• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB III HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS"

Copied!
86
0
0

Teks penuh

(1)

121

BAB III

HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS

Pokok uraian dalam Bab III ini adalah, pertama hasil penelitian yang berisi mengenai uraian atau posisi kasus dari 10 (sepuluh) putusan-putusan KPPU mengenai penyalahgunaan posisi dominan. kedua analisis terhadap semua putusan-putusan KPPU.

A. Hasil Penelitian

Sesuai dengan latar belakang di atas, yang mana untuk lebih memahami konsep penyalahgunaan posisi dominan ini, maka Penulis menyajikan kasus posisi yang dibagi atas 3 (tiga) varian, yaitu pertama,Terbukti melanggar Pasal 25 ayat (1) dan memenuhi Pasal 25 ayat (2), Kedua Tidak Terbukti Melanggar Pasal 25 ayat (1) Tapi Terbukti memenuhi Pasal 25 ayat (2),

ketiga Tidak Terbukti Melanggar Pasal 25 ayat (1) dan

Tidak memenuhi Pasal 25 ayat (2).

Adapun putusan-putusan KPPU yang berkaitan dengan penyalahgunaan posisi dominan yang dibagi atas 3 (tiga) varian tersebut, yaitu:

1. Terbukti melanggar Pasal 25 ayat (1) dan Memenuhi Pasal 25 ayat (2)

(2)

122

a. Perkara Nomor : 04/KPPU-I/2003

Pelanggaran terhadap Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, dilakukan oleh PT. JAKARTA INTERNATIONAL CONTAINER

TERMINAL (PT. JICT) yang beralamat kantor di

Jalan Sulawesi Ujung Nomor 1 Tanjung Priok, Jakarta Utara 14310.1

PT. JICT telah melakukan kegiatan yang dapat menghambat konsumen untuk melakukan kerjasama usaha dengan pelaku usaha pesaingnya, dalam bentuk pengiriman surat penegasan yang ditandatangani oleh PT. JICT, kepada salah satu pengguna jasanya pada tanggal 5 April 2001, yang pada pokoknya menyatakan bahwa untuk mendapatkan pelayanan bongkar muat petikemas di pelabuhan Tanjung Priok harus mengikatkan diri pada kontrak yang bersifat ekslusif. Tanpa adanya kontrak yang mengikat tersebut, maka tidak akan dilayani PT. JICT.

Bentuk hambatan itu semakin nyata, ketika PT. JICT menggunakan klausul 32.4 di dalam

1

(3)

123

authorization agreement tersebut untuk meminta

klarifikasi dan memprotes kebijakan Pelabuhan Tanjung Priok Jakarta Utara yang memberikan ijin operasi kepada PT. Segoro Fajar Satryo, selanjutnya disebut Segoro, untuk menggunakan Dermaga 300 yang kemudian melayani jasa bongkar muat petikemas.2

Pelabuhan Tanjung Priok Jakarta Utara adalah pemegang hak pengelolaan pelabuhan umum sebagaimana diatur di dalam Peraturan Pemerintah Nomor 57 Tahun 1991, telah memberikan konsesi pengelolaan terminal petikemas kepada PT. JICT dengan jaminan bahwa tidak akan ada pembangunan terminal petikemas sebagai tambahan dari Unit Terminal Petikemas I, Unit Terminal Petikemas II, dan Unit Terminal Petikemas III sebelum tercapainya

throughput sebesar 75% (tujuh puluh lima persen)

dari kapasitas rancang bangunnya sebesar 3,8 juta Teus sebagaimana dinyatakan klausul 32.4 di dalam authorization agreement. Klausul 32.4 di dalam authorization agreement tersebut merupakan bentuk hambatan strategis yang nyata bagi para pelaku usaha baru yang akan

2

(4)

124

memasuki pasar bersangkutan pelayanan bongkar muat petikemas di pelabuhan Tanjung Priok.

Bahwa dalam Ketentuan Pasal 25 ayat (1) huruf c Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 menetapkan bahwa pelaku usaha dilarang

menggunakan posisi dominan baik secara langsung maupun tidak langsung untuk menghambat pelaku usaha lain yang berpotensi menjadi pesaing untuk memasuki pasar bersangkutan. Dalam memutus perkara ini, maka

Majelis Komisi KPPU mempertimbangkan unsur-unsur yang terkandung dalam Pasal 25 ayat (1) huruf c UU No.5 tahun 1999.3 Yaitu:

Pertama PT. JICT merupakan pelaku usaha sebagaimana didefinisikan dalam Pasal 1 angka 5 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 yang faktual memiliki posisi dominan pada pasar bersangkutan.

Kedua Bahwa pelaku usaha memiliki posisi dominan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 Ayat (2) huruf a

3

(5)

125

Undang Nomor 5 Tahun 1999 adalah apabila satu pelaku usaha atau sekelompok pelaku usaha menguasai 50% (lima puluh persen) atau lebih pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu. Dalam pemeriksaan di KPPU, pihak PT. JICT mengakui memiliki posisi dominan di Pelabuhan Tanjung Priok, baik dalam arti tidak mempunyai pesaing yang berarti di pasar bersangkutan maupun dalam arti menguasai 50% (lima puluh persen) atau lebih pangsa pasar pada pasar bersangkutan. Data empirik pun membuktikan bahwa PT. JICT telah menguasai lebih dari 50% (lima puluh persen) pangsa pasar pada pasar bersangkutan, sehingga esensi kepemilikan posisi dominan pada pasar bersangkutan sebagaimana dimaksud pada Pasal 25 ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 terpenuhi.

Ketiga Bahwa posisi dominan yang dilakukan PT. JICT harus memenuhi esensi penyalagunaan posisi dominannya

(6)

126

tersebut, yang di dalam perkara ini adalah dengan menghambat pelaku usaha lain yang berpotensi menjadi pesaing untuk memasuki pasar bersangkutan.

Keempat Bahwa Surat tanggal 12 Pebruari 2002 dari Terlapor I kepada Terlapor III dan surat tertanggal 5 April 2002 dari Terlapor I dan Terlapor II kepada satu pengguna jasa terminal bongkar muat petikemas yang identitas lengkapnya ada pada Mejelis Komisi, serta Surat teguran dari penasehat hukum Terlapor I, Hiswara Bunjamin & Tandjung, kepada Terlapor III tertanggal 05 Pebruari 2003, membuktikan bahwa Terlapor I telah menyalahgunakan posisi dominannya secara tidak langsung untuk menghambat pelaku usaha lain yaitu Segoro dan MTI yang berpotensi menjadi pesaing untuk memasuki pasar bersangkutan, sehingga esensi unsur penyalahgunaan posisi dominan secara tidak langsung untuk menghambat pelaku usaha lain yang berpotensi

(7)

127

menjadi pesaing untuk memasuki pasar bersangkutan sebagaimana dimaksud pada Pasal 25 ayat (1) huruf c Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 terpenuhi. Putusan Majelis Komisi KPPU menyatakan bahwa PT. JICT secara sah dan meyakinkan telah melanggar Pasal 25 ayat (1) huruf c Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999.4

b. Perkara Nomor: 06/KPPU-L/2004

Pelanggaran ini dilakukan oleh PT.Arta Boga Cemerlang, beralamat kantor di Jalan Palmerah Barat No. 82, Jakarta Barat 11480.

Kasus ini berawal pada pertengahan bulan Februari 2004, PT Panasonic Gobel Indonesia (selanjutnya disebut PT PGI) telah melaksanakan program “Single Pack Display” dengan ketentuan setiap toko yang mendisplay baterai single pack (baterai manganese tipe AA) dengan menggunakan

standing display akan diberikan 1 (satu) buah

senter yang sudah diisi dengan 4 baterai dan toko yang selama 3 (tiga) bulan mendisplay produk tersebut akan mendapatkan tambahan 1 buah

4

(8)

128

senter yang sama, sedangkan untuk material promosi (standing display) diberikan gratis oleh PT PGI.

Selanjutnya pada bulan Maret 2004 diperoleh informasi bahwa PT.Arta Boga Cemerlang sedang melaksanakan Program Geser Kompetitor (selanjutnya disebut PGK). Isi atau kegiatan dari program tersebut tertuang dalam suatu “Surat Perjanjian PGK Periode Maret-Juni 2004” yang berisi:

1) Program Pajang dengan mendapatkan potongan tambahan 2%, dengan ketentuan Toko mempunyai space/ruang pajang baterai ABC dengan ukuran minimal 0,5 x 1 meter, Toko bersedia memajang baterai ABC, Toko bersedia memasang POS (material promosi) ABC.

2) Komitmen toko untuk tidak menjual baterai Panasonic dengan mendapatkan potongan tambahan 2%, dengan ketentuan Toko yang sebelumnya jual baterai Panasonic, mulai bulan Maret sudah tidak jual lagi, sehingga Toko hanya menjual baterai ABC.

(9)

129

3) Mengikuti Program Pajang dan Komitmen untuk tidak jual baterai Panasonic sehingga patut diduga PGK tersebut dilakukan oleh PT.Arta Boga Cemerlang; PT.Arta Boga Cemerlang diduga melaksanakan PGK dengan cara membuat perjanjian dengan toko untuk tidak menjual baterai Panasonic; Bahwa berdasarkan informasi yang diperoleh Pelapor dari toko-toko, PT.Arta Boga Cemerlang diduga melaksanakan PGK tersebut dengan tujuan untuk menghambat penjualan produk baterai merek Panasonic. Sejak PT PGI mengeluarkan produk single pack untuk jenis baterai AA dan melaksanakan program promosi Single pack Display telah menambah peningkatan penjualan baterai Panasonic; Bahwa dengan adanya PGK banyak diantara toko-toko yang berusaha untuk mendapatkan potongan tambahan sebagaimana yang dijanjikan oleh PT.Arta Boga Cemerlang. Bahkan terdapat toko-toko yang jelas-jelas mempunyai komitmen untuk tidak memajang dan/atau menjual baterai Panasonic, padahal sebelumnya yang bersangkutan adalah peserta program single pack display dari PT PGI.

(10)

130

Bahwa perilaku PT.Arta Boga Cemerlang sebagai pelaku usaha dalam melaksanakan kegiatan usahanya bertentangan dengan peraturan perundang-undangan maupun etika bisnis yang ada, yaitu dengan membuat perjanjian mengenai harga atau potongan harga tertentu atas produk baterainya dengan memuat persyaratan bahwa pemilik toko yang menerima barang-barang dari PT.Arta Boga Cemerlang tidak akan membeli barang-barang yang sama atau sejenis dari pelaku usaha lain yang menjadi pesaing dari pelaku usaha pemasok; Bahwa PT.Arta Boga Cemerlang telah menyalahgunakan posisi dominannya untuk menghambat pelaku usaha lain yang berpotensi menjadi pesaingnya untuk memasuki pasar yang bersangkutan dan menetapkan syarat-syarat perdagangan yang menghambat atau menghalangi konsumen memperoleh barang dan/atau jasa yang bersaing.

Pada akhirnya Majelis Komisi berpendapat bahwa PT.Arta Boga Cemerlang menguasai 88,73% pangsa pasar baterai manganese AA secara

(11)

131

nasional, sehingga unsur posisi dominan telah terpenuhi.

Dengan posisi dominan tersebut PT.Arta Boga Cemerlang menyalahgunakan dengan menetapkan syarat-syarat perdagangan dengan tujuan untuk mencegah dan/atau menghalangi konsumen memperoleh barang dan/atau jasa yang bersaing, baik dari segi harga maupun kualitas. Dimana PT.Arta Boga Cemerlang telah menetapkan syarat-syarat perdagangan yang terkandung di dalam surat perjanjian PGK dimana salah satu syarat pemberian potongan tambahan sebesar 2% adalah jika toko grosir dan semi grosir tidak menjual baterai Panasonic, dengan tujuan untuk mencegah atau menghalangi konsumen memperoleh baterai Panasonic yang bersaing dengan baterai ABC baik segi harga maupun kualitas di grosir atau semi grosir yang mengikuti PGK PT.Arta Boga Cemerlang.

Putusan Majelis Komisi KPPU menyatakan bahwa PT.Arta Boga Cemerlang terbukti secara sah dan meyakinkan melanggar Pasal 25 ayat (1) huruf a jo. ayat (2) huruf a Undang-Undang Nomor 5 tahun 1999.

(12)

132

c. Perkara Nomor: 09/KPPU-L/2009

Pelanggaran UU larangan praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat ini berawal dari PT. Carrefour Indonesia mengakuisisi PT.Alfa Retailindo,Tbk. dimana PT.Carrefour menguasai pangsa pasar yang sebelumnya hanya sebesar 46,30 persen setelah itu meningkat menjadi sebesar 57,99 persen di tahun 2008. Peningkatan

pangsa pasar5 ini disalahgunakan oleh PT.Carrefour Indonesia dengan cara menetapkan berbagai syarat perdagangan (trading terms) kepada pemasok menimbulkan persaingan tidak sehat dan menghambat konsumen memperoleh barang dan jasa yang bersaing. Hal ini dapat dilihat dari pengakuan ketua Gabungan Elektronik (GABEL) yang mengatakan bahwa PT.Carrefour Indonesia merupakan suatu kekuatan yang cukup besar di Indonesai, sehingga apabila produk Gabel tidak ada di PT.Carrefour Indonesia maka nilai brand GABEL tersebut berkurang. Sehingga sekalipun GABEL mengalami kerugian akibat persyaratan yang ditetapkan oleh PT.Carrefour Indonesia salah

5

Pasal 1 angka (13) UU No.5 tahun 1999. Pangsa pasar adalah persentase nilai jual atau beli barang atau jasa tertentu yang dikuasai olehpelaku usaha pada pasar bersangkutan dalam tahun kalender tertentu.

(13)

133

satunya harus memasok juga pada PT.Alfa Retailindo yang diakuisisi oleh PT.Carrefour Indonesia, yang mana dalam persyaratan yang diberlakukan PT.Alfa Retailindo harus sama pada PT.Carrefour Indonesia.6

Setelah Tim Pemeriksa KPPU melakukan pemeriksaan hingga selesai, Majelis Komisi KPPU menyatakan bahwa PT. Carrefour Indonesia terbukti sah dan meyakinkan melanggar Pasal 25 ayat (1) huruf a Undang-Undang No.5 tahun 1999 tentang larangan praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat.

d. Perkara Nomor: 17/KPPU-I/2010

Pelanggaran ini dilakukan oleh PT Pfizer Indonesia, Pfizer Inc., Pfizer Overseas LLC, Pfizer Global Trading dan PT Pfizer Corporation Panama. Kasus ini berawal dari Kelompok Usaha Pfizer diduga melakukan pelanggaran Pasal 25 ayat (1) Undang-undang nomor 5 tahun 1999 yaitu menyalahgunakan posisi dominannya untuk mempengaruhi dokter dan/atau apotek agar hanya meresepkan obat dengan merek Norvask.

6

(14)

134

Dimana pangsa pasar Norvask sepanjang periode 2000-2007 mencapai di atas 50%. Kondisi tersebut memenuhi kriteria posisi dominan sebagaimana diatur dalam pasal 25 ayat (2). Posisi dominan Pfizer untuk produk Norvask menjadi lebih kuat karena adanya hak paten yang baru habis pertengahan 2007. Hak paten tersebut mengakibatkan tidak ada pelaku usaha pesaing yang dapat menawarkan produk sejenis (selain PT Dexa Medica) dalam periode yang bersangkutan. Pasca paten Norvask habis pertengahan 2007, pangsa pasar Norvask mengalami penurunan seperti tercatat di tahun 2008 menjadi 45.52% dan 2009 mencapai tingkat 39.50. Pfizer Indonesia mencanangkan program HCCP pada tahun 2005 yang melibatkan rekanan dokter dan apotik. Berdasarkan BAP dari apotik serta kesaksian para ahli farmakolog, peran dokter dalam peresepan obat sangat penting.

Pihak apotik tidak dapat merubah resep yang sudah dituliskan dokter. Selain itu, pihak dokter lah yang memberikan kartu anggota HCCP kepada pasien, dimana pihak apotik hanya melaksanakan fungsi input data pasien melalui mesin EDC yang disediakan Pfizer Indonesia.

(15)

135

Kesaksian dari para farmakolog menyebutkan bahwa terdapat interaksi antar dokter dengan perusahaan farmasi yang diduga berakibat kepada keputusan dokter dalam peresepan obat. Berdasarkan dokumen, diperoleh data rekanan dokter dan apotik yang masuk dalam program

HCCP Pfizer Indonesia.

Tim pemeriksa menilai bahwa program HCCP yang menjalin kemitraan dengan para dokter akan mempengaruhi preferensi para dokter untuk meresepkan obat kepada pasien nya, terutama untuk produk-produk Pfizer, termasuk Norvask. Tim berpendapat bahwa keputusan peresepan tersebut mempengaruhi obyektifitas dokter sehingga akan tetap meresepkan produk produk Pfizer Indonesia khususnya Norvask untuk pasien penderita hipertensi. Kondisi ini diperkuat dengan fakta bahwa sejak tahun 2007-awal 2010, indicator most sold generic tetap dipegang oleh produk Norvask, sementara walau sudah tersedia branded generic (termasuk generic) lain dengan harga relatif lebih murah di pasar, merk alternatif tersebut belum banyak terjual atau diresepkan oleh dokter.

(16)

136

Putusan Majelis Komisi KPPU menyatakan bahwa PT Pfizer Indonesia, Pfizer Inc., Pfizer Overseas LLC, Pfizer Global Trading dan PT Pfizer Corporation Panama terbukti secara sah dan meyakinkan melanggar Pasal 5, Pasal 11, Pasal 16, Pasal 25 ayat (1) huruf a UU No 5 Tahun 1999.

2. Tidak Terbukti Melanggar Pasal 25 ayat (1) Tapi Terbukti Memenuhi Pasal 25 ayat (2).

a. Perkara Nomor: 05/KPPU-I/2005

Dugaan pelanggaran Pasal 25 ayat (1) huruf c ini dilakukan oleh PT BURSA EFEK JAKARTA atau disingkat PT BEJ (Terlapor I) dan PT LIMAS STOKHOMINDO, TBK, atau disingkat PT LS (Terlapor II). Kasus ini berkaitan dengan pengembangan sistem pelaporan elektronik perusahaan tercatat di Bursa Efek Jakarta. Dimana pelanggaran ini disebabkan oleh karena adanya perjanjian antara Terlapor I dengan Terlapor II yang tertuang dalam Perjanjian Kerjasama Dalam Rangka Pengembangan Sistem Pelaporan Elektronik Perusahaan Tercatat Nomor SP-036/BEJ-HKM/06-2003 yang diduga dapat menimbulkan penguasaan produksi dan/atau pemasaran barang dan/atau jasa oleh Terlapor I

(17)

137

dan Terlapor II. Penunjukan Terlapor II oleh Terlapor I untuk mengembangkan sistem pelaporan elektronik perusahaan tercatat diduga dilakukan dengan cara diskriminasi terhadap pesaing Terlapor II.

Terlapor I memiliki posisi dominan terhadap pasar jasa e-reporting & monitoring di Bursa Efek Jakarta yang diduga dapat menghambat pelaku usaha lain untuk memasuki pasar bersangkutan. Kemudian dalam putusannya, Majelis Komisi menyatakan bahwa PT BEJ (Terlapor I) dan PT LS (Terlapor II) tidak terbukti melanggar Pasal 25 ayat (1) huruf c Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999, oleh karena BEJ (Terlapor I) tidak menghambat pelaku usaha lain memasuki pasar bersangkutan sehingga unsur menghambat pelaku usaha lain yang berpotensi menjadi pesaing untuk memasuki pasar bersangkutan.

b. Perkara Nomor: 21/KPPU-L/2005

Dugaan pelanggaran Pasal 25 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 ini dilakukan oleh PT. Pertamina (Terlapor I), PT. Banten Inti Gasindo, yang selanjutnya disebut PT

(18)

138

BIG (Terlapor II) dan PT. Isma Asia Indotama, yang selanjutnya disebut sebagai PT IAI (Terlapor III).

Kasus ini berkaitan dengan diskriminasi distribusi gas yang dilakukan oleh PT Pertamina, yaitu dengan menetapkan syarat-syarat perdagangan kepada para trader (JPMT, SBLC, gas make up, harga gas, sistem pembayaran dan sebagainya ) yang akan melakukan hubungan dagang dengan PT. Pertamina.

Berdasarkan laporan PT. Igas Utama menyatakan PT. Pertamina telah melakukan diskriminasi terhadap PT. Igas Utama dan PT. Banten Inti Gasindo dalam hal PT. Banten Inti Gasindo mendapatkan lebih besar pasokan gas dan dipermudah persyaratan PJBGnya.

Kemudian dalam putusannya, Majelis Komisi menyatakan bahwa PT. Pertamina (persero) tidak terbukti melanggar ketentuan Pasal 25 ayat (1) huruf a Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999. Dengan pertimbangan bahwa meskipun PT. Pertamina terbukti memiliki posisi dominan dan juga terbukti menetapkan syarat-syarat perdagangan akan tetapi tidak terbukti mencegah dan/atau menghalangi konsumen memperoleh

(19)

139

barang dan/atau jasa yang bersaing, baik dari segi harga maupun kualitas.

c. Perkara Nomor: 15/KPPU-L/2006

Dugaan pelanggaran Pasal 25 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 ini dilakukan oleh Terlapor dalam hal ini PT Pertamina (Persero). Kasus ini berkaitan dengan pendistribusian Elpiji di Sumatera Selatan.

Dimana menerbitkan surat No. 057/E22000/2006-S3 yang pada pokoknya melarang agen Elpiji di Pulau Bangka untuk membeli dan mengisi Elpiji di DSP Pulau Layang dan harus mengisi di APPEL Muntok terhitung mulai tanggal 3 Maret 2006.

Setelah terbitnya Surat No. 057/E22000/2006-S3 harga ex agen yang ditetapkan oleh Terlapor turun menjadi Rp 63.747,- (enam puluh tiga ribu tujuh ratus empat puluh tujuh rupiah) per tabung 12 Kg. Hal ini disebabkan karena agen tidak lagi menanggung biaya tambahan sebesar Rp 17.500,- (tujuh belas ribu lima ratus rupiah) namun turun menjadi Rp 11.639,40,- (sebelas

(20)

140

ribu enam ratus tiga puluh sembilan koma empat puluh rupiah).

Bahwa berdasarkan surat GM No. 058/E22000/2006-S3 agen di Pulau Bangka akan mendapatkan keuntungan sebesar Rp 5.560,44,- (lima ribu lima ratus enam puluh koma empat puluh empat rupiah) per tabung 12 Kg tetapi kenyataan di lapangan, keuntungan yang diperoleh agen lebih rendah dari yang ditetapkan oleh Terlapor. Hal ini terjadi karena pertama APPEL melakukan penjualan langsung melalui toko-toko dengan harga berkisar antara Rp 60.000,- (enam puluh ribu rupiah) sampai dengan Rp. 61.000,- (enam puluh satu ribu rupiah). Kedua Salah satu pemegang saham PT. Niaga Utama Pura Prima membeli elpiji secara langsung dari agen di Palembang dan memasarkannya ke Pulau Bangka dengan harga antara Rp 60.000,- (enam puluh ribu rupiah) sampai dengan Rp 63.000,- (enam puluh tiga ribu rupiah) per tabung 12 kg.

Kemudian dalam putusannya, Majelis Komisi menyatakan bahwa Terlapor tidak terbukti melanggar ketentuan Pasal 25 ayat (1) huruf a

(21)

141

Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999, dengan pertimbangan karena Terlapor telah mencabut surat larangan pengisian Elpiji di DSP Pulau Layang dan memberikan kebebasan kepada agen di Pulau Bangka untuk memilih tempat pengisian Elpiji, sehingga unsur menetapkan syarat-syarat perdagangan tidak terpenuhi.

d. Perkara Nomor: 07/KPPU-L/2007

Dugaan pelanggaran Pasal 25 ayat (1) huruf b Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 ini dilakukan oleh

 Terlapor I (Temasek Holdings Pte. Ltd)  Terlapor II (Singapore Technologies

Telemedia Pte. Ltd)

 Terlapor III (STT Communications Ltd)  Terlapor IV (Asia Mobile Holding Company

Pte. Ltd)

 Terlapor V (Asia Mobile Holdings Pte. Ltd)  Terlapor VI (Indonesia Communications

(22)

142

 Terlapor VII (Indonesia Communications Pte. Ltd)

 Terlapor VIII: Singapore Telecommunications Ltd)

 Terlapor IX (Singapore Telecom Mobile Pte. Ltd)

 Terlapor X (PT. Telekomunikasi Selular) Kasus ini berkaitan dengan Telkomsel yang menyalahgunakan posisi dominannya untuk membatasi pasar dan pengembangan teknologi sehingga melanggar pasal 25 ayat (1) huruf b UU No 5 Tahun 1999.

Berdasarkan Laporan Hasil Pemeriksaan Lanjutan (LHPL) Tim Pemeriksa pada pokoknya menyatakan telah terjadi hambatan interkoneksi yang dilakukan oleh Telkomsel sesuai dengan bukti:

Pertama kesaksian Mastel (vide Bukti B52), yang menyatakan bahwa degree of competition industri seluler selama ini kurang diakibatkan oleh operator incumbent pada kondisi yang dapat mengancam hubungan interkoneksi pada operator yang menurunkan tingkat tarif. Selain

(23)

143

itu, meskipun sejak tahun 2007, rezim interkoneksi sudah berbasis pada biaya namun hingga saat ini belum terdapat adanya PKS antar operator yang memuat perjanjian tersebut.

Pada praktiknya, operator pencari interkoneksi tidak memiliki posisi tawar yang seimbang dengan operator incumbent, sehingga masih mengikuti kehendak incumbent dengan ancaman hubungan interkoneksi diputus (BAP Saksi Mastel tanggal 25 September 2007.

Kedua kesaksian Hutchinson (vide Bukti B14) yang menyatakan bahwa Sempat terdapat hambatan interkoneksi yang dialami oleh operator baru yang dilakukan Telkomsel dengan mempersyarakatkan terpenuhinya traffic sebesar 48 erl, yang sulit dipenuhi oleh operator-operatror baru. Dalam salah satu perjanjian interkoneksi Telkomsel dengan salah satu operator, diatur mengenai Pembebanan Biaya, Penagihan dan

(24)

144

Pembayaran. Lebih lanjut, dalam ayatnya disebutkan bahwa ”Tarif yang dikenakan kepada Pengguna untuk jasa layanan SMS merupakan kewenangan masing-masing Pihak, sehingga para pihak berhak untuk menetapkan sendiri tarif yang dikenakan kepada Penggunanya masing-masing dengan batasan bahwa tarif yang dikenakan oleh operator X kepada Penggunanya tidak boleh lebih rendah dari tarif yang dikenakan oleh Telkomsel kepada Penggunanya. Operator X akan melakukan penyesuai tarif yang dikenakan kepada Penggunanya selambat-lambatnya 3 (tiga) bulan, sejak pemberitahuan perubahan tarif yang disampaikan oleh Telkomsel kepada Operator X sebagai waktu sosialisasi bila Telkomsel melakukan perubahan tarif yang dikenakan kepada Pengguannya.” Namun, ketentuan dalam Perjanjian tersebut kemudian dicabut berdasarkan amandemen Perjanjian.

(25)

145

Bentuk hambatan lain, adalah persyaratan untuk pembangunan link interkoneksi diharuskan menggunakan pihak ketiga yang ditunjuk oleh Telkomsel. Hal tersebut menaikan biaya secara signifikan bagi pencari interkoneksi. Kepemilikan dan pengoperasian link tersebut pun menjadi milik pihak ketiga dan telkomsel bukan menjadi milik pencari interkoneksi.(BAP Saksi Hutchinson tanggal 21 Juni 2007).

Ketiga Dokumen perjanjian kerja sama antara Telkomsel dengan salah satu operator. Selanjutnya dalam pendapat atau pembelaan Telkomsel pada pokoknya menyatakan tidak pernah menghambat pengembangan teknologi, Telkomsel merupakan operator telekomunikasi seluler pertama yang mengenalkan:

Bisnis pre-paid di Indonesia yang menggunakan teknologi IN;

Layanan berbasis teknologi GPRS dan EDGE;

(26)

146

Layanan value added services tertentu seperti ring back tone;

Electronic voucher;

Layanan-layanan 3G yang menyediakan layanan video call, video streaming. Pengembangan-pengembangan teknologi yang digunakan oleh Telkomsel yang kemudian juga diaplikasikan oleh kompetitor kompetitor Telkomsel lainnya dan yang dapat memberikan kontribusi positif bagi perkembangan pasar telekomunikasi selular.

Sebelum menganalisa pemenuhan unsur pasal 25 ayat (1) huruf b, Majelis Komisi terlebih dahulu mengurai pendekatan analisa terhadap pasal 25 yaitu menurut Majelis Komisi analisa terhadap pasal 25 dapat dilakukan secara per se rule maupun rule of reason. Penggunaan pendekatan

per se rule adalah pendekatan minimalist karena

dari segi rumusannya pasal 25 tidak tercantum salah satu dari dua kalimat yaitu „dapat menimbulkan praktik monopoli‟ dan/atau „persaingan usaha tidak sehat‟. Penggunaan pendekatan rule of reason adalah pendekatan maximalist. Perspektif ini mendasarkan pada

(27)

147

asumsi bahwa kebijakan pelaku usaha seperti tercantum dalam ayat (1) huruf a, b, atau c belum tentu dapat menimbulkan dampak negatif terhadap persaingan. Untuk itu perlu dibuktikan bahwa kebijakan pelaku usaha dimaksud menimbulkan atau berpontensi menimbulkan dampak negatif. Dalam perkara ini, Majelis Komisi menggunakan perspektif maximalist yaitu

rule of reason.

Kemudian dalam putusannya, Majelis Komisi menyatakan bahwa PT. Pertamina (persero) tidak terbukti melanggar ketentuan Pasal 25 ayat (1) huruf b Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999. Dengan pertimbangan bahwa meskipun telah terjadi pembatasan pasar melalui hambatan interkoneksi namun tidak terjadi pembatasan pengembangan teknologi, sehingga dengan tidak terpenuhinya unsur pembatasan pengembangan teknologi maka Majelis Komisi tidak perlu menilai dampak yang terjadi akibat terjadinya pembatasan pasar dan pengembangan teknologi tersebut.

3. Tidak Terbukti Melanggar Pasal 25 ayat (1) dan Tidak Memenuhi Pasal 25 ayat (2)

(28)

148

a. Perkara Nomor: 03/KPPU-L-I/2000

Dugaan pelanggaran UU persaingan usaha ini dilakukan oleh PT. Indomarco Prismatama, yang beralamat di Jl. Ancol I No.9 10, Ancol Barat Jakarta 14430, sebagai pemilik dan pemegang hak merek dagang "Indomaret" untuk usaha ecerannya dalam bentuk baik toko swalayan milik sendiri maupun toko swalayan dengan sistem waralaba. Kasus ini berawal dari laporan tertulisnya tertanggal 12 April 2000 yang diterima oleh Komisi pada tanggal 9 Agustus 2000 oleh sebuah lembaga swadaya masyarakat yang selanjutnya disebut sebagai Saksi Pelapor. Berdasarkan wawancara langsung kepada 429 orang pengusaha kecil/pemilik warung yang dianggap mewakili seluruh pemilik warung di wilayah Jakarta, Bogor, Tangerang dan Bekasi (Jabotabek). Sebanyak 129 pengusaha kecil yang diwawancarai tersebut menyatakan bahwa sejak berdirinya Swalayan Indomaret mempunyai dampak negatif terhadap usahanya, karena keberadaan Indomaret tersebut mempunyai dampak merugikan pengusaha kecil yang ada disekitarnya, di setiap satu Toko Swalayan Indomaret. Padahal di sekitarnya diperkirakan

(29)

149

ada 10 usaha kecil, maka apabila ada 290 Toko Swalayan Indomaret akibatnya 2900 usaha kecil terancam mati, karena kalah bersaing dengan harga dan kenyamanan yang disediakan oleh Indomaret. Apabila dibiarkan rencana berdirinya sampai 2000 Toko Swalayan Indomaret, maka diperkirakan 20.000 usaha kecil yang berada di Jabotabek akan mati atau minimal 80.000 orang masyarakat miskin tambah melarat, resah kehilangan mata pencaharian.

Selain itu juga sistem yang diterapkan oleh PT. Indomarco adalah pemegang hak merek Swalayan Indomaret dan jaminan pemasokan barang dagangan dengan harga distributor. Sedangkan pewaralaba berkewajiban menyiapkan gedung dan investasi + 300 juta (termasuk untuk Franchise Fee Rp.82,5 juta yang diberikan kepada PT. Indomarco).

Kemudian dalam pertimbangan KPPU, Majelis Komisi menyatakan bahwa tidak ditemukan bukti-bukti Terlapor mempunyai posisi dominan karena tidak menguasai pangsa pasar 50% (lima puluh persen) atau lebih pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu. Selain itu juga tidak ditemukan bukti-bukti Terlapor melakukan

(30)

150

secara bersama-sama dengan satu atau dua pelaku usaha lain yang menguasai 75% atau lebih pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu.

Atas dasar fakta ini Terlapor tidak dapat dinyatakan dan dikategorikan mempunyai posisi dominan secara mutlak. Karena itu tuduhan pelanggaran yang dilakukan Terlapor terhadap Pasal 1 adalah tidak relevan, sehingga dalam putusan KPPU, Majelis Komisi tidak secara tegas menyatakan bahwa Terlapor tidak terbukti secara sah dan meyakinkan melanggar Pasal 25 UU No.5 tahun 1999.

b. Perkara Nomor: 02/KPPU-I/2004

Dugaan pelanggaran Pasal 25 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 ini dilakukan oleh PT. Telekomunikasi Indonesia Tbk (Terlapor). Kasus ini berkaitan dengan tindakan pemblokiran terhadap SLI kode akses 001 dan 008 milik PT. Indosat oleh Terlapor, dengan cara Menutup layanan SLI kode akses 001 dan 008 di beberapa warung telekomunikasi (wartel), dan menyediakan layanan internasional dengan kode akses 017. Serta mengubah perjanjian kerjasama dengan

(31)

151

pemilik wartel, bahwa wartel hanya diperbolehkan menjual produk Terlapor dan Terlapor berhak melakukan blocking/menutup akses layanan milik operator lain dari wartel.

Kemudian dalam putusan KPPU, Majelis Hakim Menyatakan bahwa Terlapor tidak terbukti secara sah dan meyakinkan melanggar Pasal 25 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999. Dengan pertimbangan bahwa pasar bersangkutan dalam perkara ini adalah jasa telepon internasional melalui akses jaringan tetap lokal nasional sehingga posisi dominan pelaku usaha ditentukan dari pangsa pasar jasa telepon internasional yang dijual atau disediakannya. Posisi Terlapor meskipun menguasai 90-95% jaringan tetap tidak dapat disimpulkan sebagai pemegang posisi dominan karena pelaku usaha dalam jasa telepon internasional melalui akses jaringan tetap lokal nasional dalam perkara ini adalah PT Indosat. Sehingga unsur pelaku usaha memiliki posisi dominan dalam pasar bersangkutan sebagaimana dimaksud pasal 25 ayat (2) tidak terpenuhi.

Oleh karena unsur ayat (2) pasal 25 sebagai persyaratan untuk mempertimbangkan ayat (1) pasal 25 tidak terpenuhi, Majelis berpendapat

(32)

152

tidak perlu lagi mempertimbangkan unsur-unsur penyalahgunaan posisi dominan ayat (1) pasal 25. Dari kesepuluh putusan-putusan KPPU mengenai penyalahgunaan posisi dominan di atas, maka untuk lebih memudahkan dalam memahami putusan-putusan KPPU tersebut, penulis menyajikannya dalam bentuk tabel 1 di bawah ini yaitu:

Tabel 1

10 (sepuluh) Putusan KPPU

Tentang Penyalahgunaan Posisi Dominan

No Putusan-Putusan KPPU Melanggar Pasal 25 ayat (1) Memenuhi Pasal 25 ayat (2) 1 Perkara Nomor: 04/KPPU-I/2003 √ √ 2 Perkara Nomor: 06/KPPU-L/2004 3 Perkara Nomor: 09/KPPU-L/2009 4 Perkara Nomor: 17/KPPU-I/2010 5 Perkara Nomor: 05/KPPU-I/2005 X 6 Perkara Nomor: 21/KPPU-L/2005 X 7 Perkara Nomor: 15/KPPU-L/2006 X 8 Perkara Nomor: 07/KPPU-L/2007 X 9 Perkara Nomor: 03/KPPU-L-I/2000 X X 10 Perkara Nomor: 02/KPPU-I/2004 X X

(33)

153

Berdasarkan isi tabel 1 di atas, maka ada 4 (empat) putusan KPPU yang terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan penyalahgunaan posisi dominan oleh karena melanggar Pasal 25 ayat (1) UU No.5 tahun 1999 dan memiliki posisi dominan. Sementara itu, ada 4 (empat) putusan KPPU yang tidak terbukti secara sah menyalahgunakan posisi dominan sesuai dengan Pasal 25 ayat (1) akan tetapi terbukti memiliki posisi dominan. Sedangkan yang tidak terbukti melanggar Pasal 25 ayat (1) dan ayat (2) terdiri atas 2 (dua) putusan.

(34)

154

B. Analisis

Analisis mengenai putusan-putusan KPPU berkaitan dengan penyalahgunaan posisi dominan dimaksudkan untuk menjawab rumusan masalah dalam Bab I mengenai bagaimana konsep penyalahgunaan posisi dominan dalam hukum persaingan usaha. Putusan-putusan KPPU ini pertama-tama, diuraikan mengenai posisi dominan kemudian penyalahgunaan posisi dominan, selanjutnya penulis mengaitkan fakta-fakta tersebut dengan teori dan peraturan berkaitan dengan penyalahgunaan posisi dominan.

Adapun uraian mengenai posisi dominan dan putusan Majelis Hakim tentang penyalahgunaan posisi dominan dalam (10) perkara ini, yaitu:

1. Perkara Nomor: 03/KPPU-L-I/2000

PT. Indomarco Prismatama sebagai pemegang hak merek Swalayan Indomaret dan jaminan pemasokan barang dagangan dengan harga distributor, dinyatakan tidak terbukti mempunyai posisi dominan

karena tidak menguasai pangsa pasar 50% (lima puluh

persen) atau lebih pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu serta tidak ditemukan bukti-bukti PT.

(35)

155

Indomarco Prismatama melakukan secara bersama-sama dengan satu atau dua pelaku usaha lain yang menguasai 75% atau lebih pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu. PT. Indomarco Prismatama bukan satu satunya perusahaan pengecer yang mempunyai kemampuan keuangan lebih tinggi dibandingkan dengan perusahaan pengecer kecil yang lain (wilayah Jakarta, Bogor, Tangerang, dan Bekasi), akan tetapi masih terdapat beberapa perusahaan pengecer lainnya yang juga mempunyai kemampuan keuangan lebih tinggi dibanding pengecer kecil.

Atas dasar fakta bahwa PT. Indomarco Prismatama tidak memiliki posisi dominan. Maka Majelis Komisi KPPU tidak perlu mempertimbangkan dugaan penyalahgunaan posisi dominan. Pemenuhan ketentuan ayat (2) dalam hal ini posisi dominan merupakan syarat untuk mempertimbangkan ayat (1). Sehingga PT. Indomarco Prismatama tidak melakukan

penyalahgunaan posisi dominan.

Dari kasus yang melibatkan PT. Indomarco Prismatama ini, ada 3 (tiga) hal yang menarik untuk menurut penulis yaitu:

 PT. Indomarco Prismatama tidak hanya diduga melanggar Pasal 25 akan tetapi juga diduga melanggar Pasal 1 angka (4) dalam hal ini

(36)

156

menguasai pangsa pasar karena kemampuan keuangan, kemampuan akses pada pasokan. Penggunaan Pasal 1 angka (4) ini mengidikasikan bahwa Pasal 1 angka (4) dilarang dan bisa ditarik sebagai pelanggaran tersendiri. Secara tidak langsung KPPU melarang Pelaku Usaha Dominan. Padahal menurut penulis, Pelaku usaha yang memiliki posisi dominan tidak dilarang sepanjang dalam memperoleh atau mendapatkan posisi dominannya itu melalui persaingan sehat dan tidak melanggar UU Persaingan Usaha.

 Dari putusan KPPU dalam perkara ini PT. Indomarco Prismatama diduga melanggar Pasal 25, tanpa menyebut ayat berapa dan huruf apa. Dengan hanya mencatumkan Pasal 25 mengidikasikan bahwa semua atau seluruh unsur atau isi dalam Pasal 25 diduga dilanggar oleh PT. Indomarco Prismatama. Kalau dari ayat 1 huruf a, b dan c dalam pasal ini memang dikategorikan sebagai penyalahgunaan posisi dominan dan dilarang oleh UU Persaingan Usaha. Akan tetapi khusus ayat 2 huruf a dan b tidak dikategorikan sebagai penyalahgunaan posisi dominan secara tersendiri dan tidak

(37)

157

dilarang oleh KPPU. Ketentuan ayat 2 ini sebagai standar minimal sebuah pelaku usaha dikatakan memiliki posisi dominan. Artinya ketentuan ini hampir mirip dengan Pasal 1 angka (4) di atas yang mengatur mengenai posisi dominan dan kedua-duanya tidak dilarang.  Dalam pertimbangan Majelis Komisi

menyimpulkan bahwa PT. Indomarco Prismatama Tidak terbukti melanggar Pasal 25 ayat (1) dan tidak memiliki posisi dominan secara mutlak, akan tetapi yang membingungkan ialah dalam putusan KPPU tersebut, Majelis Komisi tidak secara tegas menyatakan bahwa Terlapor terbukti atau tidak melanggar Pasal 25 UU No.5 tahun 1999. Memang dalam pertimbangan Majelis Komisi menyatakan bahwa PT. Indomarco Prismatama tidak terbukti memiliki posisi dominan, dan KPPU menyatakan bahwa dengan tidak terbuktinya pelaku usaha yang bersangkutan memiliki posisi dominan maka tidak perlu menganalisis Pasal 25 ayat 1 huruf a, b, dan c. akan tetapi menurut hemat penulis, Majelis Komisi dalam putusannya harus secara tegas menyatakan bahwa PT. Indomarco Prismatama

(38)

158

tidak terbukti melanggar Pasal 25 ayat 1 huruf a, b dan c.

2. Perkara No.04/KPPU-I/2003

PT. JICT terbukti melakukan penguasaan produksi

pelayanan bongkar muat petikemas dengan menguasai

lebih dari 50% (lima puluh persen) atau lebih pangsa

pasar pada pasar bersangkutan, dimana posisi terakhir penguasaan pasar PT.JICT pada tahun 2002 adalah sebesar 69,53% (enam puluh sembilan koma lima puluh tiga persen) dari total arus petikemas pasar bersangkutan. Pangsa pasar tersebut membuat PT.JICT menduduki posisi utama dalam pasar.

Kemudian dalam putusannya, Majelis Komisi menyatakan bahwa PT.JICT terbukti melakukan

penyalahgunaan posisi dominan sehingga melanggar

Pasal 25 ayat (1) huruf c. Yang dalam perkara ini PT.JICT melakukan penyalahgunaan posisi dominan dalam hal menghambat pelaku usaha lain yang berpotensi menjadi pesaing untuk memasuki pasar bersangkutan. Yakni dengan menggunakan klausul 32.4 di dalam authorization agreement. Klausul

authorization agreement ini merupakan suatu bentuk

(39)

159

tersebut digunakan dalam rangka menghambat konsumen untuk melakukan kerjasama usaha dengan pelaku usaha pesaingnya. Yang pada pokoknya menyatakan bahwa untuk mendapatkan pelayanan bongkar muat petikemas di pelabuhan Tanjung Priok pelaku usaha lain (Segoro dan MTI) harus mengikatkan diri pada kontrak yang bersifat ekslusif. Tanpa adanya kontrak yang mengikat tersebut, maka pelaku usaha lain tidak akan dilayani. Dengan fakta tersebut, PT.JICT terbukti menyalahgunakan posisi dominannya secara tidak langsung untuk menghambat pelaku usaha lain yang berpotensi menjadi pesaing untuk memasuki pasar bersangkutan.

Dalam memutus Perkara Nomor : 04/KPPU-I/2003, KPPU menggunakan patokan Pasar Bersangkutan dalam Posisi Dominan dengan pertimbangan Pasal 1 angka (6) UU No.5 tahun 1999 Persaingan usaha tidak sehat adalah persaingan antar pelaku usaha dalam menjalankan kegiatan produksi dan/atau pemasaran barang dan/atau jasa yang dilakukan dengan cara tidak jujur atau melawan hukum atau menghambat persaingan usaha. Dimana kalimat „menghambat persaingan usaha‟ dalam Pasal 1 angka (6) tersebut dihubungkan dengan kalimat “menghambat pelaku

(40)

160

usaha lain” dan “pasar bersangkutan” dalam Pasal 25 ayat (1) huruf c menjadi unsur yang diperhintungkan untuk menyatakan JICT melanggar Pasal 17 ayat (1) UU No.5 tahun 1999. Oleh karena keterkaitan Penyalahgunaan Posisi Dominan dengan Pasal 17 dalam hal Perusahaan dengan posisi dominan pada hakikatnya identik dengan memiliki kekuatan monopoli. Dalam kondisi tersebut potensi terjadinya praktik monopoli yang menghambat persaingan sehat sangat mungkin terjadi.

Sehingga dapat dikatakan bahwa pelanggaran Posisi Dominan dalam hal unsur “menghambat pelaku usaha lain” dan “pasar bersangkutan” ditarik sebagai pelanggaran terhadap Praktik Monopoli dalam Pasal 17 ayat (1) UU No.5 thn 1999. Hal yang menarik dalam kasus ini adalah keterkaitan Pasal 25 dengan Pasal 17, dimana Perusahaan dengan posisi dominan pada hakekatnya identik dengan memiliki kekuatan monopoli. Dalam kondisi tersebut potensi terjadinya praktik monopoli yang menghambat persaingan usaha sehat sangat mungkin terjadi.

(41)

161

PT. Telekomunikasi Indonesia Tbk (Terlapor) tidak

terbukti memiliki posisi dominan pada pasar bersangkutan dalam hal ini pasar jasa telepon internasional yang diakses melalui jaringan tetap lokal nasional di Indonesia, karena komposisi pangsa pasar sambungan telepon internasional dari traffic outgoing sebagai nilai jual jasa telepon internasional adalah 70-75% dikuasai SLI-001 dan SLI-008 milik Indosat dan 25-30% lainnya dikuasai produk ITKP. Produk ITKP TelkomGobal-017 sendiri memiliki 10% dari pangsa pasar sementara produk SLI-007 Telkom tidak dihitung karena baru diproduksi secara resmi pada tanggal 7 Juni 2004.

Putusan Majelis Komisi menyatakan bahwa oleh karena unsur Pasal 25 ayat (2) sebagai persyaratan untuk mempertimbangkan pasal 25 ayat (1) tidak terpenuhi, Majelis berpendapat tidak perlu lagi mempertimbangkan unsur-unsur penyalahgunaan posisi dominan Pasal 25 ayat (1). Sehingga PT. Telekomunikasi Indonesia tidak terbukti melakukan

penyalahgunaan posisi dominan.

(42)

162

PT.ABC (Arta Boga Cemerlang) terbukti menguasai

88,73% pangsa pasar baterai manganese AA secara

nasional. Dalam putusan Majelis Komisi KPPU, menyatakan bahwa PT.ABC terbukti secara sah dan

meyakinkan melakukan penyalahgunaan posisi

dominan sehingga melanggar Pasal 25 ayat (1) huruf a

jo. ayat (2) huruf a Undang-Undang Nomor 5 tahun 1999. Yakni PT.ABC menetapkan syarat-syarat perdagangan dengan tujuan untuk mencegah dan/atau menghalangi konsumen memperoleh barang dan/atau jasa yang bersaing, baik dari segi harga maupun kualitas. PT.ABC telah menetapkan syarat-syarat perdagangan yang terkandung di dalam surat perjanjian PGK dimana salah satu syarat pemberian potongan tambahan sebesar 2% adalah jika toko grosir dan semi grosir tidak menjual baterai Panasonic. Syarat-syarat perdagangan dalam PGK tersebut ditujukan untuk mencegah atau menghalangi konsumen memperoleh baterai Panasonic yang bersaing dengan baterai ABC baik segi harga maupun kualitas di grosir atau semi grosir yang mengikuti PGK Terlapor.

Putusan KPPU ini membuktikan bahwa cakupan Pasal 25 ayat (1) adalah sangat luas karena mencakup perjanjian yang menyebabkan terjadinya dampak yang

(43)

163

tercantum dalam Pasal tersebut, yakni: terhalanginya konsumen untuk memperoleh barang dan/atau jasa yang bersaing, baik dari segi harga maupun kualitas.7

Sebenarnya Pasal yang secara langsung melarang perjanjian semacam ini adalah Pasal 15 ayat (3) huruf b.8 Namun, KPPU berhasil membuktikan bahwa PT ABC mempunyai posisi dominan dalam produk yang bersangkutan, sehingga bisa menerapkan Pasal 25 ayat (1). KPPU juga mengatakan bahwa PT ABC melanggar Pasal 19 huruf a karena PT ABC dengan perjanjian semacam itu dianggap telah “menolak dan/atau menghalangi pelaku usaha tertentu untuk melakukan kegiatan usaha yang sama pada pasar bersangkutan.”

5. Perkara No.05/KPPU-L/2005

PT BURSA EFEK JAKARTA atau disingkat PT BEJ

Terbukti memiliki posisi dominan oleh karena PT BEJ

merupakan satu-satunya pelaku usaha yang bergerak

7Pasal 25 ayat (1) huruf a UU No.5 tahun 1999.

8Pasal 15 ayat (3) huruf b berbunyi: “Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian

mengenai harga atau potongan harga tertentu atas barang dan/atau jasa, yang memuat persyaratan bahwa pelaku usaha yang menerima barang dan/atau jasa dai pelaku usaha pemasok … tidak akan membeli barang dan/atau jasa yang sama atau sejenis dari pelaku usaha lain yang menjadi pesaing dari pealku usaha pemasok”.

(44)

164

di bidang usaha menyelenggarakan kegiatan usaha bursa efek di Jakarta.

Dalam putusan Majelis Komisi KPPU, menyatakan bahwa PT BEJ tidak terbukti melakukan penyalahgunaan posisi dominan. Dengan demikian PT

BEJ tidak melanggar Pasal 25 ayat (1) huruf c Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999. Karena PT BEJ tidak terbukti tidak menghambat pelaku usaha lain memasuki pasar bersangkutan sehingga unsur menghambat pelaku usaha lain yang berpotensi menjadi pesaing untuk memasuki pasar bersangkutan tidak terpenuhi.

6. Perkara No.21/KPPU-L/2005

Perkara ini, KPPU hanya menyatakan bahwa PT Pertamina menggunakan posisi dominannya memaksa PT Igas Utama untuk menandatangani Surat Kesepakatan Bersama Nomor (SKB) 925/D00000/2004-SI dengan ancaman jika tidak menandatangani SKB maka gas tidak akan dialirkan. Majelis Komisi KPPU tidak secara tegas menyebutkan berapa pangsa pasar PT Pertamina pada saat itu. Tapi dari pernyataan KPPU tersebut, bisa dikatakan bahwa PT Pertamina memiliki posisi dominan.

(45)

165

Mengenai dugaan penyalahgunaan posisi dominan yang dilakukan oleh PT Pertamina, Majelis Komisi memutuskan bahwa PT Pertamina (persero)

tidak terbukti melakukan penyalahgunaan posisi dominan sehingga tidak melanggar ketentuan Pasal 25

ayat (1) huruf a Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999. Dengan mempertimbangkan unsur menetapkan

syarat-syarat perdagangan. Yang dimaksud dengan

menetapkan syarat-syarat perdagangan dalam hal ini adalah syarat-syarat perdagangan yang dipersyaratkan oleh PT Pertamina kepada para trader yang akan melakukan hubungan dagang dengan PT Pertamina. PT Pertamina membuat beberapa persyaratan dalam PJBG yang dibuat dengan para trader yaitu JPMT, SBLC, gas make up, harga gas, sistem pembayaran, dimana PT. Pertamina telah melakukan diskriminasi terhadap PT. Igas Utama dan PT. Banten Inti Gasindo dalam hal PT. Banten Inti Gasindo mendapatkan lebih besar pasokan gas dan dipermudah persyaratan PJBGnya. Dengan demikian, maka unsur menetapkan syarat-syarat perdagangan terpenuhi.

Selain itu, Majelis Komisi KPPU mempertimbangkan unsur bertujuan atau menghalangi

konsumen memperoleh barang. Yang dimaksud dengan

(46)

166

perkara ini adalah syarat-syarat perdagangan yang diterapkan oleh PT Pertamina mengakibatkan terhalangnya trader untuk mencari produsen gas lainnya. Dari syarat-syarat dagang yang diterapkan oleh PT Pertamina sebagaimana diuraikan pada butir 2.6 (PT. Igas Utama menyatakan PT Pertamina telah melakukan diskriminasi terhadap PT. Igas Utama dan PT. Banten Inti Gasindo dalam hal PT. Banten Inti Gasindo mendapatkan lebih besar pasokan gas dan dipermudah persyaratan PJBGnya) tidak terdapat persyaratan dagang yang mengakibatkan para trader tidak dapat berhubungan dengan produsen gas selain PT Pertamina atau persyaratan yang membagi alokasi pasar dari masing-masing trader dalam mendistribusikan gas. Dengan demikian, maka unsur bertujuan menghalangi konsumen memperoleh barang

tidak terpenuhi.

7. Perkara No.15/KPPU-L/2006

Perkara ini melibatkan PT Pertamina, dimana PT Pertamina diduga melanggar ketentuan Pasal 25 ayat (1) huruf a UU No.5 tahun 1999. Dalam pertimbangan Majelis Komisi KPPU mengenai posisi dominan pada kasus perkara ini, PT Pertamina (Persero) merupakan satu-satunya pemasok Elpiji di Indonesia, termasuk

(47)

167

didalamnya wilayah Pulau Bangka. Dengan pertimbangan Pasal 1 angka (4) UU No.5 tahun 1999, maka PT Pertamina (Persero) memenuhi unsur posisi dominan sehingga dinyatakan PT Pertamina memiliki

posisi dominan tanpa menyebut lagi berapa pangsa

pasarnya.

Kemudian dalam putusan Majelis Komisi KPPU, menyatakan bahwa PT Pertamina tidak terbukti

melakukan penyalahgunaan posisi dominan sehingga

tidak melanggar ketentuan Pasal 25 ayat (1) huruf a UU No.5 tahun 1999. Oleh karena, unsur menetapkan syarat-syarat perdagangan tidak terpenuhi, karena larangan pengisian Elpiji di DSP Pulau Layang telah dicabut oleh PT Pertamina sejak 14 Februari 2007 dan mengijinkan agen di Pulau Bangka untuk memilih pengisian di DSP Pulau Layang atau di APPEL. Sehingga larangan pengisian Elpiji di DSP sudah tidak berlaku lagi. Oleh karena unsur menetapkan syarat-syarat perdagangan tidak terpenuhi maka Majelis Komisi KPPU tidak perlu membuktikan unsur lainnya. Dari kasus tersebut, ada dua hal yang menarik untuk di analis penulis yaitu Pertama, keterkaitan Pasal 25 dengan Pasal 15 UU Persaingan Usaha. Dan Kedua, masalah jangka waktu pemberlakuan syarat-syarat perdagangan dan pencabutannya serta laporan

(48)

168

pelanggaran yang dilakukan oleh PT Pertamina (Persero) dan putusan Majelis Komisi.

a) Keterkaitan Pasal 25 dengan Pasal 15 UU Persaingan Usaha.

Syarat-syarat perdagangan dalam bentuk surat larangan pengisian Elpiji di DSP Pulau Layang No. 057/E22000/2006-S3 tanggal 3 Maret 2006, dikaitkan dengan pelanggaran pasal 15 ayat (1) dan Pasal 25 ayat (1) huruf a.

Pasal 15 ayat (1) Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 menyatakan

“Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain yang memuat persyaratan bahwa pihak yang menerima barang dan/atau jasa hanya akan memasok atau tidak memasok kembali barang dan/atau jasa tersebut kepada pihak tertentu dan/atau tempat tertentu”.

Menurut Majelis Komisi, Syarat-syarat perdagangan dalam bentuk surat larangan pengisian Elpiji di DSP Pulau Layang No. 057/E22000/2006-S3 tidak melanggar Pasal 15 ayat (1) karena bukan merupakan Unsur Perjanjian yang memuat persyaratan bahwa

(49)

169

pihak yang menerima barang dan/atau jasa hanya akan memasok atau tidak memasok kembali barang dan/atau jasa tersebut kepada pihak tertentu dan/atau tempat tertentu. Dengan alasan:

 Perjanjian keagenan LPG antara Terlapor dengan agen.

Agen di Pulau Bangka memperoleh ijin dari Pertamina bahwa agen tersebut hanya mendistribusikan dan memasarkan Elpiji di wilayah Pulau Bangka Agen di Pulau Bangka membeli dengan sistem beli putus dari Pertamina, tetapi Terlapor menetapkan harga jual tertinggi yang diperbolehkan bagi para agen.

Penetapan harga jual tertinggi oleh Terlapor terkait dengan tindakan pemerintah yang tidak menyetujui usulan kenaikan harga jual Elpiji.

Elpiji merupakan komoditas bebas, namun pada kenyataannya Pemerintah mengatur atau setidak-tidaknya ikut mengatur pemasaran Elpiji terutama dalam penentuan harga jual tertinggi;

(50)

170

Dengan demikian perjanjian antara Terlapor dengan agen bukan merupakan bentuk perjanjian yang bertujuan untuk membatasi agen dalam mendistribusikan dan memasarkan Elpiji.

 Perjanjian Pengusahaan dan Penggunaan Agen Pengangkutan dan Pengisian Elpiji antara Terlapor dengan APPEL.

PT. Bina Mulia Jaya Abadi selaku APPEL hanya diperkenankan menjual Elpiji kepada agen yang ditunjuk oleh Terlapor dan dilarang melakukan penjualan langsung kepada konsumen baik industri maupun rumah tangga.

Keberadaan APPEL bertujuan untuk mendistribusikan Elpiji di Pulau Bangka kepada konsumen melalui agen agar tercapai harga jual yang lebih murah dibandingkan sebelum adanya APPEL.

Pengaturan penjualan Elpiji yang dilakukan oleh Terlapor kepada APPEL dimaksudkan untuk menjaga ketersediaan Elpiji di masing-masing agen dengan harga yang lebih murah.

(51)

171

Dengan demikian perjanjian pengusahaan dan penggunaan agen pengangkutan dan pengisian elpiji antara Terlapor dengan APPEL dalam hal pengaturan penjualan Elpiji yang dilakukan oleh PT Pertamina (Persero) kepada APPEL bukan merupakan bentuk pembatasan penjualan

Dari kedua fakta tersebut di atas, maka perjanjian antara Terlapor dengan agen dan Terlapor dengan APPEL bukan merupakan perjanjian sebagaimana dimaksud pada Pasal 15 ayat (1) Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999.

Selanjutnya Majelis Komisi mempertimbangkan Pasal 25 ayat (1) huruf a Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 menyatakan “Pelaku usaha dilarang menggunakan posisi dominan baik secara langsung maupun tidak langsung untuk: Menetapkan syarat-sarat perdagangan

dengan tujuan untuk mencegah dan/atau menghalangi konsumen memperoleh barang dan/atau jasa yang bersaing baik dari segi harga maupun kualitas.

Dalam pertimbangkan Majelis Komisi menyatakan bahwa unsur pelaku usaha dan

(52)

172

unsur posisi dominan Terpenuhi, namun unsur Menetapkan syarat-syarat perdagangan dinyatakan Tidak Terbukti karena PT Pertamina (Persero) telah telah mencabut surat surat No. 057/E22000/2006-S3 tentang larangan pengisian Elpiji di DSP Pulau Layang dan memberikan kebebasan kepada agen di Pulau Bangka untuk memilih tempat pengisian Elpiji.

b) Jangka Waktu

Hasil pemeriksaan awal Tim Pemeriksa KPPU tanggal 28 Maret 2006 menemukan bahwa memang benar PT Pertamina (Persero) menetapkan syarat-syarat perdagangan, akan tetapi sejak 14 Februari 2007 Terlapor mencabut surat larangan tersebut dan mengijinkan agen di Pulau Bangka untuk memilih pengisian di DSP Pulau Layang atau di APPEL bahwa dengan demikian larangan pengisian Elpiji di DSP sudah tidak berlaku lagi.

Hal ini menjadi aneh, mengingat KPPU menerima laporan dugaan pelanggaran ini Pada

(53)

173

tanggal 28 Maret 2006, dimana dugaan pelanggaran oleh PT Pertamina (Persero) ini dilakukan pada tanggal 3 Maret 2006. Kemudian sejak 14 Februari 2007 PT Pertamina (Persero) mencabut surat larangan tersebut. Atas dasar pencabutan inilah, melalui putusan Majelis Komisi KPPU pada tanggal tanggal 23 Mei 2007 memutuskan bahwa PT Pertamina (Persero) tidak terbukti melanggar pasal 25 ayat (1) huruf a.

Penanganan kasus ini terkesan tidak adil karena yang dirugikan adalah korban atas surat GM No. 058/E22000/2006-S3. Yang mana PT Pertamina (persero) sudah menetapkan syarat-syarat perdagangan akan tetapi karena telah mencabut surat tersebut disela-sela pemeriksaan Lanjutan maka dinyatakan tidak terbukti melanggar. Putusan ini bisa menjadi bumerang bagi kelangsungan persaingan usaha sehat di Indonesia, bisa saja pelaku usaha lain meniru tindakan PT Pertamina (persero) yang membuat syarat-syarat perdagangan dengan pertimbangan kalaupun nanti ketahuan dan diperiksa oleh KPPU maka langkah selanjutnya Pelaku usaha

(54)

174

yang bersangkutan segera mencabutnya sebelum dibacakan putusan.

KPPU memang diberi janga waktu penangganan perkara sampai pembacaan Putusan Majelis Komisi yaitu 434 hari. Akan tetapi ini merupakan jangka waktu maksimal. Jadi sebaiknya KPPU mempertimbangkan jangka waktu agar lebih cepat dalam menangani perkara-perkara tertentu supaya tidak diamanfaatkan secara tidak bertanggungjawab oleh pelaku-pelaku usaha yang diduga melakukan pelanggaran terhadap UU Persaingan Usaha.

Perubahan perilaku pelaku usaha memang dimungkinkan menurut Pasal 37 Peraturan KPPU No.1 tahun 2006 tentang Tata Cara Penanganan Perkara di KPPU. Komisi dapat menetapkan tidak perlu dilakukan Pemeriksaan Lanjutan meskipun terdapat dugaan pelanggaran, apabila Terlapor menyatakan bersedia melakukan perubahan perilaku. Perubahan perilaku ini dapat dilakukan dengan membatalkan perjanjian dan/atau menghentikan kegiatan dan/atau menghentikan penyalahgunaan posisi dominan

(55)

175

yang diduga melanggar dan/atau membayar kerugian akibat dari pelanggaran yang dilakukan.Pelaksanaan perubahan perilaku dilakukan paling lama 60 (enam puluh) hari dan dapat diperpanjang sesuai dengan penetapan Komisi. Komisi dalam hal ini Sekretariat melakukan monitoring terhadap pelaksanaan penetapan tentang perubahan perilaku.Dalam melakukan kegiatan monitoring oleh Sekretariat Komisi dapat membentuk Tim Monitoring Pelaksanaan Penetapan. Monitoring Pelaksanaan Penetapan dilakukan untuk menilai pelaksanaan Penetapan Komisi. Hasil Monitoring disusun dalam bentuk Laporan Pelaksanaan Penetapan yang sekurang-kurangnya memuat isi penetapan, pernyataan perubahan perilaku Terlapor dan bukti yang menjelaskan telah dilaksanakannya penetapan Komisi. Sekretariat Komisi menyampaikan dan memaparkan Laporan Pelaksanaan

Penetapan dalam suatu Rapat Komisi. Dalam hal Komisi menilai bahwa Terlapor telah melaksanakan Penetapan Komisi, maka Komisi menetapkan untuk menghentikan monitoring pelaksanaan penetapan dan tidak melanjutkan

(56)

176

ke Pemeriksaan Lanjutan. Sebaliknya apabila Komisi menilai bahwa Terlapor tidak melaksanakan Penetapan Komisi, maka Komisi menetapkan untuk menghentikan monitoring pelaksanaan penetapan dan menetapkan untuk melakukan Pemeriksaan Lanjutan.

Jadi Perubahan Perilaku ini hanya bisa dilakukan sebelum KPPU melakukan Pemeriksaan Lanjutan. Dalam Perkara ini, PT Pertamina (Persero) melakukan Pencabutan surat GM No. 058/E22000/2006-S3 dalam periode Pemeriksaan Lanjutan. Sehingga menurut penulis, Pencabutan surat ini tidak bisa dikategorikan sebagai Perubahan Perilaku. Oleh karena itu, pertimbangan Majelis Komisi yang menyatakan PT Pertamina tidak melanggar Pasal 25 ayat (1) huruf a karena telah mencabut surat GM No. 058/E22000/2006-S3 tidak tepat karena pencabutan surat tersebut tidak bisa dikategorikan sebagai „Perubahan Perilaku‟.

(57)

177

Pangsa Pasar PT. Telekomunikasi Selular (Telkomsel) pada pangsa pasar seluler sejak tahun 2001 sampai dengan tahun 2006 telah lebih dari 50%, dengan rata-rata sebesar 61,24%. Sehingga Majelis Komisi KPPU menyimpulkan bahwa Telkomsel memiliki

posisi dominan.

Putusan Majelis Komisi KPPU menyatakan bahwa Telkomsel tidak terbukti melakukan penyalahgunaan

posisi dominan sehingga tidak melanggar Pasal 25 ayat

(1) huruf b UU No 5 Tahun 1999. Dimana unsur pembatasan Pasar dan Teknologi tidak sepenuhnya terpenuhi, sebab yang terjadi hanya pembatasan pasar melalui hambatan interkoneksi namun tidak terjadi pembatasan pengembangan teknologi. Karena tidak dipenuhinya semua unsur membatasi pasar dan pengembangan teknologi, maka Majelis Komisi tidak perlu menilai dampak yang terjadi akibat terjadinya pembatasan pasar dan pengembangan teknologi.

Dari fakta-fakta di atas, menurut penulis ada dua hal yang menarik yaitu pertama, pemenuhan unsur pembatasan pasar saja tidak cukup menjerat pelaku usaha akan tetapi juga mesti harus diiringi pelanggaran lain yakni Unsur Pembatasaa Pengembangan Teknologi. Hal ini memang sesuai dengan rumusan Pasal 25 ayat (1) huruf b yang

(58)

178

menggunakan kata “dan”. Yang mana antar Pembatasan Pasar dan Pembatasan Pengembangan Teknologi harus bersatu atau beriringan dalam tindakan dan tidak boleh dipisahkan.

Kedua,Unsur yang berkaitan dengan dampak atau

akibat terjadinya pasar dan pengembangan ikut dianalisis. Dalam tataran teori pendekatan analisa terhadap pasal 25 mestinya dilakukan secara per se. Akan tetapi dalam menganalisis kasus ini, KPPU dapat juga menggunakan pendekatan secara rule of reason. Yang mana, pendekatan rule of reason ini mensyaratkan adanya dampak atau efek negatif dari suatu tindakan pelaku usaha, padahal dalam Pasal 25 ini tidak ada unsur atau kata “mengakibatkan”. Majelis Komisi berargumen bahwa Penggunaan pendekatan rule of reason adalah pendekatan

maximalist. Perspektif ini mendasarkan pada asumsi

bahwa kebijakan pelaku usaha seperti tercantum dalam Pasal 25 ayat (1) huruf a, b, atau c belum tentu dapat menimbulkan dampak negatif terhadap persaingan. Untuk itu perlu dibuktikan bahwa kebijakan pelaku usaha dimaksud menimbulkan atau berpontensi menimbulkan dampak negatif. Dalam perkara ini, Majelis Komisi menggunakan perspektif

(59)

179

9. Perkara No.09/KPPU-L/2009

PT. Carrefour Indonesia memiliki pangsa pasar lebih dari 50% (limapuluh persen), yaitu sebesar 57,99% (limapuluh tujuh koma sembilan puluh sembilan persen) pada pasar jasa hypermarket dan supermarket di seluruh wilayah Indonesia. Dengan demikian menurut Majelis Komisi KPPU, PT. Carrefour Indonesia memiliki posisi dominan.

Kemudian, dalam putusan Majelis Komisi KPPU menyatakan bahwa PT. Carrefour Indonesia terbukti

secara sah dan meyakinkan melakukan

penyalahgunaan posisi dominan sehingga melanggar

Pasal 25 ayat (1) huruf a UU No.5 Tahun 1999. Karena setiap tahun PT. Carrefour Indonesia membuat syarat perdagangan (trading terms) dalam suatu perjanjian nasional dengan para pemasok yang memuat syarat dan ketentuan bagi PT. Carrefour Indonesia dan pemasoknya dalam rangka melakukan pasokan barang kepada PT. Carrefour Indonesia. Pemasok dalam hal ini merupakan pemakai (konsumen) dari jasa ritel yang disediakan oleh hypermarket dan supermarket pada gerai-gerai dan sistem yang dimiliki oleh hypermarket dan supermarket untuk kepentingan pemasok tersebut. Adapun dampak dari penerapan

(60)

180

trading terms tersebut yaitu menyebabkan dampak

negatif terhadap persaingan.

Dengan demikian, Majelis Komisi KPPU menyimpulkan bahwa dampak syarat perdagangan (trading terms) yang diterapkan oleh Terlapor terhadap pemasok menimbulkan persaingan yang tidak sehat dan menghambat konsumen memperoleh barang dan jasa yang bersaing.

10. Perkara No.17/KPPU-I/2010

PT. Pfizer Indonesia (Terlapor) memiliki pangsa pasar lebih dari 50% untuk pasar bersangkutan obat anti hipertensi dengan zat aktif Amlodipine Besylate selama periode tahun 2000 – 2007. Dengan demikian, Majelis Komisi KPPU menilai bahwa PT. Pfizer Indonesia terbukti memiliki posisi dominan pada Pasal 25 ayat (2) huruf a.

Putusan Majelis Komisi KPPU menyatakan bahwa Terlapor terbukti secara sah dan meyakinkan

melakukan penyalahgunaan posisi dominan sehingga

melanggar Pasal 25 ayat (1) huruf a UU No 5 Tahun 1999. Oleh karena Terlapor telah menetapkan syarat-syarat perdagangan dengan tujuan untuk mencegah dan /ataumenghalangi konsumen memperoleh barang

(61)

181

dan/atau jasa yang bersaing. Syarat-syarat perdagangan yang dimaksud dalam hal ini adalah dalam program HCCP yang melibatkan dokter berpotensi melibatkan dokter dalam praktik penjualan obat resep secara tidak langsung. Dengan keterlibatannya tersebut preferensi dan objektivitas dokter dalam meresepkan obat kepada pasiennya khususnya Norvask akan terpengaruh. Meskipun program HCCP memberikan diskon kepada pasien, harga produk Norvask masih tetap lebih mahal dibandingkan rata-rata obat generik dalam pasar bersangkutan yang sama.

Berikut penulis menyatukan pertimbangan Majelis Komisi KPPU tentang posisi dominan dan penyalahgunaan posisi dominan dalam tabel 2 di bawah ini.

Tabel 2

Pertimbangan Majelis Komisi KPPU tentang Posisi Dominan Dan Penyalahgunaan Posisi Dominan Per

kar a No.

Posisi Dominan PD Penyalahgunaan Posisi Dominan PPD A d a T i d a k A d a T i d a k 03 thn 20 00 Pangsa pasar sebesar 50% PT. Indomarco Prismatama Tidak melanggar Pasal 25 ayat (1). Karena PT. Indomarco

(62)

182 (Terlapor) bukan satu satunya perusahaan pengecer yang mempunyai kemampuan keuangan lebih tinggi dibandingkan dengan perusahaan pengecer kecil yang lain (wilayah Jakarta, Bogor, Tangerang, dan Bekasi), akan tetapi masih terdapat beberapa perusahaan pengecer lainnya yang juga mempunyai kemampuan keuangan lebih tinggi dibanding pengecer kecil. Prismatama (Terlapor) tidak memiliki posisi dominan. Maka Majelis Komisi KPPU tidak perlu mempertimbangkan dugaan penyalahgunaan posisi dominan. 04 thn 20 03 Pangsa pasar sebesar 69,53% penguasaan produksi pelayanan bongkar muat petikemas. Terbukti melanggar Pasal 25 ayat (1) huruf c. PT.JICT melakukan penyalahgunaan posisi dominan dalam hal menghambat pelaku usaha lain yang berpotensi menjadi pesaing untuk memasuki pasar bersangkutan, yakni dengan menggunakan klausul 32.4 di dalam authorization agreement (Yang pada pokoknya menyatakan bahwa untuk mendapatkan

(63)

183

pelayanan bongkar muat petikemas di pelabuhan Tanjung Priok pelaku usaha lain (Segoro dan

MTI) harus

mengikatkan diri pada kontrak yang bersifat ekslusif. Tanpa adanya kontrak yang mengikat tersebut, maka pelaku usaha lain tidak akan dilayani 02 thn 20 04 Pangsa pasar sebesar <50% PT. Telkomsel pada pasar bersangkutan jasa telepon internasional yang diakses melalui jaringan tetap lokal nasional di Indonesia.

Tidak melanggar Pasal 25 ayat (1). Oleh karena unsur Pasal 25 ayat (2) sebagai persyaratan untuk mempertimbangkan pasal 25 ayat (1) tidak terpenuhi, maka Majelis Komisis KPPU berpendapat tidak perlu lagi mempertimbangkan unsur-unsur penyalahgunaan posisi dominan Pasal 25 ayat (1). 06 thn 20 04 Pangsa pasar sebesar 88,73% Pasar baterai manganese AA secara nasional. Terbukti melanggar Pasal 25 ayat (1) huruf a jo. ayat (2) huruf a. PT.ABC (Terlapor) telah menetapkan syarat-syarat perdagangan yang terkandung di dalam surat perjanjian PGK dimana salah satu

Referensi

Dokumen terkait

Hotel sebagai perusahaan jasa yang menjual barang yang tidak terlihat dan akhirnya mendapat penghasilan atau pendapatan dari penjualan atas jasa mereka tersebut,

pendapatnya di dalam kelompok tim ahli. Utusan kelompok tim ahli kembali ke kelompok asalnya dan menyampaikan hasil dari beberapa kelompok lain kepada

PIHAK KEDUA wajib menyerahkan hasil pekerjaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 kepada PIHAK KESATU dalam bentuk Laporan Akhir hasil pekerjaan yang harus memenuhi persyaratan

peluang untuk menguji Resistance dalam jangka pendek pada level harga 8950. Trading Range : 8700

Saat ini sudah terdapat studi yang meneliti pengaruh mata pisau potong pada mesin pencetak bakso terhadap bakso yang dihasilkan yaitu dengan cara mengganti mata

Untuk penelitian selanjutnya dilakukan dengan studi prospektif.Serta, waktu terjadinya perbaikan gambaran klinis demam pada anak dengan demam tifoid menunjukkan

30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi UU KPK bertentangan dengan UUD 1945, namun tetap mempunyai kekuatan hukum mengikat sampai diadakan perubahan

Dari perhitungan indeks produktivitas di PT Arta Boga Cemerlang periode 2015 hingga periode 2017 terlihat performansi dari PT Arta Boga Cemerlang untuk tenaga