TESIS
PENGARUH KEPEMIMPINAN
TRANSFORMASIONAL TERHADAP
ORGANIZATIONAL CITIZENSHIP BEHAVIOR (OCB)
MELALUI MEDIASI KEPERCAYAAN KEPADA
ATASAN DAN KEPUASAN KERJA
(Studi pada Pegawai Tetap Balai Diklat Industri
Kementerian Perindustrian Republik Indonesia)
IDA BAGUS MADE JUNIARTHA
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS UDAYANA
i
TESIS
PENGARUH KEPEMIMPINAN
TRANSFORMASIONAL TERHADAP
ORGANIZATIONAL CITIZENSHIP BEHAVIOR (OCB)
MELALUI MEDIASI KEPERCAYAAN KEPADA
ATASAN DAN KEPUASAN KERJA
(Studi pada Pegawai Tetap Balai Diklat Industri
Kementerian Perindustrian Republik Indonesia)
IDA BAGUS MADE JUNIARTHA NIM : 1390661013
PROGRAM MAGISTER
PROGRAM STUDI MANAJEMEN
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS UDAYANA
ii
PENGARUH KEPEMIMPINAN
TRANSFORMASIONAL TERHADAP
ORGANIZATIONAL CITIZENSHIP BEHAVIOR (OCB)
MELALUI MEDIASI KEPERCAYAAN KEPADA
ATASAN DAN KEPUASAN KERJA
(Studi pada Pegawai Tetap Balai Diklat Industri
Kementerian Perindustrian Republik Indonesia)
Tesis Untuk Memperoleh Gelar Magister Pada Program Magister, Program Studi Manajemen
Program Pascasarjana Universitas Udayana
IDA BAGUS MADE JUNIARTHA NIM : 1390661013
PROGRAM MAGISTER
PROGRAM STUDI MANAJEMEN
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS UDAYANA
iii
Lembar Pengesahan
Tesis Ini Telah Disetujui Pada Tanggal 21 Januari 2016
Pembimbing Utama
Prof. Dr. I Made Wardana, SE., MP NIP. 19550801 198103 1 031
Pembimbing Pendamping
Dr. Made Surya Putra, SE., M.Si NIP. 19740924 00312 1 002
Mengetahui, Direktur Program Pascasarjana
Universitas Udayana
Prof. Dr. dr. A.A. Raka Sudewi, Sp.S(K) NIP. 19590215 198510 2 001
Ketua Program Studi Magister Manajemen Program Pascasarjana Universitas Udayana
iv
Tesis ini Telah Diuji pada Tanggal 18 Januari 2016
Panitia Penguji Tesis Berdasarkan SK Rektor Universitas Udayana, NO. 355/UN14.4/HK/2016 Tanggal 12 Januari 2016
Ketua : Prof. Dr. I Made Wardana, SE., MP Anggota :
v
SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT
Dengan ini menyatakan bahwa karya ilmiah Tesis ini bebas plagiat
Apabila di kemudian hari terdapat plagiat dalam karya ilmiah ini maka saya bersedia menerima sanksi sesuai peraturan Mendiknas RI No 17 tahun 2010 dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Denpasar, 18 Januari 2016
(Ida Bagus Made Juniartha) NAMA : Ida Bagus Made Juniartha
NIM : 1390661013
PROGRAM STUDI : Magister Manajemen
JUDUL TESIS : PENGARUH KEPEMIMPINAN TRANSFORMASIONAL TERHADAP
vi
UCAPAN TERIMA KASIH
Pertama-tama perkenankanlah penulis memanjatkan puji syukur kehadapan Ida Hyang Widhi Wasa / Tuhan Yang Maha Esa, karena hanya atas asung wara nugraha-Nya/karunia-Nya, tesis ini dapat diselesaikan. Pada kesempatan ini perkenankanlah penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Prof. Dr. I Made Wardana, SE., MP sebagai pembimbing utama yang dengan penuh perhatian telah memberikan dorongan, semangat, bimbingan, dan saran selama penulis mengikuti program Magister Manajemen, khususnya dalam penyelesaian tesis ini. Terima kasih sebesar-besarnya pula penulis sampaikan kepada Dr. Made Surya Putra, SE., M.Si sebagai pembimbing pendamping yang dengan penuh perhatian dan kesabaran telah memberikan bimbingan dan saran kepada penulis.
vii
Universitas Udayana atas ijin yang diberikan kepada penulis untuk mengikuti pendidikan program Magister.
Pada kesempatan ini, penulis juga menyampaikan rasa terima kasih kepada Dr. Desak Ketut Sintaasih, SE.,M.Si sebagai Ketua Program MM Universitas Udayana. Ungkapan terima kasih penulis sampaikan pula kepada para penguji tesis, yaitu Prof. Dr.Wayan Gede Supartha SE.SU, Dr. Desak Ketut Sintaasih, SE.,M.Si dan Agoes Ganesha Rahyuda, SE., MT., Ph.D, yang telah memberikan masukan, saran, sanggahan, dan koreksi sehingga tesis ini dapat terwujud seperti ini.
Pada kesempatan ini penulis ucapkan terima kasih yang tulus kepada Ida Bagus Putu Madja dan Ida Ayu Putu Ardiani, orang tua yang telah mengasuh, membesarkan dan selalu memberi dukungan kepada penulis. Istri, Ratna Diah Kurnia yang tersayang, rekan mahasiswa dan mahasiswi Program Magister Manajemen, Program Studi Manajemen Sumber Daya Manusia Program Pasca Sarjana Universitas Udayana angkatan XXX dan rekan lainnya, yang dengan penuh pengorbanan telah memberikan dukungan kepada penulis.
Semoga Ida Hyang Widi Wasa / Tuhan Yang Maha Esa selalu melimpahkan rahmat-Nya kepada semua pihak yang telah membantu pelaksanaan dan penyelesaian tesis ini serta kepada penulis sekeluarga.
viii ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh kepemimpinan transformasional terhadap organizational citizenship behavior (OCB) dengan mediasi kepercayaan kepada atasan dan kepuasan kerja. Populasi pada penelitian ini adalah pegawai tetap Balai Diklat Industri Kementerian Perindustrian yang berjumlah 175 orang. Jumlah sampel penelitian ini sama dengan populasi. Lebih lanjut penelitian ini menggunakan metode internet survey dalam pengumpulan data. Sebanyak 175 kuesioner disebarkan dan hanya 148 kuesioner yang kembali atau sebesar 85%. Data dianalisis menggunakan Partial Least square (PLS) dengan
software SMARTPLS 2.0.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa kepemimpinan transformasional berpengaruh positif namun tidak signifikan terhadap OCB, kepemimpinan transformasional berpengaruh positif dan signifikan terhadap kepercayaan kepada atasan dan kepuasan kerja, kepercayaan kepada atasan dan kepuasan kerja berpengaruh positif dan signifikan terhadap OCB. Hasil temuan mengindikasikan bahwa pengaruh kepemimpinan transformasional terhadap OCB adalah tidak langsung, dimediasi oleh kepercayaan pegawai kepada atasan dan kepuasan kerja.
Implikasi manajerial penelitian ini yaitu pihak yang berwenang seharusnya melakukan evaluasi dan meningkatkan penerapan kepemimpinan transformasional, sekaligus memperhatikan kepercayaan pegawai kepada atasannya dan kepuasan kerja pegawai untuk meningkatkan perilaku organizational citizenship behavior
pegawai tetap di lingkungan Balai Diklat Industri kementerian perindustrian. Kata kunci : Kepemimpinan Transformasional, Kepercayaan kepada Atasan,
ix ABSTRACT
This study aims to determine the effect of transformational leadership on organizational citizenship behavior (OCB) with the mediation of followers’ trust in leader and job satisfaction. The populations involved in this study are the permanent employees of Industrial Training Centre of Ministry of Industry, which consisted of 175 employees. This research sample is equal to population. Furthermore, this study used internet survey method in collecting the data. A total 175 questionnaires were handed out with a total 148 valid questionnaires for a return rate of 85%. Data are analyzed by using Partial Least square (PLS) with the support of SMARTPLS 2.0 software.
The results showed that transformational leadership has a positive but not significant effect on OCB, transformational leadership has a positive and significant effect on follower’s trust in their leader and job satisfaction, follower’s trust in their leader and job satisfaction has a positive and significant effect on OCB. The findings indicate that the influence of transformational leadership on OCB is indirect, mediated by the follower’s trust in their leader and job satisfaction. Managerial implications of this research that authorities should evaluate and improve the implementation of transformational leadership, at the same time paying attention to employee’s trust in their leader and job satisfaction to improve the organizational citizenship behavior of employees in the Industrial Training Center of The Ministry of Industry the Republic of Indonesia.
x BAB I ... Error! Bookmark not defined. PENDAHULUAN ... Error! Bookmark not defined. Latar Belakang ... Error! Bookmark not defined. Rumusan Masalah ... Error! Bookmark not defined. Tujuan Penelitian ... Error! Bookmark not defined. Manfaat Penelitian ... Error! Bookmark not defined. BAB II KAJIAN PUSTAKA ... Error! Bookmark not defined. Kepemimpinan Transformasional ... Error! Bookmark not defined. Kepercayaan Terhadap Atasan ... Error! Bookmark not defined. Kepuasan Kerja ... Error! Bookmark not defined.
Organizational Citizenship Behavior (OCB)Error! Bookmark not defined.
BAB III KERANGKA BERPIKIR, KONSEPTUAL DAN HIPOTESIS
PENELITIAN ... Error! Bookmark not defined. Kerangka Berpikir dan Konseptual ... Error! Bookmark not defined. Hipotesis Penelitian ... Error! Bookmark not defined. BAB IV METODE PENELITIAN ... Error! Bookmark not defined. Rancangan dan Ruang Lingkup PenelitianError! Bookmark not defined.
xi
xii
DAFTAR TABEL
No. Tabel Halaman
4.1 Jumlah Pegawai Tetap Balai Diklat Industri……… 60
5.1 Karakteristik Responden ………. 75
5.2 Deskripsi Variabel Kepemimpinan Transformasional ……… 78
5.3 Deskripsi Variabel Kepercayaan kepada Atasan………. 80
5.4 Deskripsi Variabel Kepuasan Kerja ……… 82
5.5 Deskripsi Variabel Organizational Citizenship Behavior (OCB)… 85 5.6 Hasil Uji Composite Reliability ………... 90
5.7 Nilai R2 Variabel Endogen ………... 91
5.8 Hasil Uji Hipotesis ………... 93
xiii
DAFTAR GAMBAR
No. Gambar Halaman
3.1 Kerangka Konseptual………... 47
4.1 Model Struktural Penelitian ………. 66
5.1 Struktur Organisasi Balai Diklat Industri………. 74
xiv
DAFTAR LAMPIRAN
No. Lampiran Halaman
1. Kuesioner Penelitian…….………. 122
2. Rekapitulasi Uji Validitas Dan Reliabilitas Instrument…………. 129
3. Rekapitulasi Distribusi Frekuensi………... 152
4. Model Pengukuran Dan Diagram Jalur………... 156
5. Hasil Uji Convergen Validity (Outer Loading)………... 161
6. Hasil Uji Ulang Convergen Validity (Outer Loading)……… 165
7. Hasil Pengujian Discriminant Validity……… 169
8. Hasil Pengujian Composite Reliability dan R-Square………. 175
9. Hasil Pengujian Hipotesis……… 176
1 BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Governance merupakan penentu keberhasilan suatu organisasi dalam menjalankan fungsinya pada entitas institusional baik pada organisasi swasta maupun sektor publik (Monks dan Minow, 2004; Smismans, 2006). Implementasi
governance di sektor publik seharusnya didahului dengan implementasi reformasi birokrasi, sebab reformasi birokrasi adalah salah satu langkah strategis dalam mewujudkan sistem pemerintahan yang lebih baik (Mustopadidjaja, 2001; Prasojo dan Teguh, 2008). Masyarakat menilai kesuksesan kinerja sektor publik dari pelayanan yang mereka dapatkan, ketika mereka mendapatkan pelayanan yang lebih baik maka mereka menilai bahwa kinerja pemerintah baik dan sebaliknya (Mardiasmo et al., 2008).
Sejak diberlakukannya Perpres No. 81 Tahun 2010 tentang Grand Design
Berdasarkan Peraturan Sekjen Kementerian Perindustrian Nomor: 9/SJ-IND/Per/10/2012 tentang Reposisi Pengembangan Unit Pendidikan dan Balai Diklat Industri di Lingkungan Kementerian Perindustrian, Balai Diklat Industri melakukan reposisi untuk memenuhi peningkatan kebutuhan terhadap sumber daya manusia (SDM) industri yang kompeten. Peran Balai Diklat Industri yang selama ini bersifat regional dan masih banyak melakukan pelatihan terhadap aparatur atau pegawai negeri sipil (PNS), diharapkan dapat dikembangkan menjadi pusat pendidikan dan pelatihan bagi industri kecil menengah (IKM) secara nasional dengan kompetensi atau spesialisasi teknis tertentu.
Alasan mengapa reposisi lembaga pendidikan dan pelatihan industri menjadi semakin penting untuk dilakukan antara lain: perubahan yang cepat akibat globalisasi dan perdagangan bebas, khususnya dalam kompetensi SDM industri, tuntutan pembangunan ekonomi dan akselerasi industrialisasi untuk menyiapkan tenaga kerja sektor industri yang terampil dan siap pakai dan peningkatan kualitas produk maupun jasa. Reposisi Balai Diklat Industri merupakan rencana besar berjangka waktu panjang bagi pembangunan industri nasional yang dilakukan secara bertahap dan berkesinambungan (Pusdiklat, 2012). Reposisi Balai Diklat Industri ditandai dengan perubahan struktur organisasi, perubahan dan penambahan tugas pokok dan fungsi serta perluasan area pelayanan.
3
dalam persaingan (Seppälä et al., 2012). Reformasi birokrasi dan reposisi Balai Diklat Industri seperti yang dijelaskan sebelumnya merupakan langkah organisasi dalam rangka membenahi diri menuju organisasi yang lebih efektif.
Reformasi birokrasi sebagaimana saat ini sedang dijalankan di berbagai instansi pemerintahan termasuk di Balai Diklat Industri, peran Organizational Citizenship Behavior (OCB) dianggap vital dan sangat menentukan kinerja organisasi. OCB menjadi karakteristik individu yang tidak hanya mencakup kemampuan dan kemauannya mengerjakan tugas pokoknya saja namun juga mau melakukan tugas ekstra seperti kehendak untuk melaksanakan kerjasama dengan pegawai lainnya, suka menolong, memberikan saran, berpartisipasi secara aktif, memberikan pelayanan ekstra kepada pengguna layanan, serta mau menggunakan waktu kerjanya dengan efektif (Darto, 2014). Podsakoff et al. (2000) menyatakan bahwa OCB dapat mempengaruhi keefektifan organisasi, karena OCB dapat meningkatkan kemampuan organisasi untuk beradaptasi terhadap perubahan-perubahan lingkungan bisnisnya.
menampilkan yang terbaik jauh melebihi yang diprasyaratkan dalam pekerjaannya, dengan kata lain individu tersebut menampilkan perilaku extra-role.
Perilaku extra-role adalah perilaku dalam bekerja yang tidak terdapat pada deskripsi kerja formal karyawan tetapi sangat dihargai jika ditampilkan karyawan karena meningkatkan efektivitas dan kelangsungan hidup organisasi (Katz, 1964). Kinerja maksimal merupakan tuntutan organisasi yang ditunjukkan tidak hanya melalui perilaku in-role tapi juga extra-role yang disebut juga sebagai
Organizational Citizenship Behavior (OCB), dengan demikian penting kiranya sebuah organisasi dapat merangsang terbentuknya OCB, karena tanpa OCB sebuah organisasi akan berjalan kurang sempurna dalam mencapai visi dan misinya atau bahkan dapat mengganggu kelancaran jalannya organisasi.
5
kepentingan pribadi, kegiatan yang berhubungan dengan dunia maya/internet, bahkan ada yang hanya bersantai-santai saja pada saat jam kerja. Data tersebut menunjukkan masih adanya sikap tidak disiplin dan kooperatif pegawai terhadap peraturan organisasi, dimana sikap disiplin dan kooperatif merupakan indikasi terciptanya OCB yang mewakili dimensi conscientiousnes yakni dengan indikatornya adalah efisiensi penggunaan waktu dan melebihi prasyarat minimum (Ahmed et al., 2012). Fenomena-fenomena tersebut menunjukkan rendahnya tingkat OCB di Balai Diklat Industri, oleh karena itu perlu kiranya dicari akar permasalahan penyebab rendahnya tingkat OCB di Balai Diklat Industri.
Organ et al. (2006:8) mendefinisikan OCB sebagai perilaku individual yang bersifat bebas (discretionary), yang tidak secara langsung dan eksplisit mendapat penghargaan dari sistem imbalan formal, dan yang secara keseluruhan (agregat)
meningkatkan efisiensi dan efektifitas fungsi-fungsi organisasi. OCB bersifat bebas dan sukarela karena perilaku tersebut tidak diharuskan oleh persyaratan peran atau deskripsi jabatan yang secara jelas dituntut berdasarkan kontrak dengan organisasi, melainkan sebagai pilihan personal. OCB merupakan perilaku positif orang-orang yang ada dalam organisasi, yang terekspresikan dalam bentuk kesediaan secara sadar dan sukarela untuk bekerja.
tersebut tidak ditentukan, namun memberikan kontribusi terhadap kelancaran fungsi organisasi. Organisasi tidak bisa bertahan atau makmur tanpa anggotanya yang berperilaku sebagai warga yang baik dan terlibat dalam segala macam perilaku positif, karena pentingnya perilaku ini, para ahli organisasi memprioritaskan untuk memahami dan meneliti perilaku OCB (Jahangir et al., 2004).
Menurut Podsakoff et al. (2000), OCB mempengaruhi keefektifan organisasi. Individu yang memberi kontribusi pada keefektifan organisasi dengan melakukan hal di luar tugas atau peran utama mereka adalah aset bagi organisasi (Luthans, 2006:253). Robbins dan Judge (2013:27) mengemukakan bahwa organisasi yang sukses membutuhkan karyawan yang bersedia melakukan tugas yang tidak tercantum dalam deskripsi pekerjaan mereka, yang akan memberikan kinerja melebihi harapan.
Organisasi membutuhkan karyawan yang memperlihatkan perilaku OCB, seperti membantu individu lain dalam tim, mengajukan diri untuk melakukan pekerjaan ekstra, menghindari konflik yang tidak perlu, mematuhi peraturan serta mentoleransi gangguan terkait pekerjaan (Robbins dan Judge, 2013:27). Menurut Shweta dan Srirang (2010), faktor-faktor yang mempengaruhi OCB yaitu: disposisi individu dan motif individu, kohesivitas kelompok, sikap pegawai (komitmen organisasi dan kepuasan kerja), kepemimpinan transformasional dan keadilan organisasi.
7
organisasi. Ismail et al. (2011) menyatakan bahwa pada era persaingan global, banyak organisasi menggeser paradigma gaya kepemimpinan mereka dari kepemimpinan transaksional ke kepemimpinan transformasional sebagai cara untuk mencapai strategi dan tujuan. Gaya kepemimpinan transformasional sesuai dengan lingkungan organisasi yang dinamis (Ismail et al., 2011). Kepemimpinan transformasional dianggap efektif dalam situasi atau budaya apapun (Yukl, 2010:306).
Program reformasi birokrasi dan reposisi yang dilakukan oleh Balai Diklat Industri merupakan satu bentuk transformasi organisasi. Salah satu pilar penting dalam transformasi organisasi adalah faktor kepemimpinan. Perubahan yang dilakukan dalam transformasi organisasi banyak ditentukan oleh peran yang dijalankan oleh pemimpinnya. Gaya kepemimpinan yang cukup banyak diterima dan terbukti mampu melahirkan proses transformasi adalah tipe atau gaya kepemimpinan transformasional (Asmoko, 2015)
lebih keras, meningkatkan produktifitas, memiliki moril kerja serta kepuasan kerja yang lebih tinggi, meningkatkan efektifitas organisasi, meminimalkan perputaran pegawai, menurunkan tingkat ketidakhadiran, dan memiliki kemampuan menyesuaikan diri secara organisasional yang lebih tinggi (Robbins dan Judge, 2013:382).
Bennis dan Nanus (1985), menyatakan bahwa pemimpin yang efektif adalah orang yang mendapatkan kepercayaan dari para pengikutnya. Kepercayaan dan kesetiaan kepada pemimpin memainkan peran penting dalam model kepemimpinan transformasional (Boal dan Bryson, 1988). Yukl (1989) menyatakan bahwa, salah satu alasan utama mengapa pengikut termotivasi oleh pemimpin transformasional untuk tampil melampaui harapan adalah bahwa pengikut percaya dan menghormati pemimpinnya, dengan demikian kepercayaan dipandang memainkan peran mediasi penting dalam hubungan antara kepemimpinan transformasional dan OCB, hal yang sama juga diungkapkan oleh Podsakoff et al., (1990) dan Goodwin et al., (2011).
9
Mahdi (2008:160) menyatakan, kepercayaan terhadap atasan adalah sikap tidak ragu-ragu dari seorang karyawan kepada atasannya atas kebijakan yang dilakukan atasan tersebut, atasan membangun kontak-kontak hubungan dengan karyawan dan memenuhi persepsi mereka tentang kewajiban organisasi. Kontak tersebut sedemikian seringnya sehingga terjalin kepercayaan yang kuat dari bawahan mereka. Podsakoff et al., (1990) menyatakan, kepercayaan kepada pemimpin adalah tingkat keyakinan dan loyalitas kepada pemimpin.
Mediator potensial lain dari dampak perilaku pemimpin transformasional terhadap perilaku ekstra peran atau OCB adalah kepuasan karyawan. Moorman et al. (1993), MacKenzie et al. (1998), Murphy et al. (2002), Mohammad et al. (2011) telah mengkaji penelitian empiris yang menunjukkan bahwa kepuasan kerja karyawan merupakan faktor penentu penting dari perilaku ekstra peran (OCB), selain itu, Podsakoff et al. (1990) menyatakan bahwa hampir semua penelitian kepemimpinan transformasional mendalilkan bahwa pemimpin transformasional meningkatkan sikap kerja dan kepuasan pengikut, sehingga kepuasan muncul sebagai mediator potensi dampak perilaku pemimpin transformasional terhadap kinerja ekstra peran pengikut.
Barbuto (2005) menyatakan bahwa pengikut pemimpin transformasional memiliki rasa kepercayaan, kekaguman, kesetiaan, dan rasa hormat terhadap pemimpin dan termotivasi untuk melakukan perilaku ekstra peran atau OCB. Lamidi (2008) menemukan bahwa kepemimpinan transformasional mempunyai pengaruh langsung yang signifikan dan positif terhadap OCB dan komitmen organisasional. Penelitian yang dilakukan oleh Nguni (2005) pada sekolah-sekolah dasar dan sekolah menengah di Tanzania menunjukkan pengaruh yang signifikan antara kepemimpinan transformasional terhadap kepuasan kerja, komitmen organisasi dan perilaku OCB dari para guru.
Pengaruh kepemimpinan transformasional terhadap OCB adalah tidak langsung, dimediasi oleh kepercayaan terhadap atasan pengikut (Podsakoff et al.,
1990). Arnold et al. (2001) menyatakan bahwa kepemimpinan transformasional dalam tim merupakan cara yang lebih efektif untuk mendorong terbentuknya kepercayaan , komitmen dan keberhasilan tim. Kepercayaan ditemukan memediasi penuh hubungan antara perilaku kepemimpinan transformasional dan OCB, kinerja dan komitmen afektif (Goodwin et al., 2011).
Ratnawati dan Amri (2013) menemukan bahwa, keadilan organisasional dan kepercayaan pada atasan berpengaruh positif terhadap organizational citizenship behavior (OCB) pada PNS di lingkungan Kodam Iskandar Muda Banda Aceh. Kepercayaan kepada supervisor berhubungan positif signifikan dengan OCB
11
Kepemimpinan transformasional memiliki pengaruh yang signifikan terhadap kepuasan kerja dan komitmen organisasional, berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Yang (2012). Zahari dan Shurbagi (2012) menunjukkan bahwa hubungan antara gaya kepemimpinan transformasional dan kepuasan kerja adalah hubungan positif yang signifikan. Al-Swidi et al. (2012) menyatakan bahwa kepemimpinan transformasional telah terbukti memiliki efek signifikan pada kepuasan kerja karyawan melalui peningkatan pemberdayaan karyawan.
Hasil studi yang dilakukan oleh MacKenzie et al. (1998) menunjukkan bahwa kepuasan kerja memotivasi karyawan untuk melakukan OCB secara sukarela. Menurut Robbins dan Judge (2013:84), kepuasan kerja seharusnya menjadi faktor penentu utama dari perilaku kewargaan organisasi (organizational citizenship behavior-OCB) seorang karyawan. Karyawan yang puas tampaknya cenderung berbicara secara positif tentang organisasi, membantu individu lain, dan melewati harapan normal dalam pekerjaan mereka, selain itu, karyawan yang puas lebih mudah berbuat lebih dalam pekerjaan karena mereka ingin merespons pengalaman positif mereka. Penelitian menunjukkan pekerja yang puas lebih cenderung bertahan bekerja untuk organisasi. Pekerja yang puas juga cenderung terlibat dalam perilaku organisasi yang melampaui deskripsi tugas dan peran mereka, serta membantu mengurangi beban kerja dan tingkat stres anggota lain dalam organisasi. Pekerja yang tidak puas cenderung bersikap menentang dalam hubungannya dengan kepemimpinan dan terlibat dalam berbagai perilaku yang kontraproduktif.
mempengaruhi kepuasan kerja. Penelitian yang dilakukan oleh Jahangir et al.
(2004) menunjukkan bahwa kepuasan kerja dan gaya kepemimpinan berpengaruh terhadap OCB karyawan. Krishnan et al. (2009) membuktikan bahwa, baik kepuasan kerja intrinsik maupun kepuasan kerja ekstrinsik berpengaruh positif terhadap OCB staf.
Berdasarkan uraian sebelumnya, penelitian ini menguji dan menganalisis pengaruh langsung kepemimpinan transformasional terhadap OCB, maupun pengaruh tidak langsung yang dimediasi oleh kepercayaan kepada pemimpin dan kepuasan kerja, dengan subjek penelitian adalah pegawai tetap pada Balai Diklat Industri Kementerian Perindustrian Republik Indonesia (RI).
Rumusan Masalah
Berdasarkan permasalahan yang telah diuraikan sebelumnya, rumusan masalah penelitian adalah sebagai berikut :
1) Apakah kepemimpinan transformasional berpengaruh terhadap OCB pegawai tetap Balai Diklat Industri Kementerian Perindustrian RI?
2) Apakah kepemimpinan transformasional berpengaruh terhadap kepercayaan kepada atasan pegawai tetap Balai Diklat Industri Kementerian Perindustrian RI?
3) Apakah kepemimpinan transformasional berpengaruh terhadap kepuasan kerja pegawai tetap Balai Diklat Industri Kementerian Perindustrian RI?
13
5) Apakah kepuasan kerja berpengaruh terhadap OCB pegawai tetap Balai Diklat Industri Kementerian Perindustrian RI?
6) Apakah kepercayaan kepada atasan menjadi mediator pengaruh kepemimpinan transformasional terhadap OCB pegawai tetap Balai Diklat Industri Kementerian Perindustrian RI?
7) Apakah kepuasan kerja menjadi mediator pengaruh kepemimpinan transformasional terhadap OCB pegawai tetap Balai Diklat Industri Kementerian Perindustrian RI?
Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian adalah sebagai berikut :
1) Membahas pengaruh kepemimpinan transformasional terhadap OCB pegawai tetap Balai Diklat Industri Kementerian Perindustrian RI.
2) Membahas pengaruh kepemimpinan transformasional terhadap kepercayaan kepada atasan pegawai tetap Balai Diklat Industri Kementerian Perindustrian RI
3) Membahas pengaruh kepemimpinan transformasional terhadap kepuasan kerja pegawai tetap Balai Diklat Industri Kementerian Perindustrian RI
4) Membahas pengaruh kepercayaan kepada atasan terhadap OCB pegawai tetap Balai Diklat Industri Kementerian Perindustrian RI
6) Membahas peran kepercayaan kepada atasan sebagai mediator pengaruh kepemimpinan transformasional terhadap OCB pegawai tetap Balai Diklat Industri Kementerian Perindustrian RI.
7) Membahas peran kepuasan kerja sebagai mediator pengaruh kepemimpinan transformasional terhadap OCB pegawai tetap Balai Diklat Industri Kementerian Perindustrian RI.
Manfaat Penelitian
Manfaat yang diharapkan dari hasil penelitian ini antara lain : 1) Manfaat Teoritis.
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan bagi pengembangan ilmu pengetahuan di bidang manajemen sumber daya manusia, menjadi bahan kajian dan sumber referensi bagi penelitian selanjutnya, khususnya dalam mengembangkan penelitian tentang hubungan antara variabel-variabel kepemimpinan transformasional, kepercayaan kepada atasan, kepuasan kerja dan organizational citizenship behavior.
2) Manfaat Praktis.
15
1
Banyak teori yang diusulkan telah memberikan kontribusi besar bagi pemahaman mengenai konsep kepemimpinan. Teori ini dapat dikategorikan ke dalam empat aliran utama: traits, behavioural, contingency, dan visionary
(Hemsworth et al., 2013). Khuntia dan Suar (2004) menyatakan bahwa semua teori mengenai kepemimpinan menekankan pada tiga gagasan yang dibangun baik secara bersama-sama maupun terpisah yaitu: (1) rasionalitas, perilaku, dan kepribadian pemimpin; (2) rasionalitas, perilaku, dan kepribadian pengikut; dan (3) faktor-faktor yang berhubungan dengan pelaksanaan tugas, iklim organisasi, dan budaya. Luthans (2006:638) mendefinisikan kepemimpinan sebagai sekelompok proses, kepribadian, pemenuhan, perilaku tertentu, persuasi, wewenang, pencapaian tujuan, interaksi, perbedaan peran, inisiasi struktur, dan kombinasi dari dua atau lebih dari hal-hal tersebut. Menurut Rivai dan Mulyadi (2012:133), kepemimpinan pada dasarnya: melibatkan orang lain, melibatkan distribusi kekuasaan yang tidak merata antara pemimpin dan anggota kelompok, menggerakkan kemampuan dengan menggunakan berbagai bentuk kekuasaan untuk mempengaruhi tingkah laku bawahan, dan menyangkut nilai.
Aliran visioner telah mendapatkan popularitas selama dekade terakhir. Bass mengembangkan konseptualisasi kepemimpinan berdasarkan aliran visioner dengan bukunya yang berjudul Leadership and Performance Beyond Expectations
dalam literatur sebagai Full-Range Leadership Theory (FRLT). Teori tersebut membagi gaya kepemimpinan menjadi dua kategori besar yaitu transaksional dan transformasional.
Kepemimpinan transaksional tradisional mencakup hubungan pertukaran antara pemimpin dan pengikut, tetapi kepemimpinan transformasional lebih mendasarkan pada pergeseran nilai dan kepercayaan pemimpin, serta kebutuhan pengikutnya. Kepemimpinan transaksional adalah resep bagi keadaan seimbang, sedangkan kepemimpinan transformasional membawa keadaan menuju kinerja tinggi pada organisasi yang menghadapi tuntutan pembaruan dan perubahan. Karakteristik dan pendekatan pemimpin transaksional yaitu (Luthans, 2006:654): 1) Penghargaan kontingen, yaitu kontrak pertukaran penghargaan dengan usaha
yang dikeluarkan, menjanjikan penghargaan untuk kinerja baik, mengakui pencapaian atau prestasi.
2) Manajemen berdasarkan kekecualian (aktif), yaitu: mengawasi dan mencari pelanggaran terhadap aturan dan standar, mengambil tindakan korektif.
3) Manajemen berdasarkan kekecualian (pasif), yaitu: intervensi hanya jika standar tidak dipenuhi.
4) Sesuka hati, yaitu: menghindari tanggung jawab, menghindari pengambilan keputusan.
Adapun karakteristik dan pendekatan pemimpin transformasional yaitu (Luthans, 2006:654):
3) Stimulasi intelektual, yaitu: menunjukkan inteligensi, rasional, pemecahan masalah secara hati-hati.
4) Memperhatikan individu, yaitu: menunjukkan perhatian terhadap pribadi, memperlakukan karyawan secara individual, melatih, menasehati.
Hughes et al. (2012:542) mengemukakan bahwa pemimpin transformasional memiliki visi, keahlian retorika, dan pengelolaan kesan yang baik dan menggunakannya untuk mengembangkan ikatan emosional yang kuat dengan pengikutnya. Luthans (2006:654) mengemukakan bahwa pemimpin transformasional lebih sering memakai taktik legitimasi dan melahirkan tingkat identifikasi dan internalisasi yang lebih tinggi, memiliki kinerja yang lebih baik, dan mengembangkan pengikutnya. Menurut Robbins dan Judge (2013:382), kepemimpinan transformasional lebih unggul daripada kepemimpinan transaksional, dan menghasilkan tingkat upaya dan kinerja para pengikut yang melampaui apa yang bisa dicapai kalau pemimpin hanya menerapkan pendekatan transaksional.
kepemimpinan transformasional mendapatkan perhatian penuh selama dekade terakhir dalam berbagai obyek penelitian seperti , rumah sakit, perbankan, olahraga, penjualan, kepolisian, manufaktur dan pemerintah.
Pemerintah Indonesia membangun gaya kepemimpinan transformasional bagi pemimpin-pemimpin organisasi pemerintah, termasuk di Balai Diklat Industri melalui pendidikan dan pelatihan kepemimpinan (diklatpim). Asmoko (2015) menganalisis peran pendidikan dan pelatihan kepemimpinan (diklatpim) dalam rangka pengembangan kepemimpinan transformasional menyatakan diklatpim dapat menunjang pengembangan kepemimpinan transformasional. Asmoko (2015) juga menyatakan bahwa inti dari kompetensi kepemimpinan dalam diklatpim tersebut adalah terbentuknya pemimpin yang mampu melakukan perubahan.
Pemimpinan transformasional adalah pemimpin yang mendorong para pengikutnya untuk merubah motif, kepercayaaan, nilai, dan kemampuan sehingga minat dan tujuan pribadi dari para pengikut dapat selaras dengan visi dan tujuan organisasi (Goodwin et al., 2001). Krishnan (2005) menyatakan bahwa kepemimpinan transformasional merubah dan memperluas minat para pengikutnya, dan menghasilkan kesadaran akan penerimaan tujuan dan misi bersama. Nguni (2005) mengemukakan bahwa kepemimpinan transformasional memerlukan peningkatan level motivasi dari para pengikut melebihi nilai yang dipertukarkan dan melebihi dari apa yang diharapkan oleh para pengikut, dengan demikian para pengikut dapat mencapai kinerja pada level yang lebih tinggi dan terwujudnya aktualisasi diri. Asgari et al. (2008) menyatakan bahwa pemimpin transformasional memotivasi para pengikutnya dengan mengajak para pengikutnya untuk menginternalisasi dan memprioritaskan kepentingan bersama yang lebih besar di atas kepentingan pribadi. Yukl (2010:320) mengemukakan bahwa para pemimpin transformasional membuat para pengikut menjadi lebih menyadari kepentingan dan nilai dari pekerjaan dan membujuk pengikut untuk tidak mendahulukan kepentingan diri sendiri demi organisasi.
dan dalam mencapai aktualisasi, para pemimpin membantu dalam mencapai tingkat kedewasaan moral yang lebih tinggi, dan ketika para pemimpin itu mampu menggerakkan para bawahannya untuk melepaskan kepentingan diri mereka sendiri untuk kebaikan group, organisasi, maupun masyarakat (Sopiah, 2008:295). Rivai dan Mulyadi (2012:132) mengemukakan bahwa pemimpin transformasional memotivasi bawahan untuk berbuat lebih baik dengan apa yang sesungguhnya diharapkan bawahan itu dengan meningkatkan nilai tugas, dengan mendorong bawahan mengorbankan kepentingan diri sendiri demi kepentingan organisasi yang dibarengi dengan menaikkan tingkat kebutuhan bawahan ke tingkat yang lebih baik.
Menurut Robbins dan Judge (2013:382), pemimpin transformasional adalah pemimpin yang menginspirasi para pengikutnya untuk mengenyampingkan kepentingan pribadi mereka demi kebaikan organisasi dan mereka mampu memiliki pengaruh yang luar biasa pada diri para pengikutnya. Pemimpin transformasional menaruh perhatian terhadap kebutuhan pengembangan diri para pengikutnya, mengubah kesadaran para pengikut atas isu-isu yang ada dengan cara membantu orang lain memandang masalah lama dengan cara yang baru, serta mampu menyenangkan hati dan menginspirasi para pengikutnya untuk bekerja keras guna mencapai tujuan-tujuan bersama.
Luthans (2006:653-654) menyimpulkan bahwa pemimpin transformasional yang efektif memiliki karakter sebagai berikut:
1) Mereka mengidenditifikasi dirinya sebagai alat perubahan 2) Mereka berani
ketidakpastian 7) Mereka visioner
Yukl (2010:316-319) mengemukakan beberapa pedoman bagi para pemimpin yang berusaha untuk menginspirasikan dan memotivasi pengikut, yaitu:
1) Menyatakan visi yang jelas dan menarik.
Para pemimpin transformasional memperkuat visi yang ada atau membangun komitmen terhadap sebuah visi baru. Sebuah visi yang jelas mengenai apa yang dapat dicapai organisasi atau akan jadi apakah sebuah organisasi itu akan membantu orang untuk memahami tujuan, sasaran dan prioritas dari organisasi. 2) Menjelaskan bagaimana visi tersebut dapat dicapai.
Tidaklah cukup hanya menyampaikan sebuah visi yang menarik, pemimpin juga harus meyakinkan para pengikut bahwa visi itu memungkinkan. Amatlah penting untuk membuat hubungan yang jelas antara visi itu dengan sebuah strategi yang dapat dipercaya untuk mencapainya. Hubungan ini lebih mudah dibangun jika strateginya memiliki beberapa tema jelas yang relevan dengan nilai bersama dari para anggota organisasi.
3) Bertindak secara rahasia dan optimis.
khususnya dalam menghadapi halangan dan kemunduran sementara. Keyakinan dan optimisme seorang pemimpin dapat amat menular. Keyakinan diperlihatkan baik dalam perkataan maupun tindakan.
4) Memperlihatkan keyakinan terhadap pengikut.
Pengikut akan memiliki kinerja yang lebih baik saat pemimpinnya memiliki harapan yang tinggi bagi mereka dan memperlihatkan keyakinan terhadap mereka.
5) Menggunakan tindakan dramatis dan simbolis untuk menekankan nilai-nilai penting
Tindakan dramatis dengan perilaku kepemimpinan yang konsisten dengan visi organisasi merupakan cara efektif untuk menekankan nilai penting. Tindakan simbolis untuk mencapai sebuah sasaran penting atau mempertahankan sebuah nilai penting akan memberikan pengaruh saat pemimpin itu membuat resiko kerugian pribadi yang cukup besar, membuat pengorbanan diri, atau melakukan hal-hal yang tidak konvensional.
6) Memimpin dengan memberikan contoh.
bawahan untuk menentukan sendiri cara terbaik untuk menerapkan strategi atau mencapai sasaran
Menurut Robbins dan Judge (2013:382), Bass (1985) terdapat empat komponen kepemimpinan transformasional, yaitu:
1) Idealized Influence (Pengaruh Ideal)
Idealized influence adalah perilaku pemimpin yang memberikan visi dan misi, memunculkan rasa bangga, serta mendapatkan respek dan kepercayaan bawahan. Idealized influence disebut juga sebagai pemimpin yang kharismatik, dimana pengikut memiliki keyakinan yang mendalam pada pemimpinnya, merasa bangga bisa bekerja dengan pemimpinnya, dan mempercayai kapasitas pemimpinnya dalam mengatasi setiap permasalahan. Idealized Influence
dibedakan menjadi attributed idealized influence dan behavioural idealized influence (Bass dan Avolio, 1995). Idealized Influence Attributes mengacu pada persepsi pengikut mengenai karakteristik seorang pemimpin yang menggambarkan seorang pemimpin merupakan panutan teladan, dikagumi dan dihormati oleh pengikutnya, sedangkan Idealized Influence Behaviours
2) Inspirational Motivation (Motivasi Inspirasional)
Inspirational motivation adalah perilaku pemimpin yang mampu mengkomunikasikan harapan yang tinggi, menyampaikan visi bersama secara menarik dengan menggunakan simbol-simbol untuk memfokuskan upaya bawahan, dan menginspirasi bawahan untuk mencapai tujuan yang menghasilkan kemajuan penting bagi organisasi.
3) Intellectual Stimulation (Stimulasi Intelektual)
Intellectual stimulation adalah perilaku pemimpin yang mampu meningkatkan kecerdasan bawahan untuk meningkatkan kreativitas dan inovasi mereka, meningkatkan rasionalitas, dan pemecahan masalah secara cermat.
4) Individualized Consideration (Pertimbangan Individual)
Individualized consideration adalah perilaku pemimpin yang memberikan perhatian pribadi, memperlakukan masing-masing bawahan secara individual sebagai seorang individu dengan kebutuhan, kemampuan, dan aspirasi yang berbeda, serta melatih dan memberikan saran. Individualized consideration dari kepemimpinan transformasional memperlakukan masing-masing bawahan sebagai individu serta mendampingi mereka, memonitor dan menumbuhkan peluang.
Gaya kepemimpinan transformasional pada penelitian ini diukur dengan menggunakan Multi-leadership Questionnaire (MLQ) dari Bass dan Avolio (1995).
Kepercayaan Terhadap Atasan
mengandalkan tindakan atau kata-kata pemimpin dan bahwa pemimpin memiliki niat baik terhadap organisasi. Kepercayaan kepada atasan/pemimpin adalah tingkat keyakinan dan loyalitas kepada pemimpin (Podsakoff et al., 1990). Mahdi (2008:160) menyatakan, kepercayaan terhadap atasan adalah sikap tidak ragu-ragu dari seseorang karyawan kepada atasannya atas kebijakan yang dilakukan atasan tersebut. Robbins dan Judge (2013:388) menyatakan, kepercayaan adalah atribut utama yang terkait dengan kepemimpinan, mengabaikan hal tersebut dapat menyebabkan efek samping yang serius pada kinerja kelompok.
Menurut Robbins dan Judge (2013:389) terdapat tiga karakteristik kunci yang membuat kita percaya bahwa pemimpin dapat dipercaya antara lain :
1) Integritas (Integrity). Integritas mengacu pada kejujuran dan kebenaran 2) Kebajikan (Benevolence). Kebajikan berarti orang yang dipercaya memiliki
daya tarik di hati anda, bahkan jika anda tidak selalu sejalan dengan mereka. Perilaku peduli dan mendukung merupakan bagian dari ikatan emosional antara pemimpin dan pengikut.
3) Kemampuan (Ability). Kemampuan meliputi pengetahuan dan keterampilan teknis dan interpersonal individu.
1) Kepercayaan mendorong dalam hal pengambilan risiko. Setiap kali karyawan memutuskan untuk menyimpang dari cara yang biasa dilakukan atau mengikuti arahan supervisor untuk hal yang baru, mereka mengambil risiko dimana hubungan saling percaya dapat memfasilitasi hal tersebut.
2) Kepercayaan memfasilitasi dalam hal berbagi informasi. Salah satu alasan besar karyawan gagal untuk mengungkapkan keprihatinan mereka di tempat kerja adalah bahwa mereka tidak merasa aman secara psikologis mengungkapkan pandangan mereka, ketika para manajer menunjukkan bahwa mereka mendengar dan mempertimbangkan ide-ide karyawan dan secara aktif melakukan perubahan, karyawan lebih bersedia untuk berbicara.
3) Kelompok yang percaya lebih efektif. Ketika seorang pemimpin menunjukkan rasa percaya dalam kelompok, anggota lebih bersedia untuk membantu satu sama lain dan mengerahkan upaya ekstra, yang selanjutnya meningkatkan kepercayaan, sebaliknya kelompok yang tidak percaya cenderung curiga satu sama lain, waspada terhadap eksploitasi, dan membatasi komunikasi dengan orang lain dalam kelompok. Tindakan ini cenderung untuk melemahkan dan akhirnya menghancurkan kelompok.
4) Kepercayaan meningkatkan produktivitas. Karyawan yang percaya pada
supervisor cenderung memiliki kinerja yang lebih tinggi.
2) Integritas (Integrity), sejauh mana orang tersebut dipandang terhormat dan kata-kata mereka sesuai tindakan.
3) Kebajikan (Benevolence), sejauh mana orang tersebut dipandang benar-benar peduli dan prihatin.
4) Prediktabilitas (Predictability), sejauh mana perilaku seseorang konsisten Kepuasan Kerja
Kepuasan kerja adalah keadaan emosi yang senang atau emosi positif yang berasal dari penilaian pekerjaan atau pengalaman kerja seseorang. Kepuasan kerja adalah hasil dari persepsi karyawan mengenai seberapa baik pekerjaan mereka memberikan hal yang dinilai penting (Luthans, 2006:243). Rivai dan Mulyadi (2012:246) menyatakan bahwa kepuasan kerja adalah penilaian dari pekerja tentang seberapa jauh pekerjaannya secara keseluruhan memuaskan kebutuhannya. Garboua dan Montmarquette (2004) menyatakan bahwa kepuasan kerja menggambarkan perasaan pekerja yang didasari atas pengalaman kerjanya. Gibson
Robbins dan Judge (2013:74) mendefinisikan kepuasan kerja sebagai suatu perasaan positif tentang pekerjaan seseorang yang merupakan hasil dari sebuah evaluasi karakteristiknya. Dalam konsep tersebut, pekerjaan seseorang lebih dari sekedar aktivitas mengatur kertas, menulis kode program, menunggu pelanggan, atau mengendarai sebuah truk. Setiap pekerjaan menuntut interaksi dengan rekan kerja dan atasan-atasan, mengikuti peraturan dan kebijaksanaan-kebijaksanaan organisasional, memenuhi standar-standar kinerja, menerima kondisi-kondisi kerja yang kurang ideal, dan lain-lain. Penilaian seorang karyawan tentang seberapa ia merasa puas atau tidak puas dengan pekerjaan merupakan penyajian yang rumit dari sejumlah elemen pekerjaan yang berlainan. Luthans (2006:243) menyatakan terdapat tiga dimensi kepuasan kerja, yaitu:
1) Kepuasan kerja merupakan respons emosional terhadap situasi dan kondisi kerja, dengan demikian, kepuasan kerja dapat dilihat dan dapat diduga. 2) Kepuasan kerja sering ditentukan menurut seberapa baik hasil yang dicapai
memenuhi atau melampaui harapan. Misalnya, jika anggota organisasi merasa bahwa mereka bekerja terlalu keras daripada yang lain dalam departemen, tetapi menerima penghargaan lebih sedikit, maka mereka mungkin akan memiliki sikap negatif terhadap pekerjaan, pimpinan, atau rekan kerja mereka. Sebaliknya, jika mereka merasa bahwa mereka diperlakukan dengan baik dan dibayar dengan pantas, maka mereka mungkin akan memiliki sikap positif terhadap pekerjaan mereka.
memiliki sedikit kecelakaan kerja, mengajukan lebih sedikit keluhan, meningkatkan kinerja, mengurangi pergantian karyawan dan ketidakhadiran. Cara-cara untuk meningkatkan kepuasan kerja, diantaranya:
1) Membuat pekerjaan menjadi menyenangkan
2) Memiliki gaji, benefit, dan kesempatan promosi yang adil
3) Menyesuaikan orang dengan pekerjaan yang sesuai dengan minat dan keahlian mereka
4) Mendesain pekerjaan agar menarik dan menyenangkan
Hughes et al. (2012:337) menyatakan bahwa kepuasan kerja berhubungan dengan sikap seseorang mengenai kerja, dan ada beberapa alasan yang membuat kepuasan kerja merupakan konsep yang penting bagi pemimpin. Penelitian menunjukkan pekerja yang puas lebih cenderung bertahan bekerja untuk organisasi. Pekerja yang puas juga cenderung terlibat dalam perilaku organisasi yang melampaui deskripsi tugas dan peran mereka, serta membantu mengurangi beban kerja dan tingkat stres anggota lain dalam organisasi. Pekerja yang tidak puas cenderung bersikap menentang dalam hubungannya dengan kepemimpinan dan terlibat dalam berbagai perilaku yang kontraproduktif. Ketidakpuasan juga alasan utama seseorang meninggalkan organisasi.
1) Pengakuan (recognition)
Tindakan berupa pujian ataupun sikap menyalahkan yang disampaikan oleh atasan, rekan sejawat, manajemen, klien, dan atau masyarakat umum.
2) Pencapaian (achievement)
Segala upaya yang dilakukan untuk meraih keberhasilan termasuk mengambil sikap atas kegagalan yang terjadi.
3) Kesempatan berkembang (possibility of growth)
Kesempatan untuk berkembang yang tercermin dari perubahan status. 4) Kemajuan (advancement)
Perubahan nyata yang terjadi pada status pekerjaan 5) Gaji (salary)
Konsekuensi dari kompensasi yang memainkan peran utama. 6) Hubungan antar pribadi (interpersonal relations)
Hubungan yang terjalin antara atasan, bawahan, dan rekan sejawat. 7) Pengawasan (supervision)
Kemampuan pengawas dalam mendelegasikan tanggung jawab dan membimbing bawahan.
8) Tanggung jawab (responsibility)
Kepuasan yang timbul berasal dari adanya kendali dan tanggung jawab yang diberikan dalam suatu pekerjaan.
9) Administrasi dan kebijakan (policy and administration)
Kinerja pekerjaan secara nyata yang berhubungan dengan kepuasan kerja. Schleicher et al. (2004); Luthans (2006:243); Robbins dan Judge (2013:79); Azeem (2010) mengungkapkan bahwa terdapat lima komponen kepuasan kerja, yaitu:
1) Pembayaran (Pay)
Sejumlah upah yang diterima dan tingkat di mana hal ini bisa dipandang sebagai hal yang dianggap pantas dibandingkan dengan orang lain dalam organisasi. Hal ini merupakan sesuatu yang lumrah bagi setiap pegawai dimana para pegawai mengharapkan pembayaran yang diterima sesuai dengan beban kerja yang mereka dapatkan. Pegawai membandingkan apakah dengan beban kerja yang sama, pegawai tersebut mendapatkan gaji yang sama atau berbeda. Hal ini mempengaruhi kepuasan yang mereka rasakan.
2) Pekerjaan (Job)
kemungkinan timbul rasa frustrasi sebagai akibat dari kegagalan pegawai dalam memenuhi tuntutan kerja yang telah diberikan oleh organisasi.
3) Kesempatan promosi (Promotion opportunities)
Kesempatan bagi pegawai untuk maju dan berkembang dalam organisasi, misalnya: kesempatan untuk mendapatkan promosi, penghargaan, kenaikan pangkat serta pengembangan individu. Hal ini terkait dengan pengembangan diri setiap pegawai. Pegawai memiliki keinginan untuk terus maju dan berkembang sebagai bentuk aktualisasi diri sehingga pegawai akan merasa puas apabila organisasi memberikan kesempatan untuk berkembang dan mendapatkan promosi ke jenjang yang lebih tinggi.
4) Atasan (Supervisor)
Kemampuan atasan untuk menunjukkan minat dan perhatian tentang pegawai, memberikan bantuan teknis, serta peran atasan dalam memperlakukan pegawai mempengaruhi perilaku pegawai dalam pekerjaannya sehari-hari, selain itu atasan dituntut memiliki kemampuan dalam melakukan pengambilan keputusan yang secara langsung maupun tidak langsung berdampak kepada para bawahannya.
5) Rekan kerja (Co-workers)
Teori ini berdasar pada konsep atas hubungan antara individu dengan lingkungannya (Dawis et al., 1968: 3). Hubungan keduanya dapat digambarkan dengan hubungan yang harmonis antara individu dengan lingkungannya, kecocokan individu dengan lingkungannya, begitu juga sebaliknya, dan hubungan saling melengkapi antara individu dengan lingkungannya. Setiap individu mempunyai keinginan yang harus dipenuhi oleh lingkungannya, begitu juga lingkungan, juga memiliki persyaratan untuk dipenuhi oleh individu, untuk dapat bertahan dalam lingkungannya, setiap individu harus memiliki hubungan yang baik dengan lingkungannya. MSQ terbagi dalam dua dimensi, dimensi intrinsik dan dimensi ekstrinsik (Weiss et al., 1967).
Spector (1997:15) mengatakan bahwa kepuasan kerja intrinsik mencerminkan tugas pekerjaan itu sendiri dan bagaimana orang-orang merasakan pekerjaan yang mereka lakukan. Adkins dan Naumann (2002:142-143) berpendapat bahwa kepuasan kerja intrinsik meliputi proses kerja itu sendiri. Weiss et al. (1967) membagi dimensi kepuasan kerja intrinsik ke dalam beberapa faktor sebagai berikut:
1) Activity, segala macam bentuk aktivitas yang dilakukan dalam bekerja. 2) Independence, kemandirian yang dimiliki karyawan dalam bekerja.
4) Social Status, derajat sosial dan harga diri yang dirasakan akibat dari pekerjaan 5) Moral values, nilai-nilai moral yang dimiliki karyawan dalam melakukan
pekerjaannya seperti rasa bersalah atau terpaksa.
6) Security, rasa aman yang dirasakan karyawan terhadap pekerjaannya. 7) Social Service, perasaan sosial karyawan terhadap lingkungan kerjanya. 8) Authority, wewenang yang dimiliki dalam melakukan pekerjaan.
9) Ability Utilization , pemanfaatan kecakapan yang dimiliki oleh karyawan. 10)Responsibility, tanggung jawab yang diemban dan dimiliki.
11)Creativity , kreatifitas yang dapat dilakukan dalam melakukan pekerjaan. 12)Achievement , prestasi yang dicapai selama bekerja.
Spector (1997:15) mendefinisikan kepuasan kerja ekstrinsik sebagai aspek kerja yang tidak berhubungan langsung atau sedikit berhubungan dengan melakukan tugas pekerjaan. Adkins dan Naumann (2002:142-143) menyatakan bahwa kepuasan kerja ekstrinsik memperhatikan aspek-aspek kerja yang berhubungan dengan ruang lingkup pekerjaan tetapi tidak termasuk dalam proses kerja itu sendiri, seperti kepuasan terhadap gaji, kepuasan terhadap pengawasan. Weiss et al. (1967) membagi dimensi kepuasan kerja ekstrinsik ke dalam beberapa faktor sebagai berikut :
1) Supervision-Human Relations, dukungan yang diberikan oleh badan usaha terhadap pekerjanya.
karyawan.
5) Advancement, Kemajuan atau perkembangan yang dicapai selama bekerja. 6) Recognition, pengakuan atas pekerjaan yang dilakukan.
7) Working Conditions, keadaan tempat kerja dimana karyawan melakukan pekerjaannya.
8) Co-workers, rekan sekerja yang terlibat langsung dalam pekerjaan.
MSQ mempunyai dua bentuk, yang pertama adalah long form yang terdiri dari 100 pertanyaan dan yang kedua adalah short form yang terdiri dari 20 pertanyaan, keduanya berisikan dimensi dan indikator yang sama. Pengukuran kepuasan kerja pada penelitian ini menggunakan MSQ short form.
Organizational Citizenship Behavior (OCB)
Huang (2012) mengemukakan tiga kategori perilaku pekerja, yaitu: (1) berpartisipasi, terikat dan berada dalam suatu organisasi; (2) harus menyelesaikan suatu pekerjaan dan bertindak sesuai dengan prinsip-prinsip yang diatur oleh organisasi; serta (3) melakukan aktivitas yang inovatif dan spontan melebihi persepsi perannya dalam organisasi. Kategori terakhirlah yang sering disebut sebagai organizational citizenship behavior (OCB) atau the extra-role behavior
(Huang, 2012).
mendukung berfungsinya organisasi tersebut secara efektif. Shweta dan Srirang (2010) menyatakan bahwa OCB ditandai dengan usaha dalam bentuk apapun yang dilakukan berdasarkan kebijaksanaan pegawai yang memberikan manfaat bagi organisasi tanpa mengharapkan imbalan apapun. Kumar et al. (2009) mendefinisikan OCB sebagai perilaku individu yang memberikan kontribusi pada terciptanya efektifitas organisasi dan tidak berkaitan langsung dengan sistem reward organisasi. Kumar et al. (2009) menyatakan bahwa OCB merupakan:
1) Perilaku bebas pekerja yang tidak diharapkan maupun diperlukan, oleh karena itu organisasi tidak dapat memberikan penghargaan atas munculnya perilaku tersebut ataupun memberikan hukuman atas ketiadaan perilaku tersebut. 2) Perilaku individu yang memberikan manfaat bagi organisasi akan tetapi tidak
secara langsung maupun eksplisit diakui dalam sistem penghargaan formal organisasi.
3) Perilaku yang bergantung pada setiap individu untuk memunculkan ataupun menghilangkan perilaku tersebut dalam lingkungan kerja.
4) Perilaku yang berdampak pada terciptanya efektifitas dan efisiensi kerja tim dan organisasi, sehingga memberikan kontribusi bagi produktifitas organisasi secara keseluruhan.
1) Perilaku individu yang bebas.
Maksudnya adalah bahwa perilaku tertentu yang dimunculkan dalam konteks tertentu bukan merupakan persyaratan mutlak yang tercantum dalam deskripsi pekerjaan yang harus dijalankan oleh seorang individu. Hal ini menyebabkan setiap individu memiliki pilihan secara bebas, apakah akan memunculkan OCB
atau tidak, karena seseorang tidak akan dihukum karena tidak mempraktekkan perilaku tersebut.
2) Tidak secara langsung dan eksplisit diakui oleh sistem penghargaan formal. Beberapa pekerjaan mencantumkan standar minimal seperti pengalaman, pengetahuan, dan kompetensi untuk memenuhi tanggung jawab pekerjaan secara tertulis. Tuntutan tersebut jika dicantumkan dalam deskripsi pekerjaan, atau kontrak kerja, maka perilaku yang timbul dalam rangka memenuhi kewajiban tersebut bukanlah merupakan OCB. Perilaku yang termasuk OCB
mendasari pemberian imbalan atau penghargaan yang diberikan tersebut tidak ditetapkan dalam kontrak kerja atau tidak terdapat dalam kebijakan dan prosedur formal organisasi. Pemberian imbalan tersebut bersifat alamiah dan terdapat ketidakpastian dari segi waktu dan cara mendapatkan imbalan tersebut.
3) Secara bersama-sama mendorong fungsi efisiensi dan efektifitas organisasi. Pengertian secara bersama-sama mengandung maksud bahwa OCB muncul pada setiap individu, pada kelompok, hingga pada tingkatan organisasi secara luas. Penelitian mengenai OCB secara umum telah dikaitkan dengan indikator efisiensi dan efektivitas pada organisasi seperti efisiensi operasi, kepuasan pelanggan, kinerja keuangan, dan pertumbuhan pendapatan.
OCB sangat penting artinya untuk menunjang keefektifan fungsi-fungsi organisasi, terutama dalam jangka panjang. Menurut Podsakoff et al. (2000), OCB
mempengaruhi keefektifan organisasi karena beberapa alasan: 1) OCB dapat membantu meningkatkan produktivitas rekan kerja. 2) OCB dapat membantu meningkatkan produktivitas manajerial.
3) OCB dapat membantu mengefisienkan penggunaan sumber daya organisasi untuk tujuan-tujuan produktif.
4) OCB dapat menurunkan tingkat kebutuhan akan penyediaan sumber daya organisasi secara umum untuk tujuan-tujuan pemeliharaan.
8) OCB dapat meningkatkan kemampuan organisasi untuk beradaptasi secara lebih efektif terhadap perubahan-perubahan lingkungannya.
Shweta dan Srirang (2010) mengemukakan bahwa, konsep OCB pertama kali diperkenalkan oleh Smith, Organ, dan Near pada tahun 1983 yang menggambarkan OCB dalam dua komponen yaitu altruism dan generalized compliance (bentuk lain dari conscientiousness), kemudian Organ pada tahun 1988 menambahkan
sportsmanship, courtesy, dan civic virtue sebagai komponen lain pada OCB
disamping altruism dan generalized compliance. Williams dan Anderson (1991) mengelompokkan OCB dalam dua kategori yang berbeda yaitu: OCBI – perilaku yang mengarah pada individu dalam organisasi, terdiri dari altruism dan courtesy;
dan OCBO – perilaku yang mengarah pada peningkatan efektivitas organisasi, terdiri dari conscientiousness, sportsmanship dan civic virtue. Komponen OCB yang digunakan dalam penelitian ini merupakan komponen yang dikemukakan oleh Konovsky dan Organ (1996); Jahangir et al. (2004); Organ et al. (2006:22); DiPaola dan Neves (2009); Ahmed et al. (2012), Chiang dan Hsieh (2012), yaitu:
1) Altruism
Altruism adalah perilaku berinisiatif untuk membantu atau menolong rekan kerja dalam organisasi secara sukarela. Komponen altruism secara lebih rinci memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
b. Menggantikan peran atau pekerjaan rekan kerja yang berhalangan hadir. c. Rela membantu rekan kerja yang memiliki masalah dengan pekerjaan. d. Membantu rekan kerja yang lain agar lebih produktif.
e. Membantu proses orientasi lingkungan kerja atau memberi arahan kepada pegawai yang baru meskipun tidak diminta.
2) Courtesy
Courtesy adalah perilaku individu yang menjaga hubungan baik dengan rekan kerjanya agar terhindar dari perselisihan antar anggota dalam organisasi. Seseorang yang memiliki dimensi ini adalah orang yang menghargai dan memperhatikan orang lain. Komponen courtesy secara lebih rinci memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
a. Menghormati hak-hak dan privasi rekan kerja.
b. Mencoba untuk tidak membuat masalah dengan rekan kerja. c. Mencoba menghindari terjadinya perselisihan antar rekan kerja.
d. Mempertimbangkan dampak terhadap rekan kerja dari setiap tindakan yang dilakukan.
e. Berkonsultasi terlebih dahulu dengan rekan kerja yang mungkin akan terpengaruh dengan tindakan yang akan dilakukan.
3) Sportsmanship
Sportsmanship adalah kesediaan individu menerima apapun yang ditetapkan oleh organisasi meskipun dalam keadaan yang tidak sewajarnya. Komponen
c. Menerima setiap kebijakan dan prosedur yang ditetapkan oleh organisasi. d. Mentolerir ketidaknyamanan yang terjadi di tempat kerja.
4) Conscientiousness
Conscientiousness adalah pengabdian atau dedikasi yang tinggi pada pekerjaan dan keinginan untuk melebihi standar pencapaian dalam setiap aspek. Komponen conscientiousness secara lebih rinci memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
a. Ketika tidak masuk kerja, melapor kepada atasan atau rekan kerja terlebih dahulu.
b. Menyelesaikan tugas sebelum waktunya.
c. Selalu berusaha melakukan lebih dari apa yang seharusnya dilakukan. d. Secara sukarela melakukan sesuatu yang bermanfaat bagi organisasi
disamping tugas utama.
e. Tidak membuang-buang waktu kerja.
f. Tidak mengambil waktu istirahat secara berlebihan.
g. Mematuhi peraturan dan ketentuan organisasi meskipun dalam kondisi tidak ada seorang pun yang mengawasi.
5) Civic Virtue
peduli dalam berbagai kegiatan yang diselenggarakan organisasi. Komponen
civic virtue secara lebih rinci, memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
a. Peduli terhadap perkembangan dan perubahan yang terjadi dalam organisasi.
b. Turut serta dalam berbagai kegiatan yang diselenggarakan oleh organisasi. c. Mengambil inisiatif untuk memberikan rekomendasi atau saran inovatif
untuk meningkatkan kualitas organisasi secara keseluruhan.