• Tidak ada hasil yang ditemukan

DESENTRALISASI DAN KONFLIK KEWENANGAN (Studi kasus konflik kewenangan antara Pemerintah Provinsi Sulawesi Tenggara dengan Pemerintah Kota Kendari dalam kasus pemberian izin investasi PT. ArthaGrah.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "DESENTRALISASI DAN KONFLIK KEWENANGAN (Studi kasus konflik kewenangan antara Pemerintah Provinsi Sulawesi Tenggara dengan Pemerintah Kota Kendari dalam kasus pemberian izin investasi PT. ArthaGrah."

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

DESENTRALISASI DAN KONFLIK KEWENANGAN

(Studi kasus konflik kewenangan antara Pemerintah Provinsi Sulawesi Tenggara dengan Pemerintah Kota Kendari dalam kasus pemberian izin investasi PT. Artha

Graha Group)

Muhammad Ali Azhar Program Studi Ilmu Politik Fakultas Ilmu Sosial Ilmu Politik

Universitas Udayana

E-mail: muhammad23ib@yahoo.co.id

Abstract

Political policy of decentralization in Indonesia was originally formulated as an antidote to the central government to defuse separatist unrest rife in the local level. However, in the progress of decentralization would lead to fresh turmoil with vertical conflict at the local level. An article called decentralization and conflict of authority as it did between the provincial government of southeast Sulawesi and municipal government of Kendari is just a testament to how decentralization is the antidote that does not give any effect to the local government, let alone bring prosperity to the region. As a result, decentralization is just a conflict of authority between governments in the region and measures the goodwill neglect of regional autonomy implementation by the ruling elites in the region.

Key words: decentralization, conflict of authirity, local elit

Pendahuluan

Menurut Rondinelli desentralisasi mencakup kepada empat bentuk (Pramusinto, 2005). Pertama, devolution merupakan penyerahan urusan fungsi-fungsi pemerintahan pusat kepada pemerintahan daerah. Kedua, decosentration, adanya pelimpahan kewenangan dari pemerintah pusat kepada pejabat daerah, ketiga delegation yang merupakan penunjukan pemerintahan pusat kepada pemerintahan daerah untuk melakukan atau melaksanakan tugas-tugas dan wewenang tanggung jawabnya, sedangkan yang keempat adalah privatization, yang merupakan pengalihan kewenangan dari pemerintah kepada organisasi non-pemerintah. Pada prinsipnya

devolutions mengacu kepada desentralisasi administrasi, delegation dan privatization sebagai tugas sub-contracting (Pramusinto, 2005: 164).

Otonomi daerah merupakan pemberian hak-hak secara luas kepada daerah-daerah yang merupakan salah satu resep politik penting untuk mencapai sebuah stabilitas sistem dan sekaligus membuka kemungkinan bagi proses demokrasi yang pada gilirannya semakin mengukuhkan stabilitas sistem secara keseluruhan (Lay, 2003).

(2)

kepatuhan kepada ke-Indonesia-an, maka pilihan pada pemberian otonomi daerah yang seluas-luanya adalah jawabannya. Pemancaran secara geografis lewat pemberian otonomi daerah yang luas sekaligus akan berakibat pada proses demokratisasi sistem secara keseluruhan.

Sementara menurut Pratikno (2003), otonomi daerah bukanlah jawaban yang final. Ketika desentralisasi melahirkan benih-benih otonomi yang membuka kran-kran kekuasaan, maka desentralisasi juga sering dianggap sebagai masalah. Jika dilihat dalam perjalanan otonomi yang sedang berjalan di Indonesia, maka kita tidak heran bahwa konflik-konflik baru muncul, seperti antara pemerintah pusat dengan pemerintan provinsi, pemerintah provinsi dengan Kabupetan dan seterusnya sampai kepada struktur yang paling kecil yang ada di wilayah tersebut.

Sebenarnya desentralisasi muncul sebagai gendre dan ikon yang sangat berkaitan dengan demokrasi, tata pengelolaan negara, hak-hak masyarakat dalam bernegara, distribusi wewenang dan kekuasaan, serta tanggung jawab bersama antar negara. Desentralisasi merupakan salah satu kerangka kerja demokrasi modern (Syahdan, 2003). Seperti yang dikemukakan oleh Mc Cleanaghan seperti yang dikutip oleh Gregorius, desentralisasi merupakan sebuah strategi bagaimana membuat demokrasi bekerja dalam sebuah negara. Jika dipahami sebagai pembuat kerangka bekerjanya demokrasi, maka distribusi kekuasaan baik dalam bidang politik, ekonomi dan lain sebagainya haruslah dijalankan secara demokrasi pula, dengan cara melibatkan secara keseluruhan aspek masyarakat sampai kepada tingkat yang paling rendah. Akan tetapi dalam pola penerapan

desentralisasi sekarang ini malah sering terjadi tumpang tindih mengenai kebijakan-kebijakan dan kewenangan yang ada. Kalau Nanang Indra Kurniawan mengatakan dalam sistem otonomi yang sering terjadi malah monopoli atas tafsir dan aspek praktek otonomi daerah yang akan menghilangkan semangat demokrasi dan partisipasi yang ingin dibangun hanya menjadi retorika para elit untuk memberi pembenaran kepentingan-kepentingannya (Flamma, 2005). Jika hal ini terjadi setidaknya apa yang dikatakan Mc Cleanaghan sedikit terbantahkan. Secara teoritis mungkin otonomi akan mengarah kepada proses demokrasi, jika melihat kondisi riel Indonesia maka kita harus memperbaiki lagi sistem otonomisasi yang sedang berjalan.

Genealogis otonomi daerah di Indonesia

(3)

dalam perundang-undangan pemerintah pusat, sedangkan yang kelima, pengawasan terhadap pemerintah daerah dilakukan oleh Gubernur General (Gie, 2001).

Perubahan politik yang terjadi pada tahun 1959 telah membuat peta politik semakin berubah, sehinggga mengubah tatanan terbelenggu yang ada. Kemungkinan setelah orde baru naik maka UU otonomi praktis terbelenggu dengan menguatnya sentralisasi yang dibangun pihak pusat sampai daerah-daerah. Ketika itu Soeharto dikenal dengan pembangunan Repelitanya yang terus berupaya menstabilkan keadaan daerah guna menciptakan perekonomian yang kondusif. Akan tetapi, semangat ini sangat disayangkan, pada prakeknya cara-cara yang non-demokratis juga diterapkan untuk menjaga stabilitas keamanan tersebut. Berikut ini adalah perbandingan pembentukan otonomi daerah menurut periodesasi pemerintahan Indonesia.

Rumusan Masalah

Adapun pertanyaan yang ingin dikupas dalam tulisan ini adalah pertama, bagaimana bentuk hubungan

pemerintah provinsi dan pemerintah kota menurut UU No. 32 tahun 2004 tentang pemerintahan daerah? Kedua, mengapa terjadi perebutan kewenangan pemberian izin investasi antara pemerintah provinsi Sulawesi Tenggara dengan Pemerintah Kota Kendari?

Tulisan ini berangkat dari asumsi bahwa terjadinya ketidakselarasan antara pihak provinsi dengan pihak pemkot tentang siapa yang berhak mendistribusikan kewenangannya dalam hal pengaturan investasi dikarenakan masing-masing pihak

merasa mempunyai hak

menerjemahkan dan

mengimplementasikan undang-undang otonomi daerah. Inisiatif untuk melakukan pengelolaan semakin rumit ketika salah satu pihak tetap bersikeras pada prinsipnya, bahwa merekalah yang benar-benar berhak untuk mengatur dan mempunyai kewenangan pemberian izin investasi di daerah tersebut. Bagi teori konflik hal ini dianggap sebagai persepsi mengenai perbedaan kepentingan, (perceved divergence of interest), atau suatu kepercayaan bahwa aspirasi pihak-pihak yang berkonflik tidak dapat dicapai (Pruit dan Rubin, 2004).

Tabel 1 Ragam makna otonomi daerah

Periodisasi Rejim politik UU otonomi Hakekat

Otonomi

Perjuangan(1945-1949) Demokrasi

UU No 1 Tahun1945 UU No 22 tahun 1948

Otomi luas

Pasca

kemerdekaan(1950-1959)

Demokrasi UU No 1 tahun

1957 Otonomi luas

Demokrasi

terpimpin(1959-1965) Otoritarium

Pilpres No 6 tahun 1959 UU No 18 tahun 1965

Otonomi terbatas

(4)

1974

pascaorde

baru(1998-sekarang) Demokrasi

UU No 22 tahun 1999

UU No 25 tahun 1999 dan revisi UU 32 tahun 2004

Otonomi luas

Sumber: diolah dari Sri Djoharwinarlien dalam tulisan yang berjudul “Otonomi peluang atau beban daerah”.

Naiknya Ali Mazi sebagai Gubernur Sultra pada tahun 2002 lalu merupakan babak baru bagi kehidupan ekonomi provinsi sulawesi Tenggara. Daerah yang sebelumnya tidak di kenal oleh para investor, sekarang menjadi terkenal. Pada periode pemerintahan sebelumnya, strategi mendatangkan investor ini telah ada dalam setiap rancangan PAD dari tahun ke tahun, namun strategi tersebut dapat dikatakan tidak pernah terwujud. Dalam periode pemerintahan ini dapat dikatakan iklim investor di daerah ini benar-benar belum ada. Hal ini menjadi terbalik ketika Ali Mazi naik menakhodai daerah itu menjadi Gubernur.

Di awal pemerintahan Ali Mazi istilah investor menjadi populer di Sulawesi Tenggara. Hal ini terkait dengan program kerja Ali Mazi yang selalu mengandalkan pentingnya penciptaan iklim investasi bagi Sulawesi Tenggara yang ramah bagi pihak investor untuk memajukan perekonomian daerah ini kedepan. Dengan program kerja yang mengandalkan iklim investasi. Akhirnya ada investor yang merasa tertarik menanamkan investasinya di wilayah ini, salah satunya investor ternama Tommy Winata.

Tommy Winata, investor yang membawa bendera Artha Graha Group ini, kemudian menetapkan kota Kendari sebagai salah satu tujuan utamanya dari

beberapa investasi yang ingin ditanamkan di daerah ini, seperti terlihat pada Tabel 2 dibawah ini.

Investasi-investasi yang ditanamkan taipan nasional ini sangat beragam antara lain di bidang jasa perbankan, ada bank Artha Graha, sektor industri yaitu pembangunan pabrik semen curah, dan di bidang konstruksi bangunan yaitu pembangunan Hotel Kendari Beach. Dua investasi jasa konstruksi dan pembangunan taman kota Kendari. Keduanya merupakan investasi bernilai strategis bagi kota kendari karena letaknya berada tepat di jantung kota Kendari. Akan tetapi operasionalisasi investasi ini ternyata tidak berjalan mulus sebagaimana yang diharapkan. Di tengah jalan operasionalisasi investasi ini, pemerintah kota kendari tidak mengizinkan lagi bagi investor Artha Graha beroperasi di Kendari. Hal ini terkait dengan sepak terjang investor ini di lapangan dalam menjalankan izin operasi usahanya.

.Pemerintah kota Kendari selalu merasa dirugikan dengan beroperasinya investasi itu di wilahnya. Akibatnya pemerintah kota mengambil tindakan sepihak untuk menghentikan seluruh operasional investasi Artha Graha di kota Kendari.

(5)

suasana aman bagi beroperasinya investasi di wilayahnya. Situasi ini kemudian menimbulkan peta konflik dua arah pertama, pihak investor dan pemprov melawan pihak pemkot kendari yang merasa diri mempunyai hak kewenangan dalam pemberian izin operasi usaha investor. Kedua, terjadi mis-interpretasi kewenangan antara pemprov dan pemkot dalam memberikan izin operasi usaha bagi investor AGG, sehingga terjadi persaingan dalam pemberian fasilitas terhadap investor. Persaingan

kewenangan dalam pemberian izin atau kemudahan beroperasinya investor untuk menanamkan investasinya di kota Kendari menjadi pemicu terjadinya konflik antara pemerintah kota kendari dengan pemerintah provinsi Sulawesi Tenggara. Pihak pemkot memandang investor, akibat dari kemudahan pemberian operasi dari pihak pemprov, di beberapa operasi usahanya telah terjadi penunggakan pajak yang seharusnya di bayarkan pihak investor ke pihak pemkot Kendari.

Tabel 2; Konflik kewenangan yang diperebutkan antara Gubernur dan Walikota

Pembangunan Beach Hotel Kendari Di wilayah pemerintahan Kota Kendari

Pembangunan pabrik semen curah Wilayah pemerintah Kota Kendari

Pembangunan Taman Kota (alun-alun) Dibawah Teritorial Kota Kendari

Jasa Perbankan (Bank Artha Graha) Dibawah Teritorial Kota Kendari

Sumber: Kendari Pos, edisi 12 s/d 14 Maret 2005

Kondisi ini kemudian disikapi oleh pihak investor dengan respon merasa tidak perlu berurusan dengan pihak pemkot Kendari atas izin operasi usahanya karena fasilitas dan jaminan usaha tersebut telah diperolehnya dari pemprov Sultra. Akibat dari konflik persaingan ini mengakibatkan AGG menghentikan seluruh operasi usahanya di kota Kendari dan akan memindahkannya ke tempat lain.

Peta Aktor

Sebagaimana deskripsi diatas, relasi penguasa dan pengusaha dalam kasus Kendari ini tercipta dari kedekatan personal antara Gubernur Ali Mazi dan Tommy Winata, komisaris PT. AGG. Relasi yang tercipta kemudian mengarah pada simbiosis mutualisme

antara Gubernur sebagai penguasa politik yang memiliki otoritas dan legitimasi mengeluarkan kebijakan-kebijakan pembangunan dengan pengusaha (baca: Tommy Winata) sebagai pemilik modal dan sumber daya finansial atas naiknya sang gubernur ke kursi nomor satu di wilayah ini.

(6)

dengan kebijakan radikal, memutus rantai investasi PT. Artha Graha Group di wilayah kota Kendari. Bagi kadistra alasan penolakan investasi jelas, bahwa pemerintah kota Kendari dirugikan atas investasi ini, karena pajak dan retribusi investasi tidak masuk ke pemkot melainkan ke pemprov Sulawesi Tenggara dalam jumlah yang cukup besar, + Rp. 800 juta rupiah1.

Beberapa permasalahan silang sengketa antara investor dengan pemkot Kendari dapat dilihat dalam Tabel 2 sebagai berikut:

Tabel 2 Silang sengketa investor dengan Pemerintah Kota Kendari

No.

Investasi PT. AGG di Kota Kendari

Sumber Konflik

1.

Pembangunan Hotel Kendari Beach

PT. Arta Graha tidak mau mengurus izin IMB kepada Pemkot Kendari

2. Perbaikan alun-alun(taman Kota)

Tidak ada realisasi kegiatan yang dilakukan oleh PT. AGG

3.

Pembangunan Pelabuhan Semen Curah

Dianggap mengganggu lalu lintas pelayaran masuk dan keluar di Kota Kendari Sumber: diolah dari beragam sumber.

Permasalahan di atas, akhirnya menjadi titik tolak munculnya konflik yang lebih luas antara pemkot dengan

1

Angka Rp. 800 juta muncul dalam perdebatan Kadis Kimpraswil Kota Kendari dengan Pemprov. Sulawesi Tenggara

(7)

Konflik Kewenangan

Substansi UU No 22/1999 merupakan simbolis pada daerah yang otonom. Istilah tingkatan daerah otonom yang semula di kenal dengan Dati 1 dan Dati 11 kemudian di hapuskan, kemudian digantikan dengan istilah yang dianggap lebih netral yakni tingkat provinsi, kabupaten dan kota. Ini diupayakan untuk menghindari citra bahwa tingkatan lebih tinggi Dati 1 secara hirarkis lebih berkuasa dari pada tingkatan lebih rendah Dati 11, seperti era sebelumnya (Pratikno, 2003). Kedua-duanya merupakan badan hukum yang terpisah dan sejajar yang mempunyai kewenangan berbeda. Konflik kewenangan yang terjadi di Kendari mengenai investor AGG justru membuat jurang hirarkis semakin melebar. Adanya arogansi dari pihak provinsi yang secara arogan dengan memberikan perijinan investor tanpa mematuhi rambu-rambu dari pihak kabupaten ternyata menimbulkan resistensi dari pihak kabupaten/kota dimana pihak kabupaten dengan sengaja menutup lahan-lahan investor AGG yang sedang berjalan yang mengakibatkan konflik antar Gubernur dengan Walikota. Sebuah fenomena yang sangat tragis mengingat kedua-duanya merupakan elit-elit politik yang

merupakan penentu kebijakan ditingkat lokal.

UU No22/1999 menyebut bahwa desentralisasi telah direalisasikan dan untuk kelancaran tugas-tugas bidang penanaman modal. Mendagri juga telah menerbitkan keputusan No. 130-167 tahun 2002 tentang pengakuan kewenangan Bupati/ Walikota untuk menerbitkan persetujuan dan ijin pelaksanaan penanaman modal dalam negeri, sedangkan untuk administrasi penanaman modal asing dilakukan oleh pihak provinsi (Pangaribuan, 2006). Keppres No 29/2004 mengatakan bahwa kewenangan penanaman modal diakui berada pada tingkat Gubernur/Bupati/Walikota. Berikut ini adalah petikan keppres tersebut.

“Gubernur/Bupati/Walikota dapat melimpahkan kewenangan pelayanan persetujuan, perijinan dan fasilitas penenaman modal kepada BKPM melalui sistem pelayanan satu atap”

Akan tetapi menurut Tiolina belum ada pemerintah provinsi maupun kabupaten kota yang melimpahkan kepada BKPM. Disinilah sering terjadinya konflik tersebut, kerena kewenangan diartikan tetap masih berada ditingkat provinsi dan

Gubernur

Pemkot

Investor AGG

Patrcon

client

Izin

(8)

kabupaten/kota. Setidaknya ini akan menjadikan investor akan semakin kebingungan karena ketidakjelasan dan ketidakpastian peraturan yang mengatur bidang investasi sehingga banyak investor yang masih menunggu kejelasan mengenai UU tersebut. Penelitian Yayasan Harkat Bangsa mengatakan bahwa UU No 22/1999, memiliki beberapa persoalan mengenai potensi munculnya konflik-konflik kewenangan. Berikut ini adalah beberapa hasil penelitian mereka (Ratnawati, 2006).

1. lemahnya koordinasi dalam

penyelenggaraan fungsi

pemerintahan diantara tingkat pemerintahan, baik pusat provinsi maupun kabupaten/kota. Dalam penyediaan public goods seringkali menjadi polemik siapa sebenarnya yang bertanggung jawab.

2. UU No 22/1999 pasal 3 telah memasukan wilayah laut sebagai wilayah provinsi maupun kabupaten/kota, yang bertentangan deangan UU pembentukan daerah dimana laut dinyatakan sebagai batas daerah wilayah.

3. Konflik kewenangan antara tingkat pusat, provisi kabupaten/kota berdasarkan pasal 7 dan 9 serta pasal 11 menyatakan bahwa semua kewenangan diluar kewenangan pemerintah pusat maupun provinsi menjadi menjadi kewenangan kabupaten/kota yang berdampak pada konflik penyelenggaraan suatu fungsi pemerintahan.

4. Konflik penyelenggaraan fungsi pemerintahan, terutama oleh kabupaten/kota dengan pemerintah pusat departemen yang mengenai bidang sektoral. Daerah mengacu kepada pasal 7, 11 dan pasal 119, sedangkan departemen sektoral mengacu kepada pasal 7(b) serta undang- undang yang mengatur

kewenangan dari departemen sektoral yang bersangkutan, yang telah ditetapkan sebelum berlakunya UU No 22/1999.

5. Konflik juga akan terjadi antara pemerintah kabupaten/kota dengan pihak BUMN atau otoritas sebagai akibat ketentuan yang diatur dalam pasal 199, dimana berdasarkan ketentuan tersebut pemerintah kabupaten/kota merasa lebih berhak dalam fungsi pemerintahan yang ditangani oleh BUMN. Mengenai hal ini YGB memiliki contoh konflik antara pemerintah daerah tangerang dengan PT Angkasa Pura sebagai pengelola Bandara Sukarno-Hatta dan konflik antara pemerintah Daerah Batam dengan Badan Otorita Batam.

6. Pemerintah daerah merasa berhak dalam mengelolah sumber daya alam jika mengacu kepada asal 10 UU No 22/1999 pen sehingga terjadi konflik dengan instansi departemen sektoral atau BUMN yang selama ini menanganinya. Hal ini terjadi pada konflik Perum Perhutani yang memiliki kewenangan untuk pengurusan hutan dengan Pemerintah Provinsi yang juga memiliki kewenangan pada bidang kehutanan.

7. Konflik juga di perparah dengan ketentuan dalam pasal 133 UU No 22/1999 yang menyatakan bahwa ketentuan paraturan perundang-undangan yang bertentangan dan/atau tidak sesuai dengan undang-undang ini diadakan penyesuaian.

8. Provinsi tidak dapat menjalankan kewenangan sebagai daerah otonom secara maksimal, yaitu kewenangan

yang mencakup lintas

kabupaten/kota maupun

kewenangan yang tidak atau belum

(9)

kabupaten/kota. Pengaturan kewenangan provinsi dalam pasal 4

PP No 25/2000 pada

pelaksanaannya seringkali sering kali berbenturan dengan kewenangan kabupaten/kota yang mengacu pada pasal 7, 9 dan 111 UU No 22/1999.

9. Distribusi kewenangan dalam pasal 11 tidak membagi secara jelas fungsi pemerintahan apa yang menjadi pemenuhan kebutuhan dasar masyarakat lokal dan merupakan sektor unggulan. Kabupaten/kota dalam pasal 11 juga mengemban bidang pemerintahan yang wajib, tanpa membedakan karakteristik daerah perkotaan maupun pedesaan.

Hasil penelitian diatas mengatakan bahwa sebenarnya UU No. 22/1999 tersebut masih meningglakna celah untuk terciptanya konflik kewenangan daerah. Untuk melihat konflik ang sedang terjadi di Kendari maka kita sedikit mengurai lebih mendalam, hal ini berkaitan dengan investor dimana sudah menjadi rahasia umum Ali Mazi dengan Tommy Winata mempunyai hubungan personalitas yang cukup harmonis. Desentralisasi kadang kala menjadi sebuah pintu masuk bagi rent-seeker dan predatory elit (Martanto, 2003). Politik ditingkat lokal melibatkan aktor-aktor yang memiliki kepentingan yang berbeda-beda, bahkan dalam banyak kasus pejabat politik di daerah tidak seirama dengan birokrasi daerah di daerah. Oleh sebab itu, kadang-kadang komitmen untuk menjalankan perumusan implementasi otonomi daerah dalam hal pengelolaan SDA sering berbeda-beda maupun saling tumpang tindih kepentingan.

Konflik kewenangan yang terjadi apabila ditinjau dari kasus di Kendari bahwa sengketa ini muncul dengan dua

fenomena. Pertama, konflik muncul disebabkan tidak ada kejelasan batas-batas kewenangan dan sisi-sisi mana wilayah yang menjadi otoritas yang harus dikontrol atau yang menjadi tanggungjawab masing-masing pemerintah daerah. Kedua, otonomi masih berjalan setengah hati atau sesuai istilah yang diungkapkan Pratikno pada elit belum menyepakati otonomi sebagai the only game in this country, pera elit lokal sebagai pemimpin daerah masih menunjukkan arogansinya sesuai dengan struktur-struktur yang ada, sehingga akan menimbulkan suasana yang tidak tidak demokratis apalagi dalam perebutan sumber-sumber ekonomi yang menghasilkan banyak pundi-pundi uang.

Pemerintah kota Kendari kelihatan masih menggunakan pemikiran bahwa dengan UU no. 22 tahun 1999 yang mengatakan bahwa desentralisasi bukan untuk pemerintah provinsi, tetapi kepada Kabupaten/Kota. Jadi pengelolaan SDA ataupun adanya Investor harus mempunyai lisensi resmi dari pihak kabupaten/kota. Secara teoritis apa ang diungkapkan banyak pakar, dengan diberlakukannya otonomi daerah untuk kabupaten/kota maka, akan lebih baik mendekatkan pemerintah dengan publik atau masyarakatnya.

(10)

kabupaten/kota, munculnya “raja-raja kecil” di kabupetan/kota yang arogan dan mbalela serta menimbulkan penyelenggaraan pemerintahan yang tidak efektif dan efisien. Kedua penganut pandangan ini yakni pihak kabupaten/kota mengkritik bahwa otonomi daerah berbasis pada provinsi menghambat pelaksanaan desentralisasi yang sudah berjalan dan menjauhkan jarak antara pemerintah dan masyarakatnya.

Indra Jaya Piliang (2006), mengatakan bahwa seharusnya UU 32 tahun 2004 memberikan kepastian hukum tentang wewenang daerah dalam urusan investasi. Padahal untuk melakukan tujuan pelayanan yang efektif agar tidak menimbulkan tumpang tindih kewenangan dan menciptakan sebuah institusi yang sering dikenal dengan istilah satu atap untuk menyelesaikan beberapa permasalahan yang menyangkut masalah kewenangan dan perijinan (Piliang, 2006).

Hubungan Relasi Elit penguasa, Elit Pengusaha dalam Kewenangan

Pengusaha dan punguasa menjadi dua sisi mata uang, berbeda kuasa dan ranah, namun saling membutuhkan satu dengan yang lainnya. Tanpa kehadiran sisi yang satu, seperti apapun bentuknya tetap tdak dapat disebut mata uang. Dalam hubungan ini, penguasa jelas membutuhkan sumber dana untuk membiayai dan menjalankan program-progran kerja. Pada titik ini, penguasa dan pengusaha bersinggungan, terlepas dari self interest masing-masing. Penguasa (Gubernur/Bupati/Walikota) memiliki otoritas penuh menentukan blue print arah pembangunan daerah, pun dalam pengambilan keputusan politik dan bergerak dalam level politik. Pada sisi lain pengusaha sebagai pemilik modal mempunyai kuasa atas

modal penentuan titik usaha, baik dalam bentuk investasi langsung maupun tidak langsung dan bergerak pada level ekonomi. Titik singgung simbiosis mutualisme kemudian terjadi disini, ketika pengusaha membutuhkan dana dan modal untuk menjalankan program kerja dan penguasa membutuhkan kebijakan politik dan ijin usaha dari birokrasi yang dikendalikan pengusaha.

Persinggungan penguasa dan pengusaha sesungguhnya tidak hanya terjadi pada momentum implementasi program kerja pemerintah, tetapi telah jauh dari sebelumnya bahkan ketika proses pemilihan kepala daerah langsung (pilkada). Pengusaha bertindak sebagai kreditor yang memberikan infus keuangan kepada pasangan calon yang dianggap pontensial dan sanggup memberikan konsensi ekonomi-politik pasca pilkada. Kondisi ini pada akhirnya membuat calon-calon penguasa dan penguasa itu sendiri menjalin relasi dengan penguasa guna mendukung kegiatan kerja politiknya. Kasus Pilkada Sleman menjelaskan fenomena ini, ketika partai-partai politik dengan segera merekrut calon-calon penguasa dari kalangan pengusaha dengan tujuan jelas partai mendapat dana dan pengusaha mendapat kuasa ekonomi (Rahayu, 2006).

(11)

Pada gilirannya, orang kuat inilah yang lebih menentukan berlakunya kekuasaan politik atas kebijakan-kebijakan pembangunan di daerah.

Munculnya local strong man sebagai implikasi langsung dari system penyelenggaraan pemerintahan daerah, baik melalui pelaksanaan demokrasi prosedural dalam pemilihan kepala daerah maupun dalam kebijakan desentralisasi. Landasan normatif penyelenggaraan pemerintah daerah yang terus berubah ikut memberi warna tersendiri terhadap pola kegiatan, pola kekuasaan dan pola perilaku pemimimpin kepala daerah.

Pengaturan dalam semua undang-undang tentang pamerintahan daerah membuat peranan kepala daerah sangat strategis, karena kepala daerah merupakan komponen signifikan bagi keberhasilan pembangunan nasional, sebab pemerintahan daerah merupakan sub-sistem dari pemerintahan nasional atau negara (Kaloh, 2003). Kalau mengatakan bahwa dalam konteks otonomi daerah, seorang kepala daerah baik Gubernur, Walikota, Bupati, dan seterusnya dalam implementasi pola kepemimpinan seharusnya tidak berorientasi pada tuntutan untuk memperoleh kewenangan yang sebesar-besarnya, tanpa memperhatikan makna dari otonomi daerah itu sendiri yang lahir dari suatu kebutuhan akan efisiensi dari efektivitas manajemen penyelengaraan pemerintahan. Seharusnya otonomi daerah harus diterjemahkan kepala daerah sebagai upaya bagaimana mengatur kewenangan pemerintahan sehingga serasi dan fokus pada tuntutan kebutuhan masyarakat (Kaloh, 2003: 16).

James W. Fasler (1965), mengatakan bahwa, otonomi daerah bukanlah sebuah tujuan, akan tetapi bagaimana otonomi daerah dapat

dijadikan sebagai instrumen untuk mencapai tujuan. Dan instrumen tersebut harus digunakan secara bijaksana oleh kepala derah tanpa harus meninggalkan konflik antara pemerintah, baik pemerintah pusat dengan provinsi, maupun provinsi dengan kabupaten/kota. Terjadinya tumpang tindih kewenangan berarti akan mengaburkan sistem otonomi derah.

Liberalisasi politik dan demokrasi ditingkat nasional di era reformasi saat ini berpengaruh terhadap dinamika politik kedaerahan. Beberadaan undang-undang no. 22 tentang otonomi daerah, dapat menyababkan konflik yang terjadi ditingkatan daerah. Keberadaan sejajar antara kabupaten dengan pihak provinsi ternyata membuat pihak kabupaten/kota berani untuk melakukan resistensi baik secara tertutup maupun secara terbuka. Tidak jarang juga kepentingan-kepentingan lebih banyak berbicara pada saat otonomi daerah yang akan menyulut kepada sebuah konflik kewenangan.

(12)

Winata berada diwilayah teritorial pemerintahan kota.

Desentralisasi seperti yang dikatakan Tri Ratnawati bukanlah sebagai obat yang mujarab dalam mengatasi segala permasalahan yang pelik selama tiga puluh dua tahun, karena desentralisasi juga memiliki berbagai kelemahan. Desentralisasi sering juga dipraktekan karena faktor kepentingan (interest) dan kontestasi politik diantara aktor yang bermain (Ratnawati, 2006). Tidak jarang bahwa permainan para elit daerah dalam mengelola sumber daya alam atau mengelola sumber-sumber ekonomi lainnya seperti permasalahan investor akan memunculkan seperti apa yang dikatakan oleh John T Sidel sebagai “bosisme” yang akan terjadi ditingkat lokal sebagai bukti dari kebijakan desentralisasi yang telah dipermainkan oleh masing –masing daerah (Sidel, 2005).

Dalam konteks kasus Kendari, relasi penguasa dan pengusaha muncul sebagai implikasi kuatnya support Tommy Winata dalam mendukung naiknya Ali Mazi sebagai Gubenur Sultra terpilih. Dukungan politik dan finansial Tommy Winata pada Ali Mazi tidak lepas dari hubungan personal antara keduanya yang telah terjalin lama. Atas dasar itulah, maka Ali Mazi memberikan konsesi politik dan ekonomi pada Tommy Winata dalam bentuk pemberian hak dan izin investasi di Sulawesi Tenggara.

Refleksi Akhir

Konflik kewenangan pemerintahan yang melibatkan pemerintah provinsi dan pemerintah kota yang terjadi di Kota Kendari diatas memberi pelajaran kepada kita betapa undang-undang otonomi daerah itu masih menyisakan masalah di tingkat pemerintahan daerah.

Otonomi selama ini dianggap sebagai pintu masuk bagi pelaksanaan kekuasaan yang lebih baik dalam rangka pelaksanaan asas desentralisasi, tapi ternyata otonomi malah menciptakan benih-benih konflik baru yang mengarahkan derah pada posisi yang berhadap-hadapan saling bersaing dalam memperebutkan sumber daya yang ada.

Ada beberapa hal penting yang memberi pelajaran dalam konflik ini, pertama perlu adanya pemahaman baru ditingkat elit bahwa otonomi dilakukan bukan atas kebebasan yang multi tafsir sehingga bebas untuk melakukan tafsir tersebut pada tataran implementasi. Kedua, perlu perbaikan perundang-undangan baik pada tingkat nasional maupun tingkat daerah.

Ditingkat nasional perlunya menggaransi undang-undang otonomi daerah dengan peraturan pemerintah (PP) yang mengikat adil dan bijaksana dalam pelaksanaan otonomi daerah, sedangkan ditingkat daerah perlu perbaikan perda-perda yang lahir atas pemahaman yang keliru terhadap otonomi daerah.

Perbaikan ini semua berujung kepada upaya agar tidak terjadi kesalahpahaman dalam menjalankan otonomi daerah. Kecenderungan perilaku koruktif dalam menjalankan program otonomi daerah dewasa ini, sesutu yang tidak dapat dihindarkan. Perilaku ini memarginalkan esensi otonomi daerah ke arah kepentingan sesaat yang dilakukan para elit politik daerah.

(13)

elit-elit lokal, sehingga otonomi daerah hanya akan menciptakan konflik baru.

(14)

Daftar Pustaka Buku

Cornelis Lay (2003). “Kompleksitas Persoalan Otonomi Daerah” Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Dean G. Pruitt & Jefrey Z. Rubin (2004). Teori Konflik Sosial, Pustaka Pelajar, Yogyakarta.

Gregorius Sahdan (2003). Transisi Demokrasi Indonesia, Yogyakarta; Pustaka Pelajar.

J. Kaloh (2003). “Kepala Daerah” Pola Kegiatan, kekuasaan, dan perilaku Kepala Daerah dalam pelaksanaan Otonomi Daerah, Jakarta; PT Gramedia John T Sidel (2005). “Bosisme dan Demokrasi Filipina, Thailand, dan Indonesia”

dalam John Harris dkk, Politisasi Demokrasi Politik lokal Baru, Jakarta; Demos

Kajian Komprehensif untuk mendukung Sultra Raya 2020 “pendekatan gerakan

kebudayaan dan peradaban”, Visi Misi Calon Gubernur Sultra Ali Mazi,

edisi 2002 kerjasama badan Riset Daerah dengan Universitas Haluoleo 2003.

M. Zaki Mubarak dkk, (2006). Blue Print Otonomi Daerah Indonesia, Jakarta; Yayasan Harkat Anak Bangsa (The Habibe Center), Europian Union (UE), dan Kemitraan.

Jurnal

Agus Pramusinto, CSIS edisi November 2005 . “Paradoks-paradoks pelaksanaan

otonomi daerah, beberapa catatan dari lapangan.

Indra J Piliang, Jurnal CSIS edisi November 2006. Desain Baru Sistem Politik Indonesia, Jakarta; CSIS.

Nanang Indra Kurniawan, Flamma 2005. “Berebut Otonomi Daerah”, Yogyakarta; IRE Press.

Ucu Martanto, Mandatory Edisi 3 tahun 2007 . “Kemiskinan Indonesia: Potret Buram Desentralisasi”, Politik Kesejahteraan di Tanah Republik.

J.W Fasler, Jurnal Politik vol. 27 No. 4/1965. “Approach to the Understanding of decentralization”.

Skripsi

Gambar

Tabel 2 Silang sengketa investor dengan Pemerintah Kota Kendari

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan hasil deskripsi kapang dan merujuk pada Barnett & Hunter (1972), Samsons, et al (1984) dan Pitt & Hocking (1985) diketahui bahwa kapang endofit isolat

TBS yang di pasang di Desa Bener kurang efektif dikarenakan oleh beberapa faktor diantaranya pola tanam yang tidak serempak menjadikan tanaman perangkap yang

Limpahan rahmatNya, sehingga penyusunan Laporan Tugas Akhir dengan judul “Pembuatan 3d Virtual Reality : Virtual Pariwisata Candi Cetho di Karanganyar Menggunakan

Selain itu, masyarakat akan dapat semakin mengenal, mencintai, dan ikut melestarikan salah satu karya seni budaya Madura khususnya tentang keunikan proses pembuatan dari

memasang uang di tengah (pot) sebesar Rp.500,- kemudian 1 (satu) bungkus kartu domino sebanyak 28 (dua puluh delapan) lembar tersebut digocok terlebih dahulu, dan setiap

Kelebihan dari metode DPPH adalah secara teknis simpel, dapat dikerjakan dengan cepat dan hanya membutuhkan spektrofotometer UV-Vis (Karadag dkk. Sedangkan kelemahan dari metode

Hasil penelitian menunjukan bahwa tidak terdapat pengaruh dari kesegeraan feedback bias implisit terhadap stigma ekplisit dan tidak ditemukan korelasi yang

Semakin besar persepsi resiko semakin besar pula kemungkinan keterlibatan konsumen pada pembelian (Engel, et.al. Ketika persepsi resiko menjadi tinggi, ada motivasi apakah