CHRONIC MYELOGENEOUS LEUKEMIA
OLEH :
Dr. Heny Syahrini
NIP. 19800127 200604 2 002
DEPARTEMEN ILMU PENYAKIT DALAM FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
2010
DAFTAR ISI
Hal
DAFTAR ISI ... i
PENDAHULUAN ...1
MANIFESTASI KLINIS ...1
DIAGNOSIS ...3
Fase Kronis ...4
Fase Akselerasi dan Krisis Blas ...6
PROGNOSIS ...7
KESIMPULAN ...7
DAFTAR PUSTAKA ...8
DAFTAR TABEL TABEL 1. Gejala dan tanda fase kronik CML yang ditemukan ...2
TABEL 2. Defenisi fase akselerasi atau fase blastik pada CML ...2
CHRONIC MYELOGENOUS LEUKEMIA Heny Syahrini
PENDAHULUAN
Chronic myelogenous leukemia (CML) merupakan penyakit dengan produksi sel-sel granulosit yang berlebihan, khususnya seri netrofil dan kadang-kadang seri monosit, yang ditandai dengan adanya splenomegali dan jumlah sel darah putih yang sangat tinggi. Basofilia dan trombositosis juga sering ditemukan1. Kelainan sitogenetik yang dapat dijumpai berupa kromosom Philadelphia (Ph1) pada sumsum tulang lebih dari 95% kasus. Sekitar 5% kasus CML dengan kromosom Philadelphia negative yang saat ini dikenal sebagai chronic myelomonocytic leukemia, suatu subtype myelodysplasia1,2.
Kejadian CML hampir sama di seluruh dunia dan terjadi sekitar 1 per 100.000 populasi, dengan usia jarang di bawah 20 tahun tetapi dapat terjadi pada seluruh decade dengan rentang usia 40-50 tahun3. Laki-laki lebih sering daripada wanita dengan perbandingan 3:2 4. Resiko kejadian lebih tinggi secara signifikan pada yang terpapar radiasi dosis tinggi seperti kasus yng terpapar bom atom di Hiroshima dan Nagasaki ataupun pada kasus-kasus pasien yang menjalani terapi radiasi untuk ankylosing spondilitis dan kanker rahim, tetapi secara umum, seluruh kasus merupakan “sporadic” dan tidak dijumpai factor predisposisi 3,5,6.
MANIFESTASI KLINIS
Dalam perjalanan penyakitnya, CML dibagi menjadi 3 fase yaitu fase kronik, fase akselerasi, dan fase krisis blas. Pada umumnya saat pertama diagnosis ditegakkan, pasien masih dalam fase kronis, bahkan sering kali diagnosa CML ditemukan secara kebetulan, misalnya saat persiapan pra operasi dimana ditemukan leukositosis hebat tanpa gejala-gejala infeksi7.
Onset gejala CML biasanya tersembunyi, dengan kebanyakan pasien berada pada fase kronik. Gejala hematopoeisis yang hebat (demam, menggigil, nyeri tulang, kehilangan berat badan, dan kelemahan) atau tanda dari hematopoisis
ekstrameduler (splenomegali dan perasaan tidak nyaman pada kuadran kiri atas) menyebabkan pasien mencari pertolongan medis. Kadang-kadang, gejala yang tidak biasa seperti perdarahan, trombosis, athralgia, infiltrasi leukemik pada area kulit, ulserasi peptik, kompresi spinal cord, dan priapismus dapat ditemukan. Gambaran klinis transformasi dari fase kronik tampak pada tabel 2 4.
Tabel 1. Gejala dan tanda fase kronik CML yang ditemukan4
GEJALA dan TANDA PERSENTASE (%)
Gejala
Lemah
Penurunan Berat badan
Perut terasa penuh dan anoreksia
Lebam-lebam atau perdarahan
Nyeri perut
Demam
83 61 38 35 33 11 Tanda
Splenomegali
Melunaknya sternal
Lymphadenopathy
Hepatomegali
Purpura
Perdarahan retinal
95 78 64 48 27 21
Tabel 2. Definisi fase akselerasi atau fase blastik pada CML4
GEJALA TANDA dan LABORATORIUM
Fase Akselerasi
Demam
Menggigil malam hari
Penurunan berat badan
Splenomegali menetap
Nyeri tulang
Meningkatnya Basofil perifer > 20%
Blast darah tepi > 10%
Blast sumsum tulang > 20%
Evolusi klonal sitogenetik
Kesulitan mengendalikan sel darah putih dengan pemberian agen antiproliferasi
Retikulin sumsum tulang dan fibrosis kolagen
Trombositopenia (<100.000/uL) yang tidak berkaitan dengan terapi
Fase Blast
Limfadenopati
Kloroma blast ekstramedular
Blast darah tepi > 20%
Blast sumsum tulang > 20%
Gumpalan blast pada pemeriksaan sumsum tulang
Kloroma blast ekstramedular
DIAGNOSIS
Diagnosis ditegakkan berdasarkan pemeriksaan darah tepi dan biopsi sumsum tulang. Pemeriksaan kromosom philadelphia dengan analisa karyotipik atau adanya translokasi BCR-ABL oleh reaksi Southern blot atau polymerase chain reaction assays sebagai konfirmasi diagnosis.
Fase kronis Darah perifer
Temuan histologis yang paling penting dari pemeriksaan darah tepi adalah leukositosis neutofilik dan basofilia. Rentang leukositosis berkisar 20.000/uL sampai lebih dari 500.000/uL dengan rata-rata rentang 134.000 hingga 225.000 pada
kebanyakn studi. Leukositosis yang predominan netrofil dengan seluruh tahapan maturasi netrofil dijumpai, yaitu dari myelobalst hingga netrofil segmen. Myelosit dan netrofil segmen biasnya predominan. Abnormalitas Pelger-Huet dapat bertahan lama. Myeloblast biasanya tidak lebih dari 3% total lekosit. Basofilia dapat dijumpai sebelum adanya manifestasi klinis. Persentase rata-rata monosit berkisar kurang dari 2% dari jumlah lekosit meskipun secara relative jumlahnya dapat meningkat sesuai dengan perkembangannya ke krisis blast. Tiidak dijumpainya monositosis pada fase awal CML membantu untuk membedakan kasus Chronic myelomonocytic leukemia.
Limfositosis jarang dijumpai. Trombositosis dijumpai sekitar separuh kasus, kadang- kadang di atas 1.000.000/uL. Jumlah platelet di bawah 100.000/uL sangat jarang.
Megakaryosit dapat dijumpai pada darah tepi sekitar seperempat kasus. Kebanyakan pasien dengan anemia normokrom normositer4.
Sumsum Tulang
Pemeriksaan sumsum tulang berguna untuk membedakan CML dari penyakit CMPDs (Chronic Myeloproliferative Diseases) dan reaktif proses. Sumsum tulang ditandai dengan hiperseluler, karena adanya proliferasi precursor neutrofilik dari myeloblast sampai netrofil segmen. Rangkaian maturasi dan morfologi pada masing- masing tahapan adalah normal meskipun myelosit relative meningkat pada darah tepi dan juga sumsum tulang. Myeloblast biasanya tidak lebih dari 5%. Dijumpai peningkatan angka basofil, eosinofil, sel hybrid, dan precursor lainnya seperti pada darah tepi. Megakaryosit secara khas meningkat jumlahnya dan kadang-kadang berkelompok sebanyak tiga atau lebih pada daerah pusat intertrabecular4.
Sitogenetik
Analisa karyotipik biasanya paling baik dari bahan sumsum tulang meskipun darah tepi dapat digunakan. Adanya translokasi yang sederhana maupun rumit antara kromosom 9 dan 22, secara umum t(9;22)(q34;q11), mengkonfirmasi diagnosis, dan 5 hingga 10% dari kasus-kasus tersebut memiliki varian translokasi akibat dari penyusunan kembali gen BCR. Pasien dengan Ph varian dan klasik menhasilkan translokasi yang secara klinis dan hematologist mirip dan berbeda dari kasus Ph (-).
Kromosom Ph varian terbagi ke dalam dua kelompok ; sederhana dan rumit. Pada
translokasi varian yang sederhana, segmen dari 22q ditranslokasikan ke kromosom selain 9. Tiga atau lebih kromosom terlibat dalam translokasi varian yang rumit4.
Transformasi ke fase terminal (fase akselerasi dan krisis blast)
Proses transformasi dapat terjadi tiba-tiba dengan peningkatan persentase blast yang secara klinis mirip dengan lekemia akut (krisis blast) atau lebih perlahan dan lebih progresif dengan kegagalan sumsum tulang yang menyebabkan anemia dan trombositopenia. (fase akselerasi). Krisis blast dimana dijumpai blast yang lebih dari 30% pada darah perifer ataupun sumsum tulang atau identifikasi secara mikroskopik kelompok blast yang besar pada biopsi sumsum tulang atau ekstrameduler4,5.
PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan CML segera belum diperlukan kecuali jumlah lekosit lebih dari 200.000/muL atau adanya bukti leukostasis (priapismus, trombosis vena, bingung, atau sesak nafas) atau adanya nyeri pada splenomegali yang diduga suatu infark limpa. Hiperuricemia sering dijumpai pada diagnosis CML dan sebaiknya diobati dengan allopurinol 300mg/hari dan hidrasi yang adekuat ketika leukosit lebih dari 25.000/muL untuk mencegah disfungsi ginjal. Gout arthritis akut jarang dijumpai1.
Fase Kronis
CML secara tradisional diobati dengan hydroxyurea atau dengan busulfan, yang bila digunakan dapat mengurangi dan mengontrol jumlah lekosit secara terus menerus, jumlah trombosit, dan ukuran limpa. Kedua agen tersebut memiliki tingkatan penerimaan pasien yang tinggi dan mengendalikan manifestasi penyakit sebanyak 90% kasus ketika digunakan pertama; yang selanjutnya, biar bagaimanapun, obat tersebut memberikan hasil secara progresif yang lebih singkat waktunya dan kurang sempurna menurunkan jumlah lekosit dan ukuran limpa.
Leukapheresis dapat juga digunakan dalam waktu singkat untuk menurunkan jumlah leukosit dan trombosit dengan cepat. Selain itu kedua agen tersebut jarang mengeliminasi kromosom Philadelphia (Ph1) dari sumsum tulang. Kembalinya bentuk kromosom yang normal merupakan alasan dari tujuan terapi, dimana pasien yang mencapai karyotipe yang normal memiliki harapan hidup lebih panjang dibanding yang tidak. Tiga terapi yang berkembang berdasarkan konsep tujuan
tersebut yaitu penggunaan interferon, kemoterapi intensif, dan transplantasi sumsum tulang1.
Hydroxyurea diberikan dengan dosis 0,5-2,5 gram/hari secara oral, bahkan literature lain menyebutkan hingga 4 gram/hari disesuaikan berdasarkan ukuran limpa1,2. Leukosit akan turun dalam beberapa hari, begitu pula dengan ukuran limpa.
Dosis hydroxyurea diturunkan sesuai dengan penurunan jumlah lekosit dengan dosis pemeliharaan berkisar 1-1,5 gram/hari dan tidak diteruskan bila jumlah lekosit berkisar 5000-10.000/muL1,3. Obat dapat diberikan sebagai dosis tunggal maupun dosis terbagi. Efek samping jarang terjadi, diantaranya dapat berupa rash, mukositis, ulserasi kulit, dan diare1.
Busulfan jarang digunakan karena efek sampingnya dan karena ketahanan hidup pasien yang diobati dengan hydroxyurea lebih superior dibanding busulfan.
Tetapi obat tersebut cukup berguna pada penderita usia tua yang kepatuhannya tidak dapat ditentukan. Dosis awal yang diberikan 46 mg per hari dengan pemeriksaan lekosit yang ketat dan obat tidak diteruskan bila lekosit mencapai 20-30 x 109/L, karena jumlah teresebut akan terus turun selama 23 minggu setelah dihentikannya terapi. Ketika jumlah lekosit stabil, dosis busulfan diturunkan (13mg/hari) atau pemberian intermiten dapat dilakukan. Berlanjutnya dan kadang- kadang aplasia yang reversibel dapat merupakan komplikasi terapi busulfan.
Toksisitas lainnya dapat berupa aspermia, amenorrhea, dan sindrom paru lanjut yang ditandai dengan batuk, demama, infiltrat paru, dan gagal nafas5.
Lekosit interferon dan rekombinan interferon alfa (r-IFN alpha) dapat memberikan hasil remisi hematologik dan sitogenetik. Remisi hematologik yang komplit diperoleh sekitar 75-80% pasien yang diobati dengan r-IFN alpha dan sekitar 30-40% dari pasien yang remisi komplit atau supresi yang utama dengan koromosom philadelphia (Ph1). Interferon gamma tidak memiliki efek teraupetik yang signifikan. Kembalinya metafase-metafase normal setelah penggunaan r-IFN alpha dikaitkan dengan ketahanan hidup yang lebih panjang daripada pasien tanpa respon sitogenetik. Dosis r-IFN alpha berkisar 2 hingga 5 juta unit/m2/hari diberikan secara sub kutan. Angka respon lebih tinggi dengan dosis obat yang lebih tinggi juga. Efek samping akut yang paling sering (ketidaknyamanan pada muskuloskeletal, demam, menggigil) pada kebanyakan pasien tetapi sering juga diikuti gejala lemah, depresi, letargi, sulit konsentrasi, penurunan berat badan, berkurangnya libido, dan alopecia ringan. Toksisitas ini lebih sering pada pasien dengan usia lebih dari 60 tahun1.
Terapi CML yang lainnya adalah imatinib mesylate. Obat ini dirancang untuk menghambat aktivitas tyrosine kinase dari onkogen bcr/abl. Obat tersebut ditoleransi
baik dan memberikan hasil yang mendekati kontrol hematologi menyeluruh (98%) pada fase kronik. Terapi ini menggantikan interferon dan hidroxyurea sebagai standar terapi. Pada pasien fase kronik diberikan dosis 400 mg per hari secara oral.
Toksisitas yang paling sering berupa nausea, pembengkakan periorbita, rash, myalgia. Hasil yang sangat baik dimana obat tersebut memberikan remisi hematologis dan sitogenetik. Hal tersebut diketahui setelah dilakukan pemeriksaan sitogenetik sumsum tulang setelah 6 bulan terapi. Pasien dengan respon sitogenetik komplit memiliki prognosa yang sangat baik dimana penyakit tersebut terkontrol sebesar 95% dalam waktu lebih dari 2,5 tahun. Walaupun begitu, pemakaian imatinib ini masih dianggap terapi baru, sejak para ahli memakai obat tersebut pada awal 2000, dengan hasil jangka panjang yang masih belm dapat ditentukan2.
Terapi kuratif yang ada untuk CML adalah transplantasi sumsum tulang allogenik. Hasil yang paling baik (angka kesuksesan 80%) diperoleh pada pasien yang berada pada usia di bawah 40 tahun dan ditransplantasi setelah 1 tahun terdiagnosis, dari HLA (Human Leucocyte Antigen) saudara kandung yang telah dicocokkan2. Sementara literatur lain menyebutkan transplantasi sumsum tulang memberikan angka respon hematologi dan sitogenetik persisten pada yang kembar identik sebesar 75%1. Kebanyakan pusat spesialis mengeluarkan pasien dengan usia yang lebih dari 50 atau 55 tahun. Sumsum tulang dikumpulkan dari donor yang diinfuskan secara intravena pada hari ke 0. Jika semuanya berjalan baik, fungsi sumsum tulang akan dicapai dalam waktu 3-4 minggu dan pasien meninggalkan rumah sakit3.
Fase akselerasi dan Krisis blas
Hilangnya kendali CML dengan agen seperti Busulfan, hydroxyurea, atau interfeon merupakan suatu gambaran perkembangan CML ke fase akselerasi.
Kebanyakan pasien-pasien ini berkembang dengan abnormalitas sitogenetik yang bertambah (evolusi klonal) dan meningkatnya dysplasia, bergeser ke kiri (5-29% sel blast), eosinofilia, basofilia pada sumsum tulang. Jika proporsi sel blas pada sumsum tulang lebih 30%, pasien dipertimbangkan masuk ke dalam fase krisis blas (transformasi akut pada CML)1.
Perubahan terapi dari busulfan ke hidroxyurea cukup berhasil dalam jangka waktu singkat yaitu 3-6 bulan pada beberapa pasien1. Peningkatan dosis hidroxyurea dan kombinasi dengan interferon juga diberikan pada fase akselerasi tersebut, walaupun kombinasi terapi tersebut belum pernah diuji secara randomisasi5. Splenektomi kadang-kadang dapat mengoreksi trombositopenia. Fase krisis blas dan
fase akselerasi yang menetap biasanya diterapi dengan regimen yang dirancang untuk lekemia akut. Regimen kemoterapi agresif yang biasa dipakai untuk terapi AML (Acute Myelocitic Leukemia) telah digunakan sebagai usaha untuk menekan kromosom Ph1. Lebih dari 50% pasien yang telah diobati mengalami penurunan persentase metafase Ph1 positif. Studi-studi menyarankan bahwa kombinasi cytarabine dan interferon memberikan hasil yang lebih superior terhadap harapan hidup dibanding interferon saja. Kromosom Ph1 biasany menetap, dan durasi respon biasanya singkat (2-6 bulan), dan tidak diperkirakan utnuk sembuh. Hanya 10-15%
pasien dengan krisis blas yang bertahan hidup lebih dari 1 tahun. Transplantasi sumsum tulang allogenik sebaiknya ditawarkan ke pasien dengan krisis blas (dengan penyakit yang aktif atau setelah adanya remisi) jika donor yang cocok sudah ada, karena beberapa pasien tersebut mencapai ketahanan hidup lebih dari 5 tahun.
Angka mortalitas dan kekambuhan setelah transplantasi sumsum tulang untuk fase krisis blas lebih tinggi dibandingkan fase kronik1.
PROGNOSIS
Ada beberapa faktor yang berperan terhadap jeleknya kelangsungan hidup penderita, diantaranya adalah faktor pasien sendiri seperti usia lanjut, keadaan umum buruk disertai penurunan berat badan, demam, keringat malam; faktor laboratorium berupa anemia berat, trombositopenia, trombositosis, basofilia, eosinofilia, kromosom pH negatif, Bcr/abl negatif; faktot terapi yaitu membutuhkan waktu yang lama (> 3 bulan) untuk mencapai remisi, dosis yang tinggi, waktu remisi yang singkat7.
KESIMPULAN
Chronic myelogenous leukemia (CML) merupakan penyakit dengan produksi sel-sel granulosit yang berlebihan, khususnya seri netrofil dan kadang-kadang seri monosit, yang ditandai dengan adanya splenomegali dan jumlah sel darah putih yang sangat tinggi. Dalam perjalanan penyakitnya terdiri dari tiga fase yaitu fase kronik, akselerasi dan krisis blast.
Terapi yang dapat diberikan seperti hidroxyurea dan busulfan yang merupakan suatu terapi tradisional dengan target respon hematologis yang diharapkan. Terapi lainnya dapat berupa interferon dengan target remisi sitogenetik.
Sementara ada juga obat baru seperti imatinib mesylate yang dapat mengendalikan secara hematologi dan sitogenetik, tetapi evaluasi jangka panjang masih dalam
penelitian. Untuk penanganan definit adalah dengan pencangkokkan sumsum tulang.
Kemoterapi seperti pada lekemia akut diberikan pada fase krisis blas dan akselerasi yang menetap.
DAFTAR PUSTAKA
1. Keating M.J., The Chronic Leukemias in Cecil Textbook of Medicine, 21st ed., WB Saunders company, 2000.
2. Linker C.A. Chronic Myelogenous Leukemia in Tierney L.M, McPhee S.J., Papadakis M.A (eds), Current Medical Diagnosis and Treatment, 44th edition.
Mc Graw Hill/Appleton and Lange. 2005
3. Goldman J. Chronic myeloid leukaemia in Ledinhem JGG, Warrel DA (eds), Concise Oxford Textbook of Medicine. Oxford Press. 2000.
4. Rabinowitz A, Larson R S. Chronic Myeloid Leukemia in Greer J P, Foerster J, Lukens J N (eds), Wintrobe’s Clinical Hematology, 11th edition.
Lippincot William and Wilkins publisher. 2003
5. Enright H, McGlave P. Chronic Myelogenous Leukemia in Hoffman:
Hematology: Basic Principles and Practice, 3rd ed. Churchill Livingstone.
2000.
6. Lichtman M A, Liesveld J L. Chronic Myelogenous Leukemia and related disorders in Beutler E, Lichtman M A, Coller B S, ets (eds), Williams Hematology, 6th edition. Mc Graw Hill. 2000.
7. Fadjari H. Leukemia Granulositik Kronis dalam Sudoyo AW, dkk (eds), Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam jilid II, edisi IV. Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI, Jakarta, 2006.