• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB III HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS"

Copied!
59
0
0

Teks penuh

(1)

BAB III

HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS

A. Hasil Penelitian

Sistem Peradilan Pidana Anak (Juvenile Justice

System) adalah segala unsur sistem peradilan pidana

yang terkait di dalam penanganan kasus-kasus kenakalan anak. Pertama, polisi sebagai institusi formal ketika anak nakal pertama kali bersentuhan dengan sistem peradilan, yang juga akan menentukan apakah anak akan dibebaskan atau diproses lebih lanjut. Kedua, jaksa dan lembaga pembebasan bersyarat yang juga akan menentukan apakah anak akan dibebaskan atau diproses ke pengadilan anak.

Ketiga, Pengadilan Anak, tahapan ketika anak akan

ditempatkan dalam pilihan-pilihan, mulai dari dibebaskan sampai dimasukkan dalam institusi penghukuman. Yang terakhir, institusi penghukuman.

Institusi kepolisian merupakan institusi negara yang pertama kali melakukan intervensi terhadap anak yang berkonflik dengan hukum. Penangkapan, penahan, penyelidikan, dan penyidikan merupakan kewenangan kepolisian untuk menegakkan sistem peradilan pidana anak.

Dalam menjalankan tugasnya kepolisian diberikan kewenangan diskresi (discretionary power).

(2)

Kewenangan diskresi adalah kewenangan legal di mana kepolisian berhak untuk meneruskan atau tidak meneruskan suatu perkara. Berdasarkan kewenangan ini pula kepolisian dapat mengalihkan (diversion) terhadap suatu perkara anak sehingga anak tidak perlu berhadapan dengan penyelesaian pengadilan pidana secara formal.

Kepala Unit Perlindungan Perempuan dan Anak Satuan Reserse Kriminal Resort Tegal menyatakan bahwa pada dasarnya kasus yang dilaporkan ke Polres Tegal tidak semua berkasnya dilimpahkan ke Kejaksaan. Ketika penyidikan dilakukan, terkadang antara pihak korban dan pelaku melakukan perdamaian seperti pada tahun 2013 dari beberapa kasus namun hanya sebagian kecil berkasnya yang disampaikan ke kejaksaan. Biasanya perdamaian ini terjadi karena bantuan pihak ketiga seperti tokoh adat atau tokoh masyarakat. Perdamaian itu biasanya disertai ganti rugi yang ditandai dengan kesepakatan antara korban dan pelaku. Terkadang pihak kepolisian dilibatkan dan tidak dilibatkan namun apabila perkara tersebut sudah diselesaikan secara damai biasanya pihak korban, pelaku dan tokoh masyarakat atau pihak-pihak yang terlibat datang melapor ke Polres Tegal. Namun apabila kasus pencabulan dimana korban atau orang tua korban tidak bersedia melakukan perdamaian dengan adanya surat

(3)

pernyataan yang ditandatangani oleh orang tua korban maka kasus ini akan diteruskan ke kejaksaan1.

Pada tahap ini kewenangan polisi dalam mengalihkan (diversi) perkara anak demi keadilan restributif telah terjadi dimana terjadi penurunan kasus pada tahun 2013. Berarti ada beberapa kasus yang mengalami diversi. Dari beberapa kasus yang diteruskan ke kejaksaan dapat dikatakan kewenangan diskresi belum dipergunakan secara maksimal untuk menangani perkara anak. Fakta ini menunjukkan kepolisian belum menggunakan kewenangan diskresinya dalam menangani perkara anak.

Alasan pihak kepolisian tidak menggunakan kewenangan diskresi mereka secara maksimal dikarenakan ada beberapa kasus anak yang wajib mereka teruskan ke kejaksaan seperti kasus pencabulan (pemerkosaan) dan narkoba. Sedangkan untuk kasus tindak pidana ringan seperti kasus pencabulan biasa, penganiayaan atau pencurian biasanya dilakukan diversi2.

Sebagaimana dikemukakan Kanit PPA Polres Tegal, bahwa: “Untuk diversi biasanya dilakukan pada kasus tindak pidana ringan atau kasus penganiayaan atau pencurian. Namun untuk kasus pencabulan atau

1 Wawancara dengan Kanit PPA Sat Reskrim Polres Tegal, 9 April

2014

(4)

narkoba semua dilimpahkan. Namun biasanya yang pelakunya anak harus diupayakan perdamaian. Perdamaian biasanya disarankan oleh penyidik, digelar dulu dengan pakar hukum di Polresta dan keputusannya diambil dalam sidang rapat dan biasanya tidak ada tenggang waktu berapa lama untuk proses perdamaian”3.

Pendapat Kanit PPA Polres Tegal ini diperkuat dengan membaca Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, dalam konteks penanganan perkara anak, tidak ada pasal-pasal yang secara khusus mengatur kewenangan diskresi. Bahkan dalam undang-undang ini tidak ada ketentuan yang secara khusus mengatur tindakan dan metode untuk menangani anak yang melanggar hukum pidana. Pasal 16 ayat (1) menetapkan bahwa dalam rangka menyelenggarakan tugas dalam bidang proses pidana, Kepolisian Negara Republik Indonesia berwenang untuk : a. melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan; ... h. mengadakan penghentian penyidikan. Selanjutnya Pasal 18 ayat (1) menyatakan bahwa untuk kepentingan umum pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya dapat bertindak menurut penilaiannya sendiri. Ketentuan tersebut dapat menjadi acuan bagi

(5)

polisi untuk mengambil tindakan diskresi, namun penggunaan kewenangan ini belum jelas ditujukan dalam menangani perkara apa.

Beijing Rules mengatur kewenangan diskresi

melalui mekanisme pengalihan. Butir 11.1 menyatakan pertimbangan akan diberikan, bilamana layak, untuk menangani pelanggar-pelanggar hukum berusia muda tanpa menggunakan pengadilan formal oleh pihak berwenang yang berkompeten. Selanjutnya Butir 11.2 menetapkan polisi, penuntut umum atau badan-badan lain yang menangani perkara-perkara anak akan diberi kuasa untuk memutuskan perkara-perkara demikian, menurut kebijaksanaan mereka, tanpa menggunakan pemeriksaan-pemeriksaan awal yang formal, sesuai dengan kriteria yang ditentukan untuk tujuan itu di dalam sistem hukum masing-masing dan juga sesuai dengan prinsip-prinsip yang terkandung di dalam peraturan-peraturan ini. Langkah ini diperlukan karena menurut Butir 13.1 dinyatakan bahwa penahanan sebelum pengadilan hanya akan digunakan sebagai pilihan langkah terakhir. Dan menurut Butir 13.2 dinyatakan di mana mungkin, penahanan sebelum pengadilan akan diganti dengan langkah-langkah alternatif, seperti penga-wasan secara dekat, perawatan intensif atau penempatan pada sebuah keluarga atau pada suatu tempat atau rumah pendidikan.

Ketentuan ini diatur oleh Konvensi Hak Anak Pasal 37 huruf b yang mewajibkan negara untuk

(6)

menjamin tidak seorang anak pun dapat dirampas kebebasannya secara melanggar hukum atau dengan sewenang-wenang. Penangkapan, penahanan atau pemenjaraan seorang anak harus sesuai dengan undang-undang, dan harus digunakan hanya sebagai upaya jalan lain terakhir dan untuk jangka waktu terpendek yang tepat. Konstruksi hukum serupa dapat ditemukan pada Kovenan Hak Sipil dan Politik Pasal 14 ayat (4) yang menyatakan dalam kasus orang di bawah umur, prosedur yang dipakai harus mempertimbangkan usia mereka dan keinginan untuk meningkatkan rehabilitasi bagi mereka.

Berdasarkan ketentuan tersebut, kepolisian mempunyai kewenangan dan kebijakan tersendiri dalam menentukan apakah kasus anak tersebut dapat diselesaikan melalui pengalihan atau tidak seperti kasus pencabulan dan narkoba yang biasanya diteruskan ke penuntutan. Apabila diversi berhasil dilakukan maka akan dilakukan pemulihan. Namun jika diversi tidak berhasil atau kepolisian berdasarkan kewenangannya menyatakan bahwa kasus tersebut harus diterukan maka proses akan dilanjutkan dengan pelimpahan berkas ke kejaksaan.

Namun terkadang dalam melaksanakan tugasnya, kepolisian bahkan tidak menawarkan diversi dan restorative justice. Selain itu pihak keluarga korban juga tidak bersedia melakukan perdamaian yang ditandai dengan adanya surat pernyataan diatas

(7)

materai yang meminta pelaku dihukum seberat-beratnya.

Berdasarkan temuan di lapangan, tidak dilakukannya diversi dan restorative justice secara maksimal oleh kepolisian di Polres Tegal dikarenakan kemampuan pihak polisi sendiri dalam memahami konsep ini masih kurang sehingga dalam penerapannya jarang dilakukan kecuali pihak keluarga korban atau keluarga pelaku yang melakukan perdamaian diluar kepolisian.

Sehubungan dengan hal tersebut, Kapolres Tegal mengatakan bahwa: Memang dalam beberapa perkara yang melibatkan anak sebagai pelakunya, terutama kasus-kasus yang kerugian materiilnya kecil, antara korban dan pelaku lebih memilih penyelesaiannya melalui jalan perdamaian, karena mereka merasa lebih memperoleh kemudahan dan tidak berlarut-larut.

Misalnya di dalam kasus perkara penganiayaan terhadap anak di bawah umur yang dilakukan oleh Tersangka anak yakni dalam Laporan Polisi Nomor LP/B/259/VIII/2013/Res.Tgl tertanggal 28 Agustus 2013, di mana yang melaporkan adalah Sarah Matahelumual binti Warja, tanggal lahir 07 Oktober 1964 pekerjaan ibu rumah tangga agama Kristen, alamat Desa Dukuhsalam RT 02 RW 04 Kecamatan Slawi Kabupaten Tegal yang melaporkan bahwa pada hari Senin, tanggal 26 Agustus 2013 pukul 16.30 WIB di belakang rumah Sdri. Surip Desa Dukuhsalam RT

(8)

02 RW 04 Kecamatan Slawi Kabupaten Tegal terjadi tindak pidana melakukan kekerasan terhadap anak yakni korban Samuel Matahelumual bin Abraham Yosep Matahelumual umur 12 tahun pelajar SD, agama Kristen alamat desa Dukuhsalam RT 02 RW 04 Kecamatan Slawi Kabupaten Tegal yang dilakukan oleh Tersangka Panggi bin Rasman umur 17 tahun, pekerjaan pelajar, agama Islam, pelajar SMK, alamat desa Dukuhsalam RT 02 RW 04 Kecamatan Slawi Kabupaten Tegal. Kejadian yang dilaporkan Pelapor adalah bahwa pada saat korban sedang bermain bersama teman-temannya di belakang rumah Sdri Surip tiba-tiba korban didatangi oleh Tersangka dari arah sungai dan langsung mendorong sehingga terjengkang kemudian ditendang perutnya dan ditampar hingga merasakan sakit.

Dalam perkara penganiayaan yang tersang-kanya adalah berusia anak, maka pihak kepolisian Resor Tegal mengadakan pendekatan Restorative Justice yakni dengan melakukan pendekatan kepada keluarga korban dan keluarga pelaku. Usaha ini berhasil dilaksanakan dengan adanya surat pernyataan dari kedua belah pihak yang isinya adalah sebagai berikut :

Yang bertandatangan di bawah ini

a. Nama :Sarah M.binti Warja Tempat tanggal lahir : Tegal, 07 Oktober 1964

(9)

Pekerjaan : Ibu rumah Tangga Alamat : Desa Dukuhsalam RT

02 RW 04

Kecamatan Slawi Kabupaten Tegal Disebut sebagai pihak kesatu

b.Nama : Nursitin binti Sanusi Tempat tanggal lahir : Tegal, 21 Januari

1961 Pekerjaan : Swasta

Alamat : Desa Dukuhsalam RT 02 RW 04

Kecamatan Slawi Kabupaten Tegal

Disebut sebagai Pihak kedua merupakan orang tua dari tersangka Sdr. Panggi bin Rasman

Pada hari Senin, tanggal 26 Agustus 2013 sekira pukul 16.30 WIB di belakang rumah Sdri Surip tepatnya di sekitar sungai Kaligung turut desa Dukuhsalam Kecamatan Slawi Kabupaten Tegal telah terjadi tindak pidana kekerasan terhadap anak di bawah umur yang dilakukan oleh anak dari pihak kedua yang bernama Sdr. Panggi bin Rasman terhadap korban/anak dari pihak kesatu yang bernama Sdr. Samuel Matahelumual bin Abraham Yosef dan atas kejadian ini antara kedua belah pihak telah sepakat untuk menyelesaikan permasalahan tersebut dengan jalan kekeluargaan, serta kedua belah pihak menyatakan:

(10)

1. Bahwa pihak kedua tidak akan mengulangi perbuatannya seperti tersebut di atas baik terhadap pihak kesatu maupun terhadap pihak lain

2. Pihak kedua meminta maaf atas perbuatannya tersebut di atas kepada Pihak kesatu dan Pihak kesatu menerima serta memberikan maaf kepada Pihak Kedua

3. Pihak kedua bersedia dilakukan proses hukum yang berlaku jika mengingkari surat pernyataan ini.

4. Pihak kedua dan pihak kesatu telah sepakat untuk tidak saling memprovokasi tentang permasalahan ini

5. Apabila di kemudian hari pihak kedua mengulangi perbuatan tersebut terhadap pihak kesatu maka pihak kedua bersedia diproses secara hukum

Sesuai dengan tanggapan dari Kasat Reskrim Polres Tegal, yang mengatakan bahwa: Mengingat kasus yang ditangani oleh penyidik Polres Tegal cukup banyak, maka untuk efisiensi dan kecepatan penanganan perkara, memang ada beberapa kasus yang melibatkan anak sebagai pelaku, penyidik menerapkan konsep keadilan restoratif yang tentunya dengan mempertimbangkan dan memperhatikan dari berbagai aspek, misalnya kerugian yang ditimbulkan kecil, tidak me-nimbulkan korban jiwa, dan yang paling penting kedua belah pihak sepakat untuk diselesaiikan secara kekeluargaan4.

(11)

Hal yang sama juga dikemukakan para Penyidik, yang mengatakan bahwa: Dalam menangani kasus yang pelakunya anak-anak memang ada beberapa kasus yang kami selesaikan dengan kekeluargaan, itupun atas permintaan kedua belah pihak yang telah sepakat untuk menyelesaikannya secara damai, tapi tidak semua kasus anak yang kami tangani kami selesaikan secara kekeluargaan, terutama kasus-kasus yang menjadi atensi pimpinan seperti curanmor, penganiayaan berat tetap kami proses sesuai ketentuan yang berlaku.

Berdasarkan uraian dan fakta-fakta di atas tentunya kenyataan di lapangan seseorang yang menjalani pemidanaan pada lembaga pemasya-rakatan (yang tujuannya memberikan efek jera), ternyata setelah kembali ke masyarakat, orang yang bersangkutan justru terdidik menjadi pelaku tindak pidana jenis lain, bahkan dalam banyak kasus, orang yang telah menjalani pemidanaan tetap saja mengulangi perbuatan (pidana) atau recidive pada masa datang. Hal ini juga telah menjadi pertimbangan sendiri terhadap efektivitas pemidanaan dalam sistem hukum pidana, sehingga perlu dicari cara lain yang lebih dapat menjamin penyelesaian kasus pidana secara efektif dan efisien, serta lebih memenuhi prinsip keadilan. Cara penyelesaian perkara pidana dimaksud adalah dengan pendekatan keadilan restoratif.

(12)

Dalam praktiknya penyidikan terhadap perkara pidana yang melibatkan anak sebagai pelaku di Polres Tegal, banyak pihak yang terlibat (pelaku dan korban) serta masyarakat lebih cenderung memilih penerapan konsep keadilan restoratif, karena dianggap tidak memakan waktu yang lama dan prosesnya tidak berbelit-belit. Hal ini menjadi pertimbangan bagi pihak penyidik untuk memberikan ruang bagi kedua belah pihak untuk menyelesaikan perkara pidananya diluar pengadilan, namun kewenangan untuk melakukan penegakkan hukum tetap berada di pihak Kepolisian. Sebagaimana penegasan Pasal 13 huruf b Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002 yang berbunyi Tugas Pokok Polri adalah menegakkan hukum. Namun tidak menutup kemungkinan bagi kepolisian untuk bertindak diluar ketentuan hukum yang berlaku demi kepentingan umum. Berdasarkan pasal 18 ayat (1) Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002 justru kepolisan diberikan peluang untuk bertindak menurut penilaiannya sendiri untuk kepentingan umum.

Di bawah ini disajikan data perkara tindak pidana anak di Polres Tegal dari tahun 2013 sampai dengan tahun 2014 dalam tabel sebagai berikut :

(13)

Tabel 3.1. Data Perkara Tindak Pidana Anak di Polres Tegal Tahun 2013 No Jenis Tindakan

Pidana

Pasal yang

dilanggar Penyelesaian Keterangan 1 Kekerasan terhadap anak Pasal 80 UUPA Restorative Justice Keluarga pelaku meminta maaf 2 Pencurian HP olah anak 16th Pasal 362 KUHP diversi kekeluargaan

3 Perkelahian anak Pasal 80 UUPA

Restorative justice

damai 4 Pengrusakan sepeda

motor oleh anak 16 th Pasal 406 KUHP Restorative justice Korban memaafkan 5 Perkelahian anak Pasal 80

UUPA Anak Restorative Justice damai 6 Kekerasan sesama anak Pasal 80 UUPA diversi Korban memaafkan 7 Perkelahian antar anak Pasal 170 KUHP Diversi Mediasi 8 Pencurian oleh anak Pasal 362

KUHP Diteruskan ke kejaksaan Mall menolak damai 9 Pencabulan oleh anak Pasal 81, 82 UUPA diproses Ancaman 5 th 10 Pemerasan oleh anak Pasal 368 KUHP Dilanjutkan peradilan Kejahatan berat 11 Pencurian helm oleh

anak Pasal 362 KUHP Dikembalikan kepada orang tua

Orang tua pelaku tergolong keluarga tidak mampu sehingga tidak mampu mengembalikan kerugian korban

(14)

Pada kasus kejahatan anak di bawah umur tidak semuanya dapat didamaikan secara restorative

justice (diversi). Dan sebagian kasus kejahatan yang

dilakukan anak sebagian diteruskan ke kejaksaan sehingga kewenangan diskresi belum dipergunakan secara maksimal untuk menangani perkara anak yang bermasalah dengan hukum.

Fakta ini menunjukkan bahwa kepolisian belum menggunakan kewenangan diskresinya dalam penanganan anak, dengan alasan pihak kepolisian tidak dapat menggunakan kewenangan diskresinya secara maksimal dikarenakan beberapa kasus anak yang berhadapan hukum wajib diteruskan ke kejaksaan seperti pemerkosan, pemerasan, Narkoba, curanmor, sedangkan untuk beberapa kasus yang ringan dapat dilakukan perdamaian secara restorative

justice

Retorative justice yang berlandaskan pada

hukuman, balas dendam terhadap pelaku, pengasingan dan perusakan harus digantikan oleh keadilan restorasi yang berlandaskan pemulihan terhadap korban. Teori hukum progresif berupa usaha untuk mengubah paradigma legalistic yang sudah terdogma dalam pemikiran aparat penegakan hukum untuk tidak hanya berpedoman pada teks hukum belaka.

(15)

Tabel 3.2. Data Kejahatan Anak Tahun 2010-2013 di Polres Tegal

No Saran Petugas Tahun

2010 2011 2012 2013 Jml % 1 Diberikan hukuman sesuai dengan peraturan yang berlaku 8 12 5 16 41 27.7 2 Diberikan pidana bersyarat 5 8 5 10 28 18,9 3 Dilakukan restorative justice demi kepentingan masa depannya 12 10 7 13 42 28,4 4 Dikembalikan kepada orang tua nya

11 7 9 10 37 25

Jumlah 36 37 26 49 148 100 Sumber : diolah dari Unit PPA Polres Tegal

Dari data tersebut diuraikan bahwa ada beberapa perkara anak yang diselesaikan melalui

restorative justice, sebagian lagi diproses melalui

proses litigasi dan sampai kepada penghukuman serta pidana bersyarat. Ada beberapa kasus juga yang mengembalikan pelaku tindak pidana anak yang dikembalikan kepada orang tuanya oleh pihak penyidik Kepolisian Resort Tegal melalui kewenangan diskresinya di mana di dalam tabel di atas mencapai 25%.

Kasus anak yang diberikan hukuman sesuai dengan peraturan yang berlaku, dikenakan kepada tindak pidana berat yang ancaman hukumannya lebih dari 5 tahun seperti pencabulan, pemerasan, pencurian dengan pemberatan di mana di dalam tabel

(16)

prosentase anak yang berkonflik dengan hukum dan diproses sesuai dengan peraturan peradilan yang berlaku mendapai 27,7%.

Pidana bersyarat dikenakan kepada anak pelaku tindak pidana apabila anak tersebut melakukan tindak pidana namun keluarga korban menolak untuk memaafkan dan menolak untuk berdamai, akhirnya pihak Polres Tegal melanjutkannya dengan proses litigasi namun pada akhirnya anak tersebut dijatuhkan pidana bersyarat di dalam tabel anak yang dikenakan pidana bersyarat pada Polres Tegal mencapai 18,9%.

Sebagian besar kasus di Polres Tegal diselesaikan melalui pendekatan restorative justice dengan mengundang pihak korban untuk dapat berdamai dan memaafkan pelaku dan sebagian besar keluarga korban mau memahami dan hadir di Polres dengan mediasi pihak polisi. Apabila keluarga pelaku ternyata termasuk keluarga tidak mampu dan tindak pidana yang dilakukan termasuk kategoro tindak pidana ringan maka pihak Polres langsung mengembalikannya kepada orang tuanya tanpa meminta ganti rugi dari keluarga pelaku.

Namun apabila tindak pidana yang dilanggar termasuk tindak pidana berat seperti yang dilakukan oleh tersangka yang melakukan tindak pidana pencabulan, pemerasan dan narkoba, maka pihak Polres Tegal akan langsung memprosesnya dengan

(17)

proses litigasi tanpa melakukan diversi, diskresi maupun pendekatan restorative justice.

Penerapan restorative justice terhadap anak yang melakukan tindak pidana di Polres Tegal apabila dikaitkan dengan model restorative justice dari John Braithwaite menurut penulis menggunakan model yang kedua di mana di dalam model kedua ini menggambarkan model alternatif. Polres Tegal menggunakan pendekatan restorative justice dalam penanganan terhadap anak yang berkonflik dengan hukum hanya sebagai alternatif dengan catatan jika syarat-syarat untuk diterapkannya restorative justice ini terpenuhi. Di dalam model kedua ini lebih cenderung mengarah kepada kepuasan dari korban dan bukannya penghukuman bagi pelaku kejahatan. Pendekatan yang dilakukan pada model kedua ini memang dapat dilakukan di kepolisian maupun badan yang berwenang seperti kejaksaan atau pun pengadilan.

Bentuk restorasi tersebut misalnya dengan cara pelaku kejahatan menyatakan permintaan maafnya kepada korban atau pun bentuk-bentuk perbaikan bagi korban yang disetujui oleh pelaku kejahatan dan korbannya. Bagi pelaku kejahatan yang rasional, ada kalanya pelaku kejahatan mempunyai niat yang tidak baik dalam bernegosiasi.

Namun John Braithwaite telah meng-antisipasinya dengan menggunakan prinsip active

(18)

deterrence. Prinsip ini pada intinya mengingatkan

kepada pelaku kejahatan bahwa apabila negosiasi gagal, pelaku kejahatan tersebut akan kembali ke proses penahanan. Jalan keluar bagi pelaku kejahatan adalah penahanan. Misalnya dalam kasus pencurian di Mall yang dilakukan oleh anak, di mana pihak Mall menyatakan menolak untuk berdamai dikarenakan Mall menyatakan bahwa pihaknya sudah memberikan pengumuman yang ditempel di setiap rak-rak penjualan bahwa setiap bentuk pencurian akan diproses sesuai dengan prosedur hukum yang berlaku sehingga kasus ini tetap dilanjutkan tanpa menggunakan pendekatan restorative justice.

B. Analisis

1. Alasan-alasan Digunakannya Pendekatan

Restorative Justice System dalam Penyelesaian

Tindak Pidana Anak

Kasus anak yang berkonflik dengan hukum yang dibawa dalam proses peradilan adalah kasus kasus yang serius saja, itupun harus selalu mengutamakan prinsip kepentingan terbaik bagi anak, serta proses penghukuman adalah jalan terakhir dengan tetap tidak mengabaikan hak hak anak. Diluar itu kasus kasus anak dapat diselesaikan melalui mekanisme non formal yang didasarkan pada pedoman yang baku. Bentuk penanganan non formal dapat dilakukan dengan diversi atau restorative justice yang dapat diselesaikan dengan mewajibkan anak yang berhadapan dengan hukum untuk mengikuti

(19)

pendidikan atau pelatihan pada lembaga tertentu, ataupun jika terpaksa terjadi penghukuman hak hak anak tidak boleh diabaikan. Sehingga pada akhirnya penanganan nonformal dapat terlaksana dengan baik jika diimbangi dengan upaya menciptakan sistem peradilan yang kondusif.

Satu hal yang juga penting adalah belum terdapat mekanisme evaluasi terhadap sistem peradilan anak oleh lembaga independen di Indonesia, seperti lembaga swadaya masyarakat (Non

Governmental Organization), yang bersifat netral dan

independen, sehingga potensi hancurnya masa depan anak sangat besar akibat sistem peradilan yang kurang tepat

Anak merupakan amanah dari Tuhan Yang Maha Esa yang dalam dirinya melekat harkat dan martabat sebagai manusia seutuhnya. Setiap anak mempunyai harkat dan martabat yang patut dijunjung tinggi dan setiap anak yang terlahir harus mendapatkan hak haknya tanpa anak tersebut meminta. Hal ini sesuai dengan ketentuan Konvensi Hak Anak (Convention on the Rights of the Child) )yang diratifikasi oleh pemerintah Indonesia melalui Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990, kemudian juga dituangkan dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak dan Undang –Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang kesemuanya mengemukakan prinsip-prinsip umum perlindungan anak, yaitu non

(20)

diskriminasi, kepentingan terbaik bagi anak, kelangsungan hidup dan tumbuh kembang, dan menghargai partisipasi anak.

Lebih dari 4.000 anak Indonesia diajukan ke pengadilan setiap tahunnya atas kejahatan ringan, seperti pencurian

Pada umumnya mereka tidak mendapatkan dukungan, baik dari pengacara maupun dinas sosial. Dengan demikian, tidak mengejutkan jika sembilan dari sepuluh anaknnya dijebloskan ke penjara atau rumah tahanan.

Melihat prinsip prinsip tentang perlindungan anak terutama prinsip mengutamakan kepentingan terbaik bagi anak maka diperlukan proses penyelesaian perkara anak diluar mekanisme pidana atau biasa disebut diversi, karena lembaga pemasyarakatan bukanlah jalan untuk menyelesaikan permasalahan anak dan justru dalam LP rawan terjadi pelanggaran-pelanggaran terhadap hak anak. Oleh karena itulah mengapa diversi khususnya melalui konsep Restorative Justice menjadi suatu pertimbangan yang sangat penting dalam menyelesaikan perkara pidana yang dilakukan oleh anak.

Sebelum membahas jauh tentang konsep diversi dan Restorative Justice, ada baiknya dipahami sistem peradilan pidana anak dalam perspektif HAM internasional sebagai komparasi. Sistem Peradilan

(21)

Pidana Anak (Juvenile Justice System) adalah segala unsure sistem peradilan pidana yang terkait di dalam penanganan kasus-kasus kenakalan anak. Pertama, polisi sebagai institusi formal ketika anak nakal pertama kali bersentuhan dengan sistem peradilan, yang juga akan menentukan apakah anak akan dibebaskan atau diproses lebih lanjut. Kedua, jaksa dan lembaga pembebasan bersyarat yang juga akan menentukan apakah anak akan dibebaskan atau diproses ke pengadilan anak. Ketiga, Pengadilan Anak, tahapan ketika anak akan ditempatkan dalam pilihan-pilihan, mulai dari dibebaskan sampai dimasukkan dalam institusi penghukuman. Sehubungan dengan hal ini, Muladi yang menyatakan bahwa criminal justice system memiliki tujuan untuk : (i) resosialisasi dan rehabilitasi pelaku tindak pidana; (ii) pemberantasan kejahatan; (iii) dan untuk mencapai kesejahteraan sosial.

Berangkat dari pemikiran ini, maka tujuan sistem peradilan pidana anak terpadu lebih ditekankan kepada upaya pertama (resosialiasi dan rehabilitasi) dan ketiga (kesejahteraan sosial). Namun upaya lain diluar mekanisme pidana atau peradilan dapat dilakukan dengan beberapa metode diantaranya metode Diversi dan Restorative Justice.

Diversi adalah pengalihan penanganan kasus kasus anak yang diduga telah melakukan tindak pidana dari proses formal dengan atau tanpa syarat. Pendekatan diversi dapat diterapkan bagi penyelesaian

(22)

kasus-kasus anak yang berkonflik dengan hukum. Adapun yang menjadi tujuan upaya diversi adalah untuk:

a. menghindari anak dari penahanan;

b. menghindari cap/label anak sebagai penjahat;

c. mencegah pengulangan tindak pidana yang yang dilakukan oleh anak;

d. anak bertanggung jawab atas perbuatannya

e. melakukan intervensi-intervensi yang diperlukan bagi korban dan anak tanpa harus melalui proses formal;

f. menghindari anak mengikuti proses sistem peradilan;

g. menjauhkan anak dari pengaruh dan implikasi negatif dari proses peradilan. Program diversi dapat menjadi bentuk restoratif

justice jika:

a. mendorong anak untuk bertanggung jawab atas perbuatannya;

b. memberikan kesempatan bagi anak untuk mengganti kesalahan yang dilakukan dengan berbuat kebaikan bagi si korban; c. memberikan kesempatan bagi si korban

untuk ikut serta dalam proses;

d. memberikan kesempatan bagi anak untuk dapat mempertahankan hubungan dengan keluarga

e. memberikan kesempatan bagi rekonsiliasi dan penyembuhan dalam masyarakat yang dirugikan oleh tindak pidana.

Pelaksanaan metode sebagaimana telah dipaparkan diatas ditegakkannya demi mencapai kesejahteraan anak dengan berdasar prinsip

(23)

kepentingan terbaik bagi anak. Dengan kata lain, diversi tersebut berdasarkan pada perlindungan anak dan pemenuhan hak-hak anak (protection child and

fullfilment child rights based approuch). Deklarasi

Hak-Hak Anak tahun 1959 dapat dirujuk untuk memaknai prinsip kepentingan terbaik untuk anak. Prinsip kedua menyatakan bahwa anak-anak seharusnya menikmati perlindungan khusus dan diberikan kesempatan dan fasilitas melalui upaya hukum maupun upaya lain sehingga memungkinkan anak terbangun fisik, mental, moral, spiritual dan sosialnya dalam mewujudkan kebebasan dan kehormatan anak.

Dalam kerangka hak sipil dan politik, prinsip ini dapat dijumpai dalam 2 (dua) Komentar Umum Komisi Hak Asasi Manusia (General Comments Human Rights

Committee) khsususnya Komentar Umum Nomor 17

dan 19) sebagai upaya Komisi melakukan interpretasi hukum atas prinsip kepentingan terbaik anak dalam kasus terpisahnya anak dari lingkungan orang tua (parental separation or divorce).Dalam kerangka ini, pendekatan kesejahteraan dapat dijadikan sebagai dasar filosofi penanganan terhadap pelanggaran hukum usia anak.

Pada prinsipnya alasan digunakannya pendekatan Restorative Justice dalam penanganan

(24)

tindak pidana anak ini didasari 2 (dua) alasan sebagai berikut 5:

a. Anak-anak dianggap belum mengerti benar kesalahan yang telah diperbuat, sehingga sudah sepantasnya diberikan pengurangan hukuman, serta pembedaan pemberian hukuman bagi anak-anak dengan orang dewasa.

b. Bila dibandingkan dengan orang dewasa, anak-anak diyakini lebih mudah dibina dan disadarkan

Terkait permasalahan tersebut, terdapat 5 (lima) macam pendekatan yang biasanya digunakan untuk menangani pelaku pelanggaran hukum usia anak, yaitu:

a. Pendekatan yang murni mengedepankan kesejahteraan anak

b. Pendekatan kesejahteraan dengan intervensi hukum

c. Pendekatan dengan menggunakan/ berpatokan pada sistem peradilan pidana semata

d. Pendekatan edukatif dalam pemberian hukuman

e. Pendekatan hukuman yang murni bersifat retributive

Berdasarkan pemikiran di atas, maka tindakan hukum yang dilakukan terhadap mereka yang berusia di bawah 18 tahun harus mempertimbangkan kepentingan terbaik anak. Hal ini didasari asumsi bahwa anak tidak dapat melakukan kejahatan atau

(25)

doli incapax dan tidak dapat secara penuh

bertanggung jawab atas tindakannya6.

Dengan demikian, pendekatan yang dapat digunakan untuk penanganan anak yang berkonflik dengan hukum sesuai dengan nilai-nilai, prinsip-prinsip, dan norma KHA adalah pendekatan yang murni mengedepankan kesejahteraan anak (Pasal 3 ayat (1),(2),(3)) dan pendekatan kesejahteraan dengan intervnesi hukum (Pasal 37, Pasal 39, dan Pasal 40). Berangkat dari konsep ini, pendekatan dengan model penghukuman yang bersifat restoratif atau disebut

restorative justice saat ini lebih layak diterapkan dalam

menangani pelanggar hukum usia anak. Prinsip ini merupakan hasil eksplorasi dan perbandingan antara pendekatan kesejahteraan dan pendekatan keadilan.

Restorative justice berlandaskan pada prinsip-prinsip

due process yang sangat menghormati hak-hak hukum tersangka, seperti hak untuk diperlakukan sebagai orang yang tidak bersalah hingga vonis pengadilan menetapkan demikian, hak untuk membela diri, dan mendapatkan hukuman yang proposional dengan kejahatan yang dilakukannya.

Konsep Restorative Justice telah muncul lebih dari dua puluh tahun yang lalu sebagai alternative penyelesaian perkara pidana anak. Kelompok Kerja Peradilan Anak Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB)

(26)

mendefinisikan restorative justice sebagai suatu proses semua pihak yang berhubungan dengan tindak pidana tertentu duduk bersama-sama untuk memecahkan masalah dan memikirkan bagaimana mengatasi akibat pada masa yang akan datang. Proses ini pada dasarnya dilakukan melalui diskresi (kebijakan) dan diversi, yaitu pengalihan dari proses pengadilan pidana ke luar proses formal untuk diselesaikan secara musyawarah.

Penyelesaian melalui musyawarah sebetulnya bukan hal baru bagi Indonesia, bahkan hukum adat di Indonesia tidak membedakan penyelesaian perkara pidana dan perdata, semua perkara dapat diselesaikan secara musyawarah dengan tujuan untuk menda-patkan keseimbangan atau pemulihan keadaan. Dengan menggunakan metode restorative, hasil yang diharapkan ialah berkurangnya jumlah anak anak yang ditangkap, ditahan dan divonis penjara, menghapuskan stigma dan mengem-balikan anak menjadi manusia normal sehingga diharapkan dapat berguna kelak di kemudian hari.

Adapun sebagai mediator dalam musya-warah dapat diambil dari tokoh masyarakat yang terpercaya dan jika kejadiannya di sekolah, dapat dilakukan oleh kepala sekolah atau guru. Syarat utama dari penyelesaian melalui musyawarah adalah adanya pengakuan dari pelaku serta adanya persetujuan dari pelaku beserta keluarganya dan korban untuk

(27)

menyelesaikan perkara melalui muyawarah pemulihan, proses peradilan baru berjalan.

Dalam proses peradilan harus berjalan proses yang diharapkan adalah proses yang dapat memulihkan, artinya perkara betul betul ditangani oleh aparat penegak hukum yang mempunyaai niat, minat, dedikasi, memahami masalah anak dan telah mengikuti pelatihan restorative justice serta penahanan dilakukan sebagai pilihan terakhir dengan mengindahkan prinsip-prinsip dasar dan konvensi tentang Hak-Hak Anak yang telah diadopsi kedalam undang-undang perlindungan anak.

Apabila anak terpaksa harus ditahan, penahanan tersebut harus di Rutan khusus anak, dan apabila terpaksa harus dipenjara maka harus ditempatkan di Lapas anak. Baik di Rutan maupun di Lapas, anak harus tetap bersekolah dan mendapatkan hak-hak asasinya sesuai dengan The Beijing Rules agar mereka dapat menyongsong masa depan yang cerah karena pengabaian terhadap hak-hak anak adalah juga pengabaian terhadap masa depan bangsa dan Negara.

Salah satu standar dalam diversi adalah United

Nations Standard Minimum Rules for the Administration of Juvenile Justice yang kemudian lebih dikenal

sebagai Beijing Rules yakni di dalam Artikel 5 Beijing Rules menyatakan “the juvenile justice system shall

(28)

ensure that any reaction to juvenile offenders shall always be in proportion to the circumstances of both the offenders and the offence”. Artikel Beijing Rules

tersebut menekankan bahwa sebagai remaja /anak yakni anak atau orang muda yang menurut sistem hukum masing-masing, dapat diperlakukan atas suatu pelanggaran hukum dengan cara yang berbeda dari perlakuan terhadap orang dewasa (Peraturan 2.2 huruf c).

Pada intinya Beijing Rules memberikan kewenangan kepada aparat penegak hukum untuk mengambil tindakan pengalihan dari pemeriksaan formal kepada anak yang melakukan tindak pidana7.

Pengalihan inilah yang pada proses hukum terutama di dalam proses penyidikan, pihak kepolisian meng-arahkan kepada penyelesaian restorative justice dengan tidak meneruskannya pada proses hukum selanjutnya, namun diselesaikan di luar pemeriksaan formal terhadap anak yang berkonflik dengan hukum.

Model restorative justice juga berlandaskan dengan due process model bekerjanya sistem peradilan pidana, yang sangat menghormati hak hak hukum setiap tersangka seperti, hak untuk diduga dan diperlakukannnya sebagai orang yang tidak bersalah jika pengadilan belum memvonisnya bersalah, hak

7 Defence for Children International, 2003, Kids Behind

Bars: A Study on Children In Conflict With The Law: Towards Investing in Prevention, Stopping Incarceration and Meeting

(29)

untuk membela diri dan hak untuk mendapatkan hukuman yang proposional dengan pelanggaran yang telah dilakukan.

Dalam kasus anak pelaku pelanggaran hukum, mereka berhak mendapatkan pendampingan dari pengacaranya selama menjalani proses peradilan. Disamping itu adanya kepentingan korban yang juga tidak boleh diabaikan, namun demikian tetap harus memperhatikan hak hak asasi anak sebagai tersangka. Oleh karena itu, anak anak ini sebisa mungkin harus dijauhkan dari tindakan penghukuman sebagaimana yang biasa dilakukan kepada penjahat dewasa.

Tindakan-tindakan yang dapat diambil anak anak yang telah divonis bersalah ini misalnya, pemberian hukuman bersyarat seperti kerja sosial/pelayanan sosial serta pembebasan bersyarat. Dengan demikian dengan model restorative justice, proposionalitas penghukuman terhadap anak sangat diutamakan. Model ini sangat terlihat dalam ketentuan ketentuan The Beijing Rules dan dalam peraturan peraturan PBB bagi perlindungan anak yang sebelumnya harus telah dilakukan dengan serius untuk menghindarkan anak anak dari proses hukum gagal dilakukan, anak anak yang berhadapan dengan proses peradilan harus dilindungi hak haknya sebagai tersangka, dan hak haknya sebagai anak. Misalnya kewenangan polisi untuk memberikan diskresi dapat diberikan untuk kasus kasus seperti apa atau dalam

(30)

kasus seperti apa jaksa dapat menggunakan kewenangannya untuk mengeluarkan anak.

Oleh karena itu, diperlukan aturan yang baku tentang syarat dan pelaksanaan bagi diberikannya perlakuan non formal bagi kasus kasus anak yang berhadapan dengan hukum sehingga praktik praktik negatif dalam sistem peradilan yang merugikan anak dapat dibatasi.

Kasus anak yang berkonflik dengan hukum yang dibawa dalam proses peradilan adalah kasus kasus yang serius saja, itupun harus selalu mengutamakan prinsip kepentingan terbaik bagi anak, serta proses penghukuman adalah jalan terakhir dengan tetap tidak mengabaikan hak hak anak. Diluar itu kasus kasus anak dapat diselesaikan melalui mekanisme non formal yang didasarkan pada pedoman yang baku. Bentuk penanganan non formal dapat dilakukan dengan diversi atau restorative justice yang dapat diselesaikan dengan mewajibkan anak yang berhadapan dengan hukum untuk mengikuti pendidikan atau pelatihan pada lembaga tertentu, ataupun jika terpaksa terjadi penghukuman hak hak anak tidak boleh diabaikan. Sehingga pada akhirnya penanganan non formal dapat terlaksana dengan baik jika diimbangi dengan upaya menciptakan sistem peradilan yang kondusif.

Satu hal yang juga penting adalah belum terdapat mekanisme evaluasi terhadap sistem

(31)

peradilan anak oleh lembaga independen di Indonesia. Sehingga potensi hancurnya masa depan anak sangat besar akibat sistem peradilan yang kurang tepat bagi anak, terlebih lagi di Indonesia sejumlah besar anak masih ditempatkan di lembaga bercampur dengan terpidana dewasa.

Diasumsikan bahwa pelanggaran atas hak hak anak telah terjadi dalam penempatan anak di Lapas. Sehingga metode Diversi dan Restorative Justice agaknya menjadi suatu pilihan dan solusi yang tepat untuk menyelesaikan perkara pidana yang dilakukan oleh anak, karena didalamnya terdapat konsep yang mulia yaitu menempatkan kepentingan terbaik bagi anak dan tidak mengabaikan hak hak anak, terlebih lagi di Indonesia sejumlah besar anak masih ditempatkan di lembaga bercampur dengan terpidana dewasa.

Analisis penerapan pendekatan restorative justice dalam penanganan tindak pidana yang dilakukan oleh anak dari sudut teori hukum kritis adalah memandang bahwa penegakan hukum yang tanpa didasari pemahamaman akan filosofi dari tujuan pembuatan hukum itu sendiri menyebabkan terjadinya disorientasi dalam penegakan hukum. Disorientasi ini tampak dalam sistem pemidanaan yang hanya mampu memenjarakan orang tetapi tidak mampu mengembalikan keseimbangan dan persatuan di tengah masyarakat yang terganggu akibat suatu tindak pidana. Sudah saatnya penegakan hukum

(32)

dikembalikan kepada orientasi yang benar. Orientasi yang didasarkan pada keseimbangan antara faktor keadilan, kepastian hukum dan kemanfaatan.

Pengembalian penegakan hukum pada orientasi yang benar menurut hukum kritis dapat diawali dengan penerapan restorative justice atau prinsip keadilan restoratif ini.

Prinsip keadilan restoratif merupakan keadilan yang berupaya mengembalikan keadaan pada kondisi semula, menguntungkan dan memenangkan semua pihak serta tidak terpenjara pada mekanisme yang kaku dan prosedural. Secara global, penerapan

restorative justice juga telah direkomendasikan oleh

Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada tahun 2000. Dalam rekomendasi tersebut, PBB mengajak semua negara untuk mengadopsi restorative justice dalam sistem pemidanaannya.

Dalam tataran teknis, penerapan restorative

justice dimulai dengan membuat kategorisasi kejahatan. Dalam kategorisasi tersebut, kejahatan dapat dibagi menjadi tiga kategori yaitu berat, sedang dan ringan. Restorative justice hanya diterapkan terhadap kasus-kasus ringan karena pertimbangan kemanfaatan.

Penerapan restorative justice terhadap jenis kasus ini juga sesuai dengan perkembangan teori tujuan hukum modern yaitu teori tujuan hukum kasuistik. Teori hukum kasuistik ini menyatakan

(33)

bahwa dalam penegakan hukum harus mengedepankan salah satu tujuan hukum karena sangat susah untuk menerapkan keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum secara sekaligus di era modern ini. Dalam penanganan dan penegakan hukum terhadap anak yang melakukan tindak pidana, maka menurut teori hukum kasuistik ini, yang dikedepankan adalah dengan memprioritaskan tujuan hukum kemanfaatan, yakni kemanfaatan penegakan hukum terhadap masa depan anak, di mana anak merupakan aset untuk masa depan yang masih dapat diarahkan menuju perbaikan. Sedangkan tujuan hukum yang lainnya yakni keadilan dapat diterapkan setelah tujuan penegakan hukum kemanfaatan tidak dapat diterapkan.

Penerapan restorative justice dalam kasus ringan diperlukan karena rasio perbandingan antara biaya yang dikeluarkan dan kerugian yang ditimbulkan tidak seimbang. Sebagai contoh, anak yang melakukan penganiayaan ringan atau pencurian mainan yang nilainya di bawah Rp. 100.000,- sedangkan biaya yang dikeluarkan untuk penyelidikan, penyidikan dan penuntutan dalam kasus ini jauh lebih tinggi dari kerugian yang ditimbulkan. Apalagi motif anak dalam melakukan tindak pidana yang demikian adalah karena ketidak tahunan anak tersebut akan akibat tindakan tersebut. Kasus demikian baik dipandang dari kerugian yang ditimbulkan maupun motifnya

(34)

harusnya diselesaikan secara musyawarah tanpa harus diperkarakan di pengadilan.

Kategorisasi kejahatan sebagaimana yang penulis kemukakan di atas membutuhkan sebuah landasan hukum atau diatur secara khusus di dalam pasal Undang-undang Sistem Peradilan Pidana Anak. Oleh karena itu perlu kiranya DPR mempertimbangkan untuk memasukkan kategorisasi kejahatan baik dalam rancangan kitab undang-undang hukum acara pidana atau Undang-undang-undang Sistem Peradilan Pidana Anak. Di dalam KUHAP tersebut juga dalam pasal-pasalnya harus mengatur mengenai penerapan restorative justice. Dengan adanya pengaturan secara spesifik, jelas dan tegas mengenai restorative justice dalam KUHAP maka penerapannya tidak akan terhalang oleh asas legalitas dalam hukum pidana.

Dimasukkannya restorative justice dalam sistem pemidanaan Indonesia menurut teori hukum kritis merupakan sebuah kemajuan dalam criminal justice

system yang dianut negeri ini. Kemajuan tersebut

tampak dalam dua hal yaitu diakomodasinya nilai kekeluargaan dalam penegakan hukum serta menempatkan hukum sebagai ultimum remedium atau cara terakhir yang ditempuh dalam menyelesaikan suatu masalah.

Dimasukkannya nilai-nilai kekeluargaan dalam sistem pemidanaan anak merupakan bentuk

(35)

transformasi penegakan hukum di negeri ini dari hukum kolonial menjadi hukum nasional yang berkarakter keindonesiaan. Ini berarti, restorative

justice mampu mengem-balikan Indonesia dalam jati

diri kebang-saannya yang menjunjung tinggi musyawarah dan nilai-nilai kekeluargaan. Hal ini juga berfungsi mencegah masyarakat Indonesia menjadi masyarakat legalistik (rentan hukum) yang cenderung menyelesaikan semua masalah secara litigasi (melalui pengadilan) tetapi menjadikan masyarakat Indonesia sebagai masyarakat yang didominasi oleh kultur sebagaimana masyarakat Jepang yang cenderung menggunakan cara-cara non litigasi dalam menyelesaikan suatu kasus.

Kemampuan restorative justice dalam menjadikan hukum pidana sebagai ultimum remedium akan menyebabkan berkurangnya perkara di lembaga peradilan. Ditinjau dari bertumpuknya kasus di lembaga peradilan, penegakan restorative justice adalah suatu hal yang sangat mendesak dan tidak dapat dielakkan.

Restorative justice juga akan membawa manfaat

dalam hal menjaga kerukunan bangsa ini. Restorative

justice yang melibatkan semua pihak baik pelaku,

korban maupun pihak lain yang berkaitan dengan kasus anak akan mendamaikan para pihak atau mengubah hubungan mereka yang tadinya bermusuhan secara emosional menjadi akur kembali. Fungsi rekonsiliasi dalam restorative justice inilah yang

(36)

nantinya akan kembali menciptakan kerukunan, keamanan dan ketertiban dalam masyarakat.

Dengan kata lain, penegakan restorative justice menurut hukum kritis dapat menciptakan kembali keseimbangan dalam kehidupan masyarakat yang sempat terganggu dengan terjadinya suatu tindak pidana.

Dampak positif lainnya dari penerapan

restorative justice adalah mengubah citra penegakan

hukum di Indonesia menjadi lebih positif. Citra penegakan hukum di Indonesia saat ini sungguh memprihatinkan, hukum di asosiasikan sebagai sesuatu yang menakutkan bagi masyarakat. Citra hukum yang demikian dalam mindset masyarakat perlu diubah dengan mendekatkan hukum kepada nilai-nilai yang ada dalam masyarakat termasuk nilai kekeluargaan.

Restorative justice dapat menjadi jembatan

untuk mendekatkan hukum kepada nilai-nilai masyarakat tersebut. Dengan didekatkannya hukum kepada masyarakat melalui restorative justice maka partisipasi masyarakat dalam proses penegakan hukum akan meningkat.

Partisipasi masyarakat sangat penting dalam penegakan hukum di Indonesia karena tanpa adanya peran aktif masyarakat dalam penegakan hukum tidaklah mungkin hukum dapat ditegakkan secara baik dan proporsional. Pentingnya peran serta

(37)

masyarakat dalam penegakan hukum ini juga tergambar dalam teori Lawrence Friedman tentang tiga unsur hukum yang salah satunya adalah legal culture (budaya hukum) masyarakat. Hal ini menandakan ketiadaan partisipasi masyarakat dalam proses penegakan hukum akan menyebabkan hukum kehilangan hakikatnya.

Penerapan restorative justice di Indonesia merupakan sebuah konsep perbaikan secara menyeluruh terhadap penegakan hukum di Indonesia baik dari sisi substansi, struktur maupun budaya hukum masyarakat. Menyadari besarnya manfaat dari penerapan restorative justice di Indonesia tersebut, penulis berharap agar restorative justice segera diadopsi dalam criminal justice system yang dianut bangsa ini demi terwujudnya penegakan hukum yang baik dan bernurani di negeri Indonesia tercinta.

2. Kriteria yang digunakan dalam pendekatan

Restorative Justice dalam penyelesaian tindak

pidana anak

Banyak penulis menganggap restorative justice bukanlah konsep yang baru. Keberadaannya barangkali sama tuanya dengan hukum pidana itu sendiri. Bahkan beribu tahun, upaya penanganan perkara pidana, pendekatan justru ditempatkan sebagai mekanisme utama bagi penanganan tindak pidana. Marc Levin menyatakan bahwa pendekatan yang dulu dinyatakan sebagai hal yang usang, kuno

(38)

dan tradisional kini justru dinyatakan sebagai pendekatan yang progresif.

Konsep hukum adat Indonesia sebagai wadah dari institusi peradilan adat juga memiliki konsep yang dapat digambarkan sebagai akar dari restorative

justice. Di Indonesia, karakteristik dari hukum adat di

tiap daerah pada umumnya amat mendukung penerapan restorative justice. Berkaitan dengan pelanggaran adat atau delik adat, dan mekanisme pemecahnya, hukum adat memiliki pandangan tersendiri. Sebagaimana dikemukakan diatas, maka pengertian pelanggaran adat terkait dengan kondisi ketidak seimbangan kosmos dalam masyarakat. Hal ini mencakup tindakan-tindakan yang mengganggu kedamaian hidup atau pelanggaran terhadap kepatutan dalam masyarakat.

Disini pelanggaran hukum adat merupakan: a. Suatu peristiwa aksi dari para pihak

dalam masyarakat;

b. Aksi itu menimbulkan gangguan kese-imbangan;

c. Gangguan keseimbangan ini menimbulkan reaksi;

d. Reaksi yang timbul menjadikan terpe-liharanya kembali atas gangguan kese-imbangan kepada keadaan semula.

Konsep ini sangat berbeda dengan pengertian tindak pidana atau delik dalam arti hukum pidana. Berdasarkan definisi tersebut maka sifat-sifat

(39)

pelanggaran hukum adat dapat dikemukakan sebagai berikut:

a. Menyeluruh dan menyatu

Sifat menyeluruh dan menyatu ini disebabkan oleh latar belakang yang menjiwai hukum adat, yaitu bersifat kosmis, di mana yang satu dianggap bertautan atau dipertautkan dengan yang lain. Akibatnya yang satu tak dapat dipisahkan dari yang lainnya. Demikian juga dalam lapangan hukum. Tidak ada pemisahan antara pelanggaran pidana dan perdata, pelanggaran agama atau kesusilaan, demikian juga peradilannya. Kesemuanya itu dilaksanakan dalam konteks perkara yang mempunyai kesatuan sudut pandangan dari sisi agama, kesusilaan, pidana dan perdata.

b. Terbuka

Ketentuan pelanggaran adat bermaksud mempertahankan rasa keadilan menurut kesadaran masyarakat sesuai dengan waktu, tempat, dan keadaan (”desa”), ”kala”, dan ”patra” masyarakat Bali). Tradisi menurut hukum adat yang berlaku memang merupakan upaya penyelesaian dalam kasus pelanggaran adat, tetapi dalam cara penyelesaiannya senantiasa bersifat terbuka. Berkembangnya masyarakat, maka akan berkembang pula ketentuan-ketentuan penyelesaian dalam hukum adat karena dasarnya adalah musyawarah secara bulat dan mufakat.

(40)

c. Membeda-bedakan masalah

Penyelesaian pelanggaran adat melihat permasalah tidak hanya semata-mata dari perbuatan dan akibatnya, tetapi juga apa yang menjadi latar belakang serta siapa pelakunya. Akibat cara pandang yang demikian itu, maka penyelesaian dan tindakan hukum atas suatu tindak pidana akan berbeda-beda. d. Peradilan atas permintaan

Pelaksanaan pemeriksaan perkara dalam hukum pelanggaran adat didasarkan atas ada/tidaknya permintaan dan pengaduan seseorang yang merasa dirugikan/diperlakukan tidak adil.

e. Tindakan reaksi atau koreksi

Petugas hukum terhadap terjadinya reaksinya reaksi adat dapat mengambil langkah penyelesaian atas perbuatan pidana tidak hanya terhadap pelaku semata-mata, tetapi tuntutan pertanggung jawaban dapat dibebankan kepada anggota keluarga di pelaku lainnya, kepada masyarakat hukum yang bersangkutan, tetapi juga pengembalian keseimbangan dengan mengadakan upacara selamatan adat dan lain-lain.

Dalam pandangan adat, tidak ada ketentuan yang keberlakuannya disertai dengan syarat yang menjamin ketaatannya dengan jalan menggunakan paksaan. Sanksi adat tidak sama pengertiannya dengan pemidanaan sebagaimana yang dijabarkan

(41)

dalam teori-teori pemidanaan klasik karena tujuannya berbeda. Suatu penerapan sanksi adat adalah suatu upaya, untuk mengembalikan langkah yang berada diluar garis kosmos demi tidak terganggunya ketertiban kosmos. Jadi sanksi adat merupakan usaha mengembalikan keseimbangan yang terganggu. Karenanya pada masa lalu aktifitas peradilan termasuk sistem peradilan pidana tidak dapat dipisahkan dengan kegiatan keagamaan, budaya dan aktifitas pemerintahan, perekonomian dan kehidupan lainnya.

Pendekatan restorative justice yang mulai ditekankan di dalam Undang-undang Peradilan Anak yang baru yakni Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak memiliki beberapa kriteria pelaksanaan dilihat dari pelaksana baik dari lembaga musyawarah antar pelaku dan korban juga pada lembaga penegak hukum.

a. Lembaga Musyawarah antar Pihak Pelaku dan Korban

Kenyataan yang ada dalam masyarakat Indonesia mengenai fungsionalisasi lembaga musyawarah sebagai bagian dari mekanisme yang dipilih untuk menyelesaian perkara pidana.

Musyawarah baik yang diselenggarakan oleh pelaku dan korban sendiri, atau dengan melibatkan institusi kepolisian atau kejaksaan, atau dengan melalui lembaga adat memperlihatkan pola pikir

(42)

ma-syarakat dalam melihat suatu permasalahan yang muncul. Penyelesaian masalah termasuk didalamnya adalah tindak pidana melalui musyawarah merupakan pola pikir yang terangkum dalam keadilan restorative sebagaimana didefinisikan diatas. Karenanya tanpa mengabaikan mekanisme yang bekerja dalam sistem hukum formal, mekanisme penyelesaian melalui lembaga musyawarah pun bekerja dalam masyarakat.

Dalam berbagai asas dan model pendekatan

restorative justice, proses dialog antara pelaku dan

korban merupakan moral dasar dan bagian terpenting dari penerapan keadilan ini. Dialog langsung antara pelaku dan korban menjadikan korban dapat mengungkapkan apa yang dirasakannya, mengemukakan harapan akan terpenuhinya hak-hak dan keinginan-keinginan dari suatu penyelesaian perkara pidana. Melalui proses dialog juga pelaku tergugah hatinya untuk mengoreksi diri, menyadari kesalahannya dan menerima tanggung jawab sebagai konsekuensi dari tindak pidana yang dilakukan dengan penuh kesadaran. Dari proses dialog ini pula masyarakat dapat turut serta berpartisipasi dalam mewujudkan hasil kesepakatan dan memantau pelak-sanaannya.

Di dalam kajian tentang restoratif, lembaga musyawarah ini dikenal sebagai mediasi yang sangat melembaga dalam sistem peradilan perdata. Dalam konsep mediasi proses dialog dikenal sebagai media komunikasi yang menjadi modal utama

(43)

penyelenggaraan lembaga mediasi. Keseluruhan proses itulah yang dapat ditemui baik dalam model penyelenggaraan resto-rative justice seperti: (1) Victim

Offender Mediation (VOM: Mediasi antara pelaku dan

korban) yaitu suatu forum yang mendorong adanya pertemuan antara pelaku dan korban yang dibantu oleh mediator sebagai coordinator dan fasilitator dalam pertemuan tersebut; (2) Conferencing yaitu suatu forum yang sama dengan VOM, namun dalam bentuk ini terdapat perbedaan yaitu pelibatan penyelesaian bukan hanya melibatkan pelaku dan korban langsung (primary victim), tetapi juga korban tidak langsung (secondary victim), seperti keluarga atau kawan dekat korban serta keluarga dan kawan dekat pelaku. Adapun alasan pelibatan para pihak tersebut adalah karena mereka mungkin terkena dampak baik langsung ataupun tidak langsung atas tindak pidana yang terjadi atau mereka memiliki keperdulian yang tinggi dan kepentingan akan hasil dari musyawarah serta mereka juga dapat berpartisipasi dalam mengupayakan keberhasilan proses dan tujuan akhirnya; (3) Circles, suatu model penerapan

resto-rative justice yang pelibatannya paling luas dibandingkan dengan dua bentuk sebelumnya, yaitu forum yang bukan hanya korban, pelaku, keluarga atau mediator saja tapi juga anggota masyarakat yang merasa berke-pentingan dengan perkara tersebut.

Ketiga model dasar dari bentuk penerapan pendekatan restoratif justice tersebut pada dasarnya

(44)

merupakan bentuk-bentuk yang menjadi variasi dari model dialog yang merupakan pelaksanaan dari bentuk musyawarah dan mufakat. Dari nilai dasar inilah restorative justice sebagai implementasi dari niali dasar yang ada dalam masyarakat Indonesia memiliki fondasi nilai yang kuat. Sayangnya penyelesaian model ini belum memiliki justifikasi perundang-undangan yang jelas.

b. Peran Lembaga Penegak Hukum

Di dalam hasil penelitian di atas merupakan salah satu contoh peran lembaga penegak hukum di dalam penanganan tindak pidana yang melibatkan pelaku anak di mana pihak penyidik melalui wewenangnya melakukan pendekatan terhadap kedua belah pihak yakni pihak korban dan pihak pelaku untuk duduk dalam satu meja dan menyelesaikan melalui pendekatan resto-rative justice.

Beranjak dari pemikiran tentang keung-gulan dan kelemahan dari penyelesaian perkara pidana diluar sistem yang tidak diakui oleh hukum formal yang berlaku, restorative justice telah menjadi suatu kebutuhan dalam masyarakat. Hal ini erat kaitannya dengan prinsip dan tujuan pemidanaan dari peradilan adat yang berbeda dengan sistem formal yang ada sehingga dampak dari putusan yang dihasilkan pun akan sangat berbeda. Meskipun dalam beberapa hal tersebut diatas, keberadaan lembaga ini dalam masyarakat masih tetap menjadi pilihan karena tujuan

(45)

akhir yang tidak dapat diperoleh bila suatu perkara diselesaikan melalui sistem peradilan pidana, seperti memberikan suatu keuntungan yang langsung dirasakan baik korban, pelaku maupun masyarakat umum.

Bentuk-bentuk ganti rugi yang nyata dalam bentuk pengembalian barang yang dicuri, perbaikan kendaraan, santunan kepada luka-luka karena penganiayaan hingga pemberian uang duka dalam hal korban meninggal dunia, menjadi realita.

Mekanisme penyelesaian perkara pidana dengan pendekatan restorative justice memberikan peran masyarakat yang lebih luas. Dalam mekanisme penyelesaian perkara pidana dengan pendekatan

restorative justice, maka posisi masyarakat bukan

hanya sebagai peserta pelaku atau peserta korban saja. Masyarakat dapat diberikan peran yang lebih luas untuk menjadi pemantau atas pelaksanaan suatu hasil kesepakatan sebagai bagian dari penyelesaian perkara pidana melalui pendekatan ini.

Pelaksanaan kegiatan ini dapat dilakukan dengan berbagai cara misalnya memantau upaya rehabilitasi korban sebagaimana contoh dalam penelitian ini, masyarakat di desa Dukuhsalam ikut berpartisipasi di dalam terlaksananya point-point yang telah disepakati di dalam surat pernyataan bersama seperti point ke-4 bahwa kedua belah pihak berjanji untuk tidak saling memprovokasi tentang

(46)

permasalahan yang diselesaikan dan juga point ke-5 bahwa apabila pihak ke-2 atau pelaku melakukan perbuatan penganiayaan lagi baik terhadap korban yang ada dalam surat pernyataan maupun kepada pihak lain, maka masyarakat akan mendorong agar pihak berwenang menindak pelaku dengan melalui prosedur hukum formal yakni penyidikan dan seterusnya. Kegiatan memantau pelaksanaan pertanggung jawaban pelaku, memang dapat berwujud barbagai bentuk seperti perbaikan sarana yang rusak, pengembalian barang, pemenuhan denda adat dan lain se-bagainya.

Proses penanganan perkara dengan pendekatan restoratif justice dapat dilakukan secara cepat dan tepat. Karena tidak melalui prosedur birokrasi yang berbelit-belit maka proses penyelesaian perkara pidana terutama yang diselesaikan diluar lembaga pengadilan baik didalam sistem peradilan pidana maupun penyelesaian oleh masyarakat sendiri atau bahkan oleh lembaga adat dapat dilakukan dengan singkat.

Suatu model penyederhanaan sistem penye-lesaian suatu perkara pidana tertentu.

Dalam Hukum acara pidana di Indonesia memang dikenal beberapa model mekanisme penyelesaian perkara pidana melalui peradilan biasa atau peradilan singkat. Namun terlihat bahwa

(47)

mekanisme itu belum menjawab kebutuhan masyarakat sebagaimana dalam paparan diatas.

Terdapat 5 prinsip penerapan restorative justice di dalam penyelesaian perkara yang pelakunya adalah anak-anak menurut Kepala Bagian Reskrim Polres Tegal:

a. Membuat pelanggar bertanggung jawab untuk memperbaiki kerugian yang ditimbulkan untuk memperbaiki kerugian yang ditimbulkan oleh kesalahannya.

b. Memberikan kesempatan kepada pelanggar untuk membuktikan kapasitas dan kualitasnya di samping mengatasi rasa ber-salahnya.

c. Melibatkan para korban, orang tua, keluarga.

d. Menciptakan forum untuk bekerja sama dalam menyelesaikan masalah.

e. Menetapkan hubungan langsung dan nyata antara kesalahan dengan reaksi sosial yang formal.

Konsep restorative justice, proses penyelesaian tindakan pelanggaran hukum yang terjadi dilakukan dengan membawa korban dan pelaku (tersangka) bersama-sama duduk dalam satu pertemuan untuk bersama-sama berbicara. Sistem pertanggung jawaban pidana anak yang dianut oleh KUHP (yang berlaku sekarang ini) adalah sistem pertanggung jawaban yang menyatakan bahwa semua anak (berusia 1 tahun sampai dengan 16 tahun), anak yang jiwanya sehat, dianggap mampu bertanggung jawab dan dituntut. .

Pendekatan Restorative Justice dalam penyelesaian tindak pidana yang dilakukan oleh anak Polres Tegal di mana proses penyelesaian tindakan

(48)

pelanggaran hukum yang terjadi dilakukan dengan membawa korban dan pelaku (tersangka) sama duduk dalam satu pertemuan untuk bersama- bersama-sama berbicara. Proses model keadilan restorative yang dimana peran polisi sebagai mediator, fasilitator, atau pengawas. Dalam hal ini polisi menunjukan pasal-pasal dan ketentuan perundang-undangan peradilan anak, lalu para pihak dipersilahkan mencari jalan keluar terbaik agar terjadi proses perbaikan, pemulihan hubungan, konsiliasi dan rekonsiliasi antara korban dan pelaku, keluarga korban dan keluarga pelaku, dengan pene-rimaan masyarakat kembali terhadap pelaku tanpa stigma apapun terhadap pelaku.

Menurut hasil Wawancara dengan KA Subnit 1 Unit VI Reskrim (unit PPA) Polres Tegal, ada Tiga kriteria kasus Anak yang melakukan Tindak Pidana yang dapat diselesaikan dengan model restorative

justice.

a. Kasus itu tidak mengorbankan

kepentingan umum dan bukan

pelanggaran lalu lintas.

b. Anak itu baru pertama kali melakukan kenakalan dan bukan residivis.

c. Kasus itu bukan kasus yang

mengakibatkan hilangnya nyawa

manusia, luka berat, atau cacat seumur hidup, Namun, apabila seorang anak yang dilaporkan dan ditangkap untuk tindak

pidana ringan, misalnya karena

mengutil/pencurian ringan, perkelahian ringan, penganiyayaan ringan tidak usahlah dipenjara, cukup panggil orangtuanya dan dinasihati. Penegak

(49)

hukum seperti polisi, jaksa, dan Hakim pun tidak perlu menjatuhkan hukuman8.

Berdasarkan wawancara ada tahap tindakan polisi dalam menerapkan prinsip restorative justice terhadap tindak pidana yang dilakukan oleh anak di wilayah hukum Polres Tegal ada 3 yakni:

a. Peringatan informal yakni dilakukan polisi dengan memberikan peringatan secara lisan terhadap anak dengan diberikan nasehat-nasehat kepada anak sebagai pelaku tindak pidana. Contoh tindakan peringatan lisan ini dilakukan terhadap tindak pidana yang ringan seperti pengeroyokan dan perke-lahian.

b. Peringatan formal yakni berupa peringatan yang mewajibkan pihak pelaku membuat surat pernyataan tidak akan mengulangi perbuatannya. Tindakan peringatan formal ini dilakukan terhadap tindak pidana membawa lari anak dibawah umur, penganiayaan ringan.

c. Tahap perundingan tindakan yang ketiga tindakan yang diambil oleh polisi berdasarkan perundingan antara korban, pelaku, dan polisi.

(50)

Berdasarkan hasil penelitian metode yang digunakan dalam penyelesaian yang dilakukan dalam

restorative justice di Polres Tegal khususnya pada unit

PPA adalah proses mediasi sesuai dengan kebiasaan bermusyawarah, dalam penerapan prinsip restorative

justice di Kabupaten Tegal yang dilakukan oleh pihak

kepolisian yaitu dilakukan melalui kegiatan-kegiatan seperti Mediasi korban dengan pelaku /pelanggar; musyawarah kelompok keluarga, yang bersifat pemulihan baik bagi korban maupun pelaku dimana keterlibatan dalam proses penyelesaian yakni korban dan pelaku serta pihak ketiga yakni pihak kepolisian yang menjadi mediator dan fasilitator untuk menjebatani kedua belah pihak untuk mencapai kesepakatan dan tujuan yang hendak dicapai melalui proses musyawarah adalah untuk memulihkan segala kerugian dan luka yang telah diakibatkan oleh peristiwa kenakalan anak tersebut

Berangkat dari evaluasi atas penyelesaian perkara pidana dengan menggunakan prinsip yang ada dalam restorative justice sebagai ukuran dalam menilai kasus-kasus tersebut, sedikit banyak nilai-nilai utama yang menjadi pilar dalam penyelesaian perkara pidana telah diterapkan meskipun dengan sejumlah kelemahan yang timbul atas pemahaman suatu pendekatan restorative justice yang belum menyeluruh seperti pelibatan pelaku dan korban, asas pra duga tak bersalah, persamaan dalam pencapaian proses penyelesaian dan upaya pencapaian

(51)

penyelesaian yang mengacu kepada tujuan dari

restorative justice yaitu mengacu kepada kebutuhan

pelaku, korban dan masyarakat dalam memperbaiki relasi sosial antara mereka.

Dalam melihat kemungkinan penerapan keadian restoratif, di dalam Basic Principle The Use Of

Restoratif Justice mengamanatkan bahwa pendekatan

ini dapat diterapkan dalam bingkai sistem hukum suatu negara. Hal ini menandakan bahwa bila di Indonesia pen-dekatan ini akan dipakai sebagai bagian dari mekanisme penyelesaian perkara pidana, maka sistem peradilan pidana yang ada harus disesuaikan hingga bisa menjangkau dan mewadahi mekanisme penyelesaian perkara pidana melalui pendekatan ini. Hal ini sudah tergambar di dalam Undang-undang Sistem Peradilan Pidana Anak yang baru yakni Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Pasal 5 Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak dalam ayat (1) juga meng-amanatkan bahwa Sistem Peradilan Pidana Anak wajib mengutamakan pendekatan Keadilan Restoratif

Beberapa acuan yang dapat dipergunakan dalam melaksanakan diversi terhadap anak yang berhadapan dengan hukum, khusunya sebagai pelaku adalah :

a. Peraturan Internasional

1) Convention on the Rights of The Child (Konvensi Hak-Hak Anak)

Gambar

Tabel 3.1. Data Perkara Tindak Pidana Anak  di Polres Tegal Tahun 2013
Tabel 3.2. Data Kejahatan Anak Tahun 2010-2013 di  Polres Tegal

Referensi

Dokumen terkait

berhadap dengan hukum, peran guru sangat besar tentu melalui sebuah dialetika yang dikenal dengan sebutan memanusiakan hubungan. pendidikan karakter yang diimbangi

Perpustakaan dengan koleksinya yang lengkap merupakan sumber utama dalam pelayanan informasi. Sebagai sumber informasi, koleksi perpustakaan tidak hanya dalam bentuk tercetak

Dari latar belakang yang diutarakan diatas maka penelitian ini dimaksudkan untuk mengetahui implementasi strategi pembelajaran metakognitif dalam meningkatkan

Perawat memiliki peranan penting dalam mempertimbangkan pemberian asuhan keperawatan terkait dengan penggunaan pengobatan tradisional pada perawatan anak sakit

Pada karya tulis ini, dibahas aplikasi spesifik bluetooth, antara lain servis-servis apa saja yang disediakan oleh teknologi bluetooth; cara kerja bluetooth

Laju alir umpan optimum bioreaktor hybrid anaerob bermedia pelepah sawit diperoleh sebesar 2.500 L/hari, pH relatif konstan sebesar 7,2, konsentrasi asam lemak

Alhamdulillah penulis panjatkan kepada Allah SWT yang telah mencurahkan karunia dan nikmat yang tiadataranya yang diberikan kepada kita, shalawat dan salam semoga tercurahkan

Output : Formulir Kosong Pendaftaran Pasang Baru, Surat Penangguhan, Kwitansi, Data Calon Pelanggan PLN, Surat Persetujuan Pemasangan Listrik Yang Blm Di ACC, Surat