BAB 2
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Eco-Enzyme
Eco-enzyme dalam bahasa Indonesia dikenal sebagai ekoenzim merupakan larutan organik kompleks yang dibuat dari bahan dasar sampah organik yang difermentasi dengan gula dan air (Rochyani et al., 2020). Eco-enzyme bisa disebut sebagai produk hasil fermentasi limbah dapur (sisa sayuran dan buah) seperti kulit dan ampas dari sayuran dan buah. Ciri fisik eco-enzyme ialah berwarna kuning cokelat kegelapan dengan aroma segar karena hasil fermentasi yang sempurna ialah ditandai dengan memiliki aroma yang kuat berupa segar dan asam (Mahdia et al., 2022). Menurut (Arun & Sivashanmugam, 2015) penelitian dan pembuatan eco- enzyme ini sangat berperan besar khususnya dalam bidang lingkungan.
Eco-enzyme dibuat dari sampah organik yang dicampur dengan molase dan air bersih yang dimasukkan ke dalam suatu wadah plastik (Megah, 2018). Waktu fermentasi eco-enzyme agar menghasilkan hasil yang optimal membutuhkan waktu 3 bulan. Hasil akhir fermentasi eco-enzyme menghasilkan residu yang dapat dimanfaatkan salah satunya sebagai antibakteri. Kandungan asam organik pada eco-enzyme seperti asam laktat dan asam asetat inilah yang bermanfaat dalam menghambat pertumbuhan bakteri (Utami, 2020). Kandungan asam organik berperan dalam menurunkan pH larutan sehingga membuat bakteri sulit dalam bertahan hidup (Hamidah, 2019). Kandungan eco-enzyme lainnya ialah NO3 dan
Gambar 2.1 Takaran pembuatan eco-enzyme (Sumber : Agustina, 2020)
CO3, kandungan ini dapat bermanfaat sebagai nutrien yang dibutuhkan oleh tanah (Rochyani, 2020). Selama proses fermentasi terjadi reaksi kimia sebagai berikut :
Proses fermentasi yang merupakan proses perubahan kimia pada suatu bahan (substrat) organik melalui mikroorganisme yang menghasilkan aktivitas enzim seperti menghasilkan CO2 dan alkohol yang menyebabkan terjadinya perubahan sifat. Bahan dari proses fermentasi ini ialah limbah sisa sayu dan buah, molase dan air. Proses fermentasi dibantu oleh adanya metabolisme bakteri pada kondisi anaerob yang secara alami terdapat bahan eco-enzyme seperti limbah sayur dan buah tersebut (Larasati, 2020). Proses fermentasi terjadi dimana karbohidrat diubah menjadi asam volatil, asam organik yang ada dalam bahan limbah juga larut ke dalam larutan fermentasi karena pH enzim sampah bersifat asam di alam. Enzim yang terdapat pada limbah memiliki kekuatan tertinggi untuk mengurangi atau menghambat patogen karena sifat asam dari enzim sampah membantu mengekstraksi enzim ekstraseluler dari limbah organik ke dalam larutan selama fermentasi. Dalam proses fermentasi, glukosa dirombak untuk menghasilkan asam piruvat. Asam piruvat dalam kondisi anaerob akan mengalami penguraian oleh piruvat dekarbosilase menjadi asetaldehid, selanjutnya asetaldehid diubah oleh alkohol dehydrogenase menjadi etanol dan karbondioksida, dimana bakteri Acetobacter akan merubah alkohol menjadi asetaldehid dan air, yang selanjutnya asetaldehid akan diubah menjadi asam asetat (Supriyani, Astuti et al., 2020). Proses fermentasi eco-enzyme terjadi selama 3 bulan. Selama bulan pertama fermentasi, alkohol akan dilepaskan, sehingga akan tercium bau alkohol dari larutan ekoenzim.
Pada bulan kedua, akan tercium bau asam, yang merupakan bau asam asetat.
Dengan banyak senyawa seperti mineral dan vitamin, itu akan terus rusak dan C6H12O6 2 CH3CH2OH + CO2
CH3CH2OH + ½ O2 CH3CHO + H2O Etanol Asetaldehid CH3CHO + ½ O2 CH3COOH Asetaldehid Asam cuka
Gambar 2.2 Persamaan reaksi kimia eco-enzyme
secara alami membentuk enzim. Oleh karena itu, durasi minimum yang disarankan adalah 3 bulan. Setelah selesai difermentasi, produk fermentasi eco-enzyme akan memiliki aktivitas mikroba yang tinggi, sehingga dapat digunakan untuk menghambat pertumbuhan mikroba.
Enzim yang terbentuk dari hasil fermentasi pada produk eco-enzyme dapat mempercepat reaksi biokimia alam seperti mampu membunuh bakteri patogen.
Aktivitas enzim yang terdapat di dalam eco- enzyme tersebut diantaranya enzim lipase, tripsin, amilase (Rochyani et al., 2020). Eco-enzyme memiliki berbagai macam kegunaan seperti dalam kesehatan, kebersihan, pertanian, dan lingkungan.
Megah (2018) menyatakan kegunaan eco-enzyme dalam kebersihan diantaranya dapat digunakan sebagai cairan pembersih seperti untuk cuci piring, lantai, pakaian sebagai pengganti detergen, sabun mandi, sampo dan dicampurkan ke bak air mandi sebagai desinfektan. Kegunaan dalam kesehatan dapat mengobati penyakit kulit.
Keguanaan dalam pertanian dapat digunakan sebagai pembasmi hama dan pupuk organik yakni khusus dari residu tersuspensi hasil fermentasi eco-enzyme.
Kegunaan lainnya yaitu sebagai pelestari lingkungan yang mana eco-enzyme dapat menetralisir polutan sebagai penyebab pencemaran di lingkungan sekitar.
Kandungan antimikroba yang dimiliki eco-enzyme bermafaat dalam menghambat pertumbuhan mikroba seperti menghambat pembusukan pada buah atau sayuran jika diaplikasikan dengan menyemprotkan pada bagian luar (kulit) buah maupun sayuran (Utami, 2020).
2.2 Bakteri
Bakteri adalah sel prokariotik yang mana tidak memiliki membran inti sel, relatif sederhana (uniseluler). Bakteri termasuk mikroorganisme karena berukuran kecil yang hanya dapat dilihat dengan alat bantu berupa mikroskop. Ukuran bakteri bervariasi dari yang berdiameter 0,12 mikron hingga yang berukuran 5 mikron.
Sudjadi (2006) menyatakan bakteri dapat bertahap hidup pada beberapa keadaan lingkungan seperti pada suhu tinggi 60◦C atau lebih maupun pada beberapa tempat seperti di tanah, udara, air serta di dalam tubuh makhluk hidup. Bakteri tersusun atas dinding sel, membran plasma, sitoplasma, ribosom, kapsul, flagella, vakuola dan endosperma. Berdasarkan struktur yang menyusun bakteri terdapat pengelompokan yaitu struktur tidak tetap dan struktur tetap. Struktur tidak tetap
yaitu tidak dimiliki oleh semua jenis bakteri seperti pada bagian dinding sel. Alat gerak flagela, fimbria, endospora, selubung sel dan kapsul. Struktur tetap yaitu struktur yang dimiliki oleh semua jenis bakteri seperti bagian membran sitoplasma, materi genetik dan ribosom (Harahap, 2021).
a. Dinding Sel
Dinding sel berfungsi sebagai pelindung dan pembungkus sel bakteri yang bersifat kaku. Dinding sel melindungi protoplasma dan menjaga sel dari tekanan osmotik luar sel yang rendah. Struktur dinding sel bakteri tersusun dari peptidoglikan yang terdiri dari protein dan polipeptida. Lapisan peptidoglikan memiliki ikatan struktur yang kuat karena susunanya membentuk anyaman jala dimana terdapat dua derivat gula yang terhubung. Susunan peptidoglikan bakteri berupa dua derivat gula yakni N-asetilglukosamin (GlcNAc) dan asam N- asetilmuramat (MurNAc) dan susunan asam amino yang berbeda dari setiap spesies. Peptidoglikan juga tersusun dari ikatan glikosida dan ikatan peptida (b-1,4 glikosidik) yang terhubung dengan dua derivat gula. Molekul penyusun rantai peptida pada ikatan peptida ialah asam amino yang terdiri dari D-asam glutamate, D-alanin, L-analin dan asam meso-diaminopimelat. Ikatan peptida tersebut membentuk ikatan tetrapeptida yang saling berikatan dengan ikatan tetrapeptida pada peptidoglikan tetangga yang akhirnya membentuk lapisan (Harahap, 2021).
Berdasarkan susunan peptidoglikan bakteri terbagi menjadi 2 yaitu bakteri gram positif dan bakteri gram negatif yang mana selain dari susunan peptidoglikan perbedaan dari keduanya ialah kemampuan dalam mengikat zat warna.
Gambar 2.3 Struktur sel bakteri (Sumber : Aryulina, 2007)
a) Bakteri gram positif
Susunan bakteri gram positif adalah terdapat banyak lapisan peptidoglikan atau bisa dikatakan tebal yang membentuk susunan (polimer), terdapat membran sitoplasma. Peptidoglikan bakteri gram positif berukuran kurang lebih 0,02 – 0,06 nm (multilayer). Susunan peptidoglikan antar rantai peptidoglikan bakteri gram positif terdapat ikatan peptidoglikan berupa lima asam amino, glisin, serin atau alanin sehingga disebut ikatan penta glisina. (Koendjoro, 2020) peptidogligan bakteri gram positif mengandung asam teikoik yang memiliki muatan negatif.
Asam teikoat berupa polimer dari gliserol fosfat yang dihubungkan oleh ikatan fosfodiester. Asam tersebut memiliki peran dalam perkembangan sel, membantu sel bakteri berikatan dengan sel inang dengan menghasilkan toksik serta melindungi sel pada keadaan lingkingan yang ekstrim. Kelompok bakteri gram positif bisa menghasilkan polisakarida yang spesifik dan protein. Pewaarnaan gram positif menunjukkan adanya warna ungu. Jumlah kandungan asam muramic pada bakteri gram positif sebesar 16-20 % berat kering dinding sel serta tidak memilikii periplasma dan membran luar. Toksin yang dihasilkan bakteri bersifat eksotoksin.
Bakteri gram positif pada dinding selnya yang berada di atas membran plasma pada irisan melintang terlihat relative tebal dan sensitif terhadap lisozim.
Gambar 2. 4 Perbedaan struktur bakteri gram positif dan gram negatif (Sumber : Murwani, 2015)
b) Bakteri gram negatif
Bakteri gram negatif tersusun atas membran luar, lapisan murein (peptidoglikan) yang terdapat ruang periplasma dan membran plasma dalam.
Membrane luar dan membrane dalam terdapat hubungan yang disebut titik perlekatan (bayer juntions). Ukuran ketelabalan lapisan peptidolikan bakteri gram megatif kurang lebih 0,01 nm (bilayer). Ikatan peptidoglikan antar rantai peptidoglikan bakteri gram negatif terbentuk pada asam meso diamino pimelat dari gugus (-NH2)nya dengan D-alanin dari gugus karboksilnya. Membran luar pada dinding sel gram begatif terdapat lipid yang tinggi sebagai pencegah keluarnya enzim serta sebagai pertahan dari luar jika terdapat bahan kimia yang akan masuk ke dalam sel dan merusak sel. Pewarnaan gram negatif menunjukkan adanya warna merah. Jumlah kandungan asam muramic pada bakteri gram negatif lebih sedikit dibandingkan bakteri gram positif yaitu 2-12%. Dinding sel bakteri gram negatif sensitif terhadap alkali larutan KOH. Ruang periplasma dan membran luar ada pada susunan sel bakterinya. Toksin yang dihasiilkan oleh bakteri bersifat endotoksin.
Bakteri gram negatif juga disusun oleh organel berupa kristal mineral magnetik dan dikelilingi oleh lpisan ganda fosfolipit sehingga disebut juga bakteri magnetotaktik yang memiliki magnetosome (Koendjoro, 2020). Bakteri yang tidak memiliki dinding plasma ialah mikoplasma (mycoplasma). Cara bakteri mikoplasma mempertahankan diri ialah dengan memompa keluar ion natrium secar aktif untuk mempertahankan tekanan di luar dan di dalam sel (Koendjoro, 2020).
b. Membran Sitoplasma
Membran sitoplasma mengandung protein, lipid, asam asam nukleid.
Membran sitoplasma juga mengandung RNA sehingga mampu menyerap cat basa lebih kuat dibandingkan sitoplasma. Membran sitoplasma sebagai tempat bagi sistem enzim pada tubuh sel bakteri seperti dehydrogenase asam suksinat, sitokrom, permease, dan dehydrogenase asam formiat. Membran sitoplasma juga berfungsi sebagai pengatur masuknya zat zat makanan, dan pengatur keluarnya sisa metabolisme (Harahap, 2021).
c. Flagela
Flegela merupakan filamin protein dengan ukuran yang sama namun tidak semua bakteri. Flagela tersusun atas filamen, hook (sudut), dan basal body
(bagian dasar). Beberapa bakteri patogen memiliki flagela yang digunakan sebagai alat gerak. Pergerakan sel bakteri dengan alat gerak berupa flagel dipengaruhi oleh adanya respon kemotaktik yang terkoordinir. Koordinasi pergerakan flagela melibatkan metilasi protein. Respon kemotaktik berupa pergerakan flagel yang memutar berlawanan dengan arah jarum jam. Pergerakan tersebut membentuk berkas yang terstruktur sehingga menunjukkan sistem regulaso sensori umpan balik. Sel bakteri yang mendapatkan pengaruh seperti senyawa atau racun yang tidak diinginkan akan mempengaruhi pergerakan flagela seperti hilangnya koordinasi. Hilangnya koordinasi mempengaruhi proses metilasi protein yaitu terjadi penurunan proses metilasi protein. Berdasarkan jumlah dan letaknya flagela terbagi menjadi beberapa jenis seperti monotrik, lofotrik, amfitrik, dan peritrik.
d. Fimbria
Fimbria berupa fili atau rambut yang memiliki ukuran yang lebih tipis diabndingkan denga flagela. Fimbria berfungsi membantu sel untuk bertahan hidup, berinteraksi dengan inangnya, serta melakukan aktivitas fungsional sel seperti pili seks, adhesin, dan lektin (Trisnawati, 2021).
e. Selubung Sel
Selubung sel berperan sebagai pelindung sel dalam mencegah sel lisis (pecah) yang diakibatkan oleh faktor lingkungan seperti adanya tekanan osmotik (Yuliana, 2020). Selubung sel yang menyusun sel bakteri terdiri atas lapisan peptidoglikan, membran sel, membran luar, dan periplasma. Bagian selubung sel sering dianggap mirip dengan dinding sel.
f. Membran Sel
Membran sel adalah lapisan pembungkus sel yang terletak pada bagian dalam dari dinding sel yang berhubungan dengan membran sitoplasma. Membran sel dan dinding sel memiliki perbedaan seperti struktur membran sel lebih tipis dibandingkan dinding sel, membran sel bersifat selektif permeabel sedangkan dinding sel bersifat permeabel, dan dari komponen penyusunnya berbeda.
Komponen membran sel ialah fosfolipid, karbohidrat, protein dan rantai asam lemak (Koendjoro, 2020). Membran sel pada bakteri gram positif terjadi pelipatan ke bagian dalam atau disebut mesosom.
g. Kapsul
Kapsul tidak dimiliki oleh semua jenis bakteri. Kapsul terletak pada bagian luar dinding sel yang berfungsi dalam mempertahankan sel dari sel inang yang menghasilkan antibodi (Abdurahman, 2008). Apabila suatu bakteri pada dinding selnya terdapat kapsul menunjukkan bakteri memiliki tingkat virulensi tinggi yakni kemampuan dalam mengakibatkan penyakit yang tinggi (Karmana, 2007). Contoh bakteri yang memiliki kapsul ialah Diplococcus pneumonia. Ferdinand (2006) secara morfologi bakteri terbagi menjadi beberapa bentuk seperti batang (basil), spiral, dan bulat (coccus). Bentuk bakteri dapat berubah menyesuaikan lingkungannya sehingga terdapat bakteri pada kondisi tertentuk mengalami perubahan bentuk atau yang disebut pleomorfis
a) Batang (basillus)
Terdapat bakteri berbentuk basil yang tersusun sendiri (monobacillus) contohnya Lactobacillus; berpasangan (diplobacillus), dan berbentuk rantai (streptobacillus) contohnya Azotobacter
b) Spiral
Terdapat bakteri spiral yang berbentuk koma (vibrio) contohnya Vibrio cholera;
spiral contohnya Thiospirillopsis floridana; dan spiroseta (spirochete) contohnya Treponema pallidum.
c) Bulat (coccus)
Terdapat bakteri coccus yang tersusun secara tunggal (monococcus) contohnya Neiserria gonorrhoea dan berkelompok. Jenis bakteri yang berbentuk kelompok terbagi menjadi empat yaitu berpasangan (diplococcus) contohnya Diplococcus pneumonia; untaian anggur (staphylococcus) contohnya Staphylococcus aureus;
rantai (streptococcus) contohnya Straptococcus pyrogenes; dan sarcina berupa susunan delapan delapan.
Bakteri yang bersifat patogen lebih membahayakan karena dapat membuat infeksi. (Pratiwi, 2017) menyampaikan bakteri patogen berdasarkan sifatnya mampu mengadakan multiplikasi, mengadakan transmisi, melekat pada sel inang serna memanfaatkan nutrien dari sel inang sehingga dapat menimbulkan kerusakan sel sel. Bakteri patogen menghasilkan enzim hidrolitik yaitu protease dan hialuronidase yang berperan dalam proses infeksi pada sel inang. Baehaki (2008)
bakteri patogen menggunakan enzim hidrolitik untuk memperoleh nutrien berupa karbon dan energi. Enzim tersebut mendegradasi komponen ekstraseluler melalui penghancuran polimer sel inang menjadi gula sederhana dan asam amino sehingga membuat kerusakan jaringan pada sel inang. Contoh bakteri yang bersifat patogen ialah Escherichia coli, staphylococcus aureus, dan Pseudomonas aeruginosa (Tanauma, 2016).
Fase pertumbuhan pada bakteri terbagi menjadi 4 yakni fase lag, fase log, fase stasioner, dan fase kematian atau penurunan (Putri, 2017). Reproduksi bakteri dengan melakukan pembelahan yang disebut pembelahan biner yakni membelah diri menjadi 2 sel yang berukuran sama. Bakteri merupakan mikroorganisme yang dalam kondisi tertentu dapat membahayakan makhluk hidup jika dalam kondisi patogenik (Bota, 2015).
1) Fase lag
Fase ini berlangsung selama kurang lebih 5 menit sampai beberapa jam yaitu bakteri melakukan adaptasi dengan kondisi lingkungan disekitar media bakteri. Proses adaptasi pada fase ini berlangsung dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti medium lingkungan pertumbuhan dan jumlah inokulum. Bakteri membutuhkan adaptasi untuk mensintesa enzim enzim. Fase ini akan berjaan lambat jika kultur bakteri dipindahkan pada media yang memiliki jumlah nutrien lebih sedikit atau terbatas dibandingkan dengan media sebelumnya.
2) Fase log (pertumbuhan eksponensial)
Fase ini bakteri mengalami pembelahan sel yang berlangsung sangat cepat dengan menyesuaikan kondisi lingkungan pada bakteri seperti pH, suhu dan nutrisi.
Medium tempat tumbuh bakteri sangan mempengaruhi kecepatan pertumbuhan.
Fase log bakteri membutuhkan energi cukup tinggi dibandingakn pada fase pertumbuhan lainnya. Fase log di tahap terakhir mengalami penurunan kecepatan pertumbuhan yang disebabkan oleh beberapa hal seperti berkurangnya nutrien dan hasil metabolisme mengandung racun yang menghambat pertumbuhan bakteri.
3) Fase stasioner
Pada fase ini bakteri mencapai kepadatan maksimal yang mana jumlah sel yang mati seimbang atau sama dengan jumlah sel baru (tumbuh). Fase stasioner bakteri masih mengalami pembelahan sel meskipun dalam keadaan kekurangan
atau berkurangnya jumlah nutrisi sehingga hasil pembelahan ukuran sel bakteri lebih kecil dan komposisi sel berbeda dibandingkan sel yang tumbuh pada fase sebelumnya yaitu fase logaritmik. Sel yang tumbuh pada fase ini lebih kebal atau tahan terhadap keadaan lingkungan yang ekstrim.
4) Fase kematian
Fase kematian ditandai dengan berkurangnya jumlah populasi bakteri karena mengalami kematian. Hal tersebut disebabkan oleh nutrisi pada media tumbuh bakteri dan energi dalam sel bakteri telah habis.
2.3 Staphylococcus
Bakteri Staphylococcus mengandung bahan ekstraseluler dan polisakarida yang bersifat antigenik. Antigen yang menyusun peptidoglikan bakteri Staphylococcus berperan dalam menghambat terjadinya proeses fagositosis oleh sel inang. Polisakarida yang terkandung dalam bakteri termasuk dalam tipe A yaitu yang menyusun dinding sel dan bersifat mampu larut dalam asam trikloroasetat.
Peptidoglikan dapat dirusak oleh lisozim atau asam kuat. Dinding sel bakteri ini disusun oleh peptidoglikan dan asam teikoat yang berguna dalam menghubungkan peptidoglikan dengan antigen. Bahan ekstraseluler seperti enzim dan toksin yang diproduksi bakteri serta kemampuan pembelahan ke dalam jaringan sel inang menyebabkan bakteri Staphylococcus dapat menyebabkan penyakit (Hasna, 2018).
Bakteri dengan genus Staphylococcus memiliki berbagai jenis spesies yang berbeda beda. Setiap spesies dari genus Staphylococcus dibedakan berdasarkan faktor virulensi yangberbeda serta plasmid yang mengkode protein dalam resistensi antibiotik. Faktor virulensi adalah hasil suatu mikroorganisme dalam membentuk regulasi gen yang dapat digunakan bakteri dalam meningkatkan potensi patogen (menyebabkan penyakit) pada tubuh inang serta mempertahankan diri bakteri dari sel inang (Larasati et al., 2020). Bakteri Staphylococcus memiliki kemampuan dalam mempertahankan diri. Bentuk pertahanan diri seperti mencegah fagositosis oleh sel inang dengan permukaan sel bakteri membentuk mikrokapsul (simpai polisakarida).
2.4 Staphylococcus aureus
Sistematika Staphylococus aureus adalah sebagai berikut:
Divisi : Protophyta
Kelas : Schizomycetes
Bangsa : Eubacteriales
Suku : Micrococcaceae
Marga : Staphylococcus
Jenis : Staphylococcus aureus
Bakteri Staphylococcus aureus adalah bakteri yang termasuk ke dalam kelompok bakteri gram positif yang bersifat patogen yaitu dapat menyebabkan infeksi. Stapylococcus aureus termasuk spesies bakteri yang paling invasif karena mengandung enzim yang mampu mendegradasi matriks ekstraseluler yaitu enzim koagulase. Bakteri Staphylococcus aureus termasuk bakteri yang banyak mengeluarkan hemosilin, toksin ekstraseluler, enzim serta komponen seluler lainnya dibandingkan kelompok bakteri lainnya. Ciri dari bakteri ini ialah berukuran 1µm tersusun tidak teratur, coccus gram positif yang piogenik (infeksi dengan peradangan local), nonmotil, hidup secara berkoloni, dan tidak membentuk spora. Bakteri ini memiliki sifat destruktif lokal sehingga dapat menghasilkan peradangan lokal (piogenik) pada beberapa bagian tubuh sepeti kulit, tulang dan katup jantung (Husna, 2018). Staphylococcus aureus bersifat anaerob fakultatif yaitu dapat hidup pada kondisi yang terdapat sedikit oksigen, katalase positif dan oksidase negatif (Dewi, 2015). Bakteri tersebut dapat tumbuh dengan atau tanpa adanya bantuan oksigen. Koloni bakteri ini dapat tumbuh dengan diameter kurang kebih 4 mm dengan waktu 24 jam. Bakteri Staphylococcus aureus dapat tumbuh pada suhu 6,5 - 46◦ pada pH 4,2 – 9,3. Bakteri ini dapat menghasilkan pigmen warna kuning emas (Putri, 2010). Pigmen warna tersebut karena bakteri ini membentuk pigmen lipochrom, yang mana pigmen warna ini akan muncul jika Staphylococcus aureus ada pada suhu 37 derajad celcius tetapi pigmen dapat terbentuk lebih baik pada suhu kamar (20-25◦c) dengan waktu pertumbuhan selama 18-24 jam (Dewi, 2015). Pigmen berwarna kuning menjadi pembeda bakteri
Staphylococcus auereus dengan bakteri Staphylococcus epidermidis yang
menghasilkan pigmen berwarna putih.
Staphylococcus aureus dalam susunanya memiliki protein yang berperan dalam penempelan sel bakteri pada tubuh inang. Protein tersebut dapat membentuk matriks ekstraseluler pada permukaan epitel dan endotel sel inang, protein tersebut diantaranya fibronektin dan laminin (Husna, 2018). Bakteri Staphylococcus aureus pada beberapa galur mengandung mikrokapsul polisakarida yang berguna sebagai antifagosit serta memiliki ikatan protein fibrin yang berperan dalam pelekatan sel bakteri pada pada darah dan jaringan tubuh inang. Husna (2018) protein lainnya yang dimiliki bakteri ini ialah MSCRAMMs (Microbial Surface Components Recognizing Adhesive Matrix Molecules). Protein MSCRAMMs berikatan dengan kolagen fibrinogen, fibronektin serta melakukan adhesi pada jaringan tubu inang.
Bakteri Staphylococcus aureus menghasilkan enzim koagulase yang berguna mengkatalisis fibrinogen menjadi fibrin.
Bakteri Staphylococcus aureus menghasilkan tujuh tipe enterotoksin seperti tipe A, B, C, C1, C2, D, dan, E (Dewi, 2013). Enterotoksin yaitu racun yang diproduksi bakteri Staphylococcus aureus dengan masa inkubasi 1-8 jam (Prasetyo, 2015). Bakteri Staphylococcus aureus menghasilkan faktor virulensi sehingga menyebabkan suatu penyakit. Faktor virulensi tersebut diantaranya biofilm, fibronectin binding protein, clumping factor, hemosilin, Panton Valentine Leukocidin (PVL), superantigen (SAg), protein A (Larasati, 2020).
a) Biofilm
Biofilm merupakan kumpulan dari permukaan sel bakteri yang menempel pada permukaan makhluk hidup seperti sel dan dilapisi oleh matriks substansi polimerik ekstraseluler (Homenta, 2016). Gen penyandi dalam biofilm ialah ica operon (icaABCD). Biofilm berfungsi sebagai pertahanan sel bakteri dari faktor lingkungan seperti kondisi dehidrasi, pemberian antibiotik, dan aktivitas bakteriofag. Biofilm terbentuk melalui proses penempelan sel bakteri oleh protein adhesin berupa fibronektin (FnBPA), fibrinogen serta kolagen pada sel tubuh inang. Sel bakteri yang telah menempel selanjutnya melakukan interaksi sel bakteri yang telah tertanam pada ekstrak biofilm. Strain Staphylococcus aureus yang
membentuk biofilm memiliki kemampuan yang lebih efisien menempel pada epitel sel inang (Larasati, 2020).
b) Fibronectin Binding Protein
Proses penempelan sel bakteri pada sel inang juga di tentukan oleh faktor virulensi berupa protein pengikat fibronektin (FnBPA) oleh protein A dan B (Larasati, 2020). Senyawa FnBPA inilah yang membuat sel bakteri dapat melakukan penempelan pada sel epitel pada inang.
c) Clumping Factor
Dinding sel bakteri Staphylococcus aureus tersusun dari peptidoglikan yang melakukan aktivitas fungsional berupa adhesin yang disebut cluming factor (faktor penggumpal). Senyawa dalam faktor penggumpaal ini ialah ClfA dan ClfB.
Senyawa tersebut berperan dalam mencegah terjadinya fagositosis dengan mengkamuflase bakteri Staphylococcus aureus dan melakukan aktivitas pengikatan fibrin di dalam sel inang (Larasati, 2020).
d) Hemolisin
Hemolisin merupakan komponen berupa enzim yang mengandung toksin dan dapat menyerang sel darah dengan melisiskan sel darah merah pada inang.
Hemolisin juga dapat menyerang bagian tubuh inang seperti sel endotel, sel epitel, monosit, sel T dan makrofag (Larasati, 2020). Beberapa bakteri menghasilkan hemolisin yang bersifat sitolitik pada sel eritrosit.
e) Panton Valentine Leukocidin (PVL)
Valentine Leukocidin merupakan komponen berupa toksin yang menyerang inang melalui proses melisiskan leukosit inang seperti ploymorphonu-clear leucocytes (PMNs) (Suryani, 2017). PVL melisiskan leukosit (neutrofil) dengan membentuk pori pori pada neutrofil (Kurniyanto, Widayat Joko, 2018).
f) Superantigen (SAg)
Bakteri Staphylococcus memiliki potensi dalam menghasilkan superantigen (SAg) yang berperan dalam mengaktifkan sel T. Sel T yang mengalami proliferase serta memicu produksi sitokin dapat mengakibatkan peradangan pada inang.
g) Protein A
Bakteri Staphylococcus aureus dinding selnya tersusun atas protein A (Spa).
Protein A menyandi gen Spa yang terbagi menjadi beberapa region yang memiliki
fungsi yang berbeda beda. Protein A berperan dalam mengikat Fcγ immunoglobulin G (IgG), serta mengganggu fagositosis inang.
Virulensi bakteri Staphylococcus aureus dapat menyebabkan infeksi disebabkan oleh beberapa faktor :
a) Protein pada bakteri seperti adesin melakukan peningkatan kolonisasi dalam jaringan hospes
b) Proses fagositosis terhalang dengan adanya faktor permukaan bakteri berupa kapsul dan protein A
c) Adanya protein invasin dalam Staphylococcus aureus seperti leukocidin yang membantu proses invasi penyebaran bakteri pada jaringan tubuh inang dan mencegah terjadinya fagositosis
d) Bakteri tersusun oleh protein yang bersifat toksin sebagai perusak membran.
Protein tersebut diantaranya leukocidin, leukotoxin, dan hemolysin) (Dewi, 2013).
e) Zat zat biokimia yang berperan dalam peningkatan pertahanan seperti katalase dan karotenoid.
f) Enzim yang dihasilkan bakteri seperti koagulase dapat mempengaruhi kerja suatu imunoglobin tertentu
g) Bakteri mengandung gen yang bersifat resisten atau kebal terhadap antimikroba tertentu
Infeksi bakteri Staphylococcus aureus terjadi melalui beberapa tahap diantaranya : 1. Melekatnya sel bakteri pada protein sel inang
Proses perlekatan sel bakteri pada sel inang melalui protein permukaan yang terkandung dalam sel bakteri. Enzim lipase yang dihasilkan bakteri Staphylococcus aureus berperan menguraikan lemak di permukaan kulit yang mana berkaitan dengan terjadinya abses pada kulit.
2. Invasi
invasi dilakukan oleh kelompok protein ekstraseluler yang dihasilkan oleh bakteri Staphylococcus aureus seperti α toksin, β toksin, leukotoksin, koagulase, eksotoksin, stafilokinase dan enzim lainnya (Husna, 2018).
3. Melawan sistem pertahanan sel inang
2.5 Penyakit Kulit
Penyakit kulit merupakan penyakit yang menyerang kulit manusia baik laki laki maupun perempuan dengan usia baik bayi, anak anak maupun orangtua.
Penyakit kulit dapat disebabkan oleh beberapa faktor diantaranya alergi, kondisi lingkungan seperti cuaca, dan infeksi karena jamur atau bakteri patogen (Suhartanto, 2017). Penyakit kulit memiliki beberapa jenis yang mana memiliki penyebab dan gejala yang berbeda beda. Faktor yang dapat mendukung penyakit kulit terbagi dua yaitu faktor internal dan eksternal. Faktor internal seperti kondisi kulit, sistem imun, kebersihan pribadi. Faktor eksternal diantaranya seperti kebersihan yang kurang terjaga pada tubuh maupun lingkungan dan adanya faktor abiotik lingkungan seperti suhu , kelembaban, letak geografis, kepadatan penduduk, patogenitas serta virulensi penyebab penyakit kulit (Malo, 2019). Penyakit kulit disebabkan oleh adanya patogenitas seperti infeksi bakteri dan infeksi jamur (Agustina et al., 2016)
Penyakit kulit yang disebabkan oleh infeksi jamur (dermatofitosis) memiliki hubungan erat dengan faktor lingkungan yang mendukung terjadinya infeksi (Hasbi, 2021). Mekanisme jamur penyebab penyakit kulit ialah dengan menginvasi inang contohnya pada manusia menyerang bagian tubuh yang mengandung keratin seperti kuku, kulit, maupun rambut. Penyakit kulit yang disebabkan oleh infeksi jamur diantaranya panu (Tinea versicolor, scabies (kudis), dan tinea (kurap). Jenis infeksi jamur tidak termasuk penyakit yan mengancam jiwa namun dapat bertahan lama jika muncul infeksi secara sekunder. Penyakit kulit yang disebabkan oleh infeksi bakteri terbagi menjadi beberapa kelompok seperti infeksi primer (pioderma), infeksi sekunder, manifestasi kulit dan kondisi reaktif (Hidayati, 2019).
Infeksi primer disebabkan oleh invasi bakteri spresies tunggal yang bersifat patogen pada inang seperti kulit normal. Infeksi primer jelas diketahui jenis bakteri penyebab penyakit. Contoh infeksi secara primer ialah furunkulosis dan impetigo.
Infeksi secara sekunder ialah apabila bakteri menyerang inang yang sebelumnya telah mengalami kerusakan seperti menyerang bagian (di sekitar) kulit yang bermasalah. Infeksi secara sekunder lebih susah untuk diketahui jenis bakteri utama penyebab penyakit. Jenis penyakit kulit yang banyak terjadi di masyarakat ialah :
a) Kurap
Penyakit kulit ini disebut juga tinea corporis. Penyakit ini secara umum dapat menyerang siapapun, namun paling banyak ditemukan pada anak-anak.
Kurap disebabkan oleh infeksi jamur yang menyerang daerah kepala, selangkangan, dan kaki (Malo, 2019). Jenis penyakit kurap diantaranya kurap pedis, kurap korparis, dan kurap krunis. Kurap pedis disebabkan adanya luka pada area jari kaki;
kurap korparis biasa menyerang kulit dengan membentuk gurat gurat gatal melingkar dan menonjol; kurap krunis menyerang kulit seperti pada area organ kelamin yang menyebar dan memerah (Budi, 2013).
b) Bisul
Penyakit kulit bisul disebabkan oleh bakteri Staphylococcus aureus.
Penyakit ini berupa benjolan yang berisi nanah dan umumnya tumbuh pada area kulit yang lembab. Penyebaran bisul yang diebabkan bakteri Staphylococcus aureus salah satunya melalui kelenjar keringat (Melizar, 2016).
c) Jerawat
Jerawat merupakan jenis penyakit kulit yang ditandai dengan munculnya bintik pada area tubuh manusia seperti wajah, punggung, dan dada. Penyakit kulit ini disebabkan adanya pori-pori kulit yang tersumbat sehingga terjadi nfeksi dan peradangan pada kulit dengan ditandai munculnya kantung kecil yang berisikan nanah (Kusbianto, 2017).
d) Kudis
Kudis atau biasa disebut scabies adalah jenis penyakit kulit yang menular.
Penyakit ini disebabkan oleh hewan tungau (Sarcoptes scabieivarian hominis).
penularan penyakit ini dapat melalui kontak secara langsung (Kristina, 2017).
2.6 Metode Kultur Bakteri
Kultur bakteri bekerja dengan prinsip berupa mengisolasi bakteri dengan proses menumbuhkan bakteri pada dua cara yakni secara in vivo dan in vitro. Kultur bakteri secara in vivo dilakukan dengan menumbuhkan bakteri yang berasal dari tubuh pasien (makhluk hidup yang terinfeksi) selanjutnya dilakukan secara in vitro dengan membawa ke laboratorium untuk menumbuhkan bakteri pada lingkungan tidak alami (artifisial). Isolasi bakteri dengan cara mengambil bakteri pada tempat asalnya atau pada suatu medium lalu bakteri ditumbuhkan pada medium buatan
dengan tujuan untuk memperoleh biakan murni (Sabbathini, 2017). Metode kultur bakteri diantaranya ialah metode cawan tuang, cawan gores dan cawan sebar.
Metode cawan tuang adalah untuk menyebarkan sel-sel bakteri tidak hanya pada permukaan medium agar saja melainkan sel terendam dalam medium (di dalam agar) sehingga terdapat sel yang tumbuh dipermukaan agar yang kaya O2 dan ada yang tumbuh di dalam agar dengan kandungan oksigen sedikit. Teknik ini memerlukan agar yang belum padat (>45oC) untuk dituang bersama suspensi bakteri ke dalam cawan petri lalu kemudian dihomogenkan dan dibiarkan memadat.
Metode ini digunakan untuk mendapatkan koloni murni dari suatu mikroorganisme (Angelia, 2020). Metode ini dilakukan setelah dilakukan pengenceran bertingkat.
Metode cawan gores bertujuan untuk mengisolasi mikroorganisme dari campurannya atau meremajakan kultur ke dalam medium baru. Cara gores umumnya digunakan untuk mengisolasi koloni mikroba pada medium-agar sehingga didapatkan koloni terpisah dan merupakan biakan murni. Metode ini biasa disebut metode streak plate yang bertujuan untuk mengetahui jenis bakteri dalam suatu sampel yang diuji (Nur, 2016). Metode cawan gores dibagi menjadi beberapa tipe : goresan sinambung, goresan T, goresan kuadran.
Metode cawan sebar memiliki teknik isolasi mikroba dengan cara menginokulasi kultur mikroba secara pulasan/sebaran di permukaan media agar yang telah memadat. Metode cawan sebar dilakukan pada media NA (Nutrient Agar) dengan cara menumbuhkan bakteri pada media tersebut. Metode ini dengan 2 cara yaitu pour plate culture dan stock culture. Perbedaan antara keduanya ialah pada pour plate culture mencampurkan ketika media masih cair sedangkan stock culture ketika telah memadat (Putriawati, 2018).
2.7 Uji Aktivitas Antibakteri 2.7.1 Metode Difusi
Prinsip kerja dari metode difusi ialah kemampuan difusi zat berupa antibakteri pada media padat yang terdapat mikroba uji yang telah di inokulasikan (Nurhayati, 2020). Metode difusi terbagi menjadi beberapa jenis diantaranya dengan cara cakram (disk), parit (ditch), dan sumuran. Difusi dengan cara ini menggunakan
kertas saring (paper disk) sebagai tempat untuk menampung atau menyerap zat antimikroba. Metode ini bertujuan untuk mengetahui ada tidaknya zona hambatan dengan melihat zona bening yang terbentuk di sekitar kertas cakram. Kelebihan pada cara dengan cakram ialah pada waktu pengujian yang relatif lebih cepat (Nurhayati, 2020).
Metode difusi dengan cara parit biasa digunakan pada media uji berupa krim atau salep. Caranya dengan membuat parit sepanjang diameter media agar yang telah diberi bakteri inokulasi selanjutnya meletakkan zat uji pada parit dengan diuji (inkubasi) pada suhu dan waktu tertentu untuk mengetahui ada tidaknya zona hambat yang terbentuk (Adila, 2017). Metode difusi dengan cara sumuran ialah dengan membuat lubang pada media yang berisikan bakteri yang telah diinokulasikan selanjutnya zat antibakteri dituangkan pada lubang tersebut dan diinkubasi pada suhu dan waktu tertentu untuk mengetahui ada tidaknya zona hambat yang terbentuk di sekitar lubang pada media. Pada cara sumuran terdapat kekurangan yakni rawan pecahnya media agar yang telah dilubangi pada lokasi sumuran yang dapat menghambat terserapnya zat antibakteri sehingga berpengaruh terhadap zona hambat yang yang akan terbentuk nantinya (Khusuma, 2019).
2.7.2 Metode Dilusi
Metode dilusi biasa disebut media pengenceran. Prinsip kerja metode dilusi ialah dengan penggunaan tabung reaksi sebagai tempat uji dengan diisi media yang berbentuk cair dengan bakteri uji yang telah di inokulasikan, selanjunya diberikan zat antibakteri dan di amati perubahan keruh tidaknya pada tabung reaksi (Etikasari, 2017). Metode dilusi terbagi menjadi dilusi padat dan dilusi cair (broth dilution test). Perbedaan dari dilusi padat dan cair terletak pada media yang digunakan (Fitriana, 2019). Metode dilusi agar cair dilakukan pada media sudah dilakukan pengenceran bertingkat berupa media cair dengan dengan suatu zat antibakteri dan menumbuhan bakteri uji pada media tersebut. Pada media yang tampak terlihat jernih menunjukkan angka KHM yang menunjukkan terdapat hambatan antibakteri pada media uji (Sariadji, 2019). Larutan uji pada kadar terkecil yang terlihat jernih tanpa adanya pertumbuhan mikroba uji ditetapkan sebagai KHM. Larutan yang ditetapkan sebagai KHM tersebut selanjutnya dikultur
ulang pada media cair tanpa penambahan mikroba uji ataupun agen antimikroba, di inkubasi 18-24 jam. Media cair yang tetap jernih setelah diinkubasi ditetapkan sebagai KBM (Pratiwi, 2008). Metode dilusi padat, (solid dilution test) serupa dengan metode dilusi cair namun menggunakan media padat (solid). Keuntungan metode ini adalah satu konsentrasi agen antimikroba yang diuji dapat digunakan untuk menguji beberapa mikroba uji (Etikasari, 2017)
2.8 Sumber Belajar
Sumber belajar (learning resources) merupakan komponen penting pada perangkat pembelajaran dan memiliki peran yang penting khususnya dalam meningkatkan kualitas pembelajaran. Sumber belajar meliputi sumber yang digunakan dalam pembelajaran seperti orang, data, media yang digunakan agar memudahkan siswa dalam kegiatan belajar (Samsinar et al., 2019). Sumber belajar terbagi menjadi beberapa kelompok diantaranya sumber belajar cetak seperti buku, sumber belajar non cetak seperti Power Point, sumber belajar berupa fasilitas seperti laboratorium, sumber belajar berupa kegiatan seperti study tour, maupun sumber belajar berupa tempat (lingkungan). Kualitas sumber belajar berpengaruh terhadap hasil belajar peserta didik (Abdullah, 2012). Pemenuhan kebutuhan belajar untuk mendapatkan hasil belajar yang baik perlu dilakukan pengembangan sumber belajar baik secara fungsional maupun sistematik.
Ruang lingkup sumber belajar ialah bahan, alat, orang, dan teknik. Sumber belajar di klasifikasikan menjadi beberapa jenis seperti sumber belajar berbasis audio, sumber belajar berbasis audio visual, sumber belajar berbasis visual, sumber belajar berbasis cetakan, dan sumber belajar berbasis komputer (Supriadi, 2017).
Sumber belajar dikelompokkan menjadi dua kelompok yaitu by design berupa sumber yang secara khusus dibuat dengan terarah dan formal, sebaliknya sumber belajar by utilization berupa sumber yang tidak khusus dibuat (Muhammad et al., 2011). Contoh sumber belajar by design diantaranya modul, buku, slide PPT, dan guru sesuai pata pelajaran; sedangkan sumber belajar by utilization seperti tempat outdoor yang berkaitan dengan pembelajaran (taman nasional, museum), media massa (Yeni, 2018). Sumber belajar dalam kegiatan pembelajaran harus dilakukan pengembangan. Pengembangan sumber belajar yang baik adalah berbasis peserta
didik dengan memegang prinsip efisiensi dan efektifitas (Jailani, 2016). Sumber belajar yang efektif artinya sumber belajar yang digunakan mudah dalam teknis penggunaannya sedangkan efisiensi artinya sumber belajar yang digunakan dalam pengembangan pembelajaran dapat menghemat waktu. Sumber belajar yang sudah sesuai dengan prinsip efisiensi dan efektivitas tentu dama kegiatan pembelajaran akan menghasilkan proses dan hasil pembelajaran yang lebih baik. Sumber belajar yang digunakan tentu harus dapat mengembangakan hasil beajar siswa baik pada pengembangan daya kritis siswa dengan memacu siswa untuk memahami materi serta memenuhi kebutuhan siswa.
Utami (2020) menyampaikan hasil penelitian dapat dimanfaatkan sebagai sumber belajar apabila sudah memenuhi syarat-syarat diantaranya :
1. Kesesuaian dengan tujuan belajar
Hasil penelitian yang akan di manfaatkan sebagai sumber belajar biologi sesuai dengan tujuan pembelajaran di sekolah
2. Kejelasan potensi
Kejelasan potensi berkaitan dengan adanya objek penelitian yang jelas dan terdapat permasalahan yang berhubungan dengan kajian biologi yang akan di teliti
3. Kejelasan informasi yang diungkap
Hasil penelitian berupa kejelasan data informasi sehingga dapat dikembangkan menjadi konsep maupun prinsip
4. Kejelasan sasaran materi
Kejelasan sasaran mengarah pada objek pemanfaatan hasil penelitian sebagai sumber belajar yang sesuai dengan materi ajar dalam pembelajaran
5. Kejelasan pedoman eksplorasi
Kejelasan pedoman eksplorasi berupa proses penelitian berupa prosedur kerja penelitian dapat digunakan sebagai sumber belajar
6. Kejelasan perolehan yang diharapkan
Kejelasan perolehan yang diharapkan meliputi pengembangan hasil pembelajaran berdasarkan aspek kognitif (pengetahuan), afektif (sikap), dan psikomotorik (keterampilan).
2.7 Kerangka Konseptual
Penyakit Kulit
Bakteri patogen
Pengobatan
Non Antibiotik Antibiotik
Eco-enzyme adalah hasil fermentasi limbah organik sayur, buah beserta molase dan air. Eco-enzyme mengandung Asam organik berupa asam asetat dan
laktat yang dapat masuk ke dalam mebran sel dan menurunkan pH sitoplasma yang membuat bakteri sulit
bertahan hidup (menghambat pertumbuhan bakteri)
Uji Aktivitas Antibakteri pada Bakteri Staphylococcus aureus
Dilusi Difusi cakram
Terbentuk zona hambat (lemah, kuat, sangat
kuat)
Faktor internal Faktor eksternal
Proses dan Hasil Penelitian digunakan sebagai Sumber belajar biologi Nilai KHM (Konsentrasi Hambat
Minimum) dan KBM (Konsentrasi Bunuh Minimum)
Abiotik (suhu, kelembaban)
Analisis data
Gambar 2.5 Kerangka Konseptual
Keterangan : = diteliti = tidak diteliti 2.8 Hipotesis Penelitian
Hipotesis penelitian ini adalah terdapat aktivitas antibakteri pada larutan eco-enzyme; Konsentrasi Hambat Minimum (KHM) ditunjukkan pada eco-enzyme konsentrasi 45%; Konsentrasi Bunuh Minimum (KBM) ditunjukkan pada eco- enzyme konsentrasi 30%.