commit to user
PERKEMBANGAN PERKOTAAN DI PRAJA MANGKUNEGARAN ( STUDI TENTANG KEBIJAKAN MANGKUNEGORO VII , 1916 – 1944 )
SKRIPSI
Oleh:
Nova Yunanto Putro NIM: K 4407032
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2011
commit to user
ii
PERKEMBANGAN PERKOTAAN DI PRAJA MANGKUNEGARAN
( STUDI TENTANG KEBIJAKAN MANGKUNEGORO VII , 1916 – 1944 )
Oleh :
Nova Yunanto Putro NIM: K 4407032
Skripsi
Ditulis dan diajukan untuk memenuhi persyaratan
mendapatkan gelar Sarjana Pendidikan Program Pendidikan Sejarah
Jurusan Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET
commit to user
commit to user
commit to user
v ABSTRACT
Nova Yunanto Putro. K4407032. URBAN DEVELOPMENT OF MANGKUNEGARAN (VII Mangkunegara Policy Studies, 1916 - 1944). Thesis. Surakarta: Faculty of Teacher Training and Education. Eleven March Surakarta University, April 2011.
The purpose of this research was to describe: (1) Development of the city of Mangkunegaran 1944, (2) Layout of the city of Mangkunegaran 1916-1944.
The purpose of the research, was historical method with the heuristic step, critical, interpretation, and historiography. The data of the study were primary sources and secondary sources. Collecting data technique was by literature studies. The technical analysis data was historical analysis, by conducting internal and external criticism.
commit to user
vi ABSTRAK
Nova Yunanto Putro. K4407032. PERKEMBANGAN PERKOTAAN DI
PRAJA MANGKUNEGARAN ( Studi Tentang Kebijakan Mangkunegara
VII , 1916 – 1944 ). Skripsi. Surakarta: Fakultas Keguruan dan Ilmu
Pendidikan. Universitas Sebelas Maret Surakarta, April 2011.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan: (1) Pembangunan kota di Praja Mangkunegaran tahun 1916-1944; (2) Tata ruang di Praja Mangkunegaran tahun 1916-1944.
Sejalan dengan metode dan tujuan penelitian, maka penelitian ini dilaksanakan dengan menggunakan metode historis dengan langkah-langkah heuristik, kritik, interpretasi, dan historiografi. Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini berupa sumber primer dan sumber sekunder. Teknik pengumpulan data dengan studi pustaka. Teknik analisis data yang digunakan adalah teknik analisis historis, dengan melakukan kritik ekstern dan intern.
commit to user
vii MOTTO
Lila lamun kelangan ora getun
Trimo yen ketaman sokserik sameng dumadi
Legowo nelangsa srahing Batara
( Wedatama )
Tuwuh saking katresnan dhumateng para leluhur
Mangesthi kukuh adeging Nusa lan Bangsa
commit to user
viii
PERSEMBAHAN
Karya ini dipersembahkan kepada:
1. Bapak dan Ibu tercinta
2. Dek agung, dan dek kikis tersayang
3. Sahabat-sahabatku
commit to user
ix
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas
rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulisan skripsi ini akhirnya dapat
diselesaikan, untuk memenuhi sebagian persyaratan mendapatkan gelar sarjana
pendidikan.
Banyak hambatan yang menimbulkan kesulitan dalam penyelesaian
penulisan skripsi ini, namun berkat bantuan dari berbagai pihak akhirnya
kesulitan-kesulitan yang timbul dapat teratasi. Untuk itu, atas segala bentuk
bantuannya, disampaikan terima kasih kepada:
1. Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret
Surakarta yang telah memberikan ijin penyusunan skripsi;
2. Ketua Jurusan Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial Fakultas Keguruan dan
Ilmu Pendidikan Surakarta yang telah menyetujui permohonan ijin
penyusunan skripsi;
3. Ketua Program Studi Sejarah Jurusan Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial
Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta
yang telah memberikan ijin demi kelancaran penyusunan skripsi;
4. Dr. Hermanu Joebagyo, M.Pd., selaku Pembimbing Skripsi I yang telah
memberikan nasehat, waktu, serta kritikan yang membangun selama
memberikan bimbingan dalam penyusunan skripsi;
5. Drs. Tri Yuniyanto, M.Hum., selaku Pembimbing Skripsi II yang telah
memberikan waktu, dan motivasi selama memberikan bimbingan dalam
penyusunan skripsi;
6. Bapak dan Ibu Dosen Program Pendidikan Sejarah Jurusan Ilmu Pengetahuan
Sosial yang secara tulus memberikan ilmu kepada penulis selama ini, mohon
commit to user
x
Disadari dalam penulisan skripsi ini masih terdapat kekurangan, tetapi
diharapkan penulisan skripsi ini bermanfaat bagi perkembangan ilmu pengetahuan
dan mahasiswa Program Pendidikan Sejarah pada khususnya.
Surakarta, April 2011
commit to user
xi DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL………. i
HALAMAN PENGAJUAN……….. ii
HALAMAN PERSETUJUAN……….. iii
HALAMAN PENGESAHAN……… iv
HALAMAN ABSTRAK……… v
HALAMAN MOTTO……… vii
HALAMAN PERSEMBAHAN………. viii
KATA PENGANTAR……… ix
DAFTAR ISI……….. xi
DAFTAR LAMPIRAN……….. xiii
BAB I PENDAHULUAN………. 1
A. Latar Belakang Masalah……….. 1
B. Perumusan Masalah……….. 7
C. Tujuan Penelitian……….. 7
D. Manfaat Penelitian………. 8
BAB II LANDASAN TEORI……….. 9
A. Tinjauan Pustaka……… 9
B. Kerangka Berpikir………. 25
BAB III METODOLOGI PENELITIAN……….. 26
A. Tempat dan Waktu Penelitian……… 26
B. Metode Penelitian……….. 26
C. Sumber Data……….. 28
D. Teknik Pengumpulan Data………. 29
E. Teknik Analisis Data……….. 30
F. Prosedur Penelitian………. 31
BAB IV HASIL PENELITIAN……….. 34
A. Pembangunan Kota di Praja Mangukunegaran Tahun 1916-1944 ...……... 34
commit to user
xii
Tahun 1916-1944... 57
BAB V KESIMPULAN, IMPLIKASI, SARAN……… 65
A. Kesimpulan……….. 65
B. Impikasi……… 68
C. Saran……… 69
DAFTAR PUSTAKA……… 71
commit to user
xiii
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 : Autorisatie begrooting van kosten. 1941. Arsip
Mangkunegaran. Surakarta : Rekso Pustaka ... 75
Lampiran 2 : Autorisatie begrooting van kosten. 1940. Arsip Mangkunegaran. Surakarta : Rekso Pustaka ... 76
Lampiran 3 : Supletie begrooting. 1941. Arsip Mangkunegaran. Surakarta : Rekso Pustaka. ... 77
Lampiran 4 : Overzichkaart Tirtonadi. Tanpa tahun. Arsip Mangkunegaran. Surakarta : Rekso Pustaka ... 78
Lampiran 5 : Gambar R.M.A Soeryo Soeparto ... 79
Lampiran 5 : Gambar Pasukan Kavaleri Legiun Mangkunegaran ... 79
Lampiran 6 : Gambar Suasana Kota Surakarta Awal Abad XX ... 80
Lampiran 6 : Gambar Benteng Vastenberg ... 80
Lampiran 7 : Gambar Waduk Tirtomarto dan Waduk Tengklik ... 81
Lampiran 8 : Gambar Gedung SSS dan komplek puro MangkunegaranKawasan Partinituin di Manahan ... 82
Lampiran 9 : Gambar Kios-kios toko dikawasan Pasar Pon dan Partinituin di Manahan ... 83
Lampiran 10 : Gambar Kawasan Koesoemowardani plein dan Gambar Gedung Sekolah Siswo ( H.I.S ) ... 84
Lampiran 11 : Gambar KGPAA Mangkunegoro VII ( 1916 – 1944 ) ... 85
Lampiran 12 : Peta Pulau Jawa, disertai batas-batas Praja M.N ... 86
Lampiran 13 : Peta Praja M.N dengan skala 1 : 750.000 ... 87
Lampiran 14 : Laporan Kontrolir Wonogiri A. Muhlenfeld, tertanggal 1 Maret 1914 ... 88
Lampiran 15 : De Plechtigheid in het Mangkoenegoroschie Vorstenhuis ... 89
Lampiran 16 : PUSTAKA PRAJA ( RIJSBLAD) tahun 1920 No.17 ... 91
Lampiran 17 : Z.H.K.G.P.A.A. Mangkoenagoro VII G.K. Ratoe Timoer. Dharmo Kondho. 19 Mei 1941. ... 92
Lampiran 18 : Gambar Silsilah Keluarga MN VII ... 97
Lampiran 19 : Surat permohonan ijin menyusun skripsi ... 98
commit to user
Halaman 77 : Supletie begrooting. 1941. Arsip Mangkunegaran. Surakarta : Rekso Pustaka.
Overzichkaart Tirtonadi. Tanpa tahun. Arsip
Mangkunegaran. Surakarta : Rekso Pustaka
Gambar R.M.A Soeryo Soeparto
Gambar Pasukan Kavaleri Legiun Mangkunegaran
Gambar Suasana Kota Surakarta Awal Abad XX
Gambar Benteng Vastenberg
Gambar Waduk Tirtomarto dan Waduk Tengklik
Halaman 81
Gambar Kawasan Partinituin di Manahan
Gambar Kawasan Koesoemowardani plein
Gambar Gedung Sekolah Siswo ( H.I.S )
Gambar KGPAA Mangkunegoro VII ( 1916 – 1944 )
Halaman 84 : Peta Pulau Jawa, disertai batas-batas Praja M.N
Halaman 85 : Peta Praja M.N dengan skala 1 : 750.000
Halaman 86 : Laporan Kontrolir Wonogiri A. Muhlenfeld, tertanggal 1
Maret 1914
Halaman 87 : De Plechtigheid in het Mangkoenegoroschie Vorstenhuis
Halaman 90 : PUSTAKA PRAJA ( RIJSBLAD) tahun 1920 No.17
Halaman 93 : Z.H.K.G.P.A.A. Mangkoenagoro VII G.K. Ratoe Timoer.
Dharmo Kondho. 19 Mei 1941.
Halaman 97 : Gambar Silsilah Keluarga MN VII
Halaman 98
Halaman 99 :
:
Surat permohonan ijin menyusun skripsi
commit to user
1 BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Berdirinya Pura Mangkunegara merupakan hasil dari sebuah peristiwa
besar, pecahnya kerajaan Mataram di Jawa menjadi Kasunanan Surakarta dan
Praja Mangkunegaran. Praja Mangkunegara berdiri sejak 1757 pada saat RM.
Said sebagai penguasa pertama di Praja Mangkunegara. Selanjutnya tahun demi
tahun pemerintahan di Mangkunegaran dipegang oleh para Mangkunegara yang
bergelar K.G.P.A.A. Mangkunegara (Kanjeng Gusti Pangeran Arya Adipati
Mangkunegara). Dalam kebijakan pemerintahan yang dijalankan pada setiap masa
pemerintahan inilah, muncul berbagai bangunan fasilitas publik yang berfungsi
sebagai penunjang kehidupan masyarakat, stabilisator kerajaan dan kepentingan
politik yang dijalankan bersama-sama dengan pemerintah Kolonial Belanda di
Surakarta ( Budihardjo, Eko, 1989 : 26 ).
Garis politik Pemerintah Kolonial Belanda yang bertujuan mengusahakan
kemakmuran serta perkembangan sosial dari penduduk Indonesia melalui Politik
Etis telah memberi dampak ekonomi bagi masyarakat Indonesia pada umumnya
dan Praja Mangkunegaran pada khususnya( Marwati Djoened, 1984 : 34
).Tahun-tahun permulaan abad XX awal dilaksanakannya Politik Etis ditandai dengan
perkembangan ekonomi yang pesat dan perluasan-perluasan jabatan Pemerintah
Kolonial di Indonesia. Politik baru pemerintah Kolonial Belanda ini dikenal dengan “ Politik Etis” yang bertujuan untuk menunjukkan adanya Een Eereschuld ( hutang kehormatan ) negara Belanda terhadap jajahannya sehingga mempunyai
kewajiban untuk mengusahakan kemakmuran serta perkembangan sosial dan
otonomi penduduk Hindia Belanda ( Robert van Niel, 1984 : 51 ).Selama periode
1900-1925 telah banyak kemajuan yang dicapai oleh pemerintah kolonial, yaitu
dengan dijalankannya perubahan dan pembangunan yang cukup besar.
Pembangunan ini merupakan keharusan, antara lain desentralisasi, perbaikan
commit to user
Politik Etis lahir atas desakan golongan konservatif yang bersatu dengan golongan
agama, mempunyai tujuan :
1. Meningkatkan kesejahteraan penduduk pribumi,
2. Berangsur-angsur menumbuhkan otonomi serta disentralisasi politik di
Hindia Timur – Belanda ( Akira N,1989 : 11 ).
Dengan adanya perubahan ini pemerintah Belanda mulai memperhatikan
kemakmuran dan kemajuan penduduk pribumi, dan menganggap dirinya sebagai
pelindung yang bertanggung jawab untuk memberikan bimbingan kepada
penduduk daerah kolonial dalam usaha ke arah kemajuan dan kesejahteraan
mereka.
Perkembangan politik kolonial sangat mempengaruhi keadaan di
Vorstenlanden. Efisiensi, kemakmuran, dan ekspansi adalah slogan dari politik
baru kolonial yang memerlukan campurtangan yang lebih langsung dan lebih
tegas dari pemerintah Belanda dalam kehidupan masyarakat. Di Vorstenlanden
para residen berpandangan bahwa mereka mempunyai tugas utama untuk
menyadarkan pemerintah Vorstenlanden untuk selalu memperhatikan kepentingan
dan kemakmuran rakyat, dan jika perlu meminta campur tangan pemerintah
kolonial Belanda ( Larson,G.D, 1990 : 28 ).
Mangkunegaran yang merupakan salah satu daerah swapraja tentu saja
mempunyai progam kerja untuk memajukan kesejahteraan dan kemakmuran
rakyatnya. Mangkunegaran berusaha memperkuat ekonominya dengan jalan
mengelola perkebunan maupun perusahaan milik Praja sendiri. Sedangkan
sumber-sumber keuangan lainnya adalah hasil penarikan pajak, retribusi, bunga
dan pelunasan modal, dan surat-surat berharga ( Th.M.Metz,1986 : 96 ). Dengan
adanya sumber-sumber keuangan inilah perekonomian Mangkunegaran menjadi
kuat dan mendukung pembangunan di Praja Mangkunegaran. Mangkunegoro VI
pada tahun 1912 telah berhasil mengembalikan Mangkunegaran menjadi Praja
yang cukup kaya. Beberapa tahun setelah keberhasilannya ini Mangkunegoro VI
berniat untuk turun tahta, dan ia menyatakan keinginannya kepada residen
commit to user
itu harus mendapat persetujuan pemerintah Belanda. Keinginannya tersebut baru
dikabulkan satu tahun kemudian, dan sebagai penggantinya ditunjuklah Raden
Mas Soeryo Soeparto, anak angkatnya, yang sebenarnya putra Mangkunegoro V dari selir, seperti diuraikan oleh Parto Hudoyo :“ Ingkang kakarsakaken anggentosi keprabon jumeneng ngasto pusaraning praja Mangkunegaran kaleres
putro kapenakan, putro dalem swargi KGPAA Mangkunegoro V saking garwa R
Purnamaningrum “( Parto Hudoyo,tt : 74 ).
Dalam bahasa Indonesia dapat diterjemahkan secara bebas sebagai berikut
: “ Yang ditunjuk untuk menduduki tahta kerajaan Mangkunegaran adalah
keponakan Mangkunegoro VI yang merupakan putra KGPAA Mangkunegoro V
yang lahir dari selir R.Purnamaningrum”. Jadi sebenarnya Soeryo Soeparto
adalah keponakan Mangkunegoro VI, yang kemudian diangkat sebagai anak.
Dengan mempertimbangkan berbagai pengalaman serta kecakapan yang dimiliki
oleh Soeryo Soeparto , maka dari itu para pembesar kadipaten Mangkunegaran
dengan persetujaun pemerintah Belanda mengangkatnya sebagai kepala
pemerintahan di Praja Mangkunegaran, menggantikan Mangkunegoro VI. Ia
dinobatkan sebagai pemegang tahta Mangkunegaran pada 3 Maret 1916, dengan
gelar Pangeran Adipati Prang Wadono , suatu gelar yang dipakai oleh pemegang
tahta Praja Mangkunegaran yang pada saat dinobatkan belum mencapai usia 40
tahun ( Citrosentono, 1921 : 15 ). Pada masa Mangkunegoro VII ( 1916-1944 ),
pada tahun pertama pemerintahan dikeluarkan dana yang cukup besar untuk
membangun jembatan, jalan, bangunan irigasi, pendirian sekolah-sekolah, dan
pembangunan sarana kepentingan umum lainnya. Setiap tahun pada hari
peringatan penobatannya, Mangkunegoro VII mengumpulkan keluarganya,
pegawai, para perwira dan tamu dari kalangan rakyat dengan memberi wejangan
kepada mereka dan menguraikan rencana kerja untuk mengadakan perbaikan pada
tahun berikutnya ( Larson,G.D, 1990 : 105 ).
Sejak awal abad XX di Praja Mangkunegaran telah dilakukan serangkaian
kebijakan pembaharuan dalam bidang pemerintahan. Berbeda dengan
pembaharuan-pembaharuan dalam bidang lainnya seperti: birokrasi, pengaturan
commit to user
mendapatkan pencekalan dari Pemerintah Kolonial Belanda. Walaupun segala
kebijakan Mangkunagara dan pelaksanaannya dalam lapangan tidak bebas dari
pengawasan Pemerintah Kolonial Belanda. Beberapa bangunan fasilitas publik
dibangun oleh Pura Mangkunegaran dan Pemerintahan Kolonial Belanda, untuk
menunjang stabilitas pemerintahan dan harkat hidup masyarakat.
Pembaharuan dalam berbagai bidang, khususnya pembangunan sarana
perkotaan bagi Mangkunegara VII dipandang sebagai kebutuhan yang tidak dapat
ditunda-tunda lagi, sebab perkembangan dunia menuntut masyarakat untuk
mengikuti perkembangan zaman. Pembangunan sarana dalam bidang pendidikan
dilakukan Mangkunegara VII dengan melanjutkan pengelolaan Sekolah Siswo
dan Studiefonds, serta memprakarsai berdirinya Sekolah Siswarini dan Sekolah
Van Deventer, juga memperkenalkan pendidikan non formal berupa les-les bahasa
asing, khususnya bahasa Belanda dan kursus keterampilan (menjahit, melukis,
membuat patung, mengukir).
Pembangunan sarana dalam bidang irigasi ditandai dengan adanya
perbaikan sistem irigasi di pabrik gula milik Mangkunegaran. Untuk
meningkatkan produksi pangan dibangun sarana irigasi karena daerah Praja
Mangkunegaran bagian selatan (Wonogiri) terdiri dari daerah yang berbukit-bukit
dan hutannya telah mengalami kerusakan. Sebagai akibatnya ketika hujan, airnya
tidak sempat tersimpan oleh tanah. Pada musim kemarau keadaan tanah menjadi
kering kerontang, akibatnya tanah itu tidak dapat ditanami. Selama lima tahun
Dinas Irigasi Praja (Rijk Waterstaat) yang dipimpin oleh seorang arsitek Belanda,
bernama F.E Wolf telah mendirikan sejumlah sarana perairan di wilayah Praja
Mangkunegaran. Adapun bangunan ini ialah: Temon, Wiroko, Kebon Agung,
Kedung Uling, dan Plumbon.
Pada awalnya Kota Surakarta secara tidak disadari berkembang mengikuti
pola pemukiman Belanda di daerah seberang, yang berkembang dari sebuah loji
kecil kecil, menjadi kota faktori, dan kota dagang besar. Kota-kota di Jawa, pada
perkembangan sejarahnya memiliki berbagai karakter dan sifatnya yang khas.
Surakarta dan Yogyakarta yang dulunya adalah sebuah kerajaaan besar , yaitu
commit to user
sebagai “Solo Berseri” sebenarnya telah muncul sejak masa pemerintahan Mangkunegara VII. Hal in ditandai dengan pembangunan sarana umum antara
lain: Taman Tirtonadi, Minapadi, Partimah Park, Societeit Sasono Suko (SSS).
Taman Tirtonadi dibangun dengan memanfaatkan air Kali Pepe yang terjun
melalui pintu air Kali Anyar. Nama Partimah Park berasal dari nama puteri
bungsu Mangkunegara VII. Taman ini berada di sebelah timur Taman Tirtonadi.
Dan setiap sore menjadi area bermain bagi anak-anak dengan beraneka ragam
permainan seperti ombak banyu, timbangan (jungkat-jungkit), bandulan (ayunan).
Societeit Sasono Suko (SSS) mulai dibangun pada tahun 1918 oleh seorang
arsitek pribumi yang bernama Atmodirono. Masyarakat awam menamakan gedung ini dengan “Kamar Bola” karena bangunan klasik yang bagian depannya dilengkapi dengan ornamen candi ini setiap malam selalu dipakai oleh
orang-orang Belanda untuk bermain bola sodok atau billiard.
Pembagian wilayah kota atas kampung-kampung yang memiliki
spesifikasi tertentu membentuk toponimi yang dapat dibagi dalam beberapa
kelompok menurut nama atau gelar figur penting, nama kelompok abdi dalem,
aktivitas setempat, maupun bentukan baru (Hari Mulyadi, dan Soedarmono dkk,
1999: 178-180). Secara historis kota kolonial, termasuk Surakarta, memisahkan
pemukiman penduduk berdasarkan garis warna. Namun pada perkembangan
berikutnya kota tidak lagi membagi berdasarkan ras (etnis). Dengan adanya
pembangunan perumahan, perbaikan ekonomi, mobilitas sosial masyarakat
pribumi, telah menjurus pada pemisahan pemukiman berdasarkan kelas sosial.
Wilayah kelas teratas tidak lagi dihuni orang Eropa saja, tetapi juga oleh
usahawan-usahawan lokal, jenderal-jenderal pribumi, dan pejabat-pejabat tinggi
pemerintah. Dengan kata lain pemukiman kelas atas terdiri dari berbagai macam
etnis (Evers, 1986: 57).
Kota Surakarta memiliki dualisme dalam konsep tata ruang kotanya.
Pertama sebagai pusat kekuasaan Mataram menerapkan konsep kosmologi Jawa,
sementara sebagai kota yang sejak berdiri telah mendapatkan intervensi oleh
kekuatan asing, kota ini juga menerapkan konsep kota kolonial. Kedua konsep ini
commit to user
penghuninya tentu saja mengalami disorientasi dengan adanya percampuran cara
hidup yang boleh dikatakan memiliki jarak budaya yang berseberangan yaitu
antara budaya Timur dan budaya Barat (Kusumastuti, 2004: 28). Pada pola
pemukiman di Praja Mangkunegaran, konsep pembuatan jaringan jalan dibangun
menurut model tata ruang Eropa yang telah meninggalkan konsep arah jalan
tradisional. Daerah kota Mangkunegaran menunjukkan model pembangunan jalan
bergaya Eropa dengan pembuatan taman-taman di antara pertigaan dan
perempatan jalan (Het Begrooting van Mangkoenagoroshe Rijk over het jaar
1920).
Pembangunan sarana dan prasarana serta gedung-gedung perkantoran juga
dibangun. Di zona civic center ini dibangun : Soos Mangkunegaran yaitu gedung
pertemuan untuk para pegawai, Soos Militer yang digunakan sebagai gedung
pertemuan untuk para bintara, tempat ibadah, gudang untuk legiun
Mangkunegaran, tiga gedung kelurahan, kantor polisi, beberapa pos jaga, dan
beberapa rumah dinas untuk para pejabat dari bupati, wedana, hingga camat.
Seluruh pembangunan sarana dan prasarana ini diatur oleh Dinas Pekerjaan
Umum Mangkunegaran.
Dengan berdasarkan latar belakang tersebut maka penulis mengambil
commit to user
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan diatas,
maka penulis merumuskan beberapa masalah antara lain :
1. Bagaimana pembangunan Kota di Praja Mangukunegaran Tahun
1916-1944.
2. Bagaimana tata ruang Kota di Praja Mangukunegaran Tahun
1916-1944.
C. Tujuan Penelitian
1. Mengetahui pambangunan Kota di Praja Mangukunegaran Tahun
1916-1944.
2. Mengetahui tata ruang Kota di Praja Mangukunegaran Tahun
1916-1944.
D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat :
1. Menambah khasanah pengetahuan, yaitu dapat memberikan
pengetahuan tentang pembangunan Kota di Praja Mangkunegaran
tahun 1916 – 1944.
2. Menambah wawasan khususnya bagi penulis dan umumnya bagi
pembaca tentang pembangunan Kota dan tata ruang Kota di Praja
commit to user
2. Manfaat Praktis
1. Untuk memenuhi salah satu syarat guna meraih gelar Sarjana
Kependidikan Program Pendidikan Sejarah Fakultas Keguruan dan
Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta.
2. Untuk menambah koleksi perpustakaan Progam Studi Pendidikan
commit to user
9 BAB II
KAJIAN TEORI
A. Tinjauan Pustaka
1. Kota
Menurut Bintarto ( 1984: 36 ), kota diartikan sebagai suatu sistem jaringan
kehidupan manusia yang ditandai dengan kepadatan penduduk yang tinggi dan
diwarnai dengan strata sosial ekonomi yang heterogen dan coraknya yang
materialistis; atau dapat diartikan sebagai bentang budaya yang ditimbulkan oleh
unsur-unsur alami dan non alami dengan gejala-gejala pemusatan penduduk yang
cukup besar dengan corak kehidupan yang heterogen dan materialistis
dibandingkan bengan baerah belakangnya.
Mater melihat kota sebagai tempat pemukiman penduduknya; baginya yang
penting dengan sendirinya bukanlah rumah tinggal, jalan raya, rumah ibadat,
kantor, taman, kanal dan sebagainya, melainkan penghuni yang menciptakan
segalanya itu. Mumfort lebih melihat kota sebagai suatu tempat pertemuan yang
berkiblat keluar. Max Weber memandang suatu tempat itu kota, jika penghuninya
sebagian besar telah mampu memenuhi kebutuhannya lewat pasar setempat.
Christaller menunjukan fungsi kota sebagai penyelenggaran dan penyediaan
jasa-jasa bagi sekitarnya; kota itu pusat pelayanan ( Short, 1982 : 3-6). Sjoberg melihat
lahirnya kota lebih dari timbulnya suatu golongan spesialis non-agraris, di mana
yang berpendidikan merupakan bagian penduduk yang terpenting. Mereka itu
adalah para literati yakni golongan pujangga, sastrawan dan ahli keagamaan.
Sedangkan Harris dan Ullman melihat kota sebagai pusat untuk permukiman dan
pemanfaatan bumi oleh manusia; buktinya pertumbuhan kota pesat dan mekarnya
terus-menerus. Tetapi sambil mekar terjadi masalah pemiskinan bagi manusianya,
sehingga muncul berbagai masalah sosial ( Bintarto,1984 : 8 ). Sehingga dapat
dikatakan kota adalah suatu kawasan yang biasanya memiliki ciri-ciri: jumlah
penduduk yang relatif padat dibanding dengan kawasan sekitarnya, hubungan
kekerabatan masyarakatnya longgar, penduduknya memiliki berbagai ragam
commit to user
lebih beragam dan modern dibandingkan dengan daerah sekitarnya. Penduduknya
dalam bekerja menggunakan manajemen yang lebih profesional dan
masyarakatnya lebih memiliki kompleksitas kebutuhan dan kepentingan.
Pemahaman kota untuk kurun waktu tertentu dengan kurun waktu yang lain juga
berbeda.
Di Jawa istilah kota dapat di identikan dengan sistem pemerintahan yang
berpolitik, yaitu keraton. Orang Jawa zaman dahulu jika menyebut kota atau
keraton dan penduduk sekitarnya menggunakan istilah negari ( bahasa Jawa
).Pada awalnya kota dapat di identikkan dengan keraton. Istilah nagari mirip
dengan bunyi negara yang berarti , suatu lembaga yang memiliki sistem
pemerintahan yang berpolitik dan memiliki warga. Istilah ini memiliki
keterkaitan asal usul kata sehingga akan semakin jelas bahwa kota terbentuk
karena menonjol sistem pemerintahannya. Menurut J. Gonta ( 1973 : 480 ) dalam
bahasa Sansekerta, kota dapat diartikan sebagai benteng atau pertahanan. Dalam
bahasa Melayu, kota diartikan sebagai desa yang dipertahankan, atau sebagai satu
kesatuan politik. Dengan demikian, cirri khas kota yang menonjol adalah peran
politiknya. Seiring perkembangan zaman khususnya di Jawa tidak hanya memiliki
sistem politik saja, tetapi juga sebagai pusat industri, perdagangan dan sebagainya.
Di Jawa ciri kota antara lain meliputi : 1) keraton ( pusat pemerintahan ); 2)
alun-alun yang terletak di depan keraton; 3) masjid disebelah kiri alun-alun-alun-alun ; dan 4)
pasar tradisional di depan alun-alun keraton. Secara sosial, di Jawa, cirri - ciri
lokasi pusat-pusat kegiatan diatas cenderung memiliki lokasi yang berdekatan,
karena kebiasaan masyarakat Jawa hidup secara komunal ( Hariyono , 2007 : 59 ).
Awal terjadinya permukiman disebabkan oleh beberapa faktor,
diantaranya adalah perpindahan penduduk hingga menetap pada suatu wilayah.
Kota tumbuh dengan sendirinya selanjutnya manusia mengembangkan untuk
kebutuhannya, selain itu ada juga kota yang tumbuh karena direncanakan. Dengan
demikian kota dapat diartikan sebagai berikut. Dalam arti sempit, kota merupakan
perwujudan geografis yang ditimbulkan oleh unsur-unsur fisiografi, sosial,
ekonomi, politik dan budaya di suatu wilayah.Dalam arti luas, kota merupakan
commit to user
ekonomi, politik, dan budaya di suatu wilayah dalam hubungannya dan pengaruh
timbal balik dengan wilayah lain.Kota, adalah tempat tinggal dari beberapa ribu
penduduk atau lebih. Kota, menurut definisi universal, adalah sebuah area urban
yang berbeda dari desa ataupun kampung berdasarkan ukurannya, kepadatan
penduduk, kepentingan, atau status hukum.
Kota ditinjau dari segi fisik morfologis adalah suatu daerah tertentu dengan
karakteristik pemanfaatan lahan non pertanian, pemanfaatan lahan dimana
sebagian besar tertutup oleh bangunan, kepadatan bangunan khususnya
perumahan yang tinggi, pola jaringan jalan yang kompleks, dalam satuan
pemukiman yang kompak dan relatif lebih besar dari satuan pemukiman kedesaan
di sekitarnya. Sementara itu daerah yang bersangkutan sudah/mulai terjamah
fasilitas kota. Sedangkan secara fisik kota adalah area-area terbangun di perkotaan
yang terletak saling berdekatan, yang meluas dari pusatnya hingga keluar daerah
pinggiran kota. Ditinjau dari segi yuridis administrative kota dapat didefinisikan
sebagai suatu daerah tertentu dalam wilayah Negara dimana keberadaannya diatur
oleh Undang-Undang (peraturan tertentu), daerah mana dibatasi oleh batas-batas
administrative yang jelas yang keberadaannya diatur oleh
Undang-Undang/peraturan tertentu dan ditetapkan berstatus sebagai kota dan
berpemerintahan tertentu dengan segala hak dan kewajibannya dalam mengatur
wilayah kewenangannya.
Menurut Sujarto (1970 : 18 ), kota merupakan kesatuan masyarakat yang
heterogin dan masyarakat kota mempunyai tingkat tuntutan kebutuhan yang lebih
banyak apabila dibandingkan dengan penduduk pedesaan. Sedangkan menurut
Bintarto (1977 : 35 ) kota adalah sebuah bentang budaya yang ditimbulkan oleh
unsur-unsur alami dan non alami dengan gejala pemusatan penduduk yang cukup
besar dan corak kehidupan yang bersifat heterogin dan materialistis dibandingkan
dengan daerah belakangnya.
Bagi masyarakat di Praja Mangkunegaran, praja atau kota praja bukan
hanya suatu pusat politik dan budaya, tetapi merupakan pusat keramat. Keraton
adalah tempat bersemayam raja dan raja merupakan sumber-sumber kekuatan
commit to user
kesuburan. Paham ini terungkap dengan sangat jelas dalam gelar para penguasa
keempat wilayah Jawa Tengah hasil perpecahan kerajaan Mataram. Kedua
penguasa di Yogyakarta menyebut diri Hamengku Buwana (yang memangku
jagad raya), dan Paku Alam. Para penguasa Surakarta menyebut dirinya Paku
Buwana dan Mangkunagoro (yang memangku negara). Pandangan tentang
keraton sebagai pusat kekuasaan kosmis menentukan paham negara, kekuatan
yang ada di pusat semakin menjauh akan semakin redup, dan bahkan hilang.
Begitu juga menurut filsafat politik Jawa, negara itu paling padat di pusat, didekat
raja. Dari ibukota kekuatan raja memancar sampai kedesa-desa. Kekuatan itu ada
karena seluruh kekuatan itu menjaga keraton dan memberikan perlindungan serta
memberi keselamatan pada para penghuninya.
Fungsi kota di Praja Mangkunegaran sebagai pusat pemerintahan yang
menerapkan konsep ”civic center”. Berbagai kantor pusat pemerintahan
ketatanegaraan kota praja berada di satu kompleks wilayah. Pembangunan sarana
dan prasarana serta gedung-gedung perkantoran juga dibangun. Pembagian
wilayah kota atas kampung-kampung yang memiliki spesifikasi tertentu
membentuk toponimi yang dapat dibagi dalam beberapa kelompok menurut nama
atau gelar figur penting, nama kelompok abdi dalem, aktivitas setempat, maupun
bentukan baru. Di wilayah Praja Mangkunegaran, beberapa kampung juga
berfungsi sebagai tempat pemukiman kompleks pejabat praja seperti kampung
Tumenggungan. Kampung Tumenggungan merupakan tempat tinggal para pejabat
yang memegang peranan dalam sistem birokrasi pemerintahan Praja
Mangkunegaran, mengingat para pejabat yang tinggal di kampung ini bergelar
Tumenggung. Sementara kampung Punggawan merupakan tempat pemukiman
para pejabat tingkat rendah dan abdi dalem.
Tempat pemikiman lain yang terdapat di Mangkunegaran menunjukkan
nama-nama para bangsawan lama yang sebelum era P.A.A Mangkunagoro IV
memperoleh lahan sebagai tempat tinggalnya. Kampung Mangkubumen dahulu
merupakan tempat tinggal Mangkubumi. Kampung Timuran yang berarti tempat
tinggal putra dari selir Mangkunagoro ketika masih kecil (alit : masih timur)
commit to user
pemukiman pasukan artileri Mangkunegaran (constable). Kampung Jageran
sebagai tempat pemukiman pasukan penggempur Mangkunegaran dan kampung
Kestalan sebagai tempat kandang kuda (staal) milik pasukan kavaleri legiun
Mangkunegaran.
Pada wilayah kota Mangkunegaran terdapat daerah elite orang Eropa yang
dikenal dengan Villapark. Lingkungan Villapark dinyatakan sebagai lingkungan
elit dengan peraturan tersendiri yang dapat dilihat dari Undang-Undang tentang
penggunaan tanah negara di Surakarta, khususnya daerah Mangkunegaran.
Peraturan tentang penggunaan tanah negara di Mangkunegaran tidak meliputi
daerah Villapark, karena daerah ini sudah mempunyai peraturan tersendiri yang
ditetapkan tanggal 1 November 1913 (Rijksblad Mangkunegaran, 15 Januari
1918. No 1. Tahun 1918, artikel no.2 Pasal 3). Lingkungan Villapark dihuni oleh
sebagian besar orang Eropa yang bekerja di sektor perkebunan.
2. Tata Ruang Kota
Tata ruang kota dikatakan sebagai ilmu interdisiplin. Maksudnya,
pengetahuan dan ilmu tata ruang tidak semata meliputi satu disiplin ilmu
pengetahuan. Disiplin pengetahuan adalah suatu kecanggihan yang
dikembangkan untuk memikirkan dan mendalami permasalahan yang sudah
lama menarik perhatian dan menjadi kepedulian pemerhati yang gemar
berpikir. Tata ruang kota adalah bentuk penggunaan lahan yang ada dikota untuk
keperluan tertentu ( jalan , perkantoran, taman, pemukiman dsb ). Daerah
perkotaan umumnya mempunyai tata ruang yang terencana dengan baik, terutama
peningkatan praarana perkotaan yang meliputi tujuh bidang (penyediaan air
bersih, drainase yang baik, pengolahan sampah, sanitasi lingkungan, perbaikan
kampung, pemeliharaan jalan kota, perbaikan sarana dan fungsi pasar).
Tata ruang merupakan kegiataan untuk menjadikan suatu ruang itu
menjadi seperti yang direncanakan. Tata atau penataan dapat diartikan sebuah
perencanaan yang disusun secara berurutan dan terarah. Sedangkan pengertian
commit to user
pemikir Barat cenderung memahami ruang yang bersifat tak terbatas, sedangkan
para pemikir Timur, khususnya Jawa cenderung memehami ruang secara terbatas.
Kecenderungan ini disebabkan paham rasianalisme yang bersifat progresif telah
lama berkembang di Barat, sedangkan di Timur paham rasionalisme baru
berkembang akhir-akhir ini ( Hariyono , 2007 : 5 ). Ruang merupakan alih kata
space untuk Bahasa Indonesia. Dalam Oxford English Dictionary disebutkan
,space berasal dari kata Latin spatium yang berarti terbuka luas, memungkinkan
orang melakukan kegiatan dan bergerak leluasa didalamnya, dan dapat
berkembang tak terhingga. Ruang dalam bahasa Jawa disebut dengan istilah rong
yang bererti suatu keadaan kosong yang terdapat pada batasan dua kerangka
utama yang menunjang atap. Rong juga berarti lubang tempat serangga bersarang
dan gua. Gagasan tersebut mengacu pada sesuatu yang terbatas, bervolume dan
nyata. Rong menurunkan kata rongga yang berarti ruang kosong yang terdapat
pada suatu benda. Dengan demikian, ruang dalam budaya Jawa memiliki batasan
yang sifatnya terbatas dan konkret. Secara mitos, ruang dalam pemahaman Jawa
adalah tempat yang bersifat konkret yang dihuni oleh makhluk hidup maupun
makhluk halus ( Tjahyono, 1990 : 29 ).
Tata ruang kota-kota di Jawa khususnya sebagian besar masih menganut
konsep kosmologi Jawa yang merupakan bagian dari konsep kosmogoni. Seorang
raja sering dianggap sebagai representasi dewa sekaligus penguasa kota.
Kepercayaan ini membawa pengaruh konsep kosmogoni untuk merancang
kotanya. Konsep kosmogoni adalah suatu pemahaman tentang kesejajaran antara
alam makrokosmos dan mikrokosmos dalam suatu pertautan dimuka bumi. Alam
semesta atau jagad raya diimitasikan dengan dunia manusia di alam jagad kecil.
Dalam konsep kosmogoni disebutkan bahwa kemakmuran dan ketentraman dunia
dapat dicapai dengan menyusun dunia manusia sebagai replica alam semesta.
Sebagai konsekuensinya kota kerajaan harus dirancang sesuai dengan gambaran
bagian – bagian alam semesta yang dihayati. Ibukota atau istana raja tidak hanya
sebagai pusat pemerintahan dan kebudayaan, melainkan juga sebagai pusat
commit to user
yang digunakan untuk tata ruang terdapat kesatuan antara masyarakat, alam, dan
alam adikodrati serta kedudukan raja sebagai pemusatan kekuatan kosmis.
Dalam lingkaran pertama pandangan dunia Jawa, dunia luar dihayati
sebagai lingkungan kehidupan individu yang homogen, yang di dalamnya
manusia menjamin keselamatannya dengan menempatkan dunia ini sebagai
penghayatan terhadap masyarakat, alam dan alam adikodrati sebagai satu kesatuan
yang tak terpecah-belah. Dari tingkah laku yang tepat terhadap kesatuan itu
tergantung keselamatan manusia. Masyarakat dan alam merupakan lingkup
kehidupan masyarakat Jawa sejak lahir. Melalui masyarakat, manusia
berhubungan dengan alam.
Konsep kehidupan masyarakat bagi orang Jawa merupakan sumber rasa
aman, begitu pula alam dihayati sebagai kekuasaan yang menentukan keselamatan
sekaligus kehancurannya. Dasar kepercayaan Jawa atau Jawanisme adalah
keyakinan bahwa segala sesuatu yang ada di dunia ini pada hakekatnya adalah
satu, atau merupakan suatu kesatuan hidup. Jawanisme memandang kehidupan
manusia selalu terpaut erat dalam kosmos alam raya. Dengan demikian hidup
manusia merupakan suatu perjalanan yang penuh dengan pengalaman-pengalaman
yang religius (Mulder, 1973 : 36 ). Apa yang dialami manusia sejak dilahirkan
sampai pada kematian atau kejadian yang dialami manusia selama manusia hidup
selalu terkait dengan kekuatan dari alam lain (adikodrati/gaib). Alam pikiran Jawa
merumuskan bahwa kehidupan manusia berada dalam dua kosmos yaitu
makrokosmos (jagad gede) dan mikrokosmos (jagad cilik) yang saling
berhubungan dan tidak dapat dipisahkan. Makrokosmos merupakan lukisan atau
gambaran dari mikrokosmos, sebaliknya mikrokosmos pun adalah lukisan dari
makrokosmos. Hal ini didasarkan bahwa hakekat segala yang ada di dunia ini
adalah satu. Di satu pihak, makrokosmos adalah sikap dan pandangan hidup
terhadap alam semesta yang dianggap sebagai alam yang mengandung kekuatan
supranatural dan penuh dengan hal-hal yang bersifat wadi (misterius). Di lain
pihak, mikrokosmos adalah sikap dan pandangan hidup terhadap jagad cilik
(manusia). Tujuan utama dalam hidup adalah mencari serta menciptakan
commit to user
mikrokosmos, dalam mewujudkan ”keselamatan” dan ”kedamaian” seperti yang
sesuai dengan sifat-sifat ilahi.
Alam inderawi bagi orang Jawa merupakan ungkapan alam gaib. Alam
adalah ungkapan kekuasaan yang akhirnya menentukan kehidupan manusia.
Dalam alam ini manusia mengalami betapa sangat tergantung dari
kekuasaan-kekuasaan adidunia yang tidak diperhitungkan, yang disebut dengan alam gaib.
Kosmos, termasuk kehidupan benda-benda, peristiwa-peristiwa di dunia
merupakan suatu kesatuan eksistensi dimana setiap materiil dan spiritual
mempunyai arti yang jauh melebihi apa yang nampak (Mulder, 1984 : 18.) Bagi
orang Jawa alam empiris berhubungan erat dengan alam dengan alam metampiris
(alam gaib), mereka saling meresapi. Kepekaan terhadap dimensi gaib dunia
empiris menemukan ungkapannya dalam berbagai cara, misalnya upacara-upacara
religius. Kesatuan antara masyarakat, alam, dan alam adikodrati dilaksanakan
orang Jawa dalam sikap hormat terhadap nenek moyang (leluhur), roh-roh, dan
kekuatan halus. Bagi orang Jawa, kehidupan di dunia ini merupakan tempat
dimana kesejahteraannya tergantung dari apakah manusia berhasil menyesuaikan
diri dengan kekuatan-kekuatan gaib itu. Supaya roh-roh itu berkenan kepadanya
maka pada waktu-waktu tertentu dipersembahkan sesajen.
Masyarakat Jawa percaya bahwa tidak mungkin memisahkan sesuatu yang
sakral dari yang profan, yang bersifat kodrati dari yang bersifat adikodrati.
Kehidupan dalam kosmos alam raya dipandang sebagai sesuatu yang telah teratur
dan telah tersusun secara bertingkat (hierarkis). Kewajiban moril daripada segala
sesuatu yang ada ialah menjaga keselarasan hidup dengan segala tata tertib yang
dilambangkan dalam susunan alam semesta. Kekuasaan ilahi tersebut dinyatakan
dalam paham ketuhanan yang antara lain disebut sebagai kekuatan Brahma, Gusti,
Hyang Maha Kuasa, Hyang Murbeng Jagad, Hyang Tunggal, dan banyak lagi
sebutan lain yang merupakan perwujudan dari rasa Ketuhanan dalam alam pikir
Jawa.
Adapun sikap dan pandangan terhadap dunia manusia (mikrokosmos)
adalah tercermin pada kehidupan manusia dan lingkungannya, susunan manusia
commit to user
nampak mata (kasat mata). Tanpa adanya tata kehidupan yang nyata dan teratur
dalam dunia manusia (mikrokosmos), kehidupan manusia senantiasa berusaha
memahami arti dan kehidupan serta berusaha menemukan nilai-nilai baru untuk
diterapkan dalam bentuk kehidupan yang lebih sempurna. Keberhasilan manusia
dalam menjalani kehidupan yang baik dan benar di dunia ini tergantung pada
kekuatan batin jiwanya.
Bagi orang Jawa, masyarakat, alam, dan alam adikodrati dirasakan sebagai
kesatuan terungkap dalam kepercayaan bahwa semua peristiwa alam empiris
berkaitan dengan peristiwa-peristiwa di alam metampiris (Franz Magnis Suseno,
1985:90). Apa yang terjadi di sisi realitas yang satu mempunyai kecocokan
dengan sisi satunya. Oleh karena itu manusia tidak boleh bertindak gegabah
seakan-akan masalahnya terbatas pada dimensi sosial dan alamiah saja. Dalam
segala tindak-tanduk manusia harus bersikap sedemikian rupa sehingga tidak
bertabrakan dengan berbagai roh dan kekuatan halus. Kepercayaan akan
keterkaitan antara peristiwa-peristiwa di dunia dan di alam gaib barangkali
merupakan salah satu latar belakang kepopuleran berbagai upacara.
Alam pikiran, sikap serta pandangan hidup tentang alam semesta
(makrokosmos) merupakan peninggalan konsep dari paham Hindu Jawa. Pada
dasarnya apabila setiap manusia melaksanakan tugas dan kewajiban hidupnya
(Dharma), dan berpegang pada aturan ilahi atau kekuatan Brahma yang berkuasa
atas kehidupan alam semesta, maka dia akan menuju pada keselamatan dunia serta menciptakan kehidupan yang ”tata tenterem, kerta raharja” yaitu kehidupan yang bahagia, aman, dan sejahtera. Di situlah letak hubungan khusus serta penyatuan
antara makrokosmos dan mikrokosmos dalam kehidupan orang Jawa.
3. Pembangunan Di Praja Mangkunegaran
Pembangunan didefinisikan sebagai rangkaian usaha mewujudkan
pertumbuhan dan perubahan secara terencana dan sadar yang ditempuh oleh suatu
commit to user
ide pokok. Pertama : pembangunan merupakan suatu proses. Berarti
pembangunan merupakan rangkaian kegiatan yang berlangsung secara
berkelanjutan dan terdiri dari tahap – tahap yang di satu pihak bersifat independen akan tetapi di pihak lain merupakan „ bagian‟ dari sesuatu yang bersifat tanpa akhir . Kedua : pembangunan merupakan upaya secara sadar yang ditetapkan
sebagai suatu untuk dilaksanakan. Ketiga : pembangunan dilakukan secara
terencana. Keempat : rencana pembangunan mengandung makna pertumbuhan
dan perubahan. Kelima : pembangunan mengarah pada modernitas. Modernitas
disini diartikan antara lain sebagai cara hidup yang baru dan lebih baik dari
sebelumnya, cara berfikir yang rasional dan sistem budaya yang kuat tetapi
fleksibel.Keenam : modernitas yang ingin dicapai melalui bergai kegiatan
pembangunan bersifat multidimensional ( Siagan.P, 2000 : 5 ).
Kadipaten Mangkunegaran didirikan dan ditegakkan di atas hasil
perjuangan, bukan hadiah, sekalipun Mangkunegaran adalah vassal kompeni dan
di bawah Kasunanan Surakarta, bahwa dalam perjalan sejarahnya pengaruh
kompeni sangat besar terhadap Kadipaten Mangkunegaran. Namun semua ini
pada dasarnya karena kompeni ketakutan terhadap timbulnya kekuatan baru yang
menentangnya. Oleh karena perjuangan itu dijalankan bersama antara yang
dipimpin dan yang memimpin, tegasnya antara R. M. Said dan para pengikutnya,
maka hasil- hasil perjuangan tidak dimiliki oleh seseorag atau sekelompok orang,
melainkan dimiliki oleh bersama. Atas dasar inilah maka Praja Mangkunegaran
tidak menjadi milik pribadi pihak yang memimpin perjuangan, dan kemudian naik
tahta memimpin Mangkunegaran, tetapi juga milik para pengikutnya yang ikut
dalam perjuangan. Dengan pemahaman inilah, maka kontinuitas atau
kelanggengan menjadi target atau tujuan yang terus- menerus diperjuangakan
demi kelangsungan Praja Mangkunegaran sendiri. Ia diangkat menjadi raja
bergelar Pangeran Adipati Mangkunegoro, dan menguasai suatu daerah yang pada
tanggal 17 Maret 1757 luasnya 4000 cacah.Wilayah Kasunanan dan Kasultanan
dikemudian hari dikurangi oleh Deandels, yang harus mempertahankan Pulau
Jawa dari Inggris. Kemudian jaman Inggris, Sir Thomas Stamford Rafles
commit to user
Kasultanan, dengan menunjuk Yogyakarta sebagai istananya. Setelah
pembentukan Paku Alaman, kemudian pada 21 Oktober 1813, daerah
Mangkunegaran diperluas, serta Pangeran Mangkunegoro memperoleh kebebasan
lebih banyak. Yang menjadi alasan untuk itu adalah suatu persekutuan antara
Sunan dan Sultan untuk melawan pemerintah Inggris. Alasan ini pula yang
digunakan untuk mendirikan Paku Alaman. Setelah perang Jawa ( 1825 – 1830 ),
maka pada 22 Pebruari 1830 wilayah Mangkunegaran diperluas lagi, yaitu dengan
tanah Ngawen. Yang memperluas ini adalah pihak Belanda , dengan mengambil
wilayah Sultan. Dan pada 22 September 1830 telah ditatapkan batas – batas
wilayah Mangkunegaran hingga tahun 1934. Namun setelah tahun 1900, batas –
batas wilayah Mangkunegaran diubah lagi dengan menukarkan beberapa tanah
dengan tanah Kasunanan, hal ini untuk menghindari adanya en clave ( tamah yang
terkurung oleh wilayah negara lain ).
Landasan juang RM.Said atau K.G.P.A.A Mangkunagoro I serta para
kawulanya tertumpu pada 3 langkah :
1. Mulat Sarira Hangrasa Wani (kenalilah dirimu sendiri)
2. Rumangsa melu Handarbeni (merasa ikut memiliki)
3. Wajib Melu Hangrungkebi (berkewajiban untuk siap membela
kepentingan Praja)
Mulat sarira, hangrasa wani, sesungguhnya merupakan candrasengkala tahun
pendirian Mangkunegaran yakni tahun 1757 Masehi. Mulat sarira berarti
mengetahui diri sendiri dengan melakukan introspeksi yang perlu dihayati agar
dapat mengatasi rintangan yang menghalang-halangi perbaikan pribadi kita.
Introspeksi juga menimbulkan kesadaran kita akan keakraban kita dengan sesama,
alam, dan Tuhan.
Prinsip kedua Tri Darma ialah : Rumangsa Melu Handarbeni. Ucapan ini
disampaikan oleh RM. Said setelah dinobatkan sebagai Mangkunagoro I. Ucapan
ini ditujukan kepada para pengikut setianya untuk diteruskan kepada
keturunannya, serta rakyat. Rakyat harus menganggap daerah Praja
Mangkunegaran sebagai miliknya sendiri, tempat mereka akan memperoleh
commit to user
sehingga terjadi persatuan antara mereka, yang mencakup dalam manunggaling
kawula gusti Prinsip ini memuat bahwa Mangkunagoro dan rakyat bersama-sama
memiliki daerah Praja Mangkunegaran. Mangkunagoro yang memimpin Praja
Mangkunegaran akan berusaha menyejahterakan rakyat. Negara bukan milik
perorangan, tetapi merupakan tempat berlindung seluruh rakyat, sehingga setiap
orang dapat melakukan pekerjaannya. Negara dipandang sebagai milik kolektif,
maka setiap warganya perlu turut berusaha mengembangkannya,
mempertahankannya serta menjaga dari berbagai bentuk ancaman.
Prinsip ketiga Tri Dharma, ialah : Wajib Melu Hangrungkebi. Prinsip
ketiga ini erat hubungannya dengan prinsip pertama dan kedua. Kedua pihak
bertanggung jawab penuh atas kelestarian negara, maka rakyat diharapkan
menjalankan tugas bagi negara dengan semangat berkorban, penuh dedikasi dan
mampu menyesuaikan diri dengan perubahan zaman.
Ketiga gatra tersebut merupakan pedoman langkah dimana satu sama lain
saling bergandengan, mengisi dan melengkapi. Falsafah tersebut dikenal dengan
sebutan Tri Dharma yang berarti juga mawas diri dan merasa berani. Pada
dasarnya Tri Dharma bermakna sebagai berikut :
1. Tri Dharma pada hakekatnya adalah dasar utama berdirinya Praja
Mangkunegaran.
2. Tri Dharma adalah sikap hidup dan pola tingkah laku serta tingkah karya
bagi pimpinan negara, narapraja, punggawa, dan kerabat Mangkunegaran.
3. Tri Dharma merupakan dasar bertindak dalam pembinaan dan
pengembangan Praja Mangkunegaran.
4. Tri Dharma adalah pengarah bagi kehidupan kerabat dan orang-orang
Mangkunegaran dalam menghadapi pasang surutnya keadaan serta dalam
menyesuaikan diri dengan zaman dan situasi ( NN, 1969 : 9 ).
Mangkunegaran memperoleh perluasan wilayah oleh Belanda yang tidak
commit to user
haruslah keturunan dari Raja pertama dari negaranya. Meskipun hak – haknya
dibatasi oleh Belanda, namun Raja- raja di Mangkunegaran berhasil mendirikan
negara yang kuat karena kemampuannya. Sampai tahun 1934 Mangkunegaran
mempunyai tujuh orang Raja yang dalam setiap pemerintahannya terdapat tahapan
pembangunan yang berkesinambungan. Pembangunan wilayah Mangkunegaran
dilakukan secara bertahap di segala bidang pada masing-masing Raja, ketujuh
Raja tersebut adalah sebagai berikut :
1. Mangkunegoro I ( 1757 – 1795 ), sebelum dinobatkan sebagai raja, ia
bernama dan bergelar Raden Mas Said dan Pangeran Suryokusumo.Ia
adalah cucu dari Sunan Mangkurat IV dari Mataram.
2. Mangkunegoro II ( 1796 – 1835 ), adalah cucu dari pendahulunya, dan
naik tahta dengan gelar Pangeran Ario Prabu Prangwadono.
3. Mangkunegoro III ( 1835 – 1853 ), adalah seorang putra dari seorang putri
Mangkunegoro II. Ia naik tahta dengan gelar Pangeran Adipati Ario Prabu
Prangwadono, dan pada tahun 1842 bergelar Mangkunegoro.
4. Mangkunegoro IV ( 1853 – 1881 ), adalah putra dari putri Mangkunegoro
II yang lebih muda. Gelarnya sama dengan pendahulunya, baru pada tahun
1857 bergelar Mangkunegoro.
5. Mangkunegoro V ( 1881 – 1896 ) , adalah putera Mangkunegoro IV.
6. Mangkunegoro VI ( 1896 – 1916 ), adalah saudara Mangkunegoro V.
Sejak ini Mangkunegaran berdiri lepas dari Keraton dan Susuhunan
Surakarta. Pada masa ini terjadi perbaikan ekonomi di Praja
Mangkunegaran , sehingga keuangan Mangkunegaran berangsur pulih
kembali. Pembangunan di berbagai bidang mulai dilakukan, tidak hanya
bidang keuangan, tetapi juga bidang pendidikan, kesehatan, pangan dan
pembangunan fisik terus dilakukan di Praja Mangkunegaran sampai masa
kekuasaaan Mangkunegoro VI berakhir dan diteruskan oleh penggantinya
nanti.
7. Mangkunegoro VII ( 1916 – 1944 ), adalah putra ke tiga dari
Mangkunegoro V. Ia adalah seorang aktivis organisasi bersifat kebudayaan
commit to user
redaksi harian Jawa “ Darmo Kondo “, anggota Dewan Pengawas perkumpulan “ Budi Utomo “. Dan menjadi ketua Dewan Hindia ( volksraad ). Setelah dinobatkan menjadi Raja, ia pun berhenti dari
kegiatan tersebut. Pada masa pemerintahannya, banyak kebijakan yang
dikeluarkan. Yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan di Praja
Mangkunegaran dan wilayahnya. Pembangunan kota dengan peningkatan
sarana perkotaan, pembuatan taman – taman kota dan pembaharuan irigasi
dengan membuat bendungan dan waduk, merupakan progam – progam
dalam kebijakannya.
Daerah Mangkunegaran terletak di tanah Swapraja ( Vorstenlanden ) di
bagian Timur dari Jawa Tengah. Dan ditanah Swapraja itu juga di bagian
Timurnya. Daerah itu meliputi lereng Barat dan Selatan dari Gunung Lawu yang
meluas sampai daerah hulu dari Bengawan Solo menuju Gunung Kidul. Sebanyak
35.183 orang tinggal di Kota Mangkunegaran. Sedangkan luas daerah dari
Mangkunegaran adalah 2.815,14 Km2.
Seperti tercantum dalam perjanjian yang sudah disetujui, wilayah
kekuasaan Praja Mangkunegaran adalah daerah Keduwang, Laroh, Matesih dan
Gunung Kidul. Baru pada masa pemerintahan Mangkunagoro II (1796-1835)
daerah Praja Mangkunegaran bertambah 240 jung dan kemudian bertambah lagi
500 cacah (1 cacah = 4 bau. 1 bau = 0,7096 ha. 1jung = 4 karya = 16 bau).
Mangkunagoro II telah berjasa kepada Rafflesh, membantu mengadakan
perlawanan terhadap Sultan Hamengku Buwono II. Sebagai hadiah atas
jasa-jasanya, maka Rafflesh memperluas daerah Mangkunegaran yang meliputi :
1. Keduwang 72 jung
2. Sembuyan 12 jung
3. Mataram 2,5 jung
4. Sukowati Timur 95,5 jung
5. Sukowati Barat 28,5 jung
6. Sebelah Timur Merapi 29,5 jung
commit to user
Setelah terjadi perang Diponegoro (1825-1830), daerah Mangkunegaran
diperluas dengan 500 cacah, semuanya milik Yogyakarta yang ada di Sukowati.
Selama berlangsungnya perang Diponegoro, Mangkunagoro II membantu Belanda
kemudian setelah perang usai daerah yang telah dikuasai oleh Belanda diserahkan
sebagai hadiah atas jasa-jasanya. Dengan tambahan itu daerah Mangkunegaran
luasnya menjadi 5.500 karya, yang meliputi :
1. Keduwang 141 jung
2. Laroh 115,25 jung
3. Matesih 218 jung
4. Wiraka 60,5 jung
5. Hariboyo 82,5 jung
6. Hanggabayan 25 jung
7. Gunung Kidul 71,5 jung
8. Sembuyan 113 jung
Jumlah 846,75 jung
Sedang mengenai letak geografis wilayah Praja Mangkunagaran dibatasi
dengan sebelah utara dengan pegunungan kapur Kendeng, sebelah selatan dengan
Samudra Hindia dan tanah datar wilayah Yogyakarta,sebelah timur dengan
Gunung Lawu,sebelah barat dengan Gunung Merapi dan Merbabu. ( Moh,
Dalyono, 1939 : 105 ).
Untuk menghindari adanya enclave (tanah yang terkurung oleh wilayah
negara lain), pada tanggal 27 September 1830 dibuatlah kontrak yang
mengakibatkan swapraja di Surakarta dan Yogyakarta memiliki wilayah yang
terpisah dengan daerah yang lain oleh garis batas. Adapun caranya yaitu dengan
menukarkan beberapa tanah wilayah Praja Mangkunegaran dengan Kasunanan.
Sejak tahun 1917 berdasarkan Rijksblad Mangkunegaran tahun 1917 No. 331,
Mangkunegaran terdiri dari tiga kabupaten yaitu Wonogiri, Karanganyar, dan
commit to user
B. Kerangka Berpikir
Keterangan :
Berbagai pembaharuan yang dilakukan Mangkunegara VII, tidak lepas
dari pendahulunya yang bernama GRM Soejitno yang bergelar Mangkunegara VI
, hal ini dilakukan juga karena ada intervensi oleh kekuatan asing dalam hal ini
adalah Belanda. (Sarwanto Wiryosuputra, 1981: 1). Perekonomian Praja
Mangkunegaran yang mengalami kebangkrutan, telah pulih kembali keadaannya.
Beliau juga telah dapat kembali menempatkan pemerintahannya pada martabat
ekonomi yang terhormat. Kerja keras Mangkunegara VI yang bertujuan untuk Perbaikan Pembangunan
Ekonomi MN VI MN VII 1916-1944
Pembangunan di Praja Mangkunegaran
Transportasi Kesehatan
Pendidikan Prasarana
Perkotaan
Tata Ruang Kota di Praja Mangkunegaran
Konsep Kosmologi Jawa
Konsep Kota Kolonial
Macapat
Civic Center Intervensi oleh Kolonial
commit to user
memajukan praja Mangkunegaran ini dijadikan suri dan teladan bagi
Mangkunegara VII.
K.G.P.A.A. Mangkunegara VII naik tahta pada tahun 1916, menggantikan
kedudukan K.G.P.A.A. Mangkunegara VI yang pensiun dan pindah ke Surabaya.
Tugas Mangkunegara VII adalah melanjutkan masa pemerintahan gemilang
Mangkunegara VI. Sebagai seorang pribadi terpelajar yang juga pernah
mengenyam pendidikan di negeri Belanda, beliau sadar bahwa untuk memajukan
kehidupan rakyatnya harus segera dilakukan pembaharuan. Ada beberapa faktor
yang mempengaruhi pembangunan perkotaan di wilayah Praja Mangkunegaran
yaitu : faktor politik, faktor ekonomi, dan faktor sosial.
Sejalan dengan kemajuan di sektor pendidikan, transportasi, kehutanan,
dan irigasi, Mangkunegara VII juga sangat memperhatikan tata kota di wilayah
Mangkunegaran. Konsep ”civic center” telah diterapkan di wilayah kota
Mangkunegaran. Pada konsep ini berbagai kantor pusat pemerintahan
ketatanegaraan kota praja berada di satu kompleks wilayah. Pembangunan sarana
dan prasarana serta gedung-gedung perkantoran juga dibangun. Di zona civic
center ini dibangun : Soos Mangkunegaran yaitu gedung pertemuan untuk para
pegawai, Soos Militer yang digunakan sebagai gedung pertemuan untuk para
bintara, tempat ibadah, gudang untuk legiun Mangkunegaran, tiga gedung
kelurahan, kantor polisi, beberapa pos jaga, dan beberapa rumah dinas untuk para
pejabat dari bupati, wedana, hingga camat. Seluruh pembangunan sarana dan
prasarana ini diatur oleh Dinas Pekerjaan Umum Mangkunegaran.
Di kawasan Banjarsari dibangun perumahan elit yang disebut Villapark.
Seiring dengan pembangunan jalan-jalan, beliau juga membangun beberapa taman
commit to user
28 BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
A. Tempat dan Waktu Penelitian
1. Tempat Penelitian
Dalam penelitian historis yang berjudul “ Perkembangan Perkotaan Di
Praja Mangkunegaran ( Studi Tentang Kebijakan Mangkunegara VII , 1916 –
1944 ) “, penulis melakukan teknik pengumpulan data , baik data primer maupun
sekunder melalui studi pustaka. Adapun perpustakaan yang digunakan dalam
mencari data – data tersebut adalah sebagai berikut:
a. Perpustakaan Pusat Universitas Sebelas Maret Surakarta.
b. Perpustakaan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas
Sebelas Maret Surakarta.
c. Perpustakaan Program Studi Pendidikan Sejarah Universitas Sebelas
Maret Surakarta.
d. Perpustakaan Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret
Surakarta.
e. Perpustakaan Reksa Pustaka Mangkunegaran.
2. Waktu Penelitian
Waktu yang direncanakan untuk penelitian ini adalah sejak bulan
Oktober 2010 sampai dengan sekitar bulan April 2011.
B. Metode penelitian
Dalam suatu penelitian, peranan metode ilmiah sangat penting karena
keberhasilan tujuan yang akan dicapai tergantung dari penggunaan metode yang
tepat. Kata metode berasal dari bahasa Yunani, methodos yang berarti cara atau
jalan. Sehubungan dengan karya ilmiah, maka metode menyangkut masalah cara
kerja, yaitu cara kerja untuk memahami obyek yang menjadi sasaran ilmu yang
commit to user
Sedangkan menurut Helius Sjamsudin (1996 : 6), yang dimaksud dengan
metode adalah suatu prosedur teknik atau cara melakukan penyelidikan yang
sistematis yang dipakai oleh suatu ilmu (sains), seni atau disiplin ilmu yang lain.
Penelitian ini merupakan penelitian yang berusaha merekonstruksikan,
mendiskripsikan dan memaparkan krisis ekonomi Mangkunegaran. Mengingat
peristiwa yang menjadi pokok penelitian adalah peristiwa masa lampau, maka
metode yang digunakan adalah metode historis atau sejarah. Dengan melihat
peristiwa di masa lampau sehingga dapat menghasilkan historiografi sejarah yang
dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.
Menurut Louis Gottschalk yang dikutip Dudung Abdurrahman (1999: 44)
menjelaskan metode sejarah sebagai proses menguji dan menganalisis kesaksian
sejarah guna menemukan data yang otentik dan dapat dipercaya, serta usaha
sintesis atas data semacam itu menjadi kisah sejarah yang dapat dipercaya.
Menurut Helius Syamsuddin dan Ismaun (1996: 61), yang dimaksud metode
sejarah adalah proses menguji dan mengkaji kebenaran rekaman dan
peninggalan-peninggalan masa lampau dengan menganalisis secara kritis bukti-bukti dan
data-data yang ada sehingga menjadi penyajian dan ceritera sejarah yang dapat
dipercaya.Sedangkan menurut Nugroho Notosusanto (1971: 23) mengatakan bahwa “metode penelitian sejarah merupakan proses pengumpulan, menguji, menganalisis secara kritis rekaman-rekaman dan penggalian-penggalian masa
lampau menjadi kisah sejarah yang dapat dipercaya, metode ini merupakan proses
merekonstruksi peristiwa-peristiwa masa lampau, sehingga menjadi kisah yang nyata”.
Dari beberapa pendapat di atas, maka dapat disimpulkan bahwa metode
penelitian sejarah adalah kegiatan pemecahan masalah dengan mengumpulkan
sumber-sumber sejarah yang relevan dengan permasalahan yang akan dikaji.
Sehingga dapat memahami kejadian pada masa lalu kemudian menguji dan
menganalisa secara kritis dan mengajukan sintesis dari hasil yang dicapai dalam
bentuk tertulis dari sumber sejarah tersebut, agar dapat dijadikan suatu cerita
commit to user
C. Sumber Data
Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah sumber data
sejarah. Sumber data sejarah sering disebut juga data sejarah. Menurut Kuntowijoyo (1995 : 94) kata ”data” merupakan bentuk jamak dari kata tunggal datum (bahasa latin) yang berarti pemberitaan.
Menurut Helius Syamsuddin dan Ismaun (1996 : 61) sumber sejarah ialah
bahan-bahan yang dapat digunakan untuk mengumpulkan informasi tentang
peristiwa yang terjadi pada masa lampau.
Helius Syamsuddin ( 1994: 73) mengemukakan tentang pengertian sumber
sejarah, yaitu:
Segala sesuatu yang langsung atau tidak langsung menceritakan kepada kita tentang sesuatu kenyataan atau kegiatan manusia pada masa lalu (past actuality). Sumber sejarah merupakan bahan-bahan mentah (raw materials) sejarah yang mencakup segala macam evidensi (bukti) yang telah ditinggalkan oleh manusia yang menunjukkan segala aktivitas mereka di masa lalu yang berupa kata-kata yang tertulis atau kata-kata yang diucapkan (lisan).
Dalam usaha untuk mengunpulkan data, penulis menggunakan sumber
tertulis. Sumber tertulis dibedakan menjadi dua, yaitu sumber tertulis primer dan
sumber tertulis sekunder. Louis Gottshalck (1986: 35) mengemukakan bahwa
sumber tertulis primer adalah kesaksian dari seorang saksi dengan mata kepala
sendiri. Sumber tertulis primer juga dapat diartikan sebagai data yang didapatkan
dari masa yang sejaman dan berasal dari orang yang sejaman. Sedangkan sumber
tertulis sekunder merupakan kesaksian dari pada siapapun yang bukan merupakan
saksi mata, yakni dari seseorang yang tidak hadir dari peristiwa yang
dikisahkannya. Sumber tertulis sekunder juga dapat diartikan sebagai data yang
ditulis oleh orang yang tidak sejaman dengan peristiwa yang dikisahkannya.
Dalam skripsi ini sumber-sumber yang digunakan adalah surat kabar dan
beberapa literatur lain baik arsip, buku maupun artikel mengenai Praja
Mangkunegaran masa Mangkunegaran VII, antara lain arsip : Overzichtkaart
Tirtonadi Complex, Verkorte stamboom van Zijne Hoogheid PAA
commit to user
Surakarta : Rekso Pustaka. Buku : A.K. Pringgodigdo. 1983. Lahir Serta
Tumbuhnya Praja Mangkunegaran. Surakarta : Rekso Pustaka., Hadisoebroto.
1960. KGPAA Mangkunegara VI. Surakarta : Rekso Pustaka., Mohammad
Dalyono. 1939. Ketataprajaan Mangkunegaran. Surakarta : Rekso Pustaka., Notodhiningrat. 1939. “Pengairan Di Mangkunegaran Selama Tiga Windu”. Supllement Triwindoe Gedenkboek Mangkunagara VII. Sala : Rekso Pustaka,
Sarwanto Wiryoseputro. 1981. KGPAA Mangkunegara VII. Surakarta : Rekso
Pustaka, Roeshadi Sambojo. Tanpa tahun. Serat Warsitatama. Surakarta : Rekso
Pustaka. Kesemua sumber data tersebut dikaji, kemudian dianalisis maka
diperoleh data yang digunakan untuk menyusun cerita sejarah yang obyektif.
D. Teknik Pengumpulan Data
Berdasarkan sumber data yang diperlukan dalam penelitian ini, maka
dalam melakukan teknik pengumpulan data digunakan teknik kepustakaan atau
studi pustaka. Studi pustaka berperan penting sebagai proses bahan penelitian,
tujuannya sebagai pemahaman secara menyeluruh tentang topik permasalahan
yang sedang dikaji. Studi pustaka adalah suatu teknik pengumpulan data yang
dilakukan dengan tujuan untuk memperoleh data atau fakta sejarah, dengan cara
membaca buku-buku literatur, majalah, dokumen atau arsip, surat kabar atau
brosur yang tersimpan di dalam perpustakaan (Koentjaraningrat, 1983: 3).
Keuntungan yang diperoleh dari penggunaan studi pustaka menurut
Koentjaraningrat (1986: 18) ada 4 yaitu:
(1) Memperdalam kerangka teoritis yang digunakan sebagai landasan teori
pemikiran
(2) Memperdalam pengetahuan tentang masalah yang diteliti
(3) Mempertajam konsep yang digunakan, sehingga mempermudah dalam
perumusannya
(4) Menghindari terjadinya pengulangan suatu penelitian
Kegiatan pengumpulan data dalam penelitian ini dilaksanakan sebagai