• Tidak ada hasil yang ditemukan

BEDA PENGARUH CONTRACT RELAX STRETCHING DENGAN STRAIN-COUNTERSTRAIN TECHNIQUE TERHADAP PENURUNAN NYERI PADA PENDERITA SINDROME PIRIFORMIS.pdf

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BEDA PENGARUH CONTRACT RELAX STRETCHING DENGAN STRAIN-COUNTERSTRAIN TECHNIQUE TERHADAP PENURUNAN NYERI PADA PENDERITA SINDROME PIRIFORMIS.pdf"

Copied!
39
0
0

Teks penuh

(1)

BEDA PENG

BEDA PENGARUH

ARUH CONTRACT

CONTRACT RELAX STRETCHING

RELAX STRETCHING DENGAN

DENGAN

STRAIN-COUNTERSTRAIN TECHNIQUE TERHADAP

STRAIN-COUNTERSTRAIN TECHNIQUE TERHADAP

PENURUNAN NYERI PADA PENDERITA SINDROME

PENURUNAN NYERI PADA PENDERITA SINDROME

PIRIFORMIS DI RSUP. Dr. WAHIDIN

PIRIFORMIS DI RSUP. Dr. WAHIDIN

SUDIROHUSODO

SUDIROHUSODO

ABSTRAK  ABSTRAK 

R I S A L

R I S A L, Nim : PO. 714. 241. 092. 029. Skiripsi, Nim : PO. 714. 241. 092. 029. Skiripsi ““Beda Pengaruh Contract RelaxBeda Pengaruh Contract Relax Stretching dengan Strain

Stretching dengan Strain

 – 

 – 

Counterstrain Technique terhadap Penurunan Nyeri padaCounterstrain Technique terhadap Penurunan Nyeri pada Penderita Sindrome Piriformis di RSUP Dr. Wahidin Sudirohusodo Makassar 2010 Penderita Sindrome Piriformis di RSUP Dr. Wahidin Sudirohusodo Makassar 2010”,”, dibimbing oleh : Hendrik, sebagai pembimbing I

dibimbing oleh : Hendrik, sebagai pembimbing I dan Sudaryanto, sebagai pembimbing II.dan Sudaryanto, sebagai pembimbing II. Sindrome piriformis merupakan gangguan neuromuskular yang terjadi ketika saraf  Sindrome piriformis merupakan gangguan neuromuskular yang terjadi ketika saraf  sciatic terkompresi atau teriritasi oleh otot piriformis yang menyebabkan nyeri, kesemutan, sciatic terkompresi atau teriritasi oleh otot piriformis yang menyebabkan nyeri, kesemutan, dan mati rasa atau rasa kebas pada daerah bokong dan sepanjang perjalanan saraf sciatic ke dan mati rasa atau rasa kebas pada daerah bokong dan sepanjang perjalanan saraf sciatic ke  bawah yaitu kearah paha dan tun

 bawah yaitu kearah paha dan tungkai.gkai.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui beda pengaruh besarnya penurunan nyeri Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui beda pengaruh besarnya penurunan nyeri  pada penderita sindro

 pada penderita sindro me piriformis. Jenis pme piriformis. Jenis penelitian ini enelitian ini adalah quasi ekadalah quasi eksperimen dengan carasperimen dengan cara  pengumpulan data

 pengumpulan data melaui pre melaui pre test test dan pos dan pos test test two two group design, group design, kelompok I kelompok I menggunmenggunakanakan Contract Relax Stretching 

Contract Relax Stretching  dan kelompok II menggunakandan kelompok II menggunakan Strain-Counterstrain TechniqueStrain-Counterstrain Technique,,  populasi

 populasi dalam dalam penelitian penelitian ini ini adalah adalah pasien pasien di di RSUP RSUP Dr. Dr. Wahidin Wahidin Sudirohusodo Sudirohusodo Makassar Makassar  yang berjumlah 20 orang. Dalam penelitian ini pengambilan sampel menggunakan purposive yang berjumlah 20 orang. Dalam penelitian ini pengambilan sampel menggunakan purposive sampling dengan kriteria yang telah ditentukan, dengan jumlah sampel 20 orang.

sampling dengan kriteria yang telah ditentukan, dengan jumlah sampel 20 orang. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian Contract Relax Stretching Contract Relax Stretching  dapatdapat menghasilkan penurunan nyeri dengan rerata selisih 2,260 dan

menghasilkan penurunan nyeri dengan rerata selisih 2,260 dan Strain-CounterstrainStrain-Counterstrain Technique

Technique dapat menurunkan nyeri dengan rerata selisih 2,560. Sedangkan hasil Ujidapat menurunkan nyeri dengan rerata selisih 2,560. Sedangkan hasil Uji Wilcoxon pada kelompok perlakuan I diperoleh nilai p = 0,005 (p< 0,05) dan pada kelompok  Wilcoxon pada kelompok perlakuan I diperoleh nilai p = 0,005 (p< 0,05) dan pada kelompok   perlakuan

 perlakuan II II diperoleh diperoleh nilai nilai p p = = 0,005 0,005 (p< (p< 0,05) 0,05) yang yang berarti berarti bahwa bahwa pemberianpemberian Contract Contract   Relax Stretching 

 Relax Stretching  dengandengan Strain-Counterstrain TechniqueStrain-Counterstrain Technique dapat menghasilkan pengaruh yangdapat menghasilkan pengaruh yang  bermakna

 bermakna terhadap terhadap penurunan penurunan nyeri nyeri pada pada penderita penderita sindrome. sindrome. sedangkan sedangkan hasil hasil Uji Uji Mann- Mann-Whitney diperoleh nilai p = 0,025 (p< 0,05) dan dapat dilihat dari nilai rerata kedua Whitney diperoleh nilai p = 0,025 (p< 0,05) dan dapat dilihat dari nilai rerata kedua kelompok perlakuan yaitu 2,560 dari pada kelompok perlakuan I yaitu sebesar 2,260. Hal ini kelompok perlakuan yaitu 2,560 dari pada kelompok perlakuan I yaitu sebesar 2,260. Hal ini menunjukkan bahwa

menunjukkan bahwa Strain-Counterstrain TechniqueStrain-Counterstrain Technique dapat menghasilkan penurunan nyeridapat menghasilkan penurunan nyeri yang lebih besar secara bermakna dar

yang lebih besar secara bermakna daripadaipada Contract Relax Stretching Contract Relax Stretching .. Dengan demikian, pemberian

Dengan demikian, pemberian Strain-CounterstrainStrain-Counterstrain lebih efektif dalam menurunkanlebih efektif dalam menurunkan nyeri daripada

nyeri daripada Contract Relax Stretching Contract Relax Stretching .. Kata kunci :

Kata kunci : Contract Relax StretcContract Relax Stretching,hing, Strain-Counterstrain TechniqueStrain-Counterstrain Technique,, SindromeSindrome  Piriformis

(2)
(3)

PENDAHULUAN PENDAHULUAN

Upaya manusia di bidang Upaya manusia di bidang kesehatan pada era pembangunan ini kesehatan pada era pembangunan ini telah membawa perubahan konsep telah membawa perubahan konsep  pelayanan

 pelayanan kesehatan. kesehatan. Konsep Konsep pelayananpelayanan kesehatan dari berbagai disiplin ilmu kesehatan dari berbagai disiplin ilmu kesehatan diarahkan untuk meningkatkan kesehatan diarahkan untuk meningkatkan derajat kesehatan baik individu maupun derajat kesehatan baik individu maupun masyarakat. Disamping itu, masyarakat. Disamping itu,  permasalahan

 permasalahan kesehatan kesehatan saat saat ini ini telahtelah  bergeser

 bergeser dari dari pola pola penyakit penyakit menular menular keke  pola

 pola penyakit penyakit tidak tidak menular menular termasuk termasuk   penyaki

 penyakit t akibat akibat trauma trauma dan dan degenerasi.degenerasi. Salah satu penyakit yang banyak  Salah satu penyakit yang banyak  menyerang populasi usia produktif dan menyerang populasi usia produktif dan usia tua

usia tua adalah low back pain.adalah low back pain.

Gangguan nyeri pinggang dapat Gangguan nyeri pinggang dapat dialami oleh semua, tidak memandang dialami oleh semua, tidak memandang tua, muda wanita atau pria. Sebagian tua, muda wanita atau pria. Sebagian  besar

 besar dari dari nyeri nyeri pinggang pinggang disebabkandisebabkan karena otot-otot pada pinggang sedikit karena otot-otot pada pinggang sedikit lemah, sehingga pada saat melakukan lemah, sehingga pada saat melakukan gerakan yang kurang betul atau berada gerakan yang kurang betul atau berada  pada suatu

 pada suatu posisi yang cukup laposisi yang cukup lama dapatma dapat menimbulkan peregangan yang ditandai menimbulkan peregangan yang ditandai

Keluhan nyeri pinggang pernah Keluhan nyeri pinggang pernah dialami oleh 50-80% penduduk di dialami oleh 50-80% penduduk di negara-negara Industri (Mink 1986, negara-negara Industri (Mink 1986, Kramer 1981, Haenen et al 1984, RKZ Kramer 1981, Haenen et al 1984, RKZ Zieknhuis 1988) dan menghilangkan jam Zieknhuis 1988) dan menghilangkan jam kerja yang sangat besar. Penelitian di kerja yang sangat besar. Penelitian di Swedia (1971) menunjukkan bahwa Swedia (1971) menunjukkan bahwa karyawan atau pekerja yang menderita karyawan atau pekerja yang menderita nyeri pinggang mengalami kehilangan nyeri pinggang mengalami kehilangan 11 juta hari kerja pertahun. Ben et al 11 juta hari kerja pertahun. Ben et al (1975) menyatakan di Inggris kehilangan (1975) menyatakan di Inggris kehilangan 13,2 juta hari kerja pertahun bagi 13,2 juta hari kerja pertahun bagi karyawan yang mengalami nyeri karyawan yang mengalami nyeri  pinggang.

 pinggang. Haenen Haenen et et al al (dalam (dalam NugrohoNugroho D.S 1991) dari tahun 1975

D.S 1991) dari tahun 1975  –  –  19781978 melakukan penelitian terhadap penderita melakukan penelitian terhadap penderita nyeri pinggang dimana di dapatkan 51% nyeri pinggang dimana di dapatkan 51%  pria

 pria dan dan 57% 57% wanita wanita mengeluh mengeluh nyerinyeri  pinggang

 pinggang sedangkan sedangkan 50% 50% nya nya dalamdalam  beberapa

 beberapa waktu waktu tidak tidak bugar bugar untuk untuk   bekerja

 bekerja dan dan 8% 8% harus harus alih alih pekerjaanpekerjaan ((http://Piriformis_syndrome.htmhttp://Piriformis_syndrome.htm))..

Sekitar 70% dan 80% populasi di Sekitar 70% dan 80% populasi di dunia mengalami nyeri pinggang pada dunia mengalami nyeri pinggang pada suatu waktu selama masa kehidupannya, suatu waktu selama masa kehidupannya,

(4)

dan diantaranya terdapat subkelompok  dan diantaranya terdapat subkelompok   pasien

 pasien yang yang mengalami mengalami nyeri nyeri pinggangpinggang sekaligus nyeri sciatic. Salah satu sekaligus nyeri sciatic. Salah satu diagnosis yang dapat ditegakkan diagnosis yang dapat ditegakkan  berdasarkan evaluasi pada pasien sciatica  berdasarkan evaluasi pada pasien sciatica adalah sindrome piriformis (Sara adalah sindrome piriformis (Sara Douglas, 2002).

Douglas, 2002).

Sindrome piriformis umumnya Sindrome piriformis umumnya menimbulkan sciatic pain yang biasa menimbulkan sciatic pain yang biasa dikenal dengan “ischialgia”. Adan dikenal dengan “ischialgia”. Adanyaya kompresi pada saraf ischiadicus akibat kompresi pada saraf ischiadicus akibat gangguan pada otot piriformis (seperti gangguan pada otot piriformis (seperti spasme/tightness), strain atau sacroiliaca spasme/tightness), strain atau sacroiliaca dysfunction dapat menyebabkan dysfunction dapat menyebabkan munculnya sciatic pain.

munculnya sciatic pain.

Sindroma piriformis adalah Sindroma piriformis adalah gangguan neuromuskular yang terjadi gangguan neuromuskular yang terjadi karena saraf sciatica (nervus ischiadicus) karena saraf sciatica (nervus ischiadicus) terkompresi atau teriritasi oleh otot terkompresi atau teriritasi oleh otot  piriformis

 piriformis sehingga sehingga menimbulkan menimbulkan nyeri,nyeri, kesemutan, dan mati rasa pada area kesemutan, dan mati rasa pada area  bokong sampai

 bokong sampai perjalanan perjalanan saraf saraf sciatica.sciatica. Sekitar 15% dari populasi kasus sciatica Sekitar 15% dari populasi kasus sciatica (ischialgia) adalah sindroma piriformis (ischialgia) adalah sindroma piriformis (Wikipedia, 2010).

(Wikipedia, 2010).

Hasil observasi pada tanggal 26 Hasil observasi pada tanggal 26 april 2010 di RS.Wahidin Sudirohusodo april 2010 di RS.Wahidin Sudirohusodo Makassar dengan data dari bulan Januari Makassar dengan data dari bulan Januari  – 

 –  Maret 2010 terdapat 46 orang yangMaret 2010 terdapat 46 orang yang mengalami penyakit sindroma piriformis mengalami penyakit sindroma piriformis dari 666 pasien yang berkunjung. Hal ini dari 666 pasien yang berkunjung. Hal ini menunjukkan jumlah yang cukup besar  menunjukkan jumlah yang cukup besar   penderita

 penderita nyeri nyeri pinggang pinggang akibatakibat sindrome piriformis.

sindrome piriformis.

Berbagai modalitas dan teknik  Berbagai modalitas dan teknik  fisioterapi dapat diberikan pada kasus fisioterapi dapat diberikan pada kasus nyeri sciatic penderita sindrome nyeri sciatic penderita sindrome  piriformis

 piriformis yaitu yaitu Contract Contract RelaxRelax Stretching dengan Strain-Counterstrain Stretching dengan Strain-Counterstrain technique. Sugijanto (2009) menyatakan technique. Sugijanto (2009) menyatakan  bahwa

 bahwa teknik teknik Contract Contract Relax Relax StretchingStretching merupakan perpaduan teknik yang cocok  merupakan perpaduan teknik yang cocok  untuk mengatasi problematik spasme untuk mengatasi problematik spasme (tightness) pada otot. Efektifitas dari (tightness) pada otot. Efektifitas dari Contract Relax Stretching telah diteliti Contract Relax Stretching telah diteliti oleh Risal (2009) dengan hasil oleh Risal (2009) dengan hasil menunjukkan penurunan nyeri yang menunjukkan penurunan nyeri yang  bermakna

 bermakna pada pada penderita penderita sindromesindrome  piriformis.

 piriformis. Sedangkan Sedangkan teknik teknik Strain- Strain-Counterstrain (SCS) dapat memberikan Counterstrain (SCS) dapat memberikan

(5)

manfaat melalui pengaturan kembali secara automatik pada muscle spindle, yang dapat membantu melaporkan  panjang dan tonus otot. Proses ini hanya terjadi ketika muscle spindle dalam  posisi mengenakkan, dan biasanya menghasilkan penurunan tonus yang  berlebihan dan pelepasan spasme. Disamping itu, teknik Strain-Counterstrain masih jarang diaplikasikan dalam klinik tetapi aplikasi teknik  Contract Relax Stretching sering digunakan dalam kondisi sindrome  piriformis.

Berdasarkan uraian diatas penulis tertarik untuk meneliti apakah ada beda  pengaruh Contract Relax Stretching dengan Strain-Counterstrain Technique terhadap penurunan nyeri pada spasme otot piriformis di RS. Wahidin Sudirohusodo Makassar.

A. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas maka dapat dirumuskan masalah  penelitian ini yaitu “Apakah ada

 perbedaan pengaruh antara Contract Relax Stretching dengan Counterstrain Technique terhadap penurunan nyeri  pada Sindrome Piriformis ?”

B. Tujuan Penelitian 1. Tujuan umum

Untuk mengetahui perbedaan  pengaruh antara Contract Relax Stretching dengan Strain-Counterstrain Technique terhadap  penurunan nyeri pada sindrome  piriformis.

2. Tujuan khusus

a. Untuk mengetahui gambaran  penderita nyeri pinggang akibat sindrome piriformis di RSUP. Dr. Wahidin Sudirohusodo.

 b. Untuk mengetahui besarnya  pengaruh Countract Relax Stretching terhadap penurunan nyeri pada sindrome piriformis. c. Untuk mengetahui besarnya

 pengaruh Strain-Counterstrain Technique terhadap penurunan

(6)

d. Untuk mengetahui besarnya  perbedaan pengaruh antara Contract Relax Stretching dengan Strain-Counterstrain Technique terhadap penurunan nyeri pada sindrome piriformis.

TINJAUAN PUSTAKA

Piriformis syndrome adalah kondisi sebagai hasil ketika otot  piriformis menekan saraf sciatic dan mengiritasi serabut syaraf. Dan kondisi seperti ini akan menimbulkan nyeri dimulai dari daerah pantat dan

 berjalan lurus kebawah pada area  belakang kaki. Faktor  –  faktor yang menyebabkan piriformis sindrome antara lain : faktor abnormalitas  postur, gangguan saraf, gangguan sirkulasi darah dan faktor habitual

 postur yang jelek. Gejala yang sering terjadi adalah nyeri ketika duduk, menaiki tangga, merangkak, berjalan dan berlari. Syndrome ini tidak   begitu umum dan hanya terjadi

karena sciatica.( www.Laura Inverarity, D.O Modifikasi : Jowir.html)

Gambar 2.1. Piriformis Syndrome

Sindrome piriformis merupakan sekumpulan gejala-gejala termasuk nyeri pinggang atau nyeri  bokong yang menyebar ke tungkai. Masih ada perbedaan pendapat dari  para ahli, apakah sindrome piriformis merupakan kondisi yang jelas ada dan menyebabkan nyeri myofascial dari  paha, hipertropi, dan nyeri tekan pada otot piriformis, atau apakah sindrome  piriformis merupakan kondisi kompresi dari saraf sciatic yang menyebabkan nyeri neuropatik (Kelly Redden, 2009).

(7)

Sindrome piriformis merupakan gangguan neuromuskular  yang terjadi ketika saraf sciatic terkompresi atau teriritasi oleh otot  piriformis yang menyebabkan nyeri, kesemutan, dan mati rasa atau rasa kebas pada daerah bokong dan sepanjang perjalanan saraf sciatic ke  bawah yaitu kearah paha dan tungkai. Diagnosa kondisi ini sulit ditegakkan karena memiliki gambaran klinis yang mirip dengan kompresi akar saraf  spinal akibat herniasi diskus (Wikipedia, 2010).

Sindrome piriformis merupakan kompresi yang reversible  pada saraf sciatic oleh otot piriformis. Kondisi ini dapat menyebabkan nyeri yang dalam dan hebat pada daerah  bokong, hip, dan sciatica, dengan radiasi nyeri kearah paha, tungkai, kaki dan jari-jari kaki. Pada sindrome  piriformis, ketegangan atau spasme otot piriformis dapat menekan saraf  sciatic kearah anterior dan inferior.

Kondisi nyeri hebat yang dihasilkan dapat menjadi kronik dan menimbulkan kelemahan (Loren M. Fishman, 2009).

Kemampuan untuk 

menetapkan sindrome piriformis memerlukan pemahaman yang baik  tentang struktur dan fungsi otot  pirifomis serta hubungannya dengan

saraf sciatic.

1. Anatomi Biomekanik Piriformis

Otot piriformis berperan sebagai eksternal rotator hip, abduktor  hip yang lemah, dan fleksor hip yang lemah, serta memberikan stabilitas  postural selama ambulasi dan berdiri. Otot piriformis berorigo pada  permukaan anterior sacrum, biasanya  pada level vertebra S2  –  S4, atau mendekati kapsul sacroiliaca joint. Otot ini berinsersio pada bagian medial superior dari trochanter mayor  melalui tendon yang mengelilinginya dimana pada beberapa individu  bersatu dengan tendon obturator 

(8)

internus dan gemellus. Otot ini dipersarafi oleh saraf spinal S1 dan S2, dan kadang-kadang juga oleh L5 (Lori A. Boyajian et al, 2007).

Otot piriformis termasuk  group otot external rotator hip  bersama 5 otot lainnya yaitu obturator 

externus dan internus, gemellus superior dan inferior, dan quadratus femoris. Otot piriformis merupakan otot yang paling superior dari group otot ini dan sedikit diatas dari hip  joint (Nancy Hamilton and Kathryn

Luttgens, 2002).

Otot piriformis memiliki variasi hubungan dengan saraf sciatic. Sebanyak 96% populasi, memiliki saraf sciatic yang muncul pada foramen deep sciatic yang besar  sepanjang permukaan inferior dari otot piriformis. Namun terdapat 22%  populasi memiliki saraf sciatic yang memotong otot piriformis, split atau membelah otot piriformis, atau kedua-duanya sehingga dapat menjadi faktor 

resiko dari sindrome piriformis. Saraf  sciatic berjalan secara sempurna melalui muscle belly otot, atau saraf  tersebut berjalan membelah dengan satu cabang (biasanya bagian fibular) memotong otot piriformis dan cabang lainnya (biasanya bagian tibial)  berjalan kearah inferior atau superior 

sepanjang otot piriformis. Jarang saraf  sciatic muncul pada foramen sciatic yang besar sepanjang permukaan superior dari otot piriformis (Lori A. Boyajian et al, 2007).

Gambar 2.2

Hubungan Topografi Otot Piriformis dengan Saraf Sciatic

(9)

yang meninggalkan fleksus lumbosakralis dan menuju ke foramen infrapiriformis, kemudian keluar pada  permukaan belakang tungkai dipertengahan lipatan pantat. Saraf  sciatic mengandung saraf sensorik  yang berasal dari radiks posterior L4 –  S3. Pada spasium poplitea, saraf  sciatic bercabang dua dan jauh lebih ke distal tidak lagi menyandang nama saraf sciatic (saraf ischiadikus). Kedua cabang saraf tersebut adalah saraf peroneus komunis dan saraf  tibialis (Mahar Mardjono dan Priguna Sidharta, 2008).

2. Etiologi

Sindrome piriformis memiliki dua tipe yaitu primer sindrome  piriformis dan sekunder sindrome  piriformis. Primer sindrome  piriformis memiliki penyebab anatomik seperti saraf sciatic yang split terhadap otot piriformis atau  jalur saraf sciatic yang anomali. Sekunder sindrome piriformis terjadi

sebagai akibat dari adanya penyebab yang memicu kondisi ini seperti makrotrauma, mikrotrauma, efek  massa ischemic dan lokal iscemic. Diantara pasien-pasien sindrome  piriformis terdapat sedikitnya 15% kasus yang memiliki penyebab primer  (primer sindrome piriformis) (Lori A. Boyajian et al, 2007).

Sindrome piriformis paling sering disebabkan oleh makrotrauma  pada daerah bokong yang menyebabkan inflamasi pada jaringan lunak, spasme otot, atau kedua-duanya, yang menghasilkan kompresi saraf sciatic. Mikrotrauma dapat dihasilkan dari adanya overuse (penggunaan yang berlebihan) dari otot piriformis seperti berjalan atau  berlari jarak jauh atau oleh adanya kompresi langsung. Sebagai contoh kompresi langsung dapat dihasilkan dari repetitif trauma akibat duduk  diatas permukaan yang keras (Lori A. Boyajian et al, 2007).

(10)

Berbeda dengan pendapat Samir Mehta et al (2006), yang menjelaskan tentang penyebab primer  dan sekunder sindrome piriformis. Penyebab primer terjadi karena adanya kompresi langsung pada saraf  seperti trauma atau akibat faktor  intrinsik pada otot piriformis termasuk variasi anomali pada anatomi otot, hipertropi otot, inflamasi kronik otot, dan perubahan sekunder akibat trauma seperti adhesion. Penyebab sekunder  mencakup gejala-gejala akibat lesi massa pelvic, infeksi, dan pembuluh darah yang anomali atau ikatan serabut yang melintasi saraf, bursitis  pada tendon piriformis, inflamasi sacroiliaca joint, dan kemungkinan myofascial trigger point. Penyebab lainnya mencakup pseudoaneurysma  pada arteri gluteal inferior yang  berdekatan dengan otot piriformis, sindrome bilateral piriformis akibat duduk dalam waktu yang lama,

cerebral palsy yang menyebabkan hipertoni dan kontraktur otot  piriformis, total hip arthroplasty, dan

myositis ossificans. 3. Patologi Terapan

Pada saat otot piriformis memendek atau spasme akibat trauma atau overuse maka otot tersebut dapat menekan atau menjepit saraf sciatic yang berada diantara otot tersebut. Pada umumnya, kondisi ini dikenal sebagai “nerve entrapment atau entrapment neuropathi”. Kondisi khususnya dikenal sebagai sindrome  piriformis yang menunjukkan gejala-gejala sciatica yang bukan berasal dari akar saraf spinal dan/atau kompresi diskus spinal, tetapi melibatkan otot piriformis diatasnya. Sekitar 15  –  30% populasi memiliki saraf sciatic yang berjalan melalui atau memotong otot piriformis, lebih  banyak daripada lewat dibawahnya otot piriformis. Beberapa penelitian telah melaporkan bahwa orang-orang

(11)

dengan struktur anatomi tersebut memiliki insiden sindrome piriformis yang tinggi daripada populasi umum (Wikipedia, 2010).

Otot gluteus yang inaktif juga memfasilitasi perkembangan sindrome ini, karena otot piriformis  juga membantu ekstensi dan eksternal rotasi femur. Penyebab utama dari inaktivitas otot gluteus adalah reciproke inhibisi yang tidak  diinginkan akibat adanya overaktif  fleksor hip (iliopsoas dan rectus femoris). Ketidakseimbangan ini  biasanya terjadi karena fleksor hip telah dilatih dengan sangat tegang dan singkat, seperti ketika seseorang duduk dengan kedua hip fleksi (duduk  sepanjang hari saat bekerja). Hal ini dapat menghilangkan aktivasi gluteus, dan sinergis terhadap gluteus (hamstring, adduktor magnus, dan  piriformis) akan melakukan ekstra fungsi. Pada akhirnya, otot piriformis akan mengalami hipertropi yang akan

menghasilkan gejala khas. Overuse injury yang menghasilkan sindrome  piriformis dapat diakibatkan dari aktivitas dalam posisi duduk yang melibatkan penggunaan kedua tungkai secara berlebihan seperti saat rowing exercise dan bicycle exercise (Wikipedia, 2010).

Atlit lari, sepeda dan atlit lainnya yang melakukan aktivitas gerakan tungkai ke depan secara khusus peka terhadap perkembangan sindrome piriformis jika tidak  melakukan latihan stretching kearah lateral dan strengthening sebelum latihan inti/pertandingan. Ketika terjadi ketidakseimbangan oleh gerakan lateral kedua tungkai maka gerakan ke depan yang berulang-ulang dapat menyebabkan disproporsional antara kelemahan abduktor hip dan ketegangan adduktor 

hip. Dengan demikian,

disproporsional antara lemahnya abduktor hip (gluteus medius) yang

(12)

dikombinasikan dengan ketegangan otot adduktor hip, dapat menyebabkan otot piriformis memendek dan  berkontraksi dengan sangat kuat. Peningkatan diatas 40% pada ukuran  piriformis maka penjebakan saraf 

sciatic tidak dapat dihindari. Hal ini  berarti bahwa abduktor hip tidak 

dapat bekerja dengan baik dan strain dapat terjadi pada otot piriformis (Wikipedia, 2010).

Hasil dari spasme otot dapat menjebak tidak hanya saraf sciatic tetapi juga saraf pudendal. Saraf   pudendal berperan mengontrol

otot-otot bowels dan bladder. Gejala-gejala penjebakan saraf pudendal mencakup kesemutan dan rasa kebas  pada area lipatan paha, dan dapat menyebabkan inkontinensia urine dan fecal (Wikipedia, 2010).

Penyebab lainnya dari sindrome piriformis adalah kekakuan (stiffness) atau hipomobile dari sacroiliaca joint. Hal ini

menghasilkan perubahan kompensasi  pada pola berjalan yang kemudian menyebabkan gaya shear pada origo otot piriformis dan kemungkinan pada otot gluteus, sehingga tidak hanya terjadi malfungsi pada otot piriformis tetapi juga menghasilkan sindrome nyeri pinggang lainnya (Wikipedia, 2010). Adanya hiperlordosis lumbal dan kontraktur fleksi hip dapat meningkatkan strain pada otot  piriformis dan dapat memicu terjadinya perkembangan gejala-gejala tersebut. Perubahan pola  berjalan juga dapat menyebabkan hipertropi otot piriformis dan inflamasi kronik, yang dapat menyebabkan sindrome piriformis. Pasien-pasien dengan kelemahan otot abduktor hip atau perbedaan panjang tungkai khususnya dapat memicu sindrome ini. Selama fase menumpuh  berjalan, otot piriformis terulur saat hip menumpuh berat badan dalam  posisi dipertahankan internal rotasi.

(13)

Pada saat hip masuk fase mengayun maka otot piriformis akan  berkontraksi untuk menuntun eksternal rotasi hip. Karena otot  piriformis dibawah kondisi strain selama siklus berjalan dan lebih besar   peluang terjadinya hipertropi daripada

otot lainnya pada regio tersebut. Suatu abnormalitas pola berjalan yang dipertahankan pada hip yang terlibat dalam posisi peningkatan internal rotasi atau adduksi dapat meningkatkan strain otot bahkan lebih  besar (Samir Mehta, 2006).

Disamping itu, sindrome  piriformis dapat disebabkan oleh overpronasi kaki. Ketika kaki overpronasi maka dapat menyebabkan knee berputar kearah medial, yang kemudian menyebabkan otot  piriformis menjadi aktif untuk 

mencegah over-rotasi knee. Hal ini menyebabkan otot piriformis menjadi overuse dan oleh karenanya otot menjadi tegang, yang akhirnya

menyebabkan sindrome piriformis. Sindrome piriformis juga berkaitan dengan injury jatuh (Wikipedia, 2010).

4. Gambaran Klinis

Gejala-gejala yang paling sering terjadi pada sindrome  piriformis adalah meningkatnya nyeri setelah duduk dalam waktu 15  –  20 menit. Beberapa pasien mengeluh nyeri diatas otot piriformis (yaitu didaerah bokong), khususnya diatas  perlekatan otot di sacrum dan trochanter mayor bagian medial. Gejala-gejalanya dapat bersifat serangan tiba-tiba atau bertahap,  biasanya berkaitan dengan spasme otot piriformis atau kompresi saraf  sciatic. Pasien-pasien ini biasanya mengeluh sulit berjalan dan nyeri saat internal rotasi ipsilateral tungkai/hip, seperti yang terjadi selama posisi duduk cross-legg atau ambulasi (Lori A. Boyajian et al, 2007).

(14)

Spasme otot piriformis dan disfungsi sacral (seperti torsion) dapat menyebabkan stress pada ligamen sacrotuberous. Stress ini dapat menyebabkan kompresi pada saraf   pudendal atau meningkatkan stress

mekanikal pada tulang innominate sehingga potensial menyebabkan nyeri pada lipatan paha dan pelvic. Kompresi pada cabang fibular dari saraf sciatic seringkali menyebabkan nyeri atau paresthesia pada posterior   paha (Lori A. Boyajian et al, 2007).

Melalui mekanisme

kompensasi atau fasilitasi, sindrome  piriformis dapat memberikan kontribusi terhadap nyeri pada cervical, thoracal, dan lumbosacral, serta gangguan gastrointestinal dan nyeri kepala (Lori A. Boyajian et al, 2007).

Tanda-tanda klinis sindrome  piriformis berkaitan secara langsung atau secara tidak langsung terhadap spasme otot, menghasilkan kompresi

saraf atau kedua-duanya. Nyeri tekan saat palpasi ditemukan diatas otot  piriformis khususnya diatas  perlekatan otot di trochanter mayor. Beberapa pasien juga mengalami nyeri tekan saat palpasi di regio sacroiliaca joint, sulcus sciatic yang  besar, dan otot piriformis termasuk 

nyeri yang menjalar ke knee (Lori A. Boyajian et al, 2007).

Beberapa pasien akan teraba seperti massa sosis di daerah bokong karena adanya kontraksi otot  piriformis. Kontraksi otot piriformis  juga dapat menyebabkan eksternal rotasi ipsilateral pada hip. Ketika  pasien sindrome piriformis relaks dalam posisi tidur terlentang maka kaki ipsilateral akan mengalami eksternal rotasi. Hal ini menunjukkan adanya tanda positif sindrome  piriformis. Adanya usaha aktif untuk 

membawa kaki ke garis tengah tubuh akan menghasilkan nyeri. Beberapa  pasien dengan sindrome piriformis

(15)

 juga ditemukan positif Lasegue test, Freiberg test, atau Pace sign, dan  biasanya memperlihatkan antalgic gait. Tanda Lasegue adalah nyeri yang terlokalisir ketika tekanan diaplikasikan diatas otot piriformis dan tendonnya, khususnya ketika fleksi hip 90o disertai ekstensi knee. Tanda Freiberg adalah nyeri yang dialami selama gerak pasif internal rotasi hip. Kemudian tanda Pace muncul saat FAIR (fleksi, adduksi, dan internal rotasi) yang melibatkan gejala-gejala sciatic. FAIR test dilakukan dalam posisi tidur miring dengan tungkai yang terlibat di sisi atas, kemudian fleksikan hip 60o, dan fleksi knee 60o  –  90o. Sambil menstabilisasi hip, pemeriksa melakukan internal rotasi dan adduksi hip dengan mengaplikasikan tekanan ke bawah pada knee (Lori A. Boyajian et al, 2007).

Saraf plexus sacral yang menginnervasi otot tensor fascia latae,

gluteus minimus, gluteus maximus, adductor magnus, quadratus femoris, dan obturator eksternus juga akan teriritasi oleh otot piriformis. Kelemahan otot ipsilateral juga dapat terjadi jika sindrome piriformis disebabkan oleh anomali anatomik  atau jika sindrome piriformis dalam kondisi kronik. Pada beberapa kasus, lingkup gerak sendi juga mengalami  penurunan pada internal rotasi hip ipsilateral (Lori A. Boyajian et al, 2007).

A. Tinjauan Tentang Modalitas Fisioterapi

1. Contract Relax Stretching a. Pengertian

Contract Relax Stretching merupakan suatu teknik yang menggunakan kontraksi isometrik  yang optimal dari kelompok agonis yang memendek, dilanjutkan

(16)

Menurut Susan S. Adler  (2000), Contract Relax adalah kontraksi resisted isotonik pada otot yang spasme kemudian diikuti dengan relaksasi dan dilakukan gerakan kearah peningkatan ROM. Sedangkan Stretching adalah istilah umum yang digunakan untuk menggambarkan suatu manuver terapeutik yang didesain untuk memanjangkan struktur   jaringan lunak yang memendek  secara patologis. (Carolyn Kisner, 1999). Jadi Contract Relax Stretching adalah suatu teknik  terapi latihan yang diawali dengan kontraksi resisted isotonik pada otot yang spasme kemudian diikuti dengan relaksasi, dan akhirnya diaplikasikan stretching untuk  mengulur otot yang spasme.

 b. Prinsip Fisiologi

1) Autogenic inhibisi (Inverse Stretch Refleks)

Ketika suatu otot  berkontraksi sangat kuat, terutama jika kategangan menjadi berlebihan, maka secara tiba-tiba kontraksi menjadi terhenti dan otot relaksasi. Ralaksasi ini sebagai respon terhadap ketegangan yang sangat kuat, yang dinamakan dengan inverse stretch refleks atau autogenic inhibisi dan menyesuaikan

dengan hukum kedua

Sherrington, yaitu jika otot mendapat stimulasi untuk   berkontraksi, maka otot

antagonis menerima impuls untuk relaksasi.

2) Inhibisi Reciprokal

Kita ketahui bahwa didalam medula spinalis terdapat inhibisi prosinaptik. Serabut saraf afferant Ia dari muscle spindel otot berjalan ke medula spinalis dan bersinaps

(17)

dengan saraf motorik dari otot yang sama (alpha motoneuron) serta bersinaps dengan interneuron inhibisi medula spinalis yang kemudian  bersinaps dengan saraf motorik 

dari otot antagonis.

Jika ada impuls dari muscle spindel yang dibawa oleh serabut saraf Ia, maka impuls inhibisi postsinaptik  melalui interneuron inhibisi medula spinalis neuron-neuron motorik yang mempersarafi otot antagonis. Kemudian impuls tersebut memfasilitasi neuron motoril dari otot yang sama (agonis), sehingga otot tersebut  berkontraksi, sehingga otot antagonis mengalami relaksasi. Fenomena ini disebut inhibisi dan fasilitasi reciprokal, karena adanya persarafan dalam medula spinalis.

3) Respon Mekanikal dan  Neurofisiologi Otot Terhadap

Stretch

Respon mekanikal otot

terhadap peregangan

 bergantung pada myofibir dan sarkomer otot. Setiap otot tersusun dari beberapa serabut otot. Satu serabut otot terdiri atas beberapa myofibril. Serabut myofibril tersusun dari beberapa sarkomer yang terletak sejajar  dengan serabut otot. Sarkomer  merupakan unikm kontraktil dari myofibril dan terdiri atas filamen aktin dan myosin yang saling overlepping. Sarkomer  memberikan kemampuan pada otot untuk berkontraksi dan relaksasi, serta mempunyai kemampuan elastisitas jika diregangkan.

Ketika otot secara pasif  diregangkan / diulur, maka  pemanjangan awal terjadi pada

(18)

rangkaian komponen elastis (sarkomer) dan tension meningkat secara drastis. Kemudian ketika gaya regangan dilepaskan maka setiap sarkomer akan kembali ke  posisi resting lenght. Kecenderungan otot untuk  kembali ke posisi resting lenght setelah peregangan disebut dengan elastisitas.

Respon neurofisiologi otot terhadap peregangan  bergantung pada struktur 

muscle spindle dan golgi tendon organ. Muscle spindle merupakan organ sensorik  utama dari otot dan tersusun dari serabut-serabut intrafusal yang terletak paralel dengan serabut ekstrafusal. Muscle spindel berfungsi untuk  memonitor kecepatan dan durasi regangan/ penguluran serta rasa terhadap perubahan panjang

otot. Serabut muscle spindle dapat merasakan cepatnya suatu otot terulur. Serabut saraf  aferent primer (tipe Ia) dan sekunder (tipe II) muncul dari muscle spindle dan bersinaps dengan alpha atau gamma motoneuron secara berurutan, dan memfasilitasi kontraksi dari serabut ekstrafusal dan interfusal. Golgi tendon organ terletak dekat dengan musculotendineus juction, membungkus disekitar kedua ujung serabut ekstrafusal dan sensitif terhadap ketegangan (tension) pada otot yang disebabkan oleh peregangan  pasif atau kontraksi otot secara aktif. Golgi tedon organ merupakan mekanisme proteksi yang menginhibisi kontraksi otot yang kuat. Golgi tendon organ mempunyai ambang rangsang yang sangat rendah

(19)

untuk titik letup ( firing impuls ) setelah kontraksi otot aktif dan mempunyai ambang rangsang yang tinggi untuk titik letup (firing impuls) dengan  peregangan pasif.

Ketika otot diregang / diulur dengan sangat cepat, maka serabut efferent primer  meregang alpha motoneuron  pada medula spinalis dan memfasilitasi kontraksi serabut ekstrafusal, yaitu meningkatkan ketegangan (tension) pada otot. Hal ini dinamakan dengan monosynaptik refleks. Tetapi  jika peregangan dilakukan secara lambat pada otot, maka golgi tendon organ terstimulasi dan menginhibisi ketegangan (tension) pada otot sehingga memberikan pemanjangan pada komponen elastis otot yang  paralel (sarkomer).

c. Indikasi dan Kontraindikasi

Adapun indikasi Contract Relax Stretching adalah :

1) Ketika Range Of Motion (ROM) atau jarak gerak sendi terbatas karena adanya kontraktur adhesive dan terbentuknya scar tissue yang memicu pemendekan pada  jaringan connective tissue dan

kulit.

2) Ketika jarak gerak sendi terbatas karena adanya spasme atau tightness pada otot-otot disekitar sendi.

Sedangkan tujuan Contract Relax Stretching adalah :

1) Menurunkan spasme atau tightness pada otot

2) Meningkatkan ROM sendi

Adapun kontraindikasi Contract Relax Stretching adalah :

1) Fraktur 

(20)

3) Peradangan atau infeksi akut disekitar sendi

4) Trauma akut pada otot. d. Prosedur Pelaksanaan

1) Posisi pasien : tidur terlentang 2) Posisi terapis : disamping

 pasien pada sisi kontralateral dari tungkai yang terlibat, kemudian fleksi dan adduksikan hip disertai internal rotasi hip dengan menggunakan kedua tangan terapis.

3) Pelaksanaan : dalam posisi otot  piriformis terulur maksimal (fleksi, adduksi dan internal rotasi hip yang maksimal), kontraksikan otot piriformis dengan menyuruh pasien menggerakkan kearah abduksi sedikit eksternal rotasi hip melawan tangan terapis, kemudian pasien diminta relaks. Setelah relaks, kedua tangan terapis melakukan penguluran maksimal pada otot piriformis

sambil menekan knee kearah  bawah.

2. Strain – Counterstrain (SCS)

Jones (1981) telah menunjukkan bahwa titik-titik nyeri hebat sangat berhubungan dengan strain/sprain pada sendi atau otot, kronik atau akut, dan dapat digunakan sebagai monitor. Tekanan yang diaplikasikan pada titik-titik nyeri hebat tersebut diberikan pada saat tubuh atau bagian tubuh diposisikan secara hati-hati dalam suatu metode untuk melepaskan atau menurunkan nyeri yang dirasakan pada titik   palpasi.

Ketika posisi yang

mengenakkan dapat diperoleh (dikenal sebagai “fine tuning” dalam SCS), dimana nyeri dapat menghilang dari monitoring palpasi pada tender   point, maka jaringan yang dirasakan

terstress akan menjadi paling relaks. Dalam pengalaman klinis menunjukkan bahwa metode ini dapat

(21)

memberikan rasa lebih enak saat  palpasi daripada saat terasa tegang.

SCS dapat memberikan manfaat melalui pengaturan kembali secara automatik pada muscle spindle, yang dapat membantu melaporkan panjang dan tonus otot. Proses ini hanya terjadi ketika muscle spindle dalam  posisi mengenakkan, dan biasanya menghasilkan penurunan tonus yang  berlebihan dan pelepasan spasme. Ketika memposisikan bagian tubuh maka rasa enak atau nyaman perlu diperhatikan pada saat jaringan mencapai posisi dimana nyeri dapat hilang dari titik palpasi.

Pemberian posisi yang nyaman atau enak dipertahankan selama 90  –  120 detik sehingga secara spontan seringkali terjadi penurunan nyeri. Jones (1977) menjelaskan bahwa teknik ini bergantung pada kemampuan untuk menghasilkan relaksasi secara refleks pada otot

tegang yang membatasi gerakan sendi.

Ketika sendi secara pasif  diletakkan dalam posisi tertentu, maka menghasilkan inhibisi stimulus nyeri hebat yang kemudian akan meningkatkan lingkup gerak sendi secara signifikan. Ada 2 mekanisme SCS yang terlibat dalam resolusi spasme atau hipertonus otot yaitu neurologis resetting (pengaturan kembali sistem neurologis) yang melibatkan muscle spindle dan aliran sirkulasi dari jaringan iskemik  sebelumnya.

Tujuan akhir SCS pada pasien sindrome piriformis adalah untuk  memulihkan lingkup gerak normal dan menurunkan nyeri. Tujuan ini dapat dicapai dengan menurunkan spasme otot piriformis.

Ada tiga lokasi tender point dalam aplikasi SCS yaitu bidang tengah sacrum, otot piriformis, dan trochanter posteromedial. Posisi

(22)

 pasien dalam aplikasi SCS adalah tidur tengkurap dengan sisi tubuh yang gangguan di pinggir bed. Pemberian teknik SCS yaitu membawa tungkai yang terganggu disamping luar bed dengan memposisikan kearah fleksi hip dan knee, disertai dengan abduksi dan eksternal rotasi. Kemudian, diberikan kompresi melalui axis longitudinal femur kearah sciatic notch. Gaya kompresi diberikan selama 90 detik   pada saat melakukan SCS.

B. Tinjauan Tentang Pengukuran Nyeri

Defenisi nyeri yang dianggap  paling memadai dan paling banyak 

dialami di seluruh dunia adalah yang ditemukan oleh “The Internasional   Association For Study Of Pain (IASP)”

yang menyebutkan nyeri adalah  pengalaman sensorik dan emosional yang tidak nyaman, yang berkaitan dengan kerusakan jaringan atau  berpotensial merusak jaringan atau

menyatakan istilah kerusakan tersebut.  Nyeri adalah perasaan majemuk  yang bersifat subjektif yang disertai  perasaan tidak enak, panas atau dingin, rasa tekan, ngilu, linu, pegal sebagai akibat dari adanya stimulasi ataupun trauma dari dalam dan luar tubuh. Hal ini mengakibatkan terangsangnya nociceptor pada saraf perifer diatas nilai ambang rangsang, yang diteruskan ke kortex cerebri kemudian diterjemahkan kedalam bentuk nyeri dengan bentuk dan kualitas ransangan yang berbeda (Priguna Sidharta, 1983).

(23)

Secara sederhana telah dipahami  bahwa seseorang merasa nyeri bila terdapat rangsangan nyeri (noxious)  pada reseptor nyeri di perifer, yang dihantarkan ke sistem saraf pusat dan  berakhir di area somatto sensorik kortek 

serebri (area post sentralis). Namun dengan berbagai penelitian selanjutnya didapatkan konsep nyeri tidaklah sederhana yang dibayangkan.

Perasaan nyeri tergantung pada  pengaktifan serangkaian sel-sel saraf, yang meliputi reseptor nyeri aferen  primer, sel-sel saraf penghubung (inter 

neuron) di medulla spinalis dan batang otak, sel-sel traktus asenden, sel-sel saraf  di thalamus dan sel-sel saraf di kortek  serebri. Bermacam-macam reseptor  nyeri primer ditemukan dan memberikan  persarafan di kulit, sendi-sendi, otot dan

alat-alat- dalam.

Pengaktifan reseptor nyeri yang  berbeda menghasilkan kualitas nyeri tertentu. sel-sel saraf nyeri pada kornu dorsalis medulla spinalis berperan pada

reflek nyeri atau ikut mengatur   pengaktifan sel-sel traktus asenden.

Sel-sel saraf dari traktus spinotalamikus membantu memberi tanda perasaan nyeri, sedangkan traktus lainnya lebih  berperan pada pengaktifan sistem kontrol desenden atau pada timbulnya mekanisme motivasi-afektif.

1. Komponen Nyeri

a.  Nosisepsi (Nociception)

 Nosisepsi merupakan deteksi kerusakan jaringan oleh tranduksi khusus pada serabut saraf A  –  delta dan C. Tranduksi ini dapat dikelirukan oleh adanya proses inflamasi atau perubahan saraf  lingkungan di dekatnya.

 b. Persepsi Nyeri (Pain Perception). Persepsi nyeri muncul umumnya dipicu oleh rangsang nyeri, seperti luka atau penyakit. Nyeri juga dapat ditimbulkan oleh lesi pada sistem saraf atau penyakit. Banyak  tenaga medis atau pasien tidak  menyadari bahwa nyeri dapat muncul tanpa aktivitas nosisepsi. Nyeri yang

(24)

kurang berespon dengan pemberian analgetik dibandingkan nyeri yang diakibatkan oleh kerusakan jaringan. c. Penderitaan (Suffering)

Penderitaan (Suffering) merupakan respon negatif yang dipicu oleh nyeri dan juga oleh ketakutan, kecemasan stress, hilangnya sesuatu yang dicintai dan keadaan-keadaan psikologis lain. Cassel menyatakan, penderitaan muncul bila keutuhan fisik dan psikis dari seseorang yang terancam.

d. Tingkah laku nyeri (Pain Behaviour) Tingkah aku nyeri dapat muncul atau tidak pada individu yang mengalami kerusakan jaringan dan merupakan akibat dari nyeri dan  penderitaan. Contoh dari tingkah laku nyeri tersebut adalah berteriak, meringis, pincang, berbaring, mencari pertolongan, kesehatan,  pincang, berbaring, mencari  pertolongan kesehatan, menolak   bekerja dan sebagainya. Seluruh

tingkah laku itu adalah nyata sebagai respon nyeri dan mungkin

dipengaruhi oleh lingkungan nyata atau diharapkan.

2. Tipe Nyeri Pinggang

Ada 2 tipe nyeri pinggang yaitu nyeri radikular dan nyeri non-radikular  (atau nyeri spondylogenik).

a.  Nyeri radikular disebabkan oleh gangguan pada saraf spinal dan akar  saraf khususnya akibat dari kompresi mekanikal, sebagai contoh sciatica (ischialgia) (lihat gambar).  Nyeri radikular sangat jarang terjadi  pada daerah thoracal. Jika nyeri tersebut diduga muncul secara radikular tetapi dalam kenyataannya  bukan disebabkan oleh tekanan pada akar saraf melainkan akibat reaksi refleksogenik, maka nyeri tersebut dikenal sebagai pseudoradikular.  b.  Nyeri non-radikular atau

spondylogenik berasal dari komponen-komponen vertebra (spondyles) yang mencakup sendi-sendi, diskus intervertebral, ligamen

(25)

nyeri spondylogenik adalah referred  pain yang dirasakan pada area distal atau jauh dari sumber nyeri yang sebenarnya, seperti nyeri yang dirasakan pada regio pantat (regio glutea) yang bersumber dari gangguan pada sendi apophyseal (facet joint).

3. Pengukuran Nyeri

Untuk mengukur tingkat nyeri digunakan Skala nyeri Visual Analogue Scale (VAS) adalah  pengukuran derajat nyeri dengan cara menunjuk satu titik pada garis skala nyeri (0 - 10 cm). Satu ujung menunjuk tidak nyeri dan ujung yang lain menunjukkan nyeri berat tidak  terkontrol. Panjang garis mulai dari titik tidak nyeri sampai titik yang ditunjuk menunjukkan besarnya nyeri.

Kriteria :

0 - 0,9 : Tidak nyeri

1 - 3,9 : Nyeri ringan : secara obyektif klien dapat berkomunikasi dengan baik.

4 - 6,9 : Nyeri sedang : Secara obyektif klien mendesis, menyeringai, dapat menunjukkan lokasi nyeri, dapat mendeskripsikannya, dapat mengikuti perintah dengan baik.

7 - 9,9 : Nyeri berat (terkontrol) : secara obyektif klien terkadang tidak dapat mengikuti perintah tapi masih respon terhadap

tindakan, dapat

menunjukkan lokasi nyeri,

tidak dapat

mendeskripsikannya, tidak  dapat diatasi dengan alih  posisi nafas panjang dan

distraksi

4.

10 : Nyeri sangat berat (tidak  terkontrol) : Pasien sudah tidak mampu lagi berkomunikasi, memukul.

(26)

KERANGKA KONSEP

Sindrome Piriformis merupakan neuritis perifer dari saraf sciatic yang disebabkan oleh kondisi abnormal dari otot piriformis, juga sebagai kompresi yang reversible pada saraf sciatic oleh otot piriformis. Sindrome piriformis dapat bersifat primer dan sekunder. Primer sindrome piriformis umumnya  berkaitan dengan penyebab anatomik 

yaitu jalur saraf sciatic yang anomali, dan trauma langsung. Sekunder  sindrome piriformis umumnya berkaitan dengan mikrotrauma (overuse pada otot  piriformis), inflamasi sacroiliaca joint,  bursitis pada tendon piriformis, da n local ischemic. Sindrome piriformis ini menghasilkan gejala nyeri pada bokong dan hip, namun jika terjadi entrapment  pada saraf sciatic maka timbul nyeri menjalar sampai dorsal paha dan tungkai. Gejala ini dapat menghambat fungsional berjalan dimana pasien tidak   bisa berdiri dan berjalan lama, serta t idak   bisa duduk bersila melantai.

Sindrome piriformis dapat ditangani secara komprehensif dengan modalitas fisioterapi. Pemberian Contract Relax Stretching dan Mobilisasi Saraf dapat menurunkan nyeri dan spasme otot piriformis sehingga secara langsung dapat menurunkan nyeri sciatic karena menurunnya iritasi pada saraf  sciatic. Begitu pula,

A. Variabel Penelitian

1. Variabel Bebas (Independen) : a. Contract Relax Stretching  b. Counterstrain Teknique

2. Variabel Terikat (Dependen) : Perubahan nyeri pada sindrome  piriformis

B. Definisi Operasional

Berdasarkan variabel penelitian diatas, maka akan dijelaskan definisi operasionalnya sebagai berikut :

1. Sindrome Piriformis merupakan neuritis perifer dari saraf sciatic yang disebabkan oleh kondisi abnormal dari otot piriformis, juga sebagai

(27)

sciatic oleh otot piriformis. Sindrome  piriformis dapat bersifat primer dan sekunder. Primer sindrome piriformis umumnya berkaitan dengan penyebab anatomik yaitu jalur saraf sciatic yang anomali, dan trauma langsung. Sekunder sindrome piriformis umumnya berkaitan dengan mikrotrauma (overuse pada otot  piriformis), inflamasi sacroiliaca  joint, bursitis pada tendon piriformis,

dan local ischemic.

2. Contract Relax Stretching merupakan suatu teknik yang menggunakan kontraksi isometrik yang optimal dari kelompok agonis yang memendek, dilanjutkan dengan relaksasi kemudian diulur.

Prosedur Pelaksanaan

4) Posisi pasien : tidur terlentang 5) Posisi terapis : disamping

 pasien pada sisi kontralateral dari tungkai yang terlibat, kemudian fleksi dan adduksikan

hip disertai internal rotasi hip dengan menggunakan kedua tangan terapis.

Pelaksanaan : dalam posisi otot  piriformis terulur maksimal (fleksi, adduksi dan internal rotasi hip yang maksimal), kontraksikan otot  piriformis dengan menyuruh pasien menggerakkan kearah abduksi sedikit eksternal rotasi hip melawan tangan terapis, kemudian pasien diminta relaks. Setelah relaks, kedua tangan terapis melakukan penguluran maksimal pada otot piriformis sambil menekan knee kearah bawah.

3. Untuk mengetahui nyeri pada  piriformis syndrome digunakan alat ukur Skala nyeri Visual Analogue Scale (VAS).

METODE PENELITIAN A. Jenis Penilitian

Jenis penelitian yang di gunakan dalam penelitian ini adalah quasi experiment dengan menggunakan desain

(28)

 penelitian pretest - posttest two group design Desain penelitian : O1 X1 O2  Kelompok Perlakuan I O11 X2 O21 Kelompok Perlakuan II Keterangan : O1 : Pre test

X1 : Pemberian Contract Relax Stretching

O2 : Post test O11 : Pre test

X2 : Pemberian Strain-Counterstrain O21 : Post test

B. Tempat Dan waktu penelitian

Tempat penelitian di lakukan di Poliklinik Fisioterapi RS. Wahidin Sudirohusodo, selama 2 bulan yaitu  bulan juni – agustus 2010.

C. Populasi Dan Sampel 1. Populasi penelitian

Populasi penelitian adalah semua pasien nyeri pinggang bawah

Fisioterapi RS. Wahidin Sudirohusodo Makassar.

2. Sampel penelitian

Sampel penelitian adalah semua  pasien sindrome piriformis yang memenuhi kriteria inklusif yang ditetapkan oleh peneliti sebanyak 20 orang

3. Teknik Pengambilan Sampel

Pengambilan sampel di lakukan dengan teknik purposive sampling dengan kriteria inklusif yang ditetapkan oleh peneliti. Jumlah sampel yang diperoleh dibagi kedalam 2 kelompok sampel yaitu kelompok perlakuan I sebanyak 10 orang, dan kelompok perlakuan II sebanyak 10 orang. Adapun kriteria inklusifnya adalah sebagai berikut : a. Pasien nyeri pinggang bawah

akibat sindrome piriformis

 b. Tidak menunjukkan gejala-gejala HNP

c. Tidak memiliki riwayat fraktur  d. Berusia 20-60 tahun

(29)

e. Bersedia menjadi responden.

D. Hipotesis Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah  penelitian ini maka hipotesis penelitian

adalah:

Ada perbedaan pengaruh antara Contract Relax Stretching dengan Strain-Counterstain terhadap perubahan nyeri  pada penderita sindrome piriformis.

E. Teknik Pengumpulan Data

Pengumpulan data melalui data  primer yaitu peneliti langsung mengambil data dengan cara mengukur   perubahan nyeri pada setiap sampel

dengan menggunakan Visual Analogue Scale (data pre test dan post tes).

F. Analisa dan pengolahan data

Teknik pengolahan dan analisa data menggunakan bantuan program SPSS (Statistical Product For Service Solution) dengan Uji Wilcoxon dan Uji Mann-Whitney.

G. Instrumen Penelitian

1. Visual Analogue Scale (VAS) 2. Blanko Pencatatan Nyeri 3. Alat tulis menulis

H. Prosedur Penelitian

Pada tahap awal, peneliti menyeleksi populasi yang berkunjung di Poliklinik Fisioterapi RS. Wahidin Sudirohusodo dan berdasarkan kriteria inklusif maka diperoleh jumlah sampel. Jumlah sampel yang didapatkan kemudian diminta untuk bersedia menjadi responden dengan menandatangani surat pernyataan kesediaan menjadi responden.

Pada tahap pelaksanaan, setiap sampel diukur intensitas nyerinya dengan alat Visual Analogue Scale sebagai data pre test. Kemudian responden yang masuk kedalam kelompok perlakuan I diberikan  perlakuan Contract Relax Stretching dosis yang ditetapkan, sedangkan responden yang masuk kedalam kelompok perlakuan II diberikan

(30)

yang ditetapkan. Setelah itu, pada akhir   penelitian diukur kembali intensitas

nyerinya dengan Visual Analogue Scale sebagai data post test.

Data yang diperoleh kemudian dianalisis dengan menggunakan Uji Wilcoxon dan Uji Mann-Whitney kemudian dipaparkan dalam bentuk tabel dan narasi.

HASIL PENELITIAN DAN

PEMBAHASAN

1. Karakteristik Responden

Populasi dalam penelitian ini adalah semua pasien yang menderita sindrome piriformis yang datang  berobat di Poli Fisioterapi RSUP. Dr. Wahidin Sudirohusodo Makassar. Berdasarkan kriteria inklusi untuk   pangambilan responden maka

diperoleh jumlah responde sebanyak  20 orang.

Jumlah responden tersebut dikelompokkan dalam 2 kelompok  responden yaitu kelompok I sebanyak  10 orang dengan teknik  Contract 

 Relax Stretching sedangkan keompok  II sebanyak 10 orang dengan teknik  Strain-Counterstran. Teknik Contract   Relax Stretching  diberikan sebanyak  12 kali selama 6 minggu, sedangkan Strain-Counterstrain diberikan sebanyak 12 kali selama 6 minggu. Alat ukur yang digunakan adalah Visual Analogue Scale (VAS).

Dalam karakteristik responden akan ditampilkan distribusi responden  berdasarkan kelompok usia dan jenis

kelamin.

Tabel 5.1

Distribusi Responden Berdasarkan Kelompok Usia

Dan Jenis Kelamin pada Kelompok  Perlakuan I dan Perlakuan II

Karateristik  Responden Perlakuan I Perlakuan II n % n % Kelompok  usia : 30 – 36 tahun 37 – 42 tahun 43 – 49 tahun 50 – 56 tahun > 57 tahun 0 3 2 3 2 0 30 20 30 20 1 1 2 3 3 10 10 20 30 30 Jenis kelamin : Laki – laki Perempuan 4 6 40 60 3 7 30 70 Jumlah 10 100 10 100

(31)

Berdasarkan tabel diatas menunjukkan distribusi responden  berdasarkan kelompok usia dan jenis kelamin baik kelompok perlakuan I dan kelompok perlakuan II. Pada kelompok perlakuan I menunjukkan  bahwa paling banyak responden yang  berusia 37  –  42 tahun dan 50  –  56 tahun yaitu 3 orang (30%), serta lebih  banyak sampel perempuan yaitu 6 orang (60%) daripada laki-laki yaitu 4 orang (40%).

Pada kelompok perlakuan II menunjukkan bahwa paling banyak  responden yang berusia > 57 tahun dan 50  –  56 tahun yaitu 3 orang (30%), dan lebih banyak sampel  perempuan yaitu 7 orang (70%) daripada laki-laki yaitu 3 orang (30%).

2. Deskripsi data

Data analisis ini akan ditampilkan rerata dan standar deviasi dari intensitas nyeri pada pre test dan

sampel. Lebih jelasnya dapat dilihat  pada tabel dibawah ini

Tabel 5.2

Distribusi Nilai Visual Analogue Scale (VAS) antara

Pre test dan post test pada Kelompok  Perlakuan I dan Perlakuan II

Kondisi  Nilai Rerata Standar  Deviasi n Perlakuan I : Pre test Pos test Selisih 7,570 5,310 2,260 0,408 0,499 0,259 10 Perlakuan II : Pre test Post test Selisih 7,130 4,570 2,560 0,305 0,427 0,283 10

Berdasarkan tabel diatas terlihat adanya perubahan nilai reta-rata dari pre test yaitu 7,570 ± 0,408 ke pos test 5,310 ± 0,499 dengan selisih 2,260 + 0,259 pada kelompok perlakuan I. Perubahan tersebut menunjukkan adanya  penurunan nyeri sebesar 2,260. Dengan demikian pemberian Contract Relax Stretching dapat menghasilkan penurunan nyeri  pada penderita sindrome  pirifoemis dengan rata-rata  penurunan nyeri sebesar 2,260.

(32)

Pada kelompok perlakuan II, terlihat adanya perubahan nilai rata-rata dari pre test 7,130 ± 0,305 ke pos test 4,570 ± 0,427 dengan selisih 2,560 + 0,283. Perubahan tersebut menunjukkan adanya penurunan nyeri sebesar  2,560. Dengan demikian  pemberian teknik Strain-Counterstrain dapat menghasilkan  penurunan nyeri pada penderita sindrome piriformis dengan rata-rata penurunan nyeri sebesar  2,560.

Tabel 5.3

Distribusi Nilai Selisih VAS antara Kelompok Perlakuan I

Dan Kelompok Perlakuan II Kelompok  Responden  Nilai Rerata Standar  Deviasi n Perlakuan I Perlakuan II 2,260 2,560 0,259 0,283 10

Tabel diatas menunjukkan nilai rerata dan standar deviasi  pada nilai selisih VAS pada kelompok perlakauan I dan

rerata selisih VAS pada kelompok   perlakuan II yaitu 2,560 ± 0,283

lebih besar daripada nilai rerata selisih VAS pada kelompok   perlakuan I yaitu 2,260 ± 0,259.

Hal ini menunjukkan bahwa  pemberian Strain-Counterstrain dapat menghasilkan penurunan nyeri yang lebih besar yaitu 2,560 daripada pemberian Contract Relax Stretching yaitu 2,260. 3. Analisa Data

Dalam analisis ini akan ditampilkan hasil Uji Wilcoxon dan Mann-Whitney pada kelompok   perlakuan I dan kelompok perlakuan

II. Lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel dibawah ini.

Tabel 5.4

Hasil Analisis Uji Wilcoxon pada kelompok perlakuan I

Kondis

i n

Ranks

Z Sig -Ranks +Ranks Ties

Pre test 10 10 0 0 -2,8 09 0,005 Pos test 10

Tabel di atas menunjukkan hasil analisis Uji Wilcoxon yaitu

(33)

diperoleh nilai Z sebesar 2,809 dengan nilai p = 0,005 (p < 0,05) yang berarti bahwa ada perbedaan yang bermakna antara nilai VAS pre test dan nilai VAS post test setelah diberikan perlakuan. Hal ini menunjukkan bahwa pemberian Contract Relax Stretching  dapat memberikan pengaruh yang bermakna terhadap penurunan nyeri pada  penderita sindrome piriformis di RSUP Dr. Wahidin Sudirohusodo Makassar. Berdasarkan nilai Ranks menunjukkan nilai 10 pada negatif  Ranks yang berarti bahwa semua responden mengalami penurunan nyeri setelah diberikan Contract Relax Stretching.

Tabel 5.5

Hasil Analisis Uji Wilcoxon pada kelompok perlakuan II Kondis i n Ranks Z Sig -Ranks +Ranks Tie s Pre test 10 10 0 0 -2,807 0,00 5 Pos test 10

Tabel diatas menunjukkan hasil analisis Uji Wilcoxon yaitu

diperoleh nilai Z adalah 2,807 dengan nilai p = 0,005 (p < 0,05) yang berarti ada perbedaan yang bermakna antara nilai VAS pre test dan nilai VAS post test setelah diberikan perlakuan. Hal ini menunjukkan bahwa pemberian Strain-Counterstrain dapat memberikan pengaruh yang bermakna terhadap penurunan nyeri pada  penderita sindrome piriformis di RSUP Dr. Wahidin Sudirohusodo Makassar. Berdasarkan nilai Ranks menunjukkan nilai 10 pada negatif  Ranks yang berarti bahwa semua responden mengalami penurunan nyeri setelah diberikan Strain-Counterstrain.

Tabel 5.6

Hasil Analisis Uji Mann-Whitney antara

Kelompok Perlakuan I dan Kelompok Perlakuan II

Tabel diatas menunjukkan hasil Uji Mann-Whitney yaitu

K. Responden n SelisihRerata S D U p K.Perlakuan I K. Perlakuan II 10 10 2.260 2.560 0.259 0.283 20.500 0,025

(34)

dengan nilai p = 0,025 < 0,05 yang  berarti bahwa ada perbedaan  pengaruh yang bermakna antara selisih VAS kelompok perlakuan I dengan selisih VAS kelompok   perlakuan II. Hal ini menunjukkan  bahwa ada perbedaan yang bermakna antara pemberian Contract Relax Stretching dengan Strain-Counterstrain terhadap penurunan nyeri pada penderita sindrome  piriformis. Jika dilihat dari nilai rerata

menunjukkan adanya perbedaan yaitu nilai rerata kelompok perlakuan II lebih besar yaitu 2.560 daripada nilai rerata kelompok perlakuan I yaitu sebesar 2,260. Hal ini menunjukkan  bahwa Strain-Counterstrain dapat menghasilkan penurunan nyeri yang lebih besar secara bermakna daripada Contract Relax Stretching . Dengan demikian, pemberian Strain-Counterstrain lebih efektif dalam menurunkan nyeri daripada Contract   Relax Stretching .

A. PEMBAHASAN

1. Karakteristik Responden

Syndrome piriformis merupakan kompresi yang reversible  pada saraf sciatic oleh otot piriformis. Kondisi ini dapat menyebabkan nyeri yang dalam dan hebat pada daerah  bokong, dengan radiasi nyeri sampai

ke daerah tungkai.

Hasil penelitian diatas menunjukkan bahwa penderita syndrome piriformis yang berkunjung di Poli Fisioterapi RSUP. Dr. Wahidin Sudirohusodo Makassar  adalah paling banyak kelompok usia 37  –  42 tahun dan 50  –  56 tahun, sedangkan kelompok perlakuan II  paling banyak kelompok usia > 57 tahun dan 50  –  60 tahun. Hal ini menunjukkan bahwa syndrome  piriformis umumnya menyerang pada usia 37 tahun keatas. Pada usia 37 tahun keatas sudah terjadi penurunan anatomi dan fungsi otot seperti  penurunan elatisitas dan fleksibilitas

(35)

otot. Disamping itu, kondisi ini lebih  banyak disebabkan oleh makrotrauma dan/atau mikrotrauma. Penyebab makrotrauma adalah trauma langsung  pada otot piriformis seperti jatuh terduduk, sedangkan penyebab mikrotrauma adalah adanya repetitif  trauma pada otot piriformis yang  berhubungan dengan overuse atau trauma minor yang berulang-ulang seperti berjalan atau berlari dengan  jarak yang jauh, atau sering duduk 

diatas permukaan yang keras (Samir  Mehta et al, 2006). Jika otot  piriformis telah mengalami penurunan fleksibilitas maka otot ini mudah mengalami cidera atau lesi akibat overuse atau repetitif trauma sehingga mudah terjadi sindrome piriformis.

Kemudian dari segi jenis kelamin, baik kelompok perlakuan I maupun kelompok perlakuan II lebih  banyak perempuan yang mengalami syndrome piriformis daripada laki-laki. Hal ini berkaitan dengan sudut

otot Quadriceps femoris (Q angle) yang lebih lebar pada wanita (os coxae-pelvis yang lebar) dibandingkan dengan laki-laki (Lori A. Bayajian et al, 2007). Berdasarkan  penelitian Samir Mehta et al (2006), sindrome piriformis lebih banyak  terkena pada perempuan daripada laki-laki dengan rasio 6 : 1.

2. Pengaruh Contract Relax Stretching Terhadap Penurunan Nyeri

Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian Contract Relax Stretching  dapat menghasilkan penurunan nyeri secara  bermakna pada penderita syndrome  piriformis dengan rata-rata penurunan

nyeri sebesar 2,260.

Sindrome piriformis umumnya menimbulkan problem nyeri dan spasme pada otot piriformis. Kondisi spasme ini bisa menyebabkan kompresi pada saraf ischiadicus sehingga menimbulkan nyeri sciatica atau dikenal dengan ischialgia.

(36)

Contract Relax Stretching merupakan salah satu teknik PNF yang bertujuan untuk menurunkan nyeri dan spasme atau ketegangan otot, serta memanjangkan otot. Adanya efek autogenic inhibisi yang dihasilkan oleh teknik ini dapat menyebabkan otot mengalami relaksasi. Kontraksi yang maksimal dari otot yang spasme/tightness diikuti dengan relaksasi pasca kontraksi akan menghasilkan respon autogenic inhibisi sehingga otot yang spasme/tightness dapat mencapai relaksasi sempurna. Kemudian,  penambahan stretching setelah kontraksi akan menghasilkan efek  terapeutik yang lebih besar yaitu  penurunan ketegangan otot dan  pemanjangan otot. Pada saat diberikan stretching terjadi rangsangan pada golgi tendon organ dan muscle spindle yang dipersarafi oleh serabut saraf bermyelin tebal (proprioceptor). Aktivitas dari serabut

saraf bermyelin tebal akan menginhibisi aktivitas nosisensorik  yang kemudian menginhibisi ketegangan otot patologis (spasme/tightmess) yang terjadi pada otot. Penurunan spasme/tightness  pada otot dapat menghasilkan  pemanjangan pada komponen elastis

otot yang paralel (sarkomer).

Hal ini terbukti dari hasil uji wilcoxon yang menunjukkan bahwa  pemberian teknik  Contract Relax Stretching  dapat memberikan  pengaruh yang bermakna terhadap  penurunan nyeri pada penderita

syndrome piriformis.

3. Pengaruh Strain-Counterstrain Terhadap Penurunan Nyeri

Hasil penelitian menunjukkan  bahwa pemberian Strain-Counterstrain menghasilkan  penurunan nyeri secara bermakna  pada penderita syndrome piriformis dengan rata-rata penurunan nyeri sebesar 2,560.

(37)

Telah dijelaskan diatas bahwa sindrome piriformis dapat menimbulkan nyeri pinggang dan/atau ischialgia. Problematik yang ditimbulkan berasal dari spasme/tightness otot piriformis yang dapat memberikan kompresi atau iritasi  pada saraf ischiadicus. Strain-Counterstrain merupakan teknik  untuk menurunkan nyeri spinal dan/atau nyeri sendi lainnya dengan memposisikan sendi secara pasif  kedalam posisi yang menimbulkan rasa paling enak, atau suatu teknik   penurunan nyeri melalui penurunan

dan penahanan aktivitas propriceptor  yang kurang tepat secara terus menerus. Pada kondisi otot,  penurunan nyeri dilakukan dengan memposisikan otot dalam posisi relaks memendek yang menghasilkan  penurunan nyeri.

Strain-Counterstrain dapat memberikan manfaat melalui  pengaturan kembali secara automatik 

membantu melaporkan panjang dan tonus otot. Proses ini hanya terjadi ketika muscle spindle dalam posisi mengenakkan, dan biasanya menghasilkan penurunan tonus yang  berlebihan dan pelepasan spasme. Pemberian posisi yang nyaman atau enak dipertahankan selama 90  –  120 detik sehingga secara spontan seringkali terjadi penurunan nyeri. Aplikasi tekanan jari-jari tangan secara menetap pada lokasi tender   point selama 90 detik disertai dengan  pemberian posisi yang nyaman akan menghasilkan penurunan nyeri melalui mekanisme neurologis resetting dan aliran sirkulasi dari  jaringan iskemik sebelumnya. Mekanisme tersebut dapat menghasilkan penurunan nyeri yang  bermakna. Hal ini terbukti dari hasil uji wilcoxon yang menunjukkan  bahwa pemberian Strain-Counterstrain dapat memberikan  pengaruh yang bermakna terhadap

(38)

 penurunan nyeri pada penderita syndrome piriformis.

4. Beda Pengaruh antara Contract Relax Stretching dengan Strain-Counterstrain terhadap penurunan nyeri.

Hasil penelitian menunjukkan adanya perbedaan pengaruh antara Contract Relax Stretching dengan Strain-Counterstrain terhadap  penurunan nyeri pada penderita syndrome piriformis. Hal ini menunjukkan bahwa Strain-Counterstrain dapat menghasilkan  penurunan nyeri yang lebih besar 

secara bermakna daripada Contract   Reax Stretching  pada syndrome  piriformis.

Strain-Counterstrain

merupakan teknik manipulasi yang menerapkan teknik ischemic compression yang disertai dengan  pemberian posisi nyaman pada  jaringan yang patologis. Keadaan ini menyebabkan stimulasi pada muscle

spindle otot yang mengalami spasme sehingga menghasilkan aktivasi  proprioseptor yang mempersarafi muscle spindle. Aktivitas  proprioseptor akan menginhibisi impuls nosisensorik yang sebelumnya aktif karena adanya patologi spasme/tightness. Disamping itu, rangsangan terhadap muscle spindle menyebabkan terjadinya relaksasi secara refleks pada otot yang spasme. Kemudian, teknik ischemic compression pada lokasi tender point otot piriformis dapat menghasilkan aliran sirkulasi yang meningkat setelah kompresi dilepas. Disamping itu, tekanan yang menetap pada tender   point tersebut dapat menghasilkan

hambatan impuls nosisensorik  sehingga saat kompresi dilepaskan timbul rasa nyaman (nyeri berkurang) setelah beberapa menit (Leon Chaitow, 2003).

Berbeda dengan efek Contract Relax Stretching yang menghasilkan

(39)

efek autogenic inhibisi yaitu saat dirangsang terjadi kontraksi maksimal  pada otot yang spasme/tightness maka akan diikuti dengan relaksasi pada otot tersebut. Pencapaian relaksasi akan terjadi secara maksimal saat diberikan stretching pasca kontraksi otot. Hal ini yang menghasilkan  penurunan spasme/tightness pada otot  piriformis yang kemudian

menghasilkan penurunan nyeri.

Dengan melihat efek kedua teknik tersebut maka Strain-Counterstrain memiliki efek yang lebih besar karena menimbulkan stimulus pada muscle spindle dan memberikan hambatan impuls nosisensorik sehingga menghasilkan  penurunan nyeri yang lebih besar 

secara bermakna dibandingkan dengan Contract Relax Stretching, sesuai dengan hasil penelitian ini. KESIMPULAN

Berdasarkan hasil penelitian diatas, maka  peneliti dapat menyimpulkan sebagai  berikut :

1. Pemberian Contract Relax Stretching dapat memberikan pengaruh yang  bermakna terhadap penurunan nyeri  pada penderita sindrome piriformis. 2. Pemberian Strain-Counterstrain dapat

memberikan pengaruh yang bermakna terhadap penurunan nyeri pada  penderita sindrome piriformis.

3. Pemberian Strain-Counterstrain dapat menghasilkan penurunan nyeri yang lebih besar secara bermakna daripada Contract Relax Stretching   pada penderita syndrome piriformis

sehingga dapat dikatakan bahwa Strain-Counterstrain lebih efektif  dalam menghasilkan penurunan nyeri daripada Contract Relax Stretching .

SARAN-SARAN

1. Disarankan kepada laki-laki maupun  perempuan sebelum melakukan aktifitas terlebih dahulu melakukan

Referensi

Dokumen terkait

Data akan membentuk informasi grafis dan kemudian digunakan untuk melihat fluktuasi permintaan obat dan kecenderungan penyakit ini akan membantu pembacaan data sehingga

Terhadap Kinerja Manajerial (Survey pada Jajaran Pimpinan Universitas Muhammadiyah Surakarta) ” ini merupakan tugas akhir yang disusun sebagai salah satu syarat

Data Pengukuran Kadmium Pada Perubahan Berbagai Variasi Konsentrasi Terhadap Penyerapan Logam Berat Kadmium (Cd (II)) oleh N.. Data Pengukuran Kadmium Pada Perubahan

Pengembangan sistem informasi akuntansi berbasis komputer dapat berarti menyusun suatu sistem tersebut menjadi sistem baru untuk menggantikan sistem yang lama

“ Pengaruh Pemeriksaan Pajak terhadap Kepatuhan Wajib PajakBadan (Studi Kasus pada KPP Pratama Bojonagara Bandung )” dengan baik dalam memenuhi salah satu syarat dalam

Tujuan dari penelitian ini adalah menganalisis keadaan nilai tukar negara negara ASEAN terhadap kesetimbangan jangka panjang yang digambarkan dengan nilai tukar

Ucapan dan rasa sukur kepada Allah SWT atas segala kebaikan yang telah dicurahkan kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan judul: Pengaruh

Hal ini bersesuaian dengan data dilapangan berupa hasil wawancara dengan guru kelas bahwa nara sumber adalah anak yang dapat menahan diri dalam menghadapi