commit to user
PENINGKATKAN KEMAMPUAN MENYELESAIKAN SOAL CERITA PECAHAN
MELALUI PENDEKATAN REALISTIC MATHEMATICS EDUCATION (RME)
PADA SISWA KELAS IV SD NEGERI 03 JATEN KARANGANYAR
TAHUN PELAJARAN 2010 / 2011
Oleh:
IKA SETYANINGSIH X7107035
SKRIPSI
Ditulis dan Diajukan Guna Memenuhi Sebagian Persyaratan Mendapatkan Gelar Sarjana Pendidikan Program Studi Pendidikan Guru Sekolah Dasar
Jurusan Ilmu Pendidikan
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA 2011
commit to user
ABSTRAK
Ika Setyaningsih. PENINGKATKAN KEMAMPUAN MENYELESAIKAN SOAL CERITA PECAHAN MELALUI PENDEKATAN REALISTIC MATHEMATICS EDUCATION (RME) PADA SISWA KELAS IV SD NEGERI 03 JATEN KARANGANYAR TAHUN PELAJARAN 2010 / 2011, Skripsi. Surakarta: Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta. 2011
Tujuan penelitian ini adalah untuk meningkatkan kemampuan siswa dalam menyelesaikan soal cerita pecahan di kelas IV SD Negeri 03 Jaten Karanganyar dengan pendekatan Realistic Mathematics Education (RME).
Variabel yang menjadi sasaran perubahan dalam penelitian tindakan kelas ini adalah peningkatan kemampuan siswa dalam menyelesaikan soal cerita pecahan, sedangkan variabel tindakan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan Realistic Mathematics Education (RME). Bentuk penelitian ini adalah penelitian tindakan kelas sebanyak 2 siklus. Tiap siklus terdiri dari 4 tahapan, yaitu : perencanaan, pelaksanaan tindakan observasi, dan refleksi. Sebagai subjek adalah siswa kelas IV SD Negeri 03 Jaten Karanganyar yang berjumlah 39 anak. Teknik pengumpulan data digunakan teknik observasi, tes, wawancara, dan dokumentasi. Teknik analisis data yang digunakan adalah model analisis interaktif yang mempunyai tiga buah komponen yaitu reduksi data, sajian data, dan penarikan kesimpulan atau verifikasi.
Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa pembelajaran matematika melalui pendekatan Realistic Mathematics Education (RME) efektif meningkatkan kemampuan siswa menyelesaikan soal cerita pecahan pada siswa kelas IV SD Negeri 03 Jaten Karanganyar. Hal ini terbukti pada kondisi awal sebelum dilaksanakan tindakan nilai rata-rata siswa 47,18 dengan persentase ketuntasan klasikal sebesar 33,33%, siklus I nilai rata-rata kelas 70,52 dengan persentase ketuntasan klasikal sebesar 71,79% dan siklus II nilai rata-rata kelas meningkat menjadi 81,54 dengan presentase ketuntasan klasikal sebesar 87,18%. Dengan demikian, dapat diajukan suatu rekomendasi bahwa pembelajaran matematika dengan menggunakan pendekatan Realistic Mathematics Education (RME) dapat meningkatkan kemampuan siswa menyelesaikan soal cerita pecahan pada siswa kelas IV SD Negeri 03 Jaten Karanganyar tahun pelajaran 2010/2011.
commit to user
ABSTRACT
Ika Setyaningsih. IMPROVING THE STUDENTS CAPABILITY IN SOLVING STORY PROBLEM OF FRACTION THROUGH REALISTIC MATHEMATICS EDUCATION (RME) APPROACH IN THE FOURTH GRADE STUDENTS OF SDN O3 JATEN KARANGANYAR IN ACADEMIC YEAR 2010/2011. Minithesis. Surakarta : Teacher Training and Educational Faculty.Sebelas Maret University. 2011.
The purpose of this research is to improve students capabiltiy in solving the story problem of fraction topic in fourth grade students of SDN 03 Jaten Karanganyar by using Realistic Mathematics Educational (RME) Aproach.
Variable as the target of the change of this research in improving the students capability in doing fraction story problem, while the action variable used is Realistic Mathematics Education (RME) approach. This research approach is classroom action research with two cycles. Each cycle is conducted 4 phases: planning, observation action realization and reflection. The subjects of this research is students ( 39 students ) of fourth grade of SDN 03 Jaten Karanganyar. Data of capability improvement of story problem finishing is collected techniques of this research are observation , test and documentation. The data was analyzed by using an interactive model with three components; data reduction, data presentation, and conclucion or verification.
Conclucion can be drawn based on the result of the research ; Mathematic learning through Realistic Mathematics Education (RME) aproach can improve the students capability to finish the fraction story problem of fourth grade students of SDN 03 Jaten Karanganyar. It is proven on the condition before the action where the average grade was 47.18 with the percentage of classical completeness is 33.33%, cycle 1 indicated the averaged grade of class is 70.52 with the classical completeness precentage of 71.79% and cycle II it increased become 81.54 with the classical completeness precentage of 87.18% Therefore a recommendation can be addressed that mathematic learning by using Realistic Mathematics Education (RME) approach can improve the students capability to finish the fraction story problem in fourth grade of SDN 03 Jaten karanganyar in 2010/2011 academic year.
commit to user
MOTTO
Untuk mencapai kesuksesan kita jangan hanya bertindak, tapi juga perlu
bermimpi, jangan hanya berencana tapi juga perlu untuk percaya.
( Anatole France)
Membenci orang lain, sama seperti membakar rumah sendiri demi mengusir tikus.
(Harry Emerson Fosdick )
Semua mimpi kita dapat menjadi nyata, jika kita memiliki keberanian untuk
mengejarnya.
( Penulis)
commit to user
PERSEMBAHAN
Dengan penuh cinta kasih teriring doa dan ungkapan syukur
kehadirat Allah SWT tak lupa Sholawat senantiasa Kulantunkan untuk-Mu
Kupersembahkan karya sederhana ini kepada :
Ayah dan Ibunda Tercinta
Dengan segala baktiku terima kasih atas kasih sayang
yang Ayah dan Ibu berikan padaku yang tak pernah terhenti untukku sampai
mengantarku menjadi seperti sekarang ini. Ayah menjadi inspirator hidupku untuk
lebih maju lagi, Ibu seorang motivator hidupku yang selalu memberi semangat
kekuatan lahir batin, menguatkan hati dan mentalku menghadapi cobaan hidup.
Doa-doa Ayah dan Ibu tulus terucap penuh harap agar aku dapat
menggapai cita-cita dan masa depanku nanti
Semua sahabat sejatiku dan keluarga besar SIBO7
Terima kasih selalu menemani dan tak jenuh memberikan semangat, dorongan
dan motivasi, semoga silaturahmi kita tetap terjaga
commit to user
KATA PENGANTAR
Puji syukur dipanjatkan ke hadirat Allah SWT atas rahmat dan karuniaNya
sehingga skripsi ini dapat diselesaikan.
Skripsi dengan judul Peningkatan Kemampuan Menyelesaikan Soal Cerita
Pecahan Melalui Pendekatan Realistic Mathematics Education (RME) Pada Siswa
Kelas IV SD Negeri 03 Jaten Karanganyar Tahun Pelajaran 2010/2011 ini
diajukan untuk memenuhi persyaratan mendapatkan gelar Sarjana Pendidikan.
Banyak hambatan dalam penulisan skripsi ini, namun berkat bantuan dari
berbagai pihak maka hambatan ini dapat diatasi. Oleh sebab itu pada kesempatan
yang baik ini diucapkan terima kasih yang tulus kepada :
1. Prof.Dr.HM. Furqon Hidayatullah, M.Pd. selaku Dekan Fakultas
Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta.
2. Drs. Rusdiana Indianto, M.Pd selaku Ketua Jurusan Ilmu Pendidikan
Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret
Surakarta.
3. Drs. Kartono, M.Pd. selaku Ketua Program Studi PGSD Fakultas
Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta.
4. Drs. Hasan Mahfud, M.Pd. selaku Sekretaris Program Studi PGSD
Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret
Surakarta.
5. Dr. Peduk Rintayati, M.Pd. selaku Pembimbing I yang telah memberikan
bimbingan dan pengarahan dalam penyusunan skripsi ini.
6. Dra. Sularmi, M.Pd. selaku Pembimbing II yang telah memberikan
dorongan, semangat dan bimbingan dalam penyusunan skripsi ini.
7. Hj. Endang Widowati, S.Pd selaku kepala sekolah SD Negeri 03 Jaten
Karanganyar yang telah memberikan ijin penelitian.
8. Widodo, A.Ma.Pd selaku guru kelas IVA yang telah merelakan waktunya
untuk berkolaborasi dengan peneliti dalam penelitian.
commit to user
9. Semua pihak yang telah membantu dalam menyelesaikan penulisan skripsi
ini.
Disadari bahwa dalam penulisan skripsi ini masih jauh dari sempurna, untuk
itu kritik dan saran yang membangun dari pembaca sangat diharapkan. Semoga
skripsi ini bermanfaat bagi perkembangan ilmu pengetahuan dan dapat menjadi
bahan bacaan yang menarik dan mudah dipahami.
Surakarta, April 2011
Penulis
commit to user
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ... i
HALAMAN PERSETUJUAN ... ii
HALAMAN PENGESAHAN ... iii
HALAMAN ABSTRAK ... iv
HALAMAN MOTTO ... vi
HALAMAN PERSEMBAHAN ... vii
KATA PENGANTAR ... viii
DAFTAR ISI ... x
DAFTAR TABEL ... xii
DAFTAR GAMBAR ... xiii
DAFTAR LAMPIRAN ... xiv
BAB I PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang ... 1
B. Perumusan Masalah ... 5
C. Tujuan Penelitian ... 5
D. Manfaat Penelitian ... 5
BAB II LANDASAN TEORI... 7
A. Kajian Pustaka ... 7
1. Hakikat Kemampuan Menyelesaikan Soal Cerita Pecahan.. ... 7
2. Hakikat Pendekatan Realistic Mathematics Education(RME) .. 18
B. Hasil Penelitian yang Relevan ... 32
C. Kerangka Berfikir ... 33
D. Pengajuan Hipotesis Tindakan ... 34
BAB III METODE PENELITIAN ... 35
A. Tempat dan Waktu Penelitian ... 35
B. Subjek dan Objek Penelitian ... 35
C. Bentuk Penelitian ... 35
D. Sumber Data ... 36
E. Teknik Pengumpulan Data ... 36
commit to user
F. Validitas Data ... 38
G. Teknik Analisis Data ... 38
H. Prosedur Penelitian ... 40
I. Indikator Ketercapaian... 45
BAB IV HASIL PENELITIAN ... 46
A. Diskripsi Lokasi Penelitian ... 46
B. Diskripsi Permasalahan Penelitian ... 47
1. Diskripsi Pra Siklus ... 47
2. Diskripsi Siklus I ... 49
3. Diskripsi Siklus II ... 60
C. Diskripsi Hasil Penelitian ... 73
D. Pembahasan Hasil Penelitian ... 75
BAB V SIMPULAN, IMPLIKASI, DAN SARAN ... 78
A. Simpulan... 78
B. Implikasi ... 78
C. Saran ... 80
DAFTAR PUSTAKA ... 82
LAMPIRAN ... 85
commit to user
DAFTAR TABEL
Tabel 1. Hasil Evaluasi Nilai Pra Siklus ... 47
Tabel 2. Hasil Tes Pra Siklus ... 49
Tabel 3. Hasil Observasi Aktivitas Guru siklus I ... 54
Tabel 4. Hasil Observasi Aktivitas Siswa Siklus I ... 55
Tabel 5. Hasil Evaluasi Nilai Siklus I ... 57
Tabel 6. Perkembangan Nilai Pra Siklus dan Siklus I ... 59
Tabel 7. Hail Observasi Aktiviyas Guru Siklus II ... 66
Tabel 8. Hasil Observasi Aktivitas Siswa Siklus II ... 67
Tabel 9. Hasil Evaluasi Nilai Siklus II ... 69
Tabel 10. Perkembangan Nilai Siklus I dan Siklus II ... 71
Tabel 11. Perkembangan Nilai Pra Siklus, Siklus I, dan Siklus II ... 76
commit to user
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. Kerangka Berpikir ... 34
Gambar 2. Model Analisis Interaktif Miles dan Huberman ... 40
Gambar 3. Siklus Penelitian Tindakan Kelas ... 41
Gambar 4. Grafik Data Nilai Pra Siklus ... 48
Gambar 5. Grafik Data Nilai Siklus I... 57
Gambar 6. Grafik Pekembangan Nilai Pra Siklus dan Siklus I... 59
Gambar 7. Grafik Data Nilai Siklus II ... 69
Gambar 8. Grafik Perkembangan Nilai Siklus I dan siklus II... 72
Gambar 9. Grafik Perkembangan Nilai Pra Siklus, Siklus I, dan siklus II ... 77
commit to user
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Jadwal Waktu Penelitian ... 85
Lampiran 2. Pedoman Wawancara Untuk Guru Sebelum Penerapan RME ... 86
Lampiran 3. Pedoman Wawancara Untuk Guru Setelah Penerapan RME ... 87
Lampiran 4. Silabus Kelas IV ... 89
Lampiran 5. Rencana Pelaksanaan Pembelajaran Siklus I ... 91
Lampiran 6. Rencana Pelaksanaan Pembelajaran Siklus II ... 103
Lampiran 7. Lembar Observasi Kinerja Guru Siklus I Pertemuan 1 ... 115
Lampiran 8. Lembar Observasi Aktivitas Siswa Siklus I Pertemuan 1 ... 119
Lampiran 9. Lembar Observasi Kinerja Guru Siklus I Pertemuan 2 ... 122
Lampiran 10. Lembar Observasi Aktivitas Siswa Siklus I Pertemuan 2 ... 126
Lampiran 11. Lembar Observasi Kinerja Guru Siklus II Pertemuan 1 ... 129
Lampiran 12. Lembar Observasi Aktivitas Siswa Siklus II Pertemuan 1 ... 133
Lampiran 13. Lembar Observasi Kinerja Guru Siklus II Pertemuan 2 ... 136
Lampiran 14. Lembar Observasi Aktivitas Siswa Siklus II Pertemuan 2 ... 140
Lampiran 15. Tes Pra-Siklus ... 143
Lampiran 16. LKS dan Tugas Siklus I Pertemuan 1... 144
Lampiran 17. LKS dan Tugas Siklus I Pertemuan 2... 148
Lampiran 18. LKS dan Tugas Siklus II Pertemuan 1 ... 152
Lampiran 19. LKS dan Tugas Siklus II Pertemuan 2 ... 156
Lampiran 20. Perolehan Hasil Tes Evaluasi Pra-Siklus ... 160
Lampiran 21. Perolehan Hasil Tes Evaluasi Siklus I ... 162
Lampiran 22. Perolehan Hasil Tes Evaluasi Siklus II ... 164
Lampiran 23. Kisi-Kisi soal ... 166
Lampiran 24. Foto Kegiatan Pembelajaran... 169
Lampiran 25. Surat Ijin Penelitian ... 176
commit to user
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Seiring dengan perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi yang
semakin pesat, pelaksanaan pendidikan perlu ditingkatkan baik pendidikan
nonformal (masyarakat), pendidikan formal (sekolah) maupun pendidikan
informal (keluarga). Terutama pendidikan formal yang memberikan kontribusi
yang cukup besar pada seseorang dalam hal kemampuan akademis, sehingga
berbagai upaya meningkatkan baik kualitas maupun kuantitas pendidikan sangat
diperlukan.
Kalangan dunia pendidikan menyadari bahwa proses pembelajaran akan
lebih efektif apabila siswa berpartisipasi aktif dalam proses pembelajaran. Dengan
berpartisipasi, siswa akan mengalami, menghayati, dan menarik dirinya untuk
membelajarkan suatu pelajaran. Hasil belajar yang demikian akan lebih baik,
disamping tentu saja kualitas siswa dibina dan dikembangkan.
Kegiatan pembelajaran di sekolah dapat berlangsung dengan baik,
apabila ada komunikasi timbal balik antara guru dengan siswa. Oleh karena itu,
komunikasi harus diciptakan sehingga pesan yang disampaikan dalam bentuk
materi pelajaran dapat diterima oleh siswa. Guru diharapkan mampu membimbing
aktivitas dan kreativitas siswa dalam mencapai tujuan pembelajaran dengan
menggunakan model pembelajaran atau pendekatan yang sesuai.
Matematika sebagai salah satu ilmu dasar yang memiliki ciri objek yang
abstrak, pola pikir deduktif dan konsisten, juga tidak dapat dipisahkan dari
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Terbukti dengan banyaknya
permasalahan dalam kehidupan sehari-hari yang berhubungan dengan Matematika
dan pembahasannya. Pentingnya belajar Matematika tidak lepas dari perannya
dalam segala jenis dimensi kehidupan. Banyak persoalan kehidupan yang
memerlukan kemampuan menghitung dan mengukur. Menghitung mengarah pada
aritmatika dan mengukur mengarah pada geometri merupakan fondasi atau dasar
dari Matematika.Menurut GBPP mata pelajaran Matematika di SD (1994:70),
commit to user
tujuan khusus pengajaran Matematika yaitu menumbuhkan dan mengembangkan
ketrampilan berhitung sebagai alat dalam kehidupan sehari-hari serta
mengembangkan pengetahuan dasar Matematika untuk bekal belajar lebih lanjut.
Namun kenyataannya menunjukkan bahwa masih banyak siswa sekolah dasar
yang masih rendah kemampuan berhitungnya. Berbagai persepsi mengenai mata
pelajaran Matematika menjadi beban psikologis yang menjangkiti para siswa di
setiap jenjang pendidikan. Matematika menjadi ditakuti karena dianggap sulit.
Hampir semua pokok bahasan dalam mata pelajaran Matematika selalu
ada soal cerita. Sebuah model soal sering menjadi momok bagi sebagian besar
siswa. Oleh karena itu, maka setiap guru mata pelajaran Matematika perlu
berusaha mencari gagasan guna mencari solusinya agar siswa tidak merasa
kesulitan dalam mengerjakan soal yang berbentuk cerita.
Pada umumnya siswa mengalami hambatan ketika mereka diberi tugas
oleh guru untuk menyelesaikan soal cerita. Mereka mengalami kesulitan dalam
memahami soal dan membuat kalimat Matematikanya. Fenomena semacam ini
terjadi di SD Negeri 03 Jaten Karanganyar, dari hasil wawancara dengan guru
kelas IV SD Negeri 03 Jaten dan dikuatkan oleh hasil observasi peneliti di kelas
IVA menunjukkan bahwa kemampuan siswa dalam menyelesaikan soal cerita
pokok bahasan pecahan tergolong masih rendah. Hal ini teridentifikasi dari tahun–
tahun sebelumnya yang menunjukkan nilai yang dicapai siswa masih rendah, dan
dikuatkan oleh hasil tes awal yang diberikan guru yang menunjukkan bahwa nilai
rata-rata siswa dalam menyelesaikan soal cerita pecahan mencapai 47,18 dan
siswa yang tuntas hanya 13 siswa atau 33,33 % dari 39 siswa, jadi 26 siswa atau
66,67% masih mendapatkan nilai di bawah KKM (Kriteria Ketuntasan Minimal).
Fakta diatas menunjukkan kualitas proses dan hasil pembelajaran yang
dilaksanakan guru masih kurang optimal dan tidak sesuai harapan. Menurut hasil
pengamatan peneliti dan wawancara dengan guru di SD Negeri 03 Jaten,
rendahnya kemampuan menyelesaikan soal cerita pada pokok bahasan pecahan ini
disebabkan oleh beberapa faktor yaitu (a) kesulitan memahami soal cerita yang
terdiri dari kesulitan menentukan yang diketahui dan ditanyakan dari soal pecahan
commit to user
yang lemah dan kurangnya diberi latihan soal cerita dengan langkah
penyelesainya; (b) kesulitan membuat kalimat Matematika yang terdiri dari
kesulitan dalam menuliskan langkah penyelesaian yang jelas karena siswa kurang
memperhatikan kejelasan langkah jawabannya dan terbiasa menjawab hanya
langsung hitung saja; (c) kesulitan dalam menyelesaikan soal pecahan yang
disebabkan siswa kurang memahami konsep pecahan; (d) kesulitan menyelesaikan
soal pecahan yang senilai yang disebabkan siswa kurang paham konsep pecahan
senilai juga kurangnya latihan soal; dan (e) guru belum menemukan metode atau
pendekatan yang tepat untuk mengajarkan materi secara menarik dan
menyenangkan bagi siswa.
Berbagai hal yang muncul tersebut terkait dengan kesulitan siswa dalam
menyelesaikan soal cerita pecahan. Untuk itu perlu diterapkan suatu keadaan yang
membangun motivasi siswa untuk belajar dikarenakan apabila kesulitan siswa
tidak diatasi maka siswa akan mengalami kesulitan dalam menyelesaikan soal
cerita pecahan di jenjang kelas selanjutnya. Salah satu cara untuk membangun
motivasi siswa untuk belajar tersebut adalah dengan menerapkan metode atau
pendekatan yang efektif dan dapat menunjang kegiatan pembelajaran.
Metode atau pendekatan pembelajaran yang bermacam-macam
menyebabkan guru harus selektif dalam memilih metode pembelajaran yang
digunakan. Metode atau pendekatan yang efektif untuk mengajarkan suatu materi
belum tentu efektif untuk mengajarkan materi lain. Setiap materi mempunyai
karakteristik dan turut menentukan metode yang digunakan untuk menyampaikan
materi tersebut. Begitu pula dalam pembelajaran soal cerita pecahan, guru harus
bisa memilih dan menggunakan metode atau pendekatan yang sesuai dengan
materi yang diajarkan.
Pendekatan Realistic Mathematic Education (RME) di Indonesia dikenal
dengan istilah Pendidikan Matematika Realistik Indonesia (PMRI). Menurut
Supinah & Agus D.W (2009:71) secara garis besar PMRI atau RME adalah suatu
teori pembelajaran yang telah dikembangkan khusus untuk matematika. Konsep
matematika realistik ini sejalan dengan kebutuhan untuk memperbaiki pendidikan
commit to user
meningkatkan pemahaman siswa tentang matematika dan mengembangkan daya
nalar.
Pendekatan ini dipandang sebagai pendekatan yang banyak memberikan
harapan bagi peningkatan hasil pembelajaran matematika. Pendekatan ini
didasarkan pada anggapan Hans Freudental dalam Nyimas Aisyah, dkk (2007:7-3)
bahwa matematika harus dikaitkan dengan realita dan matematika merupakan
aktivitas manusia. Ini berarti matematika harus dekat dengan anak dan relevan
dengan kehidupan nyata sehari-hari. Menurut pendekatan ini kelas Matematika
bukan merupakan tempat memindahkan Matematika dari guru kepada siswa,
tetapi tempat siswa menemukan kembali konsep Matematika melalui eksplorasi
masalah-masalah nyata. Masalah ini bukan masalah yang selalu kongkrit dilihat
oleh mata tetapi termasuk hal–hal yang mudah di bayangkan oleh siswa. Siswa
tidak dipandang sebagai penerima pasif, tetapi harus diberi kesempatan untuk
menemukan kembali ide dan konsep matematika di bawah bimbingan guru. Selain
itu, dalam penerapannya RME (PMR) memadukan berbagai pendekatan
pembelajaran lain yang dianggap unggul seperti pemecahan masalah,
konstruktivisme, dan pendekatan pembelajaran yang berbasis lingkungan
(Suwarsono, 2001: 5-7).
RME mampu membuat siswa aktif dan guru hanya berperan sebagai
fasilisator, motivator, dan pengelola kelas yang dapat menciptakan suasana belajar
yang menyenangkan. Setiap siswa bebas mengemukakan dan
mengkomunikasikan idenya dengan siswa lain. RME sangat membantu siswa
untuk berpikir dari hal yang konkrit ke hal yang abstrak. Hal ini membuat
pemahaman dan penguasaan siswa terhadap suatu konsep matematika dapat
ditingkatkan sehingga kemampuan siswa dalam menyelesaikan masalah-masalah
yang berkaitan dengan soal cerita Matematika juga akan lebih meningkat.
Dari gambaran di atas menunjukkan bahwa pembelajaran Matematika
perlu diperbaiki guna peningkatan kemampuan menyelesaikan soal cerita.
Mengingat pentingnya Matematika dan kompleksitas permasalahan dalam
Matematika. Idealnya usaha ini dimulai dari pembenahan proses pembelajaran
commit to user
dapat lebih membuat siswa aktif dalam pembelajaran pada umumnya dan
meningkatkan kemampuan menyelesaikan soal cerita pada khususnya. Salah satu
cara menerapkan pendekatan pembelajaran realistik (RME / Realistic Mathematic
Education).
Sehubungan dengan latar belakang di atas, peniliti tertarik untuk
melakukan Penelitian Tindakan Kelas dengan judul “Peningkatan Kemampuan
Menyelesaikan Soal Cerita Pecahan Melalui Pendekatan Realistic
Mathematic Education (RME) Pada Siswa Kelas IV SD Negeri 03 Jaten
Karanganyar Tahun Pelajaran 2010/2011”.
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang diuraikan diatas dapat
dirumuskan masalah sebagai berikut, “Apakah penggunaan pendekatan Realistic
Mathematic Education (RME) dapat meningkatan kemampuan siswa dalam
menyelesaikan soal cerita pecahan di kelas IV SD Negeri 03 Jaten Karanganyar
tahun pelajaran 2010 / 2011 ?”
C. Tujuan Penelitian
Sesuai dengan judul penelitian ini, tujuan penelitian yang dilakukan adalah
sebagai berikut :
Untuk meningkatan kemampuan siswa dalam menyelesaikan soal cerita pecahan
melalui pendekatan Realistic Mathematic Education (RME) pada siswa kelas IV
SD Negeri 03 Jaten Karanganyar tahun pelajaran 2010 / 2011.
D. Manfaat Penelitian 1. Teoretis
a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan
dan masukan bagi penelitian sejenis.
2. Praktis
commit to user
Memberikan masukan kepada kepala sekolah tentang pendekatan Realistic
Mathematic Education (RME), sehingga dapat mengarahkan pada guru
supayamempraktekkannya.
b. Bagi Guru
1) Memperoleh sumbangan pemikiran dalam proses pembelajaran
Matematika terutama pada soal cerita pokok bahasan pecahan.
2) Memberikan informasi bagi guru untuk menentukan metode atau
pendekatan pembelajaran yang tepat demi meningkatnya kemampuan
siswa dalam menyelesaikan soal cerita pokok bahasan pecahan.
3) Sebagai masukan bagi guru untuk melibatkan siswa secara aktif
sehingga berdampak pada meningkatnya kualitas pembelajaran.
c. Bagi Siswa
Meningkatkan kemampuan siswa dalam memahami dan menyelesaikan
soal cerita pokok bahasan pecahan.
d. Bagi Sekolah
Memberika sumbangan untuk meningkatkan kualitas pendidikan melalui
commit to user
BAB II
LANDASAN TEORI A.Kajian Pustaka
1. Hakikat Kemampuan Menyelesaikan Soal Cerita Pecahan a. Hakikat Kemampuan Menyelesaikan Soal Cerita
Sesuai dengan pembentukan kata kemampuan berasal dari kata
dasar “mampu” yang berarti bisa atau sanggup
(http://www.artikata.com/arti-mampu.php diakses pada 1 Maret 2011).
Kemampuan adalah suatu kesanggupan dalam melakukan sesuatu.
Seseorang dikatakan mampu apabila ia bisa melakukan sesuatu yang
harus ia lakukan. Menurut Chaplin ability (kemampuan, kecakapan,
ketangkasan, bakat, kesanggupan) merupakan tenaga (daya kekuatan)
untuk melakukan suatu perbuatan, sedangkan menurut Robbins
kemampuan bisa merupakan kesanggupan bawaan sejak lahir, atau
merupakan hasil latihan atau praktek (http://www.digilib.petra.ac.id
diakses pada 4 Januari 2011).
Akhmat Sudrajat menghubungkan kemampuan dengan kata
kecakapan. Setiap individu memiliki kecakapan yang berbeda-beda
dalam melakukan suatu tindakan. Kecakapan ini mempengaruhi
potensi yang ada dalam diri individu tersebut. Proses pembelajaran
mengharuskan siswa mengoptimalkan segala kecakapan yang dimiliki
(http://www.akhmadsudrajat.wordpress.com diakses pada 4 Januari
2011).
Jadi kemampuan adalah suatu kesanggupan dalam melakukan
sesuatu. Setiap individu memiliki kemampuan yang berbeda – beda
dalam melakukan suatu tindakan. Kemampuan ini mempengaruhi potensi
yang ada dalam diri individu.
Menyelesaikan adalah (1) menyudahkan (menyiapkan) pekerjaan
dsb, menyempurnakan (kalimat dsb); (2) menjadikan berakhir;
menamatkan (http://www.artikata.com/arti-377303-menyelesaikan.php
commit to user
diakses pada 1 Maret 2011). Menyelesaikan merupakan suatu tindakan
yang dilakukan oleh seseorang untuk mengakhiri suatu pekerjaan yang
telah dimulainya.
Soal cerita adalah persoalan dalam Matematika yang biasanya
diwujudkan dalam kalimat dimana di dalam kalimat tersebut tersembunyi
suatu persoalan (permasalahan). Soal cerita merupakan salah satu bentuk
dari soal tes uraian dimana tes uraian ini akan berfungsi untuk
mendiagnosis kesulitan yang dialami siswa. Permasalahan matematika
yang berkaitan dengan kehidupan nyata biasanya dituangkan melalui
soal-soal berbentuk cerita (verbal).
Menurut Abidia dalam Marsudi Raharjo (2009: 2), soal cerita
adalah soal yang disajikan dalam bentuk cerita pendek. Cerita yang
diungkapkan dapat merupakan masalah kehidupan sehari-hari atau
masalah lainnya. Bobot masalah yang diungkapkan akan mempengaruhi
panjang pendeknya cerita tersebut. Makin besar bobot masalah yang
diungkapkan, memungkinkan semakin panjang cerita yang disajikan.
Sementara itu, menurut Haji dalam Marsudi Raharjo (2009 : 2), soal yang
dapat digunakan untuk mengetahui kemampuan siswa dalam bidang
Matematika dapat berbentuk cerita dan soal bukan cerita/soal hitungan.
Dalam hal ini, soal cerita merupakan modifikasi dari soal-soal perhitungan
yang berkaitan dengan kenyataan yang ada di lingkungan siswa. Soal
cerita yang dimaksudkan dalam penelitian ini adalah soal Matematika
yang berbentuk cerita yang terkait dengan berbagai pokok bahasan yang
diajarkan pada mata pelajaran Matematika.
Dalam soal cerita siswa dituntut kemampuannya untuk
mengorganisir jawaban yang meliputi beberapa langkah yang harus
dilakukan sehingga soal cerita dapat digunakan sebagai indikator
ketidakmampuan/kesulitan yang dialami siswa dalam menyelesaikan
commit to user
Haji dalam Marsudi Raharjo (2009: 2) mengungkapkan bahwa
untuk menyelesaikan soal cerita dengan benar diperlukan kemampuan
awal, yaitu kemampuan untuk:
1) menentukan hal yang diketahui dalam soal,
2) menentukan hal yang ditanyakan,
3) membuat model matematikanya,
4) melakukan perhitungan,
5) menginterpretasikan jawaban model kepermasalahan semua.
Hal ini sejalan dengan langkah menyelesaikan soal cerita
sebagaimana yang dituangkan dalam Pedoman Umum Matematika
Sekolah Dasar dalam Marsudi Raharjo (2009: 2), yaitu:
1) membaca soal dan memikirkan hubungan antara bilangan-bilangan
yang ada dalam soal,
2) menuliskan kalimat matematika,
3) menyelesaikan kalimat matematika, dan
4) menggunakan penyelesaian untuk menjawab pertanyaan.
Dari kedua pendapat di atas terlihat bahwa hal yang paling utama
dalam menyelesaikan suatu soal cerita adalah pemahaman terhadap suatu
masalah sehingga dapat dipilah antara yang diketahui dengan yang
ditanyakan. Hudoyo dan Surawidjaja dalam Marsudi Raharjo (2009: 3)
memberikan petunjuk:
1) baca dan bacalah ulang masalah tersebut,
2) pahami kata demi kata, kalimat demi kalimat,
3) identifikasikan apa yang diketahui dari masalah tersebut,
4) identifikasikan apa yang hendak dicari,
5) abaikan hal-hal yang tidak relevan dengan permasalahan, dan
6) jangan menambahkan hal-hal yang tidak ada sehingga masalahnya
menjadi berbeda dengan masalah yang dihadapi.
Pendapat-pendapat di atas sejalan dengan pendapat Soedjadi
commit to user
Matematika umumnya dan terutama soal cerita dapat ditempuh
langkah-langkah:
1) membaca soal dengan cermat untuk menangkap makna tiap kalimat,
2) memisahkan dan mengungkapkan apa yang diketahui dalam soal, apa
yang diminta/ditanyakan dalam soal, operasi pengerjaan apa yang
diperlukan,
3) membuat model Matematika dari soal,
4) menyelesaikan model menurut aturan-aturan matematika sehingga
mendapatkan jawaban dari model tersebut, dan
5) menuliskan jawaban akhir sesuai dengan permintaan soal.
Dari pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa apabila siswa tidak
mampu/salah dalam menyelesaikan masing-masing tahap diatas maka
hasil akhir dari penyelesaian soal cerita akan salah.
Dari berbagai uraian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa
kemampuan menyelasaikan soal cerita merupakan suatu kesanggupan,
kecakapan, kekuatan, atau potensi diri sendiri yang dimiliki oleh seseorang
untuk mengakhiri persoalan dalam Matematika yang tersembunyi didalam
suatu kalimat dengan segala pengetahuan dan pengalaman yang dimiliknya
terdahulu atau sebelumnya.
b. Hakikat Pecahan dalam Pembelajaran Matematika 1) Pengertian Pembelajaran
Pembelajaran berasal dari kata belajar, merupkan kegiatan untuk
mengubah seseorang dari tidak tahu menjadi tahu, dari tidak bisa menjadi
bisa baik perubahan dari segi kognitif, afektif dan psikomotorik. Belajar
juga untuk memproleh pengalaman-pengalaman dan pengetahuan yang
berguna bagi dirinya.
Sedangkan pembelajaran merupakan upaya sistematis untuk
memfasilitasi dan meningkatkan proses belajar. Menurut Corey dalam
Nyimas Aisyah (2007.1.3) Pembelajaran adalah suatu proses dimana
lingkungan seseorang secara sengaja dikelola untuk memungkinkan ia
commit to user
terhadap situasi tertentu. Menurut Oemar Hamalik (1999:57)
pembelajaran adalah suatu kombinasi yang tersusun meliputi unsur-unsur
manusiawi, material, fasilitas, perlengkapan dan prosedur yang saling
mempengaruhi mencapai tujuan pembelajaran. Suprapto (2003:9)
berpendapat bahwa pembelajaran didefinisikan sebagai suatu sistem atau
proses membelajarkan subjek didik yang direncanakan atau didesain,
dilaksanakan, dan dievaluasi secara sistematis agar subjek didik dapat
mencapai tujuan-tujuan pembelajaran secara efektif dan efisien.
Pembelajaran adalah usaha sadar guru untuk membantu siswa, agar
mereka dapat belajar sesuai dengan kebutuhan dan minatnya
(http://www.google.co.id/gwt/n?q=pengertian+pembelajaran&
hl/frustanti.html diakses pada 5 Januari 2011).
Dari pengertian–pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa
pembelajaran adalah suatu proses yang sengaja menciptakan suatu
lingkungan sehingga terjadi proses belajar secara efektif dan efisien.
2) Pengertian Matematika
Dalam Ensiklopedia Indonesia (2005:251), Istilah Matematika
berasal dari bahasa Yunani “Mathematikos” secara ilmu pasti, atau “Mathesis” yang berarti ajaran, pengetahuan abstrak dan deduktif,
dimana kesimpulan tidak ditarik berdasarkan pengalaman keindraan,
tetapi atas kesimpulan yang ditarik dari kaidah–kaidah tertentu melalui
deduksi. Pada hakikatnya matematika merupakan ilmu deduktif yang
mana tidak menerima generalisasi yang berdasarkna pada observasi,
eksperimen, coba-coba sebagaimana ilmu pengetahuan yang lain.
Melainkan kebenaran dalam generalisasi matematika harus dapat
dibuktikan secara deduktif (http: //www.google.co.id/ gwt/n?eos r= on &
q= Hakikat +Belajar+Matematika diakses pada 5 Januari 2011).
Menurut Johnson dan Myklebust dalam Mulyono Abdurrahman
(2003:252), Matematika adalah bahasa simbolis yang fungsi praktisnya
untuk mengekspresikan hubungan-hubungan kuantitatif dan keruangan,
commit to user
Menurut Johnson dan Myklebust dalam Mulyono Abdurrahman
(2003:252), Matematika disamping sebagai bahasa simbolis juga
merupakan bahasa universal yang memungkinkan manusia memikirkan,
mencatat, dan mengkomunikasikan ide mengenahi elemen dan kuantitas.
Taylor dan Francis Group (2008) dalam International Journal of Education in Science and Technology: Mathematics is pervanding every study and technique in our modern world. Bringing ever more sharpy into focus the responsibilities laid upon those whose task it is to tech it. Most prominent among these is the difficulty of presenting an interdisciplinary approach so that one professional group may benefit from the experience of others. Matematika mencakup setiap pelajaran dan teknik di dunia modern ini. Matematika memfokuskan pada teknik pengerjaan tugastugasnya. Hal yang sangat mencolok yaitu mengenai kesulitan dalam mengaplikasi pendekatan interdisciplinary (antar cabang ilmu pengetahuan), oleh karena itu para pakar bisa memperoleh pengetahuan dari cabang ilmu lain. (www.tandf.co.uk/.../0020739x.asp diakses pada 29 Desember 2010)
Berdasarkan pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa
Matematika adalah ilmu deduktif dan universal yang mengkaji benda
abstrak, disusun dengan menggunakan bahasa simbol untuk
mengekspresikan hubungan kuantitatif dan keruangan yang mendasari
perkembangan teknologi modern dan memajukan daya pikir manusia
serta berguna untuk memecahkan masalah dalam kehidupan sehari-hari.
3) Pembelajaran Matematika
Menurut Nyimas Aisyah (2007:1.4) Pembelajaran Matematika
adalah proses yang sengaja dirancang dengan tujuan untuk menciptakan
suasana lingkungan (kelas/sekolah) yang memungkinkan kegiatan siswa
belajar Matematika di sekolah. Menurut Bruner dalam Nyimas Aisyah
(2007:21.5) Pembelajaran Matematika adalah pembelajaran mengenai
konsep-konsep dan struktur-struktur Matematika yang terdapat di dalam
materi yang dipelajari serta mencari hubungan antara konsep-konsep dan
struktur-struktur Matematika itu. Sistem matematika berisikan
model-model yang dapat digunakan untuk mengatasi persoalan-persoalan nyata.
Manfaat lain yang menonjol adalah matematika dapat membentuk pola
commit to user
sistematis, logis, kritis dengan penuh kecermatan (http://
www.google.co.id/ gwt/ n?u=http// www.banjar-.go.id diakses pada 29
Desember 2010).
Berdasarkan pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa
pembelajaran Matematika adalah proses yang dirancang dengan tujuan
untuk menciptakan suasana yang memungkinkan siswa mempelajari
hubungan antara konsep-konsep dan struktur-struktur Matematika.
4) Teor Belajar dalam Pembelajaran Matematika
Menurut Nyimas Aisyah (2007:1.4), pembelajaran matematika adalah
proses yang sengaja dirancang dengan tujuan untuk menciptakan suasana
lingkungan yang memungkinkan seseorang (pelajar) melaksanakan
kegiatan belajar matematika dan proses tersebut berpusat pada guru.
Supaya dalam pembelajaran matematika dapat mencapai tujuan maka
perlu memperhatikan teori belajar dalam pembelajaran matematika
menurut para ahli.
Menurut Brunner dalam Nyimas Aisyiah (2007:1.5) menyatakan, bahwa
dalam belajar Matematika ada tiga tahapan yaitu : a) Enaktif, b) Ikonik,
c) Simbolik.
a) Enaktif
Dalam tahap ini penyajian yang dilakukan melalui tindakan anak
secara langsung terlibat langsung dalam memanipulasi
(mengotak-atik) objek. Anak belajar sesuatu pengetahuan yang dipelajari secara
aktif, dengan menggunakan benda-benda konkret (nyata). Dalam
tahap ini anak memahami sesuatu dari berbuat atau melakukan
sesuatu tanpa menggunakan imajinasinya atau kata-kata.
b) Ikonik
Tahap Ikonik yaitu suatu tahap pembelajaran sesuatu pengalaman
yang dipresentasikan (diwujudkan) dalam bentuk bayangan visual
(visual imaginary), gambar atau diagram yang menggambarkan
commit to user
c) Simbolik
Dalam tahap ini anak memanipulasi simbol-simbol atau
lambang-lambang objek tertentu. Anak sudah mampu menggunakan notasi
tanpa tergantung pada objek nyata. Pembelajaran direprentasikan
dalam bentuk simbol-simbol arbiter yang dipakai berdasarkan
kesepakatan orang-orang dalam bidang yang bersangkutan, baik
simbol verbal, lambang-lambang matematika maupun lambang
abstrak yang lain.
Dari teori pembelajaran matematika di atas dapat disimpulkan
bahwa pembelajaran matematika di SD pada dasarnya berawal dari
konkrit ke abstrak dan dari sederhana ke kompleks.
5) Hakikat Pecahan
a) Pengertian Pecahan
Pecahan menurut Moch Ichsan dalam bukunya yang berjudul
Pembelajaran Pecahan di SD adalah: (1) bilangan yang digunakan
untuk menyatakan bagian-bagian benda utuh yang dibagi menjadi dua
bagian–bagian yang sama besar (panjang, luas, dan besar), (2)
bilangan untuk menyatakan suatu bilangan. Menurut Sukayati
(2003:1) pecahan yang dipelajari anak ketika di SD sebetulnya
merupakan bagian dari bilangan rasional yang dinotasikan dalam
bentuk dengan a dan b bilangan bulat, b tidak sama dengan 0, a
disebut sebagai pembilang dan b sebagai penyebut.
Menurut Kennedy dalam Sukayati (2003:1), menyebutkan
bahwa makna dari pecahan dapat muncul dari situasi–situasi sebagai
berikut: (1) Pecahan sebagai bagian yang berukuran sama dari yang
utuh/keseluruhan, (2) Pecahan sebagai bagian dari kelompok–
kelompok yang beranggotakan sama banyak/juga menyatakan
pembagian, (3) pecahan sebagai perbandingan. Bentuk dari suatu
pecahan tidak selalu di notasikan dengan (pecahan biasa), tetapi
commit to user
campuran. Pecahan campuran terdiri atas bilangan bulat dan pecahan
biasa.
Dari pendapat–pendapat di atas dapat di simpulkan bahwa
pecahan adalah bilangan yang digunakan untuk menyatakan
bagian-bagian benda yang biasanya dinotasikan dalam bentuk dengan a dan
b bilangan bulat, b tidak sama dengan 0, a disebut sebagai pembilang
dan b sebagai penyebut.
b) Operasi Hitung Pecahan
(1) Penjumlahan Pecahan
Contoh :
Abid mempunyai seutas tali yang panjangnya meter. Marbun
juga mempunyai seutas tali dengan panjang meter. Jika kedua
tali tersebut disambung, berapakah panjangnya?
Jawab :
Panjang tali Abid meter
Panjang tali Marbun meter
Panjang semua tali adalah meter + meter = meter
Jadi panjang tali Mabid dan Marbun adalah meter
Contoh :
Adi mempunyai keju, di beri oleh Nenek keju. Berapa jumlah
keju Adi sekarang?
Jawab:
Keju Adi
Keju Nenek
Total keju Adi adalah + =
Jadi total keju Adi adalah
commit to user
Ema dimintai tolong ibu untuk membelikan bahan-bahan pembuat
kue. Ema membeli kg gula dan kg tepung. Berapa berat gula
dan tepung terigu yang dibeli Ema tersebut?
Jawab:
Berat gula kg
Berat tepung kg
Penyebut pecahan adalah 5 dan 4, dengan KPK 20
+ = =
=
kg berat total belanjaan Ema adalah
kg Contoh :
Ema mempunyai pita sepanjang meter. Diberi Menik
meter. Berapa meter pita ema sekarang?
Jawab:
Pita Ema meter diberi Menik
Penyebut pecahan adalah 4 dan 12, dengan KPK 12
+ =
+ =
= meter
Jadi panjang pita Ema adalah meter Ingat :
(a) Penjumlahan pecahan yang berpenyebut sama dilakukan dengan
menjumlahkan pembilang-pembilangnya. Sedangkan
penyebutnya tidak dijumlahkan.
(b) Pecahan yang penyebutnya berbeda.
1.Samakan penyebut dengan KPK kedua bilangan (mencari
bentuk pecahan yang senilai).
2.Jumlahkan pecahan baru seperti pada penjumlahan pecahan
commit to user
(2) Pengurangan Pecahan
Contoh:
Pedagang beras itu mempunyai
ton persediaan beras. Dalam sehari telah
terjual sebanyak
ton beras, berapa beras yang belum terjual? Jawab:
ton persediaan beras. Dalam sehari telah terjual sebanyak ton beras, berapa beras yang belum terjual?
- = ton
Jadi sisa beras yang belum terjual adalah ton Contoh:
Ayah Marbun mengecat kayu yang panjangnya
meter dengan warna hijau
dan kuning. Sepanjang meter dicat berwarna hijau. Berapa meter panjang
kayu yang dicat kuning?
Jawab:
Panjangnya kayu
meter,di cat warna hijau meter sisanya kuning. Penyebut kedua pecahan adalah 10 dan 2, dengan KPK 10
- = –
=
= meter
Jadi kayu yang di cat kuning adalah
meter Contoh:
Abid dan Marbun memetik keranjang buah mangga. Sebanyak keranjang
mangga telah dibagikan kepada para tetangga. Berapa bagian buah mangga
yang masih ada?
Jawab:
Abid dan Marbun memetik keranjang, Sebanyak buah keranjang mangga
telah dibagikan kepada para tetangga. Berapa bagian buah mangga yang
masih ada?
commit to user
- = =
= keranjang
Jadi buah mangga yang masih ada adalah
keranjang. Ingat:
(a) Pengurangan pecahan yang berpenyebut sama dilakukan dengan
mengurangkan pembilang-pembilangnya. Sedangkan penyebutnya tidak
dikurangkan.
(b) Pecahan yang penyebutnya berbeda.
1. Samakan penyebut dengan KPK kedua bilangan (mencari bentuk
pecahan yang senilai).
2. Kurangkan pecahan baru seperti pada pengurangan pecahan
berpenyebut sama.
2. Hakikat Pendekatan Realistic Mathematic Education (RME) a. Hakikat Pendekatan
Menurut Sanjaya dalam Supinah & Agus D.W (2009:25)
pendekatan sebagai titik tolak atau sudut pandang kita terhadap proses
pembelajaran. Istilah pendekatan merujuk kepada pandangan tentang
terjadinya suatu proses yang sifatnya masih sangat umum. Strategi dan
metode pembelajaran yang digunakan dapat bersumber atau tergantung
dari pendekatan tertentu. Sedangkan menurut Akhmad Sudrajat
pendekatan pembelajaran dapat diartikan sebagai titik tolak atau sudut
pandang kita terhadap proses pembelajaran, yang merujuk pada
pandangan tentang terjadinya suatu proses yang sifatnya masih sangat
umum (http://akhmadsudrajat.wordpress.com diakses pada 8 Maret
2001). Pendekatan adalah Sebuah cara yang telah diatur dalam berfikir
baik-baik untuk mencapai suatu maksud dam merupakan cara kerja untuk
memudahkan pendididk atau fasilitator agar peserta dididk ingin belajar
untuk mencapai tujuan yang telah ditentukan
commit to user
Dari pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa pendekatan
adalah titik tolak atau sudut pandang kita terhadap proses pembelajaran,
dan merupakan suatu siasat dalam mengajar yang digunakan untuk
memaksimalkan hasil pembelajaran, memilih pendekatan disesuaikan
dengan kebutuhan materi ajar yang dituangkan dalam perencanaan
pembelajaran.
b. Hakikat Realistic Mathematic Education (RME)
Pada pembelajaran matematika istilah realistik dikenal sebagai
pendekatan Realistic Mathematic Education (RME) dan di Indonesia
dikenal dengan istilah Pendidikan Matematika Realistik Indonesia
(PMRI). Menurut Supinah & Agus D.W (2009:71) secara garis besar
PMRI atau RME adalah suatu teori pembelajaran yang telah
dikembangkan khusus untuk matematika. Konsep matematika realistik ini
sejalan dengan kebutuhan untuk memperbaiki pendidikan matematika di
Indonesia yang didominasi oleh persoalan bagaimana meningkatkan
pemahaman siswa tentang matematika dan mengembangkan daya nalar.
Realistic Mathematics Education (RME) yang artinya pendidikan
matematika realistik. Pembelajaran matematika realistik pada dasarnya
adalah pemanfaatan realitas dan lingkungan yang dipahami siswa untuk
memperlancar proses pembelajaran matematika, sehingga mencapai
tujuan pendidikan matematika secara lebih baik dari pada yang lalu. Yang
dimaksud dengan realita yaitu hal-hal yang nyata atau kongret yang dapat
diamati atau dipahami siswa lewat membayangkan, sedangkan yang
dimaksud dengan lingkungan adalah tempat siswa berada baik
lingkungan sekolah, keluarga maupun masyarakat.
(http://prari007luck.wordpress.com/2008/09/13/pendekatan-pembelajaran-matematika-realistik/ diakses pada 8 Maret 2011).
Devrim“Uzel and Sevin¸c Mert Uyang”OR (2006) dalam
commit to user
yang menjanjikan untuk memperbaiki dan meningkatkan pembelajar di bawah klasemen dalam matematika.
Jadi Realistic Mathematic Education (RME) adalah teori
pembelajaran yang mengaitkan antara matematika dengan dunia nyata
atau kongret siswa sehingga dalam proses pembelajaran matematika
dapat mencapai tujuan secara lebih baik.
Menurut Yusuf Hartono dalam Nyimas, dkk. (2007:7-3) Realistic
Mathematics Education (RME) diterjemahkan sebagai pendidikan
matematika realistik yaitu sebuah pendekatan belajar matematika yang
pertama kali diperkenalkan dan dikembangkan di Belanda pada tahun
1970 oleh Institute Freudenthal. Pendekatan ini didasarkan pada
anggapan Hans Freudental dalam Nyimas Aisyah, dkk (2007:7-3) bahwa
matematika harus dikaitkan dengan realita dan matematika merupakan
aktivitas manusia. Ini berarti matematika harus dekat dengan anak dan
relevan dengan kehidupan nyata sehari-hari. Menurut pendekatan ini
kelas Matematika bukan merupakan tempat memindahkan Matematika
dari guru kepada siswa, tetapi tempat siswa menemukan kembali konsep
Matematika melalui eksplorasi masalah-masalah nyata. Siswa tidak
dipandang sebagai penerima pasif, tetapi harus diberi kesempatan untuk
menemukan kembali ide dan konsep matematika di bawah bimbingan
guru.
Pendekatan Realistic Mathemathic Education (RME) merupakan
suatu pendekatan yang berasumsi perlu adanya pengkaitan antara
Matematika dengan realitas yang ada dan dapat dijumpai dalam
kehidupan sehari–hari. Masalah ini bukan masalah yang selalu kongkrit
dilihat oleh mata tetapi termasuk hal–hal yang mudah di bayangkan oleh
siswa. Selain itu, dalam penerapannya RME (PMR) memadukan
berbagai pendekatan pembelajaran lain yang dianggap unggul seperti
pemecahan masalah, konstruktivisme, dan pendekatan pembelajaran yang
commit to user
Menurut pandangan matematika realistik dalam Asep Jihad
(2008:149), matematika merupakan lawan dari matematika mekanistik di
Belanda, suatu proses kegiatan manusia yang aktif atau a human activity
dan bukan merupakan teori pendidikan matematika yang statis dan sudah
selesai serta berkaitan dengan dunia siswa atau realita, menekankan
siswa melakukan reinvention, melalui penyajian situasi masalah dalam
konteks. Istilah realistik tidak selalu terkait dengan dunia nyata, tetapi
penyajian masalah dalam konteks yang dapat dijangkau siswa; konteks
dapat dunia nyata, dunia fantasi, atau dunia matematika formal asalkan
nyata dalam alam fikiran siswa.
Dalam RME dunia nyata (real world) dapat dimanfaatkan sebagai
titik awal pengembangan konsep dan ide Matematika. Blum dan Nissa
dalam Sutarto (2010:2) dikutip oleh Fadjar Shadiq menyatakan : “Real
world is the world outside mathematics, such as subject matter other than mathematics, or our daily life and environment”. Dunia nyata adalah segala sesuatu di luar Matematika seperti pada pelajaran lain selain
Matematika, adalah kehidupan sehari–hari dan lingkungan sekitar kita.
Pendekatan dalam PMR bertolak dari masalah-masalah
kontektual, siswa aktif, guru berperan sebagai fasilitator, anak bebas
mengeluarkan idenya, siswa sharing ide-idenya, siswa dengan bebas
mengkomunikasikan ide-idenya satu sama lain. Guru membantu
membandingkan ide-ide tersebut dan membimbing siswa mengambil
keputusan tentang ide terbaik untuk mereka.
commit to user
Titik awal proses belajar dengan pendekatan Matematika realistik
menekankan pada konsepsi yang sudah dikenal oleh siswa. Setiap siswa
mempunyai konsep awal tentang ide-ide Matematika. Setelah siswa
terlibat secara bermakna dalam proses belajar, maka proses tersebut dapat
ditingkatkan ke tingkat yang lebih tinggi. Pada proses pembentukan
pengetahuan baru tersebut, siswa bertanggung jawab terhadap proses
belajarnya sendiri. Peran guru hanya fasilitator belajar. Idealnya, guru
harus mampu membangun pengajaran yang interaktif. Guru harus
memberi kesempatan kepada siswa untuk secara aktif menyumbang pada
proses belajar dirinya, dan secara aktif membantu siswa dalam
menafsirkan persoalan real.
Upaya mengaktifkan siswa dapat diwujudkan dengan cara (1)
mengoptimalkan keikutsertaan unsur-unsur proses mengajar belajar, dan
(2) mengoptimalkan keikutsertaan seluruh siswa. Pengoptimalan seluruh
siswa sangat terkait dengan bagaimana siswa merespon setiap persoalan
yang dimunculkan guru dalam kelas, baik respon secara lesan, tertulis
atau bentuk-bentuk representasi lain seperti demonstrasi. Selain itu untuk
mengoptimalkan keikutsertaan seluruh siswa juga diperlukan komunitas
Matematika yang kondusif, dalam arti bahwa lingkungan belajar yang
mempercakapkan tentang Matematika tersebut harus mampu
membangkitkan setiap siswa untuk berpartisipasi aktif.
Berdasarkan beberapa pendapat di atas maka peneliti dapat
menyimpulkan bahwa pendekatan Realistic Mathematics Education
(RME) adalah pendekatan pembelajaran yang memandang matematika
sebagai kegiatan manusia dan harus dikaitkan dengan realitas sehingga
siswa dapat melakukan proses penemuan kembali secara terbimbing.
c. Prinsip Pendekatan Realistic Mathematics Education (RME)
Menurut Marpung (2009:2) dalam Fadjar Shadiq (2010:10) Tiga
prinsip dasar yang mengawali RME, yaitu : guided reinvention and
progressive mathematization, didactical phenomenology, serta self -
commit to user
1) Guided Re-invention atau Menemukan Kembali Secara Seimbang
Memberikan kesempatan bagi siswa untuk melakukan
Matematisasi dengan masalah kontekstual yang realistik bagi siswa
dengan bantuan dari guru. Siswa didorong atau ditantang untuk aktif
bekerja bahkan diharapkan dapat mengkonstruksi atau membangun
sendiri pengetahuan yang akan diperolehnya. Pembelajaran tidak
dimulai dari sifat-sifat atau definisi atau teorema dan selanjutnya
diikuti contoh-contoh, tetapi dimulai dengan masalah kontekstual atau
real/nyata yang selanjutnya melalui aktivitas siswa diharapkan dapat
ditemukan sifat, definisi, teorema, ataupun aturan oleh siswa sendiri.
2) Didactical Phenomenology atau Fenomena Didaktik
Topik-topik Matematika disajikan atas dasar aplikasinya dan
kontribusinya bagi perkembangan Matematika. Pembelajaran
Matematika yang cenderung berorientasi kepada memberi informasi
atau memberitahu siswa dan memakai Matematika yang sudah siap
pakai untuk memecahkan masalah, diubah dengan menjadikan
masalah sebagai sarana utama untuk mengawali pembelajaran
sehingga memungkinkan siswa dengan caranya sendiri mencoba
memecahkannya. Dengan masalah kontekstual yang diberikan pada
awal pembelajaran, dimungkinkan banyak/beraneka ragam cara yang
digunakan atau ditemukan siswa dalam menyelesaikan masalah.
Dengan demikian, siswa mulai dibiasakan untuk bebas berpikir dan
berani berpendapat, karena cara yang digunakan siswa satu dengan
yang lain berbeda atau bahkan berbeda dengan pemikiran guru tetapi
cara itu benar dan hasilnya juga benar ini suatu fenomena didaktik.
Marpaung dalam Supinah & Agus D.W (2009:37) Dengan
memperhatikan fenomena didaktik yang ada di dalam kelas, maka
akan terbentuk proses pembelajaran Matematika yang tidak lagi
berorientasi pada guru, tetapi diubah atau beralih kepada
pembelajaran Matematika yang berorientasi pada siswa atau bahkan
commit to user
3) Self-delevoped Models atau model dibangun sendiri oleh siswa
Pada waktu siswa mengerjakan masalah kontekstual, siswa
mengembangkan suatu model. Model ini diharapkan dibangun sendiri
oleh siswa, baik dalam proses matematisasi horisontal ataupun
vertikal. Kebebasan yang diberikan kepada siswa untuk memecahkan
masalah secara mandiri atau kelompok, dengan sendirinya akan
memungkinkan munculnya berbagai model pemecahan masalah
buatan siswa. Soedjadi dalam Supinah & Agus D.W (2009:74) dalam
pembelajaran Matematika realistik diharapkan terjadi urutan ”situasi
nyata” → ”model dari situasi itu” → ”model kearah formal” →
”pengetahuan formal”. Inilah yang disebut ”bottom up” dan
merupakan prinsip RME yang disebut ”Self-delevoped Models”
Prinsip RME menurut Van Den Heuvel-panhuizen dalam Supinah
& Agus D.W (2009:75) yang dikutip oleh Fadjar Shadiq adalah sebagai
berikut :
1) Prinsip aktivitas, yaitu Matematika adalah aktivitas manusia.
Pembelajar harus aktif baik secara mental maupun fisik dalam
pembelajaran Matematika.
2) Prinsip realitas, yaitu pembelajaran seyogyanya dimulai dengan
masalah-masalah yang realistik atau dapat dibayangkan oleh siswa.
3) Prinsip berjenjang, artinya dalam belajar Matematika siswa melewati
berbagai jenjang pemahaman, yaitu dari mampu menemukan solusi
suatu masalah kontekstual atau realistik secara informal, sampai
mampu menemukan solusi suatu masalah matematik secara formal.
4) Prinsip jalinan, artinya berbagai aspek atau topik dalam Matematika
jangan dipandang dan dipelajari sebagai bagian-bagian yang terpisah,
tetapi terjalin satu sama lain sehingga siswa dapat melihat hubungan
antara materi-materi itu secara lebih baik.
5) Prinsip interaksi, yaitu Matematika dipandang sebagai aktivitas
sosial. Siswa perlu dan harus diberikan kesempatan menyampaikan
commit to user
untuk ditanggapi, dan menyimak apa yang ditemukan orang lain dan
strateginya menemukan itu serta menanggapinya.
6) Prinsip bimbingan, yaitu siswa perlu diberi kesempatan terbimbing
untuk menemukan (re-invention) pengetahuan Matematika.
d. Karakteristik Pendekatan Realistic Mathematic Education (RME)
Menurut De Lange dalam Marpaung dikutip Fadjar Shadiq (2010:11)
karakteristik RME mencakup :
1) Penggunaan konteks dalam eksplorasi fenomenologis
Pembelajaran harus dimulai dari masalah kontekstual yang diambil dari dunia
nyata. Masalah yang digunakan sebagai titik awal pembelajaran harus nyata
bagi siswa agar mereka dapat langsung terlibat dalam situasi yang sesuai
dengan pengalaman mereka.
2) Penggunaan model untuk mengkonstruksi konsep
Model harus sesuai dengan tingkat abstraksi yang harus dipelajari siswa. Di
sini model dapat berupa keadaan atau situasi nyata dalam kehidupan siswa,
seperti cerita-cerita lokal atau bangunan-bangunan yang ada di tempat tinggal
siswa. Model dapat pula berupa alat peraga yang dibuat dari bahan-bahan
yang juga ada di sekitar siswa.
3) Penggunaan kreasi dan kontribusi siswa
Siswa dapat menggunakan strategi, bahasa, atau simbol mereka sendiri dalam
proses Matematika. Artinya, siswa memiliki kebebasan untuk
mengekspresikan hasil kerja mereka dalam menyelesaikan masalah nyata
yang diberikan oleh guru.
4) Sifat aktif dan interaktif dalam proses pembelajaran
Proses pembelajaran harus interaktif. Interaksi baik antara guru dan siswa
maupun antara siswa dengan siswa merupakan elemen yang penting dalam
pembelajaran Matematika. Di sini siswa dapat berdiskusi dan bekerjasama
dengan siswa lain, bertanya dan menanggapi pertanyaan, serta mengevaluasi
pekerjaan mereka.
commit to user
Hubungan di antara bagian-bagian dalam Matematika dengan disiplin ilmu
lain, dan dengan masalah dari dunia nyata diperlukan sebagai satu kesatuan
yang saling kait mengait dalam penyelesaian masalah.
Beberapa karakteristik pendekatan Matematika realistik menurut Suryanto
dalam Nyimas Aisyah dkk (2007:7-7) adalah sebagai berikut:
1) Masalah kontekstual yang realistik (realistic contextual problems) digunakan
untuk memperkenalkan ide dan konsep Matematika kepada siswa.
2) Siswa menemukan kembali ide, konsep, dan prinsip, atau model matematika
melalui pemecahan masalah kontekstual yang realistik dengan bantuan guru
atau temannya.
3) Siswa diarahkan untuk mendiskusikan penyelesaian terhadap masalah yang
mereka temukan.
4) Siswa merefleksikan (memikirkan kembali) apa yang telah dikerjakan dan
apa yang telah dihasilkan, baik hasil kerja mandiri maupun hasil diskusi.
5) Siswa dibantu untuk mengaitkan beberapa isi pelajaran Matematika yang
memang ada hubungannya.
6) Siswa diajak mengembangkan, memperluas, atau meningkatkan hasil-hasil
dari pekerjaannya agar menemukan konsep atau prinsip matematika yang
lebih rumit.
7) Matematika dianggap sebagai kegiatan bukan sebagai produk jadi atau hasil
yang siap pakai. Mempelajari Matematika sebagai kegiatan paling cocok
dilakukan melalui learning by doing (belajar dengan mengerjakan).
Menurut Yusuf Hartono dalam Nyimas Aisyah dkk (2007:7-7) Beberapa
hal yang perlu dicatat dari karakteristik pendekatan Matematika realistik di atas
adalah bahwa pembelajaran Matematika realistik.
1) termasuk “cara belajar siswa aktif” karena pembelajaran Matematika
dilakukan melalui ”belajar dengan mengerjakan;”
2) termasuk pembelajaran yang berpusat pada siswa karena mereka
memecahkan masalah dari dunia mereka sesuai dengan potensi mereka,
commit to user
3) termasuk pembelajaran dengan penemuan terbimbing karena siswa
dikondisikan untuk menemukan atau menemukan kembali konsep dan prinsip
Matematika;
4) termasuk pembelajaran kontekstual karena titik awal pembelajaran
Matematika adalah masalah kontekstual, yaitu masalah yang diambil dari
dunia siswa;
5) termasuk pembelajaran konstruktivisme karena siswa diarahkan untuk
menemukan sendiri pengetahuan Matematika mereka dengan memecahkan
masalah dan diskusi.
Dari beberapa pendapat di atas dapat di tarik kesimpulan bahwa secara
prinsip pendekatan matematika realistik merupakan gabungan pendekatan
konstruktivisme dan kontekstual dalam arti memberi kesempatan kepada siswa
untuk membentuk (mengkonstruksi) sendiri pemahaman mereka tentang ide dan
konsep matematika, melalui penyelesaian masalah dunia nyata (kontekstual).
e. Kelebihan dan Kelemahan Pendekatan RME( PMR) 1) Kelebihan RME
a) Pendekatan RME/PMR memberikan pengertian yang jelas dan
operasional kepada siswa tentang keterkaitan antara Matematika
dengan kehidupan sehari-hari dan tentang kegunaan Matematika
pada umumnya bagi manusia
b) Pendekatan RME/PMR memberikan pengertian yang jelas dan
operasional kepada siswa bahwa Matematika adalah suatu bidang
kajian yang dapat dikonstruksi dan dikembangkan sendiri oleh
siswa.
c) Pendekatan RME/PMR memberikan pengertian yang jelas dan
operasional kepada siswa bahwa cara penyelesaian sesuatu masalah
tidak harus tunggal, dan tidak perlu sama antara sesama siswa
bahkan dengan gurunyapun.
d) Pendekatan RME/PMR memberikan pengertian yang jelas dan
commit to user
sesuatu yang utama. Tanpa kemauan menjalani proses tersebut,
pembelajaran tidak akan bermakna.
e) RME/PMR memadukan kelebihan-kelebihan dari berbagai
pendekatan pembelajaran yang lain yang dianggap “unggul” seperti
pendekatan pemecahan masalah, dll.
Sedangkan menurut Asep Jihad (2008:150), keuntungan
Pembelajaran Matematika Realistik (PMR) antara lain sebagai
berikut:
a) Melalui penyajian masalah kontekstual, pemahaman konsep siswa
meningkat dan bermakna, mendorong siswa melek matematika dan
memahami keterkaitan matematika dengan dunia sekitar.
b) Siswa terlibat langsung dalam proses doing math sehingga mereka
tidak takut belajar matematika.
c) Siswa dapat memanfaatkan pengetahuan dan pengalamannya dalam
kehidupan sehari-hari dan mempelajari bidang studi lainnya.
d) Memberikan peluang untuk mengembangkan potensi dan
kemampuan berpikir alternatif.
e) Kesempatan cara penyelesaian yang berbeda.
f) Melalui belajar kelompok, terjadi pertukaran pendapat dan interaksi
antar guru-siswa dan antar siswa, saling menghormati pendapat
yang berbeda dan menumbuhkan konsep diri siswa.
g) Melalui matematisasi vertical, siswa dapat mengikuti
perkembangan matematika sebagai suatu disiplin.
h) PMRI memberikan peluang berlangsungnya 4 pilar pendidikan dari
UNESCO yaitu learning to know, learning to do, learning to be
dan learning to live together.
2) Kelemahan RME
Menurut Suwarsono dalam Muhamad Toyib (2009:21)
kelemahan RME adalah sebagai berikut:
a) Pemahaman tentang RME dan pengimplementasian RME
commit to user
sangat mendasar mengenai berbagai hal. Perubahan paradigma ini
mudah diucapkan tetapi tidak mudah untuk dipraktekkan karena
paradigma lama sudah begitu kuat dan lama mengakar.
b) Pencarian soal-soal yang kontekstual tidak selalu mudah untuk
setiap topik matematika yang perlu dipelajari siswa.
c) Adanya tantangan dalam mendorong siswa untuk menemukan
cara penyelesaian tiap soal.
d) Proses pengembangan kemampuan berpikir siswa dengan
memulai soal-soal kontekstual, proses matematisasi horizontal
dan proses matematisasi vertikal juga bukan merupakan sestuatu
yang sederhana sehingga kecermatan guru sangat diperlukan.
e) Perlunya kecermatan dalam memilih alat peraga yang bias
membantu proses berpikir siswa.
f) Penilaian (assessment) dalam RME lebih rumit daripada dalam
pembelajaran konvensional.
g) Kepadatan materi pembelajaran dalam kurikulum perlu dikurangi
secara substansial, agar proses pembelajaran siswa bisa
berlangsung sesuai dengan prinsip-prinsip RME.
f. Langkah – Langkah Pembelajaran Dengan Pendekatan RME
Menurut Zulkardi dalam Nyimas Aisyah (2007:7-20) Secara
umum langkah-langkah pembelajaran Matematika realistik dapat
dijelaskan sebagai berikut:
1) Persiapan
Selain menyiapkan masalah kontekstual, guru harus benar-benar
memahami masalah dan memiliki berbagai macam strategi yang
mungkin akan ditempuh siswa dalam menyelesaikannya.
2) Pembukaan
Pada bagian ini siswa diperkenalkan dengan strategi pembelajaran
yang dipakai dan diperkenalkan kepada masalah dari dunia nyata.
Kemudian siswa diminta untuk memecahkan masalah tersebut
commit to user
3) Proses pembelajaran
Siswa mencoba berbagai strategi untuk menyelesaikan masalah
sesuai dengan pengalamannya, dapat dilakukan secara perorangan
maupun secara kelompok. Kemudian setiap siswa atau kelompok
mempresentasikan hasil kerjanya di depan siswa atau kelompok lain
dan siswa atau kelompok lain memberi tanggapan terhadap hasil
kerja siswa atau kelompok penyaji. Guru mengamati jalannya
diskusi kelas dan memberi tanggapan sambil mengarahkan siswa
untuk mendapatkan strategi terbaik serta menemukan aturan atau
prinsip yang bersifat lebih umum.
4) Penutup
Setelah mencapai kesepakatan tentang strategi terbaik melalui
diskusi kelas, siswa diajak menarik kesimpulan dari pelajaran saat
itu. Pada akhir pembelajaran siswa harus mengerjakan soal evaluasi
dalam bentuk Matematika formal.
Sedangkan menurut Nyimas Aisyah, dkk (2007: 7.27),
langkah-langkah pembelajaran matematika realistik yaitu :
1) Persiapan
a) Menentukan masalah kontekstual yang sesuai dengan pokok
bahasan yang akan diajarkan.
b) Mempersiapkan model atau alat peraga yang dibutuhkan.
2) Pembukaan
a) Memperkenalkan masalah kontekstual kepada siswa.
b) Meminta siswa menyelesaikan masalah dengan cara mereka
sendiri.
3) Proses Pembelajaran
a) Memperhatikan kegiatan siswa baik secara indiv