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana(24).

b) Penafsirat ayat al Qur’an dengan hadits Nabi Saw

Ayat-ayat al Qur’an lebih banyak bersifat mujmal(global) dan untuk dipahami tidak bisa berdiri sendiri, karena itu di sinilah fungsi hadits Nabi Saw sebagai tafsir terhadap ayat-ayat al-Qur’an. Misalnya ayat tentang perintah sholat yang mujmal tidak menjelaskan tatacara sholat (S. al Baqarah (SQ 43;43)

اوُميِقَأ َو َة َلَهصلا اوُتآ َو ( َنيِعِكا هرلا َعَم اوُعَك ْرا َو َةاَك هزلا 43

) Artinya

Dan dirikanlah sholat, tunaikan zakat dan rukuklah bersama orang-orang yang ruku’

Ayat tersebut kemudian ditafsirkan oleh hadits Nabi Saw;

ُةلَهصلا ِت َرَضَح اَذِإَف ، يِ لَصُأ يِنوُمُتْيَأ َر اَمَك اوُّلَص ْمُك ُرَبْكَأ ْمُكهمُؤَيْل َو ، ْمُكُدَحَأ ْمُكَل ْنِ ذَؤُيْلَف

( – ُّي ِراَخُبْلا ُها َو َر

) Artinya:

Sholatlah sebagaimana kalian melihat aku sholat, maka apabila telah tiba waktu sholat hendaklah salah seorang di antara kalian mengumandangkan adzan dan orang yang lebih tua di antara kalian menjadi imam. (HR Bukhori)

c) Penafsirat ayat al Qur’an dengan keterangan sahabat-sahabat Nabi saw.

Untuk mendapatkan informasi lebih luas perihal maksud-maksud al Qur’an, setelah memahami sunnah Nabi Saw maka penjelasan para sahabat juga diperlukan, dikarenakan mereka adalah orang-orang yang dekat bersama Nabi Saw dan sangat memahami situasi dan kondisi bagaimana al Qur’an itu diturunkan.

Contoh tafsir terhadap Surat al Baqarah )QS 2: 3):

....ِبْيَغْلاِب َنوُنِمْؤُي َنيِذهلا

(13)

4 Artinya

(yaitu) mereka yang beriman kepada yang ghaib…

Menurut ibnu abbas sebagaimana diriwayatkan oleh Ali bin Abi Thalhah bahwa tafsir dari kata yukminuuna adalah yushoddiquuna (membenarkan). Dan menurut Makmar yang diriwayatkan dari az Zuhri yang dimaksud yukminuuna adalah iman yang disertai mengamalkan. Sedangkan menurut Abu Jakfar ar Razi dari Rabi’

bin Anas yang dimaksud dengan yukminuuna adalah yakhsyauna yang berarti takut.1 Contoh Tafsir bi al ma’tsur adalah kitab Tafsir Jami’ al-Bayan fi Tafsir al-Qur’an karya Ibnu Jarir at-Thabari, Tafsir al-Qur’an al-Adzim karya Ibnu Katsir.

b. Tafsir bi al-Ra’yi atau tafsir bi al-Dirayah

Al-Ra’yu berarti pikiran atau nalar, karena itu Tafsir bi al-Ra’yi adalah penafsiran seorang mufassir yang diperoleh melalui hasil penalarannya atau ijtihadnya, di mana penalaran di sini sebagai sumber utamanya. Seorang mufassir di sini tentu saja adalah orang yang secara kompetensi keilmuannya telah dianggap telah memenuhi persyaratan, sebagaimana disebutkan pada syarat-syarat mufassir.

Istilah Tafsir bi al-Ra’y pada dasarnya untuk membedakannya dengan Tafsir bi al-Ma’tsur, dalam konteks, bahwa bukan berarti ketika sahabat melakukan penafsiran Quran tidak menggunakan nalar. Para sahabat sebenarnya juga menggunakan nalar dalam memberikan penafsiran, tetapi dalam istilah disiplin ulum Quran, para sahabat tetap saja tidak dinamai dalam kategori Tafsir bi al- Ra’yi, sebab, para sahabat memiliki keistimewaan yang tidak dimiliki oleh generasi sesudah mereka.2Sebagaimana pendekatan tafsir yang lain, pendekatan Tafsir bi al- Ra’y juga memiliki kelebihan dan kelemahan. Di antara kelebihan pendekatan Tafsir bi al-Ra’y ini adalah mempunyai ruang lingkup yang luas, dapat mengapresiasi berbagai ide dan melihat dan memahami Quran secara mendalam dengan melihat dari berbagai aspek. Kendatipun demikian, bukan berarti pendekatan ini tidak mempunyai kelemahan. Kelemahaman pendekatan Tafsir bi al-Ra’y bisa saja terjadi ketika ketika menjadikan petunjuk ayat yang bersifat parsial, sehingga memberikan kesan Quran tidak utuh dan tidak konsisten. Di samping itu, penafsiran dengan pendekatan Tafsir bi al-Ra’y tidak tertutup

1 . Ibnu Katsir. Tafsir al Qur’ani al Adzim, jilid 1 hal 43. Darul Kutub al Ilmiyah 2006 M.

2.M. Quraish Shihab, Kaidah Tafsir, hal. 363 Shihab, M. Quraish. (2013). Kaidah Tafsir Syarat, Ketentuan, dan Aturan yang Patut Anda Ketahui dalam Memahami Ayat-ayat al-Qur’an. eds.

Abd.SyakurDj. Tangerang: Lentera Hati.)

(14)

5

kemungkinan menimbulkan kesan subyektif yang dapat memberikan pembenaran terhadap mazhab atau pemikiran tertentu, serta dengan pendekatan Tafsir bi al-Ra’y tidak tertutup kemungkinan masuknya cerita-cerita isra’iliyat karena kelemahan dalam membatasi pemikiran yang berkembang.3

Salah seorang mufassir yang tergolong bi al ro’yi adalah Abdul Qosim Mahmud al Zamakhsari dalam melakukan penafsirannya beliau mengemukakan pemikirannya akan tetapi didukung dengan dalil-dalil dari riwayat (hadis) atau ayat al- Qur’an, baik yang berhubungan dengan sabab al-nuzul suatu ayat atau dalam hal penafsiran ayat. Meskipun demikian, ia tidak terikat oleh riwayat dalam penafsirannya.

Dengan kata lain, kalau ada riwayat yang mendukung penafsirannya ia akan mengambilnya dan kalau tidak ada riwayat, ia akan tetap melakukan penafsirannya. 4

Contoh lain adalah tafsir bi al Ro’yi adalah penafsiran Sayyid Qutub dalam kitab tafsir Fi Dzilalil Qur’an pada saat menjelaskan Surat al Fatihah (SQ 1: 4) sebagai berikut :

(4) ِنيدﱢلا ِمْوَي ِكِلَم Artinya :

Tuhan yang menguasai hari pembalasan.

Ini merupakan 'aqidah pokok yang amat besar dan mempunyai kesan yang amat mendalam dalam seluruh hidup manusia, yaitu 'aqidah pokok mempercayai hari Akhirat. Kata-kata "yang menguasai atau penguasa" membayangkan darjah kuasa yang paling tinggi. "Hari Pembalasan" ialah hari penentuan balasan di Akhirat. Ramai orang yang percaya kepada Uluhiyah Allah dan percaya bahawa Allahlah yang menciptakan 'alam buana ini bagi pertama kali, namun demikian mereka tidak percaya kepada Hari Balasan. Keperihalan setengah-setengah mereka telah diceritakan oleh al- Qur'an. Seperti pada surat azZumar (SQ 29;28) :

ُ هاللَّ هنُلوُقَيَل َض ْرَ ْلْا َو ِتا َواَمهسلا َقَلَخ ْنَم ْمُهَتْلَأَس ْنِئَل َو

Dan sungguh jika kamu bertanya kepada mereka: "Siapakah yang menciptakan langit dan bumi?", niscaya mereka menjawab: "Allah.

Kemudian dalam surah Qoof (QS . 50:3) menceritakan hal mereka:

3 . Muhammad Ali Ash-Shabuniy, Studi Ilmu al-Qur’an… Ash-Shabuniy, Muhammad Ali.

(1999). Studi Ilmu al-Qur’an, alih Bahasa, Aminudin, Bandung: PustakaSetia., hal. 248

4 . Avif Alfiyah. Kajian Kitab Al Kasyaf Karya Zamakhsyari , Al Furqan: Jurnal Ilmu Al Quran dan Tafsir, Volume 1 Nomor 1 Juni 2018

(15)

6 ٌبي ِجَع ٌءْيَش اَذَه َنو ُرِفاَكْلا َلاَقَف ْمُهْنِم ٌرِذْنُم ْمُهَءاَج ْنَأ اوُب ِجَع ْلَب

"Bahkan mereka heran kerana mereka telah didatangi seorang Rasul yang memberi peringatan dari kalangan mereka sendiri, lalu berkatalah orang-orang kafir: "Ini adalah suatu perkara yang amat aneh. "

Kepercayaan terhadap hari pembalasan merupakan satu lagi 'aqidah pokok di dalam Islam. Nilai kepercayaan ini ialah ia meletakkan pandangan dan hati manusia pada sebuah 'alam yang lain setelah tamatnya 'alam bumi supaya mereka tidak begitu terkongkong kepada keperluan-keperluan bumi saja dan ketika itu mereka tidak lagi terpengaruh kepada keperluan keperluan bumi, juga supaya mereka tidak begitu gelisah untuk mendapatkan balasan dan ganjaran dari hasil usaha mereka dalam usia mereka yang pendek dan di 'alam bumi yang terbatas ini dan ketika itu barulah mereka dapat berbuat amalan-amalan semata-mata kerana Allah dan sanggup menunggu ganjarannya mengikut bagaimana yang ditentukan Allah sama ada di 'alam bumi ini atau 'alam Akhirat.

Dari contoh penafsiran dengan pendekatan bi al ra’yi di atas menjadi jelas bahwa mereka tidak meninggalkan riwayat dan bukan semata-mata menafsirkan al Qur’an dengan pendapatnya sendiri. Kitab tafsir yang lain misalnya Tafsir bi al-ra’yi adalah kitab Tafsir Mafatih al-Ghaib karya Fakhruddin ar-Razi dan Tafsir Anwar at- Tanzil wa Asrar at-Ta’wil karya al-Baidhawi.

c. Tafsir al Isyari

Menurut bahasa kata isyari berasal dari kata asyaara-yusyiiru-isyaaratan yang berarti memberi isarat/ tanda, menunjukkan. Sedangkan menurut istilah suatu upaya untuk menjelaskan kandungan Quran dengan menakwilkan ayat-ayat sesuai isyarat yang tersirat dengan tanpa mengingkari yang tersurat atau dzahir ayat.5 Senada dengan definisi tersebut menurut Shubhi al-Shalih adalah menjelaskan kandungan al Qur’an melaui takwil dengan cara berupaya menggabungkan yang tersurat dan tersirat.

Lebih lanjut M. Quraish Shihab menjelaskan bahwa dalam tafsir bi al-Isyarah terdapat upaya penarikan makna ayat didasarkan pada kesan yang ditimbulkan oleh

5 . Muhammad Husain al-Zahabi, al-Tafsir wa al-Mufassirun, (ttp., tp., 1396H./1976M), Jilid II, Cet. Ke-2, hal. 352

(16)

7

lafazh ayat, di mana dalam benak para mufassir telah memiliki pencerahan batin atau hati dan pikiran, hal itu dilakukan tanpa mengabaikan atau membatalkan makna secara lafazh.6

Adapun syarat-syarat diterimanya tafsir isyari adalah :7

1. Tidak bertentangan dengan makna lahir (pengertian tekstual) al-Qur’an.

2. Penafsirannya didukung atau diperkuat oleh dalil-dalil syar’i lainnya.

3. Penafsirannya tidak bertentangan dengan dalil syara‘ atau rasio.

4. Penafsirannya tidak menganggap bahwa hanya itu saja tafsiran yang dikehendaki Allah, bukan pengertian tekstual ayat terlebih dahulu.

5. Penafsirannya tidak terlalu jauh sehingga tidak ada hubungannya dengan lafadz.

Misalnya penafsiran al-Alusi terhadap surat Al-Baqarah (QS 2: 238) :

َنيِتِناَق ِ ه ِلِلَ اوُموُق َو َٰىَطْس ُوْلا ِة َلَهصلا َو ِتا َوَلهصلا ىَلَع اوُظِفاَح Peliharalah sholat dan sholat wustho serta tegakkan untuk Allah karena ketaatan

Al Alusi menafsiri shalat al-wustha pada ayat di atas dengan penjelasan lima macam shalat sebagai berikut:

ا نإ ولصل تا لَص ﺲمخ ا ة

وهشب رسل د

اقم ا م بيغل و ، لَص ا ة ومخب ﺲﻔنل هد

نع ا اود ىع ا بيرل و ، لَص ا ة ب بلقل رم ا هتبق

أ ون ا را ﻒشكل و ، لَص ا ة رل حو اشمب ه د ا ة لصول و ، لَص ا ة دبل ن ﻆﻔحب ا وحل إو سا ﺔماق ا دحل دو . Artinya :

Sesungguhnya shalat itu ada lima, yaitu 1) Shalat sirr dengan menyaksikan maqam ghaib, 2) shalat nafs, yaitu dengan cara memadamkan hal-hal yang dapat mengundang keragu-raguan, 3) Shalat qalb, dengan senantiasa berada dalam penantian akan munculnya cahaya kasyf (penyingkapan), 4) shalat ruh dengan menyaksikan wasl (pengabungan/peyatuan dengan Allah); 5) Shalat badan dengan cara memelihara panca indera dan menegakkan ketentuanketentuan hukum Allah.

Bila dilihat dari terminologis yang digunakan, maka sebenarnya al-Alusi memahami shalat al-wustha cenderung dengan pendekatan sufistik.

6 . M. Quraish Shihab, Kaidah Tafsir Syarat, Ketentuan, dan Aturan yang Patut Anda Ketahui dalam Memahami Ayat-ayat al-Qur’an; Editor Abd. SyakurDj., Tangerang: Lentera Hati, 2013, h. 373

7 . Abd Wahid : Tafsir Isyari dalam Pandangan Imam Ghazali. JURNAL USHULUDDIN Vol. XVI No. 2, Juli 2010

(17)

8 2. Metode Penafsiran Al Qur’an

a. Metode Tahlili (Analisis)

Metode Tahlili adalah suatu metode dalam menjelaskan ayat al Qur’an dengan cara menguraikan ayat demi ayat, surat demi surat, sesuai tata urutan dengan penjelasan yang cukup terperinci sesuai dengan kecenderungan masing-masing mufassir terhadap aspek- aspek yang ingindisampaikan, misalnya menjelaskan ayat disertai aspek qira’at, asbabu al- nuzul, munasabah, balaghah, hukum dan lain sebagainya, contoh kitab tafsir yang disusun dengan metode ini adalah kitab Tafsir Jami li Ahkam al-Qur’an karya al-Qurtubi, kitab Tafsir Jami’ al-Bayan fi Tafsir al-Qur’an karya Ibnu Jarir at-Thabari, Tafsir al- Qur’an al-Adzim karya Ibnu Katsir dan kitab Tafsir Al-Qur’an al-Karim karya at-Tusturi.

Berikut adalah contoh penafsiran dalam kitab tafsir Ibnu Katsir terhadap Surat al Ahzab ayat 30 :

َلَع َكِلَذ َناَك َو ِنْيَﻔْع ِض ُباَذَعْلا اَهَل ْﻒَعاَضُي ٍﺔَنِ يَبُم ٍﺔَش ِحاَﻔِب هنُكْنِم ِتْأَي ْنَم ِ يِبهنلا َءاَسِن اَي ( ا اريِسَي ِ هاللَّ ى

30 )

Hai istri-istri Nabi, siapa-siapa di antaramu yang mengerjakan perbuatan keji yang nyata, niscaya akan dilipatgandakan siksaan kepada mereka dua kali lipat.

Dan adalah yang demikian itu mudah bagi Allah.

Allah Swt. berfirman menasihati istri-istri Nabi Saw. yang telah memilih Allah dan Rasul-Nya serta pahala di negeri akhirat, selanjutnya mereka tetap menjadi istri Rasulullah Saw. Maka sangatlah sesuai bila diceritakan kepada mereka ketentuan hukumnya dan keistimewaan mereka yang melebihi wanita-wanita lainnya. Disebutkan bahwa barang siapa di antara mereka yang mengerjakan perbuatan keji yang nyata.

Menurut Ibnu Abbas, pengertian perbuatan keji ini ditakwilkan dengan makna membangkang dan berakhlak buruk. Dan atas dasar hipotesis apa pun, maka ungkapan ayat ini hanyalah semata-mata andaikan, dan makna andaikan itu tidak berarti pasti terjadi. Pengertiannya sama dengan firman Allah Swt. dalam ayat yang lain, yaitu:

َكُلَمَع هنَطَبْحَيَل َتْك َرْشَأ ْنِئَل َكِلْبَق ْنِم َنيِذهلا ىَلِإ َو َكْيَلِإ َي ِحوُأ ْدَقَل َو

Dan sesungguhnya telah diwahyukan kepadamu dan kepada (nabi-nabi) yang sebelummu, "Jika kamu mempersekutukan (Tuhan), niscaya akan hapuslah amalanmu. (Az-Zumar: 65)

(18)

9

Seperti yang ada dalam ayat lain yang menyebutkan:

َنوُلَمْعَي اوُناَك اَم ْمُهْنَع َطِبَحَل اوُك َرْشَأ ْوَل َو Seandainya mereka mempersekutukan Allah, niscaya lenyaplah dari mereka amalan yang telah mereka kerjakan. (Al-An'am: 88)

َنيِدِباَعْلا ُل هوَأ اَنَأَف ٌدَل َو ِنَمْح هرلِل َناَك ْنِإ ْلُق

Katakanlah, "Jika benar Tuhan Yang Maha Pemurah mempunyai anak, maka akulah (Muhammad) orang yang mula-mula memuliakan (anak itu).” (Az- Zukhruf: 81)

Dan firman Allah Swt.:

ههَقْلا ُد ِحا َوْلا ُ هاللَّ َوُه ُهَناَحْبُس ُءاَشَي اَم ُقُلْخَي اهمِم ىَﻔَطْصلَ اادَل َو َذ ِخهتَي ْنَأ ُ هاللَّ َدا َرَأ ْوَل ُرا

Kalau sekiranya Allah hendak mengambil anak, tentu Dia akan memilih apa yang dikehendaki-Nya di antara ciptaan-ciptaan yang telah diciptakan-Nya. Mahasuci Allah. Dialah Allah Yang Maha Esa lagi Maha Mengalahkan. (Az-Zumar: 4)

Mengingat kedudukan istri-istri Nabi Saw. tinggi, maka sesuailah jika ada seseorang dari mereka melakukan suatu dosa, dosa itu akan diperberat demi menjaga kehormatan mereka dan kedudukan mereka yang tinggi. Karena itulah disebutkan oleh firman-Nya: Hai istri-istri Nabi, siapa-siapa di antaramu yang mengerjakan perbuatan keji yang nyata, niscaya akan dilipatgandakan siksaan kepada mereka dua kali lipat.

(Al-Ahzab: 30)

Malik telah meriwayatkan dari Zaid ibnu Aslam sehubungan dengan makna firman-Nya: niscaya akan dilipatgandakan siksaan kepada mereka dua kali lipat. (Al- Ahzab: 30) Yakni siksaan di dunia dan akhirat.

Telah diriwayatkan pula hal yang semisal dari Ibnu AbuNajih, dari Mujahid.

ا اريِسَي ِ هاللَّ ىَلَع َكِلَذ َناَك َو Dan adalah yang demikian itu mudah bagi Allah. (Al-Ahzab: 30) Maksudnya, teramat mudah dan gampang.

b. Metode Ijmali (Global)

Metode ijmali adalah metode dalam menjelaskan ayat Al-Qur’an dengan cara mengemukakan makna yang bersifat global dengan bahasa yang ringkas supaya mudah dipahami. Di sini mufassir menjelaskan pesan-pesan pokok dari ayat tanpa menguraikan

(19)

10 panjang lebar, seperti kitab Tafsir Jalalain karya Jalaluddin al-Suyuthi dan Jalaluddin al- Mahalli dan Tafsir Al-Qur’an al-Adzim karya Muhammad Farid Wajdi, at-Tafsir al-Wasit terbitan Majma’ al-Buhus al-Islamiyyah.

Berikut adalah contoh penafsiran dalam kitab Tafsir Jalalai :

هلهلْ ريخلا ةدارإ يهو ﺔمحرلا يذ يأ )ميحرلا نمحرلا(

ركذلاب هصُخو ، ﺔمايقلا موي وهو ءازجلا يأ )نيدلا موي ِكِلَم(

ﺔمايقلا موي يف هلك رملْا كلام هانعمف }كلام{ أرق نمو }لله مويلا كلملا نمل{ ليلدب ىلاعت لله لَإ دحلْ هيف اارهاظ كلم لَ هنلْ

وأ ﺔفرعمل ﺔﻔص هعوقو حصف }بنذلا رفاغك{ اامئاد كلذب فوصوم وه نم ةدابعلاب كصخن يأ )نيعتسن كايإو دبعن كايإ(

هيلإ اندشرأ يأ )ميقتسملا طارصلا اندها( اهريغو ةدابعلا ىلع ﺔنوعملا بلطنو هريغو ديحوت نيذلا طارص( : هنم لدبيو.

( هتلصب نيذلا نم لدبيو ﺔيادهلاب )مهيلع تمعنأ ، ىراصنلا مهو )نيلاضلا( ريغ )لَو( دوهيلا مهو )مهيلع بوضغملا ريغ

انديس ىلع الله ىلصو ، بآملاو عجرملا هيلإو باوصلاب ملعأ اللهو ىراصن لَو اادوهي اوسيل نيدتهملا نأ ةدافإ لدبلا ﺔتكنو ليكولا معنو الله انبسحو ، اادبأ اامئاد ااريثك ااميلست ملسو هبحصو هلآ ىلعو دمحم . ميظعلا يلعلا للهاب لَإ ةوق لَو لوح لَو ،

اوفرع نيذلا مه مهيلع بوضغملا نأ هداﻔم ريثك نبا ريسﻔت رصتخم يف درو ﻒطلأ ريسﻔت يسوكنرلا دومحم خيشلا نعو[

]ثيدحلا راد . الَصأ قحلا ىلإ اودتهي ملف نيلاضلا امأ هوﻔلاخو قحلا Dalam penafsiran di atas tampak sekali dismpaikan secara singkat dan global, misalnya kata ar rahman dan arrahiim dijelaskan dengan yang memiliki rahmat yaitu yang berkehendak memberikan kebaikan kepada yang berhak mendapatkannya. Kemudian berganti kepada ayat berikutnya.

c. Metode Muqaran (Komparatif)

Metode Muqaran adalah metode menjelaskan ayat-ayat Al-Qur’an dengan membandingkan dengan ayat lain yang memiliki kedekatan atau kemiripan tema namun redaksinya berbeda, atau memiliki kemiripan redaksi tapi maknanya berbeda, atau membandingkannya dengan penjelasan teks hadis Nabi Saw, perkataan sahabat maupun tabi’in. Di samping itu juga mengkaji pendapat para ulama tafsir kemudian membandingkannya atau bisa berupa membandingkan antara satu kitab tafsir dengan kitab tafsir lainnya agar diketahui identitas corak kitab tafsir tersebut. Tafsir Muqarin juga bisa berupa perbandingan teks lintas kitab samawi (seperti Al Qur’an dengan Injil/Bibel, Taurat atau Zabur).8

d. Metode Maudhu’i (Tematik)

8 . Fahd Ar Rumi, Buhuth fi Usul Al - Tafsir wa Manahijuhu , (Maktabah al-Tawbah, 1419 H), 60

(20)

11

Metode Maudhu’i adalah metode menjelaskan ayat-ayat Al-Qur’an dengan mengambil suatu tema tertentu. Metode ini kelebihannya mampu menjawab kebutuhan zaman yang ditujukan untuk menyelesaikan suatu permasalahan, praktis dan sistematis serta dapat menghemat waktu, dinamis sesuai dengan kebutuhan zaman, membuat pemahaman menjadi utuh. Namun kekurangannya seringkali dalam memenggal ayat yang memilki permasalahan yang berbeda sehingga membatasi pemahaman ayat.

Adapun langkah-langkah yang harus ditempuh oleh seorang mufassir ketika melakukan proses penafsiran metode maudhu’i adalah;

a. Menetapkan masalah yang akan dibahas. Permasalahan yang dibahas diprioritaskan pada persoalan yang menyentuh kehidupan masyarakat yang berarti bahwa seorang mufassir harus memiliki pengetahuan yang memadai tentang masyarakat.

b. Menghimpun ayat-ayat yang berkaitan dengan masalah tersebut.

c. Menyusun runtutan ayat sesuai dengan masa turunnya, disertai pengetahuan tentang asbab nuzulnya dan ilmu-ilmu lain yang mendukungnya. Memahami korelasi ayat-ayat tersebut dalam surahnya masingmasing (terkait erat dengan ilmu munasabat).

d. Menyusun pembahasan dalam kerangka yang sempurna (membuat out line).

e. Melengkapi pembahasan dengan hadis-hadis yang relevan dengan pokok bahasan f. Mempelajari ayat-ayat tersebut secara keseluruhan dengan jalan menghimpun ayat-

ayatnya yang mempunyai pengertian yang sama atau mengkompromikan antara yang

‘amm (umum) dengan yang khash (khusus), mutlak dan muqayyad (terikat), atau yang apada lahirnya bertentangan sehingga kesemuanya dapat bertemu dalam satu muara tanpa perbedaan dan pemaksaan.

(21)

1

1. Menjelaskan penafsiran konsep Ikhlas, murah hati dan toleransi 2. Menganalisis Penafsiran ayat ayat tentang Ikhlas, murah hati dan

toleransi

URAIAN MATERI 1. Ikhlas

Salah satu contoh sifat terpuji yang telah termaktub dalam al Qur’an ialah sifat ikhlas. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), ikhlas dapat diartikan sebagai hati yang bersih atau hati yang tulus. Ikhlas merupakan sebuah pangkal dan puncak dari segala tujuan. Dalam kata ikhlas terdapat sebuah kondisi di mana seseorang dapat mengosongkan diri dari berbagai kehendak dan keinginan yang dimiliki serta mengabaikan segala amal yang telah dilakukan.

Lebih lanjut dikatakan, bahwa ikhlas menurut bahasa ialah bersih dari kotoran.

Sehingga seorang yang memiliki keikhlasan ialah orang yang benar-benar menyembah hanya kepada Allah semata dengan tanpa menyekutukan-Nya. Dalam hal ini ia tidak menjadikan agama dan amalannya sebagai bagian dari riya’

maupun sum’ah. Sedangkan menurut istilah, ikhlas dapat diartikan sebagai kondisi di mana seorang hamba hanya mengharap ridha Allah semata dalam menjalankan ibadah ataupun dalam beramal dan memurnikan niatnya dari hal-hal yang dapat merusak niat itu sendiri.

Ikhlas dapat dirasakan pada hati nurani manusia, yang dalam hati nurani itu pulalah tempat niat berada. Adanya niat ialah sebagai sebuah pengikat amal

KEGIATAN BELAJAR 3:

INDIKATOR KOMPETENSI

(22)

2 yang di sana amal seseorang dipertaruhkan. Bagi mereka yang mengabaikan kemurnian niatnya, maka ia harus bersiap untuk mendapatkan kesia-siaan dari amalnya. Karena ikhlas ialah melakukan amalan dengan niat yang murni hanya untuk meraih Ridla Allah semata, sehingga ia tidak lagi mengharap balasan kecuali ridla Allah SWT. Pada kondisi ini, seseorang tidak lagi memiliki rasa ingin dihargai, ingin diterima, ingin memperoleh pujian, merasa istimewa, merasa lebih dan lain sebagainya. Berkenaan dengan pentingnya pemupukan sifat ikhlas tersebut, Allah telah bersabda dalam beberapa firman-Nya sebagai berikut:

- Surah Ghafir (QS.40: 14)

َنو ُرِف ََٰكْلٱ َه ِرَك ْوَل َو َنيِ دلٱ ُهَل َني ِصِلْخُم َ هللَّٱ ۟اوُعْدٱَف Artinya:

Maka sembahlah Allah dengan memurnikan (mengikhlaskan) ibadah kepadaNya, meskipun orang-orang kafir tidak menyukainya.

- Kajian Tafsir

a. Tafsir Jalalain

Berdasarkan tafsir Jalalain, disebutka bahwa maksud dari memurnikan (mengikhlaskan) ibadah kepada-Nya ialah memurnikan agama Allah dari segala macam kemusyrikan, meskipun orang-orang kafir tidak menyukai keikhlasan ibadah kalian kepada Allah SWT.

b. Tafsir Ibnu Katsir

Dalam kitab tafsir Ibnu Katsir dijelaskan bahwasanya Allah telah memerintahkan kepada manusia untuk memurnikan (mengikhlaskan) penyembahan dan doanya hanya kepada Allah meskipun orang-orang kafir maupun orang-orang musyrik memiliki pendapat yang berbeda mengenai hal ini. Penjelasan ini kemudian diperkuat dengan adanya beberapa hadits yang relevan, diantaranya ialah:

اَنَثهدَح :ُدَمْحَأ ُماَمِ ْلْا َلاَق ٌماَشِه اَنَثهدَح ، ٍرْيَمُن ُنْب ِ هاللَّ ُدْبَع

ِرْيَب ُّزلا ِنْب َة َو ْرُع نب ينعي - ْنَع -

ِرُبُد يِف ُلوُقَي ِرْيَب ُّزلا ُنْب ِ هاللَّ ُدْبَع َناَك :َلاَق ِ يِ كَمْلا سردم نب ملسم نب ِدهمَحُم ِرْيَب ُّزلا يِبَأ هلَِإ َهَلِإ َلَ :ُمِ لَسُي َني ِح ٍة َلََص ِ لُك َلَع َوُه َو ،ُدْمَحْلا ُهَل َو َُْلُمْلا ُهَل ،ُهَل ََي ِرََ َلَ ُهَدْح َو ،ُ هاللَّ

َل ،ُهاهيِإ هلَِإ ُدُبْعَن َلَ َو ،ُ هاللَّ هلَِإ َهَلِإ َلَ ،ِ هللَّاِب هلَِإ َة هوُق َلَ َو َل ْوَح َلَ ، ٌريِدَق ٍءْيََ ِ لُك

ُهَل َو َُُمْعِ نلا ُه

(23)

3

َنهثلا ُهَل َو ،ُلْضَفْلا :َلاَق " َنو ُرِفاَكْلا َه ِرَك ْوَل َو َنيِ دلا ُهَل َني ِصِلْخُم ،ُ هاللَّ هلَِإ َهَلِإ َلَ ،ُنَسَحْلا ُءا

ٍة َلََص ِ لُك َرُبُد هنِهِب لِ لَهُي َمهلَس َو ِهْيَلَع ُ هاللَّ هلَص ِ هاللَّ ُلوُس َر َناَك َو

Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abdullah ibnu Namir, telah menceritakan kepada kami Hisyam (yakni Urwah ibnuz Zubair), dari Abuz Zubair alias Muhammad ibnu Muslim seorang guru di Mekah yang mengatakan bahwa Abdullah ibnuz Zubair selalu mengucapkan doa berikut seusai dalam salatnya, yaitu: Tidak ada Tuhan selain Allah semata, tiada sekutu bagi-Nya, bagiNya kerajaan dan bagi- Nya segala puji, dan Dia Mahakuasa atas segala sesuatu. Tiada daya dan tiada kekuatan kecuali dengan pertolongan Allah. Tidak ada Tuhan selain Allah, dan kami tidak menyembah selain kepada-Nya, milik-Nyalah semua nikmat, karunia, dan pujian yang baik. Tidak ada Tuhan selain Allah, (kami nyatakan ini dengan) memurnikan penyembahan hanya kepada-Nya, sekalipun orang-orang kafir tidak menyukai (nya). Lalu Ibnuz Zubair mengatakan bahwa Rasulullah Saw selalu mengucapkan doa tersebut setiap usai salatnya.

Di dalam kitab sahih disebutkan dari Ibnu Zubair r.a., bahwa Rasulullah Saw. setiap usai mengerjakan salat fardunya mengucapkan doa berikut:

َلَ . ٌريِدَق ٍءْيََ ِ لُك َلَع َوُه َو ،ُدْمَحْلا ُهَل َو َُْلُمْلا ُهَل ،ُهَل ََي ِرََ َلَ ُهَدْح َو ،ُ هاللَّ هلَِإ َهَلِإ َلَ"

ِ نلا ُهَل ،ُهاهيِإ هلَِإ ُدُبْعَن َلَ َو ُ هاللَّ هلَِإ َهَلِإ َلَ ،ِ هللَّاِب هلَِإ َة هوُق َلَ َو َل ْوَح ُءاَنهثلا ُهَل َو ،ُلْضَفْلا ُهَل َو َُُمْع

" َنو ُرِفاَكْلا َه ِرَك ْوَل َو َنيِ دلا ُهَل َني ِصِلْخُم ُ هاللَّ هلَِإ َهَلِإ َلَ ،ُنَسَحْلا

Tidak ada Tuhan selain Allah semata, tiada sekutu bagi-Nya, bagi-Nya kerajaan dan bagi-Nya segala puji, dan adalah Dia Mahakuasa atas segala sesuatu. Tidak ada daya dan tidak ada kekuatan kecuali dengan pertolongan Allah. Tidak ada Tuhan selain Allah, dan kami tidak menyembah selain hanya kepada-Nya. Bagi-Nya semua nikmat, karunia, dan pujian yang baik. Tidak ada Tuhan selain Allah (dengan) memurnikan ketaatan kepada-Nya, meskipun orang-orang kafir tidak menyukai (nya).

(24)

4 ٌحِلاَص اَنَثهدَح ،ٍح ِصاَن ُنْب بي ِصَخلا اَنَثهدَح ُعيِب هرلا اَنَثهدَح :ٍمِتاَح يِبَأ ُنْبا َلاَق ي ِ رِملا يِنْعَي-

ِنْب ِماَشِه ْنَع-

ِنَع ،َناهسَح :َلاَق َمهلَس َو ِهْيَلَع ُ هاللَّ هلَص ِ يِبهنلا ِنَع ،ُهْنَع ُ هاللَّ َي ِض َر ،َة َرْي َرُه يِبَأ ْنَع َني ِريِس ِنْبا

الله اوعدا"

"ٍه َلَ ٍلِفاَغ ٍبْلَق ْنِم ًءاَعُد ُبي ِجَتْسَي َلَ َ هاللَّ هنَأ اوُمَلْعا َو ،َُِباَجِ ْلْاِب َنوُنِقوُم ْمُتْنَأ َو

Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ar-Rabi', telah menceritakan kepada kami Al-Khasib ibnu Nasih, telah menceritakan kepada kami Saleh (yakni Al-Murri), dari Hisyam ibnu Hassan, dari Ibnu Sirin, dari Abu Hurairah r.a., dari Nabi Saw. yang telah bersabda:

Berdoalah kepada Allah Swt., sedangkan kalian merasa yakin akan diperkenankan. Dan ketahuilah bahwa Allah Swt. tidak memperkenankan doa dari orang yang hatinya lalai lagi tidak khusyuk.

Berdasarkan beberapa penafsiran di atas, dapat difahami bahwa islam telah mengajarkan konsep keikhlasan melalui firman Allah yang menjelaskan tentang pentingnya kemurnian hati, niat dan amalan hanya mengharap ridla Allah SWT.

Dengan hadirnya keikhlasan dalam menjalankan setiap amalan, maka seorang tidak akan lagi menghiraukan apapun yang mungkin akan mempengaruhi keikhlasannya tersebut, seperti tanggapan, komentar mapun tindakan orang lain yang mungkin tidak menyukainya.

- Surat Gahfir SQ 40: 65

Ayat yang menjelaskan tentang pentingnya sifat ikhlas yang kedua ialah ayat ke 65 pada Surah Ghafir yang berbunyi:

َنيِمَلََٰعْلٱ ِ ب َر ِ ه ِللَّ ُدْمَحْلٱ َنيِ دلٱ ُهَل َني ِصِلْخُم ُهوُعْدٱَف َوُه هلَِإ َهََٰلِإ ٓ َلَ ُّ َحْلٱ َوُه Artinya: Dialah Yang hidup kekal, tiada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia; maka sembahlah Dia dengan memurnikan ibadat kepada-Nya.

Segala puji bagi Allah Tuhan semesta alam.

- Kajian Tafsir a. Tafsir Jalalain

Dalam kitab Tafsir Jalalain, ayat ini ditafsirkan dengan makna: (Dialah Yang hidup kekal tiada Tuhan melainkan Dia, maka serulah Dia) sembahlah Dia (dengan memurnikan ibadah kepada-Nya) dari kemusyrikan. (Segala puji bagi Allah Rabb semesta alam.)

(25)

5

Berdasarkan teks di atas, dapat ditafsirkan bahwa Allah merupakan satu-satunya Dzat yang Abadi, sehingga sudah menjadi sebuah keharusan bagi seluruh makhluk untuk menyembah dan berdoa hanya kepada-Nya dengan segala ketulusan.

b. Tafsir Ibnu Katsir

Selanjutnya, ayat ini juga dibahas dalam tafsir ibnu katsir dengan menafsirkan beberapa penggal ayat terlebih dahulu, barulah kemudian penafsiran ayat secara keseluruhan. Adapun penafsiran berdasarkan penggalan ayat 65 Surah Ghafir yang tercantum dalam kitab Tafsir Ibnu Katsir ialah sebagai berikut:

َوُه لَِإ َهَلِإ َلَ ُّيَحْلا َوُه Dialah Yang hidup kekal, tiada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia. (Ghafir: 65)

Yakni Dialah Yang Hidup sejak zaman azali dan selama-lamanya, Dia tetap dan tetap Hidup, Dialah Yang Pertama dan Yang Terakhir, dan Yang Maha lahir lagi Maha batin.

َوُه لَِإ َهَلِإ َلَ

Tiada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia. (Ghafir: 65) Yaitu tiada tandingan dan tiada saingan bagi-Nya.

َنيِ دلا ُهَل َني ِصِلْخُم ُهوُعْداَف maka sembahlah Dia dengan memurnikan ibadah kepada-Nya. (Ghafir:

65)

dengan mengesakan-Nya dan mengakui bahwa tiada Tuhan yang wajib disembah selain Dia, segala puji bagi Allah Tuhan semesta alam.

Berdasarkan penafsiran ini, beberapa ulama’ menyebutkan bahwa dalam mengucapkan kalimat “Tiada Tuhan (yang waib disembah) selain Allah”

hendaklah seseorang tersebut mengikutinya dengan kalimat “Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam”. Beberapa ulama’ tersebut diantaranya ialah Ibnu Jarir dan Abu Usamah. Hal ini sejalan dengan Hadits Nabi yang diriwayatkan oleh

(26)

6 Imam Muslim, Imam Abu Daud, dan Imam Nasai melalui Hisyam Ibnu Urwah, Hajjaj ibnu Abu Usman dan Musa ibnu Uqbah; ketiga-tiganya dari Abuz Zubair, dari Abdullah ibnuz Zubair yang telah mengatakan bahwa Rasulullah Saw. selalu mengucapkan doa berikut seusai tiap salatnya, yaitu:

هل ََي ِرََ َلَ ُهَدْح َو ُ هاللَّ هلَِإ َهَلِإ َلَ«

»

“Tidak ada Tuhan yang wajib disembah kecuali Allah, tidak ada sekutu bagi-Nya”

Berdasarkan penafsiran dari ayat di atas, dapat difahami bahwa keikhlasan dalam beribadah dan beramal berarti memurnikan ibadah dan amalan kita hanya untuk Allah semata, dengan meng-Esakan-Nya dan tanpa menyekutukannya.

- Surat Al A’raf ayat 29

Ayat ketiga yang menjelaskan tentang keikhlasan ialah ayat ke 29 surah Al A’raf yang berbunyi:

َب اَمَك ۚ َنيِ دلا ُهَل َني ِصِلْخُم ُهوُعْدا َو ٍد ِجْسَم ِ لُك َدْنِع ْمُكَهوُج ُو اوُميِقَأ َو ۖ ِطْسِقْلاِب يِ ب َر َرَمَأ ْلُق ُدوُعَت ْمُكَأَد

َنو

Katakanlah:

"Tuhanku menyuruh menjalankan keadilan". Dan (katakanlah):

"Luruskanlah muka (diri)mu di setiap sembahyang dan sembahlah Allah dengan mengikhlaskan ketaatanmu kepada-Nya. Sebagaimana Dia telah menciptakan kamu pada permulaan (demikian pulalah kamu akan kembali kepada-Nya)".

- Kajian Tafsir a. Tafsir Jalalain

Dalam tafsir Jalalain, ayat di atas ditafsirkan sebagai berikut:

(Katakanlah, "Tuhanku menyuruh menjalankan keadilan") yaitu perbuatan yang adil. (Dan luruskanlah) diathafkan secara makna kepada lafal bil qisthi, yang artinya, Ia berkata, "Berlaku adillah kamu dan luruskanlah dirimu." Atau diathafkan kepada lafal sebelumnya dengan menyimpan taqdir yakni: Hadapkanlah dirimu (mukamu) kepada Allah (di setiap salatmu) ikhlaslah kamu kepada-Nya di dalam sujudmu (dan sembahlah Allah) beribadahlah kepada-Nya (dengan mengikhlaskan

(27)

7

ketaatan kepada-Nya) bersih dari kemusyrikan. (Sebagaimana Dia menciptakanmu pada permulaan) yang sebelumnya kamu bukanlah merupakan sesuatu (demikian pulalah akan kembali kepada-Nya) artinya Dia akan mengembalikan kamu pada hari kiamat dalam keadaan hidup kembali.

Berdasarkan penafsiran di atas, kata “mengikhlaskan ketaan kepada-Nya” diartikan sebagai kondisi di mana seorang hamba hendaknya hanya menujukan ibadahnya untuk Allah semata dan bukan untuk yang lainnya. Memurnikan ibadah hanya kepada Allah bukan kepada yang lainnya.

b. Tafsir Al Mishbah

Dalam kitab tafsir yang ditulis oleh Quraish Shihab, ayat di atas memiliki penafsiran sebagai berikut:

Terangkan kepada mereka apa yang diperintahkan Allah. Katakanlah,

"Tuhanku menyuruh berlaku adil dan tidak berlaku keji. Dia menyuruh kalian beribadah hanya kepada-Nya di setiap waktu dan tempat. Dan Dia juga menyuruh kalian ikhlas dalam beribadah kepada-Nya. Masing- masing kalian akan kembali kepada- Nya setelah mati. Seperti halnya Dia menciptakan kalian dengan mudah di saat kalian tidak memiliki apa- apa, kalian akan dikembalikan kepada-Nya dengan mudah pula, meninggalkan semua nikmat yang ada di sekeliling kalian."

c. Tafsir Ibnu Katsir

Dalam tafsir ibnu katsir, pada penggalan ayat 29 surat Al A’raf yang berbunyi:

ِطْسِقْلاِب يِ ب َر َرَمَأ ْلُق Yang berarti: Katakanlah “Tuhanku menyuruh menjalankan keadilan” ini ditafsirkan bahwa Allah memerintahkan manusia untuk berlaku adil dan berada pada jalan yang lurus dalam segala perkara.

Selanjutnya, pada potongan ayat 29 yang kedua, yang berbunyi:

(28)

8 َو ٍد ِجْسَم ِ لُك َدْنِع ْمُكَهوُج ُو اوُميِقَأ َو َنيِ دلا ُهَل َني ِصِلْخُم ُهوُعْدا

Yang berarti: “Dan (katakanlah), "Luruskanlah muka (diri) kalian di setiap salat dan sembahlah Allah dengan mengikhlaskan ketaatan kalian kepada-Nya”,

Dalam kitab tafsir Ibnu Katsir potongan ayat ini ditafsirkan dengan penjelasan sebagai berikut:

“Allah memerintahkan kalian agar beristiqamah dalam menyembah-Nya, yaitu dengan mengikuti para rasul yang diperkuat dengan mukjizat- mukjizat dalam menyampaikan apa yang mereka terima dari Allah dan syariat-syariat yang mereka datangkan. Allah memerintahkan kepada kalian untuk ikhlas dalam beribadah hanya untuk-Nya. Karena sesungguhnya Allah tidak akan menerima amal, melainkan bila di dalam amal itu terhimpun dua rukun berikut, yaitu hendaknya amal dikerjakan secara benar lagi sesuai dengan tuntutan syariat, dan hendaknya amal dikerjakan dengan ikhlas karena Allah bersih dari syirik.”

Selanjutnya, potongan ayat 29 yang terakhir yang berbunyi:

َنوُدوُعَت ْمُكَأَدَب اَمَك Yang berarti: Sebagaimana Dia telah menciptakan kalian pada permulaan (demikian pula) kalian akan kembali (kepada-Nya)

Makna penggalan ayat ini masih diperselisihkan. Menurut Ibnu Abu Nujaih melalui riwayatnya dari Mujahid menyebutkan bahwa makna firman-Nya: Sebagaimana Dia telah menciptakan kalian pada permulaan (demikian pulalah) kalian akan kembali (kepada-Nya). (Al-A'raf: 29) ialah, kelak Allah akan menghidupkan kalian sesudah kalian mati. Adapun menurut Al-Hasan Al-Basri, penggalan ayat di atas memiliki makna

“sebagaimana Dia menciptakan kalian pada permulaan di dunia ini, demikian pula kalian akan kembali kepada-Nya kelak di hari kiamat dalam keadaan hidup”. Selanjutnya Qatadah mengatakan bahwa Firman Allah tersebut dimaknai dengan penjelasan bahwa “Allah memulai

(29)

9

penciptaan-Nya, maka Dia menciptakan mereka. Sebelum itu mereka tidak ada, kemudian mereka mati, lalu Allah mengembalikan mereka dalam keadaan hidup”. Muhammad ibnu Ka'b Al-Qurazi mengatakan bahwa penggalan ayat tersebut memiliki makna bahwa “barang siapa yang sejak semula diciptakan oleh Allah dalam keadaan celaka, maka ia akan menjadi orang seperti yang ditakdirkan-Nya semula sejak permulaan kejadiannya, sekalipun ia mengamalkan amalan ahli kebahagiaan (ahli surga). Barang siapa yang sejak semula ditakdirkan bahagia oleh Allah, maka ia akan dikembalikan kepada apa yang telah ditakdirkan untuknya sejak semula, sekalipun ia mengamalkan amalan orang-orang yang celaka (penghuni neraka). Sebagaimana para ahli sihir mengamalkan amalan orang-orang yang celaka, maka pada akhirnya ia pasti akan menjadi orang seperti yang ditakdirkan untuknya sejak semula.” As Saddi mengatakan, bahwa makna dari penggalan ayat tersebut ialah

“sebagaimana Kami menciptakan kalian; sebagian dari kalian ada yang mendapat petunjuk, dan sebagian yang lain ada yang disesatkan. Maka demikian pulalah kelak kalian dikembalikan, dan demikian pulalah keadaannya sewaktu kalian dilahirkan dari perut ibu-ibu kalian.”

Secara umum, kata ikhlas dalam ayat ini dikaitkan secara erat dengan syarat diterimanya sebuah amalan oleh Allah SWT. Syarat dari diterimanya sebuah amal ibadah ialah ibadah tersebut telah memenuhi rukun-rukunnya serta dilaksanakan dengan penuh keikhlasan hanya mengharap ridla Allah semata, tanpa penyekutuan sedikitpun.

- Surat Az Zumar Ayat 11

Ayat keempat ialah ayat ke 11 pada surat Az Zumar yang berbunyi:

َنيِ دلا ُهَل اًصِلْخُم َ هاللَّ َدُبْعَأ ْنَأ ُت ْرِمُأ يِ نِإ ْلُق Katakanlah: "Sesungguhnya aku diperintahkan supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama.

a. Tafsir Jalalain

Referensi

Dokumen terkait

Selain itu, teraniaya anak-anak yang tidak berdosa akibat ulah orang-orang (orang tua yang melakukan perziaan) yang tidak bertanggung jawab, sehingga mereka

PENGAPLIKASIAN BUDAYA VIKING PADA DESAIN KARAKTER DALAM FILM ANIMASI “How To Train Your Dragon” Skripsi Ditulis sebagai syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Desain S.Ds...

BPK DKI "akarta mengangga rose$ur embelian sebagian lahan +S BPK DKI "akarta mengangga rose$ur embelian sebagian lahan +S Sumber Waras menyalahi aturan&

Dengan telah terjadinya pemalsuan-pemalsuan hadis tersebut, maka kegiatan Dengan telah terjadinya pemalsuan-pemalsuan hadis tersebut, maka kegiatan  penelitian

adalah perempuan yang berusia 45-60 tahun diminta mengisi biodata untuk skrining awal lalu calon responden tersebut yang memenuhi kriteria masuk dalam tahap kedua, tahap

Mengacu pada penelitian tersebut, dengan jumlah pendapatan rutin/gaji dan tanggungan keluarga para guru Roudhotul Athfal di Kecamatan Gampengrejo Kabupaten Kediri yang

kalau orang sakit mati di rumah karena rumah sakit yang mahal apa yang berharga dari puisiku. kalau yang kutulis makan