• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB V GUS DUR DAN DAKWAH MULTIKULTURAL. digabungkan yaitu: Pribumi dan Islam. Kata pribumi dalam kamus besar

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "BAB V GUS DUR DAN DAKWAH MULTIKULTURAL. digabungkan yaitu: Pribumi dan Islam. Kata pribumi dalam kamus besar"

Copied!
24
0
0

Teks penuh

(1)

65

Pada bab ini akan dijelaskan secara singkat, pengertian pribumisasi Islam, Islam pribumi dalam pandangan Gus Dur dan gagasan Pribumisasi Islam dalam

perspektif dakwah Kultural.

A. Gagasan Pribumisasi Islam Gus Dur

1. Pengertian Pribumisasi Islam Jika dibedah secara harfiah, ada dua padanan kata yang

digabungkan yaitu: Pribumi dan Islam. Kata pribumi dalam kamus besar bahasa Indonesia diartikan sebagai penduduk asli1, atau jika diartikan secara lebih luas berarti seluruh penduduk yang telah lama menetap dan bermukim di wilayah Nusantara. Mereka hidup, berdiaspora, beranak- pinak dan memiliki cara hidup dan budaya masing-masing berbeda. Baik itu yang terdeteksi maupun yang tidak terdeteksi dalam peta. Dan mungkin ada yang tidak pernah mengetahui dan tidak mau tahu, bahwa diluar wilayah pemukiman mereka telah disepakati sebuah Negara kesatuan yang dinamakan Indonesia.

Sedangkan kata “Islam” berasal dari kata aslama, yuslimu, Islam, yang memiliki arti, yaitu:2

1) Melepaskan diri dari penyakit lahir dan bathin

1Depdikbud RI, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 2005, h. 895.

2M. Abdul Karim Double, Islam Nusantara, Yogyakarta: Pustaka Book Pubhlisher, 2007, h. 26.

(2)

2) Berserah diri, menundukan diri, atau taat sepenuh hati, dan

3) Masuk kedalam salam, yakni selamat sejahtera, damai, hubungan yang harmonis, atau keadaan tanpa noda dan cela. Jadi intisari Islam adalah berserah diri atau taat sepenuh hati kepada kehendak Allah SWT demi tercapainya kepribadian yang bersih dari cacat dan noda, hubungan yyang harmonis dan damai sesama manusia, atau selamat sejahtera dunia dan akhirat. Sedangkan secara etimologi adalah menjadi agama yang ajaran-ajarannya diwahyukan Tuhan kepada masyarakat manusia melalui Nabi Muhammad SAW sebagai rasul. Islam pada hakikatnya membawa ajarn-ajaran yang bukan hanya mengenai satu segi, tetapi mengenai berbagai segi dari kehidupan manusia.3

Penjabaran yang lebih luas lagi bermakna sebuah ajaran yang mengajarkan kedamaian, ketentraman, dan keselamatan. Itulah Islam dalam cara pandang Islam moderat seperti Gus Dur atau penganut faham Ahlusunnah Wa Al-jamaah an-Nahdliyah secara umum.

Pribumisasi Islam menurut KH. Muchid Muzadi adalah bagaimana Islam dapat di terapkan secara lahir dan bathin oleh semua orang, segala bangsa menurut kepribumiannya masing-masing.4

Sementara menurut Gus Dur Pribumisasi Islam bukanlah

“jawanisasi atau sinkritisme5, sebab pribumisasi Islam hanya

3Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, Jakarta: Universitas Indonesia Press, 1979, h. 24.

4KH. Muchith Muzadi” Arabisasi Bukan Islamisasi” dalam jurnal Tashwirul Afkar Jurnal Refleksi Pemikiran Keagamaan dan Kebudayaan, Islam Pribumi Menolak Arabisme, Mencari Islam Indonesia,edisi No. 14 Tahun 2003,h. 173.

(3)

mempertimbangkan kebutuhan-kebutuhan lokal di dalam merumuskan hukum-hukum agama, tanpa merubah hukum itu sendiri. Juga bukan meninggalkan norma demi budaya, tetapi agar norma-norma itu menampung kebutuhan dari budaya dengan mempergunakan peluang yang disediakan oleh variasi pemahaman nash, dengan tetap memberikan peranan kepada Ushul Fiqh dan Qaidah Fiqh.6 Artinya pribumisasi Islam adalah suatu pemahaman Islam yang mempertimbangkan kebutuhan- kebutuhan lokal di dalam merumuskan hukum-hukum agama, tetapi agar norma-norma itu menampung kebutuhan-kebutuhan dan budaya dengan mempergunakan peluang yang disediakan oleh variasi Ushul al-fiqh dan qawaid al-fiqh.

2. Islam Pribumi dalam Pandangan Gus Dur

Gagasan Islam kultural secara geneologis pertama kali diungkapkan oleh Abdurrahman Wahid dengan sebutan pribumisasi Islam pada tahun 1980-an. Gagasan ini di latar belakangi dari keinginan Gus Dur mempertemukan budaya (adat) dengan norma Islam (syaria’ah).

Sedangkan ide besar gagasan ini, seperti di ungkapkan oleh Gus Dur adalah cita-cita agar umat Islam Indonesia mempunyai pandangan luas,

5Sinkritisme adalah usaha memadukan teologia atau sistem kepercayan lama tentang sekian banyak hal yang diyakini sebagai kekuatan ghaib berikut dimensi eskatologisnya dengan Islam, yang lalu membuat bentuk panteisme. Sinkritisme hal ini bisa dicontohkan dengan kuil 1000 dewa di India, Iran, dan Timur Tengah zaman dahulu.

Setiap penjajah yang masuk menambahkan tuhan yang baru untuk disembah bersama- sama dengan tuhan-tuhan yang lama. Pada suatu tahap akhirnya manusia pun dipertuhankan dan bahkan pula malaikat agar melakukan intervensi terhadap kekuasaan Tuhan, sehingga ia pun lebih berkuasa dari Tuhan sendiri.

6Abdurrahman Wahid, Islamku, Islam Anda, Islam kita Agama Masyarakat Negara Demokrasi, Jakarta: The Wahid Institute Seeding Pluraland Peacepul Islam, 2006, h. xxviii.

(4)

menjunjung tinggi toleransi, menghargai orang lain meskipun tidak setuju dengannya, dan sanggup berkorban tanpa merasa rendah diri. Konsep pribumisasi Islam Gus Dur adalah upaya mengangkat aspek lokal budaya Islam sebagaimana ia contohkan dalam pernikahan, yang menurutnya rukun bagi syah hubungan suami istri sangat sedikit yaitu Ijab, Qabul, Saksi dan Wali, sedangkan selebihnya diserahkan pada adat misalnya pelaksanaan upacara peresmiannya.7

Disini adat berperan sebagai penghubung pola-pola perilaku baru dengan tetap berpijak urutan normatif dari agama. Pola hubungan agama dengan adat seperti ini sehat sekali. Bahwa dalam berpakian penganten jawa menampakkan pakaian bahu mempelai wanita, orang Islam tidak memandang hal itu sama dengan zina, durhaka pada orang tua dan kejahatan berat lainnya. Kekurangan seperti itu pada umumnya bisa dimaklumi sebagai bagian dari adat, selama syarat-syarat keagmaaan dari nikah dan pengaturan lainnya, selanjutnya seperti soal nafkah dan kewajiban-kewajiban rumah tangga, masih diatur secara Islam. Sedangkan manifestasi kulturalnya diserahkan kepada adat itu.8

Dalam “pribumisasi Islam” tersebut tergambar bagaimana Islam sebagai ajaran yang normatif berasal dari Tuhan diakomodasikan ke dalam kebudayaan yang berasal dari manusia tanpa kehilangan identitasnya masing-masing, sehingga tidak ada lagi pemurnian Islam atau

7Akhmad Taufik, Intelektual Muslim Dalam Perspektif Pembaruan Dalam Islam, Bandar Lampung: Gunung Pesagi, 1997,h.133.

8Abdurrahman Wahid, Pergulatan Negara, Agama, dan kebudayaan, Depok:

Desantara, 2001, h. 122

(5)

menyamakan dengan praktek keagamaan masyarakat muslim Timur Tengah.9

Menurut Gus Dur sendiri, bahaya dari proses Arabisasi atau proses mengidentifikasikan diri dengan budaya Timur Tengah adalah tercabutnya kita dari akar budaya sendiri. Arabisasi belum tentu cocok dengan kebutuhan. Yang lebih pas menurut Gus Dur justeru pribumisasi ajaran Islam.10

Kritik yang cukup menarik dikemukakan oleh Gus Dur dalam soal Islam dan kaitannya dengan masalah sosial dan budaya. Ia menangkap adanya gejala “Arabisasi” di kalangan masyarakat Islam Indonesia. Kritik tersebut ia ungkapkan sekitar tahun 1980-an. Kemudian ia menawarkan gagasan “pribumisasi Islam” sebagai solusi untuk memahami Islam dalam relasinya dengan masalah-masalah sosial dan budaya.

Menurut Gus Dur, gejala “Arabisasi” misalnya nampak dalam penamaan terhadap aktivitas keagamaan dengan menggunakan bahasa Arab. itu misalnya terlihat dengan kebanggaan orang untuk menggunakan kata-kata atau kalimat bahasa Arab untuk sesuatu yang sebenarnya sudah lazim dikenal.11

9Naupal, Islam Kultural Dan Islam Fundamental Di Indonesia, h. 293, http//:

ICSSIS. files. Wordpress.com/2012/051819072011_23 pdf (diakses pada tanggal 5 Desember 2012h. 292.

10 M. Hanif Dakhiri, 41 Warisan kebesaran Gus Dur, Yogyakarta:LKiS, 2010, h. 126.

11Abdurrahman wahid, Islamku, Islam Anda, Islam Kita…h. xxvi.

(6)

Misalnya kata “Ahad” untuk menggantikan kata Minggu, kata

“milad” untuk menggantikan kata ulang tahun dan lain-lain12. Seolah-olah kalau tidak menggunakan kata-kata berbahasa Arab tersebut, akan menjadi “tidak Islami” atau keislaman sesorang akan berkurang karenanya. Padahal inti keislaman seseorang menurut Gus Dur tidak bisa diukur dari kata-kata atau kalimat berbahasa Arab.

Sesungguhnya Gus Dur menilai formalisasi semacam ini merupakan akibat dari rasa kurang percaya diri ketika menghadapi

“kemajuan Barat” yang sekuler. Jalan satu-satunya adalah dengan mensubordinasikan diri ke dalam konstruk (kerangka penjelasan) Arabisasi yang diyakini sebagai langkah kearah Islamisasi. Padahal kata Gus Dur sendiri Arabisasi bukan Islamisasi. Seperti pernyataan M. Syafii Anwar, dalam kata pengantarnya, dalam buku Islamku, Islam anda dan Islam kita, yang sangat penting dari pemikiran Gus Dur adalah penolakannya terhadap formalisasi, ideologisasi, dan syariatisasi Islam.

Apa yang diperjuangkan Gus Dur, ketika beliau menentang formalisasi syariat adalah sebuah ajakan kepada umat Islam, untuk lebih memikirkan kepentingan dan kebutuhan riil masyarakat, semisal ketidakadilan ekonomi, kecurangan hukum, keterbelakangan pendidikan, dan sebagainya yang akan terpinggirkan oleh agenda simbolis penerapan fiqh dalam undang-undang yang sebenarnya merupakan dagangan dan

12Contoh lainnya Gus Dur menunjuk penyebutan Fakultas keputrian dengan sebutan kulliyatul banat di UIN. Kata sholat untuk sembahyang, kata “Mushala” padahal dahulu cukup langgar atau surau. Dahulu tua guru atau kiai. Sekarang harus ustadz dan syeikh.

(7)

kerjaan sebagian elit muslim, tanpa melakukan klarifikasi secara massal, apakah benar segenap umat muslim Indonesia membutuhkan hal itu, sebagai kebutuhan nyata sehari-hari kehidupannya?13

Pada titik ini Gus Dur memang sering membuat emosi keagamaan sebagian (gerakan) muslim, meluap untuk kemudian ditembakkan kearah karena kontroversi yang diciptakan beliau. Kontroversi?14 Sebenarnya tidak juga, karena apa yang dilontarkan Gus Dur berangkat dari landasan pemikiran dan kaidah agama yang kuat. Misalnya pad tahun 1989, ketika Gus Dur memperbolehkan penggantian Assalamu’alaikum sebagai salam komunikasi, dengan “selamat pagi” dikarenakan pandangan dinamis demi lancarnya hubungan sesama manusia, khususnya untuk menjembatani perbedaan dengan non muslim. Jadi yang diganti bukan salam di sholat, tetapi hanya dalam pergaulan. 15 demikian juga ketika gagasan pribumisasi Islam diluncurkan, yang merupakan mekanisme Fiqhiyah untuk mengakomodasi adat oleh syari’at, dilandasi oleh kaidah pembuatan hukum (qawaīd fiqh) di mana adat bisa dijadikan landasan hukum (al-

13Ato Sugiarto, Demokrasi Dalam Pandangan Abdurrahman Wahid, skripsi terarsip di http://digilib.uin-suka.ac.id/3920/ (diakses pada tanggal 17 Juni 2013).

14Menurut Gus Dur kontroversi ucapan Assalamu alaikum adalah kekeliruan orang yang mewawancarainya yang tidak utuh memuat pernyataan beliau sehingga hasinya ditangkap keliru. Sebetulnya maksud Gus Dur: bentuk-bentuk ekspresi yang normative atau legal formalistic dengan bentuk cultural, belum tentu harus sejalan. Dalam sholat misalnya, Assalmu alaaikum itu tidak bisa diganti karena merupakan bentuk normatif. Tapi yang cultural bisa saja, contohnya ucapan atau sapaan. Lantas di mana batasnya antar yang normatif dan cultural. Nah mari kita cari. Mari kita kaji ulang, karena tidak semuanya normatif. Di Mesir, Syeikh-syeikh al-azhar yang hafal al_quran dan pandai itu pun kalau ketemu orang bilang selamat pagi. Lihat Abdurrahman Wahid, Tabayun Gus Dur: Pribumisasi Islam, Hak Minoritas, Reformasi Kultural, Yogyakarta:

LKiS, 1998, h. 153.

15Ibid.

(8)

‘ādalah al-muhakkamah).16 Hal ini terkait dengan kebutuhan akan Islam Indonesia yang harus melepaskan diri dari “penjajahan budaya” Arabisme.

Di mana kekayaan adat hendak hancurkan oleh simbol-simbol budaya Arab.

Gagasan pribumisasi Islam menurut Gus Dur adalah agar wahyu Tuhan dipahami dengan mempertimbangkan faktor-faktor kontekstual, termasuk kesadaran hukum dan rasa keadilannya. Pribumisasi Islam sesungguhnya dibangun sebagai upaya dan usaha untuk melakukan

“rekonsiliasi” Islam dengan kekuatan-kekuatan budaya setempat, agar budaya lokal tetap ada dan lestari serta tidak hilang.17

Pribumisasi seharusnya menurut Gus Dur, harus dilihat sebagai kebutuhan, bukannya sebagai upaya untuk menghindari polarisasi antara agama dan budaya setempat. Pribumisasi juga bukan sebuah upaya mensubordinasikan Islam dengan budaya lokal, karena dalam pribumisasi Islam harus tetap pada sifat Islamnya.18

Yang ‘dipribumikan’ adalah menifestasi kehidupan Islam belaka.

bukan ajaran yang menyangkut inti keimanan dan peribadatan formalnya.

Tidak diperlukan “Quran batak” dan hadis Jawa”. Islam tetap Islam,

16Abdurrahman Wahid, Pergulatan Negara, Agama, dan Kebudayaan,Depok;

Desantara, 2001,h. 121.

17Abdurrahman wahid, Islamku, Islam anda…h. xxvii-xxviii.

18Ibid.

(9)

dimana saja berada. Akan tetapi tidak berarti semua harus disamakan bentuk luarnya.19

Ibarat bunglon ia bisa berubah menyesuaikan diri sesuai dengan tempat di mana ia berada. Bunglon tetaplah bunglon ia tetap, tidak berubah. Karena sesungguhnya yang menjadi agenda Gus Dur adalah berpikir tentang bagaimana melestarikan agama Islam sebagai budaya, melalui upaya melayani dan mewujudkan kepantingan seluruh bangsa.

3. Dakwah Multikultural dalam Perspektif KH. Abdurrahman Wahid.

Dakwah Islam haruslah beragam, ini merupakan salah satu dari percikan pemikiran yang pernah dilontarkan oleh sosok Gus Dur sebagaimana yang dikatakannya:

Dalam berbeda pandangan, orang sering memaksakan kehendak dan menganggap pandangan yang dikemukakannya sebagai satu- satunya kebenaran, dan karenanya ingin dipaksakan kepada orang lain. Cara seperti ini tidaklah rasional, walaupun kandungan isinya sangat rasional.20

Pemikiran ini dilandasi bahwa Gus Dur sangat memahami kondisi sosial masyarakat yang majemuk di Indonesia. Hal ini merupakan wujud pilihan strategi untuk mengembangkan dan menyelaraskan dakwah Islam dalam bingkai perbedaan suku, ras dan keyakinan dalam memahami agama Islam yang sangat beragam di negeri ini.

Sebagaimana kita ketahui pada dekade 1980-an Gus Dur telah melontarkan gagasan tentang pribumisasi Islam untuk melawan gerakan Arabisasi yang mencoba memaksakan pemahaman mereka tentang Islam

19Abdurahman Wahid, Tuhan Tidak,…h. 107.

20Abdurrahman Wahid, Islamku,…h. 67.

(10)

Arab yang kemudian menganggap Islam kita tidak otentik karena sudah berbaur dengan kebudayaan-kebudayaan setempat. Sesungguhnya dalam hal ini Gus Dur melihat bahwa ajaran seperti ini jelas tidak sesuai dengan kondisi bangsa ini di mana bangsa ini sangat lentur dengan budaya.

Sebagaimana yang dikatakan Gus Dur bahwa: Bahaya dari proses Arabisasi atau mengidentifikasikan diri dengan Timur Tengah adalah tercabutnya kita dari akar budaya kita sendiri. Lebih dari itu, arabisasi belum tentu cocok dengan kebutuhan. Pribumisasi bukan upaya menghindarkan timbulnya perlawanan dari kekuatan- kekuatan budaya setempat tetapi justeru agar budaya itu tidak hilang. Inti pribumisasi adalah kebutuhan bukan untuk menghindari polarisasi antara agama dan budaya, sebab polarisasi demikian memang tidak terhindarkan.21

Dakwah sesungguhnya bukanlah upaya (proses) Arabisasi, tetapi dakwah adalah proses penyadaran atau pencerahan sehingga terjadi islamisasi pemikiran, keyakinan, sikap perilaku dan tindakan. Karena yang didakwah adalah bukan ad-dinul Arab tetapi ad-dinul Islam oleh karena itu, orang yang didakwahi tidak harus menjadi orang Arab, tidak harus berkultur Arab. Tidak harus berjubah dan mengikuti tradisi-tradisi dan budaya Arab.

Ini semua dilakukan karena sesuai dengan aspek kemudahan bagi ummat.

Misalnya, orang nanti tidak paham dalam penyampaian isi khotbah Jum’at, hari Raya Idul Fitri dan Idul Adha bila menggunakan bahasa Arab dalam menyampaikan materi Khotbah. Kelenturan ini perlu, karena Islam ini untuk seluruh ummat yang sudah dijelaskan oleh Allah selalu mukhtalifun (berbeda-beda). Perbedaan ini harus diperhitungkan dalam menyebarkan dakwah Islam, karena sesungguhnya yang ingin disamakan

21Abdurrahman Wahid, Pergulatan Negara…h. 119.

(11)

adalah dalam hal keimanannya, keislamannya dan keihsanannya. Allah sendiri sudah menyatakan bahwa manusia itu diciptakan untuk saling kenal-mengenal. Sebagaimana firman Allah dalam Al-Qur’an:

4



.







































Hai manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa- bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal.

Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.22

Kalimat untuk saling mengenal (lita’arafu) menunjukan bahwa antara suku-suku dan bangsa-bangsa memang terdapat perbedaan watak, adat istiadat dan kulturnya. Masing-masing punya dialek yang bermacam- macam yang semuanya itu merupakan bagian dari kultur. Dengan demikian dalam mendakwahi suku-suku, bangsa-bangsa tidak harus disamakan. Disinilah perlunya hikmah (kebijaksanaan). Antara lain dengan pendekatan kultural. Jadi apa yang disampaikan oleh Gus Dur bahwa bahaya dari proses arabisasi atau mengidentifikasikan diri denganTimur Tengah adalah tercabutnya kita dari akar budaya kita sendiri

22 Al-Hujarat [49]: 13

(12)

sehingga dalam usaha berdakwah tidak tepat bila kita melakukan pendekatan dengan menggunakan kultur Arab saja, tetapi haruslah dengan mempertimbangkan kultur budaya setempat. Gus Dur meyakini jika dalam menyebarkan dakwah Islam kemudian pendirian (budaya) mereka diserang maka usaha dakwah akan gagal dan sia-sia belaka sehingga pribumisasi Islam dalam konteks dakwah kultural sangat penting dalam hal ini.

Sebagaimana yang dituturkan oleh Simuh, dalam penyebaran Islam khususnya di Indonesia, banyak disebarkan oleh guru-guru tarekat yang cenderung sufistik. Islampun mengalami interaksi intens dengan budaya lokal yang kompromis dan non kompromis agar bisa beradaptasi dengan budaya lokal. Pendekatan komprimistis yang dilakukan oleh wali songo dalam menyebarkan agama Islam di Tanah Jawa yang sebelumnya memang kental akan nilai-nilai budaya Hindu dan Budha. Mereka tidak berusaha secara frontal dalam menghadapi masyarakat setempat, tapi ada strategi budaya yang dikembangkan agar Islam bukan merupakan sesuatu yang asing bagi mereka tapi merupakan sesuatu yang akrab karena sarana, bahasa, pendekatan yang dipakai merupakan hal-hal yang sudah dekat dengan mereka seperti tembang-tembang, gending-gending, wayang, gamelan (alat musik khas Jawa), macapatan (salah satu puisi Jawa), upacara tradisonal yang diislamkan isinya dan lain sebagainya.23 Menurut Gus Dur cara seperti yang dilakukan oleh Wali Songo dalam

23Tafrikhuddin, “Seni Dan Pribumisasi Ajaran Islam Di Jawa”, dalam Jurnal Dakwah No. 04, Januari-Juni 2002, h. 96-97.

(13)

mendakwahkan ajaran Islam di bumi Nusantara, ini yang disebut dengan dakwah multikultural dalam konteks pribumisasi Islam.

B. Implikasi Pribumisasi Islam Gus Dur Terhadap Gerakan Dakwah Kultural

1. Gagasan Pribumisasi Islam dalam Perspektif Dakwah Kultural Agama Islam tidak lahir dari kesunyian. Islam senantiasa bersentuhan dengan kultur dan budaya tempat ia dimunculkan. Karena itu, tak perlu dirisaukan ketika terjadi ketegangan dan benturan antar Islam dan budaya; “langit’ dan “bumi”. Disinilah perlunya mendamaikan keduanya melalui “pribumisasi Islam”.24

Sejak kehadiran Islam di Indonesia, para ulama telah mencoba mengadopsi kebudayaan lokal secara selektif, sistem sosial, kesenian dan pemerintahan yang pas tidak diubah, termasuk adat istiadat, banyak yang dikembangkan dalam perspektif Islam. Hal itu yang memungkinkan budaya Indonesia tetap beragama, walaupun Islam telah menyatukan wilayah itu secara agama.25

Kalangan ulama Indonesia memang telah berhasil mengintegrasikan antara keislaman dan keindonesiaan, sehingga apa yang

24Jaluddin Mohammad, Pribumisasi Islam Melawan Lady Gaga, terarsip di http://edukasi.kompasiana.com/2012/05/22/pribumisasi-islam-melawan-lady-gaga- 464944. htm. diakses pada tanggal 15 April 2013.

25Anjar Nogroho, Gagasan Pribumisasi Islam: Meretas Ketegangan Islam dengan Kebudayaan lokal, terarsip di http:// pemikiranislam. wordpress.

com/2007/08/14/islam-dan-kebudayaan-lokal/ diakses pada tanggal 20 April 2013.

(14)

ada di daerah ini telah dianggap sesuai dengan nilai Islam, karena Islam menyangkut nilai-nilai dan norma, bukan selera atau idiologi apalagi adat.

Karena itu, jika nilai Islam dianggap sesuai dengan adat setempat, tidak perlu diubah sesuai dengan selera, adat, atau idiologi Arab, sebab jika itu dilakukan akan menimbulkan kegoncangan budaya, sementara mengisi nilai Islam ke dalam struktur budaya yang ada jauh lebih efektif ketimbang mengganti kebudayaan itu sendiri.26

Islam yang hadir di Indonesia juga tidak bisa dilepaskan dengan tradisi atau budaya Indonesia. Sama seperti Islam di Arab saudi, Arabisme dan Islamisme bergumul sedemikian rupa di kawasan Timur Tengah sehingga kadang-kadang orang sulit membedakan mana yang nilai Islam dan mana yang simbol budaya Arab. Nabi Muhammad SAW, tentu saja dengan bimbingan Allah (mawa yanthiqu ‘anil hawa, in hua illa wahyu yuha), dengan cukup cerdik (fathanah) mengetahui sosiologi masyarakat

Arab pada saat itu. Sehingga beliau dengan serta merta menggunakan tradisi-tradisi Arab untuk mengembangkan Islam. Sebagai salah satu contoh misalnya, ketika Nabi Saw hijrah ke Madinah, masyarakat Madinah di sana menyambut dengan iringan gendang dan tetabuhan sambil menyanyikan thala’al-badru alaina dan seterusnya.27

Dalam salah satu pemikirannya, Gus Dur pernah memunculkan gagasan islam sebagai komplementer kehidupan sosial, dan politik

26Anjar Nogroho, Gagasan Pribumisasi Islam…diakses pada tanggal 20 April 2013.

27Anjar Nogroho, Gagasan Pribumisasi Islam…diakses pada tanggal 20 April 2013.

(15)

Indonesia; dengan “pribumisasi “ islam. Gagasan pertamanya, ia mengajak umat Islam untuk tidak memperlakukan Islam sebagai ideologi alternatif.

Dalam pandangannya, sebagai komponen utama struktur sosial masyarakat Indonesia, Islam hendaknya jangan diletakan secara berhadapan dengan komponen lain melainkan ia menjadi komplementer (pelengkap) dalam pembentukan struktur sosial, budaya dan politik di Indonesia.28

Dalam konteks pribumisasi Islam, Gus Dur pernah juga melontarkan slogan-slogan seperti mengganti “assalamu ‘alaikum”

dengan “selamat pagi”. Walau sangat kontroversial, namun ini setidaknya mengajarkan kepada umat Islam dalam menyampaikan atau mendakwahi ajaran-ajaran Islam perlu memperhatikan dan memahami kondisi dan situasi lokal di mana dakwah itu hendak di sampaikan.

Namun perlu dicatat bahwa pribumisasi Islam tidak boleh mencampuradukan antara Islam dengan budaya, karenanya sembahyang harus tetap menggunakan bahasa Arab.29

Salah satu cendikiawan muslim Indonesia Norcholish Majid juga pernah pelintarkan pemikirannya yang menggegerkan khalayak, terutama para aktivis gerakan Islam, adalah saat pemimpin umum majalah Mimbar Jakarta ini melontarkan pernyataan “ Islam Yes, Partai Islam No”. ia ketika itu menganggap partai-partai Islam sudah menjadi “Tuhan” baru

28Muhtar Sopiyan,” Islam Berwajah Indonesia” dalam Jurnal Al-Mawarid, Vol.

XI. No. 1, Pebruari 2010, h.150 terarsip di http:// journal. uii.ac.id /index.php /JHI/article /viewFile /2856/2612 diakses pada 13 Juli 1013.

29Muhtar Sopiyan,” Islam Berwajah Indonesia…h. 141

(16)

bagi orang-orang Islam. Partai atau organisasi Islam dianggap sakral dan orang Islam yang tak memilih partai Islam dalam pemilu dituding melakukan dosa besar. Pemikiran ini muncul ditengah suburnya obsesi persatuan Islam di kalangan tokoh-tokoh Islam, yang berpendapat bahwa bila menginginkan Islam kuat maka umat Islam harus bersatu. Ia menawarkan tradisi baru bahwa dalam semangat demokrasi tidak harus bersatu dalam organisasi karena keyakinan, tetapi dalam konteks yang lebih luas yaitu kebangsaan. Dengan ini Norcholis Majid menginginkan agar umat Islam lebih mengedepan nilai-nilai Islam daripada lembaga- lembaga yang berlabelkan Islam.30

Namun akhir-akhir ini ada semacam gerakan yang cukup massif dan radikal dengan, adanya kecenderungan sejumlah pihak yang mengedepankan konstruksi syari’at Islam dalam wajah Arab sambil menafikan realitas tradisi yang lain. Padahal Islam bukanlah identik dengan Arab sebagaimana Indonesia bukanlah Arab secara sosiokultural dan politisinya. Walaupun diakui sebenarnya tidak ada yang salah bila menggunakan kebudayaan Arab dalam mengekspresikan keberagamaan seseorang, dengan syarat tidak melahirkan sebuah konflik di tengah masyarakat yang dibingkai dalam pemahaman konseptual yang kokoh.31

Tetapi yang menjadi masalah adalah manakala penggunaan asumsi bahwa ”warna arab”tersebut merupakan bentuk keberagamaan tunggal

30Ibid.

31Muhlisin, Islam Dan Peradaban Relasi Wahyu Ilahiyyah dan Budaya Insaniyyah, terarsip di http://makalahmajannaii.blogspot.com/2013/02/islam-dan- peradaban.html diakses pada tanggal, 15 Agustus 2013.

(17)

yang dianggap paling absah dan mutlak. Sehingga hukumnya wajib diterapkan pada semua kondisi dan situasi secara paten. Hal tersebut tentunya berimbas pada keadaan dimana ekspresi Arab menjadi dominan, bahkan menghegemoni budaya dan tradisi yang berkembang di masyarakat lokal. Hal yang lebih menggelisahkan lagi adalah munculnya justifikasi-justifikasi seperti belum/tidak kaffah (sempurna), sesat, bid’ah atau musyrik kepada orang-orang yang tidak menggunakan ekspresi

”warna arab” tersebut. Soal penggunaan Jilbab misalnya, sebagian orang yang berjilbab memandang bahwa perempuan yang belum menggunakan jilbab atau jilbabnya berbeda dengan jilbab yang biasa dipakai di Arab, berarti Islamnya belum Kaffah.32

Tradisi yang sudah berurat-berakar berabad-abad lamanya, seperti yang di lakoni masyarakat Dayak muslim Bakumpai misalnya menurun tanah, mandua hari, maniga hari, manujuh hari, manyalawi, matang puluh dan manyaratus, sesajen, dan lain-lain tetap dipelihara tetapi “maknanya”

dirubah. Misalnya, kalau dulu sesajen ditunjukkan kepada arwah nenek

32Jargon “Islam Kaffah” dimaknai sebagai realisasi pengislaman seluruh system hidup; ekonomi, masyarakat, negara, lengkap dengan bentuk dan simbolnya. Inilah yang melahirkan gerakan “politik identitas Islam” yang dikerangkai oleh mazhab Wahhabi, Maududian (Abu ‘Ala al-Maududi) dan Quthbian (Sayyid Quthb) yang oleh para pengikutnya dianggap satu-satunya kebenaran. Inilah Islam yang otentik dan universal.

Maka, konsep ini harus diterapkan oleh umat Islamseluruh dunia. Disinilah otentikasi Islam menjadi trademark ajaran yang paling benar dan dapat diaplikasikan di semua wilayah/kawasan. Sehingga, di luar geografis itu mesti meniru model yang sudah terjadi di masa Rasulullah (Mekah dan Madinah). Pada gilirannya, Islam yang di sana dipandang sebagai Islam otentik, sedangkan Islam di wilayah lainnya bukan Islam yang otentik

“Islam peripheral”, yang jauh dari karakter aslinya. Itu sebabnya, sikap keberagamaan (Islam) di wilayah Nusantara yang telah mengalami proses akomodasi kultural dianggap bukan Islam otentik karena sudah berubah dari ajaran aslinya. Lihat Abdul Muin Dz,

“Mempertahankan Keragaman Budaya” dalam Jurnal Tashwirul Afkar, edisi No. 14 tahun 2003, h. 14.

(18)

moyang mereka, setelah “diislamkan” maknanya berubah. Sesajen dianggap sebagai bagian dari sedekah yang (pahalanya) ditunjukkan kepada Allah SWT. Hal ini mirip dengan ritual Kurban sebagai warisan agama Ibrahim AS. Dengan demikian Islam mudah diterima masyarakat lokal karena mereka tak merasa terasing oleh kehadiran Islam. Mereka malah memahami Islam sebagai “masa lalu”, “sekarang”, dan “masa yang akan datang”. Strategi dakwah model seperti ini, menurut istilah Gus Dur, disebut dakwah kultural dalam konteks pribumisasi Islam.

Pribumisasi Islam, disamping disemangati oleh faktor di atas, secara genealogis, bukan merupakan gagasan baru. Gagasan tersebut sesungguhnya mengambil semangat yang telah diajarkan oleh wali songo dalam dakwahnya ke wilayah Nusantara sekitar abad ke 15 dan ke 16 dipulau Jawa. Dalam hal ini, Wali Songo telah berhasil memasukkan nilai- nilai lokal dalam Islam yang khas keindonesiaan. Kreativitas Wali Songo ini melahirkan gugusan baru bagi nalar Islam Indonesia yang tidak secara harfiyah meniru Islam di Arab. Tidak ada nalar Arabisasi yang melekat dalam penyebaran Islam awal di Nusantara.33

33Wali Songo justru mengakomodasikan Islam sebagai ajaran agama yang mengalami historisasi dengan kebudayaan. Misalnya yang dilakukan Sunan Bonang dengan menggubah gemelan Jawa yang saat itu sangat kental dengan estetika Hindu menjadi bernuansa dzikir yang mendorong kecintaan kepada kehidupan transcendental.

Tembang tombo ati adalah salah satu karya Sunan Bonang. Kisah Pandawa dan Kurawa ditafsirkan Sunan Bonang sebagai peperangan antara nafiy (peniadaan)dan itsbat (peneguhan). Sunan Kalijaga juga mengarang lakon-lakon wayang baru dan meynyelenggarakan pergelaran-pergelaran wayang. Sedangkan upah baginya sebagai dalang, ialah berupa kalimat syahadat. Dengan kalimat syahadat beliau baru mau dipanggil untuk memainkan sesuatu lakon wayang. Pergelaran wayang biasanya diselenggarakan dalam rangka meramaikan suatu pesta atau upaacara peringatan. Pada kesempatan seperti inilah disampaikan nilai-nilai tauhid kepada masyarakat awam dengan menempuh dakwah melalui cerita-cerita wayang yang pada masa itu sangat digemari

(19)

Dalam konteks ini, tampak jelas bahwa Wali Songo tidak melakukan purifikasi dan otentifikasi ajaran Islam secara total, melainkan melakukan adaptasi terhadap kondisi sosial budaya masyarakat setempat sehingga masyarakat tidak melakukan aksi resistensi dan perlawanan terhadap ajaran baru yang masuk.34

Sunan Kudus, misalnya, menggunakan sapi (hewan suci umat Hindu) sebagai media dakwah pada masyarakat yang sebagian besar berlatar belakang kepercayaan agama Hindu. Sunan Kali Jaga menciptakan perayaan sekaten untuk memperingati maulid Nabi Muhammad SAW dengan gamelan sekaten yang diakhiri dengan upacara grebeg yang disertai dengan pembacaan sirah an-Nabi (sirah, atau riwayat Nabi Muhammad SAW ) dan sedekah sekaten. Sunan Giri mengarang kitab ilmu firasat yang memuat nasib, tentang naas, nasib malang atau keberuntungan yang kemudian terkenal dengan nama nujum ramal.35 Jadi dapat kita pahami bersama bahwa ajaran (dakwah) Islam di Indonesia khususnya dapat diterima dengan baik di berbagai tempat, terutama karena proses islamisasi bersifat asimilatif, dan Islam akan sulit diterima bila ia datang dengan wajab Arab.

masyarakat awam. Lihat Muh Fatkhan, “ Dakwah Budaya Walisongo (Aplikasi Metode Dakwah Walisongo di Era Multikultural)”, dalam Jurnal Aplikasia Ilmu-Ilmu Agama, Vol. IV, No, 2 Desember 2003, h. 125.

34Edi Susanto, Islam Pribumi Versus Islam Otentik (DialektikaIslam Universal dengan Partikularitas Budaya lokal, terarsip di http://Islam /pribumi/versus /islam/otentik /36-44-1-PB-pdf. Diakses pada tanggal 10 Juli 2013.

35Irwan Abdullah dan Azyumardi Azra, Ensiklopedi Tematis Dunia Islam, artikel “Islam dan Akomodasi Kultural” Jakarta: Ictiar Van Hoeve, tth. h. 33-34.

(20)

Hal senada juga pernah dilakukan masa kepemimpinan Gus Dur di saat beliau menjabat sebagi presiden jika kita kembali flash back mengingat masa-masa pemerintahan Indonesia dibawah pimpinan Gus Dur, kita akan ingat bahwa pada jaman tersebut agama Khonghucu telah diperjuangkan oleh Gus Dur hingga resmi disahkan oleh pemerintahan menjadi agama ke-enam di Indonesia. Gus Dur menghilangkan diskriminasi terhadap etnis Tionghoa dengan mengeluarkan inpres No 6/2000 tanggal 17 Januari 2000, mencabut inpres 14/1967 tentang agama, kepercayaan, dan adat istiadat China.36

Tidak hanya itu, Gus Dur juga berjasa atas tahun baru Imlek yang menjadi hari libur nasional yang kemudian diperjuangkan beliau menjadi hari libur nasional. Karena jasa-jasa itulah Gus Dur dinobatkan sebagai Bapak Tionghoa Indonesia oleh beberapa tokoh Tionghoa Semarang pada tanggal 10 Maret 2004.37

Tentu saja landasan yang sangat mendasar bagi Gus Dur mengapa Agama Kunghucu harus diresmikan di Indonesia adalah karena Gus Dur memahami betul tentang pluralisme dan ini sudah terlihat ketika beliau menjabat sebagai ketua umum PBNU, sekitar era 1980-an ketika itu mulai

36Asvi Warman Adam, Gus Dur Pahlawan HAM, dalam Gus Dur Santri Par Excellence Teladan Sang Guru Bangsa, (ed) IrwanSuhanda, Jakarta: PT Kompas Media Nusantara,2010,h.191.

37http://entegila.wordpress.com/2013/04/05/tentang-gus-dur-gus-dur-dan-agama- khonghucu/ diakses pada tanggal 10 Juni 2013.

(21)

menguatnya pola pemerintahan dalam menerapkan kebijakan yang sektarian.38

Sekali lagi banyak muncul kontroversial dari umat Islam atas langkah Gus Dur yang memperjuangkan agama Khonghucu tersebut. Tapi ternyata dibalik langkahnya tersebut Gus Dur memiliki pemikiran yang sangat besar bagi umat Islam. Atas tindakan beliau tersebut, Gus Dur dapat mengayomi warga Islam di Cina yang mayoritas penduduknya beragama Komunis. Lebih dari 120 juta warga Cina yang beragama Islam. Semula, warga Islam di Cina merasa kesulitan dalam melaksanakan ibadahnya, mulai dari sholat jum’at, puasa ramadhan, mengaji, haji, dan lain-lain.

Semua susah dilakukan oleh warga Islam di Cina tersebut. Tetapi semenjak kebebasan beragama di Indonesia ditegakkan dengan di bebaskannya umat Khonghucu beribadah, negara Cina pun ikut menerapkan kebebasan beragama. Dan sejak saat itulah, mulai banyak umat Islam Cina yang dapat berangkat dengan bebas menunaikan ibadah haji tak berhenti sampai sekarang.39

Dalam hal ini dapat kita pahami bahwa dampak dari dakwah multikultural yang diterapkan Gus Dur sangat berpengaruh dalam penyebaran agama Islam tidak hanya di dalam negeri juga di luar negeri.

Disini pula terlihat bagaimana Gus Dur memahami arti persamaan dalam bingkai perbedaan. Perbedaan yang menjadi realitas kehidupan tidak serta- merta diakhiri dengan konplik dan pertengkaran tetapi justeru sebaliknya

38Muhammad Rifa’I, Gus Dur: Biografi singkat…h. 88.

39Ibid.

(22)

perbedaan akan melahirkan kerjasama dan saling menghormati sehingga cita-cita dalam rangka mengembangkan dakwah Islam dapat terwujud tanpa harus melalui kekerasan.

2. Respon Ulama Terhadap Gagasan Pribumisasi Islam Gus Dur

Gerakan pribumisasi Islam yang dirintis oleh para wali dan dilanjutkan para ulama zaman Demak, Mataram hingga Kortosuro itu berkembang sangat pesat karena berhasil mengintegrasikan diri dengan peradaban yang ada, sehingga tidak lagi terjadi ketegangan antara agama samawiy dan ardhiy. Semua sistem pengetahuan dan kebudayaan

diapresiasi secara setara, yang kemudian diolah menjadi kebudayaan baru yang lebih relevan. Tetapi proses itu mengalami kemandekan, ketika hubungan antara Islam Jawa dengan pusat di Mekkah semakin intensif, terutama dengan perkembangan transportasi modern sejak masa awal Belanda. Maka puritanisasi Islam, yang menolak seluruh warna lokal dari Islam, akhirnya proses Jawanisasi, Melayunisasi berhenti diganti dengan proses Arabisasi.40

Islam menjadi semakin berkembang di bawah bendera purifikasi atau pemurnian ajaran Islam terutama yang dipelopori oleh gerakan

40Abdul Muin DA, Mempertahankan Keragaman Budaya dalam Jurnal Tashwirul Afkar Edisi No. 14 Tahun 2003,h. 5.

(23)

Wahahabi yang sangat gencar melawan semua bentuk apresiasi terhadap adat dan tradisi lokal.41

Hanya kalangan komunitas Islam tradisional yang berbasis pesantren-pesantren salaf saja yang bisa membendung arus purifikasi tersebut. Karena pesantren merupakan cagar yang mampu mengembangkan tradisi sendiri, baik tradisi pemikiran, keilmuan, berbahasa dan tata cara berpakaian. Dengan adanya cagar budaya itu, maka pluralisme pemahaman Islam bisa dipertahankan, dan relasi Islam dengan komunitas non Islam, baik komunitas adat, maupun agama lain, juga terus bisa dijamin di bawah prinsip toleransi yang dikembangkan kalangan Islam tardisional.42

Ziarah kemakam wali misalnya adalah bentuk paling jelas bagaimana keyakinan lokal klasik diubah menjadi keyakinan terhadap Tuhan sebagai Lokusnya. Secara tidak langsung Tuhan diakui sebagai penguasa tertinggi yang mengatur segala yang ada di alam semesta.

Apabila masyarakat menghendaki keselamatan, maka berziarah dan berdoa serta mendoakan wali telah meninggal, yang umumnya semasa hidup adalah kiai, diyakini dapat membantu menjadikan permintaan kepada Tuhan lebih efektif. Secara normatif hal itu dilegetimasi oleh hadis nabi Muhammad yang menyatakan bahwa ulama adalah pewaris para

41Abdul Muin DA, Mempertahankan Keragaman…h. 6.

42Ibid.

(24)

nabi.43 Tadisi lokal seperti inilah yang dalam kecamata pribumisasi Gus Dur perlu dipertahankan karena selain berfungsi sebagai penghormatan terhadap kebudayaan yang ada juga sebagai alat pintu masuk agar dakwah islamiyah bisa berjalan tanpa ada hambatan.

Amin Abdullah dalam sebuah tulisan disuara Muhammadiyah mengingatkan para da’i atau muballigh untuk pandai-pandai memilah dan memilih mana yang substansi agama dan mana yang hanya sekedar budaya lokal. Metode dakwah al-Quran menurutnya sangat menekankan pentingnya dialog intektual, dialog budaya, dialog sosial yang sejuk dan ramah dalam kultur dan struktur budaya setempat.44

43Ahwan Fanani, NU dan Islamisasi Kultural tardisi Lokal, dalam Sarung dan Demokrasi Dari NU Untuk Peradaban Keindonesiaan (ed) Tim PW.LTN-NU JawaTimur, Surabaya: Khalista, 2008, h.217.

44Ki Setyo Handono, Dakwah Kultural Menggali kearifan lokal, terarsip di http//komposiana-dakwah-kultural-menggali-kearifan-lokal diakses 10 Juni 2013.

Referensi

Dokumen terkait

3HQHOLWLDQ EHUWXMXDQ XQWXN PHQJNDML SHUNHPEDQJDQ GDQ NRQWULEXVL VXEVHNWRU SHULNDQDQ WHUKDGDS SHUHNRQRPLDQ 3'5% NDEXSDWHQ 5RNDQ +LOLU 8QWXN GDSDW WHUFDSDLQ\D WXMXDQ WHUVHEXW

Selain itu tugas auditor di Inspektorat Kabupaten Banyuwangi merupakan rutinitas yang diulang untuk setiap periode kerja auditor yaitu memeriksa seluruh SKPD yang ada di

Pengaruh Pemberian Isoflavon Terhadap Jumlah Eritrosit Dan Aktivitas Enzim Katalase Tikus Yang Dipapar Sinar Ultraviolet.. Uji Aktivitas Senyawa Flavonoid Total Dari

Ektrak daun binahong diperoleh dari maserasi daun binahong dengan pelarut metanol dan dipartisi dengan menggunakan pelarut etil asetat, kemudian dilakukan uji

Data tersebut diperoleh dengan menyebarkan kuesioner pada 115 subyek penelitian untuk mengukur tingkat pengetahuan siswa mengenai penyakit DBD sebelum dan sesudah dilakukan

Daerah yang direncanakan untuk dikembangkan oleh PT .SAMARA INSAN SENTOSA sebagai pemukiman terletak di desa Cibunar kecamatan Parungpanjang kabupaten Bogor

Dilanjutkan lagi dengan mengedit skala, arah, keterangan caranya seperti diatas dan untuk memasukan nama-nama wilayahnya atau kabupaten dan kecamatan juga nama desa

Ada beberapa ungkapan dalam budaya Jawa, suradira jayaningrat OHEXUGHQLQJSDQJDVWXWL (sekuat apapun kebatilan akan dapat dihancurkan oleh kebenaran), VDSDJDZHQJDQJJR (siapa