• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERKEMBANGAN PERKOTAAN DI PRAJA MANGKUNEGARAN ( STUDI TENTANG KEBIJAKAN MANGKUNEGORO VII , 1916 – 1944 )

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "PERKEMBANGAN PERKOTAAN DI PRAJA MANGKUNEGARAN ( STUDI TENTANG KEBIJAKAN MANGKUNEGORO VII , 1916 – 1944 )"

Copied!
83
0
0

Teks penuh

(1)

commit to user

PERKEMBANGAN PERKOTAAN DI PRAJA MANGKUNEGARAN ( STUDI TENTANG KEBIJAKAN MANGKUNEGORO VII , 1916 – 1944 )

SKRIPSI

Oleh:

Nova Yunanto Putro NIM: K 4407032

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS SEBELAS MARET

SURAKARTA

2011

(2)

commit to user

ii

PERKEMBANGAN PERKOTAAN DI PRAJA MANGKUNEGARAN

( STUDI TENTANG KEBIJAKAN MANGKUNEGORO VII , 1916 – 1944 )

Oleh :

Nova Yunanto Putro NIM: K 4407032

Skripsi

Ditulis dan diajukan untuk memenuhi persyaratan

mendapatkan gelar Sarjana Pendidikan Program Pendidikan Sejarah

Jurusan Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET

(3)

commit to user

(4)

commit to user

(5)

commit to user

v ABSTRACT

Nova Yunanto Putro. K4407032. URBAN DEVELOPMENT OF MANGKUNEGARAN (VII Mangkunegara Policy Studies, 1916 - 1944). Thesis. Surakarta: Faculty of Teacher Training and Education. Eleven March Surakarta University, April 2011.

The purpose of this research was to describe: (1) Development of the city of Mangkunegaran 1944, (2) Layout of the city of Mangkunegaran 1916-1944.

The purpose of the research, was historical method with the heuristic step, critical, interpretation, and historiography. The data of the study were primary sources and secondary sources. Collecting data technique was by literature studies. The technical analysis data was historical analysis, by conducting internal and external criticism.

(6)

commit to user

vi ABSTRAK

Nova Yunanto Putro. K4407032. PERKEMBANGAN PERKOTAAN DI

PRAJA MANGKUNEGARAN ( Studi Tentang Kebijakan Mangkunegara

VII , 1916 – 1944 ). Skripsi. Surakarta: Fakultas Keguruan dan Ilmu

Pendidikan. Universitas Sebelas Maret Surakarta, April 2011.

Tujuan penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan: (1) Pembangunan kota di Praja Mangkunegaran tahun 1916-1944; (2) Tata ruang di Praja Mangkunegaran tahun 1916-1944.

Sejalan dengan metode dan tujuan penelitian, maka penelitian ini dilaksanakan dengan menggunakan metode historis dengan langkah-langkah heuristik, kritik, interpretasi, dan historiografi. Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini berupa sumber primer dan sumber sekunder. Teknik pengumpulan data dengan studi pustaka. Teknik analisis data yang digunakan adalah teknik analisis historis, dengan melakukan kritik ekstern dan intern.

(7)

commit to user

vii MOTTO

Lila lamun kelangan ora getun

Trimo yen ketaman sokserik sameng dumadi

Legowo nelangsa srahing Batara

( Wedatama )

Tuwuh saking katresnan dhumateng para leluhur

Mangesthi kukuh adeging Nusa lan Bangsa

(8)

commit to user

viii

PERSEMBAHAN

Karya ini dipersembahkan kepada:

1. Bapak dan Ibu tercinta

2. Dek agung, dan dek kikis tersayang

3. Sahabat-sahabatku

(9)

commit to user

ix

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas

rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulisan skripsi ini akhirnya dapat

diselesaikan, untuk memenuhi sebagian persyaratan mendapatkan gelar sarjana

pendidikan.

Banyak hambatan yang menimbulkan kesulitan dalam penyelesaian

penulisan skripsi ini, namun berkat bantuan dari berbagai pihak akhirnya

kesulitan-kesulitan yang timbul dapat teratasi. Untuk itu, atas segala bentuk

bantuannya, disampaikan terima kasih kepada:

1. Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret

Surakarta yang telah memberikan ijin penyusunan skripsi;

2. Ketua Jurusan Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial Fakultas Keguruan dan

Ilmu Pendidikan Surakarta yang telah menyetujui permohonan ijin

penyusunan skripsi;

3. Ketua Program Studi Sejarah Jurusan Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial

Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta

yang telah memberikan ijin demi kelancaran penyusunan skripsi;

4. Dr. Hermanu Joebagyo, M.Pd., selaku Pembimbing Skripsi I yang telah

memberikan nasehat, waktu, serta kritikan yang membangun selama

memberikan bimbingan dalam penyusunan skripsi;

5. Drs. Tri Yuniyanto, M.Hum., selaku Pembimbing Skripsi II yang telah

memberikan waktu, dan motivasi selama memberikan bimbingan dalam

penyusunan skripsi;

6. Bapak dan Ibu Dosen Program Pendidikan Sejarah Jurusan Ilmu Pengetahuan

Sosial yang secara tulus memberikan ilmu kepada penulis selama ini, mohon

(10)

commit to user

x

Disadari dalam penulisan skripsi ini masih terdapat kekurangan, tetapi

diharapkan penulisan skripsi ini bermanfaat bagi perkembangan ilmu pengetahuan

dan mahasiswa Program Pendidikan Sejarah pada khususnya.

Surakarta, April 2011

(11)

commit to user

xi DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL………. i

HALAMAN PENGAJUAN……….. ii

HALAMAN PERSETUJUAN……….. iii

HALAMAN PENGESAHAN……… iv

HALAMAN ABSTRAK……… v

HALAMAN MOTTO……… vii

HALAMAN PERSEMBAHAN………. viii

KATA PENGANTAR……… ix

DAFTAR ISI……….. xi

DAFTAR LAMPIRAN……….. xiii

BAB I PENDAHULUAN………. 1

A. Latar Belakang Masalah……….. 1

B. Perumusan Masalah……….. 7

C. Tujuan Penelitian……….. 7

D. Manfaat Penelitian………. 8

BAB II LANDASAN TEORI……….. 9

A. Tinjauan Pustaka……… 9

B. Kerangka Berpikir………. 25

BAB III METODOLOGI PENELITIAN……….. 26

A. Tempat dan Waktu Penelitian……… 26

B. Metode Penelitian……….. 26

C. Sumber Data……….. 28

D. Teknik Pengumpulan Data………. 29

E. Teknik Analisis Data……….. 30

F. Prosedur Penelitian………. 31

BAB IV HASIL PENELITIAN……….. 34

A. Pembangunan Kota di Praja Mangukunegaran Tahun 1916-1944 ...……... 34

(12)

commit to user

xii

Tahun 1916-1944... 57

BAB V KESIMPULAN, IMPLIKASI, SARAN……… 65

A. Kesimpulan……….. 65

B. Impikasi……… 68

C. Saran……… 69

DAFTAR PUSTAKA……… 71

(13)

commit to user

xiii

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 : Autorisatie begrooting van kosten. 1941. Arsip

Mangkunegaran. Surakarta : Rekso Pustaka ... 75

Lampiran 2 : Autorisatie begrooting van kosten. 1940. Arsip Mangkunegaran. Surakarta : Rekso Pustaka ... 76

Lampiran 3 : Supletie begrooting. 1941. Arsip Mangkunegaran. Surakarta : Rekso Pustaka. ... 77

Lampiran 4 : Overzichkaart Tirtonadi. Tanpa tahun. Arsip Mangkunegaran. Surakarta : Rekso Pustaka ... 78

Lampiran 5 : Gambar R.M.A Soeryo Soeparto ... 79

Lampiran 5 : Gambar Pasukan Kavaleri Legiun Mangkunegaran ... 79

Lampiran 6 : Gambar Suasana Kota Surakarta Awal Abad XX ... 80

Lampiran 6 : Gambar Benteng Vastenberg ... 80

Lampiran 7 : Gambar Waduk Tirtomarto dan Waduk Tengklik ... 81

Lampiran 8 : Gambar Gedung SSS dan komplek puro MangkunegaranKawasan Partinituin di Manahan ... 82

Lampiran 9 : Gambar Kios-kios toko dikawasan Pasar Pon dan Partinituin di Manahan ... 83

Lampiran 10 : Gambar Kawasan Koesoemowardani plein dan Gambar Gedung Sekolah Siswo ( H.I.S ) ... 84

Lampiran 11 : Gambar KGPAA Mangkunegoro VII ( 1916 – 1944 ) ... 85

Lampiran 12 : Peta Pulau Jawa, disertai batas-batas Praja M.N ... 86

Lampiran 13 : Peta Praja M.N dengan skala 1 : 750.000 ... 87

Lampiran 14 : Laporan Kontrolir Wonogiri A. Muhlenfeld, tertanggal 1 Maret 1914 ... 88

Lampiran 15 : De Plechtigheid in het Mangkoenegoroschie Vorstenhuis ... 89

Lampiran 16 : PUSTAKA PRAJA ( RIJSBLAD) tahun 1920 No.17 ... 91

Lampiran 17 : Z.H.K.G.P.A.A. Mangkoenagoro VII G.K. Ratoe Timoer. Dharmo Kondho. 19 Mei 1941. ... 92

Lampiran 18 : Gambar Silsilah Keluarga MN VII ... 97

Lampiran 19 : Surat permohonan ijin menyusun skripsi ... 98

(14)

commit to user

Halaman 77 : Supletie begrooting. 1941. Arsip Mangkunegaran. Surakarta : Rekso Pustaka.

Overzichkaart Tirtonadi. Tanpa tahun. Arsip

Mangkunegaran. Surakarta : Rekso Pustaka

Gambar R.M.A Soeryo Soeparto

Gambar Pasukan Kavaleri Legiun Mangkunegaran

Gambar Suasana Kota Surakarta Awal Abad XX

Gambar Benteng Vastenberg

Gambar Waduk Tirtomarto dan Waduk Tengklik

Halaman 81

Gambar Kawasan Partinituin di Manahan

Gambar Kawasan Koesoemowardani plein

Gambar Gedung Sekolah Siswo ( H.I.S )

Gambar KGPAA Mangkunegoro VII ( 1916 – 1944 )

Halaman 84 : Peta Pulau Jawa, disertai batas-batas Praja M.N

Halaman 85 : Peta Praja M.N dengan skala 1 : 750.000

Halaman 86 : Laporan Kontrolir Wonogiri A. Muhlenfeld, tertanggal 1

Maret 1914

Halaman 87 : De Plechtigheid in het Mangkoenegoroschie Vorstenhuis

Halaman 90 : PUSTAKA PRAJA ( RIJSBLAD) tahun 1920 No.17

Halaman 93 : Z.H.K.G.P.A.A. Mangkoenagoro VII G.K. Ratoe Timoer.

Dharmo Kondho. 19 Mei 1941.

Halaman 97 : Gambar Silsilah Keluarga MN VII

Halaman 98

Halaman 99 :

:

Surat permohonan ijin menyusun skripsi

(15)

commit to user

1 BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Berdirinya Pura Mangkunegara merupakan hasil dari sebuah peristiwa

besar, pecahnya kerajaan Mataram di Jawa menjadi Kasunanan Surakarta dan

Praja Mangkunegaran. Praja Mangkunegara berdiri sejak 1757 pada saat RM.

Said sebagai penguasa pertama di Praja Mangkunegara. Selanjutnya tahun demi

tahun pemerintahan di Mangkunegaran dipegang oleh para Mangkunegara yang

bergelar K.G.P.A.A. Mangkunegara (Kanjeng Gusti Pangeran Arya Adipati

Mangkunegara). Dalam kebijakan pemerintahan yang dijalankan pada setiap masa

pemerintahan inilah, muncul berbagai bangunan fasilitas publik yang berfungsi

sebagai penunjang kehidupan masyarakat, stabilisator kerajaan dan kepentingan

politik yang dijalankan bersama-sama dengan pemerintah Kolonial Belanda di

Surakarta ( Budihardjo, Eko, 1989 : 26 ).

Garis politik Pemerintah Kolonial Belanda yang bertujuan mengusahakan

kemakmuran serta perkembangan sosial dari penduduk Indonesia melalui Politik

Etis telah memberi dampak ekonomi bagi masyarakat Indonesia pada umumnya

dan Praja Mangkunegaran pada khususnya( Marwati Djoened, 1984 : 34

).Tahun-tahun permulaan abad XX awal dilaksanakannya Politik Etis ditandai dengan

perkembangan ekonomi yang pesat dan perluasan-perluasan jabatan Pemerintah

Kolonial di Indonesia. Politik baru pemerintah Kolonial Belanda ini dikenal dengan “ Politik Etis” yang bertujuan untuk menunjukkan adanya Een Eereschuld ( hutang kehormatan ) negara Belanda terhadap jajahannya sehingga mempunyai

kewajiban untuk mengusahakan kemakmuran serta perkembangan sosial dan

otonomi penduduk Hindia Belanda ( Robert van Niel, 1984 : 51 ).Selama periode

1900-1925 telah banyak kemajuan yang dicapai oleh pemerintah kolonial, yaitu

dengan dijalankannya perubahan dan pembangunan yang cukup besar.

Pembangunan ini merupakan keharusan, antara lain desentralisasi, perbaikan

(16)

commit to user

Politik Etis lahir atas desakan golongan konservatif yang bersatu dengan golongan

agama, mempunyai tujuan :

1. Meningkatkan kesejahteraan penduduk pribumi,

2. Berangsur-angsur menumbuhkan otonomi serta disentralisasi politik di

Hindia Timur – Belanda ( Akira N,1989 : 11 ).

Dengan adanya perubahan ini pemerintah Belanda mulai memperhatikan

kemakmuran dan kemajuan penduduk pribumi, dan menganggap dirinya sebagai

pelindung yang bertanggung jawab untuk memberikan bimbingan kepada

penduduk daerah kolonial dalam usaha ke arah kemajuan dan kesejahteraan

mereka.

Perkembangan politik kolonial sangat mempengaruhi keadaan di

Vorstenlanden. Efisiensi, kemakmuran, dan ekspansi adalah slogan dari politik

baru kolonial yang memerlukan campurtangan yang lebih langsung dan lebih

tegas dari pemerintah Belanda dalam kehidupan masyarakat. Di Vorstenlanden

para residen berpandangan bahwa mereka mempunyai tugas utama untuk

menyadarkan pemerintah Vorstenlanden untuk selalu memperhatikan kepentingan

dan kemakmuran rakyat, dan jika perlu meminta campur tangan pemerintah

kolonial Belanda ( Larson,G.D, 1990 : 28 ).

Mangkunegaran yang merupakan salah satu daerah swapraja tentu saja

mempunyai progam kerja untuk memajukan kesejahteraan dan kemakmuran

rakyatnya. Mangkunegaran berusaha memperkuat ekonominya dengan jalan

mengelola perkebunan maupun perusahaan milik Praja sendiri. Sedangkan

sumber-sumber keuangan lainnya adalah hasil penarikan pajak, retribusi, bunga

dan pelunasan modal, dan surat-surat berharga ( Th.M.Metz,1986 : 96 ). Dengan

adanya sumber-sumber keuangan inilah perekonomian Mangkunegaran menjadi

kuat dan mendukung pembangunan di Praja Mangkunegaran. Mangkunegoro VI

pada tahun 1912 telah berhasil mengembalikan Mangkunegaran menjadi Praja

yang cukup kaya. Beberapa tahun setelah keberhasilannya ini Mangkunegoro VI

berniat untuk turun tahta, dan ia menyatakan keinginannya kepada residen

(17)

commit to user

itu harus mendapat persetujuan pemerintah Belanda. Keinginannya tersebut baru

dikabulkan satu tahun kemudian, dan sebagai penggantinya ditunjuklah Raden

Mas Soeryo Soeparto, anak angkatnya, yang sebenarnya putra Mangkunegoro V dari selir, seperti diuraikan oleh Parto Hudoyo :“ Ingkang kakarsakaken anggentosi keprabon jumeneng ngasto pusaraning praja Mangkunegaran kaleres

putro kapenakan, putro dalem swargi KGPAA Mangkunegoro V saking garwa R

Purnamaningrum “( Parto Hudoyo,tt : 74 ).

Dalam bahasa Indonesia dapat diterjemahkan secara bebas sebagai berikut

: “ Yang ditunjuk untuk menduduki tahta kerajaan Mangkunegaran adalah

keponakan Mangkunegoro VI yang merupakan putra KGPAA Mangkunegoro V

yang lahir dari selir R.Purnamaningrum”. Jadi sebenarnya Soeryo Soeparto

adalah keponakan Mangkunegoro VI, yang kemudian diangkat sebagai anak.

Dengan mempertimbangkan berbagai pengalaman serta kecakapan yang dimiliki

oleh Soeryo Soeparto , maka dari itu para pembesar kadipaten Mangkunegaran

dengan persetujaun pemerintah Belanda mengangkatnya sebagai kepala

pemerintahan di Praja Mangkunegaran, menggantikan Mangkunegoro VI. Ia

dinobatkan sebagai pemegang tahta Mangkunegaran pada 3 Maret 1916, dengan

gelar Pangeran Adipati Prang Wadono , suatu gelar yang dipakai oleh pemegang

tahta Praja Mangkunegaran yang pada saat dinobatkan belum mencapai usia 40

tahun ( Citrosentono, 1921 : 15 ). Pada masa Mangkunegoro VII ( 1916-1944 ),

pada tahun pertama pemerintahan dikeluarkan dana yang cukup besar untuk

membangun jembatan, jalan, bangunan irigasi, pendirian sekolah-sekolah, dan

pembangunan sarana kepentingan umum lainnya. Setiap tahun pada hari

peringatan penobatannya, Mangkunegoro VII mengumpulkan keluarganya,

pegawai, para perwira dan tamu dari kalangan rakyat dengan memberi wejangan

kepada mereka dan menguraikan rencana kerja untuk mengadakan perbaikan pada

tahun berikutnya ( Larson,G.D, 1990 : 105 ).

Sejak awal abad XX di Praja Mangkunegaran telah dilakukan serangkaian

kebijakan pembaharuan dalam bidang pemerintahan. Berbeda dengan

pembaharuan-pembaharuan dalam bidang lainnya seperti: birokrasi, pengaturan

(18)

commit to user

mendapatkan pencekalan dari Pemerintah Kolonial Belanda. Walaupun segala

kebijakan Mangkunagara dan pelaksanaannya dalam lapangan tidak bebas dari

pengawasan Pemerintah Kolonial Belanda. Beberapa bangunan fasilitas publik

dibangun oleh Pura Mangkunegaran dan Pemerintahan Kolonial Belanda, untuk

menunjang stabilitas pemerintahan dan harkat hidup masyarakat.

Pembaharuan dalam berbagai bidang, khususnya pembangunan sarana

perkotaan bagi Mangkunegara VII dipandang sebagai kebutuhan yang tidak dapat

ditunda-tunda lagi, sebab perkembangan dunia menuntut masyarakat untuk

mengikuti perkembangan zaman. Pembangunan sarana dalam bidang pendidikan

dilakukan Mangkunegara VII dengan melanjutkan pengelolaan Sekolah Siswo

dan Studiefonds, serta memprakarsai berdirinya Sekolah Siswarini dan Sekolah

Van Deventer, juga memperkenalkan pendidikan non formal berupa les-les bahasa

asing, khususnya bahasa Belanda dan kursus keterampilan (menjahit, melukis,

membuat patung, mengukir).

Pembangunan sarana dalam bidang irigasi ditandai dengan adanya

perbaikan sistem irigasi di pabrik gula milik Mangkunegaran. Untuk

meningkatkan produksi pangan dibangun sarana irigasi karena daerah Praja

Mangkunegaran bagian selatan (Wonogiri) terdiri dari daerah yang berbukit-bukit

dan hutannya telah mengalami kerusakan. Sebagai akibatnya ketika hujan, airnya

tidak sempat tersimpan oleh tanah. Pada musim kemarau keadaan tanah menjadi

kering kerontang, akibatnya tanah itu tidak dapat ditanami. Selama lima tahun

Dinas Irigasi Praja (Rijk Waterstaat) yang dipimpin oleh seorang arsitek Belanda,

bernama F.E Wolf telah mendirikan sejumlah sarana perairan di wilayah Praja

Mangkunegaran. Adapun bangunan ini ialah: Temon, Wiroko, Kebon Agung,

Kedung Uling, dan Plumbon.

Pada awalnya Kota Surakarta secara tidak disadari berkembang mengikuti

pola pemukiman Belanda di daerah seberang, yang berkembang dari sebuah loji

kecil kecil, menjadi kota faktori, dan kota dagang besar. Kota-kota di Jawa, pada

perkembangan sejarahnya memiliki berbagai karakter dan sifatnya yang khas.

Surakarta dan Yogyakarta yang dulunya adalah sebuah kerajaaan besar , yaitu

(19)

commit to user

sebagai “Solo Berseri” sebenarnya telah muncul sejak masa pemerintahan Mangkunegara VII. Hal in ditandai dengan pembangunan sarana umum antara

lain: Taman Tirtonadi, Minapadi, Partimah Park, Societeit Sasono Suko (SSS).

Taman Tirtonadi dibangun dengan memanfaatkan air Kali Pepe yang terjun

melalui pintu air Kali Anyar. Nama Partimah Park berasal dari nama puteri

bungsu Mangkunegara VII. Taman ini berada di sebelah timur Taman Tirtonadi.

Dan setiap sore menjadi area bermain bagi anak-anak dengan beraneka ragam

permainan seperti ombak banyu, timbangan (jungkat-jungkit), bandulan (ayunan).

Societeit Sasono Suko (SSS) mulai dibangun pada tahun 1918 oleh seorang

arsitek pribumi yang bernama Atmodirono. Masyarakat awam menamakan gedung ini dengan “Kamar Bola” karena bangunan klasik yang bagian depannya dilengkapi dengan ornamen candi ini setiap malam selalu dipakai oleh

orang-orang Belanda untuk bermain bola sodok atau billiard.

Pembagian wilayah kota atas kampung-kampung yang memiliki

spesifikasi tertentu membentuk toponimi yang dapat dibagi dalam beberapa

kelompok menurut nama atau gelar figur penting, nama kelompok abdi dalem,

aktivitas setempat, maupun bentukan baru (Hari Mulyadi, dan Soedarmono dkk,

1999: 178-180). Secara historis kota kolonial, termasuk Surakarta, memisahkan

pemukiman penduduk berdasarkan garis warna. Namun pada perkembangan

berikutnya kota tidak lagi membagi berdasarkan ras (etnis). Dengan adanya

pembangunan perumahan, perbaikan ekonomi, mobilitas sosial masyarakat

pribumi, telah menjurus pada pemisahan pemukiman berdasarkan kelas sosial.

Wilayah kelas teratas tidak lagi dihuni orang Eropa saja, tetapi juga oleh

usahawan-usahawan lokal, jenderal-jenderal pribumi, dan pejabat-pejabat tinggi

pemerintah. Dengan kata lain pemukiman kelas atas terdiri dari berbagai macam

etnis (Evers, 1986: 57).

Kota Surakarta memiliki dualisme dalam konsep tata ruang kotanya.

Pertama sebagai pusat kekuasaan Mataram menerapkan konsep kosmologi Jawa,

sementara sebagai kota yang sejak berdiri telah mendapatkan intervensi oleh

kekuatan asing, kota ini juga menerapkan konsep kota kolonial. Kedua konsep ini

(20)

commit to user

penghuninya tentu saja mengalami disorientasi dengan adanya percampuran cara

hidup yang boleh dikatakan memiliki jarak budaya yang berseberangan yaitu

antara budaya Timur dan budaya Barat (Kusumastuti, 2004: 28). Pada pola

pemukiman di Praja Mangkunegaran, konsep pembuatan jaringan jalan dibangun

menurut model tata ruang Eropa yang telah meninggalkan konsep arah jalan

tradisional. Daerah kota Mangkunegaran menunjukkan model pembangunan jalan

bergaya Eropa dengan pembuatan taman-taman di antara pertigaan dan

perempatan jalan (Het Begrooting van Mangkoenagoroshe Rijk over het jaar

1920).

Pembangunan sarana dan prasarana serta gedung-gedung perkantoran juga

dibangun. Di zona civic center ini dibangun : Soos Mangkunegaran yaitu gedung

pertemuan untuk para pegawai, Soos Militer yang digunakan sebagai gedung

pertemuan untuk para bintara, tempat ibadah, gudang untuk legiun

Mangkunegaran, tiga gedung kelurahan, kantor polisi, beberapa pos jaga, dan

beberapa rumah dinas untuk para pejabat dari bupati, wedana, hingga camat.

Seluruh pembangunan sarana dan prasarana ini diatur oleh Dinas Pekerjaan

Umum Mangkunegaran.

Dengan berdasarkan latar belakang tersebut maka penulis mengambil

(21)

commit to user

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan diatas,

maka penulis merumuskan beberapa masalah antara lain :

1. Bagaimana pembangunan Kota di Praja Mangukunegaran Tahun

1916-1944.

2. Bagaimana tata ruang Kota di Praja Mangukunegaran Tahun

1916-1944.

C. Tujuan Penelitian

1. Mengetahui pambangunan Kota di Praja Mangukunegaran Tahun

1916-1944.

2. Mengetahui tata ruang Kota di Praja Mangukunegaran Tahun

1916-1944.

D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat :

1. Menambah khasanah pengetahuan, yaitu dapat memberikan

pengetahuan tentang pembangunan Kota di Praja Mangkunegaran

tahun 1916 – 1944.

2. Menambah wawasan khususnya bagi penulis dan umumnya bagi

pembaca tentang pembangunan Kota dan tata ruang Kota di Praja

(22)

commit to user

2. Manfaat Praktis

1. Untuk memenuhi salah satu syarat guna meraih gelar Sarjana

Kependidikan Program Pendidikan Sejarah Fakultas Keguruan dan

Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta.

2. Untuk menambah koleksi perpustakaan Progam Studi Pendidikan

(23)

commit to user

9 BAB II

KAJIAN TEORI

A. Tinjauan Pustaka

1. Kota

Menurut Bintarto ( 1984: 36 ), kota diartikan sebagai suatu sistem jaringan

kehidupan manusia yang ditandai dengan kepadatan penduduk yang tinggi dan

diwarnai dengan strata sosial ekonomi yang heterogen dan coraknya yang

materialistis; atau dapat diartikan sebagai bentang budaya yang ditimbulkan oleh

unsur-unsur alami dan non alami dengan gejala-gejala pemusatan penduduk yang

cukup besar dengan corak kehidupan yang heterogen dan materialistis

dibandingkan bengan baerah belakangnya.

Mater melihat kota sebagai tempat pemukiman penduduknya; baginya yang

penting dengan sendirinya bukanlah rumah tinggal, jalan raya, rumah ibadat,

kantor, taman, kanal dan sebagainya, melainkan penghuni yang menciptakan

segalanya itu. Mumfort lebih melihat kota sebagai suatu tempat pertemuan yang

berkiblat keluar. Max Weber memandang suatu tempat itu kota, jika penghuninya

sebagian besar telah mampu memenuhi kebutuhannya lewat pasar setempat.

Christaller menunjukan fungsi kota sebagai penyelenggaran dan penyediaan

jasa-jasa bagi sekitarnya; kota itu pusat pelayanan ( Short, 1982 : 3-6). Sjoberg melihat

lahirnya kota lebih dari timbulnya suatu golongan spesialis non-agraris, di mana

yang berpendidikan merupakan bagian penduduk yang terpenting. Mereka itu

adalah para literati yakni golongan pujangga, sastrawan dan ahli keagamaan.

Sedangkan Harris dan Ullman melihat kota sebagai pusat untuk permukiman dan

pemanfaatan bumi oleh manusia; buktinya pertumbuhan kota pesat dan mekarnya

terus-menerus. Tetapi sambil mekar terjadi masalah pemiskinan bagi manusianya,

sehingga muncul berbagai masalah sosial ( Bintarto,1984 : 8 ). Sehingga dapat

dikatakan kota adalah suatu kawasan yang biasanya memiliki ciri-ciri: jumlah

penduduk yang relatif padat dibanding dengan kawasan sekitarnya, hubungan

kekerabatan masyarakatnya longgar, penduduknya memiliki berbagai ragam

(24)

commit to user

lebih beragam dan modern dibandingkan dengan daerah sekitarnya. Penduduknya

dalam bekerja menggunakan manajemen yang lebih profesional dan

masyarakatnya lebih memiliki kompleksitas kebutuhan dan kepentingan.

Pemahaman kota untuk kurun waktu tertentu dengan kurun waktu yang lain juga

berbeda.

Di Jawa istilah kota dapat di identikan dengan sistem pemerintahan yang

berpolitik, yaitu keraton. Orang Jawa zaman dahulu jika menyebut kota atau

keraton dan penduduk sekitarnya menggunakan istilah negari ( bahasa Jawa

).Pada awalnya kota dapat di identikkan dengan keraton. Istilah nagari mirip

dengan bunyi negara yang berarti , suatu lembaga yang memiliki sistem

pemerintahan yang berpolitik dan memiliki warga. Istilah ini memiliki

keterkaitan asal usul kata sehingga akan semakin jelas bahwa kota terbentuk

karena menonjol sistem pemerintahannya. Menurut J. Gonta ( 1973 : 480 ) dalam

bahasa Sansekerta, kota dapat diartikan sebagai benteng atau pertahanan. Dalam

bahasa Melayu, kota diartikan sebagai desa yang dipertahankan, atau sebagai satu

kesatuan politik. Dengan demikian, cirri khas kota yang menonjol adalah peran

politiknya. Seiring perkembangan zaman khususnya di Jawa tidak hanya memiliki

sistem politik saja, tetapi juga sebagai pusat industri, perdagangan dan sebagainya.

Di Jawa ciri kota antara lain meliputi : 1) keraton ( pusat pemerintahan ); 2)

alun-alun yang terletak di depan keraton; 3) masjid disebelah kiri alun-alun-alun-alun ; dan 4)

pasar tradisional di depan alun-alun keraton. Secara sosial, di Jawa, cirri - ciri

lokasi pusat-pusat kegiatan diatas cenderung memiliki lokasi yang berdekatan,

karena kebiasaan masyarakat Jawa hidup secara komunal ( Hariyono , 2007 : 59 ).

Awal terjadinya permukiman disebabkan oleh beberapa faktor,

diantaranya adalah perpindahan penduduk hingga menetap pada suatu wilayah.

Kota tumbuh dengan sendirinya selanjutnya manusia mengembangkan untuk

kebutuhannya, selain itu ada juga kota yang tumbuh karena direncanakan. Dengan

demikian kota dapat diartikan sebagai berikut. Dalam arti sempit, kota merupakan

perwujudan geografis yang ditimbulkan oleh unsur-unsur fisiografi, sosial,

ekonomi, politik dan budaya di suatu wilayah.Dalam arti luas, kota merupakan

(25)

commit to user

ekonomi, politik, dan budaya di suatu wilayah dalam hubungannya dan pengaruh

timbal balik dengan wilayah lain.Kota, adalah tempat tinggal dari beberapa ribu

penduduk atau lebih. Kota, menurut definisi universal, adalah sebuah area urban

yang berbeda dari desa ataupun kampung berdasarkan ukurannya, kepadatan

penduduk, kepentingan, atau status hukum.

Kota ditinjau dari segi fisik morfologis adalah suatu daerah tertentu dengan

karakteristik pemanfaatan lahan non pertanian, pemanfaatan lahan dimana

sebagian besar tertutup oleh bangunan, kepadatan bangunan khususnya

perumahan yang tinggi, pola jaringan jalan yang kompleks, dalam satuan

pemukiman yang kompak dan relatif lebih besar dari satuan pemukiman kedesaan

di sekitarnya. Sementara itu daerah yang bersangkutan sudah/mulai terjamah

fasilitas kota. Sedangkan secara fisik kota adalah area-area terbangun di perkotaan

yang terletak saling berdekatan, yang meluas dari pusatnya hingga keluar daerah

pinggiran kota. Ditinjau dari segi yuridis administrative kota dapat didefinisikan

sebagai suatu daerah tertentu dalam wilayah Negara dimana keberadaannya diatur

oleh Undang-Undang (peraturan tertentu), daerah mana dibatasi oleh batas-batas

administrative yang jelas yang keberadaannya diatur oleh

Undang-Undang/peraturan tertentu dan ditetapkan berstatus sebagai kota dan

berpemerintahan tertentu dengan segala hak dan kewajibannya dalam mengatur

wilayah kewenangannya.

Menurut Sujarto (1970 : 18 ), kota merupakan kesatuan masyarakat yang

heterogin dan masyarakat kota mempunyai tingkat tuntutan kebutuhan yang lebih

banyak apabila dibandingkan dengan penduduk pedesaan. Sedangkan menurut

Bintarto (1977 : 35 ) kota adalah sebuah bentang budaya yang ditimbulkan oleh

unsur-unsur alami dan non alami dengan gejala pemusatan penduduk yang cukup

besar dan corak kehidupan yang bersifat heterogin dan materialistis dibandingkan

dengan daerah belakangnya.

Bagi masyarakat di Praja Mangkunegaran, praja atau kota praja bukan

hanya suatu pusat politik dan budaya, tetapi merupakan pusat keramat. Keraton

adalah tempat bersemayam raja dan raja merupakan sumber-sumber kekuatan

(26)

commit to user

kesuburan. Paham ini terungkap dengan sangat jelas dalam gelar para penguasa

keempat wilayah Jawa Tengah hasil perpecahan kerajaan Mataram. Kedua

penguasa di Yogyakarta menyebut diri Hamengku Buwana (yang memangku

jagad raya), dan Paku Alam. Para penguasa Surakarta menyebut dirinya Paku

Buwana dan Mangkunagoro (yang memangku negara). Pandangan tentang

keraton sebagai pusat kekuasaan kosmis menentukan paham negara, kekuatan

yang ada di pusat semakin menjauh akan semakin redup, dan bahkan hilang.

Begitu juga menurut filsafat politik Jawa, negara itu paling padat di pusat, didekat

raja. Dari ibukota kekuatan raja memancar sampai kedesa-desa. Kekuatan itu ada

karena seluruh kekuatan itu menjaga keraton dan memberikan perlindungan serta

memberi keselamatan pada para penghuninya.

Fungsi kota di Praja Mangkunegaran sebagai pusat pemerintahan yang

menerapkan konsep ”civic center”. Berbagai kantor pusat pemerintahan

ketatanegaraan kota praja berada di satu kompleks wilayah. Pembangunan sarana

dan prasarana serta gedung-gedung perkantoran juga dibangun. Pembagian

wilayah kota atas kampung-kampung yang memiliki spesifikasi tertentu

membentuk toponimi yang dapat dibagi dalam beberapa kelompok menurut nama

atau gelar figur penting, nama kelompok abdi dalem, aktivitas setempat, maupun

bentukan baru. Di wilayah Praja Mangkunegaran, beberapa kampung juga

berfungsi sebagai tempat pemukiman kompleks pejabat praja seperti kampung

Tumenggungan. Kampung Tumenggungan merupakan tempat tinggal para pejabat

yang memegang peranan dalam sistem birokrasi pemerintahan Praja

Mangkunegaran, mengingat para pejabat yang tinggal di kampung ini bergelar

Tumenggung. Sementara kampung Punggawan merupakan tempat pemukiman

para pejabat tingkat rendah dan abdi dalem.

Tempat pemikiman lain yang terdapat di Mangkunegaran menunjukkan

nama-nama para bangsawan lama yang sebelum era P.A.A Mangkunagoro IV

memperoleh lahan sebagai tempat tinggalnya. Kampung Mangkubumen dahulu

merupakan tempat tinggal Mangkubumi. Kampung Timuran yang berarti tempat

tinggal putra dari selir Mangkunagoro ketika masih kecil (alit : masih timur)

(27)

commit to user

pemukiman pasukan artileri Mangkunegaran (constable). Kampung Jageran

sebagai tempat pemukiman pasukan penggempur Mangkunegaran dan kampung

Kestalan sebagai tempat kandang kuda (staal) milik pasukan kavaleri legiun

Mangkunegaran.

Pada wilayah kota Mangkunegaran terdapat daerah elite orang Eropa yang

dikenal dengan Villapark. Lingkungan Villapark dinyatakan sebagai lingkungan

elit dengan peraturan tersendiri yang dapat dilihat dari Undang-Undang tentang

penggunaan tanah negara di Surakarta, khususnya daerah Mangkunegaran.

Peraturan tentang penggunaan tanah negara di Mangkunegaran tidak meliputi

daerah Villapark, karena daerah ini sudah mempunyai peraturan tersendiri yang

ditetapkan tanggal 1 November 1913 (Rijksblad Mangkunegaran, 15 Januari

1918. No 1. Tahun 1918, artikel no.2 Pasal 3). Lingkungan Villapark dihuni oleh

sebagian besar orang Eropa yang bekerja di sektor perkebunan.

2. Tata Ruang Kota

Tata ruang kota dikatakan sebagai ilmu interdisiplin. Maksudnya,

pengetahuan dan ilmu tata ruang tidak semata meliputi satu disiplin ilmu

pengetahuan. Disiplin pengetahuan adalah suatu kecanggihan yang

dikembangkan untuk memikirkan dan mendalami permasalahan yang sudah

lama menarik perhatian dan menjadi kepedulian pemerhati yang gemar

berpikir. Tata ruang kota adalah bentuk penggunaan lahan yang ada dikota untuk

keperluan tertentu ( jalan , perkantoran, taman, pemukiman dsb ). Daerah

perkotaan umumnya mempunyai tata ruang yang terencana dengan baik, terutama

peningkatan praarana perkotaan yang meliputi tujuh bidang (penyediaan air

bersih, drainase yang baik, pengolahan sampah, sanitasi lingkungan, perbaikan

kampung, pemeliharaan jalan kota, perbaikan sarana dan fungsi pasar).

Tata ruang merupakan kegiataan untuk menjadikan suatu ruang itu

menjadi seperti yang direncanakan. Tata atau penataan dapat diartikan sebuah

perencanaan yang disusun secara berurutan dan terarah. Sedangkan pengertian

(28)

commit to user

pemikir Barat cenderung memahami ruang yang bersifat tak terbatas, sedangkan

para pemikir Timur, khususnya Jawa cenderung memehami ruang secara terbatas.

Kecenderungan ini disebabkan paham rasianalisme yang bersifat progresif telah

lama berkembang di Barat, sedangkan di Timur paham rasionalisme baru

berkembang akhir-akhir ini ( Hariyono , 2007 : 5 ). Ruang merupakan alih kata

space untuk Bahasa Indonesia. Dalam Oxford English Dictionary disebutkan

,space berasal dari kata Latin spatium yang berarti terbuka luas, memungkinkan

orang melakukan kegiatan dan bergerak leluasa didalamnya, dan dapat

berkembang tak terhingga. Ruang dalam bahasa Jawa disebut dengan istilah rong

yang bererti suatu keadaan kosong yang terdapat pada batasan dua kerangka

utama yang menunjang atap. Rong juga berarti lubang tempat serangga bersarang

dan gua. Gagasan tersebut mengacu pada sesuatu yang terbatas, bervolume dan

nyata. Rong menurunkan kata rongga yang berarti ruang kosong yang terdapat

pada suatu benda. Dengan demikian, ruang dalam budaya Jawa memiliki batasan

yang sifatnya terbatas dan konkret. Secara mitos, ruang dalam pemahaman Jawa

adalah tempat yang bersifat konkret yang dihuni oleh makhluk hidup maupun

makhluk halus ( Tjahyono, 1990 : 29 ).

Tata ruang kota-kota di Jawa khususnya sebagian besar masih menganut

konsep kosmologi Jawa yang merupakan bagian dari konsep kosmogoni. Seorang

raja sering dianggap sebagai representasi dewa sekaligus penguasa kota.

Kepercayaan ini membawa pengaruh konsep kosmogoni untuk merancang

kotanya. Konsep kosmogoni adalah suatu pemahaman tentang kesejajaran antara

alam makrokosmos dan mikrokosmos dalam suatu pertautan dimuka bumi. Alam

semesta atau jagad raya diimitasikan dengan dunia manusia di alam jagad kecil.

Dalam konsep kosmogoni disebutkan bahwa kemakmuran dan ketentraman dunia

dapat dicapai dengan menyusun dunia manusia sebagai replica alam semesta.

Sebagai konsekuensinya kota kerajaan harus dirancang sesuai dengan gambaran

bagian – bagian alam semesta yang dihayati. Ibukota atau istana raja tidak hanya

sebagai pusat pemerintahan dan kebudayaan, melainkan juga sebagai pusat

(29)

commit to user

yang digunakan untuk tata ruang terdapat kesatuan antara masyarakat, alam, dan

alam adikodrati serta kedudukan raja sebagai pemusatan kekuatan kosmis.

Dalam lingkaran pertama pandangan dunia Jawa, dunia luar dihayati

sebagai lingkungan kehidupan individu yang homogen, yang di dalamnya

manusia menjamin keselamatannya dengan menempatkan dunia ini sebagai

penghayatan terhadap masyarakat, alam dan alam adikodrati sebagai satu kesatuan

yang tak terpecah-belah. Dari tingkah laku yang tepat terhadap kesatuan itu

tergantung keselamatan manusia. Masyarakat dan alam merupakan lingkup

kehidupan masyarakat Jawa sejak lahir. Melalui masyarakat, manusia

berhubungan dengan alam.

Konsep kehidupan masyarakat bagi orang Jawa merupakan sumber rasa

aman, begitu pula alam dihayati sebagai kekuasaan yang menentukan keselamatan

sekaligus kehancurannya. Dasar kepercayaan Jawa atau Jawanisme adalah

keyakinan bahwa segala sesuatu yang ada di dunia ini pada hakekatnya adalah

satu, atau merupakan suatu kesatuan hidup. Jawanisme memandang kehidupan

manusia selalu terpaut erat dalam kosmos alam raya. Dengan demikian hidup

manusia merupakan suatu perjalanan yang penuh dengan pengalaman-pengalaman

yang religius (Mulder, 1973 : 36 ). Apa yang dialami manusia sejak dilahirkan

sampai pada kematian atau kejadian yang dialami manusia selama manusia hidup

selalu terkait dengan kekuatan dari alam lain (adikodrati/gaib). Alam pikiran Jawa

merumuskan bahwa kehidupan manusia berada dalam dua kosmos yaitu

makrokosmos (jagad gede) dan mikrokosmos (jagad cilik) yang saling

berhubungan dan tidak dapat dipisahkan. Makrokosmos merupakan lukisan atau

gambaran dari mikrokosmos, sebaliknya mikrokosmos pun adalah lukisan dari

makrokosmos. Hal ini didasarkan bahwa hakekat segala yang ada di dunia ini

adalah satu. Di satu pihak, makrokosmos adalah sikap dan pandangan hidup

terhadap alam semesta yang dianggap sebagai alam yang mengandung kekuatan

supranatural dan penuh dengan hal-hal yang bersifat wadi (misterius). Di lain

pihak, mikrokosmos adalah sikap dan pandangan hidup terhadap jagad cilik

(manusia). Tujuan utama dalam hidup adalah mencari serta menciptakan

(30)

commit to user

mikrokosmos, dalam mewujudkan ”keselamatan” dan ”kedamaian” seperti yang

sesuai dengan sifat-sifat ilahi.

Alam inderawi bagi orang Jawa merupakan ungkapan alam gaib. Alam

adalah ungkapan kekuasaan yang akhirnya menentukan kehidupan manusia.

Dalam alam ini manusia mengalami betapa sangat tergantung dari

kekuasaan-kekuasaan adidunia yang tidak diperhitungkan, yang disebut dengan alam gaib.

Kosmos, termasuk kehidupan benda-benda, peristiwa-peristiwa di dunia

merupakan suatu kesatuan eksistensi dimana setiap materiil dan spiritual

mempunyai arti yang jauh melebihi apa yang nampak (Mulder, 1984 : 18.) Bagi

orang Jawa alam empiris berhubungan erat dengan alam dengan alam metampiris

(alam gaib), mereka saling meresapi. Kepekaan terhadap dimensi gaib dunia

empiris menemukan ungkapannya dalam berbagai cara, misalnya upacara-upacara

religius. Kesatuan antara masyarakat, alam, dan alam adikodrati dilaksanakan

orang Jawa dalam sikap hormat terhadap nenek moyang (leluhur), roh-roh, dan

kekuatan halus. Bagi orang Jawa, kehidupan di dunia ini merupakan tempat

dimana kesejahteraannya tergantung dari apakah manusia berhasil menyesuaikan

diri dengan kekuatan-kekuatan gaib itu. Supaya roh-roh itu berkenan kepadanya

maka pada waktu-waktu tertentu dipersembahkan sesajen.

Masyarakat Jawa percaya bahwa tidak mungkin memisahkan sesuatu yang

sakral dari yang profan, yang bersifat kodrati dari yang bersifat adikodrati.

Kehidupan dalam kosmos alam raya dipandang sebagai sesuatu yang telah teratur

dan telah tersusun secara bertingkat (hierarkis). Kewajiban moril daripada segala

sesuatu yang ada ialah menjaga keselarasan hidup dengan segala tata tertib yang

dilambangkan dalam susunan alam semesta. Kekuasaan ilahi tersebut dinyatakan

dalam paham ketuhanan yang antara lain disebut sebagai kekuatan Brahma, Gusti,

Hyang Maha Kuasa, Hyang Murbeng Jagad, Hyang Tunggal, dan banyak lagi

sebutan lain yang merupakan perwujudan dari rasa Ketuhanan dalam alam pikir

Jawa.

Adapun sikap dan pandangan terhadap dunia manusia (mikrokosmos)

adalah tercermin pada kehidupan manusia dan lingkungannya, susunan manusia

(31)

commit to user

nampak mata (kasat mata). Tanpa adanya tata kehidupan yang nyata dan teratur

dalam dunia manusia (mikrokosmos), kehidupan manusia senantiasa berusaha

memahami arti dan kehidupan serta berusaha menemukan nilai-nilai baru untuk

diterapkan dalam bentuk kehidupan yang lebih sempurna. Keberhasilan manusia

dalam menjalani kehidupan yang baik dan benar di dunia ini tergantung pada

kekuatan batin jiwanya.

Bagi orang Jawa, masyarakat, alam, dan alam adikodrati dirasakan sebagai

kesatuan terungkap dalam kepercayaan bahwa semua peristiwa alam empiris

berkaitan dengan peristiwa-peristiwa di alam metampiris (Franz Magnis Suseno,

1985:90). Apa yang terjadi di sisi realitas yang satu mempunyai kecocokan

dengan sisi satunya. Oleh karena itu manusia tidak boleh bertindak gegabah

seakan-akan masalahnya terbatas pada dimensi sosial dan alamiah saja. Dalam

segala tindak-tanduk manusia harus bersikap sedemikian rupa sehingga tidak

bertabrakan dengan berbagai roh dan kekuatan halus. Kepercayaan akan

keterkaitan antara peristiwa-peristiwa di dunia dan di alam gaib barangkali

merupakan salah satu latar belakang kepopuleran berbagai upacara.

Alam pikiran, sikap serta pandangan hidup tentang alam semesta

(makrokosmos) merupakan peninggalan konsep dari paham Hindu Jawa. Pada

dasarnya apabila setiap manusia melaksanakan tugas dan kewajiban hidupnya

(Dharma), dan berpegang pada aturan ilahi atau kekuatan Brahma yang berkuasa

atas kehidupan alam semesta, maka dia akan menuju pada keselamatan dunia serta menciptakan kehidupan yang ”tata tenterem, kerta raharja” yaitu kehidupan yang bahagia, aman, dan sejahtera. Di situlah letak hubungan khusus serta penyatuan

antara makrokosmos dan mikrokosmos dalam kehidupan orang Jawa.

3. Pembangunan Di Praja Mangkunegaran

Pembangunan didefinisikan sebagai rangkaian usaha mewujudkan

pertumbuhan dan perubahan secara terencana dan sadar yang ditempuh oleh suatu

(32)

commit to user

ide pokok. Pertama : pembangunan merupakan suatu proses. Berarti

pembangunan merupakan rangkaian kegiatan yang berlangsung secara

berkelanjutan dan terdiri dari tahap – tahap yang di satu pihak bersifat independen akan tetapi di pihak lain merupakan „ bagian‟ dari sesuatu yang bersifat tanpa akhir . Kedua : pembangunan merupakan upaya secara sadar yang ditetapkan

sebagai suatu untuk dilaksanakan. Ketiga : pembangunan dilakukan secara

terencana. Keempat : rencana pembangunan mengandung makna pertumbuhan

dan perubahan. Kelima : pembangunan mengarah pada modernitas. Modernitas

disini diartikan antara lain sebagai cara hidup yang baru dan lebih baik dari

sebelumnya, cara berfikir yang rasional dan sistem budaya yang kuat tetapi

fleksibel.Keenam : modernitas yang ingin dicapai melalui bergai kegiatan

pembangunan bersifat multidimensional ( Siagan.P, 2000 : 5 ).

Kadipaten Mangkunegaran didirikan dan ditegakkan di atas hasil

perjuangan, bukan hadiah, sekalipun Mangkunegaran adalah vassal kompeni dan

di bawah Kasunanan Surakarta, bahwa dalam perjalan sejarahnya pengaruh

kompeni sangat besar terhadap Kadipaten Mangkunegaran. Namun semua ini

pada dasarnya karena kompeni ketakutan terhadap timbulnya kekuatan baru yang

menentangnya. Oleh karena perjuangan itu dijalankan bersama antara yang

dipimpin dan yang memimpin, tegasnya antara R. M. Said dan para pengikutnya,

maka hasil- hasil perjuangan tidak dimiliki oleh seseorag atau sekelompok orang,

melainkan dimiliki oleh bersama. Atas dasar inilah maka Praja Mangkunegaran

tidak menjadi milik pribadi pihak yang memimpin perjuangan, dan kemudian naik

tahta memimpin Mangkunegaran, tetapi juga milik para pengikutnya yang ikut

dalam perjuangan. Dengan pemahaman inilah, maka kontinuitas atau

kelanggengan menjadi target atau tujuan yang terus- menerus diperjuangakan

demi kelangsungan Praja Mangkunegaran sendiri. Ia diangkat menjadi raja

bergelar Pangeran Adipati Mangkunegoro, dan menguasai suatu daerah yang pada

tanggal 17 Maret 1757 luasnya 4000 cacah.Wilayah Kasunanan dan Kasultanan

dikemudian hari dikurangi oleh Deandels, yang harus mempertahankan Pulau

Jawa dari Inggris. Kemudian jaman Inggris, Sir Thomas Stamford Rafles

(33)

commit to user

Kasultanan, dengan menunjuk Yogyakarta sebagai istananya. Setelah

pembentukan Paku Alaman, kemudian pada 21 Oktober 1813, daerah

Mangkunegaran diperluas, serta Pangeran Mangkunegoro memperoleh kebebasan

lebih banyak. Yang menjadi alasan untuk itu adalah suatu persekutuan antara

Sunan dan Sultan untuk melawan pemerintah Inggris. Alasan ini pula yang

digunakan untuk mendirikan Paku Alaman. Setelah perang Jawa ( 1825 – 1830 ),

maka pada 22 Pebruari 1830 wilayah Mangkunegaran diperluas lagi, yaitu dengan

tanah Ngawen. Yang memperluas ini adalah pihak Belanda , dengan mengambil

wilayah Sultan. Dan pada 22 September 1830 telah ditatapkan batas – batas

wilayah Mangkunegaran hingga tahun 1934. Namun setelah tahun 1900, batas –

batas wilayah Mangkunegaran diubah lagi dengan menukarkan beberapa tanah

dengan tanah Kasunanan, hal ini untuk menghindari adanya en clave ( tamah yang

terkurung oleh wilayah negara lain ).

Landasan juang RM.Said atau K.G.P.A.A Mangkunagoro I serta para

kawulanya tertumpu pada 3 langkah :

1. Mulat Sarira Hangrasa Wani (kenalilah dirimu sendiri)

2. Rumangsa melu Handarbeni (merasa ikut memiliki)

3. Wajib Melu Hangrungkebi (berkewajiban untuk siap membela

kepentingan Praja)

Mulat sarira, hangrasa wani, sesungguhnya merupakan candrasengkala tahun

pendirian Mangkunegaran yakni tahun 1757 Masehi. Mulat sarira berarti

mengetahui diri sendiri dengan melakukan introspeksi yang perlu dihayati agar

dapat mengatasi rintangan yang menghalang-halangi perbaikan pribadi kita.

Introspeksi juga menimbulkan kesadaran kita akan keakraban kita dengan sesama,

alam, dan Tuhan.

Prinsip kedua Tri Darma ialah : Rumangsa Melu Handarbeni. Ucapan ini

disampaikan oleh RM. Said setelah dinobatkan sebagai Mangkunagoro I. Ucapan

ini ditujukan kepada para pengikut setianya untuk diteruskan kepada

keturunannya, serta rakyat. Rakyat harus menganggap daerah Praja

Mangkunegaran sebagai miliknya sendiri, tempat mereka akan memperoleh

(34)

commit to user

sehingga terjadi persatuan antara mereka, yang mencakup dalam manunggaling

kawula gusti Prinsip ini memuat bahwa Mangkunagoro dan rakyat bersama-sama

memiliki daerah Praja Mangkunegaran. Mangkunagoro yang memimpin Praja

Mangkunegaran akan berusaha menyejahterakan rakyat. Negara bukan milik

perorangan, tetapi merupakan tempat berlindung seluruh rakyat, sehingga setiap

orang dapat melakukan pekerjaannya. Negara dipandang sebagai milik kolektif,

maka setiap warganya perlu turut berusaha mengembangkannya,

mempertahankannya serta menjaga dari berbagai bentuk ancaman.

Prinsip ketiga Tri Dharma, ialah : Wajib Melu Hangrungkebi. Prinsip

ketiga ini erat hubungannya dengan prinsip pertama dan kedua. Kedua pihak

bertanggung jawab penuh atas kelestarian negara, maka rakyat diharapkan

menjalankan tugas bagi negara dengan semangat berkorban, penuh dedikasi dan

mampu menyesuaikan diri dengan perubahan zaman.

Ketiga gatra tersebut merupakan pedoman langkah dimana satu sama lain

saling bergandengan, mengisi dan melengkapi. Falsafah tersebut dikenal dengan

sebutan Tri Dharma yang berarti juga mawas diri dan merasa berani. Pada

dasarnya Tri Dharma bermakna sebagai berikut :

1. Tri Dharma pada hakekatnya adalah dasar utama berdirinya Praja

Mangkunegaran.

2. Tri Dharma adalah sikap hidup dan pola tingkah laku serta tingkah karya

bagi pimpinan negara, narapraja, punggawa, dan kerabat Mangkunegaran.

3. Tri Dharma merupakan dasar bertindak dalam pembinaan dan

pengembangan Praja Mangkunegaran.

4. Tri Dharma adalah pengarah bagi kehidupan kerabat dan orang-orang

Mangkunegaran dalam menghadapi pasang surutnya keadaan serta dalam

menyesuaikan diri dengan zaman dan situasi ( NN, 1969 : 9 ).

Mangkunegaran memperoleh perluasan wilayah oleh Belanda yang tidak

(35)

commit to user

haruslah keturunan dari Raja pertama dari negaranya. Meskipun hak – haknya

dibatasi oleh Belanda, namun Raja- raja di Mangkunegaran berhasil mendirikan

negara yang kuat karena kemampuannya. Sampai tahun 1934 Mangkunegaran

mempunyai tujuh orang Raja yang dalam setiap pemerintahannya terdapat tahapan

pembangunan yang berkesinambungan. Pembangunan wilayah Mangkunegaran

dilakukan secara bertahap di segala bidang pada masing-masing Raja, ketujuh

Raja tersebut adalah sebagai berikut :

1. Mangkunegoro I ( 1757 – 1795 ), sebelum dinobatkan sebagai raja, ia

bernama dan bergelar Raden Mas Said dan Pangeran Suryokusumo.Ia

adalah cucu dari Sunan Mangkurat IV dari Mataram.

2. Mangkunegoro II ( 1796 – 1835 ), adalah cucu dari pendahulunya, dan

naik tahta dengan gelar Pangeran Ario Prabu Prangwadono.

3. Mangkunegoro III ( 1835 – 1853 ), adalah seorang putra dari seorang putri

Mangkunegoro II. Ia naik tahta dengan gelar Pangeran Adipati Ario Prabu

Prangwadono, dan pada tahun 1842 bergelar Mangkunegoro.

4. Mangkunegoro IV ( 1853 – 1881 ), adalah putra dari putri Mangkunegoro

II yang lebih muda. Gelarnya sama dengan pendahulunya, baru pada tahun

1857 bergelar Mangkunegoro.

5. Mangkunegoro V ( 1881 – 1896 ) , adalah putera Mangkunegoro IV.

6. Mangkunegoro VI ( 1896 – 1916 ), adalah saudara Mangkunegoro V.

Sejak ini Mangkunegaran berdiri lepas dari Keraton dan Susuhunan

Surakarta. Pada masa ini terjadi perbaikan ekonomi di Praja

Mangkunegaran , sehingga keuangan Mangkunegaran berangsur pulih

kembali. Pembangunan di berbagai bidang mulai dilakukan, tidak hanya

bidang keuangan, tetapi juga bidang pendidikan, kesehatan, pangan dan

pembangunan fisik terus dilakukan di Praja Mangkunegaran sampai masa

kekuasaaan Mangkunegoro VI berakhir dan diteruskan oleh penggantinya

nanti.

7. Mangkunegoro VII ( 1916 – 1944 ), adalah putra ke tiga dari

Mangkunegoro V. Ia adalah seorang aktivis organisasi bersifat kebudayaan

(36)

commit to user

redaksi harian Jawa “ Darmo Kondo “, anggota Dewan Pengawas perkumpulan “ Budi Utomo “. Dan menjadi ketua Dewan Hindia ( volksraad ). Setelah dinobatkan menjadi Raja, ia pun berhenti dari

kegiatan tersebut. Pada masa pemerintahannya, banyak kebijakan yang

dikeluarkan. Yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan di Praja

Mangkunegaran dan wilayahnya. Pembangunan kota dengan peningkatan

sarana perkotaan, pembuatan taman – taman kota dan pembaharuan irigasi

dengan membuat bendungan dan waduk, merupakan progam – progam

dalam kebijakannya.

Daerah Mangkunegaran terletak di tanah Swapraja ( Vorstenlanden ) di

bagian Timur dari Jawa Tengah. Dan ditanah Swapraja itu juga di bagian

Timurnya. Daerah itu meliputi lereng Barat dan Selatan dari Gunung Lawu yang

meluas sampai daerah hulu dari Bengawan Solo menuju Gunung Kidul. Sebanyak

35.183 orang tinggal di Kota Mangkunegaran. Sedangkan luas daerah dari

Mangkunegaran adalah 2.815,14 Km2.

Seperti tercantum dalam perjanjian yang sudah disetujui, wilayah

kekuasaan Praja Mangkunegaran adalah daerah Keduwang, Laroh, Matesih dan

Gunung Kidul. Baru pada masa pemerintahan Mangkunagoro II (1796-1835)

daerah Praja Mangkunegaran bertambah 240 jung dan kemudian bertambah lagi

500 cacah (1 cacah = 4 bau. 1 bau = 0,7096 ha. 1jung = 4 karya = 16 bau).

Mangkunagoro II telah berjasa kepada Rafflesh, membantu mengadakan

perlawanan terhadap Sultan Hamengku Buwono II. Sebagai hadiah atas

jasa-jasanya, maka Rafflesh memperluas daerah Mangkunegaran yang meliputi :

1. Keduwang 72 jung

2. Sembuyan 12 jung

3. Mataram 2,5 jung

4. Sukowati Timur 95,5 jung

5. Sukowati Barat 28,5 jung

6. Sebelah Timur Merapi 29,5 jung

(37)

commit to user

Setelah terjadi perang Diponegoro (1825-1830), daerah Mangkunegaran

diperluas dengan 500 cacah, semuanya milik Yogyakarta yang ada di Sukowati.

Selama berlangsungnya perang Diponegoro, Mangkunagoro II membantu Belanda

kemudian setelah perang usai daerah yang telah dikuasai oleh Belanda diserahkan

sebagai hadiah atas jasa-jasanya. Dengan tambahan itu daerah Mangkunegaran

luasnya menjadi 5.500 karya, yang meliputi :

1. Keduwang 141 jung

2. Laroh 115,25 jung

3. Matesih 218 jung

4. Wiraka 60,5 jung

5. Hariboyo 82,5 jung

6. Hanggabayan 25 jung

7. Gunung Kidul 71,5 jung

8. Sembuyan 113 jung

Jumlah 846,75 jung

Sedang mengenai letak geografis wilayah Praja Mangkunagaran dibatasi

dengan sebelah utara dengan pegunungan kapur Kendeng, sebelah selatan dengan

Samudra Hindia dan tanah datar wilayah Yogyakarta,sebelah timur dengan

Gunung Lawu,sebelah barat dengan Gunung Merapi dan Merbabu. ( Moh,

Dalyono, 1939 : 105 ).

Untuk menghindari adanya enclave (tanah yang terkurung oleh wilayah

negara lain), pada tanggal 27 September 1830 dibuatlah kontrak yang

mengakibatkan swapraja di Surakarta dan Yogyakarta memiliki wilayah yang

terpisah dengan daerah yang lain oleh garis batas. Adapun caranya yaitu dengan

menukarkan beberapa tanah wilayah Praja Mangkunegaran dengan Kasunanan.

Sejak tahun 1917 berdasarkan Rijksblad Mangkunegaran tahun 1917 No. 331,

Mangkunegaran terdiri dari tiga kabupaten yaitu Wonogiri, Karanganyar, dan

(38)

commit to user

B. Kerangka Berpikir

Keterangan :

Berbagai pembaharuan yang dilakukan Mangkunegara VII, tidak lepas

dari pendahulunya yang bernama GRM Soejitno yang bergelar Mangkunegara VI

, hal ini dilakukan juga karena ada intervensi oleh kekuatan asing dalam hal ini

adalah Belanda. (Sarwanto Wiryosuputra, 1981: 1). Perekonomian Praja

Mangkunegaran yang mengalami kebangkrutan, telah pulih kembali keadaannya.

Beliau juga telah dapat kembali menempatkan pemerintahannya pada martabat

ekonomi yang terhormat. Kerja keras Mangkunegara VI yang bertujuan untuk Perbaikan Pembangunan

Ekonomi MN VI MN VII 1916-1944

Pembangunan di Praja Mangkunegaran

Transportasi Kesehatan

Pendidikan Prasarana

Perkotaan

Tata Ruang Kota di Praja Mangkunegaran

Konsep Kosmologi Jawa

Konsep Kota Kolonial

Macapat

Civic Center Intervensi oleh Kolonial

(39)

commit to user

memajukan praja Mangkunegaran ini dijadikan suri dan teladan bagi

Mangkunegara VII.

K.G.P.A.A. Mangkunegara VII naik tahta pada tahun 1916, menggantikan

kedudukan K.G.P.A.A. Mangkunegara VI yang pensiun dan pindah ke Surabaya.

Tugas Mangkunegara VII adalah melanjutkan masa pemerintahan gemilang

Mangkunegara VI. Sebagai seorang pribadi terpelajar yang juga pernah

mengenyam pendidikan di negeri Belanda, beliau sadar bahwa untuk memajukan

kehidupan rakyatnya harus segera dilakukan pembaharuan. Ada beberapa faktor

yang mempengaruhi pembangunan perkotaan di wilayah Praja Mangkunegaran

yaitu : faktor politik, faktor ekonomi, dan faktor sosial.

Sejalan dengan kemajuan di sektor pendidikan, transportasi, kehutanan,

dan irigasi, Mangkunegara VII juga sangat memperhatikan tata kota di wilayah

Mangkunegaran. Konsep ”civic center” telah diterapkan di wilayah kota

Mangkunegaran. Pada konsep ini berbagai kantor pusat pemerintahan

ketatanegaraan kota praja berada di satu kompleks wilayah. Pembangunan sarana

dan prasarana serta gedung-gedung perkantoran juga dibangun. Di zona civic

center ini dibangun : Soos Mangkunegaran yaitu gedung pertemuan untuk para

pegawai, Soos Militer yang digunakan sebagai gedung pertemuan untuk para

bintara, tempat ibadah, gudang untuk legiun Mangkunegaran, tiga gedung

kelurahan, kantor polisi, beberapa pos jaga, dan beberapa rumah dinas untuk para

pejabat dari bupati, wedana, hingga camat. Seluruh pembangunan sarana dan

prasarana ini diatur oleh Dinas Pekerjaan Umum Mangkunegaran.

Di kawasan Banjarsari dibangun perumahan elit yang disebut Villapark.

Seiring dengan pembangunan jalan-jalan, beliau juga membangun beberapa taman

(40)

commit to user

28 BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

A. Tempat dan Waktu Penelitian

1. Tempat Penelitian

Dalam penelitian historis yang berjudul “ Perkembangan Perkotaan Di

Praja Mangkunegaran ( Studi Tentang Kebijakan Mangkunegara VII , 1916 –

1944 ) “, penulis melakukan teknik pengumpulan data , baik data primer maupun

sekunder melalui studi pustaka. Adapun perpustakaan yang digunakan dalam

mencari data – data tersebut adalah sebagai berikut:

a. Perpustakaan Pusat Universitas Sebelas Maret Surakarta.

b. Perpustakaan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas

Sebelas Maret Surakarta.

c. Perpustakaan Program Studi Pendidikan Sejarah Universitas Sebelas

Maret Surakarta.

d. Perpustakaan Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret

Surakarta.

e. Perpustakaan Reksa Pustaka Mangkunegaran.

2. Waktu Penelitian

Waktu yang direncanakan untuk penelitian ini adalah sejak bulan

Oktober 2010 sampai dengan sekitar bulan April 2011.

B. Metode penelitian

Dalam suatu penelitian, peranan metode ilmiah sangat penting karena

keberhasilan tujuan yang akan dicapai tergantung dari penggunaan metode yang

tepat. Kata metode berasal dari bahasa Yunani, methodos yang berarti cara atau

jalan. Sehubungan dengan karya ilmiah, maka metode menyangkut masalah cara

kerja, yaitu cara kerja untuk memahami obyek yang menjadi sasaran ilmu yang

(41)

commit to user

Sedangkan menurut Helius Sjamsudin (1996 : 6), yang dimaksud dengan

metode adalah suatu prosedur teknik atau cara melakukan penyelidikan yang

sistematis yang dipakai oleh suatu ilmu (sains), seni atau disiplin ilmu yang lain.

Penelitian ini merupakan penelitian yang berusaha merekonstruksikan,

mendiskripsikan dan memaparkan krisis ekonomi Mangkunegaran. Mengingat

peristiwa yang menjadi pokok penelitian adalah peristiwa masa lampau, maka

metode yang digunakan adalah metode historis atau sejarah. Dengan melihat

peristiwa di masa lampau sehingga dapat menghasilkan historiografi sejarah yang

dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.

Menurut Louis Gottschalk yang dikutip Dudung Abdurrahman (1999: 44)

menjelaskan metode sejarah sebagai proses menguji dan menganalisis kesaksian

sejarah guna menemukan data yang otentik dan dapat dipercaya, serta usaha

sintesis atas data semacam itu menjadi kisah sejarah yang dapat dipercaya.

Menurut Helius Syamsuddin dan Ismaun (1996: 61), yang dimaksud metode

sejarah adalah proses menguji dan mengkaji kebenaran rekaman dan

peninggalan-peninggalan masa lampau dengan menganalisis secara kritis bukti-bukti dan

data-data yang ada sehingga menjadi penyajian dan ceritera sejarah yang dapat

dipercaya.Sedangkan menurut Nugroho Notosusanto (1971: 23) mengatakan bahwa “metode penelitian sejarah merupakan proses pengumpulan, menguji, menganalisis secara kritis rekaman-rekaman dan penggalian-penggalian masa

lampau menjadi kisah sejarah yang dapat dipercaya, metode ini merupakan proses

merekonstruksi peristiwa-peristiwa masa lampau, sehingga menjadi kisah yang nyata”.

Dari beberapa pendapat di atas, maka dapat disimpulkan bahwa metode

penelitian sejarah adalah kegiatan pemecahan masalah dengan mengumpulkan

sumber-sumber sejarah yang relevan dengan permasalahan yang akan dikaji.

Sehingga dapat memahami kejadian pada masa lalu kemudian menguji dan

menganalisa secara kritis dan mengajukan sintesis dari hasil yang dicapai dalam

bentuk tertulis dari sumber sejarah tersebut, agar dapat dijadikan suatu cerita

(42)

commit to user

C. Sumber Data

Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah sumber data

sejarah. Sumber data sejarah sering disebut juga data sejarah. Menurut Kuntowijoyo (1995 : 94) kata ”data” merupakan bentuk jamak dari kata tunggal datum (bahasa latin) yang berarti pemberitaan.

Menurut Helius Syamsuddin dan Ismaun (1996 : 61) sumber sejarah ialah

bahan-bahan yang dapat digunakan untuk mengumpulkan informasi tentang

peristiwa yang terjadi pada masa lampau.

Helius Syamsuddin ( 1994: 73) mengemukakan tentang pengertian sumber

sejarah, yaitu:

Segala sesuatu yang langsung atau tidak langsung menceritakan kepada kita tentang sesuatu kenyataan atau kegiatan manusia pada masa lalu (past actuality). Sumber sejarah merupakan bahan-bahan mentah (raw materials) sejarah yang mencakup segala macam evidensi (bukti) yang telah ditinggalkan oleh manusia yang menunjukkan segala aktivitas mereka di masa lalu yang berupa kata-kata yang tertulis atau kata-kata yang diucapkan (lisan).

Dalam usaha untuk mengunpulkan data, penulis menggunakan sumber

tertulis. Sumber tertulis dibedakan menjadi dua, yaitu sumber tertulis primer dan

sumber tertulis sekunder. Louis Gottshalck (1986: 35) mengemukakan bahwa

sumber tertulis primer adalah kesaksian dari seorang saksi dengan mata kepala

sendiri. Sumber tertulis primer juga dapat diartikan sebagai data yang didapatkan

dari masa yang sejaman dan berasal dari orang yang sejaman. Sedangkan sumber

tertulis sekunder merupakan kesaksian dari pada siapapun yang bukan merupakan

saksi mata, yakni dari seseorang yang tidak hadir dari peristiwa yang

dikisahkannya. Sumber tertulis sekunder juga dapat diartikan sebagai data yang

ditulis oleh orang yang tidak sejaman dengan peristiwa yang dikisahkannya.

Dalam skripsi ini sumber-sumber yang digunakan adalah surat kabar dan

beberapa literatur lain baik arsip, buku maupun artikel mengenai Praja

Mangkunegaran masa Mangkunegaran VII, antara lain arsip : Overzichtkaart

Tirtonadi Complex, Verkorte stamboom van Zijne Hoogheid PAA

(43)

commit to user

Surakarta : Rekso Pustaka. Buku : A.K. Pringgodigdo. 1983. Lahir Serta

Tumbuhnya Praja Mangkunegaran. Surakarta : Rekso Pustaka., Hadisoebroto.

1960. KGPAA Mangkunegara VI. Surakarta : Rekso Pustaka., Mohammad

Dalyono. 1939. Ketataprajaan Mangkunegaran. Surakarta : Rekso Pustaka., Notodhiningrat. 1939. “Pengairan Di Mangkunegaran Selama Tiga Windu”. Supllement Triwindoe Gedenkboek Mangkunagara VII. Sala : Rekso Pustaka,

Sarwanto Wiryoseputro. 1981. KGPAA Mangkunegara VII. Surakarta : Rekso

Pustaka, Roeshadi Sambojo. Tanpa tahun. Serat Warsitatama. Surakarta : Rekso

Pustaka. Kesemua sumber data tersebut dikaji, kemudian dianalisis maka

diperoleh data yang digunakan untuk menyusun cerita sejarah yang obyektif.

D. Teknik Pengumpulan Data

Berdasarkan sumber data yang diperlukan dalam penelitian ini, maka

dalam melakukan teknik pengumpulan data digunakan teknik kepustakaan atau

studi pustaka. Studi pustaka berperan penting sebagai proses bahan penelitian,

tujuannya sebagai pemahaman secara menyeluruh tentang topik permasalahan

yang sedang dikaji. Studi pustaka adalah suatu teknik pengumpulan data yang

dilakukan dengan tujuan untuk memperoleh data atau fakta sejarah, dengan cara

membaca buku-buku literatur, majalah, dokumen atau arsip, surat kabar atau

brosur yang tersimpan di dalam perpustakaan (Koentjaraningrat, 1983: 3).

Keuntungan yang diperoleh dari penggunaan studi pustaka menurut

Koentjaraningrat (1986: 18) ada 4 yaitu:

(1) Memperdalam kerangka teoritis yang digunakan sebagai landasan teori

pemikiran

(2) Memperdalam pengetahuan tentang masalah yang diteliti

(3) Mempertajam konsep yang digunakan, sehingga mempermudah dalam

perumusannya

(4) Menghindari terjadinya pengulangan suatu penelitian

Kegiatan pengumpulan data dalam penelitian ini dilaksanakan sebagai

Gambar

Gambar Pasukan Kavaleri Legiun Mangkunegaran  .............. 79
Gambar R.M.A Soeryo Soeparto
Tabel 1.

Referensi

Dokumen terkait

Pemindahan Ibukota Kabupaten Solok dari Kota Solok ke Arosuka, Keputusan. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Solok Nomor 01

Efek pada produk adalah pada budaya tertentu warna putih pada pakaian memberikan simbol keberuntungan dalam pernikahan, putih adalah warna penyeimbang yg sangat baik, manjur dalam

Perbandingan visual plat baja tanpa dan dengan inhibitor yang siap digunakan disajikan dalam gambar 4. Plat baja tanpa dan dengan inhibitor yang

[r]

“BELI(spasi)pinPelanggan(spasi)nominal” maka server akan melakukan pengecekan format sms, jika format telah sesuai maka saldo akan berkurang sesuai nominal yang telah di kirim

Hasil penelitian menunjukkan bahwa ukuran perusahaan dan struktur modal berpengaruh signifikan pada nilai perusahaan sedangkan pertumbuhan.. perusahaan tidak

Ilmu Ekonomi Perbanas Surabaya yang telah memberikan bekal ilmu.. pengetahuan dan juga memberikan banyak bantuan untuk

# MONTHLY FIGURES RELATE 2015 AND 2016 RESPECTIVELY... 3) ALL QUANTITIES REPRESENT ACTUAL REPORTED WEIGHT, NOT ESTIMATED FROM THE NUMBER OF PACKAGES. 4) SALES HELD DURING A