• Tidak ada hasil yang ditemukan

Gambar 4.1 Logo PT. Dirgantara Indonesia (Sumber: Arsip PT. Dirgantara Indonesia Tahun 2000)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "Gambar 4.1 Logo PT. Dirgantara Indonesia (Sumber: Arsip PT. Dirgantara Indonesia Tahun 2000)"

Copied!
27
0
0

Teks penuh

(1)

30 BAB IV

PENGUMPULAN DAN PENGOLAHAN DATA

4.1 Pengumpulan Data

4.1.1 Gambaran Umum Perusahaan

PT. Dirgantara Indonesia (Indonesian Aerospace Inc.) adalah industri pesawat terbang yang pertama dan satu-satunya di Indonesia dan di wilayah Asia Tenggara. Perusahaan ini berlokasi di Jl. Pajajaran No.154 Kota Bandung, Jawa Barat. PT Dirgantara Indonesia didirikan pada 26 April 1976 dengan nama PT.

Industri Pesawat Terbang Nurtanio dan BJ Habibie sebagai Presiden Direktur.

Industri Pesawat Terbang Nurtanio kemudian berganti nama menjadi Industri Pesawat Terbang Nusantara (IPTN) pada 11 Oktober 1985. Setelah direstrukturisasi, IPTN kemudian berubah nama menjadi PT Dirgantara Indonesia pada 24 Agustus 2000. PT Dirgantara Indonesia tidak hanya memproduksi berbagai pesawat tetapi juga helikopter, senjata, menyediakan pelatihan dan jasa pemeliharaan (maintenance service) untuk mesin-mesin pesawat. PT Dirgantara Indonesia juga menjadi sub-kontraktor untuk industri-industri pesawat terbang besar di dunia seperti Boeing, Airbus, General Dynamic, Fokker dan lain sebagainya.

4.1.2 Logo PT Dirgantara Indonesia

Gambar 4.1 Logo PT. Dirgantara Indonesia (Sumber: Arsip PT. Dirgantara Indonesia Tahun 2000)

Makna Logo:

1. Warna Biru Angkasa melambangkan langit tempat pesawat terbang.

2. Sayap pesawat terbang sebanyak 3 buah, yang melambangkan fase PT

(2)

Dirgantara Indonesia yaitu :

a. PT. Industri Pesawat Terbang Nurtanio b. PT. Industri Pesawat Terbang Nusantara c. PT. Dirgantara Indonesia

3. Ukuran pesawat terbang yang semakin membesar melambangkan keinginan PT. Dirgantara Indonesia untuk menjadi parusahaan dirgantara yang semakin membesar disetiap fasenya.

4. Lingkaran melambangkan bola dunia dimana PT. Dirgantara indonesia ingin menjadi perusaan kelas dunia.

4.1.3 Pesawat NC212i

NC212i adalah sebuah pesawat penumpang sipil (airliner) berukuran sedang bermesin turboprop yang diproduksi di Indonesia. Pesawat ini awalnya dirancang dan diproduksi di Spanyol untuk kegunaan sipil dan militer. Pesawat jenis ini diproduksi di Indonesia di bawah lisensi oleh PT. Dirgantara Indonesia. Bahkan pada bulan Januari 2008, EADS CASA memutuskan untuk memindahkan seluruh fasilitas produksi C212 ke PT. Dirgantara Indonesia di Bandung. PT. Dirgantara Indonesia adalah satu-satunya perusahaan pesawat yang mempunyai lisensi untuk membuat pesawat jenis ini di luar pabrik pembuat utamanya. Pesawat NC212i memiliki desain sayap tinggi, badan kotak, dan ekor konvensional. Pesawat ini dapat menampung 21-28 penumpang, tergantung pada konfigurasi. Kabin pada pesawat NC212 tidak bertekanan, sehingga penggunaannya terbatas pada tingkat rendah (di bawah 10.000 kaki (3.000m) yang berarti pesawat ini cocok untuk layanan penerbangan regional.

Gambar 4.2 Pesawat NC212i

(Sumber: https://www.indonesian-aerospace.com/)

(3)

Gambar 4.3 Komponen Utama Fuselage Pesawat NC212i (Sumber: Observasi Data)

Komponen fuselage pesawat NC212i terdiri dari:

1. Nose radom

2. Forward Stowage Bin 3. Nose Fuselage

4. Pilot Door

5. Upper Emergency Door 6. Center Fuselage

7. Main Landing Gear Fairing kiri dan kanan 8. Passsanger Door

9. Emergency Door kanan 10. Upper Rear Fuselage

11. Rear Fuselage kanan dan kiri 12. Tramp door

13. Rear Door 14. Rear cone

(4)

Gambar 4.4 Part Badan Pesawat (Sumber: Observasi Data)

4.1.4 Proses Produksi Badan Pesawat NC212i

Proses produksi dimulai dari pembelian bahan baku. Sebelum memulai proses produksi bahan baku yang akan diproduksi telah melalui proses pemeriksaan (inspeksi) pada saat pemilihan bahan baku tersebut melalui pemeriksaan mulai dari quantity hingga quality yang telah ditetapkan oleh perusahaan. Berikut ini merupakan proses produksi badan pesawat NC212i mulai dari bahan baku hingga menjadi produk rangka badan pesawat dapat dilihat pada gambar dibawah ini:

Gambar 4.5 Proses Produksi Badan Pesawat NC212i (Sumber: Observasi Data)

Raw Material Inspection Pre-cutting Machining Surface

Threatment Inspection

Painting Final Inspection (DPM)

Storage

Setting Cutting Drilling Deburring

Sealing

Inspection

Riveting Top

Coating

Inspection

Inspection

Painting Anodizing

Inspection Final Inspection

(Sub-Assy) Storage

DPM

Sub-Assembly

Setting Cutting Drilling

Inspection Deburring Inspection

Painting Anodizing

Sealing Riveting

Top Coating

Inspection Final

Inspection (Major-Assy) Final

Assembly Line (FAL)

Major-Assembly Gusset

Frame

Stringers Bulkhead Longeron

Skin

(5)

Proses produksi sering kali mengalami keterlambatan, karena adanya permasalahan di area produksi. Permasalahan yang seringkali dijumpai di area produksi yaitu mengenai kesalahan dalam proses pengerjaan, process sheet error, design error maupun material pendukung dari DPM yang seringkali didapatkan ketidaksesuaian. Setiap kesalahan yang terjadi memiliki pengaruh terhadap waktu pengerjaan pesawat itu sendiri, hal yang dimaksud dimana adanya part yang berkesinambungan antara part satu dengan lainnya serta berdampak terlambatnya produksi pesawat. Contohnya bila part yang terkena defect dinyatakan tidak bisa digunakan (scrap) maka proses produksi akan berhenti dan juga perusahaan akan mengeluarkan biaya lebih untuk membuat part baru. Kesalahan yang terjadi dapat disebabkan oleh faktor yang berbeda-beda. Berikut penyebab ketidaksesuaian yang terjadi saat proses produksi di Sub-Assembly dan Major Assembly:

Gambar 4.6 Penyebeb Defect Pada Produksi Badan Pesawat NC212i (Sumber: Observasi Data)

Beberapa faktor yang dapat menyebabkan terjadinya defect yakni:

1. Assembly error, kesalahan yang terjadi saat proses Assembly bisa karena mekanik salah pemasangan, tool dan jig yang digunakan tidak bagus, pengerjaan dan salah membaca gambar ataupun proses sheet yang menjadi petunjuk proses produksi.

2. Desain error, ini merupakan kesalahan yang terjadi dari departemen desain dalam membuat desain dari komponen maupun jig fuselage pesawat NC212i yang akan diproduksi atau dipesan sebelumnya.

3. Part error yaitu kesalahan dari single part yang dikirim oleh department Detail Part Manufacturing (DPM) maupun dari vendor.

4. Handling yaitu cacat yang diakibatkan kesalahan pada saat pengiriman barang oleh department Detail Part Manufacturing (DPM) maupun dari vendor.

Defect

Design Error

Assembly Error

Detail Part Error Handling

(6)

ISO 9001 menuntut semua organisasi tidak terkecuali PT Dirgantara Indonesia untuk mendokumentasikan semua ketidaksesuaian atau kesalahan dan tindakan perbaikan. Merujuk ke standar yang telah ditetapkan oleh ISO 9001, sehingga ketidaksesuaian itu kemudian dicatat dan dibuatkan Rejection Tag (RT) untuk kemudian dilakukan proses perbaikan sesuai dengan rekomendasi dari Production Engineering. Rejection Tag (RT) adalah Dokumen untuk mencatat produk yang telah diperiksa oleh Inspector Quality Assurance (QA) yang hasil inspeksinya dinyatakan terdapat penyimpangan (discrepancy). Rejection Tag melalui beberapa tahapan atau proses yakni dimulai dengan:

1. Quality Inspector menemukan defect.

2. Quality Inspector membuat Rejection Tag.

3. Quality Leader Inspector menelusuri sebab-akibat dari rejection tag tersebut.

4. Engineering Liaison mengevaluasi masalah dan memberikan rekomendasi perbaikan kepada Supervisor Quality Inspector.

5. Supervisor Quality Inspector menyetujui ataupun menolak rekomendasi perbaikan dari Engineering Liaison dengan alasan yang jelas.

6. Bila disetujui, Production Engineering menerjemahkan proses perbaikan sesuai yang dicantumkan dalam rejection tag disposisi kedalam proses sheet.

Bila ditolak, Engineering Liaison mencari rekomendasi lain dari permasalahan tersebut.

7. Produksi melakukan Rework atau Repair sesuai dengan apa yang dicantumkan dalam proses sheet.

8. Quality Inspector melakukan pengecekan untuk memastikan bahwa proses rework atau repair yang dilakukan produksi sedang atau sudah dilakukan dengan benar.

4.1.5 Defect Part Pesawat PT Dirgantara Indonesia

Defect part pada pembuatan pesawat di PT Dirgantara Indonesia terbagi menjadi 2 kategori yaitu Defect Major dan Defect Minor. Defect disini adalah berupa nonconformity atau ketidaksesuaian part pesawat dengan requirement dan spesifikasi. Kedua kategori tersebut diantaranya:

1. Defect Minor atau Minor Nonconformity

(7)

Defect Minor atau Minor Nonconformity menurut dokumen Quality Procedure PT Dirgantara Indonesia No 10-DP-P805 merupakan ketidaksesuaian produk terhadap persyaratan atau requirement produk yang tidak mempengaruhi kinerja, keandalan atau daya tahan, kemampuan pertukaran, efektifitas penggunaan, berat atau penampilan dan keselamatan pengguna.

2. Defect Major atau Major Nonconformity

Defect Major atau Major Nonconformity menurut dokumen Quality Procedure PT Dirgantara Indonesia No 10-DP-P805 merupakan ketidaksesuaian produk terhadap persyaratan atau requirement produk yang bisa menyebabkan kegagalan atau malfungsi yang tidak dapat sepenuhnya dihilangkan dengan pengerjaan ulang ataupun proses perbaikan. Defect ini melibatkan keselamatan pengguna pesawat, merugikan berat, atau menyebabkan kegagalan produk akhir. Defect ini yang kemudian menghasilkan Rejection Tag (RT).

4.1.6 Rejection Tag (RT) Bidang Perakitan Fuselage NC212i

Data Rejection Tag (RT) Bidang Perakitan Fuselage NC212i Departement Component and Assembly NC212 and Spirit Aerosystem sesuai dengan data Rejection Tag yang ada pada sistem SAP PT Dirgantara Indonesia. Data tersebut dijelaskan setiap bulan mulai dari bulan Januari sampai Desember 2018. berikut data Rejection Tag Bidang Perakitan Fuselage NC212i Departement Component and Assembly NC212 and Spirit Aerosystem tahun 2018 ditunjukan pada Tabel 4.1

Tabel 4.1 Rejection Tag (RT) Bidang Perakitan Fuselage NC212i 2018

(Sumber: Data Perusahaan, 2018)

Month Frecuency

Januari 18

Februari 14

Maret 32

April 18

Mei 15

Juni 12

Juli 26

Agustus 15

September 25

Oktober 20

November 25

Desember 19

Total 239

(8)

Rejection tag (RT) didalamnya terbagi atas beberapa pembagian (Disposition) yang menunjukkan tindakan keputusan akhir dari defect yang dijelaskan pada setiap nomor Rejection Tag (RT) tersebut. Disposition pada Rejection Tag (RT) tersebut diantaranya sebagai berikut:

1. Scrap

Scrap adalah tindakan disposisi pada produk yang tidak sesuai sehingga part tersebut tidak bisa digunakan sama sekali, hanya dapat didaur ulang atau disebut scrap total (Dokumen Quality Procedure PT DI No 10-DP-P805).

Contoh produk scrap ditunjukkan pada Gambar 4.7 berikut:

Gambar 4.7 Keretakan Pada Pulley Untuk Flight Control (Sumber: Data Perusahaan, 2018)

2. Rework

Rework merupakan tindakan perbaikan pada produk yang tidak sesuai untuk dikembalikan sesuai dengan persyaratan atau requirement (Dokumen Quality Procedure PT DI No 10-DP-P805).

3. Repair

Repair merupakan tindakan perbaikan pada produk yang tidak sesuai untuk membuatnya dapat diterima untuk tujuan penggunaan setelah proses perbaikan dengan persyaratan tertentu (Dokumen Quality Procedure PT DI No 10-DP- P805).

4. Return to Supplier

Return to Supplier merupakan tindakan pengembalian produk yang tidak sesuai kepada pemasok atau Supplier untuk dilakukan penggantian, pengerjaan ulang ataupun perbaikan (Dokumen Quality Procedure PT DI No 10-DP-P805).

(9)

5. Use As It

Use As It merupakan tindakan yang dimana part pesawat mendapatkan penyimpangan atau defect namun memungkinkan part tersebut memenuhi persyaratan untuk digunakan (Dokumen Quality Procedure PT DI No 10-DP- P805).

4.1.7 Penggambaran Rejection Tag (RT)

Dugaan awal penyebab defect pada part pesawat digambarkan dengan pengkodean pada sistem SAP PT Dirgantara Indonesia yang dijelaskan oleh Charge Code d pada Gambar 4.8 sebagai berikut:

Gambar 4.8 Charge Code Defect Assembly (Sumber: Data Perusahaan, 2018)

4.1.8 Penentuan Prioritas Rejection Tag (RT)

Berdasarkan data Rejection Tag (RT) tahun 2018, dengan demikian data disortir berdasarkan penyebab atau Charge Code yang disebabkan oleh Workmanship (Code 508) karena berdasarkan Business Process PT Dirgantara Indonesia No 10- DP-D401.02 Page B.8-2 bahwa Rejection Tag (RT) yang diukur hanya yang disebabkan oleh Workmanship (Code 508). Setelah itu, data yang telah disortir, diklasifikasikan kembali berdasarkan judul masalah yang ada pada Rejection Tag (RT) tersebut. Berikut adalah tabel hasil klasifikasi berdasarkan penyebab atau Charge Code yang ditunjukkan pada Tabel 4.2 dan klasifikasikan berdasarkan judul masalah yang ada pada Rejection Tag (RT) yang ditunjukkan pada Gambar 4.9 sebagai berikut:

(10)

Tabel 4.2 Klasifikasi Penyebab Rejection Tag (RT)

(Sumber: Data Perusahaan, 2018)

Gambar 4.9 Jenis Defect Caused By Workmanship Error (Sumber: Data Perusahaan, 2018)

4.2 Pengolahan Data 4.2.1 Five Whys Analysis

Berdasarkan identfikasi jenis-jenis ketidaksesuaian yang telah diproritaskan berdasarkan hasil klasifikasi, terdapat 10 jenis ketidaksesuaian yang ditunjukan berdasarkan judul Rejection Tag (RT) yaitu Crack, Cutting Error, Dimpling Error, Short Edge Margin, Extra Hole, Mismatch Hole, Extra Hole, Oversize Hole, Riveting Error, Setting Error dan Toolmark. Ketidaksesuain tersebut terdapat dalam 8 kasus yang memiliki data available untuk dicarikan akar penyebab dari permasalahan. Metode Five Whys Analysis dilakukan untuk mencari akar penyebab dari beberapa kasus. Akar penyebab utama adalah

Charge Name Charge Code Frecuency

Design N903 28

Handling N596 3

Result of tool & jig (series product) N901 2

Supplier N499 25

Workmanship N508 181

239 Total

15

5

47

24

14

52

21

3 0

10 20 30 40 50 60

Problem

Frequency

(11)

jawaban terakhir yang ditampilkan pada gambar sebagai berikut:

1. Crack

Contoh kasus: Terdapat Crack di beberapa lokasi pada area Window Glass Passanger pada saat pemasangan screw yang ditunjukkan pada Gambar 4.10 dibawah ini:

Gambar 4.10 Crack Pada Window Glass Passanger (Sumber: Data Perusahaan, 2018)

Gambar 4.11 Five Whys Analysis Kasus 1 (Sumber: Pengolahan Data)

(12)

Berdasarkan bagan five whys analysis yang ditunjukkan pada Gambar 4.11 yang merupakan hasil pengamatan langsung dan brainstorming (Lampiran 1) , penyebab awal dari ketidaksesuaian pada kasus 1 adalah yang crack. Penyebab utama dalam kasus ini adalah tidak ada ukuran untuk proses pengencangan screw karena material engineer belum melakukan stress analysis terhadap window glass passanger dan tidak terdapat kontur pada gambar single part window glass passanger.

2. Incorrect Cutting

Contoh kasus: Terdapat kasalahan pemotongan skin center fuselage yang tidak sesuai drawing sheet yang dijelaskan pada Gambar 4.12 dibawah ini:

Gambar 4.12 Kesalahan Pemotongan Skin Center Fuselage (Sumber: Data Perusahaan, 2018)

Gambar 4.13 Five Whys Analysis Kasus 2 (Sumber: Pengolahan Data)

(13)

Berdasarkan bagan five whys analysis yang ditunjukkan pada Gambar 4.13 yang merupakan hasil dari pengamatan langsung dan brainstorming (Lampiran 2), penyebab awal dari ketidaksesuaian pada kasus 2 adalah yang salah potong.

Penyebab utama dalam kasus ini adalah kurangnya kesadaran operator terhadap pentingnya membaca perintah kerja atau process sheet dan melihat drawing sheet sebelum bekerja.

3. Short Edge Margin

Contoh kasus: Terdapat kasalahan ukuran jarak tepi dari hasil proses drilling yang tidak sesuai spesifikasi yang digunakan dalam proses perakitan badan pesawat NC212i yang dijelaskan pada Gambar 4.14 dibawah ini:

Gambar 4.14 Kesalahan Hasil Proses Drilling (Sumber: Data Perusahaan, 2018)

Gambar 4.15 Five Whys Analysis Kasus 3 (Sumber: Pengolahan Data)

(14)

Berdasarkan bagan five whys analysis yang ditunjukkan pada Gambar 4.15 yang merupakan hasil dari pengamatan langsung dan brainstorming (Lampiran 3), penyebab awal dari ketidaksesuaian pada kasus 3 adalah yang short edge margin.

Penyebab utama dalam kasus ini adalah kurangnya perhatian top manajemen terutama HRD tentang pentingnya pelatihan dan pembekalan ilmu untuk karyawan baru sebelum diterjunkan ke lapangan.

4. Extra Hole

Contoh kasus: Terdapat lubang yang tidak digunakan di area emergency door frame yang dijelaskan pada Gambar 4.16 dibawah ini:

Gambar 4.16 Unused Holes On Area Emergency Door Frame (Sumber: Data Perusahaan, 2018)

Gambar 4.17 Five Whys Analysis Kasus 4 (Sumber: Pengolahan Data)

Berdasarkan bagan five whys analysis yang ditunjukkan pada Gambar 4.17 yang merupakan hasil dari pengamatan langsung dan brainstorming (Lampiran 4), penyebab awal dari ketidaksesuaian pada kasus 4 adalah yang adanya kelebihan lubang yang disebabkan salah pasang part. Penyebab utama dalam kasus ini adalah staff konfigurasi hanya 1 orang dan harus bekerja melayani produksi yang

(15)

bekerja 2 shif.

5. Mismatch Hole

Contoh kasus: Terdapat lubang yang tidak sesuai pada saat proses drilling yang dijelaskan pada Gambar 4.18 dibawah ini:

Gambar 4.18 Mismatch Holes On Skin (Sumber: Data Perusahaan, 2018)

Gambar 4.19 Five Whys Analysis Kasus 5 (Sumber: Pengolahan Data)

Berdasarkan bagan Five Whys Analysis yang ditunjukkan pada Gambar 4.19 yang merupakan hasil dari pengamatan langsung dan brainstorming (Lampiran 5), penyebab awal dari ketidaksesuaian pada kasus 5 adalah yang adanya lubang yang tidak sesuai pada saat proses drilling. Penyebab utama dalam kasus ini adalah karena operator kurang teliti karena ingin pekerjaan cepat selesai.

(16)

6. Oversize Hole

Contoh kasus: Pada saat proses reaming bushing untuk fitting horizontal stabilizer terdapat lubang yang oversize yang dijelaskan pada Gambar 4.20 dibawah ini:

Gambar 4.20 Oversize Hole On Bushing For Horizontal Stabilizer (Sumber: Data Perusahaan, 2018)

Gambar 4.21 Five Whys Analysis Kasus 6 (Sumber: Pengolahan Data)

Berdasarkan bagan five whys analysis yang ditunjukkan pada Gambar 4.21 yang merupakan hasil dari pengamatan langsung dan brainstorming (Lampiran 6), penyebab awal dari ketidaksesuaian pada kasus 6 adalah yang adanya lubang yang oversize pada saat proses reaming. Penyebab utama dalam kasus ini adalah

(17)

operator tidak memeriksa tool yang akan digunakan sebelum bekerja dan operator baru pertama kali melakukan proses reaming.

7. Incorrect Part Setting

Contoh kasus: Pada saat proses pemasangan probe temperature adanya kesalahan support yang dijelaskan pada Gambar 4.22 dibawah ini:

Gambar 4.22 Kesalahan pemasangan Support Probe Temperature (Sumber: Data Perusahaan, 2018)

Gambar 4.23 Five Whys Analysis Kasus 7 (Sumber: Pengolahan Data)

Berdasarkan bagan Five Whys Analysis yang ditunjukkan pada Gambar 4.23 yang merupakan hasil dari pengamatan langsung dan brainstorming (Lampiran 7), penyebab awal dari ketidaksesuaian pada kasus 7 adalah adanya kesalahan lokasi

(18)

support untuk probe temperature. Penyebab utama dalam kasus ini adalah operator merupakan perbantuan dari program pesawat lain dan kurangnya kesadaran leader tentang pentingnya pelatihan dan pengenalan situasi kepada karyawan baru sebelum bekerja.

8. Toolmark

Contoh kasus: Adanya toolmark pada skin badan pesawat pada saat proses riveting yang dijelaskan pada Gambar 4.24 dibawah ini:

Gambar 4.24 Toolmark Pada Skin Badan Pesawat (Sumber: Data Perusahaan, 2018)

Gambar 4.25 Five Whys Analysis Kasus 8 (Sumber: Pengolahan Data)

Berdasarkan bagan five whys analysis yang ditunjukkan pada Gambar 4.25 yang merupakan hasil dari pengamatan langsung dan brainstorming (Lampiran 8), penyebab awal dari ketidaksesuaian pada kasus 8 adalah adanya adanya toolmark

(19)

pada saat proses riveting skin. Penyebab utama dalam kasus ini adalah pengatur tekanan angin pada rivet gun yang digunakan operator telah rusak dan tingkat kemiringan proses riveting tidak sesuai kontur badan pesawat.

4.2.2 Failure Modes & Effect Analysis (FMEA) 1. Severity

Berdasarkan hasil penyebab kegagalan yang sudah diketahui dengan metode Five Whys Analysis, selanjutnya dilakukan pembobotan pada nilai severity berdasarkan penyebab defect atau ketidaksesuaian (failure mode) dan akibat yang akan ditimbulkan dari defect atau ketidaksesuaian (failure effect) berdasarkan brainstorming (Lampiran 1-8) yang telah dilakukan. Pemberian nilai severity mengacu pada Tabel 2.2. Hasil dari pembobotan nilai severity dapat dilihat pada Tabel 4.3 dibawah ini:

Tabel 4.3 Failure Mode And Failure Effect (Severity)

NO Failure Mode

Failure Effect

Nilai Reason

Proses Berikutnya

Performansi Produk

1 Crack

Proses install window glass passanger tidak dapat diteruskan

Terdapat crack di beberapa lokasi pada area Window Glass

Passanger pada saat pemasangan screw

10

Potensi defect sangat berbahaya terhadap masalah keamanan pengguna pesawat terbang. Crack merupakan salah satu defect yang sangat dilarang dalam industri penerbangan karena bisa menyebabkan jatuhnya pesawat terbang.

(Sumber: Pengolahan Data)

(20)

Tabel 4.3 Failure Mode And Failure Effect (Severity) (lanjutan 1)

NO Failure Mode

Failure Effect

Nilai Reason

Proses Berikutnya

Performansi Produk

2 Incorrect Cutting

Proses drilling gusset tidak bisa

dilakukan

Terdapat kasalahan pemotongan skin center fuselage yang tidak sesuai drawing

8

Defect berpotensi signifikan terhadap penurunan kinerja produk . Proses perbaikan tidak bisa dilakukan dalam waktu singkat dan biaya perbaikan lumayan mahal.

3

Short Edge Margin

Proses riveting tidak bisa dilakukan

Hasil proses drilling tidak sesuai spesifikasi yang digunakan

5

Defect berpotensi terhadap penurunan kinerja produk namun tidak signifikan. Proses perbaikan bisa

dilakukan dalam waktu singkat dan biaya perbaikan tidak terlau mahal

4 Extra Hole

Proses pemasangan emergency door tidak bisa dilakukan

Terdapat lubang yang tidak

digunakan di area

emergency door frame

4

Defect tidak terlalu berpengaruh terhadap kinerja produk. Produk masih mampu berfungsi sesuai dengan desain awal. Proses perbaikan bisa dilakukan dalam waktu singkat dan biaya perbaikan tidak terlau mahal

5 Mismatch Hole

Proses riveting tidak bisa dilakukan

Terdapat lubang untuk rivet yang tidak sesuai pada saat proses drilling

7

Defect berpotensi signifikan terhadap penurunan kinerja produk . Proses perbaikan tidak bisa dilakukan dalam waktu singkat dan biaya lumayan mahal.

(Sumber: Pengolahan Data)

(21)

Tabel 4.3 Failure Mode And Failure Effect (Severity) (lanjutan 2)

NO Failure Mode

Failure Effect

Nilai Reason

Proses Berikutnya

Performansi Produk

6 Oversize Hole

Proses pemasangan horizontal stabilizer tidak bisa dilakukan

Diameter lubang yang tidak sesuai spesifikasi pada saat proses reaming bushing pada fittinguntuk horizontal stabilizer

9

Potensi defect sangat berbahaya terhadap masalah keamanan pengguna pesawat terbang. Area fitting merupakan area kelas 1.

Horizontal stabilizer merupakan tempat dimana elevator dipasang. Elevator berfungsi mengontrol gerakan pitching (nose up and down) pesawat

7 Incorrect Setting

Proses pemasangan probe temperature tidak bisa dilakukan

Pemasangan support untuk probe

temperature yang salah lokasi

8

Potensi defect sangat berbahaya terhadap masalah keamanan pengguna pesawat terbang. Probe temperature untuk mengetahui suhu udara cabin pada saat

beroperasi.

8 Toolmark

Proses painting tidak bisa dilakukan

Adanya toolmark pada skin badan

pesawat pada saat proses riveting

9

Potensi defect sangat berbahaya terhadap masalah keamanan pengguna pesawat terbang. Defect toolmark lama-lama bisa berpotensi crack.

(Sumber: Pengolahan Data)

2. Occurence

Pembobotan nilai occurence berdasarkan pada presentase dari penyebab kegagalan (failure cause) yang mengacu pada Tabel 4.3. Hasil dari pembobotan nilai occurence dapat dilihat pada Tabel 4.4 dibawah ini:

(22)

Tabel 4.4 Failure Cause (Occurence) No Failure

Mode Failure Cause Freq Percentage Nilai Reason

1 Crack

Tidak ada ukuran untuk proses

pengencangan screw karena material engineer belum melakukan stress dan strength analysis terhadap window glass passanger dan tidak terdapat kontur pada gambar single part window glass passanger.

15 6,28% 9

Jumlah kegagalan sebesar 15 dari 239 atau memliki persentase sebesar 6,28%

2 Incorrect Cutting

Kurangnya kesadaran operator terhadap pentingnya membaca perintah kerja atau process sheet dan melihat drawing sheet sebelum bekerja.

5 2,09% 8

Jumlah kegagalan sebesar 5 dari 239 atau memliki persentase sebesar 2,09%

3

Short Edge Margin

Kurangnya perhatian manajemen terutama HRD tentang

pentingnya pelatihan dan pembekalan ilmu untuk karyawan baru sebelum diterjunkan ke lapangan

47 19,67% 10

Jumlah kegagalan sebesar 47 dari 239 atau memliki persentase sebesar 19,67%

4 Extra Hole

Staff konfigurasi hanya 1 orang dan harus bekerja melayani produksi yang bekerja 2 shif.

24 10,04% 10

Jumlah kegagalan sebesar 24 dari 239 atau memliki persentase sebesar 10,04%

(Sumber: Pengolahan Data)

(23)

Tabel 4.4 Failure Cause (Occurence) (lanjutan) No Failure

Mode Failure Cause Freq Percentage Nilai Reason

5 Mismatch Hole

Operator kurang teliti karena ingin pekerjaan cepat selesai

18 5,86% 9

Jumlah kegagalan sebesar 14 dari 239 atau memliki persentase sebesar 5,86%

6 Oversize Hole

Operator tidak memeriksa tool yang akan digunakan sebelum bekerja dan operator baru pertama kali melakukan proses reaming

14 21,76% 10

Jumlah kegagalan sebesar 52 dari 239 atau memliki persentase sebesar 21,76%

7 Incorrect Setting

Operator merupakan perbantuan dari program pesawat lain dan kurangnya kesadaran leader tentang pentingnya pelatihan dan pengenalan situasi kepada karyawan baru sebelum bekerja.

32 8,79% 10

Jumlah kegagalan sebesar 21 dari 239 atau memliki persentase sebesar 8,79%

8 Toolmark

Pengatur tekanan angin pada rivet gun yang digunakan operator telah rusak dan tingkat kemiringan proses riveting tidak sesuai kontur badan pesawat.

18 1,26% 7

Jumlah kegagalan sebesar 3 dari 239 atau memliki persentase sebesar 1,26%

(Sumber: Pengolahan Data)

(24)

3. Detection

Pembobotan nilai detection berdasarkan pada presentase defect akan terdeteksi pada saat proses itu berlangsung maupun pada proses selanjutnya dan berdasarkan brainstorming (Lampiran 1-8) yang telah dilakukan. Pembobotan nilai detection mengacu pada Tabel 2.4. Hasil dari pembobotan nilai detection dapat dilihat pada Tabel 4.5 dibawah ini:

Tabel 4.5 Current Process Control (Detection)

No Failure Mode

Current Process

Control Nilai Reason

1 Crack

Pengawasan ekstra terhadap operator dan pemeriksaan yang lebih teliti

9

Kemungkinan adanya quality escape masih sangat besar.

Butuh ketelitian ekstra dari inspektor quality control terhadap defect crack pada part pesawat

2 Incorrect Cutting

Melakukan

pengawasan kepada operator tentang kelengkapan dokumen kerja

3

Defect akan terdeteksi di proses selanjutnya karena proses selanjutnya tidak bisa dilanjutkan

3

Short Edge Margin

Pengawasan oleh leader kepada operator baru

8

Kemungkinan adanya quality escape masih ada. Butuh ketelitian dari inspektor quality control terhadap ukuran hasil pengeboran

4 Extra Hole

Melakukan

pengawasan kepada operator tentang kelengkapan dokumen kerja

5

Kemungkinan adanya quality escape relatif kecil. Defect akan terdeteksi pada proses selanjutnya

5 Mismatch Hole

Melakukan

pengawasan kepada operator oleh inspektor quality control pada saat proses drilling

2

Defect akan terdeteksi di proses selanjutnya karena proses selanjutnya tidak bisa dilanjutkan

(Sumber: Pengolahan Data)

(25)

Tabel 4.5 Current Process Control (Detection) (lanjutan)

No Failure Mode

Current Process

Control Nilai Reason

6 Oversize Hole

Mendampingi operator oleh inspektor quality control pada saat proses reaming dan memeriksa tool yang akan digunakan sebelum bekerja

3

Defect akan terdeteksi di proses selanjutnya karena ada perintah kerja khusus di area kelas 1

7 Incorrect Setting

Pengawasan oleh leader kepada operator baru

2

Defect akan terdeteksi di proses selanjutnya karena proses selanjutnya tidak bisa dilanjutkan

8 Toolmark

Pemeriksaan tool disemua area produksi dan memberikan pemahaman kepada operator tentang standar proses riveting sebelum bekerja

7

Kemungkinan adanya quality escape masih ada. Butuh ketelitian dari inspektor quality control terhadap hasil proses riveting

(Sumber: Pengolahan Data)

4. Failure Mode and Effect Analysis

Setelah melalukan pembobotan terhadap severity, occurence dan detection, selanjutnya membuat tabel Failure Mode and Effect Analysis (FMEA) untuk menghasilkan nilai Risk Priority Number (RPN). Hasil nilai Risk Priority Number (RPN) dapat dilihat pada Tabel 4.6 dibawah ini:

(26)

Tabel 4.6 Failure Mode And Effect Analysis (FMEA)

No Failure Mode

Failure Effect

S Failure Cause O Current Process Control D RPN

Proses Berikutnya Performansi Produk

1 Crack

Proses install window glass passanger tidak dapat diteruskan

Terdapat crack di beberapa lokasi pada area Window Glass Passanger pada saat

pemasangan screw

10

Tidak ada ukuran untuk proses pengencangan screw karena material engineer belum melakukan stress dan strength analysis terhadap window glass passanger dan tidak terdapat kontur pada gambar single part window glass passanger.

9

Pengawasan ekstra terhadap operator dan pemeriksaan yang lebih teliti

9 810

2 Incorrect Cutting

Proses drilling gusset tidak bisa dilakukan

Terdapat kasalahan pemotongan skin center fuselage yang tidak sesuai drawing

8

Kurangnya kesadaran operator terhadap pentingnya membaca perintah kerja atau process sheet dan melihat drawing sheet sebelum bekerja.

8

Melakukan pengawasan kepada operator tentang kelengkapan dokumen kerja

3 192

3

Short Edge Margin

Proses riveting tidak bisa dilakukan

Hasil proses drilling tidak sesuai spesifikasi yang digunakan dalam proses perakitan badan pesawat NC212i

5

Kurangnya perhatian manajemen terutama HRD tentang

pentingnya pelatihan dan pembekalan ilmu untuk karyawan baru sebelum diterjunkan ke lapangan

10 Pengawasan oleh leader kepada

operator baru 8 400

4 Extra Hole

Proses pemasangan emergency door tidak bisa dilakukan

Terdapat lubang yang tidak digunakan di area emergency door frame

4 Staff konfigurasi hanya 1 orang dan harus bekerja 2 shif. 10

Melakukan pengawasan kepada operator tentang kelengkapan dokumen kerja

5 200

5 Mismatch Hole

Proses riveting tidak bisa dilakukan

Terdapat lubang untuk rivet yang tidak sesuai pada saat proses drilling

7 Operator kurang teliti karena ingin pekerjaan cepat selesai 9

Melakukan pengawasan kepada operator oleh inspektor quality control pada saat proses drilling

2 126

6 Oversize Hole

Proses pemasangan horizontal stabilizer tidak bisa dilakukan

Diameter lubang yang tidak sesuai spesifikasi pada saat proses reaming bushing pada fittinguntuk horizontal stabilizer

9

Operator tidak memeriksa tool yang akan digunakan sebelum bekerja dan operator baru pertama kali melakukan proses reaming

10

Mendampingi operator oleh inspektor quality control pada saat proses reaming dan memeriksa tool yang akan digunakan sebelum bekerja

3 270

7 Incorrect Setting

Proses pemasangan probe temperature tidak bisa dilakukan

Pemasangan support untuk probe temperature yang salah lokasi

8

Operator merupakan perbantuan dari program pesawat lain dan kurangnya kesadaran leader tentang pentingnya pelatihan dan pengenalan situasi kepada karyawan baru sebelum bekerja.

10 Pengawasan oleh leader kepada

operator baru 2 160

8 Toolmark Proses painting tidak bisa dilakukan

Adanya toolmark pada skin badan pesawat pada saat proses riveting

9

Pengatur tekanan angin pada rivet gun yang digunakan operator telah rusak dan tingkat kemiringan proses riveting tidak sesuai kontur badan pesawat.

7

Pemeriksaan tool disemua area produksi dan memberikan pemahaman kepada operator tentang standar proses riveting sebelum bekerja

7 441

(Sumber: Pengolahan Data)

(27)

Urutan Risk Priority Number (RPN)

Nilai Risk Priority Number (RPN) yang telah dihitung pada tabel Failure Mode And Effect Analysis (FMEA) diurutkan berdasarkan nilai tertinggi hingga nilai yang terendah untuk menentukan defect atau kegagalan yang harus lebih diperhatikan agar tidak merugikan customer dan juga perusahaan. Nilai Risk Priority Number (RPN) telah dapat dilihat pada Tabel 4.7 dibawah ini:

Tabel 4.7 Urutan Nilai Risk Priority Number (RPN)

No Failure Mode S O D RPN

1 Crack 10 9 9 810

8 Toolmark 9 7 7 441

3 Short Edge Margin 5 10 8 400

6 Oversize Hole 9 10 3 270

4 Extra Hole 4 10 5 200

2 Incorrect Cutting 8 8 3 192

7 Incorrect Setting 8 10 2 160

5 Mismatch Hole 7 9 2 126

(Sumber: Pengolahan Data)

Berdasarkan hasil perhitungan Risk Priority Number (RPN) yang ada pada Tabel 4.7, nilai yang paling besar yaitu defect crack dengan total nilai 810. Selain defect tersebut, defect yang memiliki nilai tertinggi yaitu defect toolmark dan short edge margin yang memiliki nilai masing-masing sebesar 441 dan 400. Ketiga defect tersebut merupakan defect yang paling dominan yang harus lebih diperhatikan dan segera dilakukan upaya perbaikan agar defect tersebut tidak merugikan customer dan perusahaan. Perbaikan akan diusulkan untuk semua defect karena tujuan dari penelitian ini yaitu mengurangi defect yang disebabkan oleh workmanship error agar capaian kualitas yang ditargetkan perusahaan dapat tercapai.

Referensi

Dokumen terkait

Pada penelitian ini, penulis berfokus pada pengaruh dari variabel makroekonomi terhadap investasi asing langsung dan investasi portofolio asing di Indonesia,