PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KREDITUR DALAM PROSES EKSEKUSI HIPOTEK ATAS KAPAL LAUT
OLEH
NAMA : APRISMA NIM: 1020115025
PROGRAM MAGISTER KENOTARIATAN FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS ANDALAS
PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KREDITUR DALAM PROSES EKSEKUSI HIPOTEK ATAS KAPAL LAUT
INTISARI
Pasal 1 angka 2 UU No. 10 Tahun 1998 Tentang Perbankan menyebutkan Bank adalah suatu badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit. Kredit yang diberikan tersebut bank harus mempertanggungjawabkannya karena dananya berasal dari masyarakat. Selain itu fungsi bank adalah sebagai penggerak pembangunan nasional untuk meningkatkan perekonomian, menjaga stabilitas nasional demi kemakmuran masyarakat. Pada saat memberikan kredit Bank akan menganalisis nya dengan melihat watak, kemampuan, modal , jaminan, dan kondisi ekonomi dari si debitur. Jaminan merupakan pengganti ketika debitur mengalami kegagalan dalam pengembalian kredit nya. Salah satu bentuk jaminan kebendaan tersebut adalah Hipotek Kapal Laut, dengan ukuran 20 m³ dan telah didaftar pada kantor Syahbandar. Ketika debitur wanprestasi atas utangnya, kreditur dapat langsung mengeksekusi objek jaminan tersebut.
Tujuan penelitian ini untuk menjelaskan bagaimana tata cara eksekusi hipotek atas kapal laut yang dijadikan jaminan kredit pada lembaga perbankan, dan untuk menjelaskan usaha-usaha yang dilakukan untuk melindungi hak kreditur dalam pelaksanaan eksekusi hipotek kapal laut, serta untuk menjelaskan perlunya peraturan tentang penahanan kapal untuk kelancaran eksekusi hipotek kapal laut dalam UU No. 17 Tahun 2008 Tentang Pelayaran. Metode yang dipakai dalam penelitian ini adalah yuridis normatif, dengan pendekatan yang bersifat kualitatif, dengan jenis penelitian deskriptif analisis. Data primer diperoleh dengan melalui teknik wawancara terhadap orang-orang yang berwenang dan terkait dengan hipotek kapal laut. Sedangkan untuk memperoleh data sekunder dilakukan dengan studi kepustakaan. Berdasarkan hasil penelitian dapat diambil kesimpulan bahwa tata cara eksekusi hipotek kapal laut berdasarkan Pasal 224 HIR dengan menggunakan kekuatan Eksekutorial Akta Hipotek, dengan Parate Eksekusi Pasal 1178 ayat (2), kreditur dapat secara langsung mengajukan penjualan lelang dengan klausul kuasa sendiri ( eigenmatiche verkoop), dengan cara Litigasi yang diatur pada Pasal 118 HIR kreditur dapat mengajukan gugatan ke Pengadilan Negeri, dan dengan cara dibawah tangan atas kesepakatan kedua belah pihak. Sedangkan usaha-usaha yang dilakukan untuk melindungi hak kreditur adalah dengan adanya pengikatan objek jaminan, dengan adanya asuransi, sebagai antisipasi ketika debitur wanprestasi. Perlunya Lembaga Penahanan Kapal untuk kelancaran eksekusi hipotek kapal laut dalam UU Pelayaran, karena kapal sifatnya benda bergerak, berlayar sampai melampaui yuridiksi suatu negara ketika dieksekusi tidak berada ditempat, sehingga terciptanya kepastian hukum dalam pelaksanaan eksekusinya.
LEGAL PROTECTION AGAINST CREDITORS
IN THE PROCESS OF EXECUTION OF SHIP MARINE MORTGAGE
ABSTRACT
Article 1 paragraph 2 of The Act Number 10 of 1998 About Banking mention Bank is a business entity which collects funds from the public in the form of savings and channel them to the public in the form of loans. Loans must be held accountable for the bank's funds come from the public. Besides functioning as an engine of development banks is nasonal to boost the economy, maintain national stability for the prosperity of society. At the time of its bank credit will be analyzed by looking at the character, capacity, capital, collateral, and economic condition of the debtor. Guarantee a replacement when the debtor has failed to return his credit. One form of security rights is Mortgage Marine, with a size of 20 m3 and has been listed on Syahbandar office. When a debtor defaults on its debts, creditors can directly execute the collateral objects.
The purpose of this study to explain how the procedures for the execution of a mortgage on a ship used as collateral on loans banking institutions, and to explain the efforts being made to protect the rights of mortgage lenders in the execution of the ship, as well as to explain the need for regulation of the containment vessel for the smooth ship mortgage executed in Law. 17 of 2008 on Shipping. The method used in this research is normative, with an approach that is qualitative, descriptive research with analysis. The primary data obtained through interview techniques against those who authorized and linked to mortgage ships. As for the secondary data obtained with library research. Based on these results it can be concluded that the execution of the mortgage procedure under Article 224 of ships by force eksekutorial HIR Mortgage Deed, by parate execution paragraph of Article 1178 (2), the creditor can not directly apply to the auction sale its own power clause (eigenmatiche verkoop), Litigation manner set out in Article 118 HIR creditor can file a lawsuit to the District Court, and by hand under the agreement of both parties. While efforts were made to protect the rights of creditors are guaranteed by the binding object, in the presence of insurance, as anticipated when the debtor defaults. The need for detention institutions for the smooth execution of the mortgage Ship ships in Shipping Law, because its objects moving ship, sailing up beyond the jurisdiction of a country when it is executed is not in place, thus creating legal certainty in the implementation of the execution.
i
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmanirrahim
Assalamualaikum wr.wb
Puji syukur saya panjatkan doa kepada Allah swt , karena atas berkat dan rahmatnya,
saya dapat menyelesaikan tesis ini. Penulisan tesis ini dilakukan dalam rangka
memenuhi salah satu syarat untuk mencapai gelar Magister Kenotariatan pada
Fakultas Hukum Universitas Andalas Padang. Saya menyadari bahwa, tanpa bantuan
dan bimbingan dari berbagai pihak, dari masa perkuliahan sampai pada penyusunan
tesis ini, sangatlah sulit bagi saya untuk menyelesaikan tesis ini. Oleh karena itu saya
mengucapkan terimakasih kepada :
1. Orang tua yang saya muliakan, suami, anak-anak yang saya sayangi, dan
saudara-saudaraku yang selalu mendoakan, dan memberikan kasih sayang , perhatian,
dorongan, dan semangat;
2. Bapak Dr. Werry Darta Taifur, selaku Rektor Universitas Andalas
3. Bapak Prof. Dr.Yuliandri, S.H, M.H, selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas
Andalas;
4. Bapak Yoserwan, S.H, M.H, L.L.M, selaku Pembantu Dekan I Fakultas Hukum
Universitas Andalas;
5. Bapak Frenadin Ade Gustara, S.H, M.S, selaku Pembantu Dekan II Fakultas
Hukum Universitas Andalas;
6. Bapak Dr. Kurniawarman, S.H, M.Hum, selaku Pembantu Dekan III Fakultas
Hukum Universitas Andalas;
7. Bapak Dr. Busyra Azheri, S.H, M.H, selaku Ketua Program Studi Magister
Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Andalas;
8. Bapak Dr. Dahlil Marjon, S.H, M.H, selaku dosen Pembimbing I yang telah
menyediakan waktu, tenaga, dan pikiran untuk mengarahkan saya dalam
ii
9. Bapak Tasman S.H, M.H, selaku dosen Pembimbing II yang telah sabar,dan
memberikan arahan dan masukan dalam penyusunan tesis ini
10. Bapak Dr. Busyra Azheri ,S.H, M.H, dan Bapak Yoserwan ,S.H, M.H, L.L.M,
sebagai dosen penguji ;
11. Para dosen yang yang telah memberikan ilmunya kepada saya selama
menjalankan studi di Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas
Andalas;
12. Seluruh Staff pengelola Magister Kenotariatan Universitas Andalas ;
13. Tak lupa juga untuk nara sumber, Ibu Notaris Haryanti, S.H, Ibu syukriah, S.H,
M.M, Bapak Prof. Dr. Teguh Sulistia, S.H, M.H, Bapak Hengki Andora,S.H,
L.L.M, Bapak Hakim Tinggi Gatot Supramono, Ibu Herry Suksessy, S.H,
14. Para sahabat dan adik-adik di Mkn 2010 Popi, Yanti, Elga Yanti, Rince,
Darmayenti, Reni, Fandi, Iqbal,Melly, Zul, Pak Dt. Novrial, Dian, Nina, Mes,
untuk masukan, support , sharing dan saran yang sangat berharga dalam
pembuatan tesis ini, serta teman-teman dan sahabat-sahabat yang tidak dapat
disebutkan satu-persatu.
Akhir kata, saya berharap Allah Swt berkenan membalas segala kebaikan semua
pihak yang telah membantu selama ini. Atas kekurangan dan keterbatasan ilmu yang
penulis miliki, penulis menyadari sepenuhnya bahwa tesis ini sangat jauh dari
sempurna. Untuk itu dengan segala kerendahan hati penulis mengharapkan saran serta
kritik dari semua pihak demi kesempurnaan tesis ini. Akhir kata penulis
menghaturkan doa semoga tesis ini membawa manfaat bagi pengembangan ilmu
hukum. Amiin.
Padang, 24 Oktober 2012
Penulis
iii
2.1.1 Pengertian dan Kaitan dengan Hukum Benda ... 27
2.1.2 Hipotek dalam Undang-Undang Penerbangan ... 29
2.1.3 Hipotek Kapal ... 31
2.2 KAPAL LAUT SEBAGAI OBJEK HUKUM JAMINAN ... 33
2.2.1 Kapal Laut Sebagai Benda Modal ... 33
2.2.2 Status Hukum Kapal Laut dalam Hukum Perdata ... 35
2.2.3 Sumber Hukum Pendaftaran Kapal Laut ... 36
2.2.4 Proses Pendaftaran Kapal Laut ... 38
2.2.5 Jaminan Hipotek Atas Kapal Laut ... 45
2.2.6 Akibat Hukum Pendaftaran Hipotek kapal Laut ... 52
2.2.7 Jaminan Kebendaan Lainnya atas Kapal Laut ... 55
2.3 PERJANJIAN KREDIT ... 59
2.3.1 Pengertian dan Istilah Kredit ... 59
2.3.2 Pengertian Perjanjian Kredit ... 62
2.3.3 Dasar Hukum Perjanjian Kredit ... 64
2.3.4 Analisis dan Momentum Terjadinya Perjanjian Kredit .. 66
iv
2.3.6 Sifat Perjanjian Kredit ... 74
2.3.7 Jangka Waktu Perjanjian Kredit... 76
2.3.8 Faktor Penyebab Terjadinya Wanprestasi ... 77
2.3.9 Hapusnya Perjanjian Kredit ... 77
2.3.10 Perjanjian Kredit Dengan Akta Notaris ... 80
2.4 EKSEKUSI ... 86
2.4.1. Pengertian Eksekusi ... 86
2.4.2. Asas-Asas Eksekusi ... 87
2.4.3. Macam-Macam Eksekusi ... 90
2.4.5. Eksekusi yang Tidak Dapat Dijalankan ... 92
BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 3.1. Tata Cara Pelaksanaan Eksekusi Hipotek Kapal Laut Yang di Jadikan Jaminan Kredit Pada lembaga Perbankan … 94 3.2. Usaha-usaha yang Dilakukan Untuk Melindungi Hak Kreditur Dalam Pelaksanaan Eksekusi Hipotek Kapal yang Sedang Berlayar ... 101
3.3. Alasan-alasan Tidak Adanya Pengaturan Tentang Penahanan Kapal Dalam Eksekusi Hipotek Kapal Dalam UU No. 17 Tahun 2008 Tentang Pelayaran... 111
BAB IV PENUTUP ... 117
4.1 Kesimpulan ... 117
4.2 Saran ... 118
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang Masalah
Dalam rangka pembangunan nasional di bidang perekonomian dan dunia usaha,
diperlukan dukungan modal yang cukup besar. Modal tersebut dapat diperoleh dari berbagai
sumber, yang salah satunya berasal dari fasilitas pinjaman atau kredit yang diberikan oleh bank.
Dalam pemberian fasilitas kredit, perbankan pada dasarnya mengharapkan pelunasan utang yang
diperoleh dari hasil usaha debitur. Namun demikian, sebaliknya, tidak dapat dijamin bahwa
setiap debitur selalu memperoleh keuntungan dari usahanya. Kendala yang demikian itu bisa
disebabkan karena pengaruh keadaan bisnis pada umumnya, maupun faktor kelemahan debitur
itu sendiri1.
Pemberian kredit merupakan kegiatan yang berisiko tinggi. Bank harus mampu
menganalisis dan memprediksi suatu permohonan kredit untuk dapat meminimalkan resiko yang
terkandung di dalam penyaluran kredit tersebut. Penilaian terhadap calon debitur adalah faktor
yang sangat penting untuk menentukan tingkat resiko yang bakal dihadapi bank. Selain itu juga
ketatnya persaingan antar bank karena liberalisasi dan globalisasi, terutama untuk
meningkatkan investasi, serta perlunya menjaga kepercayaan masyarakat oleh bank tersebut
supaya tetap eksis dalam usahanya. Berdasarkan kepercayaan dari masyarakat, bank dapat
memobilisasi dana dari masyarakat untuk ditempatkan di bank tersebut dan menyalurkannya
kembali dalam bentuk utang atau kredit serta memberikan jasa- jasa perbankan lainnya.
1
Pasal 1 angka 2 Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang perubahan atas
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan menyebutkan Bank adalah suatu badan usaha
yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada
masyarakat dalam bentuk kredit dan bentuk- bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf
hidup rakyat banyak. Sebagai lembaga intermediary, dana yang dipinjamkan oleh bank kepada
debitur adalah dana yang berasal dari simpanan nasabah yang harus dikembalikan berikut dengan
bunganya sesuai dengan perjanjian peminjaman antara bank dengan debitur. Untuk mendapatkan
kepastian pengembalian pinjaman debitur tersebut, dibutuhkan jaminan yang pasti, sehingga
jaminan memiliki peranan yang penting bagi bank dalam memberikan fasilitas kredit jika suatu
hari nanti terjadi hambatan dalam pengembalian kredit oleh debitur.
Selain itu jaminan juga dapat menunjang perkembangan dan kemajuan dari masyarakat,
hal ini sesuai dengan prinsip-prinsip 5C yang selalu dijalankan oleh bank dalam memberikan
kredit kepada calon nasabahnya. Prinsip 5 C tersebut antara lain, Character (watak), Capacity
(kemampuan), Capital (modal), Collateral (jaminan), dan condition of economic (kondisi
ekonomi)2.
Dalam menyalurkan kredit, bank juga melihat kondisi ekonomi secara keseluruhan.
Biasanya dalam kondisi pertumbuhan yang terus meningkat bank mengadakan ekspansi kredit
secara besar-besaran, sedangkan dalam kondisi ekonomi yang mengalami krisis bank akan
mengurangi penyaluran kreditnya3.
Pada prinsipnya penyaluran kredit tidak selalu harus dengan jaminan kredit, sebab jenis
usaha dan peluang bisnis yang dimiliki debitur pada dasarnya sudah merupakan jaminan atas
prospek usaha itu sendiri. Hanya saja, jika suatu kredit dilepas tanpa agunan, kredit itu akan
2
Hasanuddin Rahman, Aspek-Aspek Hukum Pemberian Kredit Perbankan di Indonesia, PT.Citra Aditya Bakti, Bandung, 1995, hal 25.
3
memiliki risiko yang sangat besar karena jika investasi yang dibiayai mengalami kegagalan atau
tidak sesuai dengan perhitungan semula4. Oleh karena itu kredit yang diberikan oleh bank tentu
memerlukan jaminan untuk mendapatkan pelunasan utang debitur.
Salah satu bentuk jaminan kebendaan tersebut adalah kapal. Kapal sebagai sarana
transportasi merupakan benda yang memiliki nilai ekonomi tinggi dan kalau dijaminkan untuk
meningkatkan modal usaha dalam hukum jaminan dikenal dengan hipotek. Kapal yang dapat
dijadikan jaminan hipotek tersebut yang berukuran 20 m³, dan telah didaftar pada pejabat yang
berwenang untuk mengeluarkan akta pendaftaran kapal laut yaitu Pejabat Pendaftar Dan Pencatat
Balik Nama pada kantor syahbandar.
Kapal setelah dilakukan pendaftaran dapat dijadikan sebagai jaminan utang dengan
pembebanan hipotek kapal. Kapal yang dibebani hipotek tetap dikuasai debitur dan dapat
dipergunakan untuk berlayar sesuai fungsinya. Berhubung kapal yang dihipotekan tetap dapat
berlayar kesana- kemari, ketika debitur wanprestasi atas utangnya, maka ketika di eksekusi
mendapat kesulitan karena kapal tidak berada ditempat, sehingga hak-hak kreditur tidak
terjamin dalam pemenuhan piutangnya yang mencerminkan tidak adanya kepastian hukum
terhadap hak kreditur.
Untuk mengantisipasi ketika di eksekusi kapal tidak berada ditempat dalam
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 Tentang Pelayaran Pasal 222 telah mengatur tentang kapan suatu
kapal dapat ditahan atau disita ketika adanya suatu perkara perdata dan pidana. Dalam perkara
perdata kapal hanya dapat ditahan / sita apabila adanya klaim pelayaran, misalnya adanya
kerugian atau kerusakan yang disebabkan oleh pengeoperasian kapal, kerusakan terhadap
lingkungan, biaya-biaya tentang perbaikan kapal, pengangkatan, penyelamatan kapal dan awak
kapal, biaya pengangkutan barang atau penumpang diatas kapal yang tertuang dalam perjanjian
pencarteran atau lainnya, atau karena kerusakan kapal dan barang karena terjadinya peristiwa
kecelakaan dilaut (general averege). Klaim–klaim tersebut sebenarnya merupakan tuntutan ganti
rugi kepada pemilik kapal/ pengusaha yang diajukan oleh awak kapal atau pihak ketiga. Tetapi
terhadap kepentingan eksekusi hipotek kapal tidak diatur. Padahal penahan kapal dapat sebagai
antisipasi untuk memperlancar eksekusi hipotek kapal. Sehingga undang-undang ini masih
mempunyai kekurangan karena tidak mengatur tentang penahan kapal untuk kelancaran eksekusi
hipoteknya.
Seperti diketahui eksekusi dilakukan apabila pihak debitur telah melanggar perjanjian
kredit yang telah disepakati bersama (wanprestasi). Perjanjian kredit dengan jaminan kapal laut
merupakan kredit investasi yang jumlah kreditnya sangat besar dan kapal yang berlayar juga
sangat berisiko untuk mudah terbakar, tenggelam, di bajak, kapal kandas atau terjadinya
kecelakaan tubrukan di laut. Oleh karena itu bank sangat berhati-hati ketika menyalurkan
kreditnya dengan mempertimbangkan dalam memilih nasabah atau debitur dan kondisi
perusahaan tersebut sehingga kredit yang diberikan dalam jumlah yang besar tersebut dapat
kembali dengan aman. Selain itu berdasarkan pasal 4 Undang- Undang Perbankan nomor 7
Tahun 1992 mengatakan Perbankan Indonesia bertujuan menunjang pelaksanaan pembangunan
nasional dalam rangka meningkatkan pemerataan, pertumbuhan ekonomi, dan stabilitas
nasinonal ke arah peningkatan kesejahteraan rakyat.
Pada dasarnya segala apa yang disyaratkan sebelum dan sesudah kredit diberikan adalah
merupakan usaha pengamanan kredit. Untuk mendapatkan kepastian dan keamanan dari
kreditnya, langkah-langkah yang diambil bank dalam melindungi hak nya tersebut dapat bersifat
wanprestasi antara lain menganalisa kredit, mengatur administrasi, mengikat jaminan,
mengasuransi dan mengawasi jalannya kredit serta mengadakan pembinaan dengan cara-cara
pendekatan dan bimbingan yang konstruktif. Sedangkan yang bersifat represif adalah tindakan
atau usaha yang dilakukan bank ketika kredit tersebut mengalami kemacetan.
Pada saat ini pengaturan hipotek kapal laut tunduk pada Kitab Undang-undang Hukum
Dagang (KUHD), Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUH Perdata), Selain itu juga ada
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran. Dengan banyaknya peraturan yang
mengatur tersebut menurut Mariam Darus Badrulzaman, bahwa hukum Hipotik Kapal
merupakan bangunan hukum yang rapuh dan dalam prakteknya akan menghadapi kesulitan
untuk menegakan kepastian hukum yang pada ujungnya akan dapat menghambat akses
globalisasi dan pembangunan.5
2.Perumusan masalah
Berdasarkan paparan yang disampaikan dalam latar belakang diatas, maka ada beberapa
permasalahan ingin diketahui dalam penelitian nantinya. Permasalahan tersebut adalah:
2.1. Bagaimana tata cara pelaksanaan eksekusi hipotek kapal laut yang dijadikan jaminan kredit
pada lembaga perbankan?
2.2. Usaha-usaha apakah yang dilakukan untuk melindungi hak kreditur dalam pelaksanaan
eksekusi hipotik kapal laut yang sedang berlayar ?
2.3. Mengapa peraturan jaminan hipotek tidak mengatur tentang pelaksanaan eksekusi terhadap
hipotek kapal laut yang sedang berlayar?
3. Tujuan Penelitian
Adapun yang menjadi tujuan penelitian dalam penulisan tesis ini adalah:
5
3.1. Untuk menjelaskan tata cara pelaksanaan eksekusi hipotek kapal laut.
3.2. Untuk menjelaskan usaha-usaha apakah yang dilakukan untuk melindungi hak kreditur
dalam pelaksanaan eksekusi hipotik kapal laut.
3.3. Untuk menjelaskan mengenai alasan pelaksanaan eksekusi Hipotek Kapal Laut tidak diatur
dalam Undang-Undang Pelayaran
3. Manfaat Penelitian
Dengan tercapainya tujuan penelitian sebagaimana tersebut diatas, maka hasil penelitian ini
diharapkan mempunyai manfaat ganda, baik manfaat praktis maupun manfaat teoritis antara
lain sebagai berikut :
4.1. Manfaat teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi pengembangan ilmu hukum khususnya
yang berkaitan dengan perjanjian kredit dengan jaminan hipotek kapal terhadap hak-hak kreditur
dan debitur yang dapat memenuhi kebutuhan dan menunjang perkembangan dan kemajuan
ekonomi masyarakat. Pengaturan mengenai hipotek kapal yang dijadikan jaminan bagi
pelunasan kredit masih diatur dalam KUHPerdata dan KUH Dagang dan undang- undang
pelayaran. Hal ini berbeda dengan jaminan benda-tidak bergerak lainnya yang sudah diatur
dalam Hak Tanggungan sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996
tentang Hak Tanggungan. Banyaknya peraturan yang mengatur hipotek kapal tidak
mencerminkan kepastian hukum.
Diharapkan penelitian ini dapat memberikan sumbang saran dan informasi yang berguna
bagi para praktisi hukum tentang perjanjian kredit dengan jaminan hipotek kapal laut baik
mengenai klausula, doktrin dan keputusan pengadilan sehingga dapat menemukan hukumnya.
5. Keaslian Penelitian
Penelitian yang pernah dilakukan mengenai topik yang relatif sama dengan yang ingin
diteliti oleh penulis adalah penelitian yang dilakukan oleh :
1. Dian Anggraini Fakultas Hukum Universitas Indonesia Tahun 2008, dengan judul
penelitian “Pemasangan Jaminan Hipotik Kapal Laut dan Pelaksanaan Eksekusinya Sebagai
Pelunasan Pinjaman”. Penelitian yang dilakukan oleh Dian Anggraini memfokuskan diri pada
tata cara pemasangan Jaminannya dan eksekusinya.
2. Anis Idham Fakultas Hukum Universitas Indonesia Tahun 1980, dengan judul
“Beberapa Permasalahan Pranata Jaminan Hipotek Kapal Laut serta Pelaksanaannya Dalam
Hukum Maritim Indosesia”. Dari kedua Penelitian ini ada persamaan dan perbedaannya.
Persamaan nya sama-sama membahas mengenai eksekusinya, sedangkan Perbedaannya terletak
pada fokus penelitian. Penelitian penulis terletak pada perlindungan hukum krediturnya. Jadi
hak-hak kreditur yang ingin dilihat dalam penelitian ini.
6. Kerangka Konseptual
6.1. Perlindungan hukum terhadap kreditur
Perlindungan hukum terhadap kreditur pada hakikatnya adalah segala upaya yang
menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada hak-hak kreditur dalam
pemberian kredit sehingga tercapainya keadilan6 baik yang terdapat dalam peraturan-peraturan
6
hukum maupun dalam perjanjian- perjanjian antara kreditur dan debitur. Sedangkan
Perlindungan Hukum tersebut ada yang bersifat prefentif dan represif7.
Bersifat prefentif maksudnya segala upaya yang dilakukan oleh kreditur untuk menjamin
hak-hak nya dalam pemberian kredit sebelum terjadinya wanprestasi oleh debitur. Sedangkan
Perlindungan hukum bersifat represif adalah segala upaya yang dilakukan oleh kreditur untuk
menjamin hak-haknya dalam perjanjian kredit setelah terjadinya wanprestasi oleh debitur.
Dengan demikian perlindungan hukum ditujukan untuk memperkecil resiko, bahkan sampai pada
menghilangkan resiko yang mungkin timbul maupun sudah timbul/ terjadi.
Menurut Dr.Sutan Remi Sjahdeini,S.H., upaya preventif adalah untuk mencegah agar
kredit yang diberikan oleh bank tidak menjadi bermasalah atau bila akhirnya kredit itu
bermasalah dapat melakukan upaya-upaya represif agar kredit tersebut dapat diselamatkan atau
dapat dibayar kembali oleh nasabah.
Menurut Philipus. M. Hadjon membagi perlindungan hukum menjadi 2 (dua), yaitu:
perlindungan hukum preventif maksudnya perlindungan hukum yang memberikan kesempatan
kepada rakyat untuk mengajukan keberatan/ pendapat sebelum suatu keputusan pemerintah
mendapat bentuk yang definitif, sehingga perlindungan hukum ini bertujuan untuk mencegah
terjadinya sengketa. Dengan adanya perlindungan hukum yang bersifat preventif ini mendorong
pemerintah untuk berhati-hati dalam mengambil keputusan yang berkaitan dengan asas fries
ermessen, dan rakyat dapat mengajukan keberatan atau dimintai pendapatnya mengenai rencana
keputusan tersebut. Sedangkan perlindungan hukum represif adalah perlindungan hukum yang
berfungsi untuk menyelesaikan apabila terjadi sengketa.
Bentuk penyelesaian tersebut yaitu melalui pengadilan, lembaga banding administrasi
(instansi pemerintah), badan-badan khusus yang merupakan badan yang terkait dan berwenang
untuk menyelesaikan suatu sengketa antara lain Peradilan Administrasi Negara, Kantor Urusan
Perumahan, Badan Sensor Film, Panitia Urusan Piutang Negara.
Menurut Sudikno Mertokusumo8 Perlindungan hukum adalah: Adanya jaminan hak dan
kewajiban untuk manusia dalam rangka memenuhi kepentingan sendiri maupun didalam
hubungan dengan manusia lainnya. Kepentingan manusia yang dilindungi oleh hukum biasa
disebut hak dan memberikan wewenang kepada seseorang untuk melakukan perbuatan dapat
dipersamakan kepada siapun dan sebaliknya setiap orang harus menghormati hak itu.
6.2. Pengertian Kredit
Kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu,
berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam meminjam antara bank dengan pihak lain yang
mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan
pemberian bunga9.
Berdasarkan pengertian diatas, maka unsur-unsur yang terdapat dalam kredit dapat
digolongkan sebagai berikut :
a. Kepercayaan, yaitu adanya keyakinan dari pihak bank atas prestasi yang diberikannya kepada
nasabah debitur yang akan dilunasinya sesuai jangka waktu yang diperjanjikan;
b. Waktu, yaitu adanya jangka waktu tertentu antara pemberian kredit dan pelunasannya di
mana jangka waktu tersebut sebelumnya terlebih dahulu telah diepakati bersama antara pihak
bank dan nasabah debitur;
8
Sudikno Mertokusumo, Mengenai Hukum, Liberty, Yokyakarta, 2000, hal 25
9
c. Prestasi, yaitu adanya objek tertentu berupa prestasi dan kontra prestasi pada saat tercapainya
persetujuan atau kesepakatan perjanjian pemberian kredit antara bank dan masalah debitur
berupa uang dan bunga atau imbalan ;
d. Resiko, yaitu adanya resiko yang mungkin terjadi selama jangka waktu antara pemberian dan
pelunasan kredit tersebut, sehingga untuk mengamankan pemberian dan menutup
kemungkinan terjadinya wanprestasi dari nasabah debitur, maka diadakan pengikatan
jaminan atau agunan10.
Kredit bermasalah selalu ada dalam kegiatan perkreditan Bank karena Bank tidak mungkin
menghindarkan adanya kredit bermasalah. Bank hanya berusaha menekan seminimal mungkin
besarnya kredit bermasalah agar tidak melebihi ketentuan Bank Indonesia sebagai pengawas
perbankan11.
Bank Indonesia melalui Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor :
31/147/KEP/DIR tanggal 12 Nopember 1998 memberikan penggolongan mengenai kualitas
kredit apakah kredit yang diberikan Bank termasuk performing loan ( tidak bermasalah) atau
kredit bermasalah (non performing loans). Kualitas yang dimaksud dapat digolongkan sebagai
berikut :
a. Lancar;
b. Dalam Perhatian Khusus;
c. Kurang Lancar;
d. Diragukan, dan
e. Macet 12
10
Johannes Ibrahim, Bank Sebagai Lembaga Intermediasi Dalam Hukum Positif, Penerbit Utomo, 2004, hal. 92.
11
Sutarno, Aspek-Aspek Hukum Perkreditan Pada Bank, Penerbit Alfabeta Bandung, 2004, hal. 263.
12
Suatu kredit bermasalah dikategorikan macet jika terdapat tunggakan pokok dan/atau
bunga yang telah melampaui 270 hari (9 bulan lebih)13.
6.3 Perjanjian kredit
Perjanjian kredit adalah perjanjian yang dibuat antara kreditur dan debitur , dimana
kreditur berkewajiban untuk memberikan uang atau kredit kepada debitur, dan debitur
berkewajiban untuk membayar pokok dan bunga, serta biaya-biaya lainnya sesuai dengan jangka
waktu yang telah disepakati antara keduanya14.
Unsur-unsur perjanjian kredit adalah: adanya subjek hukum, adanya objek hukum,
adanya prestasi, adanya jangka waktu.
6.4. Pengertian Jaminan
Menurut Pasal 2 Ayat (1) Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia No.
23/69/KEP/DIR tanggal 28 Februari 1991 tentang Jaminan Pemberian Kredit dikemukakan
bahwa jaminan adalah suatu keyakinan bank atas kesanggupan debitur untuk melunasi kredit
sesuai dengan perjanjian. Sedangkan menurut Pasal 1131 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
menyatakan, “Segala kebendaan si berutang (debitur), baik yang bergerak maupun yang tidak
bergerak, baik yang sudah ada maupun yang baru akan ada di kemudian hari, menjadi jaminan
untuk segala perikatan pribadi debitur tersebut”. Dari ketentuan pasal ini mengandung asas
bahwa setiap orang bertanggung jawab terhadap utangnya, tanggung jawab yang mana berupa
tanggung jawab moral dan tanggung jawab hukum.
Adapun fungsi jaminan adalah untuk meyakinkan bank atau kreditur, bahwa debitur
mempunyai kemampuan untuk mengembalikan atau melunasi kredit yang diberikan kepadanya
sesuai dengan persyaratan dan perjanjian kredit yang telah disepakati bersama.
13
Ibid, hal. 264
14
6.5. Pengertian Hipotik
Hipotik itu sendiri adalah suatu hak kebendaan atas benda-benda tak bergerak, untuk
mengambil penggantian dari padanya bagi pelunasan bagi suatu perikatan15. Kontruksi hukum
dari pengertian tersebut mengacu pada pembebanan terhadap benda tidak bergerak. Sedangkan
yang termasuk benda-benda tak bergerak adalah hak atas tanah, kapal laut, dan pesawat terbang.
Sejak berlakunya Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan maka
hipotik atas tanah tidak berlaku lagi. Sedangkan benda tidak bergerak, seperti kapal laut tetap
berlaku ketentuan- ketentuan tentang hipotik sebagaimana yang diatur dalam Buku II Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata). Adapun ukuran kapal lautnya 20 m3, serta
telah terdaftar. Sedangkan dibawah ukuran itu berlaku ketentuan tentang jaminan fidusia .
Hipotik Kapal Laut
Prosedur dan syarat-syarat pembebanan hipotik kapal laut adalah : kapal yang sudah
terdaftar dan dilakukan dengan membuat akta hipotik ditempat dimana kapal semula terdaftar,
kapal yang dibebani hipotik harus jelas tercantum dalam akta hipotik, adanya perjanjian kredit,
nilai kredit, nilai hipotik yang dikhususkan pada nilai kapal, seyogyanya sesuai dengan nilai
kapal dan dapat dilakukan dengan mata uang apa saja sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku. Sedangkan prosedur pembebanannya antara lain adanya grosse akta
pendaftaran/balik nama, perjanjian kredit, Surat Kuasa Membebankan Hipotik (SKMH), Akta
Pembebanan Hipotik (APH)
Pada prinsipnya sifat perjanjian dapat dibagi menjadi 2 macam, yaitu perjanjian pokok dan
perjanjian assesoir, perjanjian pokok merupakan perjanjian untuk mendapatkan fasilitas kredit
15
dari bank. Sedangkan perjanjian assesoir merupakan perjanjian tambahan. Perjanjian
pembebanan hipotik kapal laut merupakan perjanjian assesoir atau tambahan. Keberadaan
perjanjian hipotik kapal ini adalah tergantung pada perjanjian pokoknya.
Sejak terjadinya pembebanan hipotik kapal laut, maka sejak saat itulah timbul akibat bagi
kedua belah pihak. Hak pemberi hipotik adalah tetap menguasai bendanya, mempergunakan
bendanya, melakukan tindakan penguasaan asal tidak merugikan pemegang hipotik, berhak
menerima uang pinjaman. Kewajiban pemberi hipotik adalah membayar pokok beserta bunga
pinjaman uang dari jaminan hipotik, membayar denda atas keterlambatan melakukan
pembayaran pokok pinjaman dan bunga. Sedangkan hak pemegang hipotek adalah memperoleh
penggantian bunga daripadanya untuk pelunasan piutangnya (verhaal) jika debitur wanprestasi,
memindahkan piutangnya karena hipotik bersifat assesoir, maka dengan berpindahnya hutang
pokok maka hipotek ikut berpindah.
Mengenai jangka waktu berlakunya hipotik termasuk perjanjian kredit yang berjangka
waktu panjang (long term loan) yaitu kredit yang berjangka waktu lebih dari 3 tahun. Kredit
dengan jangka waktu panjang ini pada umumnya adalah kredit investasi yang bertujuan
menambah modal perusahaan dalam rangka untuk melakukan rehabilitasi, ekspansi( perluasan),
dan pendirian proyek-proyek baru.
6.7. Hapusnya Hipotik Kapal Laut
Didalam Pasal 1209 KUH Perdata diatur tentang hapusnya hipotek yaitu hapusnya
perikatan pokok, pelepasan hipotek oleh kreditur dan pengaturan urutan tingkat oleh pengadilan.
Perjanjian Hipotik Kapal bukan hak perorangan (in personam), tetapi merupakan
Hak Kebendaaan (in rem). Hak kebendaannya bersifat absolut. Hal ini ditegaskan dalam Pasal
ditangan siapa pun objek itu berada untuk menerima pembayaran atasnya, serta dapat
dipertahankan kepada siapa pun.
Hak kebendaan hipotik juga bersifat droit de suite (tetap melekat ditangan siapa benda itu
berada). Kreditur berhak mengambil pelunasan pembayaran utang debitur meskipun kapal itu
telah berpindah ketangan pihak ketiga.
6.8. Pengertian Eksekusi
Eksekusi merupakan tindakan hukum yang dilakukan secara paksa oleh pengadilan
kepada pihak yang kalah dalam suatu perkara. Oleh karena itu, eksekusi adalah tindakan yang
berkesinambungan dari keseluruhan proses hukum acara perdata. Eksekusi merupakan suatu
kesatuan yang tidak terpisah dari pelaksanaan tata tertib beracara yang terdapat dalam Pasal 195
sampai 224 HIR dan Pasal 206 sampai Pasal 258 RBG .
7. Kerangka Teoritis
Dalam penulisan ini akan dipakai teori yang akan menunjang dan merupakan masukan
dalam penelitian ini. Teori merupakan suatu penjelasan yang bersifat rasionl dan harus
berkesusaian dengan objek yang dipermasalahkan dan harus didukung dengan adanya fakta yang
bersifat empiris agar dapat diuji kebenarannya16.
Kerangka teori merupakan masukan eksternal bagi peneliti yang dapat digunakan sebagai
kerangka pemikiran , atau buku-buku, pendapat, tesis, mengenai sesuatu kasus ataupun
permasalahan yang dijadikan sebagai bahan perbandingan, pegangan teoritis apakah disetujui
atau tidak dengan pegangan teori. Diharapkan akan memberi wawasan berpikir untuk
menemukan sesuatu yang benar sesuai dengan tujuan penelitian.17
16
Soerjono Soekamto, Pengantar Penelitian Hukum, UI-Press, Jakarta, 2010, hal 7
17
Adapun teori yang dipakai adalah :
1. Teori Perlindungan Hukum
Menurut Satjipto Rahardjo Perlindungan Hukum adalah upaya untuk memberikan
pengayoman terhadap Hak Asasi Manusia yang dirugikan orang lain dan perlindungan itu
diberikan kepada masyarakat agar dapat menikmati semua hak-hak yang diberikan oleh hukum.
Adapun hak-hak yang hendak dilindungi dalam penulisan ini adalah kepentingan/ hak dari
kreditur untuk dapat terjaminnya pengembalian kredit yang diberikan kepada debitur. Ketika
debitur wanprestasi kreditur mendapatkan kepastian akan pelaksanaan kemudahan eksekusinya,
sebagai pengganti pembayaran utang debitur tersebut. Dengan adanya grosse akte hipotek yang
mempunyai kekuatan yang disamakan dengan putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan
hukum tetap seharusnya hak-hak kreditur dapat terjamin pengembalian haknya.
2. Asas Kepastian Hukum
Menurut Muchtar Kusumaatmadja18 Asas Kepastian Hukum adalah bagaimana tujuan
hukum itu sebenarnya yaitu untuk tercapainya kepastian hukum, kemanfaatan, dan keadilan bagi
setiap insan manusia selaku anggota masyarakat yang plural dan interaksinya dengan insan yang
lain tanpa membedakan asal usul dari mana dia berada.
Asas kepastian hukum adalah untuk mengetahui dengan tepat aturan apa yang berlaku
dan apa yang dikehendaki daripadanya. Asas kepastian hukum sangat menentukan eksistensi
hukum sebagai pedoman tingkah laku dalam masyarakat. Hukum harus memberi jaminan
kepastian tentang aturan hukum. Aturan mengenai pelaksanaan eksekusi ketika debitur
wanprestasi yang ada dalam Pasal 118 jo Pasal 121 HIR apabila melalui proses Litigasi dan
Pasal 224 HIR jo Pasal 195 HIR apabila melalui kekuatan Eksekutorial yang ada dalam grosse
akta, atau melalui Parate Eksekusi, Kreditur Berdasarkan Kuasa Sendiri menjual barang hipotek
tanpa campur tangan pengadilan seperti yang diatur dalam Pasal 1178 (2) KUHPerdata,
memberikan kepastian hukum terhadap kreditur dalam melindungi haknya ketika debitur
wanprestasi.
3. Teori Perjanjian
Perjanjian kredit lahir setelah kreditur dan debitur sepakat menandatangani akta perjanjian
kredit tersebut. Sesuai dengan salah satu Teori Perjanjian yaitu Teori Penerimaan (
ontvangstheorie) yang mengatakan perjanjian lahir atau terjadi pada saat pihak yang
menawarkan menerima langsung jawaban dari pihak lawan. Pihak yang menawarkan tersebut
adalah kreditur setuju dan sepakat untuk menandatangani akta perjanjian kredit tersebut bersama
dengan debitur.
Dengan ditandatanganinya perjanjian antara kreditur dan debitur maka perjanjian kredit
tersebut mengikat dan berlaku sebagai undang-undang bagi kedua belah pihak sesuai dengan
pasal 1338 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang dikenal dengan asas “Pacta Sun
Servanda”. Dengan demikian debitur harus mematuhi bunyi perjanjian tersebut.
Menurut Subekti, perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seseorang berjanji kepada
seseorang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan suatu hal19.
Sedangkan menurut Handri Raharjo, perjanjian adalah suatu hubungan hukum di bidang harta
kekayaan yang didasari kata sepakat antara subjek hukum yang satu dengan yang lain, dan
diantara mereka (para pihak/subjek hukum) saling mengikatkan dirinya sehingga subjek hukum
yang satu berhak atas prestasi dan subjek hukum yang lain berkewajiban melaksanakan
19
prestasinya sesuai dengan kesepakatan yang telah disepakati para pihak tersebut serta
menimbulkan akibat hukum20.
Sah nya perjanjian menurut pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata adalah:
Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya, kecakapan untuk membuat suatu perikatan,
suatu hal tertentu, suatu sebab yang halal. Karena perjanjian kredit merupakan perjanjian pokok
maka perjanjian kredit harus memenuhi syarat- syarat sah nya perjanjian tersebut. Apabila
perjanjian pokok tidak memenuhi syarat sah nya perjanjian maka perjanjian jaminan yang
merupakan assesoirnya menjadi tidak sah pula. Bila debitur menyetujui dan menandatangani
perjanjian tersebut maka berarti debitur menyetujui syarat- syarat kontrak dan demikian itu tidak
bertentangan dengan asas perjanjian.
Menurut Pasal 1338 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menyatakan bahwa
perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang
membuatnya. Dari bunyi pasal tersebut sangat jelas terkandung asas:
a. Konsensualisme, adalah perjanjian itu telah terjadi jika telah ada konsesus antara
pihak-pihak yang mengadakan kontrak. Kesepakatan tersebut lahir sejak detik tercapainya sepakat.
Perjanjian itu sah sejak tercapainya kata sepakat . kesepakatan adalah kesesuain kehendak
dan faham antara kedua belah pihak.
b. Kebebasan berkontrak, artinya seseorang bebas untuk mengadakan perjanjian, bebas
mengenai apa yang diperjanjikan, bebas pula menentukan bentuk kontraknya, dengan syarat
perjanjian tersebut tidak boleh bertentangan baik dengan peraturan perundangan-undangan
yang bersifat memaksa, ketertiban umum, maupun kesusilaan.
c. Pacta sunt servanda, artinya kontrak itu merupakan undang-undang bagi para pihak yang
membuatnya (mengikat), maksudnya para pihak yang membuat perjanjian harus mematuhi
20
isi perjanjian tersebut dan mengikat bagi kedua belah pihak. Bagi para pihak yang
melanggar perjanjian diharuskan membayar ganti kerugian Pasal 1243 KUHPerdata.
d. Asas Kepercayaan, maksudnya para pihak dalam perjanjian saling percaya dan yakin akan
melaksanakan kewajibannya.
e. Asas Keseimbangan, maksudnya adanya kesetaraan prestasi antara dua pihak yang
melaksanakan perjajian.
f. Asas Moral dan Asas Kepatutan, maksudnya kepantasan, kelayakan, kesusilaan. Asas ini
dituangkan dalam Pasal 1339 KUHPerdata yaitu “persetujuan-persetujuan tidak hanya
mengikat untuk hal-hal yang dengan tegas dinyatakan didalamnya, tetapi juga untuk segala
sesuatu yang menurut sifat persetujuan, diharuskan oleh kepatutan dan kebiasaan dan
undang-undang. Asas kepatutan dan kesusilaan disini berkaitan dengan isi perjanjian
g. Asas Kepastian Hukum, maksudnya memberikan perlindungan bagi para pihak dalam
perjanjian. Aspek kepastian hukum memberikan jaminan unntuk terlaksananya perjanjian
dan dapat dituntut pertanggungjawaban atas pemenuhan perjanjian. Ketika debitur
wanprestasi kreditur dapat mengunakan grosse akta hipotek yang disamakan dengan putusan
pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.
8. Metode Penelitian
8.1. Pendekatan Masalah
Menurut Bambang Sunggono, Penelitian pada dasarnya adalah merupakan suatu upaya
pencarian dan bukannya sekedar mengamati dengan teliti terhadap sesuatu objek yang mudah
terpegang ditangan21. Dalam penelitian ini digunakan pendekatan dengan metode Yuridis
Normatif yang bersifat analitis, melalui bahan-bahan kepustakaan dan penelitian lapangan yaitu
menganalisa dokumen-dokumen terutama RUU Tentang Pelayaran. Metode Yuridis Normatif
21
adalah metode penelitian yang mengacu pada norma-norma hukum yang terdapat dalam
peraturan perundang-undangan. 22
8.2. Sifat penelitian.
Penelitian ini bersifat deskriptif, Menurut Hadari Nawawi, metode penelitian deskriptif ini
mempunyai dua ciri-ciri pokok yaitu :
a. Memusatkan perhatian pada masalah-masalah yang ada pada saat penelitian dilakukan (saat
sekarang) atau masalah-masalah yang bersifat aktual.
b. Menggambarkan fakta-fakta tentang masalah-masalah yang diselidiki sebagaimana adanya
diiringi dengan interpretasi rasional
Selanjutnya dikatakan pula bahwa pelaksanaan metode-metode deskriptif tidak terbatas
hanya sampai pengumpulan dan penyusunan data, tetapi meliputi analisis dan interpretasi tentang
arti data itu23.
8.3. Sumber dan Jenis data.
Adapun sumber dan jenis data dalam penelitian ini adalah sebagai berikut
8.3.1. Data primer.
Data primer merupakan data yang diperoleh langsung dari penelitian lapangan. Data ini
diperoleh berdasarkan pembahasan RUU Pelayaran yang berhubungan dengan Hipotek Kapal
Laut dan wawancara terhadap orang-orang yang berwenang dan terkait dengan Hipotek Kapal.
8.3.2. Data sekunder.
22
Soerjono Soekamto, op cit hal 43
23
Data sekunder merupakan data penunjang dari data primer yang diperoleh dari
bahan-bahan literatur atau bahan-bahan yang didapat melalui penelitian kepustakaan untuk yang dilaksanakan
mendapatkan bahan-bahan :
1) Bahan hukum primer, yaitu bahan hukum yang mengikat, yang terdiri dari norma atau
kaedah dasar, peraturan-peraturan dasar, peraturan perundang-undangan, diantaranya:
a. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
b. Kitab Undang-Undang Hukum Dagang.
c. Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 tentang perbankan
d. Undang-Undang No.30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris
e. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang pelayaran yang mengatur
mengenai hipotik kapal.
f. Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2002 tentang perkapalan
g. Instuksi Presiden No.5 Tahun 2005 tentang Jaminan Asuransi Terhadap Objek Hipotik
2) Bahan hukum skunder, yaitu bahan-bahan penelitian yang berasal dari literatur berupa
buku-buku atau makalah-makah.
8.4. Teknik pengumpulan data.
Teknik pengumpulan data yang dilaksanakan dengan studi kepustakaan dengan menelaah
bahan-bahan hukum dari buku-buku mengenai perjanjian kredit dan penjaminan hipotik
kapal dan mencari beberapa peraturan perundang-undangan serta studi dokumen hukum
dan melakukan wawancara dengan pihak terkait antara lain :
1. Pejabat Bank atau yang ditunjuk
2. Syahbandar tempat pendaftaran kapal
8.5. Pengolahan data dan analisis data.
8.5.1. Pengolahan data
Pengelolahan data adalah kegiatan merapikan data hasil pengumpulan data dilapangan
sehingga siap pakai untuk dianalisis.24 Setelah data yang diperlukan berhasil diperoleh, maka
penulis melakukan pengolahan terhadap data tersebut. Dengan cara editing yaitu dengan cara
meneliti kembali terhadap catatan-catatan, berkas-berkas, informasi dikumpulkan oleh para
pencari data yang diharapkan dapat meningkatkan mutu kehandalan data yang hendak di analisis.
Selanjutnya semua data yang diperoleh diolah melalui proses
8.5.1.1. Editing (pengeditan data)
Data yang telah diperoleh merupakan data yang masih mentah sehingga belum bisa
langsung dijadikan bahan kajian. Oleh karena itu tidak seluruhnya yang dimasukkan sebagai data
kajian akan tetapi dipilih data-data yang diperlukan dan berkaitan dengan permasalahan,
sehingga diperoleh data yang lebih terstruktur dan valid untuk dikaji sehubungan dengan judul
penelitian yang nantinya akan diambil kesimpulan.
8.5.1.2. Coding ( pengkodean data)
Coding adalah pemberian tanda-tanda terhadap data yang telah diperoleh. Dengan
demikian akan didapat data yang valid untuk dilakukan analisa untuk pengambilan kesimpulan
nantinya.
8.5.2. Analisis data.
24
Berdasarkan data yang diperoleh, kemudian dianalisis secara yuridis dan dipaparkan
secara kualitatif, yaitu penggambaran hasil penelitian dengan menggunakan kalimat-kalimat,
agar hasil penelitian ini lebih mudah dipahami. Apabila terdapat data yang kuantitatif, penulis
akan mencatumkannya di dalam hasil penelitian demi kelengkapan informasi yang berkaitan