ii
SKRIPSI
KEDUDUKAN PUTUSAN BADAN PENYELESAIAN
SENGKETA KONSUMEN DALAM
UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG
PERLINDUNGAN KONSUMEN
NI MADE AYU ANANDA DWI SATYAWATI
NIM. 1203005001
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
iii
KEDUDUKAN PUTUSAN BADAN PENYELESAIAN
SENGKETA KONSUMEN DALAM
UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG
PERLINDUNGAN KONSUMEN
Skripsi ini dibuat untuk memperoleh Gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Udayana
NI MADE AYU ANANDA DWI SATYAWATI
NIM. 1203005001
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS UDAYANA
vi
KATA PENGANTAR
Om Swastiastu,
Puji syukur penulis panjatkan kehadapan Tuhan Yang Maha Esa, karena
atas berkat rahmat-Nyalah penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan judul:
“KEDUDUKAN PUTUSAN BADAN PENYELESAIAN SENGKETA
KONSUMEN DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1999
TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN” dapat di selesaikan tepat pada
waktunya. Penyusunan skripsi ini merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari
berbagai rangkaian akademik yang lain, untuk mendapatkan gelar Sarjana Hukum
di Fakultas Hukum Universitas Udayana.
Dalam penulisan skripsi ini penulis telah banyak mendapatkan bimbingan
dan dukungan dari berbagai pihak. Untuk itu pada kesempatan yang baik ini
penulis menyampaikan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua
pihak yang membantu penulis secara langsung maupun tidak langsung memberi
dorongan, motivasi, bantuan dan fasilitas. Adapun pihak-pihak yang telah
membantu penulis dalam hal penulisan ini adalah, yang terhormat :
1. Bapak Prof. Dr. I Gusti Ngurah Wairocana, S.H., M.H., Dekan Fakultas
Hukum Universitas Udayana.
2. Bapak I Ketut Sudiarta, S.H., M.H., Pembantu Dekan I Fakultas Hukum
Universitas Udayana.
3. Bapak I Wayan Bela Siki Layang, S.H., M.H., Pembantu Dekan II Fakutas
vii
4. Bapak I Wayan Suardana, S.H., M.H., Pembantu Dekan III Fakultas Hukum
Universitas Udayana.
5. Dosen Pembimbing Akademik Suatra Putrawan, S.H., M.H., yang telah
memberikan bimbingan dan menuntun semenjak awal Penulis kuliah di
Fakultas Hukum Universitas Udayana.
6. Bapak Dr. I Wayan Wiryawan S.H., M.H., sebagai Ketua Bagian Hukum
Keperdataan yang telah berperan selama ini dalam bidang akademik penulis
di Fakultas Hukum Universitas Udayana.
7. Bapak I Made Dedy Priyanto, S.H., M.Kn., sebagai Sekretaris Bagian Hukum
Bisnis yang telah membantu dalam bidang akademik penulis di Fakultas
Hukum Universitas Udayana.
8. Bapak Dr. I Made Sarjana, S.H.,M.H., Dosen Pembimbing I yang telah
membimbing Penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
9. Bapak Suatra Putrawan, S.H., M.H., Dosen Pembimbing II yang telah
membimbing Penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
10. Seluruh Dosen Pengajar di Fakultas Hukum Universitas Udayana yang telah
banyak memberikan ilmu serta wawasan yang lebih kepada Penulis.
11. Seluruh Pegawai Tata Usaha dan Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas
Udayana yang telah memberikan bantuan selama kuliah di Fakultas Hukum
Universitas Udayana.
12. Keluarga tercinta, Ngurah Eddy Gunawan, S.E. (Ayah Kandung), Sri Uma
Saraswati (Ibu Kandung), Putu Ngurah Abimayu Satria Mahawira (Kakak
viii
yang senantiasa memberikan dukungan kepada Penulis dalam menyelesaikan
skripsi ini.
13. Kepada keluarga besar Penulis, yang telah memberikan dorongan, masukan
dan fasilitas kepada penulis agar tetap selama menyusun skripsi ini.
14. Pria terkasih Ryan Alberth Herman yang senantiasa memberikan semangat,
dukungan, masukan dan fasilitas kepada Penulis dalam menyelesaikan skripsi
ini.
15. Tantra Bhuana Kusuma, Avina Rismadewi, Anggiana Dwi Cahyani, Vivi
Viharani, dan Ninda Anggita, para sahabat tercinta yang selalu ada untuk
menemani penulis dikala penulis jenuh, kesal, sedih, dan bahagia.
16. Teman-teman Penulis, Made Wiratama, Leona Laksmi, Dayu Widiasari,
Maria Margareta, Krisnawati, Nitayanti, Sulbianti, Ayu Pande, Putri
Anugrah, Putri Kriswidatari, Wida Anggarini dan pihak-pihak lain yang tidak
dapat penulis sebutkan satu per satu yang telah banyak memberikan
dukungan selama Penulis belajar di Fakultas Hukum Universitas Udayana.
17. Seluruh teman-teman di Fakultas Hukum Universitas Udayana khususnya
Angkatan 2012, kawan-kawan di Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas
Hukum Universitas Udayana (BEM FH UNUD), Badan Perwakilan
Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Udayana (BPM FH), yang telah
memberikan semangat serta mendukung agar Penulis mampu segera
menyelesaikan penulisan skripsi ini.
18. Teman-teman KKN UNUD periode XI Jatiluwih, yang telah memberikan
ix
19. Teman-teman SISPALA Angkatan 12 yang telah memberikan dukungan agar
Penulis mampu segera menyelesaikan penulisan skripsi ini.
20. Pihak-pihak lain yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu yang selama
ini telah banayak memberikan bantuan dan dukungan selama penulis
melaksanakan perkulihan di Fakultas Hukum universitas Udayana.
Karena terbatasnya kemampuan penulis, maka penyususnan ini jauh dari
sempurna, sehingga penulis sangat mengharapkan adanya kritik dan saran yang
sifatnya membangun dari berbagai pihak demi kesempurnaan skripsi ini. Akhir
kata, Penulis berharap skripsi ini dapat bermanfaat bagi pihak-pihak yang
memerlukan.
Denpasar, 18 Desember 2015
xi DAFTAR ISI
HALAMAN SAMPUL DEPAN ... i
HALAMAN SAMPUL DALAM ... ii
HALAMAN PERSYARATAN GELAR SARJANA HUKUM ... iii
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING/PENGESAHAN ... iv
HALAMAN PENGESAHAN PANITIA PENGUJI SKRIPSI ... v
HALAMAN KATA PENGANTAR ... vi
HALAMAN SURAT PERNYATAAN KEASLIAN ... x
HALAMAN DAFTAR ISI ... xi
ABSTRAK ... xiv
ABSTRACT ... xv
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah ... 01
1.2 Rumusan Masalah ... 07
1.3 Ruang Lingkup Masalah ... 07
1.4 Orisinalitas Penelitian ... 08
1.5 Tujuan Penelitian ... 10
1.5.1 Tujuan Umum ... 10
1.5.2 Tujuan Khusus ... 10
1.6 Manfaat Penelitian ... 11
1.6.1 Manfaat Teoritis... 11
xii
1.7 Landasan Teoritis ... 11
1.7.1 Teori Kepastian Hukum ... 11
1.7.2 Penafsiran Analogi ... 12
1.7.3 Asas Perlindungan Konsumen Dalam UUPK ... 13
1.7.4 Asas Kekuatan Mengikat Dalam Putusan BPSK ... 14
1.8 Metode Penelitian... 16
1.8.1 Jenis Penelitian ... 17
1.8.2 Jenis Pendekatan ... 17
1.8.3 Sumber Bahan Hukum ... 18
1.8.4 Teknik Pengumpulan Bahan ... 19
1.8.5 Teknik Analisa Bahan ... 19
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN DAN BADAN PENYELESAIAN SENGKETA KONSUMEN 2.1 Perlindungan Konsumen ... 20
2.1.1 Pengertian Konsumen ... 20
2.1.2 Pengertian Produsen atau Pelaku Usaha ... 23
2.1.3 Hak dan Kewajiban Konsumen serta Pelaku Usaha .... 25
2.1.4 Pengertian Hukum Perlindungan Konsumen ... 29
2.1.5 Dasar Hukum Perlindungan Konsumen ... 31
2.2 Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen ... 35
2.1.1 Pengertian dan Dasar Hukum BPSK ... 35
2.1.2 Susunan dan Keanggotaan BPSK ... 37
xiii
BAB III KEKUATAN HUKUM PUTUSAN BPSK DALAM
UNDANG-UNDANG NO. 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN
KONSUMEN
3.1 Kedudukan BPSK dalam Sistem Peradilan di Indonesia ... 40
3.2 Kedudukan Putusan BPSK dalam Sistem Peradilan di
Indonesia ... 44
3.3 Kekuatan Hukum Putusan BPSK ... 52
BAB IV AKIBAT HUKUM TIDAK DIAJUKAN KEBERATAN PUTUSAN
BPSK KE PENGADILAN NEGERI
4.1 Tata Kerja BPSK ... 55
4.2 Upaya Hukum Putusan BPSK ... 68
4.2 Putusan BPSK yang tidak diajukan keberatan ke Pengadilan
Negeri ... 70
BAB V PENUTUP
5.1 Kesimpulan ... 73
5.2 Saran ... 74
DAFTAR PUSTAKA
xiv ABSTRAK
Penyelesaian sengketa konsumen dapat ditempuh melalui dua jalur, yaitu melalui pengadilan dan melalui luar pengadilan. Penyelesaian sengketa diluar pengadilan dapat ditempuh melalui BPSK. BPSK berhak mengeluarkan putusan terhadap sengketa konsumen yang diajukan kepadanya. BPSK diakui keberadaannya berdasarkan Undnag-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Pasal 54 ayat (3) UUPK menyatakan bahwa putusan mengenai kedudukan putusan BPSK dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.
Adapun metode yang penulis gunakan dalam penulisan skripsi ini adalah metode penelitian hukum normatif. Dalam rangka menyempurnakan penelitian ini penulis menggunakan bahan hukum primer dan sekunder. Penelitiian ini menggunakkan pendekatan perundang-undangan dan pendekatan konsep hukum.
Berdasarkan hasil study dokumen yang dilakukan oleh penulis, penyelesaian sengketa konsumen melalui BPSK dapat ditempuh dengan 3 cara, yaitu konsiliasi, mediasi, dan arbitrase. Putusan yang dikeluarkan BPSK bersifat final dan mengikat, hal tersebut didukung dengan berlakunya Pasal 54 ayat (3) UUPK dan Pasal 42 ayat (1) Kepmenperindag No. 350/MPP/Kep/12/2001. Namun UUPK juga membuka peluang untuk diajukannya upaya hukum terhadap putusan BPSK tersebut. Seperti dalam Pasal 56 ayat (2) yang menyatakan upaya hukum terhadap putusan BPSK berupa upaya hukum keberatan dan dalam Pasal 58 ayat (2) menyatakan terhadap putusan Pengadilan Negeri terhadap keberatan tersebut dapat diajukan kasasi ke MA. Namun apabila dalam jangka waktu yang telah ditentukan, tidak ada pihak yang mengajukan keberatan maka terhadap putusan BPSK para pihak dianggap telah menerimanya, hal itu diatur dalam Pasal 56 ayat (3) UUPK. Upaya hukum keberatan diatur lebih lanjut dalam Peraturam Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2006 tentang Tata Cara Pengajuan Keberatan Terhadap Putusan BPSK. Sebaiknya pemerintah memperbaharui undang-undang perlindungan konsumen sehingga tidak terdapat pasal yang saling berkontradiktif, dan pelaku usaha serta konsumen lebih memperhatikan hak dan kewajiban masing-masing agar tidak terjadi sengketa diantara mereka.
xv UUPK opened up opportunities for those who do not accept the decision of BPSK perform other legal remedies. Article 54 paragraph (3) and Article 56 paragraph (2), Article 58 paragraph (3) indicates that each article by kontradiktif in UUPK. Based on these descriptions, then in this paper will discuss the position of the BPSK decision in Law No. 8 of 1999 on Consumer Protection.
The legal research used upon the research was normative legal research. In order to complete this writing are used primary and secondarylegal materials. The approach used upon the research was statute approach and conceptual approach.
Based on the results of a study conducted by the authors document, the consumer dispute resolution through BPSK can be reached in 3 ways, namely conciliation, mediation, and arbitration. Issued BPSK decision is final and binding, it is supported by the enactment of Article 54 paragraph (3) of UUPK and Article 42 paragraph (1) Kepmenperindag No. 350/MPP/Kep/12/2001. However UUPK also opens up opportunities for the filing of legal action against the decision of the BPSK. As in Article 56 paragraph (2) which states that legal action against the decision of BPSK form of legal remedy of appeal and in Article 58 paragraph (2) states against the decision of the District Court against the appeal can be lodged an appeal to the Supreme Court. However, if within the specified time, no party objected to the decision BPSK then the party is deemed to have received it, it is stipulated in Article 56 paragraph (3) UUPK. Legal remedy of appeal shall be further regulated in Supreme Court Rules No. 1 of 2006 on Procedures for Filing Objections Against the Decision of BPSK. The government should update consumer protection laws so that there is no clause of mutual berkontradiktif, and businesses and consumers are more concerned with the rights and obligations of each in order to avoid a dispute between them.
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Manusia sebagai makhluk Tuhan yang Maha Esa di dalam kehidupan ini
mempunyai kedudukan yang tinggi, di bandingkan dengan makhluk-makhluk
lainnya. Jika di cermati dengan seksama, perbedaan itu terjadi karena manusia
dikaruniai kemampuan jiwa, yaitu akal, rasa, kehendak serta keyakinan. Warga
Negara adalah sekelompok orang yang berdasarkan ketentuan hukum berstatus
sebagai pendukung tertib hukum dan mempunyai hak-hak dari Negara dan
kewajiban-kewajiban tertentu terhadap Negara.
Apapun adanya dan bagaimanapun, pada hakekatnya seluruh masyarakat
adalah konsumen dari barang dan jasa yang dihasilkan oleh para pengusaha
(produsen). Para konsumen merupakan pihak yang sangat menentukan dalam
penanaman modal yang diperlukan oleh para pengusaha untuk mengembangkan
usahanya. Kedudukan konsumen sangatlah penting didalam masyarakat.
Dimana, sebagian besar dari jumlah uang yang dipergunakan dalam kehidupan
ekonomi berasal dari konsumen.
Pesatnya pertumbuhan perekonomian nasional telah menghasilkan variasi
produk barang dan/atau jasa yang dapat di konsumsi. Kemajuan di bidang ilmu
pengetahuan, teknologi komunikasi, dan informatika juga turut mendukung
perluasan ruang gerak transaksi barang dan/atau jasa hingga melintasi batas-batas
2
kepentingan konsumen karena kebutuhannya akan barang dan/atau jasa yang di
inginkan dapat terpenuhi serta semakin terbuka lebar kebebasan untuk memilih
aneka jenis kualitas barang dan/atau jasa sesuai dengan kemampuannya.
Konsumen yang keberadaannya sangat tidak terbatas, dengan status yang
sangat bervariasi, menyebabkan produsen melakukan kegiatan pemasaran dan
distribusi produk barang dan atau jasa dengan cara-cara yang seefektif mungkin
agar dapat mencapai konsumen yang sangat majemuk. Untuk itu semua cara
pendekatan diupayakan sehingga mungkin saja dapat menimbulkan berbagai
dampak pada tindakan yang bersifat negatif, bahkan tindakan tidak terpuji, yang
berawal dari itikad buruk. Dampak buruk yang lazim terjadi antara lain
menyangkut kualitas atau mutu barang, informasi yang tidak jelas bahkan
menyesatkan, pemalsuan, dan sebagainya.
Edmon Makarim mengemukakan bahwa, konsumen memiliki risiko yang
lebih besar daripada pelaku usaha, dengan kata lain hak-hak yang dimiliki
konsumen sangat rentan. Hal ini disebabkan karena posisi tawar konsumen yang
lemah, maka hak-hak konsumen sangat riskan dilanggar.1
Dengan adanya ketidakseimbangan kedudukan tersebut, dapat
menyebabkan terjadinya suatu sengketa konsumen antara konsumen dan pelaku
usaha. Sengketa akan timbul apabila salah satu pihak merasa dirugikan
hak-haknya oleh pihak lain, sedangkan pihak lain tidak merasa demikian. Untuk dapat
menjamin suatu penyelenggaran perlindungan konsumen, maka pemerintah
menuangkan perlindungan konsumen dalam bentuk suatu produk hukum yaitu
1
3
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan
Konsumen (untuk selanjutnya disebut UUPK).
Ketentuan perundang-undangan ini mengharapkan agar para pelaku usaha
menghargai hak-hak konsumen, memproduksi barang atau jasa yang berkualitas,
aman dikonsumsi atau digunakan, mengikuti standar yang berlaku, dengan harga
yang sesuai (reasonable). Pemerintah diharapkan juga menyadari bahwa
diperlukannya suatu regulasi yang berkaitan dengan perpindahan barang dan atau
jasa dari pelaku usaha ke konsumen. Pemerintah juga bertugas untuk mengawasi
jalannya regulasi tersebut dengan baik. Konsumen sendiri harus menyadari
hak-hak mereka sehingga konsumen dapat juga melakukan sosial kontrol terhadap
perbuatan dan pelaku usaha dan pemerintah.
Berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka (1) UUPK dinyatakan bahwa
“Perlindungan konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian
hukum untuk memberikan perlindungan kepada konsumen”. Kepastian hukum itu
meliputi segala upaya untuk memperdayakan konsumen memperoleh atau untuk
menentukan pilihannya atas barang dan/atau jasa kebutuhannya serta
mempertahankan atau membela hak-haknya apabila dirugikan oleh prilaku pelaku
usaha penyedia kebutuhan konsumen.2
Berdasarkan ketentuan Pasal 3 Ayat (1) dan ayat (2) UUPK disebutkan
bahwa tujuan dibentuknya UUPK ini adalah untuk meningkatkan kesadaran,
kemampuan, dan kemandirian konsumen untuk melindungi diri, mengangkat
2 AZ. Nasution, 2003, Aspek Hukum Perlindungan Konsumen, dalam Jurnal
4
harkat dan martabat konsumen dengan cara menghindarkannya dari ekses negatif
pemakaian barang dan/atau jasa. Dalam era globalisasi, pembangunan
perekonomian nasional harus dapat mendukung tumbuhnya dunia usaha sehingga
mampu menghasilkan beraneka barang dan/atau jasa yang dapat meningkatkan
kesejahteraan masyarakat banyak.3
Dalam usaha menyeimbangkan kedudukan antara konsumen dengan
produsen dalam UUPK dilakukan dengan menentukan hak dan kewajiban
konsumen serta hak, kewajiban, dan tanggung jawab pelaku usaha (produsen).
Demikian pula dengan penentuan beberapa perbuatan yang dilarang bagi pelaku
usaha, serta larangan pencantuman kausula baku tertentu dalam perjanjian.
Untuk mencegah pelaku usaha terus-menerus berlaku curang, UUPK telah
memberikan ruang bagi konsumen untuk menuntut hak-haknya yang telah
dilanggar.4 Pasal 45 ayat (1) UUPK menyatakan bahwa, “Setiap konsumen yang
dirugikan bisa menggugat pelaku usaha melalui lembaga yang bertugas
menyelesaikan sengketa antara konsumen dan pelaku usaha atau melalui peradilan
yang berada di lingkungan peradilan umum”.
Piranti hukum perlindungan konsumen tidak dimaksudkan untuk
mematikan usaha para pelaku usaha, tetapi justru untuk mendorong iklim
berusaha yang sehat dan lahirnya para pelaku usaha yang tangguh dalam
menghadapi persaingan, melalui itu juga dimaksudkan untuk meningkatkan sikap
peduli yang tinggi terhadap konsumen. Dengan adanya berbagai ketentuan
3 Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, 2003, Hukum Tentang perlindungan
Konsumen.PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, H. 98.
4
5
tersebut, maka tindakan produsen yang dapat menempatkan konsumen pada posisi
yang lemah telah dibatasi.5
Secara teoritis penyelesaian sengketa dapat dilakukan melalui 2 (dua) cara
penyelesaian sengketa, yaitu pertama melalui proses litigasi di dalam pengadilan,
kemudian berkembang proses penyelesaian sengketa melalui kerjasama
(kooperatif) di luar Pengadilan. Proses Litigasi menghasilkan putusan yang
bersifat pertentangan (adversarial) yang belum mampu merangkul kepentingan
bersama, bahkan cenderung menimbulkan masalah baru, lambat dalam
penyelesaiannya, membutuhkan biaya yang mahal, tidak responsif, dan
menimbulkan permusuhan diantara pihak yang bersengketa.6
Didalam UUPK telah disediakan instrumen baru bagi konsumen sebagai
media untuk menuntut segala bentuk kerugian yang dialami konsumen akibat dari
memakai atau menggunakan produk pelaku usaha kepada suatu lembaga yang
berbentuk sebagai Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen atau lebih dikenal
dengan BPSK. Penyelesaian sengketa melalui BPSK merupakan terobosan yang
dibuat oleh UUPK dengan menfasilitasi para konsumen yang merasa dirugikan
dengan mengajukan gugatan ke pelaku usaha di luar pengadilan. Mekanisme
gugatan dilakukan secara sukarela dari kedua belah pihak yang bersengketa.7
5
Ahmadi Miru, 2013, Prinsip-Prinsip Perlindungan Hukum Bagi Konsumen Di Indonesia, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, H. 210.
6
Rachmadi Usman 2003, Pilihan Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan, PT.
Citra Aditya Bakti, Bandung, H. 3.
7
6
BPSK dibentuk pada dasarnya untuk memberikan keringan kepada
konsumen dalam menyelesaikan sengketa mereka. Lahirnya BPSK diharapkan
bisa mewujudkan asas trilogy peradilan yang dilakukan dengan sederhana, cepat,
dan biaya ringan berdasarkan ketentuan Pasal 4 ayat (2) Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman.
Sehingga para konsumen dan pelaku usaha yang merasa dirugikan dapat dengan
suka rela mengajukan gugatan melalui BPSK.
BPSK mempunyai tugas dan wewenang yang pada intinya adalah
penanganan dan penyelesaian sengketa melalui mediasi atau arbitrase atau
konsiliasi, konsultasi, pengawasan, melaporkan kepada penyidik, menerima
pengaduan, meneliti, dan memeriksa sampai kepada menjatuhkan putusan
terhadap sengketa konsumen. Apabila telah dipilih upaya penyelesaian sengketa
konsumen di luar pengadilan, gugatan melalui pengadilan hanya dapat dilakukan
atau ditempuh apabila upaya tersebut dinyatakan tidak berhasil oleh salah satu
pihak atau oleh para pihak yang bersengketa.
Putusan yang telah dikeluarkan oleh BPSK jika tidak terdapat salah satu
pihak yang merasa dirugikan karena putusan tersebut maka bisa langsung
dilaksanakan, namun dalam hal ini bukan BPSK yang langsung mengeksekusi
melainkan melalui permohonan kepada Pengadilan Negeri. Tetapi berbeda halnya
jika tedapat salah satu pihak yang merasa dirugikan dengan dijatuhkannya putusan
BPSK tersebut, maka terhadap keberatan tersebut diberikan kesempatan bagi
7
“Keberatan” yang diajukan ke Pengadilan Negeri, sehingga penyelesaian
sengketanya akan semakin lama.
Kedudukan putusan BPSK menjadi sangat penting bagi peneliti untuk
diteliti karena pada Pasal 54 ayat (3) UUPK menegaskan bahwa putusan BPSK
bersifat “final” dan mengikat. Kata “final” diartikan sebagai tidak adanya upaya
hukum yang dapat dilakukan terhadap putusan tersebut, baik banding maupun
kasasi. Tetapai dalam Pasal selanjutnya yaitu pada Pasal 56 ayat (2) dan Pasal 58
ayat (2) UUPK bahwa sehubungan dengan keputusan Majelis Badan Penyelesaian
Sengketa Konsumen yang tidak diterima oleh para pihak dapat mengajukan
keberatan di Pengadilan Negeri dan dapat mengajukan Kasasi ke Mahkamah
Agung. Hal ini Nampak jelas bahwa dalam pelaksanaan praktiknya terjadi
tumpang tindih. Berdasarkan latar belakang tersebut diatas maka peneliti ingin
mengkaji tentang “Kedudukan Putusan Badan Penyelesaian Sengketa
Konsumen Dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang
Perlindungan Konsumen”.
1.2 Rumusan Masalah
Adapun premasalah yang akan peneliti bahas dalam karya ini, diantaranya
adalah :
1. Bagaimanakah kekuatan hukum putusan Badan Penyelesaian Sengketa
Konsumen dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang
8
2. Apakah akibatnya apabila putusan Badan Penyelesaian Sengketa
Konsumen tidak diajukan keberatan ke Pengadilan Negeri ?
1.3 Ruang Lingkup Masalah
Didalam penelitian suatu karya tulis yang bersifat ilmiah maka diperlukan
batas dalam bahasan masalahnya agar dalam proses penelitiannya materi yang
diuraikan tersebut dapat terurai dengan alur yang runtut dan sistematis, sehingga
jawaban dari pemecahan masalahnya dapat bersifat efektif dan efisien. Hal ini
bertujuan agar nantinya memudahkan para pembaca untuk mengetahui maksud
dari dibuatnya karya tulis ini, serta maksud yang dimiliki oleh peneliti agar tetap
dapat tersampaikan secara jelas.
Berdasarkan pada rumusan masalah yang telah peneliti paparkan
sebelumnya, maka obyek kajian penelitian ilmiah ini ialah kekuatan hukum dari
putusan BPSK terkait dengan sengketa konsumen, yang mana maksudnya ialah
peneliti akan mengkaji bagaimana kedudukan serta kekuatan dari putusan BPSK
tersebut dan apakah akibat dari Putusan BPSK yang tidak diajukan keberatan
selama jangka waktu yang ditentukan oleh Undang-Undang.
1.4 Orisinalitas
Sejuah ini penelitian tentang“Kedudukan Putusan Badan Penyelesaian
Sengketa Konsumen Dalam Undang-Undang nomor 8 Tahun 1999 Tentang
Perlindungan Konsumen” belum pernah dilakukan, fakta ini diperoleh dengan
9
Udayana, secara spesifik tidak ada penelitian yang mengangkat mengenai
implementasi putusan BPSK.
Untuk penelitian sejenis yang serupa dengan penelitian yang diajukan, akan
peneliti jabarkan dalam tabel berikut ini :
Tabel I
2. Bagaimana Akibat Hukum
Dari Penyelesaian sengketa
mediasi dalam kasus alat
pijat (slimming digit) yang
dilakukan oleh BPSK Kota
10
BPSK Kota
Denpasar
Sumber : Ruang Skripsi Fakultas Hukum Universitas Udayana dan Jurnal Fakultas Hukum Universitas Udayana, Denpasar.
1.5 Tujuan Penelitian
Dalam setiap pembahasan pasti memiliki tujuan tertentu karena dengan
adanya tujuan yang jelas maka akan memberikan arah yang jelas pula untuk
mencapai tujuan tersebut. Adapun tujuan dari penelitian ini adalah :
1.5.1 Tujuan Umum
Adapun tujuan umum penelitian ini adalah untuk mengetahui Kedudukan
dan kekuatan hukum dari putusan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen
(BPSK) terkait dengan sengketa konsumen sebagai salah satu lembaga dalam
penyelesaian sengketa konsumen dalam mewujudkan asas trilogy peradilan.
1.5.2 Tujuan Khusus
Adapun tujuan khusus penelitian yang hendak dicapai adalah sebagai
berikut :
1. Untuk mengetahui kekuatan putusan BPSK terkait dengan sengketa
konsumen yang diselesaikan melalui BPSK.
2. Untuk mengetahui kedudukan putusan BPSK dalam Undang-Undang
Perlindungan Konsumen.
3. Untuk mengetahui akibat putusan BPSK apabila tidak diajukannya
11
1.6 Manfaat Penelitian
Dengan penelitian mengenai Kedudukan Putusan Badan Penyelesaian
Sengketa Konsumen dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen
sebagaimana telah disinggung di atas, diharapkan hasil penelitian ini dapaat
memberi manfaat sebagai berikut :
1.6.1 Manfaat Teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan yang lebih
baik kepada seluruh masyarakat di Indonesia bahwa untuk masalah sengketa
konsumen yang terjadi maka putusan yang dihasilkan oleh Badan Penyelesaian
Sengketa Konsumen dapat memberikan kepastian hukum bagi konsumen.
1.6.2 Manfaat Praktis
Diharapkan hasil penelitian ini dapat memberikan sumbangan pemikiran
bagi para praktisi hukum, pemerintah, Departemen Perindustrian dan Perdagangan
serta para pelaku usaha dan seluruh masyarakat Indonesia selaku konsumen dari
suatu produk barang dan atau jasa sehingga putusan dari Badan Penyelesaian
Sengketa Konsumen (BPSK) dapat mewujudkan harapan semua pihak, khususnya
bagi pengguna produk barang dan atau jasa (konsumen).
1.7 Landasan Teoritis
1.7.1 Teori Kepastian Hukum
Fungsi hukum adalah mengatur hubungan antara Negara atau masyarakat
dengan warganya dan hubungan antara sesama warga masyarakat tersebut, agar
12
mengakibatkan bahwa tugas hukum adalah untuk mencapai kepastian hukum
(demi adanya ketertiban) dan keadilan dalam masyarakat. Kepastian hukum
mengaharuskan diciptakannya peraturan umum atau kaidah hukum yang berlaku
umum, agar tecipta suasana yang aman dan tentram dalam masyarakat, maka
kaidah termaksud harus di tegakkan serta di laksanakan dengan tegas. Untuk
kepentingan itu, maka kaidah hukum tersebut di ketahui sebelumnya dengan pasti.
Kepastian hukum tidak perlu berarti bahwa untuk seluruh wilayah negara dalam
segala hal hanya ada satu macam peraturan.
Kepastian hukum adalah kepastian oleh karena hukum dan kepastian
dalam hukum itu sendiri. Hal ini tidak berarti bahwa kepastian hukum harus
terwujud dalam peraturan atau regel belaka, akan tetapi mungkin juga terwujud
dalam keputusan pejabat yang berwenang. Sebab dalam keadaan nyata, hukum
semata-mata berupa keputusan, sedangkan dalam keadaan berlakunya, hukum
semata-mata merupakan peraturan.8
1.7.2 Penafsiran Analogi
Penafsiran hukum adalah mencari dan menetapkan pengertian atas
dalil-daalil yang tercantum dalam undang-undang sesuai dengan yang di kehendaki
serta yang dimaksud oleh pembuat undang-undang. Penafsiran analogis artinya
memberi tafsiran pada sesuatu peraturan hukum dengan memberi ibarat (kiyas)
pada kata-kata tersebut sesuai dengan asas hukumnya.
Selain itu pula, penafsiran analogi selain memberi tafsiran pada suatu
peraturan hukum yang berlaku, penafsiran analogi juga dapat berarti penafsiran
8
13
yang dilakukan dengan memberikan suatu kiasan atau ibarat pada kata-kata sesuai
dengan asas hukumnya.9
1.7.3 Asas Perlindungan Konsumen Dalam UUPK
Dalam Penjelasan Pasal 2 UUPK disebutkan bahwa perlindungan
konsumen diselenggarakan sebagai usaha bersama berdasarkan lima (5) asas yang
relevan dalam pembangunan nasional, diantaranya :
1. Asas Manfaat dimaksudkan untuk mengamanatkan bahwa segala upaya
dalam menyelenggarakan perlindungan konsumen harus memberikan
manfaat sebesar-besarnya bagi kepentingan konsumen dan pelaku usaha
secara keseluruhan.
2. Asas Keadilan dimaksudkan agar partisipasi seluruh rakyat dapat
diwujudkan secara maksimal dan memberikan kesempatan kepada
konsumen dan pelaku usaha untuk memperoleh haknya dan melaksanakan
kewajibannya secraa adil.
3. Asas Keseimbangan dimaksudkan untuk memberikan keseimbangan
antara kepentingan konsumen, pelaku usaha, dan pemerintah dalam arti
materiil dan spiritual.
4. Asas Keamanan dan Keselamatan Konsumen dimaksudkan untuk
memberikan jaminan atas keamanan dan keselamatan kepada konsumen
dalam penggunaan, pemakaian, dan pemanfaatan barang dann/atau jasa
yang dikonsumsi atau digunakan.
9
14
5. Asas Kepastian Hukum dimaksudkan agar pelaku usaha maupun
konsumen menaati hukum dan memperoleh keadilan dalam
menyelenggarakan perlindungan konsumen serta Negara menjamin
kepastian hukum.
Bila diperhatikan substansinya, Achmad Ali menyatakan bahwa hukum
dapat dibagi menjadi tiga (3) asas, yaitu10:
1. Asas Kemanfaatan yang ada didalamnya meliputi asas keamanan dan keselamatan konsumen,
2. Asas Keadilan yang didalamnya meliputi asas keseimbangan, dan 3. Asas Kepastian Hukum.
Memperhatikan substansi Pasal 2 UUPK demikian pula penjelasannya,
tampak bahwa perumusannya mengacu pada filosofi pembangunan nasional yaitu
pembangunan manusia Indonesia seutuhnya yang berlandaskan pada falsafah
Negara Republik Indonesia.11
1.7.4 Asas Kekuatan Mengikat Dalam Putusan BPSK
Dalam Pasal 47 UUPK dinyatakan bahwa :
Penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan
diselenggarakan untuk mencapai kesepakatan mengenai bentuk dan besarnya ganti rugi dan/atau mengenai tindakan tertentu untuk menjamin tidak akan terjadi kembali atau tidak akan terulang kembali kerugian yang diderita oleh konsumen.
Berdasarkan penjelasan didalam Pasal 47 UUPK disebutkan bahwa
kesepakatan yang terdapat dalam penyelesaian sengketa konsumen di BPSK
diselenggarakan semata-mata untuk mencapai bentuk dan besarnya ganti kerugian
dan/atau mengenai tindakan tertentu untuk menjamin tidak akan terulang kembali
10
Achmad Ali, 1996,Menguak Tabir Hukum, Chandra Pratama, Jakarta, H. 95.
11
15
kerugian yang diderita oleh konsumen.12 Serta dalamketentuan Pasal 52 butir (a)
UUPK disebutkan bahwa BPSK dalam menangani penyelesaian sengketa
konsumen, melalui 3 (tiga) alternatif penyelesaian sengketa konsumen yaitu
dengan cara konsiliasi atau mediasi atau arbitrase. Salah satu dari mekanisme ini
harus disepakati para pihak untuk sampai pada suatu putusan.
Apabila para pihak yang telah sepakat memilih salah satu mekanisme
penyelesaian sengketa mengalami kegagalan dalam membuat kesepakatan, maka
para pihak tersebut tidak dapat melanjutkan proses penyelesaian sengketanya
dengan menggunakan mekanisme lainnya yang sebelumnya tidak dipilih.
Penyelesaian sengketa konsumen melalui BPSK pada prinsipnya diserahkan
kepada pilihan para pihak yaitu konsumen dan pelaku usaha yang bersangkutan
apakah akan diselesaikan melalui mediasi atau arbitrase atau konsiliasi. Setelah
konsumen dan pelaku usaha mencapai kesepakatan untuk memilih salah satu cara
penyelesaian sengketa konsumen dari tiga cara yang ada di BPSK, maka Majelis
BPSK wajib menangani dan menyelesaikan sengketa konsumen menurut pilihan
yang telah dipilih dan para pihak wajib mengikutinya.
Hasil penyelesaian sengketa mediasi dan konsiliasi adalah kesepakatan
para pihak yang prosesnya dibantu oleh anggota BPSK sebagai mediator atau
konsiliator. Maka itu putusan yang dikeluarkan BPSK tidak lebih dari suatu
pengesahan terhadap kesepakatan para pihak, dan tidak akan ada putusan yang
akan dikeluarkan oleh BPSK tanpa adanya kesepakatan para pihak.
12Ibid
16
Proses penyelesaian sengketa di luar pengadilan menghasilkan
kesepakatan yang bersifat win-win solution,dijamin kerahasiaan para pihak, dapat
menghindari kelambatan yang diakibatkan karena hal prosedural dan
administratif, menyelesaikan masalah secara komprehensif dalam kebersamaan
dengan tetap menjaga hubungan baik.
Berbeda halnya jika para pihak memilih cara penyelesaian sengketa
konsumen dengan cara arbitrase, dimana para pihak yang bersengketa dapat
mengemukakan masalah mereka kepada pihak ketiga yang netral yaitu BPSK dan
memberinya wewenang untuk memberikan putusan yang kemudian mengikat para
pihak yang bersengketa.13
1.8 Metode Penelitian
Metodelogi mempunyai beberapa pengertian, yaitu (a) logika dari
penelitian ilmiah, (b) studi terhadap prosedur dan teknik penelitian, dan (c) suatu
sistem dari prosedur dan teknik penelitian. Berdasarkan hal ini, dapat dikatakan
bahwa metode penelitian merupakan suatu sarana pokok dalam pengembangan
ilmu pengetahuan dan teknologi serta seni. Oleh karena itu, penelitian bertujuan
untuk mengungkapkan kebenaran secara sistematis, metodelogis, konsisten.14
Adapun metode penelitian yang digunakan adalah :
13
Jimmy Joses Sembiring, 2011, Cara Menyelesaiakn Sengketa di Luar Pengadilan (Negosiasi, Mediasi, Konsiliasi, dan Arbitrase), Visimedia, Jakarta, H. 184.
14
17
1.8.1 Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan dalam tulisan ini adalah penelitian hukum
normatif, yakni suatu penelitian yang menempatkan norma sebagai obyek
penelitian, baik norma hukum dalam peraturan perundang-undangan, norma
hukum yang bersumber dari suatu undang-undang yang kemudian dituangkan
dalam sebuah putusan pengadilan atau putusan BPSK.
1.8.2 Jenis Pendekatan
Adapun jenis pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah
Pendekatan PerUndang-Undangan (The Statute Approach) dan Pendekatan
Konsep.
Pendekatan PerUndang-Undangan (The Statute Approach), adalah
pendekatan dengan berdasarkan kepada perundang-undangan, norma hukum
dalam hukum positif Indonesia yang berkaitan dengan kedudukan dan kekuatan
hukum putusan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen. Dikatakan bahwa
pendekatan PerUndang-Undangan berupa legislasi dan regulasi yang dibentuk
oleh lembaga Negara atau pejabat yang berwenang dan mengikat secara umum.15
Pendekatan Konsep (Conceptualical Approach), adalah pendekatan yang
dilakukan manakala peneliti tidak beranjak dari aturan hukum yang ada,
pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin yang berkembang di dalam ilmu
hukum. Konsep itu bersifat universal.16 Selain dalam peraturan
perundang-15
Amiruddin dan Zainal Asikin, 2012,Pengantar Metode Penelitian Hukum, Rajawali Perss, Jakarta, H. 72.
16
18
undangan, konsep hukum dapat juga ditemukan dalam putusan-putusan
pengadilan.
1.8.3 Sumber Bahan Hukum
Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif, maka sumber bahan
hukum yang digunakan adalah data sekunder yang berupa bahan hukum, yang
terdiri atas :
1. Bahan Hukum Primer dapat berupa : Kaedah Dasar yaitu Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata, Undang-undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen, Undang-undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan
Kehakiman, Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1
Tahun 2006 Tentang Tata Cara Pengajuan Keberatan Terhadap Putusan
BPSK serta Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor
350/MPP/Kep/12/2001 Tentang Pelaksanaan Tugas dan Wewenang
BPSK.
2. Bahan Hukum Skunder, yaitu bahan yang memberikan penjelasan
mengenai bahan hukum primer, seperti buku-buku hukum, hasil
penelitian, pendapat dari para pakar (doktrin) serta jurnal-jurnal hukum.17
3. Hukum Tersier, yaitu berupa bahan yang memberikan petunjuk maupun
penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder,
seperti kamus hukum dan ensiklopedia.18
17Ibid,
H. 32.
18Ibid
19
1.8.4 Teknik Pengumpulan Bahan Hukum
Dalam karya tulis ini teknik pengumpulan bahan hukum yang digunakan
adalah metode library research (penelitian kepustakaan), yaitu dengan
mempelajari peraturan perundang-undangan, buku, situs internet, media massa,
dan kamus yang berkaitan dengan judul skripsi ini yang bersifat teoritis ilmiah
yang dapat dipergunakan sebagai dasar dalam penelitian dan menganalisa
masalah-masalah yang dihadapi.19
1.8.5 Teknik Analisa Bahan Hukum
Adapun teknik pengolahan bahan hukum yaitu setelah bahan hukum
terkumpul kemudian dianalisis menggunakan teknik deskripsi yaitu dengan
memaparkan bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder apa adanya.20
Bahan hukum primer dan sekunder yang terkumpul selanjutnya diberikan
penilaian (evaluasi) yang disebut juga sebagai teknik evaluasi, kemudian
dilakukan interpretasi dan selanjutnya diajukan argumentasi.
Teknik lainnya yang penulis gunakan adalah teknik Analisis, yaitu
pemaparan secara mendetail dari keterangan-keterangan yang didapat pada tahap
sebelumnya yang berkaitan dengan permasalahan dalam penelitian ini sehingga
keseluruhannya membentuk satu kesatuan yang saling berhubungan secara logis.21
19
Soerjono Soekanto, 2007,Pengantar Penelitian Hukum, Universitas Indonesia (UIPress), Jakarta, H. 21.
20
Ronny Hanitijo Soemitro, 1991, Metode Penelitian Hukum, Cet.II, Ghalia Indonesia, Jakarta, H.93.
21Ibid
20
BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN DAN
BADAN PENYELESAIAN SENGKETA KONSUMEN
2.1 Perlindungan Konsumen
2.1.1 Pengertian Konsumen
Sebagai suatu konsep, “konsumen” telah diperkenalkan beberapa puluh
tahun lalu di berbagai negara dan sampai saat ini sudah puluhan negara memiliki
undang-undang atau peraturan khusus yang memberikan perlindungan kepada
konsumen termasuk penyediaan sarana peradilannya. Sejalan dengan
perkembangan itu beberapa negara telah pula menetapkan hak-hak konsumen
yang digunakan digunakan sebagai landasan pengaturan perlindungan konsumen
Internasional, yaitu International Organization of Cunsumer Union (IOCU). Di
Indonesia telah pula berdiri berbagai organisasi konsumen seperti Yayasan
Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) di Jakarta, dan organisasi konsumen lain
di Bandung, Yogyakarta, Surabaya, dan sebagainya.1
Istilah konsumen berasal dari alih bahasa dari kata consumer
(Inggris-Amerika), atau consument/konsument (Belanda). Pengertian dari consumer atau
consument itu tergantung dalam posisi mana ia berada. Secara harfiah arti kata
consumer adalah (lawan dari produsen) setiap orang yang menggunakan barang.
Tujuan penggunaan barang atau jasa nanti menentukan termasuk konsumen
1
21
kelompok mana pengguna tersebut. Begitu pula Kamus Bahasa Inggris-Indonesia
memberi arti kataconsumersebagai pemakai atau konsumen.2
Di Indonesia telah banyak diselenggarakan studi, baik yang bersifat
akademis, maupun tujuan mempersiapkan dasar-dasar penerbitan suatu peraturan
perundang-undangan tentang perlindungan konsumen. Dalam naskah-naskah
akademik dan/atau berbagai naskah pembahasan rancangan peraturan
perundang-undangan, cukup banyak dibahas dan dibicarakan tentang berbagai peristilahan
yang termasuk dalam lingkup perlindungan konsumen. Dari naskah-naskah
akademik itu yang patut mendapat perhatian, antara lain3:
a. Badan Pembinaan Hukum Nasional-Departemen Kahakiman (BPHN), menyusun batasan tentang konsumen akhir, yaitu pemakai akhir dari barang, digunakan untuk keperluan diri sendiri atau orang lain, dan tidak untuk diperjualbelikan.
b. Batasan Konsumen dari Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia, Pemakai barang atau jasa yang tersedia dalam masyarakat bagi kepentingan diri sendiri, keluarga atau orang lain dan tidak untuk diperdagangkan kembali. c. Sedang dalam naskah akademis yang dipersiapkan Fakultas Hukum
Universitas Indonesia (FH-UI) bekerja sama dengan Departemen Perdagangan RI, berbunyi : Konsumen adalah setiap orang atau keluarga yang mendapatkan barang untuk dipakai dan tidak untuk diperdagangkan.
Peraturan perundang-undangan negara lain, memberikan berbagai
perbandingan. Umumnya dibedakan antara konsumen antara dan konsumen
akhir. Dalam merumuskannya, ada yang secara tegas mendefinisikannya dalam
ketentuan umum perundang-undangan tertentu, ada pula yang termuat dalam pasal
tertentu bersama-sama dengan peraturan sesuatu bentuk hubungan hukum.4
2
Az. Nasution, 2001, Hukum Perlindungan Konsumen Suatu Pengantar, Diadit Media, Jakarta, H. 3.
3Ibid
, H. 9.
22
Tampaknya perlakuan hukum yang lebih bersifat mengatur dan/atau
mengatur dengan diimbuhi perlindungan, merupakan pertimbangan tentang
perlunya pembedaan dari konsumen itu. Az. Nasution menegaskan beberapa
batasan tentang konsumen, yakni5:
a. Konsumen adalah setiap orang yang mendapatkan barang atau jasa digunakan untuk tujuan tertentu;
b. Konsumen antara adalah setiap orang yang mendapatkan barang dan/atau jasa untuk digunakan dengan tujuan membuat barang dan/atau jasa lain untuk diperdagangkan (tujuan komersial);
c. Konsumen akhir adalah setiap orang alami yang mendapat dan menggunakan barang dan/atau jasa untuk tujuan memenuhi kebutuhan hidupnya pribadi, keluarga dan/ atau rumah tangga dan tidak untuk diperdagangkan kembali (nonkomersial).
Konsumen umumnya diartikan sebagai pemakai terakhir dari produk yang
diserahkan kepada mereka oleh pengusaha6, yaitu setiap orang yang mendapatkan
barang untuk dipakai dan tidak untuk diperdagangkan atau diperjualbelikan lagi.
Sedangkan, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan
Konsumen memberikan pengertian konsumen, yakni :
Pasal 1 ayat (2)
Konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan.
Adapun unsur-unsur yang terkandung dalam definisi konsumen
diatas, diantaranya7:
a. Setiap orang, istilah “orang” sebetulnya menimbulkan keraguan apakah hanya orang individual yang lazim disebut natuurlijke
5Ibid
, H. 13.
6
Mariam Darus, 1980,Perlindungan Terhadap Konsumen Ditinjau dari Segi Standar Kontrak (Baku),Binacipta, Jakarta, H. 57.
7
23
persoon atau termasuk juga badan hukum (rechtspersoon). Namun, konsumen juga harus mencakup badan usaha dengan makna lebih luas daripada badan hukum.
b. Pemakai, kata “pemakai” menekankan, konsumen adalah konsumen akhir. Istilah “pemakai” dalam hal ini tepat digunakan dalam rumusan ketentuan tersebut, sekaligus menunjukkan barang dan/atau jasa yang dipakai tidak serta-merta hasil dari transaksi jual beli.
c. Barang dan/atau Jasa, berkaitan dengan istilah barang dan/atau jasa sebagai pengganti terminology tersebut digunakan kata produk. Saat ini “produk” sudah berkonotasi barang dan/atau jasa.
d. Yang Tersedia dalam Masyarakat, artinya barang dan/atau jasa yang ditawarkan kepada masyarakat sudah harus tersedia di pasaran.
e. Bagi Kepentingan Sendiri, Keluarga, Orang Lain, Makhluk Hidup Lain, transaksi konsumen ditujukan untuk kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lian, dan makhluk hidup lain. Unsur yang diletakan dalam definisi ini mencoba untuk memperluas pengertian kepentingan.
f. Barang dan/atau Jasa itu tidak untuk Diperdagangkan, Pengertian konsumen dalam UUPK ini dipertegas, yakni hanya konsumen akhir. Batasan itu sudah biasa dipakai dalam peraturan perlindungan konsumen di berbagai negara.secara teoritis hal demikian terasa cukup baik untuk mempersempit ruang lingkup pengertian konsumen, walaupun dalam kenyataannya, sulit menetapkan batas-batas seperti itu.
2.1.2 Pengertian Produsen atau Pelaku Usaha
Produsen sering diartikan sebagai pengusaha yang menghasilkan barang
dan/atau jasa. Dalam pengertian ini termasuk didalamnya pembuat, grosir,
leveransir, dan pengecer profesional8, yaitu setiap orang/badan yang ikut serta
dalam penyediaan barang dan jasa hingga sampai ke tangan konsumen.9 Sifat
profesional merupakan syarat mutlak dalam hal menuntut pertanggungjawaban
dari produsen.
8
Agnes M. Toar, 1988, Tanggung Jawab Produk, Sejarah dan Perkembangannya di Beberapa Negara, DKIH Belanda-Indonesia, Ujung Padang, H. 2.
9
24
Dengan demikian produsen tidak hanya diartikan sebagai pelaku usaha
pembuat/pabrik yang menghasilkan produk saja, tetapi juga mereka yang terkait
dengan penyampaian/peredaran produk hingga sampai ke tangan konsumen.
Dengan perkataan lain, dalam konteks perlindungan konsumen, produsen
diartikan secara luas. Sebagai contoh, dalam hubungannya dengan produk
makanan hasil industry (pangan olahan), maka produsennya adalah mereka yang
terkait dalam proses pengadaan makanan hasil industry (pangan olahan) itu
hingga sampai ke tangan konsumen. Mereka itu adalah pabrik (pembuat),
distributor, eksportir atau importer, dan pengecer, baik yang berbentuk badan
hukum maupun yang bukan badan hukum.
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen
memberikan pengertian pelaku usaha, yakni :
Pasal 1 angka 3
Pelaku Usaha adalah setiap orang perorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi.
Kajian atas perlindungan terhadap konsumen tidak dapat
dipisahkan dari telaah terhadap hak-hak dan kewajiban produsen.
BerdasarkanDirective, pengertian “produsen” meliputi10:
a. Pihak yang menghasilkan produk akhir berupa barang-barang manufaktur. Mereka bertanggungjawab atas segala kerugian yang timbul dari barang yang mereka edarkan ke masyarakat, termasuk bila kerugian timbul akibat cacatnya barang yang merupakan komponen dalam proses produksinya;
10
25
b. Produsen bahan mentah atau komponen suatu produk;
c. Siapa saja, yang dengan membubuhkan nama, merek, ataupun tanda-tanda lain pada produk menampakkan dirinya sebagai produsen dari suatu barang.
2.1.3 Hak dan Kewajiban Konsumen serta Pelaku Usaha
2.1.3.1 Hak dan Kewajiban Konsumen
1. Hak-Hak Konsumen
Istilah “perlindungan konsumen” berkaitan dengan perlindungan
hukum. Oleh karena itu, perlindungan konsumen mengandung aspek
hukum. Adapun materi yang mendapatkan perlindungan itu bukan
sekedar fisik, melainkan terlebih-lebih hak-haknya yang bersifat abstrak.
Dengan kata lain, perlindungan konsumen sesungguhnya identic dengan
perlindungan yang diberikan hukum tentang hak-hak konsumen.
Presiden Jhon F. Kennedy mengemukakan empat hak konsumen yang
harus dilindungi, yaitu11:
a. Hak memperoleh keamanan (the right to safety)
Aspek ini ditujukan pada perlindungan konsumen dari pemasaran barang dan/atau jasa yang membahayakan keselamatan konsumen. Pada posisi ini, intervensi, tanggungjawab dan peranan pemerintah dalam rangka menjamin keselamatan dan keamanan konsumen sangat penting. Karena itu pula, pengaturan dan regulasi perlindungan konsumen sangat dibutuhkan untuk menjaga konsumen dari perilaku produsen yang nantinya dapat merugikan dan membahayakan keselamatan konsumen;
b. Hak mendapat infomasi (the right to be informed)
Hak ini mempunyai arti yang snagat fundamental bagi konsumen bila dilihat dari sudut kepentingan dan kehidupan ekonominya. Setiap keterangan mengenai suatu barang yang akan dibelinya atau akan mengikat dirinya, haruslah diberikan selengkap mungkin dan dengan penuh kejujuran. Informasi baik secara langsung maupun secara umum melalui berbagai media komunikasi seharusnya disepakati bersama agar tidak menyesatkan konsumen;
11
Vernon A. Musselman dan Jhon H. Jackson, 1992, Introduction to Modern Business,
26
c. Hak memilih (the right to choose)
Bagi konsumen, hak memilih merupakan hak prerogratif konsumen apakah ia akan membeli atau tidak membeli suatu barang dan/atau jasa. Oleh karena itu, tanpa ditunjang oleh hak untuk mendapatkan informasi yang jujur, tingkat pendidikan yang patut, dan penghasilan yang memadai, maka hak ini tidak akan banyak artinya. Apalagi dengan meningkatnya teknik penggunaan pasar, terutama lewat iklan, maka hak untuk memilih ini lebih banyak ditentukan oleh faktor-faktor di luar diri konsumen;
d. Hak untuk didengar (the right to be heard)
Hak ini dimaksudkan untuk menjamin konsumen bahwa kepentingannya harus diperhatikan dan tercermin dalam kebijaksanaan pemerintah, termasuk turut didengar dalam pembentukan kebijaksanaan tersebut. Selain itu, konsumen juga harus didengar setiap keluhannya dan harapannya dalam mengonsumsi barang dan/atau jasa yang dipasarkan produsen.
Indonesia melaui UUPK menetapkan hak-hak konsumen sebagaimana
yang diatur dalam Pasal 4 UUPK, antara lain :
a. Hak atas keamanan, kenyamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa;
b. Hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan;
c. Hak atas informasi yang benar,, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa;
d. Hak untuk didengar pendapat atau keluhannya atas barang dan/atau jasa yang digunakannya;
e. Hak untuk mendapatkan adcokasi, perlindungan dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut;
f. Hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen;
g. Hak untuk diperlakukan atau dilayani secraa benar dan jujur secara tidak diskriminatif;
h. Hak untuk mendapat kompensasi, ganti rugi, dan/atau pengganti, apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya;
i. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan perundang-undangan lainnya.
Selain hak-hak konsumen tersebut, UUPK juga mengatur hak-hak
konsumen yang dirumuskan dalam pasal 7 UUPK, yakni tentang
27
antonym dalam hukum, sehingga kewajiban pelaku usaha dapat dilihat
sebagai hak konsumen.12
2. Kewajiban Konsumen
Selain memiliki hak, konsumen juga mmemiliki kewajiban.
Kewajiban konsumen diatur dalam Pasal 5 UUPK, kewajiban tersebut
diantaranya adalahsebagai berikut :
a. Membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau pemanfaatan barang dan/atau jasa, demi keamanan dan keselamatan;
b. Beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau jasa;
c. Membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati;
d. Mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen secara patut.
Selain itu, hak daripada pelaku usaha yang diatur dalam Pasal 6 UUPK
juga merupakan kewajiban yang harus dipenuhi oleh konsumen. Maka
dari itu, kewajiban konsumen diatur dalam Pasal 5 dan Pasal 6 UUPK.
2.1.3.2 Hak dan Kewajiban Pelaku Usaha
1. Hak-Hak Pelaku Usaha
Pelaku usaha dan konsumen merupakan bagian penting dari hubungan
atau transaksi ekonomi. Dengan begitu sangatlah penting mengenai
batasan-batasan terhadap hak dan kewajiban dari para pihak yang terlibat
dalam hubungan atau transaksi ekonomi tersebut. Adanya hak dan
kewajiban tersebut dimaksudkan untuk menciptakan kenyamanan dalam
12
28
berusaha dan untuk menciptakan pola hubungan yang seimbang antara
pelaku usaha dan konsumen.13
Dalam Pasal 6 UUPK Produsen disebut sebagai pelaku usaha yang
mempunyai hak sebagai berikut :
a. Hak untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan mengenai kondisi dan nilai tukar barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;
b. Hak untuk mendapat perlindungan hukum dari tindakan konsumen yang beritikad tidak baik;
c. Hak untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya di dalam penyelesaian hukum sengketa konsumen;
d. Hak untuk rehabilitasi nama baik apabila terbukti secara hukum bahwa kerugian konsumen tidak diakibatkan oleh barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;
e. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.
2. Kewajiban Pelaku Usaha
Sama halnya konsumen yang memiliki kewajiban, pelaku usaha juga
mempunyai kewajiban yang harus diperhatikan dalam memperdagangkan
barang dan/atau jasnya. Berdasarkan Pasal 7 UUPK kewajiban pelaku
usaha, antara lain :
a. Beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya;
b. Memberikan informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan, dan pemeliharaan;
c. Memperlakukan atau melayani konsumen secraa benar dan jujur serta tidak diskriminatif;
d. Menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa yang berlaku;
e. Memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji, dan/atau mencoba barang dan/atau jasa tertentu serta memberi jaminan dan/atau garansi atas barang yang dibuat dan/atau diperdagangkan;
13
29
f. Memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas kerugian akibat penggunaan, pemakaian, dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;
g. Memberi kompensasi ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang dan/atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian.
2.1.4 Pengertian Hukum Perlindungan Konsumen
Dengan pemahaman bahwa perlindungan konsumen mempersoalkan
perlindungan (hukum) yang diberikan kepada konsumen dalam usahanya untuk
memperoleh barang dan/atau jasa dari kemungkinan timbulnya kerugian karena
penggunaannya, maka hukum perlindungan konsumen dapat dikatakan sebagai
hukum yang mengatur tentang pemberian perlindungan kepada konsumen dalam
rangka pemenuhan kebutuhannya sebagai konsumen. Dengan demikian, hukum
perlindungan konsumen mengatur hak dan kewajiban konsumen, hak dan
kewajiban pelaku usaha, serta cara-cara mempertahankan hak dan menjalankan
kewajiban itu.14
Dalam berbagai literature ditemukan sekurang-kurangnya dua istilah
mengenai hukum yang mempersoalkan konsumen, yaitu hukum konsumen dan
hukum perlindungan konsumen. Oleh Az. Nasution dijelaskan bahwa kedua
istilah tersebut itu berbeda, yaitu bahwa hukum perlindungan konsumen adalah
bagian dari hukum konsumen. Hukum konsumen menurut beliau adalah15:
Keseluruhan asas-asas dan kaidah-kaidah hukum yang mengatur hubungan dan masalah penyediaan dan penggunaan produk barang dan/atau jasa, antara penyedia dan penggunanya dalam kehidupan bermasyarakat.
14
Janus Sidabalok, 2014, Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung, H. 37.
15
30
Sedangkan hukum perlindungan konsumen diartikan sebagai16:
Keseluruhan asas-asas dan kaidah-kaidah hukum yang mengatur dan melindungi hubungan dan masalahnya dengan para penyedia barang dan/atau jasa konsumen.
Lebih lanjut mengenai definisi itu, Az. Nasution menjelaskan sebagai berikut17:
Hukum konsumen pada pokoknya lebih berperan dalam hubungan dan masalah konsumen yang kondisi para pihaknya berimbang dalam kedudukan sosial ekonomi, daya saing, maupun tingkat pendidikan. Rasionya adalah sekalipun tidak selalu tepat, bagi mereka yang berkedudukan seimbang demikian, maka mereka masing-masing lebih mampu mempertahankan dan menegakkan hak-hak mereka yang sah. Hukum Perlindungan Konsumen dibutuhkan apabila kondisi pihak-pihak yang mengadakan hubungan hukum atau bermasalah dalam masyarakat itu tidak seimbang.
Pada dasarnya, baik hukum konsumen maupun hukum perlindungan
konsumen membicarakan hal yang sama, yaitu kepentingan hukum (hak-hak)
konsumen. Bagaimana hak-hak konsumen itu diakui dan diatur di dalam hukum
serta bagaimana ditegakkan di dalam praktik hidup bermasyarakat, itulah yang
menjadi materi pembahasannya. Dengan demikian, hukum perlindungan
konsumen atau hukum dapat diartikan sebagai berikut18:
Kesuluruhan peraturan hukum yang mengatur hak-hak dan kewajiban-kewajiban konsumen dan pelaku usaha yang timbul dalam usahanya untuk memenuhi kebutuhannya.
Kata keseluruhan dimaksudkan untuk menggambarkan bahwa di
dalamnya termasuk seluruh pembedaan hukum menurut jenisnya. Jadi, termasuk
di dalamnya, baik aturan hukum perdata, pidana, administrasi negara, maupun
16Ibid
, H. 66.
17Ibid
, H. 67.
18
31
hukum internasional. Sedangkan cakupannya adalah hak dan kewajiban serta
cara-cara pemenuhannya dalam usahanya untuk memenuhi kebutuhannya, yaitu
bagi konsumen mulai dari usaha untuk mendapatkan kebutuhannya dari pelaku
usaha, meliputi informasi, memilih harga sampai pada akibat-akibat yang timbul
karena penggunaan kebutuhan itu, misalnya untuk mendapatkan penggantian
kerugian. Sedangkan bagi pelaku usaha meliputi kewajiban yang berkaitan
dengan produksi, penyimpanan, peredaran, dan perdagangan produk, serta akibat
dari pemakaian produk itu.
Jika perlindungan konsumen diartikan sebagai segala upaya yang
menjamin adanya kepastian pemenuhan hhak-hak konsumen sebagai wujud
perlindungan kepada konsumen, maka hukum perlindungan konsumen tiada lain
adalah hukum yang mengatur upaya-upaya untuk menjamin terwujudnya
perlindungan hukum terhadap kepentingan konsumen. Dengan memadukan
uraian diatas, hukum perlindungan dapat didefinisikan19:
Keseluruhan peraturan hukum yang mengatur hak-hak dan kewajiban-kewajiban konsumen dan produsen yang timbul dalam usahanya untuk memenuhi kebutuhannya, dan mengatur upaya-upaya untuk menjamin terwujudnya perlindungan hukum terhadap kepentingan konsumen.
2.1.5 Dasar Hukum Perlindungan Konsumen
Sebagaimana telah dikemukakan diatas bahwa di Indonesia telah banyak
dikeluarkan peraturan perundang-undangan mengenai perlindungan konsumen,
mulai dari tingkat undang-undang sampai pada peraturan-peraturan tingkat
menteri dan peraturan instansi di bawahnya. Di antara peraturan
perundang-undnagan itu, ada yang dibuat sejak sebelum masa kemerdekaan dan kini masih
19Ibid
32
berlaku setelah mengalami penyesuaian, perubahan, atau penambahan sesuai
dengan kebutuhan.
Dalam Country Report delegasi Indonesia pada ASEAN Consumer
Protection Seminar, yang diselenggarakan di Manila pada 30 September sampai 4
Oktober 1980, antara lain, dimuat lampiran perundang-undangan yang ada
hubungannya dengan perlindungan konsumen, yaitu yang berhubungan dengan
barang dan jasa sebanyak 18 buah, pengawasan mutu dan keamanan barang
sebanyak 14 buah, perdagangan sebanyak 8 buah, dan masalah lingkungan hidup
sebanyak 10 buah.20 Sedangkan dalam Simposium Aspek-Aspek Hukum Masalah
Perlindungan Konsumen pada tanggal 16-18 Oktober 1980 di Jakarta, R. Sianturi
menyebutkan sebanyak 119 buah peraturan di bidang kesehatan terdiri atas
obat-obatan sebanyak 56 buah, makanan dan minuman sebanyak 15 buah, bidang
kosmetika dan alat kesehatan sebanyak 8 buah, dan jasa pelayanan kesehatan
sebanyak 40 buah.21
Setelah tahun 1980 tantu masih banyak lagi peraturan
perundang-undangan yang berhubungan dengan perlindungan konsumen yang telah
dikeluarkan oleh pemerintah, terutama peraturan yang lebih rendah dari
undang-undang, berkaitan dengan program deregulasi di segala bidang yang digalakkan
sejak tahun 1988. Namun, membuat peraturan perlindungan konsumen dalam
satu undang-undang tersendiri barulah terealisasi melalui Undang-Undang Nomor
20
Permadi, 1986, Penerapan Peraturan Perundang-Undangan dan Manfaat bagi Kegiatan Perlindungan Konsumen, makalah pada Lokakarya Peningkatan Perlindungan Konsumen, Departemen Perdagangan Republik Indonesia, 28-30 Juni 1986, H. 8.
21
33
8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen (UUPK), yang diundangkan pada
tanggal 20 April 1999 dalam Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 42, dan
berlaku efektif satu tahun setelah diundangkan, yaitu sejak tanggal 20 April 2000.
Sebelum undang-undang ini lahir, sekurang-kurangnya telah ada 2
Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Perlindungan Konsumen; 1 yang
dipersiapkan oleh Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) dan 1 lagi
dipersiapkan oleh Tim Kerja Fakultas Hukum Universitas Indonesia dengan
Departemen Perdagangan Republik Indonesia. Telah dilangsungkan pula
berbagai pertemuan ilmiah yang membahas dan mengkaji perlindungan hukum
terhadap konsumen ini. Di tingkat undang-undang, sebelum berlakunya UUPK
tersebut, telah ada beberapa undang-undang yang secara tidak langsung bertujuan
untuk melindungi konsumen dapat disebutkan sebagai berikut22:
1. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) StaatsbladTahun 1847 Nomor 23, Bagian HUkum Perikatan (Buku III), khususnya mengenai wanprestasi (Pasal 1236 dan seterusnya) dan perbuatan melawan hukum (Pasal 1365 dan seterusnya);
2. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP); 3. Ordonansi tentang Barang Berbahaya, Stb. 1949-337; 4. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1961 tentang Barang;
5. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1962 tentang Hygiene untuk Usaha-Usaha Umum;
6. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1965 tentang Pendaftaran Gedung; 7. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1966 tentang Hygiene;
8. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah;
9. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1981 tentang Metrologi Legal;
10. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1982 tentang Wajib Daftar Perusahaan; 11. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok
Pengelolaan Lingkungan Hidup perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup;
12. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1984 tentang Perindustrian; 13. Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1985 tentang Ketenagalistrikan;
22
34
14. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1987 tentang Kamar Dagang dan Industri; 15. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan;
16. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1994 tentang Agreement Establishing the World Trade Organization (Persetujuan Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia);
17. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas yang diganti dengan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas;
18. Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1995 tentang Usaha Kecil yang sudah diganti dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah;
19. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan yang sudah diganti dengan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan;
20. Undang Nomor 12 Tahun 1997 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1987 tentang Hak Cipta;
21. Undang Nomor 13 Tahun 1997 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1989 tentang Paten;
22. Undang Nomor 14 Tahun 1997 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1989 tentang Merek;
23. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1997 tentang Penyiaran;
24. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dan dilengkapi dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial serta Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja;
25. Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan;
26. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larang Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat;
27. Dan lain-lain.
Peraturan perundang-undangan yang mengandung aspek perlindungan
konsumen itu dapat dikelompokkan kedalam empat bagian besar, yaitu bidang
perindustrian, perdagangan, kesehatan, dan lingkungan hidup. Dengan
berlakunya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen tersebut, maka ketentuan dalam perundang-undangan sebelumnya
masih dapat berlaku sejauh belum diatur yang baru menurut undang-undang
tersebut atau jika tidak bertentangan dengan uindang-undang tersebut. Pasal 64