• Tidak ada hasil yang ditemukan

Politik Indonesia Indonesian Political Science Review

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "Politik Indonesia Indonesian Political Science Review"

Copied!
104
0
0

Teks penuh

(1)

Politik Indonesia: Indonesian Political Science Review 1 (1) (2016) 1-13

Politik Indonesia

Indonesian Political Science Review

http://journal.unnes.ac.id/nju/index.php/JPI

Demokrasi Menundukkan Anarki

Andi Ali Said Akbar1

1 Universitas Jendral Soedirman, Indonesia

Info Artikel Abstrak

Sejarah Artikel:

Diterima 20 Oktober 2015 Disetujui 15 Desember 2015 Dipublikasi 15 Januari 2016

Kebebasan dan persaingan politik dalam demokrasi Indonesia rentan terhadap praktik politik antagonis.Terlihat dari maraknya tindak kekerasan sebagai metode perjuangan sejumlah Ormas baik beridentitas agama maupun politik. Pemicu bisa bersumber dari respon reaksioner atas ketidakmampuan menerima konsekuensi hidup berdemokrasi terutama dalam konteks penerapan etika tolerandanpluralis.

Naiknya pamor kelompok minoritas di panggung politik, kebijakan yang tidak ramah kepada mayoritas dan toleransi kepada kelompok agama/kepercayaan lain adalah daftar isu yang rentan tindak kekerasan. Selainitu, Masalah juga bersumber dari ketidakefektifan Negara menegakkan hukum dan ketertiban. Dalam hal ini, rakyat menggunakan logika kekuasaannya sendiri untuk mensubtitusi kegagalan Negara. Sayangnya, Negara terkesan melakukan pembiaran pada berbagai penyakit demoralisasi masyarakat. Obat yang dinilai mujarab mengatur ormas adalah pemerintah menerbitkan UU Ormas. Namun Negara juga mengalami dilema yang tidak remeh. Penggiat masyarakat sipil mewaspadai Negara agar tidak terlalu dalam mengintervensi ruang public sipil. Oleh karena itu, Negara dan masyarakat harus menghormati konstitusi dan mentradisikan nilai demokrasi di internal Ormas.

Kemudian etika itu dijadikan landasan menyikapi berbagai masalah social. Begitu pula Negara harus efektif menegakkan hukum dan ketertiban dalam hidupberdemokrasi. Dengan demikian, kehadiran UU Ormas dapat dipahami bersama sebatas efektifitas instrumental menciptakan perdamaian dalam Negara semata.

Keywords:

Democracy; Anarkhi;

Government Effectivity

Abstract

Freedom and political competition in the Indonesian democracy are vulnerable to the practices of antagonistic politics. It can be seen from the growing of violence acts as the struggle method of some mass organizations, whether those with the religious identity or those with the political identity. The triggering point can be from the reactionary response on the incapability of accepting the consequence of living for democracy prior to the context of implementing the tolerant and pluralist ethics.The rise of minority group reputation in the political arena, the policies that are not in favor of the majorityand the tolerance towards the other religious/belief groups are included in the list of issues which are vulnerable to the violence acts. In addition, the problem can also come from the ineffectiveness of the state in establishing the law and tranquility. In this case, the people use their own logic of power to substitute the failure of the state. Unfortunately, the state seems to ignore various diseases of social demoralization. The efficacious cure to organize social organizations is that the government shall release the mass organization law.

However, the state undergoes the uneasy dilemma. The activists of civil society keep on guard against the state in order not to deeply intervene the civil public space.

Therefore, the state and the society have to respect the constitution and make the democratic value as a tradition in the intern of mass organization. Then, the ethics is made as the basic for anticipating various social problems. Besides, the state has to be effective in establishing the law and tranquility in the living of democracy. So, the existence of the mass organization law can be understood together as long as the instrumental effectivity creates peace in the state.

© 2016 Universitas Negeri Semarang

Alamat korespondensi: ISSN 2477 – 8060

Jl. Prof. Dr. H.R. Boenyamin No.708 Grendeng Purwokerto, Jawa Tengah 53122 Indonesia

(2)

Andi Ali Said Akbar/ Demokrasi Menundukkan Anarki

2

Pendahuluan

Pluralitas dan toleransi yang mengakar di Indonesia didukung oleh demokrasi yang semakin terkonsolidasi kembali terciderai oleh maraknya aksi kekerasan akhir-akhir ini. Fenomena radikalisme sejatinya bisa kita sebut sebagai pelajaran pahit awal reformasi 1998 dimana masyarakat kita banyak mengalami kekerasan etnik dan komunal. Daftar konflik dan kekerasan membentang mulai dari Konflik Ambon, Poso, Papua, Pontianak, Sampit, Situbondo dan lain-lain. Terjadi gesekan yang penyebabnya dialamatkan kepada perbedaan agama dan suku. Walaupun tidak sedikit analisis mencoba membedah lebih dalam bahwa konflik kekerasan tersebut akibat ketinpangan ekonomi dan dominasi sosial politik yang selama ini mereka alami.

Berlanjut ke rangkaian aksi terorisme yang berpusat di daerah wisata Bali, bekas daerah konflik, dan Ibukota Jakarta. Bahkan beberapa aksi perampokan besar memiliki hubungan dengan aksi lanjutan dari organisasi teroris.

Menjelang pemilu demokratis keempat mewabah lagi modus kekerasan baru bertajuk perbedaan ideologi, vandalisme, kelompok anarkhis. Muncul berbagai tindakan kekerasan ormas, premanis, konflik suksesi dan maraknya vandalisme warga berupa tawuran sekolah, antar desa, ormas agama dan kelompok, kenakalan remaja dan sebagainnya.

Diantara yang signifikan mencuri perhatian publik adalah tindak anarkhis yang dilakukan ormas berbasis agama, politik dan

kedaerahan. Rangkaian perisitiwa tindakan kekerasan dan penganiayaan kerap digunakan oleh ormas-ormas ini dalam memperjuangkan ideologi dan kepentinganya. Rekaman peristiwa tindak kekerasan dan vandalism ormas sudah mulai menguat, Bambang Hendarso Danuri menjelaskan terdapat 107 kasus tindak kekerasan ormas yang dilakukan sejak tahun 2007 hingga 2010. Tahun 2011 terdapat 20 kasus tindak kekerasan ormas.

Memasuki tahun 2012, kasus kekerasan belum menunjukkan tanda akan berakhir (Montik, dkk, 2013). Masih terdapat beberapa kasus tindak kekerasan penting FPI salah satu ormas yang cukup dikenal sebagai pelaku tindakan ini. terdapat pula ormas kepemudaan dan sayap partai yang terlibat tindakan anarkhis.

Sesungguhnya kehadiran partisipasi banyak ormas adalah keniscayaan demokrasi.

Indonesia yang memiliki tingkat pembilahan social yang sanggat tinggi tentu menjadi sumber tumbuh suburnya berbagai kelompok perjuangan. Pembilahan social meliputi etnis, ideologi, agama, status, profesi, pendidikan dan kedaerahan. Entitas yang telah membuktikan dirinya tidak sekedar ikatan simbolik saja. Embrio perjuangan ideology yang turut membentuk Negara diantaranya kelompok Islam, nasionalis dan sosialis.

Kemudian kedaerahan telah turut pula berkontribusi dalam memerdekakan Negara Indonesia. Dengan jumlah yang begitu banyak maka pasti menjadi kekuatan civil society yang kuat mengontrol Negara. kekuatan civil society yang kuat ketika memiliki taraf

(3)

Politik Indonesia: Indonesian Political Science Review 1 (1) (2016) 1-13

pemikiran dan keorganisasian yang memadai.

Munculnya berbagai bentuk anomaly partisipasi ormas yang kian berjarak dengan idealitas masyarakat sipil mendorong tuntutan agar Negara lebih efektif mengantur ruang gerak ormas. Sejak tingkat kekerasan ormas meningkat maka sejak kurun waktu itu pula wacana memperkuat posisi Negara mengontrol Ormas kian mengemuka.

Cermin keanekaragaman dapat dilihat dari jumlah Ormas yang sudah lebih dari 103 ribu di Indonesia yang terdaftar, baik di Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Hukum dan HAM maupun Kementerian Sosial. Belum lagi yang tidak terdaftar, di provinsi, di daerah, kalau dijumlahkan mungkin sampai 200 ribu. Menurut Mendagri dengan jumlah 200 ribu ormas, mana mungkin Negara tidak membuat UU yang mengaturnya.1 Pemerintah melahirkan gagasan Rancangan Undang-undang Organisasi Kemasyarakatan (RUU Ormas) pengganti Undang-undang Ormas melalui RUU Perubahan atas UU Nomor 8 Tahun 1985 tentang Ormas.RUU ini telah masuk dalam Prolegnas sejak tahun 2005-2009. RUU itu belum sempat dibahas di DPR, namun pengajuan RUU Ormas kembali muncul pada Prolegnas 2010-2014.2

1 Wawancara khusus Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi:"Banyak yang Belum Paham UU Ormas" UU ini jauh lebih lunak dibandingkan dengan UU nomor 8?.

Senin, 8 Juli 2013, 00:09 Suryanta Bakti Susila, Nila Chrisna Yulika VIVAnews. Diakses: Senin, 14 Oktober 2013 | 18:33 WIB.

2 5 Pemicu Kontroversi RUU Ormas.TEMPO.CO , Jakarta - Rabu, 03 Juli 2013 | 03:32 WIB diakses SENIN,14 OKTOBER 2013 | 18:21 WIB

Suasana batin para pemerhati demokrasi Indonesia segera berubah sejak agenda pembahasan RUU Ormas yang baru ini di DPR. Bayang-bayang lahirnya kembali praktek represi Negara terhadap masyarakat mulai muncul. RUU Ormas dapat ditunganggi oleh pemerintah dan politisi untuk membatasi ruang gerak Ormas terutama yang selama ini sering mengkritik isu sensitive seperti isu korupsi, kemandekan kinerja, oligarkhi politik, tindakan asusila dan sebagainya.

Penolakan terhadap RUU itu disuarakan sejumlah lembaga swadaya masyarakat, serikat buruh, serta ormas besar seperti Muhammadiyah. Penolakan juga berasal dari PGI (Persekutuan Gereja Indonesia) dan KWI (Konferensi Wali Gereja Indonesia). Sejumlah LSM membentuk koalisi masyarakat sipil juga menyampaikan penolakan. Anggota koalisi itu diantaranya Human Right Working Group (HRWG), Imparsial, Yappika, dan Elsam.3

Kedua pendulum antara tuntutan agar Negara bersikap tegas kepada Ormas radikal berhimpitan dengan keharusan Negara menjauhkan diri dari intervensi kemerdekaan sipil. Berbagai polemic dan perdebatan telah dijalani. Akhirnya Undang-undang Organisasi Kemasyarakatan disahkan dalam sidang paripurna Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pada 2 Juli 2013. Pengesahannya lewat mekanisme voting di mana 6 fraksi mendukung pengesahan UU Ormas, sedangkan 3 fraksi lainnya menolak. Enam

3 Ibid.

(4)

Andi Ali Said Akbar/ Demokrasi Menundukkan Anarki

4

fraksi pendukung adalah Demokrat, Golkar, PDIP, PPP, PKB, dan PKS. Sementara yang menolak adalah PAN, Hanura, dan Gerindra. 4

Negara adalah rumah besar seluruh anak bangsa sehingga tidak boleh ada kelompok yang bertindak seolah Negara dalam Negara.Perjuangan ideology dan kepentingan civil society hadir untuk mengawasi kinerja Negara melalui cara-cara yang konstitusional. Akan tetapi pemerintah Negara masih dianggap sebagai intitusi yang tidak terpercaya mengelola demokrasi, masih memungkinkan mempolitisasi kewenanganya untuk menghambat saluran politik masyarakat sipil maka terdapat dilema mendasar bagaimana Negara harus menempatkan diri dalam konsterlasi ini.

Kajian Pustaka

Latar belakang diatas memberikan pemahaman kepada kita tentang adanya ketegangan antara keinginan untuk merdeka berpolitik sekaligus jaminan bebas dari tindak kekerasan baik dari actor Negara dan nonnegara (Ormas).

Adapun teori yang digunakan untuk mengkaji rumusan masalah diatas adalah teori kekerasan dan teori demokrasi konsasional.

Teori kekerasan mengkaji bagaimana latar belakang munculnya metode tindakan kekerasan Ormas dalam memperjuangkan ideology dan kepentingannya. Teori demokrasi konsasional untuk mengkaji

4 Ibid. Wawancara khusus Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi.

bagaimana seharusnya Negara menempatkan diri sebagai pemegang otoritas yang mengatur lalulintas partisipasi politik rakyat sesuai dengan kerangka demokrasi pluralistic.

Pemaparan teori sebagai berikut:

Teori Kekerasan

Dalam memenangkan kompetisi dalam demokrasi, elit maupun massa di Indonesia sering menampilkan konflik.

Salahsatu strategi dasar dalam berkonflik adalah contending bertanding) yaitu mencoba menerapkan solusi yang lebih disukai oleh salah satu pihak atas pihak lain. Perilaku yang menyertainya adalah sikap contentious (suka bertengkar) (Pruit dan Rubin, 2004).

Pertengkaran berlarut rentan menimbulkan tindak kekerasan. Pengertian kekerasan sendiri mengilustrasikan sifat aturan sosial, pelanggaran aturan, dan reaksi sosial terhadap pelanggaran aturan yang kompleks dan seringkali bertentangan. Istilah kekerasan digunakan untuk menggambarkan prilaku, baik yang terbuka (overt) atau tertutup (covert), dan baik yang bersifat menyerang (offensive) atau bertahan (defensive), yang disertai penggunaan kekuatan kepada orang lain (Santoso, 2002).

Dalam pendapat lain diperkenalkan juga Istilah “kekerasan kultural” dan kekerasan struktural. Kekerasan kultural adalah aspek-aspek budaya, ranah simbolik eksistensi kita-ditunjukkan oleh agama dan ideologi, bahasa dan seni, ilmu pengetahuan yang bersifat empirik dan ilmu pengetahuan

(5)

Politik Indonesia: Indonesian Political Science Review 1 (1) (2016) 1-13

yang bersifat formal (logika, matematika)- yang dapat digunakan untuk menjustifikasi atau melegitimasi kekerasan langsung ataupun structural (Galtung, 2003). Implikasi kekerasan yang bersifat langsung adalah kekerasan yang bekerja dalam bentuk fisik, memberi efek jera melalui metode kekerasan badan berupa siksaan, penganiayaan, pembunuhan (Camara, 2005). Kekerasan langsung ini bisa dilakukan dalam bentuk personal yaitu dari satu individu ke individu lainnya, bentuk institusional yaitu dari satu komunitas, etnik, kelompok, kelas sosial kepada komunitas, etnik, kelompok, kelas sosial lainnya hingga kekerasan langsung yang dilakukan aparatur negara kepada individu maupun komunitas.

Sementara kekerasan struktural adalah bentuk kekerasan yang tidak bersifat langsung tetapi memberi efek penderitaan, penekanan, pembatasan, pengucilan kepada personal atau kelompok sosial tertentu.

Kekerasan pada level ini telah menampilkan bentuk yang paling terorganisir untuk kepentingan politik karena didukung oleh legitimasi keb/ijakan dan aturan negara.menurut Dom Helder Camara, kekerasan struktural ini merupakan mata rantai dari meluas dan mendalamnya efek kekerasan di level personal dan insittusional yang tidak terselesaikan hingga membentuk spiral kekerasan. Sebagai contoh:

ketidakadilan ekonomi antar komunitas akan banyak memicu kekerasan personal melalui pembunuhan, perampokan, pencurian hingga

mampu memicu terjadinya konflik komunal antar kelompok etnik atau antar kelompok sosial. Ketika konflik itu semakin meluas maka negara mengintervensi dalam bentuk represi fisik dan regulasi.

Satu faktor lagi yang mendasari penilaian ini adalah ketidakmampuan insitusi sipil (civil inadequacy) untuk mengelola negara ditandai dengan merebaknya berbagai krisis nasional seperti runtuhnya legitimasi pemerintah, ketidakmampuan pemerintah untuk memerintah, munculnya masalah sosial- ekonomi yang akut, serta munculnya empat tipe konflik-konflik internal (kerusuhan sosial, konflik komunal, separatisme, dan terorisme domestik) (Pramowardhani dan Widjajanto, 2007).

Teori ini akan digunakan untuk menganalisis anatomi ide kekerasan muncul dikalangan pengiat Ormas. Nilai-nilai ideal yang diperjuangkan dengan cara kekerasan justru mendeligitimasi visi ideal tersebut.

Apkah cara keekrasan ini timbul karean sebab mengakar dari basis pemikiran dan tradisi Ormas tersebut ataukah kekerasan itu muncul sebagai reaksi kekecewaan berlarut kepada Negara yang tidak kunjung efektif menegakkan keteraturan ditengah masyarakat.

Demokrasi Konsasional

Sebagai titik tekannya bahwa demokrasi hanya dapat disemaikan ketika terdapat “lahan” yang kondusif untuk dikembangkan. Katakanlah semisal Macpherson, dikatakan bahwa demokrasi

(6)

Andi Ali Said Akbar/ Demokrasi Menundukkan Anarki

6

seringkali menimbulkan kekecewaan (Macpherson, 1998); Dorothi Pickles, menegaskan bahwa tidak ada demokrasi yang sempurna; Tamsjo, berani mengatkan bahwa bisa terjadi konflik di antara demokrasi di suatu tempat dengan tempat yang lain di dalam masyarkat yang sama. Ungkapan seperti ini patut difahami untuk mencegah keterjebakan dalam mengaktualkan demokrasi.

Selanjutnya W. Ross Yates, mengajukan tujuh karakter khas demokrasi;

[I] toleransi terhadap orang lain; [ii] perasaan fair play; [iii] optimisme terhadap hakikat manusia; [iv] persamaan kesempatan; [v]

orang yang terdidik; [vi] jaminan hidup dan [vii] kebebasan dan milik. Dalam pandangan budaya politik sejumlah sikap untuk menghargai lokalitas yang diwujudkan dalam bentuk insititusionalisasi desentralisasi partai politik. Dalam upaya itu keteraturan pengelolaan otoritas politik antar aktor didalam partai berkembang dalam berbagai kultur antieksklusifitas politik dengan mendorong gagasan dan sikap politik sebagai berikut:

1. Pemahaman tentang trust terhadap aktor- aktor politik lain, dan terhadap lingkungan sosial;

2. Kemauan untuk berkompromi, yang muncul dari kepercayaan intrinsik dalam kebutuhan dan kompromi yang diinginkan;

3. Peradaban mengenai wacana politik dan penghargaan terhadap cara pandang yang lain.

4. Dapat ditambahkan di sini bahwa pemahaman tentang akomodasi adalah menyatakan; sikap kritis dan luwes terhadap tradisi, yang mempunyai dikotomi dengan sikap terikat dan patuh terhadap tradisi; sikap terbuka terhadap perubahan, yang mempunyai dikotomi dengan sikap sinis terhadap perubahan.

Ini berarti sikap akomodasi mempunyai dikotomi dengan sikap penilaian yang absolut. Dengan akomodasi, maka terdapat upaya-upaya untuk menyesuaikan antar diri antar pihak yang saling bertegangan, untuk mengatasi ketegangan-ketegangan tersebut, tanpa menghancurkan pihak lain (Albert Widjaja 1982: 129-130).

Senada dengan Dahl, Diamond,Linz dan Lipset merumuskan demokrasi sebagai:

suatu sistem pemerintahan yang memenuhi salahsatu syarat pokok yaitu : kompetisi yang sungguh-sungguh dan meluas diantara individu-individu dan kelompok-kelompok organisasi (terutama partai politik) untuk memperebutkan jabatan-jabatan pemerintahan yang mempunyai kekuasaan efektif, pada jangka waktu yang reguler dan tidak melibatkan penggunaan daya paksa (Diamond, 2003).

Teori ini akan digunakan untuk menganalisis kapasitas negara yang dinilai

(7)

Politik Indonesia: Indonesian Political Science Review 1 (1) (2016) 1-13

bagian dari penyebab terjadinya kekerasan ditubuh ormas ataukah bagian dari pengendali tindak kekerasan melalui penerapan UU.

Ormas. Penilaian negara sebagai penyebab dikarenakan asumsi kelalaian kinerja atau pembiaran. Pemberlakuan UU. Ormas hendak dikaji tingkat kesesuaiannya dengan semangat demokrasi konsosasional yang mengedepankan pluralisme dan konsensus antar pihak dalam kehidupan bernegara.

Temuan dan Diskusi Demokrasi dan Kekerasan

Masih lekat diingatan kita bahwa pelaku dominan meningkatnya aksi anarkhis ormas dilakoni oleh ormas Islam. Selebihnya ormas yang berbasis etnis, kedaerahan, jaringan politik, ataupun jaringan personal.

Pembenaran mendasar bahwa praktek kekerasan ini tidak hanya melanda ormas Islam tetapi melanda semua kelompok politik yang bertarung kekuasaan di era demokrasi.

Partai politik sebagai penggerak politik ditingkat nasional dan lokal sering kali menggunakan mobokrasi (mobilisasi massa) sebagai instrument untuk meraih kepentingan- kepentinganya. Karenanya demokrasi yang dikendalikan oleh politik mobokrasi parpol ini mudah tergelincir kedalam konflik dan pada puncaknya menghasilkan kerusuhan dan pertikaian (Imawan dan Erawan, 2006). Lihat saja ketika terjadi sengketa hasil Pilkada.

Suksesi selalu berakhir dengan bentrokan antar pendukung. Oleh karena itu, meluasnya spektrum partisipasi politik masyarakat baik

dalam konteks menuntut maupun mengawasi pemerintah memaksa elit politik menghadirkan “pesaing” politik ditingkat akar rumput. Mengeliatnya ormas-ormas yang memiliki ikatan cultural dengan kepentingan pemerintah menuai penilaian yang membingungkan. Sebagai representasi masyarakat untuk perjuangan di level elit atau kelompok yang telah terkooptasi dan terdominasi elit.

Bagi Fukuyama, aksi-aksi terorisme, penyebaran penyakit, bertahannya tingkat kemiskinan, serta merebaknya perang sipil bukanlah hal ikhwal yang berdiri sendiri.

Peristiwa-peristiwa tersebut merupakan gejala politik dimana Negara sebagai institusi terpenting dalam masyarakat gagal menjalankan perannya, menurutnya gejala semacam ituloah yang menajadi ancaman terbesar bagi umat manusia pada awal abad ke-21 (Fukuyama, 2005). Sebagaimana telah kita maklumi pula bahwa sejumlah kasus kekerasan juga dilakukan Ormas berbasis Islam. Kelompok Barat adalah entitas yang paling rentan apriori terhadap eksistensi agama dalam menata hukum dan ketertiban didalam sebuah Negara. Dominasi aksi anarkhis agama ini kembali mengukuhkan phobia public terhadap Islam (Islamophobia).

Agama tampil sebagai pedang bermata dua.

Sebagai sumber inspirasi perjuangan dan perdamaian social ataukah sebagai sumber kemunduran kehidupan social. Kekerasan ormas Islam begitu cepat menular menjadi sikap apriori public pada seluruh umat Islam

(8)

Andi Ali Said Akbar/ Demokrasi Menundukkan Anarki

8

di Indonesia. Walau berkali-kali ditampik bahwa gejala tersebut tidak merepresentasikan Islam di Indonesia. Namun demikian fakta tersebut kembali memicu berbagai pihak mempertanyakan bagaimana sikap intoleransi kelompok beragama kembali marak di alam demokrasi Indonesia.

Terdapat penilaian yang akhir-akhir ini populer tentang hubungan Islam dan demokrasi, terutama yang dikemukakan oleh Samuel P. Huntington dan Francis Fukuyama, memberikan penjelasan lain tentang sikap banyak pihak untuk tidak memasukkan Islam dalam analisis mereka tentang demokratisasi.

Penekanan analisis atas kehidupan politik Islam terutama yang berkembang di sebagian besar dunia Arab daripada atas “Persyaratan- persyaratan sosial sebuah sistem demokrasi”

bagi masyarakat manapun, telah mendorong mereka untuk berpendapat bahwa Islam secara inheren tidaklah sesuai dengan demokrasi. Bahkan, oleh sementara pihak Islam telah dipandang sebagai “Ancaman besar terhadap kegiatan-kegiatan Liberal”

(Huntington, 1996).

Pendapat semacam ini terbentuk karena adanya pandangan yang monolitis terhadap Islam. Terlebih lagi, pikiran seperti ini hanya merujuk pada kegiatan sementara aktivis muslim militan dan radikal, khususnya yang berkembang di Timur tengah.

Sebagaimana dilihat oleh John L Esposito,

”Kegiatan-kegiatan yang berbau kekerasan selalu dialamatkan ke Islam, yang dilakukan oleh sementara pihak atau gerakan politik

tertentu”. Dengan demikian, istilah seperti militan atau radikal Islam “Dipakai secara sembarangan, mencakup seluruh pemimpin, negara dan organisasi.” Pemimpin nasional kita, Ormas Islam terbesar NU dan Muhammadiyyah begitu keras mengkritik cara pandang seperti ini. pemikiran, organisasi dan metode perjuangan sangat berseberangan dengan kelompok minoritas agama yang menempuh jalan kekerasan tersebut.

Basis legitimasi metode kekerasan bisa terbentuk dari dua sebab pertama, karakteristik nilai, pemikiran dan tradisi yang terbangun dalam tradisi kelompok tersebut.

Gejala ini berangkat dari berbagai sebab yakni Pengkajian teologis yang kurang memadai kemudian sikap tertutup terhadap peluang berdialog dengan kelompok pergerakan Islam moderat. Ketidakmatangan berfikir ini berpadu dengan respon rekasioner atas fakta keterpurukan umat Islam yang dilanda konflik dan kemunduran didalam nengeri maupun berbagai kawasan di dunia.

Kedua, mereka hadir sebagai penganti

“ketidakhadiran” Negara menegakkan aturan public. Publik mencurigai Negara masih terjangkiti penyakit buruknya mentalitas kerja aparatur Negara atau kesengajaan melakukan pembiaran. Disatu sisi kegagalan Ormas membangun partisipasi sipil yang beradab mendorong kian mengerus kepercayaan public, menganggu ketentraman dan menuntut agar Negara lebih tegas menertibkan Ormas.

Berangkat dari kekecewaan atas lemahnya penegakan moral social dalam kehidupan

(9)

Politik Indonesia: Indonesian Political Science Review 1 (1) (2016) 1-13

sehari-hari seperti penertiban lokalisasi, peredaran minuman keras, penutupan tempat hiburan, pelarangan warung makan dibulan Ramadhan, tempat perjudian dan sebagainnya.

Penegakan moralitas sosioreligius telah mengalami transformasi dari fungsi insittusi agama menjadi fungsi institusi Negara.

Transformasi pelaku penegakan aturan dikenal sejak agama mengakui keberadaan Negara modern. Manakala mandat moral agama tidak dijalankan dengan baik oleh Negara maka masyarakat mencoba mengambilalih peran itu sebagai bentuk kritik pada Negara sekaligus menegakkan marwah agama di tengah masyarakat.

Nampaknya pertikaian dalam tingkatan ideologis yang mempertentangkan Islam dengan pemikiran lain khususnya demokrasi lebih dikenal sebagai politik aliran.

Dalam konstelasi internal Islam, penggiat politik aliran kerap pula disebut sebagai Islam Fundamentalis, Islam Konservatif, Islam Puritan. Suasana yang pernah melanda Indonesia di era pemilu 1955 dan menghasilkan demokrasi yang tidak terkonsolidasi pada masa itu. Masalah kekinian mengarah pada bentuk yang lebih lunak yakni penilaian bahwa demokrasi dianggap gagal melindungi nilai kehidupan yang dianut kelompok mayoritas yakni kelompok Islam. Demokrasi lebih mencerminkan akomodasi terhadap prilaku hidup liberal dan penampilan pemerintah yang tidak peduli pada kohesi social, budaya local dan kemajuan pembangunan.

Akumulasi kekecewaan kepada pemerintah mengalir ke pemaknaan yang lebih mendalam bahwa gejala itu sebagai kemunduran besar bagi mayoritas Islam.

Segala dampak negative setelah diterapkannya demokrasi merupakan derita massal bagi kelompok mayoritas muslim Indonesia.

Suasana batin ini terekspresi pada keseriusan mempopulerkan wacana aksi radikal hingga memanfaatkan kebebasan berpendapat untuk menyebarluaskan wacana pergantian system pemerintahan menuju system Islam. Ide ini dinilai memberi jawaban mutlak mengatasi kelemahan demokrasi. ide-ide generative tentang bagaimana memahami demokrasi secara lebih dalam termasuk berbagai kiat-kiat memperkuat konsoplidasi demokrasi semakin dipinggirkan ataupun dianggap jalan kompromistis. Jalan itu hanya bagi kelompok Islam yang sangat dipengaruhi oleh logika Negara.

Nahdhatul Ulama (NU) dan Muhammadiyyah adalah contoh Ormas Islam terbesar di Indonesia yang gerakannya lebih moderat dan akomodatif terhadap kepentinganpenegakan fungsi moral Negara.

Baginya, fungsi moral agama telah mengalami transformasi menjadi fungsi moral Negara sehingga jalan terbaik adalah mendorong Negara mengefektifkan instrumen penegakan hukumnya.Jeff Heynes sendiri pernah mencoba membangun pemikiran bahwa kelompok anarkhis ini dilabeli “kelompok aksi” (Hayness, 2000). Kehadiran mereka memiliki makna positif karena umumnya

(10)

Andi Ali Said Akbar/ Demokrasi Menundukkan Anarki

10

kelompok ini lahir dari kelompok minoritas dalam berbagai hal. Keberadaan mereka sebagai usaha merebut kekuasaan yang selama ini didominasi elit. Elit masih bisa memelihara dominasinya dalam transisi demokrasi sehingga secra ideologispun demokrasi dinilai system yang tidak relevan memperbaiki keadaan.

Hal ini senada dengan teoritisasi yang dikembangkan oleh Dom Helder Camara yang terkenal dengan postulatnya ”Kekerasan hanya akan menghasilkan kekerasan baru”.

Kekerasan dalam bentuk personal dapat ditularkan ke orang lain hingga menjadi kebencian komunal dan ketika konflik semakin tidak terkendali maka tiap pihak memanfaatkan otoritas organisasi atau negara untuk melakukan kekerasan resmi maka terbentuklah spiral kekerasan (Camara, 2005).

Spektrum kekerasan dalam tata kelola negara dinilai sebagai pemicu kekecewaan publik.

Publik mencoba merubah jalan pemerintahan dengan cara mereka sendiri-sendiri. Diagnosa bahwa negara sebagai pemicu kekerasan yang kemudian melahirkan bentuk-bentuk kekerasan baru di luar negara.

Dilema Memperkuat Negara

Pelabelan politik negara lemah, mencerminkan ketidakefektifan negara memposisikan diri dalam mengelola tuntutan dan dukungan atas satu isu. Tidak mampu menegakkan hukum dan ketertiban serta wibawa pemerintah dimata publik.Dengan kompleksitas masyarakat yang tinggi baik dari

segi pembilahan sosial budaya, agama, ekonomi dan aliran pemikira maka keretakan kohesi sosial dapat terjadi dalam iklim politik yang lebih terbuka, liberal dan penuh persaingan. Terkadang membangun nilai demokrasi kemudian mendesain sistem politik demokratis tidak secepat atau serumit membudayakan nilai demokrasi dalam kehidupan masyarakat sehari-hari.

Kemungkinan munculnya berbagai respon pro dan kontra demokrasi masih tinggi. Oleh karena itu, pada proses konsolidasi demokrasi senantiasa dihantui pula oleh berbagai masalah yang mampu membatasi, memperlambat bahkan mendorong transisi ini menyimpang menuju arah kembali bayang- bayang otoritarian.

Diagnose awal menyatakan kegagalan Negara membangun efektifitas keteraturan membuat ormas agama maupun ormas politik mengalami kekecewaan. Sifat banditis akibat Negara yang terkesan acuh terhadap kebutuhan mereka. Banditisme juga bisa muncul dikarenakan dominasi monolitik Negara kepada ormas. Ormas yang menggunkaan symbol-simbol Negara lebih banyak bertindak sebagai perpanjangan tangan politisi dan birokrat untuk mempengaruhi masyarakat. Ormas ini tidak memahami Negara dalam konteks bottom up.

Karena itu tidak akan mampu mengakomodir kepentingan public. Justru sebaliknya, public mengalami pembilahan kepentingan dan ketergantungan ruang gerak dari pemerintah.

Kasus konflik antar Ormas nasional dan

(11)

Politik Indonesia: Indonesian Political Science Review 1 (1) (2016) 1-13

daerah ataupun ormas sayap partai umumnya bukan dalam konteks perjuangan isu publik.

Konflik mereka sebatas perebutan lahan politik, jabatan, proyek dan sebagainya.

Artinya masalah berawal dari kontigensi kecil dilevel implelemtasi kebijakan. Masih dalam kategori masalah kontekstual. Pembiaran yang berlarut memdorong kekecewaan yang akut. Ekspresi kritik kemudian berubah menjadi tindakan main hakim sendiri, membuat aturan sendiri dan memilih mendeligitimasi instrument ketertiban Negara. Oleh karena itu, Negara juga harus belajar mengkoreksi diri dan memahami posisinya sebagai bagian dari gejala radikalisme ormas itu sendiri.

Membangun Keteraturan

Guna mendudukkan anatomi persoalan kekerasan Ormas maka tulisan ini mencoba menawarkan kesimpulan bahwa gejala ini lahir dari sebuah sebab kontekstual bukanlah oleh sebab yang mengakar. Sebab yang muncul dari kegagalan Negara membangun ketertiban public kemudian memancing timbulnya klaim kearah sebab- sebab yang mengakar, benturan ideologis hingga teologis.

Plato yang mulai menerangkan gagasan ini dalam hubunganya dengan sebuah kota (Polis). Ia menjelaskan bahwa beruntunglah sebuah kota yang memiliki pembuat undang-undang (legislator) yang piawai, yang berpengetahuan dan berpendidikan tinggi, sehubungan dengan

segenap hal yang terkait dengan kemakmuran dan hal-hal lainnya,serta selanjutnya beruntunglah para pembuat undang-undang yang didengan dan ditaati oleh rakyatnya dan rakyat juga taat dan siap menerima tradisi- tradisi yang terwujud dalam rezim-rezim (Yamani, 2002). Konsolidasi paling berguna jika dimaknai sebagai proses pencapaian legitimasi yang luas dan kuat sehingga semua aktor politik yang signifikan, pada tingkat elit maupun massa, percaya bahwa rezim demokrasi adalah benar dan tepat bagi masyarakat mereka, lebih baik dari alternatif realistis lain yang dibayangkan (Diamond, 2003). Para pemain politik harus menghormati demokrasi (hukum-hukum, prosedur, dan institusi-institusi yang ditetapkanya) sebagai the only game in town, satu-satunya kerangka kerja yang layak untuk mengatur masyarakat dan memajukan kepentingan mereka sendiri.

Teringat argumen Samuel P.

Huntington dalam kajian transisi politik menyatakan jikalau sebuah Negara transisi demokrasi belum mampu menunjukkan hasil kerja yang menggembirakan dalam dua tahun pertama maka rakyat akan cenderung membangun romantisme iklim kehidupan masa lalu atau rejim lampau (Huntington, 1997). Ketidakhirauan Negara menanggapi kekecewaan public bisa menjalar menjadi sikap anti Negara. Karena itu, upaya mendasar yang harus dipahami oleh Negara adalah jangan mudah membangun definisi bermusuhan dengan kelompok kekerasan sebelum memahami logika dibalik tumbuhnya

(12)

Andi Ali Said Akbar/ Demokrasi Menundukkan Anarki

12

sikap demikian kepada Negara. Jika Negara selalu hadir mengelola tegaknya aturan dan etika social maka rakyat tidak akan mencari jalan penyelesaian sendiri-sendiri. Efektifitas Negara menegakkan aturan publik pada akhirnya menjadikan UU Ormas sebatas efektifitas intrumen semata demi mengantisipasi kondisi darurat kemudian menjauhkan Negara dari proses pembatasan kemerdekaan politik Ormas.

Kesimpulan

Secara kultural, penting pula melakukan perubahan strategi pengakaran budaya demokrasi di tubuh Ormas. Selama ini hanya dikenal strategi pembangunan semangat demokrasi dan pluralism melalui dialog dan kerjasama antar ormas dan kelompok berbeda agama kemudian antara ormas dengan Negara. Belum banyak dikembangkan strategi dialog internal umat beragama seperti dialog antar sesame Ormas Islam sendiri. Padahal kita ketahui antara NU, Muhammadiyyah, ICMI, JIL, FPI, Budayawan, Universitas dan lain sebagainnya memiliki akar sejarah, pemikiran, tradisi dan strategi gerakan yang jauh berbeda satu sama lain. Pembelajaran dari perbedaan sejarah, pemikiran dan tradisi ini masih jarang didialogkan di internal umat Islam sendiri. Tradisi dialog dan kerjasama antar sesame ormas seagama akan menumbuhkan promosi nilai-nilai etika politik yang mencerminkan sikap ideal berdemokrasi.

Resep yang sama juga harus tumbuh dikalangan Ormas nasional, kepemudaan dan

kedaerahan. Ormas seperti Pemuda Pancasila (PP), KNPI, Laskar Merah Putih dan sebagainnya. Sesama Ormas hendaknya mengembangkan diskursus dan kerjasama gerakan yang mencerminkan etika politik dan kepentingan bersama sehingga terbangun ikatan emosional, persaudaraan dan kedewasaan berpolitik. Nantinya ketika terdapat isu ataupun momen yang membuat mereka bersingungan maka tidak akan mudah terarah pada konflik yang menajam dan anarkhis. Pada akhirnya baik Ormas dan Negara memiliki tanggung jawab yang sama pentingnya dalam mengembangkan kultur dan etika masyrakat sipil di sebuah Negara demokrasi.

Daftar Pustaka

Camara, D. H., & Trijono, L. (2000). Spiral Kekerasan. Pustaka Pelajar: Insist Press.

Diamond, L. (1999). Developing democracy:

Toward consolidation. JHU Press.

Effendy, B. (1998). Islam dan Demokrasi:

Mencari Sebuah Sintesa yang Memungkinkan. dalam M. Nasir Tamara dan Elza Peldi Taher (ed.), Agama dan Dialog antar Peradaban, Jakarta: Paramadina.

Fukuyama, F. (2005). Memperkuat Negara:

Tata pemerintahan dan tata dunia abad 21. Jakarta, Gramedia, Pustaka Utama.

Galtung, J. (2003). Studi Perdamaian:

Perdamaian dan Konflik

(13)

Politik Indonesia: Indonesian Political Science Review 1 (1) (2016) 1-13

Pembangunan dan Peradaban.

Eureka: Surabaya.

Haynes, J., & Soemitro, P. (2000). Demokrasi dan masyarakat sipil di Dunia Ketiga: gerakan politik baru kaum terpinggir. Yayasan Obor Indonesia (YOI).

Huntington, S. P. (1991). Gelombang demokratisasi ketiga. Grafiti.

Karim, R. M. (1998). Peluang dan Hambatan Demokratisasi.

Moleong, L. J. 2007. Metodologi penelitian kualitatif, 4-10.

Montik, A. D. (2014). Pertanggungjawaban Pidana Organisasi Masyarakat (Ormas) Yang Melakukan Tindakan Kekerasan. Jurnal Mahasiswa Fakultas Hukum, 1 (1).

Pramodhawardani, J., & Widjajanto, A.

(2007). Bisnis Serdadu: Ekonomi Bayangan. Jakarta: The Indonesian Institute.

Pruitt, D. G., & Rubin, J. Z. (2004). Teori Konflik Sosial. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Riswandha Imawan, I Ketut Putra Erawan Dkk”Parpol, Pemilu dan Parlemen”

PLOD UGM dan JIP Fisipol UGM 2006.

Santoso, T. (2002). Teori-teori kekerasan.

Jakarta: Ghalia Indonesia.

Wawancara khusus Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi:"Banyak yang Belum

Paham UU Ormas" Senin, 8 Juli 2013, 00:09 Suryanta Bakti Susila, Nila Chrisna Yulika VIVAnews.com diakses Senin, 14 Oktober 2013 | 18:21 WIB

Yamani, Fisafat Politik Islam Antara Al Farabi dan Khomeini, Mizan:

Bandung, 2002.

5 Pemicu Kontroversi RUU Ormas.

Tempo.co, Jakarta - Rabu, 03 Juli 2013 | 03:32 WIB diakses Senin,14 Oktober 2013 | 18:21 WIB.

(14)

Politik Indonesia: Indonesian Political Science Review 1 (1) (2016) 14-29

Politik Indonesia

Indonesian Political Science Review

http://journal.unnes.ac.id/nju/index.php/JPI

Jean-Jaques Rousseau dalam Demokrasi

Daya Negri Wijaya1

1 Universitas Negeri Malang, Indonesia Info Artikel Abstrak

Sejarah Artikel:

Diterima 15 Juli 2015 Disetujui 15 Desember 2015 Dipublikasi 15 Januari 2016

JJ Rousseau adalah salah satu pemikir politik. Dia hidup sejalan dengan majunya ilmu pengetahuan dan seni. Namun, dia merasa dengan adanya kemajuan semakin menggerus moralitas masyarakat. Demokrasi menurutnya diterapkan secara langsung tanpa ada perwakilan dari rakyat. Hal ini disebabkan karena kebebasan setiap warga negara harus diperjuangkan. Setiap orang memiliki hak alamiah yang tidak bisa direbut dan diberikan pada orang lain. Mereka menjalin kesepakatan sosial untuk membangun Negara. Pemerintah dikembangkan bukan untuk membatasi suatu kekuasaan tetapi untuk menjamin kebebasan kekuasaan. Selain itu, dia juga memberikan gagasan bagaimana membangun masyarakat demokrasi. Tulisan ini diharapkan dapat memberikan pegangan moralitas bagi para politikus.

Keywords:

Philosophy of Politics;

General will; Civil Society;

Ethics of Politics

Abstract

JJ Rousseau is one of political thinkers. He lives in the advance of science and art.

However, he realizes that the progress of science and art declines the moral of society. Democracy, in his view, should be implemented by direct rule without any representation. This is caused by the freedom of every citizens which should be struggled. Everyone has a natural right which could not be seized and be given for others. They make a social contract to shape a nation. A government is developed which is not to limit a power but to ensure the freedom of a power. In addition, he gives an idea on how to build a democratic society. This article is expected to give a moral guidance for politicians.

© 2016 Universitas Negeri Semarang

Alamat korespondensi:

Jl. Ki Ageng Gribig No. 45, Kedungkandang, Malang Jawa Timur 65139 Indonesia Email: dayawijaya15@yahoo.com

ISSN 2477 – 8060

(15)

Politik Indonesia: Indonesian Political Science Review 1 (1) (2016) 14-29

Pendahuluan

Masalah moralitas dalam dunia politik dianggap sebagai sesuatu yang kabur. Hal ini terjadi karena begitu banyak yang mengembangkan moral partisan, eksklusif, dan tertutup. Politik dicitrakan sebagai akal- akalan dan perebutan kekuasaan saja. Reduksi makna ini jamak terjadi dalam negara demokrasi tak terkecuali Indonesia. Menurut Salahudin (2015: 6), kini rakyat kehilangan daulatnya, ekonomi semakin tidak jelas arahnya, korupsi kian merajalela, dan kaum politisi sibuk mengurus dirinya sendiri dan atau memainkan kartu politiknya untuk kepentingan kaumnya, serta oligarki diam- diam menggeser spirit demokrasi. Sementara, agama yang diharapkan mampu mencerahkan malah tampil sebagai jubah politisi untuk menggoda warga bahwa politik agama itu penting.

Politik uang dalam pemilihan umum baik dari tingkat daerah maupun nasional terus merajalela. Ikon pemilu yang bebas, jujur, dan adil serta merta dipertanyakan oleh khalayak umum. Blum (2013) menjelaskan bahwa negara penganut demokrasi belum tentu menjamin adanya sebuah sistem yang bebas kepentingan. Dia memberikan sebuah contoh bagaimana pasca 1945 pemerintah AS mencoba untuk menggulingkan pemerintahan di lima puluh negara dan campur tangan pada pemilu di negara-negara tersebut.

Kemungkinan besar Indonesia masuk dalam negara yang dicampuri tersebut.

Ketidakjujuran serta hukum yang seolah-olah mati suri ini menghasilkan manusia komperador. Manusia komperador cenderung mementingkan kepentingan diri serta golongannya tanpa memperhatikan kepentingan rakyat. Parahnya, perilaku korupsi kini menjadi budaya populer yang jauh akan adanya perasaan malu dan bersalah.

Seolah-olah sistem demokrasi yang diterapkan di Indonesia dipengaruhi oleh kepentingan asing. Setidaknya hal ini terlihat dari sikap (kebijakan) pemerintah yang enggan menasionalisasikan beberapa perusahaan asing yang menguasai sektor-sektor yang seharusnya dikuasai negara dan dijalankan oleh pemerintah. Padahal sejatinya para pendiri bangsa menyerukan sosio-demokrasi agar pemerintah dapat menjamin kesejahteraan rakyat (Hariyono, 2013).

Sadar ataupun tidak, kini Indonesia yang disebut sebagai salah satu negara berkembang sedang mengalami proses industrialisasi dari pabrik-pabrik negara- negara maju. Sebagai contoh, penulis memiliki pengalaman untuk berkunjung ke Old Trafford, stadion kebanggaan klub sepak bola liga premier Inggris, Manchester United.

Di sekitar stadion terdapat toko resmi klub yang menjual berbagai atribut termasuk kostum klub (jersey), syal, dan berbagai pernak-pernik lainnya. Saat mendekat dan mengamati kostum klub tanpa diduga kostum tersebut made in Indonesia atau dibuat di Indonesia. Nampaknya telah terjadi industrialisasi global disini dimana untuk

(16)

Daya Negri Wijaya/ Jean-Jacques Rousseau dalam Demokrasi

16

menekan biaya produksi suatu barang dan menekan upah pekerja yang murah maka diputuskan untuk membuat pabrik di negara berkembang. Praktek ini dipandang lebih murah dan hasil produksinya didistribusikan dengan harga yang berkali lipat lebih mahal ke seluruh penjuru dunia. Sebenarnya tidak ada yang menyangsikan bahwa Indonesia memiliki kekayaan yang luar biasa baik dari aspek sumber daya alam maupun sumber daya manusia. Namun, menjadi sebuah renungan mengapa Indonesia belum memenuhi syarat sebagai negara maju padahal demokrasi telah diterapkan sebagai kredo.

Demokrasi ataupun sosio-demokrasi yang diyakini para pendiri bangsa sebagai jalan untuk menyejahterakan rakyat belum begitu sepenuhnya telah dijalankan secara ideal ditengah peta percaturan indutrialisasi yang semakin mengglobal. Hal ini kemudian bermuara pada satu permasalahan dalam demokrasi Indonesia yang masih berproses yakni ketidakpercayaan masyarakat terhadap proses demokrasi dan perpolitikan Indonesia.

Dapat dianalogikan bahwa jika kita sebagai anggota dari sebuah organisasi, jika organisasi tersebut memperjuangkan hak-hak serta kepentingan anggotanya maka dapat dipastikan anggotanya akan menunjukkan kinerja serta loyalitas yang bagus pada organisasi tersebut. Begitu pula dengan hubungan negara dan warga negaranya, jika negara mampu mengayomi segala hak-hak dasar warganya maka sikap acuh terhadap negara akan sirna serta rasa nasionalisme akan

tumbuh. Inilah karakter utama masyarakat Indonesia kini yang cenderung pragmatis dengan adagium “uang memang bukan segalanya tetapi segalanya butuh uang”.

Ketika ilmu politik selalu tunduk pada ranah ilmiah empirik maka yang terlihat hanyalah pertarungan kekuasaan dan kepentingan. Tata politik yang nampak hanyalah kisah-kisah buruk pertikaian sehari- hari. Perlu kiranya khalayak berfilsafat politik dan merenungkan apa yang sebenarnya terjadi. Berfilsafat politik berarti memandang secara reflektif pergumulan tata hidup manusia sehari-hari (Riyanto, 2011: 39).

Salah satu filsuf politik yang layak untuk dibahas adalah Jean-Jacques Rousseau.

Pikiran Rousseau telah menjadi inspirasi eksperimen demokrasi bagi para revolusionis Prancis pada akhir abad 18. Dia begitu mengutuk monarki absolut dan masyarakat penindas serta menuntut kembalinya kebebasan manusia. Menurut Rakhmat (2010:

xvii), pemikiran Rousseau telah menjadi pemikiran filsafat klasik. Hal ini berarti pemikirannya tersebut relevan untuk berbagai zaman, lintas ruang, dan waktu. Dengan melihat kembali pemikiran filsafat politik Rousseau diharapkan sidang pembaca memiliki gambaran pada makna kebebasan moral dan politik (Haryatmoko, 2014: 15).

Tulisan ini akan membahas kehidupan dan pemikiran Rousseau dalam demokrasi meliputi hak dasar manusia; kehendak umum;

serta cara membangun masyarakat demokrasi.

(17)

Politik Indonesia: Indonesian Political Science Review 1 (1) (2016) 14-29

Temuan dan Diskusi Kehidupan JJ Rousseau

Rousseau hadir di muka bumi dibalut dengan kepedihan. Ibunya meninggal sepekan setelah dia dilahirkan. Dia lahir di Jenewa, Swiss pada tanggal 28 Juni 1712. Ayahnya, Issac Rousseau, seorang tukang jam yang menemani masa kecil Rousseau dengan membaca karya klasik Plutarch. Issac merupakan pengagum berat Peradaban Romawi. Dia selalu menggores pikiran Rousseau bahwa kota Romawi kuno adalah cermin dari kehidupan kota yang adil, aman, sejahtera, serta adanya jalinan yang akrab antar anggota masyarakat. Menurut keduanya, Jenewa merupakan representasi kota Romawi kuno yang bahagia. Jenewa adalah kota yang damai dan dikelilingi gunung-gunung serta hutan-hutan yang masih lebat. Keadaan lingkungan ekologinya bersih tanpa polusi.

Warga negaranya mematuhi hukum. Baik Rousseau maupun ayahnya bangga menjadi warga kota kecil ini (Suhelmi, 2001: 238- 239). Pada kemudian hari, Rousseau melihat Jenewa sebagai pemerintahan negara kota yang adil dan demokratis yang pernah ada.

Pengagungannya pada negara kota itu menjadi sebab mengapa banyak orang menilai filsafat politiknya tidak pernah ada hubungan langsung dengan politik di masa kini (Sabine, 1981: 227).

Sejak kecil sampai menjelang usia remaja, Rousseau dididik sebagai seorang Calvinis Ortodoks. Namun, dia berganti agama menjadi Katolik karena tiada sarana

untuk bertahan hidup dan acara pentahbisannya berlangsung di Turin.

Menurut Rousseau dalam Russel (2007: 895),

“saya tidak dapat menutup-menutupi bahwa perbuatan suci yang akan saya lakukan pada dasarnya tidak berbeda dengan tindakan seorang bandit”. Dia mengakui bahwa apa yang diperbuatnya adalah sesuatu yang salah walaupun dia memeluk Katolik secara tulus.

Setelah dia keluar dari Turin dengan membawa uang dua puluh franc, dia menjadi pesuruh seorang wanita bernama Madam de Vercelli. Namun kebersamaan dengan de Vercelli tidak berlangsung lama karena dia meninggal tiga bulan kemudian. Disinilah kemudian Rousseau bertemu dengan Madam de Warens. De Warens kemudian mengangkat Rousseau sebagai anak asuh pada medio 1732. Madam de Warens sangat berjasa membentuk kepribadian dan watak pemikiran Rousseau. Dia menyediakan perpustakaan dan membentuk Rousseau menjadi penulis yang handal (Suhelmi, 2001: 240).

Setelah de Warens menemui ajalnya, Rousseau mulai mengembara dan berjalan kaki tak tentu arah. Dia secara kebetulan menjadi seorang sekretaris pada seorang yang memperkenalkan dirinya sebagai kepala biara ketika mereka berjalan menuju Holy Sepulchre; namun di kesempatan lain Rousseau melakukan hubungan gelap dengan wanita kaya. Wanita tersebut kemungkinan yang menuntunnya untuk menjadi sekretaris bagi duta besar Prancis untuk Venezia bernama Montaigu. Dia mengerjakan tugas

(18)

Daya Negri Wijaya/ Jean-Jacques Rousseau dalam Demokrasi

18

dari atasannya dengan sangat baik namun dia tidak digaji. Dia kemudian pergi ke Paris untuk mendapatkan keadilan. Dia mendapatkan gajinya yang tertunda serta bertemu dengan Therese le Vasseur. Orang yang kemudian diperlakukan selayaknya seorang istri dan memberikannya lima orang anak (Russel, 2007: 897).

Pada tahun 1749, Rousseau berjalan sambil membaca koran Mercure de France.

Dia menemukan iklan sayembara menulis esai dengan pertanyaan, “apakah kemajuan dalam bidang seni dan ilmu-ilmu pengetahuan memberikan sumbangan untuk memurnikan moralitas?”. Pertanyaan tersebut membuka mata Rousseau bahwa kegagalan hidupnya yang sebelumnya dia rasakan samar-samar disadarinya dengan terang. Dia menerima tantangan sayembara sebuah akademi di Dijon tersebut dengan respon “tidak!”. Dia menguraikan bagaimana sebenarnya kemajuan seni dan ilmu pengetahuan tidak berjalan seiringan dengan moralitas umat manusia. Ternyata dia mendapat hadiah yang pertama dan menjadi terkenal di seantero Prancis (Magnis-Suseno, 1992: 79).

Rousseau mulai menempuh jalan hidup yang sesuai dengan prinsipnya. Dia memilih hidup sederhana dengan menjual arloji. Dia kemudian menulis esai kedua berjudul Discourse on Inequality. Esai tersebut berisi tentang manusia itu baik dan karena institusilah berubah menjadi jahat. Dia kemudian mengirimkan esainya pada Voltaire yang secara terus terang menentang pemikiran

Rousseau. Voltaire merasa Rousseau ingin membawa manusia pada masa kecilnya secara merangkak. Ketika di Lisbon terjadi gempa pada tahun 1755, Voltaire membuat sebuah puisi dan Rousseau menyerangnya, “Voltaire selalu percaya pada Tuhan namun tidak percaya pada siapapun”. Pada tahun 1760-an, Rousseau sangat produktif dengan menerbitkan karyanya seperti La nouvelle Heloise (1760), Emile (1762), dan The Social Contract (1762). Namun kedua buku terakhirnya tersebut yang kemudian menuai kecaman terutama dari pejabat. Pemerintah Prancis, Jenewa, dan Prusia mengusirnya sehingga dia menerima bantuan David Hume untuk ke Inggris pada tahun 1762. Rousseau seperti mengalami gangguan psikologis ditambah dengan kepekaan rasa yang dimilikinya. Dia menuduh Hume akan membunuhnya dan suatu waktu dia memuji Hume sebagai pribadi yang baik. Dualisme perasaan ini kemudian membuatnya melarikan diri ke Paris. Disana dia berada dalam kemiskinan dan diduga meninggal karena bunuh diri (Russel, 2007: 901-902).

Setelah kematiannya, pijar pemikirannya sangat berpengaruh dan diterapkan oleh Robbespierre dalam Revolusi Prancis. Revolusi Prancis sama halnya dengan revolusi di belahan dunia lain sebagai konsekuensi logis dari ketidakmampuan suatu pemerintahan dalam mengelola rakyatnya.

Perubahan dalam revolusi Prancis bukan hanya terjadi karena kemelaratan atau penderitaan rakyat tetapi juga karena

(19)

Politik Indonesia: Indonesian Political Science Review 1 (1) (2016) 14-29

kepentingan golongan yang terdesak atau terancam oleh kesewenangan raja, yakni kaum borjuis. Kaum menengah inilah yang kemudian begitu intens dalam melakukan kritisi pada kinerja Louis XVI dan Maria Antoinette. Hal ini diperparah dengan pemberlakuan pajak yang hanya dibebankan pada kaum tani sedangkan kaum bangsawan dan rohaniawan bebas dari pajak (Romein, 1956: 132-133).

Rasa ingin bebas di kalangan rakyat meningkat seiring dengan tersebar luasnya tulisan JJ Rousseau tentang kontrak sosial dan kedaulatan rakyat. Rousseau berargumen bahwa kebebasan adalah suatu keadaan tidak terdapatnya keinginan manusia untuk menaklukan sesamanya. Manusia merasa bebas dari ketakutan akan kemungkinan terjadinya penaklukan atas dirinya baik secara persuasif maupun kekerasan. Selain itu, dia juga beragumen bahwa manusia bebas adalah manusia yang patuh pada hukum dan peraturan (mematuhi hukum bukan yang membuat hukum) tetapi tidak menjadikan dirinya budak sehingga kebebasan yang dimiliki tidak mengarah pada anarki sosial.

Manusia bebas inilah yang kemudian bersepakat untuk membentuk suatu kekuasaan bersama. Kekuasaan bersama inilah yang disebut sebagai kedaulatan rakyat. Tiap individu yang menyerahkan haknya atau kebebasannya tidak kehilangan keduanya tetapi negara yang kemudian bertugas mengayomi setiap individu dalam negara dan jika negara menyimpang dari kehendak umum

maka negara akan mengalami krisis (Suhelmi, 2001: 249-252).

Hak Dasar Manusia

Manusia secara alamiah pada dasarnya memiliki sifat yang baik namun mereka berubah menjadi jahat karena masyarakat. Perang bukanlah bawaan dari alam tetapi karena manusia mengembangkan naluri serakah dan ketinggian hatinya. Hobbes berpendapat keadaan alamiah menjadikan kebebasan manusia sebagai subjek. Mereka cenderung menuntut apa yang seharusnya mereka miliki. Pada posisi tersebut tentunya timbul suatu konflik dimana individu yang lain pasti menginginkan kebebasan yang sama (Nugroho, 2013: 131). Oleh karena itu, kebebasan yang dimiliki setiap manusia akan selalu dibatasi oleh campur tangan orang lain.

Berbeda dengan Hobbes, Rousseau berargumen bahwa dalam keadaan alamiah manusia hidup sendiri di tengah hutan yang lebat. Manusia tidak lebih menghasilkan daripada apa yang ia perlukan sendiri. Pada waktu itu tiada hukum alam, seperti yang dikemukakan oleh Locke, sebab tidak perlu aturan bagi orang yang tidak saling memerlukan (Hadiwijono, 1980: 60).

Keadaan alamiah tersebut tidak berlangsung lama karena alam yang ganas menyambut seperti musim panas yang terlalu kering, musim dingin yang berkepanjangan, bencana banjir, atau gempa bumi. Dalam keadaan seperti ini memaksa mereka untuk bekerjasama dengan orang lain. Perubahan

(20)

Daya Negri Wijaya/ Jean-Jacques Rousseau dalam Demokrasi

20

sosial yang nampak menciptakan tatanan sosial yang baru. Keadaan ini menciptakan persoalan baru karena timbulnya persaingan dan percekcokan. Oleh karena itu, dianggap perlu untuk menciptakan aturan-aturan guna melindungi milik pribadi. Maka pada titik ini muncul hak milik pribadi (Hadiwijono, 1980:

60). Menurut Rousseau, manusia kehilangan hak alamiahnya ketika berada dalam masyarakat sehingga mereka tidak lagi memiliki diri mereka sendiri (Magnis-Suseno, 1992: 80).

Rousseau merasa bahwa manusia lahir di muka bumi ini dengan membawa hak alamiahnya seperti kemerdekaan, kesamaan, dan hak milik. Mereka bahkan rela diperbudak untuk melindungi hak alamiahnya.

Kondisi yang tidak masuk akal tersebut telah membawa manusia pada pertentangan dari apa yang seharusnya tidak perlu dipertentangkan. Sikap rela diperbudak ini membawa mereka pada ketenteraman dan perdamaian yang mereka nikmati dalam suatu belenggu. Perbudakan seharusnya menjadi perbuatan yang paling hina malah menimbulkan perdamaian. Perdamaian dalam bingkai dunia tanpa perang menjadi tidak berguna jika mereka melupakan hak manusia yang paling dasar yakni kebebasan. Rousseau merasa bahwa apabila seorang manusia menempatkan dirinya sebagai budak maka dirinya setara dengan binatang yang diperhamba oleh nalurinya. Hal ini tentunya akan menyakitkan hati sang pencipta (Rousseau, 2010: 100-104).

Hak atas harta benda merupakan perjanjian yang diadakan oleh manusia maka setiap orang dapat saja menjual semaunya dengan apa yang dimiliki. Paralel dengan hal tersebut, apabila ada seorang yang menjual kebebasannya (sebagai budak) seperti menjual harta benda maka mereka pada dasarnya telah kehilangan semua hak alamiahnya. Ironisnya para majikan memiliki semua yang dimiliki oleh para budak termasuk anak mereka yang juga berstatus sebagai budak. Padahal setiap anak terlahir bukan sebagai budak tetapi mereka bebas untuk menentukan pilihan hidupnya. Mereka terlahir sebagai manusia dengan seperangkat hak alamiah mereka. Jika lingkaran perbudakan tersebut telah melembaga maka yang terjadi adalah kekuasaan yang sewenang-wenang dan terlegitimasinya hukum yang paling kuat yakni hukum yang paling berkuasa (Rousseau, 2010: 106).

Rousseau menginginkan kehidupan yang seimbang serta kebebasan yang nyata di dalam komunitas sederhana. Masyarakat seperti itu menurutnya tercipta dari kontrak sosial. Kontrak tersebut bukan bertujuan untuk membatasi namun menciptakan kebebasan dalam bentuk tertinggi (Fink, 2013:

78-79). Kedaulatan rakyat harus ditegakkan agar manusia dalam masyarakat dan negara tidak terasing. Kedaulatan rakyat bermakna suatu pemerintahan diselenggarakan oleh rakyat dan bertanggung jawab pada rakyat.

Dengan kedaulatan ini berarti rakyat menjalankan suatu pemerintahan dengan satu

(21)

Politik Indonesia: Indonesian Political Science Review 1 (1) (2016) 14-29

kehendak umum. Walaupun setiap rakyat memiliki pemikiran yang berbeda namun selama perbedaan tersebut membawa mereka pada kepentingan bersama maka kehendak rakyat itulah yang disebut Rousseau sebagai basis bagi konstruksi negara dan undang- undang (Nugroho, 2013: 132).

Manusia harus menjadi warga negara terlebih dahulu sebelum dia menjadi seseorang dengan segala haknya. Pemerintah memiliki tugas memberikan setiap warga negaranya kemerdekaan dibawah jaminan hukum, menjamin kesejahteraan material, dan menghilangkan ketidakadilan dalam pembagian kekayaan negara, dan harus membuat sistem pendidikan yang benar-benar membebaskan anak. Akhirnya manusia bukan lagi hanya memiliki status politik tetapi juga status sosial “seseorang” dengan hak kesetaraan (Sabine, 1981: 231-235). Menurut Fink (2013: 81), kesetaraan bagi Rousseau bukan hanya bagi yang kaya dan terpelajar, seperti pandangan Locke, tetapi juga bagi kaum miskin dan bodoh. Walaupun tidak menawarkan solusi yang nyata, Rousseau beranggapan adalah hal yang wajar apabila ada bagian minoritas yang dikesampingkan dari politik.

Kehendak Umum

Rousseau beranggapan bahwa kebebasan akan terjadi apabila rakyat yang memimpin dirinya sendiri. Namun apakah mungkin rakyat memiliki satu suara dan mau untuk bersatu? Rousseau menjelaskannya

dengan kehendak umum. Kehendak umum berbeda dengan kehendak semua rakyat.

Kehendak umum ditujukan pada kepentingan umum dan dapat bersifat memaksa apabila terdapat suatu perjanjian sosial. Kehendak umum adalah basis bagi konstruksi negara Rousseau. Undang-undang harus merupakan ungkapan kehendak umum. Tidak ada perwakilan rakyat karena kehendak rakyat tidak dapat diwakili. Rakyat sendiri harus berkumpul dan menyatakan kehendaknya melalui perundangan yang diputuskan.

Pemerintah yang kemudian melaksanakan keputusan tersebut. Jika rakyat yang memerintah sendiri dan secara langsung maka tidak diperlukan lagi undang-undang dasar atau konstitusi karena yang dikehendaki rakyat adalah hukum (Magnis-Suseno, 1992:

81).

Hukum adalah ekspresi dari kehendak umum dan ada untuk menjamin kepentingan umum. Rousseau berpendapat bahwa semua orang harus berpendapat dalam menyusun suatu hukum, undang-undang, atau pemimpin.

Hal ini akan masuk akal apabila mengikuti pola pikir teorema juri dari Marquis de Condorcet. Simpson (2006: 73) menjelaskan bahwa:

“groups make better decisions than individuals and large groups make better decisions than small ones. To put it a little more technically, the theorem shows that if voters are deciding an issue with one right and one wrong answer, and if the average probability that each voter will choose the right answer is

(22)

Daya Negri Wijaya/ Jean-Jacques Rousseau dalam Demokrasi

22

above, then the probability that a majority will choose the right answer increases toward 1 as the number of voters increases. It may take the reader a moment to grasp the point; but as soon as one does, many striking things can be seen to follow. The most important consequence of the theorem is that the procedure of majority-rule can produce decisions that are better than the average competence of the voters involved; in fact, it can even yield decisions that are better than those of the most competent voter taken by herself. This means that, within the limiting conditions of the theorem, the majority judgment of a middling group is more likely to be correct than the judgment of the wisest individual”

Kehendak umum, mengikuti teorema juri, berada pada hal yang benar karena mengarah pada kepentingan bersama.

Namun, akan sangat berbahaya apabila kepentingan tertentu berada dibalik kepentingan umum, berhasil membuat suatu aturan. Keputusan tersebut akan membawa negara pada kesewenangan. Tidak ada sebenarnya pemerintahan demokrasi yang hadir di muka bumi karena tidak dapat dibayangkan bagaimana seseorang sangat konsisten pada kepentingan umum. Di sisi yang lain, para legislatif mewakilkan kepentingan umum pada para eksekutif yang juga belum tentu melaksanakan tugasnya secara konsekuen. Jika memang ada negara para dewa maka mereka akan memerintah dengan demokratis. Pemerintahan yang

sempurna tidaklah cocok dengan manusia (Green, 1955: 296).

Memang pada dasarnya tidak ada manusia yang sempurna tetapi menuju kesempurnaan kiranya menjadi tujuan bersama. Demikian pula yang diinginkan para pendiri bangsa ketika mereka menyusun konstitusi. Menurut Rousseau (2010: 47-51), para pendiri bangsa (legislator) adalah orang yang luar biasa karena mereka bukan sebagai seorang anggota dewan atau penguasa berdaulat tetapi seorang pendiri republik.

Walaupun demikian mereka tidak menyusun undang-undang sesuai dengan idealisme mereka namun lebih berpijak pada rakyat.

Mereka menguji terlebih dahulu apakah rakyat yang akan menerimanya memang sanggup menanggungnya. Mereka harus memastikan bahwa rakyat telah berada dalam kondisi yang sesuai dalam undang-undang.

Salah satu contoh, pada pasal 28E UUD 1945 (konstitusi Indonesia) dijelaskan bahwa setiap orang berhak memilih kewarganegaraannya. Hal ini dapat dipahami bahwa seseorang berhak memilih untuk menjadi warga negara Indonesia atau warga negara asing. Jika mereka memilih menjadi warga negara asing maka mereka tidak dapat menjadi bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia walaupun mereka lahir dan besar di Indonesia. Wacana pemberitaan tentang dwikewarganegaraan mulai marak kini. Para diaspora Indonesia mengajukan petisi pada DPR untuk mengakui keberadaan mereka dengan mengesahkan UU

(23)

Politik Indonesia: Indonesian Political Science Review 1 (1) (2016) 14-29

dwikewaganegaraan. Jika mengikuti pola berpikir Rousseau, mereka yang mengajukan petisi tersebut adalah para pembangkang. Para legislatif harus tegas dalam menindak hal ini.

Jika hal ini dibiarkan maka keberadaan negara akan melemah dan berbagai visi partisan akan terus merasuk di tubuh rakyat.

Rousseau (2010: 40-41) menjelaskan konstitusi atau undang-undang dasar yang disetujui dalam pakta sosial harus dipatuhi oleh seluruh warga negara. Oleh karena itu, apabila hukuman mati dijatuhkan pada seorang warga negara karena membunuh warga yang lain maka hukuman tersebut merupakan konsekuensi yang harus diterima.

Ketika dia melanggar konstitusi berarti dia menjadi pembangkang dan pengkhianat tanah air. Dia berhenti sebagai anggota masyarakat dan menyatakan perang dengan masyarakat.

Kelangsungan dirinya tidak lagi sejalan dengan visi dan misi dari negara sehingga salah satu dari keduanya harus dimatikan salah satu, negara yang dibubarkan atau warga negara yang keluar dari negara tersebut.

Negara harus bertindak dengan tegas dalam menindak para pembangkang. Negara lemah akan menuai besarnya jumlah kejahatan demikian pula sebaliknya jika negara kuat maka jumlah kejahatan akan semakin sendikit.

Konstitusi sebuah negara berisi pedoman dalam kehidupan berbangsa dan bernegara termasuk pemerintahan. Pemerintah bukan dibentuk melalui suatu kontrak sosial namun pemilihannya didasarkan pada aturan yang termaktub dalam undang-undang. Jika

konstitusi berpijak pada kehendak umum maka pemerintah dibentuk oleh rakyat.

Rakyat yang mengangkat para pemimpin yang akan ditugasi melaksanakan tugas-tugas pemerintahan. Para pelaksana eksekutif sama sekali bukan majikan rakyat melainkan petugasnya. Rakyat dapat mengangkat dan memberhentikan mereka sesuka hati. Mereka sama sekali tidak membuat kontrak tetapi mematuhi. Dengan melakukan tugas yang diwajibkan negara kepada mereka, mereka hanya memenuhi kewajiban sebagai warga negara tanpa berhak sedikitpun untuk memperdebatkan persyaratannya (Rousseau, 2010: 103-105).

Menurut Rousseau (2010: 110-101), kehendak umum tidak dapat dihancurkan.

Ketika seorang warga negara keuntungan umum demi kepentingan pribadi, dia akan menyadari bahwa sebenarnya dia tidak memadamkan kepentingan umum tetapi membelokkannya. Pada titik ini, kehendak umum dibawahi oleh kehendak lain yang membawahinya. Selama setiap warga negara memiliki hak berpendapat maka kehendak umum selalu konstan, tidak berubah, dan murni. Hak berpendapat tidak dapat dicabut dari warga negara. Aktivitas berpendapat, berbagi, dan berdiskusi merupakan nyawa dari keberlangsungan kehendak umum.

Membangun Masyarakat Demokrasi

Rousseau (2010: 74-76) menyatakan bahwa demokrasi adalah suatu sistem dimana kehendak umum menjadi kepentingan

Referensi

Dokumen terkait

Adapun informasi yang diperoleh dari wawancara peneliti dengan wali kelas 1 dapat disimpulkan bahwa penanaman nilai-nilai karakter pada siswa guru menanamkan pendidikan karakter

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dipaparkan di atas, perolehan dari bahan ajar (LKS) konsep diferensial untuk siswa kelas XI berbasis konflik kognitif dan perangkat

Dengan adanya pengelolaan obyek dan daya tarik wisata yang baik dari pemilik usaha wisata dan Pemerintah Kota Singkawang, diharapkan dapat meningkatkan

Pada tahap ini maka akan dilakukan pembuatan model simulasi mengenai model rantai pasok sampah organik yang terdapat pada penelitian yang dilakukan yaitu alur

Berdasarkan hasil pengujian, dapat ditarik kesimpulan bahwa dapat tercapai akurasi sistem sebesar 100% memakai fungsi kernel Linear pada setiap situasi berdasarkan umur dengan

server di dalam jaringan internet dengan cara menghabiskan sumber (resource) yang dimiliki oleh komputer tersebut sampai komputer tersebut tidak dapat menjalankan

Itulah sebabnya mengapa jika Anda didiagnosis terjangkit penyakit ini Anda harus mengajak pasangan Anda ke klinik untuk mendapatkan pengobatan juga, atau paling tidak untuk

Kesimpulan dari penelitian ini adalah bahwa terdapat hubungan positif antara pelaksanaan supervisi kepala sekolah dengan profesional guru ekonomi SMA Negeri di Wilayah Jakarta